Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH USHUL FIQH

DISUSUN OLEH:

M BANI PRATAMA
11920714411

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU PEKANBARU
2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Hukum fiqih mempunyai lapangan yang luas, meliputi berbagai peraturan dalam
kehidupan yang menyangkut hubungan manusia dengan Khaliqnya dan hubungan manusia
dengan sesama manusia dan sesama makhluk. Yang dalam pelaksanaannya juga berkaitan
dengan situasi/keadaan tertentu, maka mengetahui landasan hukum yang menjadi pedoman
berpikir dalam menentukan hukum tersebut sangatlah penting.

Islam yang diturunkan oleh Allah tidaklah sebuah agama yang tanpa dasar dalam
menentukan suatu hukum, ataupun seenaknya sendiri yang dilakukan oleh umat muslim
untuk membuat hukum, namun di sana ada aturan-aturan yang mengikat, harus melalui
koridor-koridor yang sesuai dengan syari’at. Dasar utama yang digunakan oleh umat Islam
dalam menentukan hukum adalah Al-Qur’an dan Hadits, namun seiring munculnya suatu
permasalahan yang baru maka dibutuhkan ijtihad dalam penetuan suatu hukum, maka muncul
produk hukum qiyas dan ijma’.

Dengan dasar itulah umat Islam menjalankan roda-roda kehidupan dengan syari’at
yang telah terlandaskan. Namun ketika seorang mujtahid itu menentukan suatu hukum sesuai
dengan koridor syara’ tentunya tidak terlepas dari kelemahan dalam pemahaman. Maka di
sini dikenal dengan ta’arudl al-adillah (pertentangan dalil), meskipun kemampuan seseorang
terbatas dalam memahami sesuatu namun di sana juga ditetapkan suatu aturan-aturan yang
baru untuk menentukan suatu hukum yang mashlahah.

1.2         RUMUSAN MASALAH

Dari latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

1.      Apa pengertian ta’arudh al-adhillah?

2.      Apa saja jenis-jenis ta’arudh al-adhillah?

3.      Apa saja unsur-unsur ta’arudh al-adhillah?

4.      Bagaimana cara mengatasi ta’arudh al-adhillah?


1.3         TUJUAN MASALAH

1.      Untuk mengetahui pengertian ta’arudh al-adhillah

2.      Untuk mengetahui Apa saja jenis-jenis ta’arudh al-adhillah

3.      Untuk mengetahui Apa saja unsur-unsur ta’arudh al-adhillah

4.      Untuk mengetahui Bagaimana cara mengatasi ta’arudh al-adhillah


BAB II

PEMBAHASAN

2.1         PENGERTIAN TA’ARUDH AL-ADHILLAH

Secara etimologis ta’arudh yaitu saling bertentangan, sedangkan secara terminologis,


ta’arudh yaitu:.

“Pertentangan dua dalil, antara satu dalil berdeba/bertentangan dengan dalil lainnya.”

Dengan demikian, ta’arudh al-adillah adalah pertentangan antara beberapa dalil


tentang suatu masalah tertentu, misalnya dalil yang satu menyatakan bahwa perbuatan
tersebut wajib dilakukan, sedangkan dalil lainnya menetapkan sunnah.

Sebenarnya menurut Dr, Wahbah Zulaihi, tidak ada dalil nash yang saling
bertentangan, adanya pertentangan dalil syara’ itu hanya menurut pandangan mujtahid, bukan
pada hakikatnya. Dalam kerangka pikir inilah, maka ta’arudh mungkin terjadi pada dalil-dalil
yang qath’i maupun zanni.1

Dalil- dalil yang menjadi kajian ta’arudh al-adillah adalah dalil-dalil yang derajat atau
kualitasnya sama, keduanya merupakan hadits-hadits yang shahih, sehingga apabila terdapat
pertentangan harus di cari solusinya.

Perbedaan pemahaman yang terjadi dikalangan fuqoha merupakan bagian dari kajian
ilmu ushul fiqih. Oleh karena itu, apabila ada perbedaan pandangan karena adanya
pertentangan antar dua dalil, hal tersebut adalah wajar. Yang paling utama adalah mencari
cara penyelesaian yang ilmiah dan masuk akal.

Pertentangan dapat terjadi dalam hal-hal sebagai berikut :

1.      Pertentangan antara Al-qur’an dan Al-qur’an. Ada yang memandang diantara ayat-ayat
Al-qur’an, ada yang saling bertentangan, hal ini terjdai karena keterbatasan akal manusia.
Padahal, tidak satu pun ayat yang saling bertentangan, yang ada adalah ayat-ayat Allah saling
menafsirkan atau saling menjelaskan.

2.      Pertentanag antara Al-qur’an dan As-sunnah. Ini adalah pandangan bahwa kedudukan
Al-qur’an harus sama dengan As-sunnah, padahal tidak demikian. Yang harus ada bahwa As-
1 Dr. Mardani. Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers. 2013. Hlm 391
sunnah menjelaskan Al-qur’an, da Al-qur’an kedudukannya lebih tinggi dari As-sunnah. Oleh
sebab itu, tidak mungkin ada pertentangan dari keduanya, kecuali As-sunnah yang
kulaitasnya lemah, baik dari segi sanad maupun matannya.

3.      Pertentangan antara As-sunnah dengan As-sunnah.

4.      Pertentangan antara As-sunnah dengan akal.2

2.2         UNSUR-UNSUR TA’ARUDH AL-ADHILLAH

Pertentangan hanya dapat terjadi, jika terpenuhi unsur-unsur sebagai berikut.

1.      Bahwa dalil yang bertentangan memiliki tingkatan kekuatan yang sama, dalam arti yang
satu tidak lebih kuat dari yang lain, misalnya sama-sama ayat al-qur’an, sama-sama hadits
mutawatir, atau sama-sama hadits ahad.

2.      Hukum yang lahir dari kedua dalil tersebut saling bertentangan, misalnya dalil yang
satu menunjuk haram, dalil yang satu menunjuk halal.

3.      Dalil yang bertentangan tersebut memiliki sasaran yang sama.

4. Dalil yang bertentangan memiliki kesamaan pada segi waktu munculnya. Dengan
demikian, pertentangan tidak terjadi jika terdapat perbedaan waktu datangnya dalil.

5.      Dalil yang bertentangan memiliki kesamaan baik pada segi materinya maupun pada segi
sifatnya. Misalnya, tingkat kejelasan makna kedua dalil tersebut sama-sama pada tingkat
mujmal, atau sama-sama pada tingkat zahir.3

2.3         JENIS-JENIS TA’ARUDH AL-ADHILLAH

a.      Ta’arudh antara Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Sebagaimana firman Allah SWT :

ُ ُ‫ َو ِز ْينَةً َويَ ْخل‬U‫َو ْال َخ ْي َل َو ْالبِغَا َل َو ْال َح ِمي َْر لِتَرْ َكبُوْ هَا‬
َ‫ق َما اَل تَ ْعلَ ُموْ ن‬

Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai, untuk kamu tunggangi dan (menjadi)
perhiasan. Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya ... (QS. An-Nahl (16): 8 )

2 Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia. 2008. Hlm 209-210
3 Dr. Mardani. Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers. 2013. Hlm 392
Dalam  ayat di atas dapat di ambill sebuah pengertian bahwa kuda, begal, dan keledai haya
diperuntukkan untuk kendaraan saja, sedang ayatberikut bermakna berbeda :

َ‫هللاُ الَّ ِذيْ َج َع َل لَ ُك ُم اَأل ْن َعا َم لِتَرْ َكبُوْ ا ِم ْنهَا تَْأ ُكلُوْ ن‬

Allah-lah yang menjadkan binatan ternak untuk kamu, sebagiannya untuk kamu kendarai dan
sebagiannya untuk kamu makan. (QS. Al-Mu’min (40): 79)

b.      Ta’arudh antara sunah dangan sunah.

ٍ U‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َكانَ يُصْ بِ ُح ُجنُبًا ِم ْن ِج َم‬


‫ ُل‬U ‫اع ثُ َّم يَ ْغت َِس‬U َ ‫ض َى هللُ َع ْنهَا اَ َّن النَّبِ ِّي‬
ِ ‫ع َْن عَاىِي َشةَ وأ ِّم َساَل َمةَ َر‬
)‫َويَصُوْ ُم (متفق عليه‬

Dari Aisyah dan Ummi Salamah ra. bahwa Nabi ketika masuk waktu subuh dalam keadaan
junub karena melakukan jima kemudian mandi dan menjalankan puasa.

Hadits ini bertentangan dengan hadits lainyang berbunyi :

ُ‫م ُجنُبًا فَاَل يَصُوْ ُم يَوْ َمه‬Uْ ‫ْح َواَ َح َد ُك‬


ِ ‫صاَل ِة الصُّ ب‬
َ ‫صاَل ِة‬ َ ‫اِ َذا نُوْ ِد‬
َّ ‫ى لِل‬

Bila telah dipanggil untuk sholat subuh, sedang salah satu diantaramu dalam keadaan junub
maka jangan puasa di hari itu. (HR. Imam Ahmad dan Ibnu Hibban)

c.       Ta’arudh antara sunah dangan qiyas

Ta’arudh antara sunah dangan qiyas, dapt dilhat dalam contoh tentang ukuran hewan


untuk aqiqah berdasarkan sunah, satu kambing untuk putri dan dua kambing untuk putra,
berdasarkan hadits :

ِ ‫َان ُم َكا فَىَتَا ِن َوع َِن ْال َج‬


ٌ‫اريَ ِة َشاة‬ ِ ‫ق َع ِن ْال ُغاَل ِم َشات‬
ٌّ ‫اَ ْل َعقِ ْيقَةُ َح‬

"Aqiqah itu sesuatu yang mesti dikerjakan untuk anak laki-laki dua kambing dan untuk anak
perempuan seekor kambing". (HR. Asma binti Zayid)

Bagi yang berpegang pada qiyas maka untuk aqiqah ini boleh hewanyang lebih besar,


unta lebih dari sapi dan sapi lebih dari kambing, ini hampir pendapat sebagian
besar fuqaha. Sedang yang berpegang pada bunyi hadits di atas adalah Imam Malik,
bahwa aqiqah itu dilakukan dengan meyambelih kambing.
d.      Ta’arudh antara qiyas dengan qiyas

Contohnya adalah peng-qiyas-an masalah perkawinan Nabi Muhammad saw. terhadap Siti
Aisyah, sebagaimana diriwayatkan Bukhari Muslim :

َ‫نِ ْين‬U‫ ِع ِس‬U‫ت تِ ْس‬ ِّ U‫لَّ َم لِ َس‬U‫ ِه َو َس‬U‫لَّى هللاُ َعلَ ْي‬U‫ص‬
ُ ‫ابِ ْن‬UUَ‫نِ ْينَ َوبَنِ َى بِى َواَن‬U‫ت ِس‬ ْ َ‫َوع َْن عَاىِ َسةَ قَال‬
َ ِ‫ل هللا‬Uُ ْ‫و‬U‫ى َر ُس‬Uْ ِ‫ تَ َز َّو َجن‬: ‫ت‬
)‫(رواه مسلم وعن عاىسة‬

Dari Aisyah beliau berkata: Rasulullah mengawini saya ketika saya berumur enam tahun dan
mengumpuliku ketika saya sebagai gadis yang telah berumur sembila tahun. (HR. Muslim
dari Aisyah)

Berdasakan hadits di atas, dapat diambil sebuah hukum kebolehan mengawinkan


orang tua terhadap anaknya yang belum dewasa tanpa izin yangbersangkutan yang masih di
bawah umur, demikian pendapat Hanafiyah. Sedangkan ulama Syafi’iyah menganggap
karena kegadisannya.4

2.4         CARA PENYELESAIAN TA’ARUDH AL-ADHILLAH

Terdapat perbedaan pendapat antara ulama Hanafiyah dan Syafiiyah dalam


menyelesaikan ta’arudh al-adhillah. Menurut ulama hanafiyah jika terjadi ta’arudh al-adillah
maka penyelesaiannya dapat ditempuh melalui:

a.       Nasakh. Dengan cara pertama ini mujtahid dapat meneliti dalil itu dari aspek waktu
turunnya. Jika diketahui, maka dalil yang datang lebih dahulu dapat dinasakh oleh dalil yang
datang kemudian.

b.      Tarjih. Dengan cara ini, jika tidak diketahui sejarah turunnya, maka dapat digunakan
cara tarjih dengan meneliti mana diantara 2 dalil yang bertentangan itu yang lebih kuat atau
(rajih).

c.       Al-jam’u wa al-taufiq. Cara ketiga ini ditempuh jika cara kedua (tarjih) tidak mungkin
untuk di lakukan. Caranya dengan mengkompromikan 2 dalil yang bertentangan.

4 Drs. Totok Jumantoro, M.A., dkk. Kamus Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah. 2009. Hlm 313-314
d.      Tasaqut. Jika tidak mungin untuk di kompromikan maka jalan keluarnya adalah tidak
menggunakan kedua dalil itu ( tasaqut). Ketika itu mujtahid dapat menggunakan dalil lain
yang lebih rendah urutannya. Jika yang bertentangan itu adalah dua ayat maka ia bisa
menggunakan sunnah.jika yang bertentangan itu adalah hadits maka mujtahid bisa
menggunakan qaul sahabi begitu selanjutnya.

Adapun menurut syafiiyah sebagaimana di jelaskan oleh wahbah zuhaili, cara yang dapat
ditempuh untuk menyelesaikan ta’arudh al-adhillah adalah sebagai berikut:

1.      Al-jam’u wa ai-taufiq, yaitu mengkompromikan jika memungkinkan. Alasannya karena


mengamalkan kedua dalil itu lebih utama dibandingkan membiarkan salah satunya.
Contohnya adalah mengkompromikan ayat 234 surat Al-Baqarah dengan ayat 4 surat At-
Talaq sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya yang masing-masing berbicara tentang masa
iddah wanita yang dicerai oleh suaminya.

2.      Tarjih, jika cara pertama tidak mungkin untuk dilakukan, maka cara selanjutnya yang
ditempuh adalah dengan tarjih.

3.      Nasakh, jika cara kedua (tarjih) tidak juga mungkin untuk dilakukan maka caranya
meneliti dari aspek waktu turunnya dari dua dalil tersebut. Maka dalil yang datang terdahulu
dapat di nasakh, oleh dalil yang datang kemudian.

4.      Tasaqut, jika cara ketiga (nasakh) juga tidak dapat dilakukan, maka jalan keluarnya
adalah tidak menggunakan dua dalil itu dan mujtahid dapat mengguanakan dalil yang lebih
rendah kualitasnya.

Jika diperhatikan perbedaan cara yang digunakan oleh hanafiyah dan syafi’iyah sebagaimana
telah dijelaskan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perbedaan keduanya terletak pada
urutannya.

1.      Hanafiyah: nasakh, tarjih, al-jam’u wa al-taufiq, dan tasaqut

2.      Syafiiyah: al-jam’u wa al-taufiq, tarjih, nasakh, dan tasaqut.5

5 Drs. Sapiudin Shidiq, M.A. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana. 2011. Hlm 234-236
2.5         CONTOH PENYELESAIAN TA’ARUDH AL-ADHILLAH

1. Contoh Penyelesaian ta’arudh dengan metode al-jam’u wa al-taufiq (menggabungkan


dan mengkompromikan)

Surah Al-Baqarah (2): 234 menyebutkan:

‫ا َح‬UUَ‫فَالَ ُجن‬ ‫ِإ َذا بَلَ ْغنَ َأ َجلَه َُّن‬Uَ‫ف‬ ‫رًا‬U‫َش‬


ْ ‫ه ٍُر َوع‬U‫ ةَ َأ ْش‬U‫َأرْ بَ َع‬ ‫ ِه َّن‬U‫بَِأنفُ ِس‬  َ‫ن‬U‫َّص‬ْ ‫َأ ْز َواجًا يَتَ َرب‬ ‫ُون‬
Uَ ‫ ِم ْن ُك ْم َويَ َذر‬  َ‫َوالَّ ِذ ْينَ يُتَ َوفَّوْ ن‬
‫ َوهللا بِ َما تَ ْع َملُونَ خَ بِي ٌر‬ ‫ف‬ Uِ ْ‫بِ ْال َم ْعرُو‬ ‫فِي َما فَ َع ْلنَ فِى َأنفُ ِس ِه َّن‬ ‫َعلَ ْي ُك ْم‬

Sedangkan dalam ayat 4 surah At-Thalaq (65): 4 menyebutkan:

‫ ِم ْن َأ ْم ِر ِه يُ ْسرًا‬, ُ‫ق هللاَ يَجْ َعلْ لَّه‬ َ َ‫ال َأ َجلُه َُّن َأن ي‬
ِ َّ‫ض ْعنَ َح ْملَه َُّن َو َم ْن يَت‬ ُ َ‫َوُأوْ ل‬
ِ ‫ت آَأْلحْ َم‬

Ayat pertama tersebut di atas bersifat umum yaitu setiap perempuan yang ditinggal
mati suami baik hamil maupun tidak hamil wajib beriddah selama empat bulan sepuluh hari.
Dan ayat kedua tersebut juga bermakna umum, yaitu setiap wanita hamil baik ditinggal mati
suami atau bercerai hidup wajib ber-iddah sampai melahirkan kandungannya.

Dengan demikian, antara dua ayat tersebut bila dilihat sepintas lalu terdapat
pertentangan mengenai iddah wanita hamil yang ditinggal mati suami. Namun perbedaan itu
seperti yang dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan, dapat dikompromikan sehingga kedua
ayat tersebut dapat difungsikan. Kedua ayat tersebut bila dikompromikan, maka kesimpulan
yang diambil adalah bahwa iddah perempuan hamil yang kematian suami adalah masa
terpanjang dari dua bentuk iddah, yaitu sampai melahirkan atau sampai empat bulan sepuluh
hari. Artinya, jika perempuan itu melahirkan sebelum sampai empat bulan sepuluh hari sejak
suaminya meninggal, maka iddahnya menunggu empat bulan sepuluh hari, dan jika sampai
empat bulan sepuluh hari perempuan itu belum juga melahirkan, maka iddahnya sampai ia
melahirkan kandungannya.6

2.      Contoh cara penyelesaian ta’arudh dengan metode al-nasakh

Surah Al-Baqarah (2): 180 menegaskan:

َ‫ف َحقّا ً َعلَى ْال ُمتَّقِ ْين‬


ِ ْ‫صيَّةُ لِ ْل َوالِ َدي ِْن َواَأْل ْق َربِ ْينَ بِ ْال َم ْعرُو‬
ِ ‫ت ِإن تَ َركَ خَ ْيرًا ْال َو‬
ُ ْ‫ض َر َأ َح َد ُك ُم ْال َمو‬
َ ‫ب َعلَ ْي ُك ْم ِإ َذا َح‬
َ ِ‫ُكت‬

6 Satria Efendi M. Zein, op. Cit., hlm. 240


“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika
ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara
ma’ruf, (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”

Ayat tersebut di nasakh oleh hadits Rasulullah saw.:

ْ
ِ ‫ َود‬U‫ا َم َح َّج ِة ْال‬UU‫ ِه َع‬Uِ‫وْ ُل فِي ُخطبَت‬UUُ‫م يَق‬Uَ َّ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسل‬
َ‫َاع ِإن‬ ُ ‫ َس ِمع‬: ‫ع َْن َأبِي ُأ َما َمةَ ْالبَا ِهلِ ِّي قَا َل‬
َ ِ‫ْت َرسُوْ ُل هللا‬
‫ث‬
ٍ ‫ار‬ ِ ‫ق َحقَّهُ فَاَل َو‬
ِ ‫صيَّةَ لِ َو‬ ٍّ ‫هللاَ قَ ْد َأ ْعطَى لِ ُكلِّ ِذي َح‬

“Dari Abu Umamah al-Bahili ia berkata, aku mendengar Rasulullah saw. bersabda ketika
khutbah haji wada’ “Sesungguhnya Allah telah memberikan hak kepada setiap orang yang
berhak, maka tidak ada wasiat kepada ahli waris.” (HR. Tirmidzi)

3.      Contoh cara penyelesaian ta’arudh dengan metode tarjih

Hadits Rasulullah saw. berikut:

َ ‫ َكانَ َأبُو هُ َري َْرةَ يَقُوْ ُل َم ْن َأصْ بَ َح ُجنُبًا فَاَل‬: ‫ب قَا َل‬
ُ‫م لَه‬Uَ ْ‫صو‬ ٍ ‫ع َْن َع ْب ِد الرَّحْ َم ِن ب ِْن َعتَّا‬

 “Dari Abdurrahman bin ‘Auf ia berkata, Adalah Abu Hurairah berkata “Barangsiapa yang
junub sapai tiba waktu subuh, maka tidaklah ada puasa baginya,”(HR. Ahmad)

Sementara Aisyah meriwayatkan hadits:

َ ‫ع َْن عَاىِ َشةَ َوُأ ِّم َسلَ َمةَ َزوْ َج ِى النَّبِ ِّى‬
َ ِ‫ل هللا‬Uُ ْ‫و‬U‫انَ َر ُس‬U‫ا َك‬UUَ‫ا قَالَت‬U‫لَّ َم َأنَّهُ َم‬U‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َس‬
‫لَّ َم‬U‫ ِه َو َس‬Uْ‫لَّى هللاُ َعلَي‬U‫ص‬
‫ضانَ ثُ َّم يَصُوْ ُم‬ ٍ ‫يُصْ بِ ُح ُجنُبًا ِم ْن ِج َم‬.
َ ‫اع َغي ِْر احْ تِاَل ٍم فِى َر َم‬

“Dari Aisyah dan Ummu Salamah istri Nabi Saw. bahwa keduanya berkata “Rasulullah Saw.
masih dalam keadaan junub, bukan karena mimpi pada bulan Ramadhan, kemudian beliau
berpuasa.” (HR. Malik)

4.      Contoh penyelesaian ta’arudh dengan metode tasaquth al-dalilain

Firman Allah dalam surah Al-Muzammil (73): 20

ِ ‫ َما تَيَس ََّر ِمنَ ْالقُرْ َء‬U‫فَآ ْق َر ُءوا‬


‫ان‬

“Maka Bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an

Sedangkan dalam surah Al-A’raf (7): 204 Allah swt. berfirman:

ْ ُ‫صت‬
َ‫والَ َعلَّ ُك ْم تُرْ َح ُموْ ن‬ ِ ‫ َوَأ ْن‬,ُ‫ءالقُرْ َءانُ فَآ ْستَ ِمعُوْ الَه‬
ْ ‫ى‬ َ ‫َوِإ َذا قُ ِر‬
“Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan
tenang agar kamu mendapat rahmat.”

Ayat pertama secara umum, mewajibkan orang yang shalat, termasuk makmum untuk
membaca ayat-ayat Al-Quran yang mudah dibaca, sebab konteks ayat tersebut berbicara
dalam konteks shalat. Sedangkan ayat kedua menegaskan kewajiban membaca Al-Quran,
sebab yang diperintahkan adalah mendengarkan dan memerhatikan bacaan imam dalam
shalat. Mengamalkan kedua ayat tersebut sekaligus tidak dapat terlaksana dengan baik.
Artinya membaca Al-Quran sambil mendengarkan dan memerhatikan bacaan imam tidak
dapat dilakukan secara bersamaan. Dengan demikian, kedua ayat tersebut mengandung
makna umum yang saling bertentangan. Oleh karena itu cara yang dilakukan adalah tawaqquf
(tidak mengamalkan kedua dalil) sampai ditemukan dalil lain yang menjelaskan masalah
tersebut. Dalam hal ini dicarikan penjelasannya pada hadits yang menjelaskan:

‫من صلى خلف اإلمام فإن قراءة اإلمام له قراءة‬

“Barangsiapa yang shalat di belakang imam, maka sesungguhnya bacaan imam menjadi
baginya”. (HR. Jama’ah).7

Bab III

PENUTUP

3.1         KESIMPULAN

Ta’arudl al-Adillaah dapat diartikan sebagai perlawanan antara kandungan salah satu


dari dua dalil yang sama derajatnya dengan kandungan dalil yang lain yang mana salah satu
diantara dua dalil tersebut menafikan hukum yang ditunjuk oleh dalil yang
lainnya. Ta’arudhul Adillah terjadi hika terdapat unsur-unsur. Adapun cara penyelesaian yang
dapat dilakukan terdapat dua pendapat, yakni, menurut Hanafiyah yaitu nasakh, tarjih, al-
jam’u wa al-taufiq, dan tasaqut. Sedangkan menurut Syafiiyah yaitu al-jam’u wa al-taufiq,
tarjih, nasakh, dan tasaqut

DAFTAR PUSTAKA

7 Dr. Mardani. Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers. 2013. Hlm 394-396
Shidiq, Saipudin. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana, 2011

Saebani, Beni Ahmad. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia, 2008

Mardani. Ushul Fiqh. Jakarta. Rajawali Pers, 2013

Jumantoro, Totok, dkk. Kamus Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah, 2009

Effendi, Satria. Ushul Fiqh. Jakarta:Kencana, 2005

Koto, Alaiddin. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009

Anda mungkin juga menyukai