Anda di halaman 1dari 13

Jurnal Ushul Fiqih PAI Institut Pembina Rohani Islam Jakarta

Jl. Raya Klp. Dua Wetan No.1C, RT.7/RW.1, Klp. Dua Wetan, Kec. Ciracas, Kota Jakarta
Timur, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 13730 Link: https://iprija.ac.id/

Ta’arud Dalil

(ta’arud argument)

Yuliana
Institut Pembina Rohani Islam
Jakarta E-mail: y72743414@gmail.com

Abstract. This article explains what is meant by ta'arud dalil. Therefore, this article will talk
about the meaning of ta'arud dalil, its elements, types, ways to solve them and examples of
their solutions. Some of the writings in this article will be supported by verses from the Koran
and Hadith.

Abstrak. Artikel ini menjelaskan apa yang dimaksud dengan ta’arud dalil.Oleh karena itu,
artikel ini akan berbicara tentang pengertian ta’arud dalil,unsur-unsurnya,jenis-jenisnya,cara
penyelesaiannya serta contoh prnylesaiannya. Beberapa tulisan dalam artikel ini akan didukung
oleh ayat-ayat Al-Quran dan Hadits.

Institut Pembina Rohani Islam Jakarta


Mei-2023
Ta’arud Dalil
IPRIJA 2023

A. Pendahuluan

Hukum fiqih mempunyai lapangan yang luas, meliputi berbagai


peraturandalam kehidupan yang menyangkut hubungan manusia dengan
Khaliqnya danhubungan manusia dengan sesama manusia dan sesama
makhluk. Yang dalam pelaksanaannya juga berkaitan
dengan situasi/keadaan tertentu, maka mengetahuilandasan hukum yang
menjadi pedoman berpikir dalam menentukan hukumtersebut sangatlah
penting.Islam yang diturunkan oleh Allah tidaklah sebuah agama yang tanpa
dasardalam menentukan suatu hukum, ataupun seenaknya sendiri yang
dilakukan olehumat muslim untuk membuat hukum, namun di sana ada
aturan-aturan yangmengikat, harus melalui koridor-koridor yang sesuai
dengan syari’at. Dasar utama yang digunakan oleh umat Islam dalam
menentukan hukum adalah Al-Qur’an dan Hadits, namun seiring munculnya
suatu permasalahan yang baru maka dibutuhkanijtihad dalam penetuan
suatu hukum, maka muncul produk hukum qiyas dan ijma’.
  Dengan dasar itulah umat Islam menjalankan roda-roda kehidupan dengan
syari’at yang telah terlandaskan. Namun ketika seorang mujtahid itu
menentukansuatu hukum sesuai dengan koridor syara’ tentunya tidak
terlepas dari kelemahandalam pemahaman. Maka di sini dikenal dengan
ta’arudl al-adillah (pertentangandalil), meskipun kemampuan seseorang
terbatas dalam memahami sesuatu namundi sana juga ditetapkan suatu
aturan-aturan yang baru untuk menentukan suatu hukum yang maslahah.

Institut Pembina Rohani Islam Jakarta


Mei-2023
Ta’arud Dalil
IPRIJA 2023

A. Pembahasan

Pengertian Ta’arud Dalil

Secara etimologis ta’arudh yaitu saling bertentangan, sedangkan secara


terminologis, ta’arudh yaitu:
“Pertentangan dua dalil, antara satu dalil berdeba/bertentangan dengan
dalillainnya.” 
Dengan demikian, ta’arudh al-adillah adalah pertentangan antara
beberapadalil tentang suatu masalah tertentu, misalnya dalil yang satu
menyatakan bahwa perbuatan tersebut wajib dilakukan, sedangkan dalil
lainnya menetapkan sunnah.Sebenarnya menurut Dr, Wahbah Zulaihi,
tidak ada dalil nash yang
salingbertentangan, adanya pertentangan dalil syara’ itu hanya menurut
pandangan mujtahid, bukan pada hakikatnya. Dalam kerangka pikir
inilah, maka ta’arudh mungkin terjadi pada dalil-dalil yang qath’i
maupun zanni.
Dalil-dalil yang menjadi kajian ta’arudh al-adillah adalah dalil-dalil
yangderajat atau kualitasnya sama, keduanya merupakan hadits-hadits
yang shahih,sehingga apabila terdapat pertentangan harus di cari
solusinya.
Perbedaan pemahaman yang terjadi dikalangan fuqoha merupakan bagian
dari kajian ilmu ushul fiqih. Oleh karena itu, apabila ada perbedaan
pandangan karena adanya pertentangan antar dua dalil, hal tersebut
adalah wajar. Yang paling utama adalah mencari cara penyelesaian yang
ilmiah dan masuk akal.
Pertentangan dapat terjadi dalam hal-hal sebagai berikut :
1. Pertentangan antara Al-qur’an dan Al-qur’an. Ada yang
memandang diantara ayat-ayat Al-qur’an, ada yang saling bertentangan,
hal ini terjdai karena keterbatasan akal manusia. Padahal, tidak satu pun
ayat yang saling bertentangan, yang ada adalah ayat-ayat Allah saling
menafsirkan atau saling menjelaskan.

Institut Pembina Rohani Islam Jakarta


Mei-2023
Ta’arud Dalil
IPRIJA 2023

2. Pertentanag antara Al-qur’an dan As-sunnah. Ini adalah pandangan


bahwa kedudukan Al-qur’an harus sama dengan As-sunnah, padahal
tidak demikian. Yang harus ada bahwa As-sunnah menjelaskan Al-
qur’an, da Al-qur’an kedudukannya lebih tinggi dari As-sunnah. Oleh
sebab itu, tidak mungkin ada pertentangan dari keduanya, kecuali As-
sunnah yang kulaitasnya lemah, baik dari segi sanad maupun matannya.
3. Pertentangan antara As-sunnah dengan As-sunnah.
4. Pertentangan antara As-sunnah dengan akal.

Institut Pembina Rohani Islam Jakarta


Mei-2023
Taarud Dalil
IPRIJA 2023

Unsur-Unsur Ta’arud Dalil

Pertentangan hanya dapat terjadi, jika terpenuhi unsur-unsur sebagai berikut.


1.      Bahwa dalil yang bertentangan memiliki tingkatan kekuatan yang sama,
dalam arti yang satu tidak lebih kuat dari yang lain, misalnya sama-sama ayat al-
qur’an, sama-sama hadits mutawatir, atau sama-sama hadits ahad.
2.      Hukum yang lahir dari kedua dalil tersebut saling bertentangan, misalnya
dalil yang satu menunjuk haram, dalil yang satu menunjuk halal.
3.      Dalil yang bertentangan tersebut memiliki sasaran yang sama.
4.      Dalil yang bertentangan memiliki kesamaan pada segi waktu munculnya.
Dengan demikian, pertentangan tidak terjadi jika terdapat perbedaan waktu
datangnya dalil.
5.      Dalil yang bertentangan memiliki kesamaan baik pada segi materinya
maupun pada segi sifatnya. Misalnya, tingkat kejelasan makna kedua dalil
tersebut sama-sama pada tingkat mujmal, atau sama-sama pada tingkat zahir

Jenis-jenis Ta’arud Dalil

a.      Ta’arudh antara Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Sebagaimana firman Allah


SWT :
ُ ُ‫َو ْال َخ ْي َل َو ْالبِغَا َل َو ْال َح ِم ْي َر لِتَرْ َكبُوْ هَا َو ِز ْينَةً َويَ ْخل‬
َ‫ق َما اَل تَ ْعلَ ُموْ ن‬
Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai, untuk kamu tunggangi
dan (menjadi) perhiasan. Allah menciptakan apa yang kamu tidak
mengetahuinya ... (QS. An-Nahl (16): 8 )
Dalam  ayat di atas dapat di ambill sebuah pengertian bahwa kuda, begal, dan
keledai haya diperuntukkan untuk kendaraan saja, sedang ayatberikut bermakna
berbeda :

َ‫هللاُ الَّ ِذيْ َج َع َل لَ ُك ُم اَأل ْن َعا َم لِتَرْ َكبُوْ ا ِم ْنهَا تَْأ ُكلُوْ ن‬
Institut Pembina Rohani Islam Jakarta
Mei-2023
Taarud Dalil
IPRIJA 2023

Allah-lah yang menjadkan binatan ternak untuk kamu, sebagiannya untuk


kamu kendarai dan sebagiannya untuk kamu makan. (QS. Al-Mu’min (40): 79)

b.      Ta’arudh antara sunah dangan sunah.


ٍ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َكانَ يُصْ بِ ُح ُجنُبًا ِم ْن ِج َم‬
‫ ُل‬tt‫اع ثُ َّم يَ ْغت َِس‬ َ ‫ض َى هللُ َع ْنهَا اَ َّن النَّبِ ِّي‬
ِ ‫ع َْن عَاىِي َشةَ وأ ِّم َساَل َمةَ َر‬
)‫َويَصُوْ ُم (متفق عليه‬
Dari Aisyah dan Ummi Salamah ra. bahwa Nabi ketika masuk waktu subuh
dalam keadaan junub karena melakukan jima kemudian mandi dan
menjalankan puasa.
Hadits ini bertentangan dengan hadits lainyang berbunyi :

ُ‫ْح َواَ َح َد ُك ْم ُجنُبًا فَاَل يَصُوْ ُم يَوْ َمه‬


ِ ‫صاَل ِة الصُّ ب‬
َ ‫صاَل ِة‬ َ ‫اِ َذا نُوْ ِد‬
َّ ‫ى لِل‬
Bila telah dipanggil untuk sholat subuh, sedang salah satu diantaramu dalam
keadaan junub maka jangan puasa di hari itu. (HR. Imam Ahmad dan Ibnu
Hibban)
c.       Ta’arudh antara sunah dangan qiyas
Ta’arudh antara sunah dangan qiyas, dapt dilhat dalam contoh tentang ukuran
hewan untuk aqiqah berdasarkan sunah, satu kambing untuk putri dan dua
kambing untuk putra, berdasarkan hadits :

ِ ‫َان ُم َكا فَىَتَا ِن َو َع ِن ْال َج‬


ٌ‫اريَ ِة َشاة‬ ِ ‫ق ع َِن ْالغُاَل ِم َشات‬
ٌّ ‫اَ ْل َعقِ ْيقَةُ َح‬
"Aqiqah itu sesuatu yang mesti dikerjakan untuk anak laki-laki dua kambing
dan untuk anak perempuan seekor kambing". (HR. Asma binti Zayid)
Bagi yang berpegang pada qiyas maka untuk aqiqah ini boleh hewanyang lebih
besar, unta lebih dari sapi dan sapi lebih dari kambing, ini hampir pendapat
sebagian besar fuqaha. Sedang yang berpegang pada bunyi hadits di atas adalah
Imam Malik, bahwa aqiqah itu dilakukan dengan meyambelih kambing.
d.      Ta’arudh antara qiyas dengan qiyas
Contohnya adalah peng-qiyas-an masalah perkawinan Nabi Muhammad saw.
terhadap Siti Aisyah, sebagaimana diriwayatkan Bukhari Muslim :

َ‫نِ ْين‬t‫ ِع ِس‬t‫ت تِ ْس‬ ِّ t‫لَّ َم لِ َس‬t‫ ِه َو َس‬t‫لَّى هللاُ َعلَ ْي‬t‫ص‬
ُ ‫ابِ ْن‬ttَ‫نِ ْينَ َوبَنِ َى بِى َواَن‬t‫ت ِس‬ ْ َ‫َوع َْن عَاىِ َسةَ قَال‬
َ ِ‫ تَ َز َّو َجنِ ْى َرسُوْ ُل هللا‬: ‫ت‬
)‫(رواه مسلم وعن عاىسة‬

Institut Pembina Rohani Islam Jakarta


Mei-2023
Taarud Dalil
IPRIJA 2023

Dari Aisyah beliau berkata: Rasulullah mengawini saya ketika saya berumur
enam tahun dan mengumpuliku ketika saya sebagai gadis yang telah berumur
sembila tahun. (HR. Muslim dari Aisyah)
Berdasakan hadits di atas, dapat diambil sebuah hukum kebolehan
mengawinkan orang tua terhadap anaknya yang belum dewasa tanpa izin
yangbersangkutan yang masih di bawah umur, demikian pendapat Hanafiyah.
Sedangkan ulama Syafi’iyah menganggap karena kegadisannya.

Institut Pembina Rohani Islam Jakarta


Mei-2023
Ta’arud Dalil
IPRIJA 2023

Cara Penyelesaian Ta’arud Dalil


Terdapat perbedaan pendapat antara ulama Hanafiyah dan Syafiiyah
dalam menyelesaikan ta’arudh al-adhillah. Menurut ulama hanafiyah jika
terjadi ta’arudh al-adillah maka penyelesaiannya dapat ditempuh melalui:
a.       Nasakh. Dengan cara pertama ini mujtahid dapat meneliti dalil itu
dari aspek waktu turunnya. Jika diketahui, maka dalil yang datang lebih
dahulu dapat dinasakh oleh dalil yang datang kemudian.
b.      Tarjih. Dengan cara ini, jika tidak diketahui sejarah turunnya, maka
dapat digunakan cara tarjih dengan meneliti mana diantara 2 dalil yang
bertentangan itu yang lebih kuat atau (rajih).
c.       Al-jam’u wa al-taufiq. Cara ketiga ini ditempuh jika cara kedua
(tarjih) tidak mungkin untuk di lakukan. Caranya dengan
mengkompromikan 2 dalil yang bertentangan.
d.      Tasaqut. Jika tidak mungin untuk di kompromikan maka jalan
keluarnya adalah tidak menggunakan kedua dalil itu ( tasaqut). Ketika itu
mujtahid dapat menggunakan dalil lain yang lebih rendah urutannya. Jika
yang bertentangan itu adalah dua ayat maka ia bisa menggunakan
sunnah.jika yang bertentangan itu adalah hadits maka mujtahid bisa
menggunakan qaul sahabi begitu selanjutnya.
Adapun menurut syafiiyah sebagaimana di jelaskan oleh wahbah zuhaili,
cara yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan ta’arudh al-adhillah adalah
sebagai berikut:
1.      Al-jam’u wa ai-taufiq, yaitu mengkompromikan jika memungkinkan.
Alasannya karena mengamalkan kedua dalil itu lebih utama dibandingkan
membiarkan salah satunya. Contohnya adalah mengkompromikan ayat 234
surat Al-Baqarah dengan ayat 4 surat At-Talaq sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya yang masing-masing berbicara tentang masa iddah
wanita yang dicerai oleh suaminya.
2.      Tarjih, jika cara pertama tidak mungkin untuk dilakukan, maka cara
selanjutnya yang ditempuh adalah dengan tarjih.
3.      Nasakh, jika cara kedua (tarjih) tidak juga mungkin untuk dilakukan
maka caranya meneliti dari aspek waktu turunnya dari dua dalil tersebut.
Maka dalil yang datang terdahulu dapat di nasakh, oleh dalil yang datang
kemudian.
Institut Pembina Rohani Islam Jakarta
Mei-2023
Ta’arud Dalil
IPRIJA 2023

4.      Tasaqut, jika cara ketiga (nasakh) juga tidak dapat dilakukan, maka
jalan keluarnya adalah tidak menggunakan dua dalil itu dan mujtahid dapat
mengguanakan dalil yang lebih rendah kualitasnya.

Jika diperhatikan perbedaan cara yang digunakan oleh hanafiyah dan


syafi’iyah sebagaimana telah dijelaskan di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa perbedaan keduanya terletak pada urutannya.
1.      Hanafiyah: nasakh, tarjih, al-jam’u wa al-taufiq, dan tasaqut
2.      Syafiiyah: al-jam’u wa al-taufiq, tarjih, nasakh, dan tasaqut.

Cara Penyelesaian Ta’arud Dalil


 1. Contoh Penyelesaian ta’arudh dengan metode al-jam’u wa al-taufiq
(menggabungkan dan mengkompromikan)
Surah Al-Baqarah (2): 234 menyebutkan:
َ‫ِإ َذا بَلَ ْغن‬--َ‫ف‬ ‫ ًرا‬---‫َش‬ ْ ‫ةَ َأ‬---‫َأ ْربَ َع‬  َّ‫ ِهن‬---‫س‬
ْ ‫ ُه ٍر َوع‬---‫ش‬ ِ ُ‫بَِأنف‬ ‫ن‬-َ ---‫ص‬ ً ‫َأ ْز َو‬  َ‫ َذ ُرون‬---َ‫ ِم ْن ُك ْم َوي‬  َ‫َوالَّ ِذيْنَ يُت ََوفَّ ْون‬
ْ َّ‫ ا يَت ََرب‬---‫اج‬
‫ َوهللا بِ َما تَ ْع َملُونَ َخبِي ٌر‬ ‫ف‬ ِ ‫بِا ْل َم ْع ُر ْو‬  َّ‫س ِهن‬ ِ ُ‫فِي َما فَ َع ْلنَ فِى َأنف‬ ‫اح َعلَ ْي ُك ْم‬َ َ‫فَالَ ُجن‬  َّ‫َأ َجلَ ُهن‬
Sedangkan dalam ayat 4 surah At-Thalaq (65): 4 menyebutkan:
ْ ُ‫ ِمنْ َأ ْم ِر ِه ي‬, ُ‫َّق هللاَ يَ ْج َع ْل لَّه‬
‫س ًرا‬ َ َ‫َوُأ ْولَتُ آَأْل ْح َما ِل َأ َجلُ ُهنَّ َأن ي‬
ِ ‫ضعْنَ َح ْملَ ُهنَّ َو َمنْ يَت‬
Ayat pertama tersebut di atas bersifat umum yaitu setiap perempuan yang
ditinggal mati suami baik hamil maupun tidak hamil wajib beriddah
selama empat bulan sepuluh hari. Dan ayat kedua tersebut juga bermakna
umum, yaitu setiap wanita hamil baik ditinggal mati suami atau bercerai
hidup wajib ber-iddah sampai melahirkan kandungannya.
Dengan demikian, antara dua ayat tersebut bila dilihat sepintas lalu
terdapat pertentangan mengenai iddah wanita hamil yang ditinggal mati
suami. Namun perbedaan itu seperti yang dikemukakan oleh Abdul
Karim Zaidan, dapat dikompromikan sehingga kedua ayat tersebut dapat
difungsikan. Kedua ayat tersebut bila dikompromikan, maka kesimpulan
yang diambil adalah bahwa iddah perempuan hamil yang kematian suami
adalah masa terpanjang dari dua bentuk iddah, yaitu sampai melahirkan
atau sampai empat bulan sepuluh hari. Artinya, jika perempuan itu
melahirkan sebelum sampai empat bulan sepuluh hari sejak suaminya
meninggal, maka iddahnya menunggu empat bulan sepuluh hari, dan jika
Institut Pembina Rohani Islam Jakarta
Mei-2023
Ta’arud Dalil
IPRIJA 2023

sampai empat bulan sepuluh hari perempuan itu belum juga melahirkan,
maka iddahnya sampai ia melahirkan kandungannya.
 2.  Contoh cara penyelesaian ta’arudh dengan metode al-nasakh
Surah Al-Baqarah (2): 180 menegaskan:
‫ا ً َعلَى‬-ّ‫ف َحق‬ َ ‫ن َواَأْل ْق‬-ِ ‫ َد ْي‬-ِ‫يَّةُ لِ ْل َوال‬-‫ص‬
ِ ‫ا ْل َم ْع ُر ْو‬--ِ‫ن ب‬-َ ‫ربِ ْي‬- َ ‫ض َر َأ َح َد ُك ُم ا ْل َم ْوتُ ِإن ت‬
ِ ‫ ًرا ا ْل َو‬-‫ركَ َخ ْي‬-َ َ ‫ب َعلَ ْي ُك ْم ِإ َذا َح‬
َ ِ‫ُكت‬
َ‫ا ْل ُمتَّقِيْن‬
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak,
berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (Ini
adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”
Ayat tersebut di nasakh oleh hadits Rasulullah saw.:
‫ا َم َح َّج ِة‬--‫ ِه َع‬-ِ‫و ُل فِي ُخ ْطبَت‬- ْ -ُ‫لَّ َم يَق‬-‫س‬
َ ‫ه َو‬-ِ -‫لَّى هللاُ َعلَ ْي‬-‫ص‬
َ ِ‫ ْو ُل هللا‬-‫س‬ َ : ‫ا َل‬--َ‫ا ِهلِ ِّي ق‬--َ‫عَنْ َأبِي ُأ َما َمةَ ا ْلب‬
ُ ‫ ِم ْعتُ َر‬-‫س‬
ٍ ‫صيَّةَ لِ َوا ِر‬
‫ث‬ ِ ‫ق َحقَّهُ فَاَل َو‬ ٍّ ‫َاع ِإنَ هللاَ قَ ْد َأ ْعطَى لِ ُك ِّل ِذي َح‬
ِ ‫ا ْل َود‬
“Dari Abu Umamah al-Bahili ia berkata, aku mendengar Rasulullah
saw. bersabda ketika khutbah haji wada’ “Sesungguhnya Allah telah
memberikan hak kepada setiap orang yang berhak, maka tidak ada
wasiat kepada ahli waris.” (HR. Tirmidzi)
3.  Contoh cara penyelesaian ta’arudh dengan metode tarjih
Hadits Rasulullah saw. berikut:
ُ‫ص ْو َم لَه‬ ْ ‫ َكانَ َأبُو ُه َر ْي َرةَ يَقُ ْو ُل َمنْ َأ‬: ‫ب قَا َل‬
َ ‫ فَاَل‬-‫صبَ َح ُجنُبًا‬ ٍ ‫عَنْ َع ْب ِد ال َّر ْح َم ِن ْب ِن َعتَّا‬
 “Dari Abdurrahman bin ‘Auf ia berkata, Adalah Abu Hurairah berkata
“Barangsiapa yang junub sapai tiba waktu subuh, maka tidaklah ada
puasa baginya,”(HR. Ahmad)
Sementara Aisyah meriwayatkan hadits:
‫ ِه‬-‫لَّى هللاُ َعلَ ْي‬-‫ص‬ ُ ‫انَ َر‬--‫ا َك‬--َ‫ا قَالَت‬--‫سلَّ َم َأنَّ ُه َم‬
َ ِ‫ ْو ُل هللا‬-‫س‬ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ‫شةَ َوُأ ِّم‬
َ ‫سلَ َمةَ َز ْو َج ِى النَّبِ ِّى‬ َ ِ‫عَنْ عَاى‬
‫ص ْو ُم‬ ُ
ُ َ‫ضانَ ث َّم ي‬ َ ‫احتِاَل ٍم فِى َر َم‬ َ
ْ ‫اع غ ْي ِر‬ ٍ ‫صبِ ُح ُجنُبًا ِمنْ ِج َم‬ ْ ُ‫سلَّ َم ي‬
َ ‫و‬.
َ
“Dari Aisyah dan Ummu Salamah istri Nabi Saw. bahwa keduanya
berkata “Rasulullah Saw. masih dalam keadaan junub, bukan karena
mimpi pada bulan Ramadhan, kemudian beliau berpuasa.” (HR.
Malik)

Institut Pembina Rohani Islam Jakarta


Mei-2023
Ta’arud Dalil
IPRIJA 2023

4.      Contoh penyelesaian ta’arudh dengan metode tasaquth al-dalilain


Firman Allah dalam surah Al-Muzammil (73): 20
َّ َ‫فَآ ْق َر ُءوا َما تَي‬
‫ن‬-ِ ‫س َر ِمنَ ا ْلقُ ْر َءا‬
“Maka Bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an
Sedangkan dalam surah Al-A’raf (7): 204 Allah swt. berfirman:
ِ ‫ َوَأ ْن‬,ُ‫ستَ ِم ُع ْوالَه‬
َ‫صتُو ْالَ َعلَّ ُك ْم ت ُْر َح ُم ْون‬ ْ ‫ان فَآ‬ َ ‫وَِإ َذا قُ ِر‬
-ُ ‫ىءا ْلقُ ْر َء‬
“Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan
perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.”
Ayat pertama secara umum, mewajibkan orang yang shalat, termasuk
makmum untuk membaca ayat-ayat Al-Quran yang mudah dibaca, sebab
konteks ayat tersebut berbicara dalam konteks shalat. Sedangkan ayat
kedua menegaskan kewajiban membaca Al-Quran, sebab yang
diperintahkan adalah mendengarkan dan memerhatikan bacaan imam
dalam shalat. Mengamalkan kedua ayat tersebut sekaligus tidak dapat
terlaksana dengan baik. Artinya membaca Al-Quran sambil
mendengarkan dan memerhatikan bacaan imam tidak dapat dilakukan
secara bersamaan. Dengan demikian, kedua ayat tersebut mengandung
makna umum yang saling bertentangan. Oleh karena itu cara yang
dilakukan adalah tawaqquf (tidak mengamalkan kedua dalil) sampai
ditemukan dalil lain yang menjelaskan masalah tersebut. Dalam hal ini
dicarikan penjelasannya pada hadits yang menjelaskan:
‫من صلى خلف اإلمام فإن قراءة اإلمام له قراءة‬
“Barangsiapa yang shalat di belakang imam, maka sesungguhnya bacaan
imam menjadi baginya”. (HR. Jama’ah)

Institut Pembina Rohani Islam Jakarta


Mei-2023
Ta’arud Dalil
IPRIJA 2023

Kesimpulan
Ta’arudl al-Adillaah dapat diartikan sebagai perlawanan antara kandungan
salah satu dari dua dalil yang sama derajatnya dengan kandungan dalil yang
lain yang mana salah satu diantara dua dalil tersebut menafikan hukum yang
ditunjuk oleh dalil yang lainnya. Ta’arudhul Adillah terjadi hika terdapat unsur-
unsur. Adapun cara penyelesaian yang dapat dilakukan terdapat dua pendapat,
yakni, menurut Hanafiyah yaitu nasakh, tarjih, al-jam’u wa al-taufiq, dan
tasaqut. Sedangkan menurut Syafiiyah yaitu al-jam’u wa al-taufiq, tarjih,
nasakh, dan tasaqut

Institut Pembina Rohani Islam Jakarta


Mei-2023
Ta’arud Dalil
IPRIJA 2023

DAFTAR PUSTAKA

 Dr. Mardani. Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers. 2013. Hlm 391
Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia. 2008. Hlm
209-210
Dr. Mardani. Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers. 2013. Hlm 392
Drs. Totok Jumantoro, M.A., dkk. Kamus Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah. 2009.
Hlm 313-314
Drs. Sapiudin Shidiq, M.A. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana. 2011. Hlm 234-236
Satria Efendi M. Zein, op. Cit., hlm. 240.
Dr. Mardani. Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers. 2013. Hlm 394-396

Institut Pembina Rohani Islam Jakarta


Mei-2023

Anda mungkin juga menyukai