Anda di halaman 1dari 5

Nama : Muhamad Faiza Nurul Padillah

Nim : 220311017

Tugas Agama tentang Tauhid

• Tauhid

Tauhid adalah ilmu yang membahas tentang Allah SWT yang Maha Esa. Karena, arti kata tauhid
adalah mengesakan, dengan dimaksud mengesakan Allah SWT adalah dzat-Nya, asma-Nya dan af’al-
Nya. Jadi, ilmu tauhid mempelajari bahwa Allah SWT adalah Esa, Tunggal, Satu.

Menurut Nahdlatul ulama (ahli Sunnah waljamaah)

Ilmu tauhid menurut Ahlussunnah wal Jama’ah harus dilandasi dalil dan argumentasi yang definitif
(qath’i) dari al-Qur’an, hadits, ijma’ ulama, dan argumentasi akal yang sehat. Imam al-Ghazali dalam
Ar-Risalah al-Laduniyyah mengatakan:
ْ ْ ْ ْ َ َّ َّ ‫ ث َّم ب َأ ْخ َبار‬،‫ف َه َذا ْالع ْلم َي َت َم َّس ُك ْو َن َأ َّو ال ب َآيات للا َت َع َال م َن ْالق ْرآن‬
‫ ث َّم بالدلئل ال َعقل َّية َوال ََ َباه ْي الق َياس َّية‬،‫الرس ْول‬ ْ ‫الن َظر‬
َّ َْ
‫ َوأهل‬.
ِ
“Ahli nadhar (nalar) dalam ilmu akidah ini pertama kali berpegangan pada ayat-ayat Al-Qur’an,
kemudian dengan hadits-hadits Rasul, dan terakhir pada dalil-dalil rasional dan argumentasi-
argumentasi analogis”.

Berikut adalah rincian dalil-dalil tersebut secara hirarkis:

1.Al Qur’an

Al-Qur’an al-Karim adalah pokok dari semua argumentasi dan dalil. Al-Qur’an adalah dalil yang
membuktikan kebenaran risalah Nabi Muhammad dan dalil yang membuktikan benar dan tidaknya
suatu ajaran. Al-Qur’an juga merupakan kitab Allah terakhir yang menegaskan pesan-pesan kitab-
kitab samawi sebelumnya. Allah memerintahkan dalam al-Qur’an agar kaum Muslimin senantiasa
mengembalikan persoalan yang diperselisihkan kepada Allah dan Rasul-Nya:

َّ ‫ش ْيءٍ ف َُردُّوهُ إِلَى هللاِ َو‬


.‫الرسُول‬ َ ‫فَإِ ْن تَنَازَ ْعتُ ْم فِي‬
Artinya: “Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya).” (QS. Al-Nisa’ : 59).

Mengembalikan persoalan kepada Allah, berarti mengembalikannya kepada Al-Qur’an. Sedangkan


mengembalikan persoalan kepada Rasul, berarti mengembalikannya kepada sunnah Rasul yang
shahih.

2.Hadits

Hadits adalah dasar kedua dalam penetapan akidah-akidah dalam Islam. Tetapi tidak semua hadits
dapat dijadikan dasar dalam menetapkan akidah. Hadits yang dapat dijadikan dasar dalam
menetapkan akidah adalah hadits yang perawinya disepakati, dan dapat dipercaya oleh para ulama.
Sedangkan hadits yang perawinya masih diperselisihkan oleh para ulama, tidak dapat dijadikan dasar
dalam menetapkan akidah sebagaimana kesepakatan para ulama ahli hadits dan fuqaha yang
mensucikan Allah dari menyerupai makhluk. Menurut mereka, dalam menetapkan akidah tidak
cukup didasarkan pada hadits yang diriwayatkan melalui jalur yang dha’if, meskipun diperkuat
dengan perawi yang lain.
Hadits yang dapat dijadikan dasar dalam menetapkan akidah adalah hadits mutawatir, yaitu hadits
yang mencapai peringkat tertinggi dalam keshahihan. Hadits mutawatir ialah hadits yang
disampaikan oleh sekelompok orang yang banyak dan berdasarkan penyaksian mereka serta sampai
kepada penerima hadits tersebut, baik penerima kedua maupun ketiga, melalui jalur kelompok yang
banyak pula. Hadits yang semacam ini tidak memberikan peluang terjadinya kebohongan. Di bawah
hadits mutawatir, adalah hadits masyhur. Hadits masyhur dapat dijadikan argumentasi dalam
menetapkan akidah karena dapat menghasilkan keyakinan sebagaimana halnya hadits mutawatir.
Hadits masyhur ialah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih dari generasi pertama
hingga generasi selanjutnya. Al-Imam Abu Hanifah dan pengikutnya menetapkan syarat bagi hadits
yang dapat dijadikan argumentasi dalam hal-hal akidah harus berupa hadits masyhur. Dalam risalah-
risalah yang ditulisnya dalam hal-hal akidah, Abu Hanifah membuat hujjah dengan sekitar empat
puluh hadits yang tergolong hadits masyhur. Risalah-risalah tersebut dihimpun oleh al-Imam
Kamaluddin al-Bayadhi al-Hanafi dalam kitabnya, Isyarat al-Maram min ‘Ibarat al-Imam. Sedangkan
hadits-hadits yang peringkatnya di bawah hadits masyhur, maka tidak dapat dijadikan argumentasi
dalam menetapkan sifat Allah.

3.Ijma’Ulama

Ijma’ ulama yang mengikuti ajaran Ahlul Haqq dapat dijadikan argumentasi dalam menetapkan
akidah. Dalam hal ini seperti dasar yang melandasi penetapan bahwa sifat-sifat Allah itu qadim (tidak
ada permulaannya) adalah ijma’ ulama yang qath’i. Dalam konteks ini, al-Imam al-Subki berkata
dalam kitabnya Syarh ‘Aqidah Ibn al-Hajib:

َ َ‫علَى هَذَا إِ ْج َماعُ الْ ُم ْس ِل ِميْنَ بَلْ كُ ِِّل الْ ِملَ ِل َو َم ْن خَال‬
‫ف فِ ْي هَذَا‬ َ ‫ َو‬،‫ِث‬ ٌ ‫ث فَإِذًا الْعَالَ ُم كُلُّهُ َحاد‬
ُ ‫اض كُ ِلِّ َها الْ ُحد ُْو‬
ِ ‫اِ ْعلَ ْم أَنَّ ُح ْك َم الْ َج َواه ِِر َواْألَع َْر‬
.‫ي‬ ْ ْ
َّ ‫فَ ُه َو كَاف ٌِر ِل ُمخَالَفَتِ ِه اْ ِإل ْج َماعَ القَط ِع‬
Artinya: “Ketahuilah sesungguhnya hukum jauhar dan ‘aradh (Jauhar adalah benda terkecil yang
tidak dapat terbagi lagi. Sedangkan ‘aradh adalah sifat benda yang keberadaannya harus menempati
benda lain) adalah baru. Oleh karena itu, semua unsur-unsur alam adalah baru. Hal ini telah menjadi
ijma’ kaum Muslimin, bahkan ijma’ seluruh penganut agama-agama (di luar Islam). Barangsiapa yang
menyalahi kesepakatan ini, maka dia dinyatakan kafir, karena telah menyalahi ijma’ yang qath’i.”

4.Akal

Dalam ayat-ayat al-Qur’an Allah Ta’ala telah mendorong hamba-hamba-Nya agar merenungkan
semua yang ada di alam jagad raya ini, agar dapat mengantar pada keyakinan tentang
kemahakuasaan Allah. Dalam konteks ini Allah berfirman:

ِ ْ‫ت َو ْاألَر‬
.‫ض‬ ِ ‫اوا‬ ِ ‫أَ َولَ ْم يَنْظُ ُروا فِي َملَكُو‬
َ ‫ت السَّ َم‬
Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi. (QS. Al-A’raf : 185).

Allah juga berfirman:

. ُّ‫ق َوفِي أَنْفُ ِس ِه ْم َحتَّ ٰى يَتَبَيَّنَ لَ ُه ْم أَنَّهُ الْ َحق‬


ِ ‫سن ُِري ِه ْم آيَاتِنَا فِي ْاْلفَا‬
َ
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan)Kami di segala wilayah bumi
dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa al-Qur’an itu adalah benar. (QS.
Fushshilat: 53).

Dalam membicarakan sifat-sifat Allah, sifat-sifat Nabi, paraMalaikat dan lain-lain, para ulama tauhid
tidak hanya bersandar pada penalaran akal semata. Mereka membicarakan hal tersebut
dalamkonteks membuktikan kebenaran semua yang disampaikan olehNabi dengan akal. Jadi,
menurut ulama tauhid, akal difungsikan sebagai sarana yang dapat membuktikan kebenaran syara’,
bukan sebagai dasar dalam menetapkan akidah-akidah dalam agama. Meski demikian, hasil
penalaran akal yang sehat tidak akan keluar dan tidak mungkin bertentangan dengan ajaran yang
dibawa oleh syara’.

Demikianlah faktanya bahwa masalah tauhid yang bersumber dari Quran dan Hadits itu juga
diperkuat dengan dalil-dalil aqli (rasional). Hal demikian setidak-tidaknya karena dengan dua tujuan.
Pertama, agar sesiapa yang menentang masalah tauhid itu agar dapat menerima dan segera
meyakininya, atau setidaknya menghentikan penentangannya tersebut. Mereka yang menentang ini
adalah kelompok anti Tuhan atau kelompok di luar Ahlussunnah wal Jama’ah yang cenderung
mempertanyakan dengan nada memojokkan. Kedua, agar mereka yang masih ragu-ragu dapat
segera hilang keraguannya, kemudian tumbuh dalam dirinya suatu keyakinan yang mantap.

Terkait dengan metode Ahlussunnah wal Jama’ah yang menggabungkan antara naql dengan akal
tersebut, para ulama memberikan perumpamaan berikut ini. Akal diumpamakan dengan mata yang
dapat melihat. Sedangkan dalil-dalil syara’ atau naql diumpamakan dengan Matahari yang dapat
menerangi. Orang yang hanya menggunakan akal tanpa menggunakan dalil-dalil syara’ seperti
halnya orang yang keluar pada waktu malam hari yang gelap gulita. Ia membuka matanya untuk
melihat apa yang ada di sekelilingnya, antara benda yang berwarna putih, hitam, hijau dan lain-lain.
Ia berusaha untuk melihat semuanya. Tetapi selamanya ia tidak akan dapat melihatnya, tanpa ada
Matahari yang dapat meneranginya, meskipun ia memiliki mata yang mampu melihat. Sedangkan
orang yang menggunakan dalil-dalil syara’ tanpa menggunakan akal, seperti halnya orang yang
keluar di siang hari dengan suasana terang benderang, tetapi dia tuna netra, atau memejamkan
matanya. Tentu saja ia tidak akan dapat melihat mana benda yang berwarna putih, hijau, merah dan
lain-lainnya. Ahlussunnah Wal-Jama’ah laksana orang yang dapat melihat dan keluar di siang hari
yang terang benderang, sehingga semuanya tampak kelihatan dengan nyata, dan akan selamat
dalam berjalan mencapai tujuan.

Menurut Muhammadiyah

“Muhammadiyah itu sistem akidah tauhidnya yaitu sistem kepercayaan etis, sehingga tauhid
berfungsi untuk kesejahteraan, kebahagiaan, dan kedamaian di dunia dan di akhirat”.

Akidah tauhid Muhammadiyah diajarkan dalam kerangka al-‘urwatul wutsqa. Wakil Ketua Majelis
Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Hamim Ilyas mengatakan bahwa al-‘urwatul wutsqa adalah
pegangan paling kuat dalam memeluk Islam sehingga menjadi pedoman penghayatan dan
pengalaman agama Islam.

Dalam Al-Quran terdapat dua ayat yang menyebutkan al-‘urwatul wutsqa dengan unsur-unsurnya
terdiri atas Iman, Islam, dan Ihsan yaitu QS. Al Baqarah ayat 256 dan Luqman ayat 22. Sedangkan
urut-urutan al-‘urwatul wutsqa dalam hadis terdapat di riwayat Muslim dari Sahabat Umar bin
Khattab yaitu Islam, kemudian Iman, dan Ihsan.

Hamim menjelaskan bahwa makna Islam berarti ketundukan untuk mewujudkan hidup baik di dunia
dan akhirat. Berdasarkan hadis riwayat Umar bin Khattab, ketundukan di sini berarti kepatuhan
dalam ibadah khusus (mahdlah), di antaranya: syahadat, salat, puasa, zakat, dan haji.

“Salat itu ibadah khusus puncak ketundukan yang menjadi pangkal moralitas publik menyebarkan
kedamaian, rahmat Allah dan berkat-Nya. Ini diambil dari makna salat diawali dengan takbir dan
diakhiri dengan salam, berarti penyebaran perdamaiannya luas termasuk dalam tempat kerja,”

Menurut wahabi/salafi
Salafi dan trilogi tauhidnya, tauhid Uluhiyah, Rububiyah, dan Al-Asma’ wa Sifat populer di media
sosial. Pemikiran tentang ketiga tauhid ini banyak dibahas oleh tokoh-tokoh salafi di berbagai
belahan dunia lewat media sosial mereka masing-masing.

Namun, dalam tauhid salafi/wahabi, mereka menyatakan bahwa, “Percaya kepada Allah swt sebagai
satu-satunya Dzat yang patut disembah” saja itu tidak cukup. Kaum Wahabi berpendapat bahwa
tauhid terbagi menjadi tiga bagian; tauhid Uluhiyyah, tauhid Rububiyyah, dan tauhid Asma wa Sifat.

1.Tauhid Rububiyah

Rububiyah adalah kata yang dinisbatkan kepada salah satu nama Allah Swt, yaitu ‘Rabb’. Nama ini
mempunyai beberapa arti antara lain: al-murabbi (pemelihara), an-nasir (penolong), al-malik
(pemilik), al-mushlih (yang memperbaiki), as-sayyid (tuan) dan al-wali (wali).

Dalam terminologi syari’at Islam, istilah tauhid rububiyah berarti: “percaya bahwa hanya Allah-lah
satu-satunya pencipta, pemilik, pengendali alam raya yang dengan takdir-Nya ia menghidupkan dan
mematikan serta mengendalikan alam dengan sunnah-sunnah-Nya”, dilansir dari Pengantar Studi
Aqidah Islam oleh Muhammad Ibrahim Bin Abdullah Al-Buraikan.

Tauhid rububiyah mencakup dimensi-dimensi keimanan berikut ini;

Beriman kepada perbuatan-perbuatan Allah yang bersifat umum. Misalnya, menciptakan, memberi
rizki, menghidupkan, mematikan, menguasai.

Beriman kepada takdir Allah.

Beriman kepada zat Allah.

2.Tauhid Uluhiyah

Kata Uluhiyah diambil dari akar kata ‘ilah’ yang berarti ‘yang disembah’ dan ‘yang ditaati’. Karena ini
digunakan untuk menyebut sembahan yang hak dan yang batil. Pemakaian kata lebih dominan
digunakan untuk menyebut sembahan yang hak sehingga maknanya berubah menjadi: Dzat yang
disembah sebagai bukti kecintaan, penggunaan, dan pengakuan atas kebesaran-Nya.

Dengan demikian kata ilah mengandung dua makna: pertama adalah ibadah; kedua adalah ketaatan,
dikutip dari buku Filsafat Pendidikan Islam oleh Hasan Basri.Pengertian tauhid Uluhiyah dalam
terminologi syari’at Islam sebenarnya tidak keluar dari kedua makna tersebut. Maka definisinya
adalah: “Mengesakan Allah dalam ibadah dan ketaatan”.

Oleh sebab itu realisasi yang benar dari tauhid uluhiyah hanya bisa terjadi dengan dua dasar;
Pertama, memberikan semua bentuk ibadah hanya kepada Allah SWT, semata tanpa adanya sekutu
yang lain. Kedua, hendaklah semua ibadah itu sesuai dengan perintah Allah dan meninggalkan
larangan-Nya melakukan maksiat.

3.Tauhid Asma’Wash-shifat

Tauhid al-asma wa ash-shifat artinya pengakuan dan kesaksian yang tegas atas semua nama dan
sifat Allah yang sempurna, masih dikutip dari buku Pengantar Studi Aqidah Islam oleh Muhammad
Ibrahim Bin Abdullah Al-Buraikan.

Allah Swt menetapkan sifat-sifat bagi diri-Nya secara rinci. Yaitu dengan menyebut bagian-bagian
kesempurnaan itu satu persatu. Menetapkan sifat mendengar dan melihat bagi diri-Nya sendiri.
Tetapi Allah SWT juga menafikan sifat-sifat kekurangan dari diri-Nya. Hanya saja penafikan itu
bersifat umum.

Artinya, Allah SWT menafikan semua bentuk sifat kekurangan bagi dirinya yang bertentangan
dengan kesempurnaan-Nya secara umum tanpa merinci satuan-satuan dari sifat-sifat kekurangan
tersebut. Terkadang memang terjadi sebaliknya, yaitu bahwa Allah SWT menetapkan sifat-sifat bagi
dari-Nya secara global dan merinci sifat-sifat kekurangan yang ingin dinafikan.

Anda mungkin juga menyukai