Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

Perceraian adalah perkara halal yang paling dibenci oleh Allah SWT. Perceraian
dipilih ketika dibutuhkan saja, yaitu apabila mempertahankan pernikahan akan
mengakibatkan mudharat yang lebih besar. Jika tidak sangat diperlukan, perceraian menjadi
makruh.
Syariat Islam memberikan jalan keluar bagi pasangan suami istri ketika mereka tidak
lagi merasakan ketenangan dan kebahagiaan dalam keluarganya. Baik dalam bentuk cerai
(talak) maupun dalam bentuk cerai gugat (khuluk), sebagai jalan keluar bagi istri yang tidak
memungkinkan lagi untuk tinggal bersama suami. Meskipun begitu, perceraian dalam bentuk
talak maupun khuluk, keduanya harus dilakukan dengan aturan yang telah ditetapkan oleh
syariat.
Khuluk atau talak tebus adalah talak yang diucapkan oleh suami dengan pembayaran
dari pihak istri kepada suami. Khuluk terjadi dari kehendak atau kemauan dari pihak istri.
Permintaan cerai dari pihak istri adalah perbuatan yang sangat buruk. Agama Islam
melarangnya dengan menyertakan ancaman bagi pelakunya, jika tanpa ada alasan yang
dibenarkan.
Pemutusan hubungan perkawinan dengan cara khuluk merupakan keistimewaan dari
hukum Islam, karena sebelum Islam, istri dalam praktiknya tidak mempunyai hak untuk
minta diceraikan. Khuluk jika dilakukan dengan alasan yang benar, yakni demi kebaikan diri
dan agama, memang diperbolehkan atas seorang istri. Namun khuluk yang tidak disertai
dengan alasan yang dibenarkan secara syar’i, maka hal itu mendapat peringatan keras dan
kecaman dari Rasulullah saw.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hadis-Hadis mengenai Khuluk


1.
َ‫عَنََابَنََعَبَاسََقَالََجَاءَتََامَرَأَةََثَابَتََبَنََقَيَسََبَنََشَمَاسََالىَرَسَولََهللاَصلىَهللاَعليهَوسلم‬
ََ‫َفَقَال‬،َ‫َولَكنيَأكرهََالَكَفَرَفَيَالَسَلَم‬،‫َيَاَرَسَولََهللَإنَيَماَأعتبَعليهَفيَخَلَقََوَلَدين‬:َ‫فَقَالَت‬
َ‫َفَقَالََرَسَولََهللاَصلىَهللا‬،َ‫نعَم‬:َ‫َقَالَت‬،‫َأَتَرَدَيَنََعَلَيَهََحَدَيَقَتَةَ؟‬:‫رَسَولَهللاَصلىَهللاَعليهَوسلم‬
1
)‫َ(رواهَالبخاريَوالنسائي‬.َ‫َاَقَبَلََالَحَدَيَقَةََوَطَلَقَهَاَتَطَلَقَة‬:‫عليهَوسلم‬
Artinya:
Dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Istrinya Tsabit bin Qais bin Syammas datang kepada
Rasulullah saw. lalu berkata: ‘Ya Rasulullah, sesungguhnya saya tidak mencela dia
(suaminya) di dalam masalah akhlak atau agamanya, tetapi saya tidak menyenangi
kekufuran di dalam Islam’. Rasulullah saw. bertanya: ‘Maukah kamu mengembalikan
kebunnya kepadanya?’ Perempuan itu menjawab: ‘Mau’. Maka Rasulullah saw.
bersabda (kepada Tsabit): ‘Terimalah kebunmu itu dan talaklah istrimu dengan talak
satu’.” (HR. Bukhari dan Nasa-iy).2
2.
َ‫َوَهللاََمَاَأعَتَبََعَلى‬:َ‫َأَنََجَمَيَلَةََبَنَتَسَلَولَأَتَتََالنَبَيََصلىَهللاَعليهَوسلمَفَقَالَت‬:َ‫وَعَنََابَنََعَبَاس‬
َ‫َفَقَالََلَهَاَالنَبَيََصلىَهللا‬،‫ََلَاَطَيَقَهََبَغَضَا‬،َ‫َوَلَكَنَيَأَكَرَهََالَكَفَرََفَيَالَسَلَم‬،َ‫ثَابَتََفيَدَيَنََوََلََخَلَق‬
َ‫َفَاَمَرَهََرَسَولََهللاَصلىَهللاَعليهَوسلمَأَنََيَأَخَذََمَنَهَا‬،َ‫َنعَم‬:َ‫َقَالَت‬،‫َأَتَرَدَيَنََعَلَيَهََحَدَيَقَتَهَ؟‬:‫عليهَوسلم‬
3
)‫َ(رواهَابنَماجه‬.‫حَدَيقَتهََوََلََيَزدَاد‬
Artinya:
Dari Ibnu Abbas, bahwa Jamilah binti Salul datang kepada Nabi saw. lalu berkata:
“Demi Allah, saya tidak mencela Tsabit mengenai agama dan akhlaknya, tetapi saya
tidak menyukai kekufuran di dalam Islam, saya tidak kuat menahan benci
kepadanya.” Nabi saw. bertanya kepadanya: “Maukah kamu mengembalikan

1
Muhammad bin Ali Asy Syaukani, Nailul al-Authar (Saudi Arabia: Darul Ibnu al Jauzi, 1427 H/2006
M) hlm. 444
2
Al Imam Muhammad Asy Syaukani, Terjemah Nailul Authar Jilid VII, terj. Adib Bishri Mustafa
(Semarang: CV. Asy Syifa’, 1994), hlm. 68
3
Muhammad bin Ali Asy Syaukani, op. cit., hlm. 444

2
kebunnya?” Jamilah menjawab: “Mau”. maka Rasulullah saw. menyuruh Tsabit agar
mengambil kebunnya dari Jamilah dan tidak minta tambahan. (HR. Ibnu Majah).4
3.
ََ‫َأنَثابتَبنَقيسَبنَشماسَضرَبَامرأتهَفكسرَيدهاَوهيَجَمَيَلَةََبَنَت‬:‫وعنَالربيعَبنتَمعوذ‬
َ‫َفأرسلَرسولَهللاَصلى‬،‫َفاتىَأخوهاَيشتكيهَإلىَرسولَهللاَصلىَهللاَعليهَوسلم‬،َ‫عَبَدََهللاََبَنََاَبَي‬
َ‫َفَأَمَرَهَاَرَسَولََهللا‬،‫َنعم‬:‫َقال‬،‫َخذَالذَيَلهاَعليكَوخلَسبيلها؟‬:‫َفقالَله‬،‫هللاَعليهَوسلمَإلىَثابت‬
5
)‫َ(رواهَالنسائي‬.‫صلىَهللاَعليهَوسلمَأنَتتربصَحيضةَواحدةَوتلحقََبأحلها‬

Artinya:
Dari Rubayyi’ binti Muawwiz, bahwa Tsabit bin Qais bin Syammas memukul istrinya
Jamilah binti Ubaiy sehingga tangannya patah, kemudian saudaranya Jamilah datang
kepada Rasulullah saw. untuk mengadu. Maka Rasulullah saw. mengutus seseorang
kepada Tsabit, lalu beliau bersabda kepadanya: “Ambillah apa yang telah kamu
berikan kepadanya dan lepaskanlah dia.” Tsabit berkata: “Baiklah”. Kemudian
Rasulullah saw. menyuruh Jamilah supaya menunggu haid satu kali dan kembali
kepada keluarganya. (HR. Nasa-iy)6

4.
َ‫َفَأَمَرَهَاَالنَبَيََصلىَهللاَعليهَوسلم‬،‫َأنَامرأةَثابتََبَنََقَيَسََاخَتَلَعَتََمَنََزوخها‬:‫وعنَابنَعباس‬
7
)‫َحديثَحسنَغريب‬:‫َ(رواهَأبوَداودَوالترمذيَوقال‬.َ‫أنََتَغَتَدََبَحَيَضَة‬

Artinya:
Dari Ibnu Abbas: bahwa Istrinya Tsabit bin Qais menebus talak dari suaminya lalu
Nabi saw. menyuruhnya supaya beridah sekali haid. (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi,
dan ia berkata: Hadits ini Hasan Gharib)8

Dalam hadits di atas, pertanyataan dari istri Tsabit bin Qais yang mengatakan bahwa
“Saya tidak mencela dia (suaminya) di dalam masalah akhlak atau agamanya, tetapi saya
tidak menyenangi kekufuran di dalam Islam”, dapat dimaknai bahwa istri Tsabit bin Qais

4
Al Imam Muhammad Asy Syaukani, op. cit., hlm. 69
5
Muhammad bin Ali Asy Syaukani, op. cit., hlm. 444-445
6
Al Imam Muhammad Asy Syaukani, op. cit., hlm. 69-70
7
Muhammad bin Ali Asy Syaukani, op. cit., hlm. 445
8
Al Imam Muhammad Asy Syaukani, op. cit., hlm. 70

3
takut apabila muncul darinya sikap pengingkaran kepada suami berupa membenci, durhaka,
dan tidak menegakkan ketentuan-ketentuan Allah yang menafikan akhlak Islam dan perintah-
perintah-Nya sedangkan ia adalah seorang wanita muslimah. Karenanya, ia tidak menyukai
hal (kufur) itu. Ia mengatakan kata-kata dan menunjukkan ketakutan tersebut, karena ia
adalah seorang wanita tercantik di samping berpegang teguh dengan agama. Adapun Tsabit
adalah orang yang berpostur pendek, berwajah buruk, berkulit sangat hitam, di samping itu ia
juga bertabiat kasar, suka memukul istri dengan keras. Hal tersebut dapat diketahui dalam
hadits di atas bahwa ia telah memukul istrinya dengan pukulan yang membuat tangannya
patah, sehingga memunculkan perasaan tidak suka kepada suaminya.
Dalam hadits tersebut di atas juga menyebutkan kalimat “Terimalah kebunmu itu dan
talaklah istrimu dengan talak satu”. Hal ini menunjukkan bahwa dalam khuluk penjatuhan
talak terjadi setelah wanita menebus dirinya. Jika laki-laki telah menerima tebusan yang
diberikan wanita untuk bercerai, maka terjadilah perceraian.
Dalam hadits tersebut mengatakan bahwa Nabi saw. memerintahkan beriddah dengan
satu kali haid, sedangkan iddah talak adalah dengan tiga kali haid. Adapun perintah Nabi
saw. untuk mentalaknya hanya secara lafalnya saja, akan tetapi pada hakikatnya khuluk
adalah fasakh (pembatalan) pernikahan. 9 Apabila seorang istri telah menebus dirinya dan
kemudian berpisah dari suaminya, maka istri lebih berwenang atas dirinya dan tidak ada hak
lagi bagi suami untuk rujuk. Dan perpisahan yang terjadi karena khuluk tidak dianggap
sebagai talak, akan tetapi hukumnya adalah fasakh (rusak) dalam pernikahan, sehingga dalam
khuluk tidak ada rujuk.10

9
Al Hafiz Ibnu Hajar Al-Asqalani, Syarah Bulughul Maram, terj. Abu Abdirrahman Ahmad dan
Ahmad Saikhu (Surabaya: Pustaka eLBA, 2016), hlm. 556
10
Hamdan Rasyid dan Saiful Hadi El-Sutha, Panduan Muslim Sehari-hari: Dari Lahir Sampai Mati
(Jakarta: WahyuQolbu, 2016), hlm. 721

4
B. Ayat-ayat Al-Qur’an mengenai Khuluk
1. Surat Al-Baqarah (2) Ayat 229
ََ‫اَلطَلَقََمَرَتنََفَاَمَسَاكََبَمَعرَفََاَوَتَسَرَيَحََبَاَحَسَانََوََلََيَحَلََلَكَمََاَنََتَأََخَذَوَاَمَمَآَاتَيَتَمَوَهَنََشَيَئَاَاَّل‬
ََ‫اَنََيَخَافَآَاََلََيَقَيَمَاَحَدَوَدََهللاََفَاَنََخَفَتَمََاََلََيَقَيَمَاَحَدَوَدََهللاََفَلََجَناحََعَلَيَهَمَاَفَيَمَاَافَتَدَتََبَهَتَلَكََحَدَوَد‬
َ.َ‫هللاََفَلََتَعَتَدَوَهَاَوَمَنََيَتَعَدََحَدَوَدََهللاََفَاَولئَكََهَمََالظَلَمَوَن‬
Artinya:
Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan dengan
baik, atau melepaskan dengan baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali
sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali keduanya (suami dan istri)
khawatir tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu (wali) khawatir
bahwa keduanya tidak mampu menjalankan hukum Allah, maka keduanya tidak
berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan (oleh istri) untuk menebus dirinya. Itulah
hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Siapa yang melanggar
hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang zalim.

Dalam Surat Al-Baqarah (2) Ayat 229َ tersebut, menjelaskan tentang disyari’atkannya
talak secara berurutan. Namun di tengah ayat tersebut, terdapat syariat lain yaitu khuluk. Hal
ini dijelaskan pada penggalan ayat berikut;
‫اّلَانَيخافآَاَلَيقيماَحدودَهللاَفانَخفتمَاَلَيَقيماَحدودَهللاَفلَجناحَعليهماَفيماَافتدتَبَه‬

Pada penggalan pertama ayat ini, dijelaskan bahwa adanya anjuran untukَmelakukan
dengan ihsān (baik) ketika seorang laki-laki harus memilih untuk melakukan tasrīh
(melepaskan sesuatu) 11 . Bentuk kebaikan dari konsekuensi talak adalah dengan tidak
mengambil apapun yang pernah diberikan oleh seorang laki-laki kepada istrinya. Kemudian
dipisah dengan adanya huruf istitsna’ (illā) yang berfaedah pengecualian. Yang kemudian
memberi arti tentang iwadl (harta tebusan/ganti rugi), seorang suami menjadi boleh menerima
harta yang pernah diberikan kepada istrinya, sebagai konsekuensi disyariatkannya khuluk.
Dan penekanan tentang berlakunya ‘iwadl dalam khuluk.12

11
Tasrīh bermakna melepaskan sesuatu bukan untuk mengembalikan adalah berbeda dengan makna
Thalāq (melepaskan sesuatu dengan harapan dapat mengembalikannya. Tasrīh adalah perceraian yang
disertai dengan keengganan untuk melanjutkan kehidupan rumah tangga di masa mendatang. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Mishbāh: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002)
Vol.1, hlm. 598.
12
Af’idah, Indana, “Ketidak-berlakuan Iwadl dalam Praktik Khulu’ (Tafsir Ayat-ayat Khulu’)”, Jurnal
An-Nuha 3, 1 (Juli 2016), hlm. 133-134

5
Para ulama fiqh membagi hukum khuluk ke dalam lima keadaan. Di antaranya adalah
sebagai berikut:13
1. Mubah (dibolehkan), yaitu jika seorang istri tidak suka untuk tetap tinggal bersama
suaminya karena akhlak buruk atau fisik jelek si suami. Hal ini dikarenakan si istri
khawatir tidak dapat menunaikan hak terhadap suaminya dan tidak dapat mewujudkan
ketaatan kepada Allah Swt.
2. Haram. Khuluk hukumnya haram dalam dua keadaan. Pertama, suami sengaja
menyusahkan sang istri dan tidak memberikan hak-haknya dan sejenisnya agar sang
istri membayar kepadanya tebusan dengan jalan gugat cerai. Kedua, yaitu apabila istri
meminta cerai, padahal hubungan rumah tangganya baik, tidak terjadi perselisihan
dan pertengkaran di antara pasangan suami istri, serta tidak ada alasan syar’i yang
membenarkan adanya khuluk.
3. Dianjurkan, yaitu jika suami meremehkan hak-hak Allah SWT.
4. Wajib, yaitu jika suami yang tidak pernah melakukan shalat, padahal telah diingatkan.
Demikian juga, jika sang suami memiliki keyakinan yang berpotensi menjadikannya
keluar dari Islam.

13
Hambali, Muh, Panduan Muslim Kaffah Sehari-hari: Dari Kandungan Hingga Kematian
(Yogyakarta: Laksana, 2017), hlm. 457-458

6
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Tujuan dari kebolehan khuluk yaitu untuk menghindarkan istri dari kesulitan dan
kemudharatan yang dirasakannya bila perkawinan dilanjutkan tanpa merugikan pihak suami.
Hal ini karena suami sudah mendapatkan ganti rugi (‘iwadh) dari istrinya atas permintaan
cerai dari istrinya tersebut. Adapun hikmah dari khuluk adalah adanya keadilan Allah SWT
dalam hak suami istri yaitu bila suami berhak melepaskan diri dari istriya dengan
menggunakan talak, istri juga mempunyai hak dan kesempatan bercerai dengan
menggunakan khuluk.
Para ulama fiqh membagi hukum khuluk ke dalam lima keadaan. Di antaranya adalah
sebagai berikut:
1. Mubah (dibolehkan), yaitu jika seorang istri tidak suka untuk tetap tinggal
bersama suaminya karena akhlak buruk atau fisik jelek si suami. Hal ini
dikarenakan si istri khawatir tidak dapat menunaikan hak terhadap suaminya dan
tidak dapat mewujudkan ketaatan kepada Allah Swt.
2. Haram. Khuluk hukumnya haram dalam dua keadaan. Pertama, suami sengaja
menyusahkan sang istri dan tidak memberikan hak-haknya dan sejenisnya agar
sang istri membayar kepadanya tebusan dengan jalan gugat cerai. Kedua, yaitu
apabila istri meminta cerai, padahal hubungan rumah tangganya baik, tidak terjadi
perselisihan dan pertengkaran di antara pasangan suami istri, serta tidak ada alasan
syar’i yang membenarkan adanya khuluk.
3. Dianjurkan, yaitu jika suami meremehkan hak-hak Allah SWT.
4. Wajib, yaitu jika suami yang tidak pernah melakukan shalat, padahal telah
diingatkan. Demikian juga, jika sang suami memiliki keyakinan yang berpotensi
menjadikannya keluar dari Islam.

7
DAFTAR PUSTAKA

Af’idah, Indana. “Ketidak-berlakuan Iwadl dalam Praktik Khulu’ (Tafsir Ayat-ayat Khulu’)”.
Jurnal An-Nuha 3, 1 (Juli 2016): 123-138
Al-‘Asqalani, Al-Hafiz Ibnu Hajar. Syarah Bulughul Maram. Diterjemahkan oleh Abu
Abdirrahman Ahmad dan Ahmad Saikhu. Surabaya: Pustaka eLBA, 2016
__________, Terjemah Bulughul Maram: Kumpulan Hadits dan Sunnah Rasulullah
Muhammad saw. Diterjemahkan oleh Hamim Thohari Ibnu M. Dailimi. Lebanon: Dar
al-Kotob al-Ilmiyah, 2015
Asy Syaukani, Al Imam Muhammad. Terjemah Nailul Authar Jilid VII. Diterjemahkan oleh
Adib Bishri Mustafa. Semarang: CV. Asy Syifa’, 1994
__________, Nailul al-Authar. Saudi Arabia: Darul Ibnu al Jauzi, 1427 H/2006 M
Hambali, Muh. Panduan Muslim Kaffah Sehari-hari: Dari Kandungan Hingga Kematian.
Yogyakarta: Laksana, 2017
Hatta, Ahmad. Tafsir Qur’an Per Kata: Dilengkapi dengan Asbabun Nuzul & Teremah.
Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2011
Rasyid, Hamdan dan Saiful Hadi El-Sutha. Panduan Muslim Sehari-hari: Dari Lahir Sampai
Mati. Jakarta: WahyuQolbu, 2016
Rusyd, Ibnu. Bidayatul Mujtahid. Jakarta: Pustaka Azzam, 2011
Shihab, Quraish. Tafsir Al-Mishbāh: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta:
Lentera Hati, 2002. Vol.1
Syaifuddin, Muhammad dkk., Hukum Perceraian. Jakarta: Sinar Grafika, 2019
__________ dan Sri Turatmiyah. “Perlindungan Hukum terhadap Perempuan dalam Proses
Gugat Cerai (Khulu’) Di Pengadilan Agama Palembang”. Jurnal Dinamika Hukum
12, 2 (Mei 2012): 248-260

Anda mungkin juga menyukai