Anda di halaman 1dari 5

Antara Tawakkal dan Usaha Mencari Rizki

yang Halal
Syariat Islam yang agung sangat menganjurkan kaum muslimin untuk melakukan usaha halal yang
bermanfaat untuk kehidupan mereka, dengan tetap menekankan kewajiban utama untuk selalu
bertawakal (bersandar/berserah diri) dan meminta pertolongan kepada Allah Ta’ala dalam semua
usaha yang mereka lakukan.

Allah Ta’ala berfirman,

َ ‫ض َوا ْبتَ ُغوا ِم ْن فَضْ ِل هَّللا ِ َو ْاذ ُكرُوا هَّللا‬


ِ ْ‫صاَل ةُ فَا ْنتَ ِشرُوا فِي اَأْلر‬
َّ ‫ت ال‬
ِ َ‫ضي‬ ِ ُ‫{فَِإ َذا ق‬
َ ‫َكثِيرًا لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِح‬
G}‫ُون‬
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi (untuk mencari rezki dan
usaha yang halal) dan carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu
beruntung” (QS al-Jumu’ah:10).

Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman,

َ ِ‫ت فَتَ َو َّكلْ َعلَى هَّللا ِ ِإ َّن هَّللا َ ي ُِحبُّ ْال ُمتَ َو ِّكل‬
}‫ين‬ َ ‫{فَِإ َذا َع َز ْم‬
“Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah,
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal (kepada-Nya)” (QS Ali ‘Imraan:159).

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ َوفِى ُكلٍّ َخ ْي ٌر‬،‫يف‬ َّ ‫“ال ُمْؤ ِم ُن ْالقَ ِويُّ َخ ْي ٌر َوَأ َحبُّ ِإلَى هَّللا ِ ِم َن ْال ُمْؤ ِم ِن ال‬
ِ ‫ض ِع‬ ْ
”‫ْج ْز‬ ِ ‫ك َوا ْستَ ِع ْن بِاهَّلل ِ َوالَ تَع‬ َ ‫احْ ِرصْ َعلَى َما يَ ْنفَ ُع‬
“Orang mukmin yang kuat (dalam iman dan tekadnya) lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah
daripada orang mukmin yang lemah, dan masing-masing (dari keduanya) memiliki kebaikan,
bersemangatlah (melakukan) hal-hal yang bermanfaat bagimu dan mintalah (selalu) pertolongan
kepada Allah, serta janganlah (bersikap) lemah…”[1].
Makna Tawakkal yang Hakiki
Imam Ibnu Rajab al-Hambali berkata, “Tawakkal yang hakiki adalah penyandaran hati yang
sebenarnya kepada Allah Ta’ala dalam meraih berbagai kemaslahatan (kebaikan) dan menghindari
semua bahaya, dalam semua urusan dunia maupun akhirat, menyerahkan semua urusan kepadanya
dan meyakini dengan sebenar-benarnya bahwa tidak ada yang dapat memberi, menghalangi,
mendatangkan bahaya serta memberikan manfaat kecuali Allah (semata)”[2].

Tawakkal adalah termasuk amal yang agung dan kedudukan yang sangat tinggi dalam agama Islam,
bahkan kesempurnaan iman dan tauhid dalam semua jenisnya tidak akan dicapai kecuali dengan
menyempurnakan tawakal kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,

}‫ب ال ِإلَهَ ِإال هُ َو فَاتَّ ِخ ْذهُ َو ِكيال‬


ِ ‫ق َو ْال َم ْغ ِر‬
ِ ‫{ربَّ ْال َم ْش ِر‬
َ
“(Dia-lah) Rabb masyrik (wilayah timur) dan maghrib (wilayah barat), tiada Ilah (yang berhak
disembah) melainkan Dia, maka ambillah Dia sebagai pelindung” (QS al-Muzzammil:9)[3].

Merealisasikan tawakkal yang hakiki adalah sebab utama turunnya pertolongan dari Allah Ta’ala
bagi seorang hamba dengan Dia mencukupi semua keperluan dan urusannya. Allah Ta’ala
berfirman,

ُ ‫ َويَرْ ُز ْقهُ ِم ْن َحي‬.‫ق هَّللا َ يَجْ َعلْ لَهُ َم ْخ َرجًا‬


ْ‫ َو َم ْن يَتَ َو َّكل‬، ُ‫ْث اَل يَحْ تَ ِسب‬ ِ َّ‫{و َم ْن يَت‬
َ
}ُ‫َعلَى هَّللا ِ فَهُ َو َح ْسبُه‬
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan baginya jalan ke luar
(bagi semua urusannya). Dan memberinya rezki dari arah yang tidada disangka-sangkanya. Dan
barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (segala
keperluan)nya” (QS ath-Thalaaq:2-3).

Artinya: Barangsiapa yang percaya kepada Allah dalam menyerahkan (semua) urusan kepada-Nya
maka Dia akan mencukupi (segala) keperluannya[4].

Salah seorang ulama salaf berkata: “Cukuplah bagimu untuk melakukan tawassul (sebab yang
disyariatkan untuk mendekatkan diri) kepada Allah adalah dengan Dia mengetahui (adanya) tawakal
yang benar kepada-Nya dalam hatimu, berapa banyak hamba-Nya yang memasrahkan urusannya
kepada-Nya, maka Diapun mencukupi (semua) keperluan hamba tersebut”. Kemudian ulama ini
membaca ayat tersebut di atas[5].
Usaha yang Halal Tidak Bertentangan dengan
Tawakkal
Di sisi lain, agama Islam sangat menganjurkan dan menekankan keutamaan berusaha mencari rezki
yang halal untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
secara khusus menyebutkan keutamaan ini dalam sabda beliau r:

‫ب َما َأ َك َل ال َّر ُج ُل ِم ْن َك ْسبِ ِه‬ ْ ‫ِإ َّن َأ‬


َ َ‫طي‬
“Sungguh sebaik-baik rizki yang dimakan oleh seorang laki-laki adalah dari usahanya sendiri (yang
halal)” [6].

Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan bersungguh-sungguh mencari usaha yang
halal dan bahwa usaha mencari rezki yang paling utama adalah usaha yang dilakukan seseorang
dengan tangannya sendiri[7].

Berdasarkan ini semua, maka merealisasikan tawakal yang hakiki sama sekali tidak bertentangan
dengan usaha mencari rezki yang halal, bahkan ketidakmauan melakukan usaha yang halal
merupakan pelanggaran terhadap syariat Allah Ta’ala, yang ini justru menyebabkan rusaknya
tawakal seseorang kepada Allah.

Oleh karena itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan kesempurnaan tawakal
yang tidak mungkin lepas dari usaha melakukan sebab yang halal, dalam sabda beliau,

“Seandainya kalian bertawakal pada Allah dengan tawakal yang sebenarnya, maka sungguh Dia
akan melimpahkan rezki kepada kalian, sebagaimana Dia melimpahkan rezki kepada burung yang
pergi (mencari makan) di pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan
kenyang”[8].

Imam al-Munawi ketika menjelaskan makna hadits ini, beliau berkata: “Artinya: burung itu pergi di
pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali waktu petang dalam keadaan perutnya telah penuh
(kenyang). Namun, melakukan usaha (sebab) bukanlah ini yang mendatangkan rezki (dengan
sendirinya), karena yang melimpahkan rezki adalah Allah Ta’ala (semata).

Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan bahwa tawakal (yang
sebenarnya) bukanlah berarti bermalas-malasan dan enggan melakukan usaha (untuk mendapatkan
rezki), bahkan (tawakal yang benar) harus dengan melakukan (berbagai) macam sebab (yang
dihalalkan untuk mendapatkan rezki).

Oleh karena itu, Imam Ahmad (ketika mengomentari hadits ini) berkata: “Hadits ini tidak
menunjukkan larangan melakukan usaha (sebab), bahkan (sebaliknya) menunjukkan (kewajiban)
mencari rezki (yang halal), karena makna hadits ini adalah: kalau manusia bertawakal kepada Allah
ketika mereka pergi (untuk mencari rezki), ketika kembali, dan ketika mereka mengerjakan semua
aktifitas mereka, dengan mereka meyakini bahwa semua kebaikan ada di tangan-Nya, maka pasti
mereka akan kembali dalam keadaan selamat dan mendapatkan limpahan rezki (dari-Nya),
sebagaimana keadaan burung”[9].
Imam Ibnu Rajab memaparkan hal ini secara lebih jelas dalam ucapannya: “Ketahuilah bahwa
sesungguhnya merealisasikan tawakal tidaklah bertentangan dengan usaha untuk (melakukan) sebab
yang dengannya Allah Ta’ala menakdirkan ketentuan-ketentuan (di alam semesta), dan (ini
merupakan) ketetapan-Nya yang berlaku pada semua makhluk-Nya. Karena Allah Ta’ala
memerintahkan (kepada manusia) untuk melakukan sebab (usaha) sebagaimana Dia memerintahkan
untuk bertawakal (kepada-Nya), maka usaha untuk melakukan sebab (yang halal) dengan anggota
badan adalah (bentuk) ketaatan kepada-Nya, sebagaimana bertawakal kepada-Nya dengan hati
adalah (perwujudan) iman kepada-Nya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

}‫ين آ َمنُوا ُخ ُذوا ِح ْذ َر ُك ْم‬


Gَ ‫{يَا َأيُّهَا الَّ ِذ‬
“Hai orang-orang yang beriman, bersiapsiagalah kamu” (QS an-Nisaa’:71).

Dan firman-Nya,

G}‫اط ْال َخي ِْل‬


ِ َ‫{ َوَأ ِع ُّدوا لَهُ ْم َما ا ْستَطَ ْعتُ ْم ِم ْن قُ َّو ٍة َو ِم ْن ِرب‬
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-
kuda yang ditambat untuk berperang” (QS al-Anfaal:60).

Juga firman-Nya,

َ ‫ض َوا ْبتَ ُغوا ِم ْن فَضْ ِل هَّللا ِ َو ْاذ ُكرُوا هَّللا‬


ِ ْ‫صاَل ةُ فَا ْنتَ ِشرُوا فِي اَأْلر‬
َّ ‫ت ال‬ ِ ُ‫{فَِإ َذا ق‬
ِ َ‫ضي‬
}‫ُون‬َ ‫َكثِيرًا لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِح‬
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi (untuk mencari rezki dan
usaha yang halal) dan carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu
beruntung” (QS al-Jumu’ah:10) [10].

Makna inilah yang diisyaratkan dalam ucapan Sahl bin Abdullah at-Tustari[11]: “Barangsiapa yang
mencela tawakal maka berarti dia telah mencela (konsekwensi) iman, dan barangsiapa yang mencela
usaha untuk mencari rezki maka berarti dia telah mencela sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam”[12].
Tawakkal yang Termasuk Syirik dan yang
Diperbolehkan
Dalam hal ini juga perlu diingatkan bahwa tawakkal adalah salah satu ibadah agung yang hanya
boleh diperuntukkan bagi Allah Ta’ala semata, dan memalingkannya kepada selain Allah Ta’ala
adalah termasuk perbuatan syirik.

Oleh karena itu, dalam melakukan usaha hendaknya seorang muslim tidak tergantung dan bersandar
hatinya kepada usaha/sebab tersebut, karena yang dapat memberikan manfaat, termasuk
mendatangkan rezki, dan menolak bahaya adalah Allah Ta’ala semata, bukan usaha/sebab yang
dilakukan manusia, bagaimanapun tekun dan sunguh-sungguhnya dia melakukan usaha tersebut.
Maka usaha yang dilakukan manusia tidak akan mendatangkan hasil kecuali dengan izin Allah
Ta’ala[13].

Dalam hal ini para ulama menjelaskan bahwa termasuk perbuatan syirik besar (syirik yang dapat
menyebabkan pelakuknya keluar dari Islam) adalah jika seorang bertawakkal (bersandar dan
bergantung hatinya) kepada selain Allah Ta’ala dalam suatu perkara yang tidak mampu dilakukan
kecuali olah Allah Ta’ala semata.

Adapun jika seorang adalah jika seorang bertawakal (bersandar dan bergantung hatinya) kepada
makhluk dalam suatu perkara yang mampu dilakukan oleh makhluk tersebut, seperti memberi atau
mencegah gangguan, pengobatan dan sebagainya, maka ini termasuk syirik kecil (tidak
menyebabkan pelakunya keluar dari Islam, tapi merupakan dosa yang sangat besar), karena kuatnya
ketergantungan hati pelakunya kepada selain Allah Ta’ala, dan juga karena perbuatan ini merupakan
pengantar kepada syirik besar, na’uudzu bilahi min dzalik.

Sedangkan jika seorang melakukan usaha/sebab tanpa hatinya tergantung kepada sebab tersebut
serta dia meyakini bahwa itu hanyalah sebab semata, dan Allah-lah yang menakdirkan dan
menentukan hasilnya, maka inilah yang diperbolehkan bahkan dianjurkan dalam Islam[14].

Penutup
Tawakkal yang sebenarnya kepada Allah Ta’ala akan menumbuhkan dalam hati seorang mukmin
perasaan ridha kepada segala ketentuan dan takdir Allah, yang ini merupakan ciri utama orang yang
telah merasakan kemanisan dan kesempurnaan iman, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Akan merasakan kelezatan/kemanisan iman, orang yang ridha dengan Allah
Ta’ala sebagai Rabb-nya dan islam sebagai agamanya serta (nabi) Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam sebagai rasulnya”[15].

Semoga Allah Ta’ala memudahkan kita semua untuk mencapai kedudukan yang agung ini dan
semoga Dia senantiasa melimpahkan taufik-Nya kepada kita semua untuk memiliki sifat-sifat mulia
dan terpuji dalam agama-Nya.

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/2996-antara-tawakkal-dan-usaha-mencari-rizki-yang-halal.html

Anda mungkin juga menyukai