Anda di halaman 1dari 6

NATAIJUL IBADAH

Posted on 20 February 2018ByTarbawiyah


(Pengaruh-pengaruh Positif Ibadah)

Ibadah yang benar (al-ibadatus salimah) akan membawa pengaruh-pengaruh yang positif pada jiwa kita.

Pertama, semakin teguhnya keimanan (al-iman).

Allah Ta’ala menyeru kita untuk selalu istiqamah menjaga keimanan. Dia berfirman,

َّ ِ ‫َو ال ْ كِ ت َا ب ِ ال َّ ذِ ي ن َ َّز لَ ع َ ل َ ى َر س ُ و ل ِ ه ِ َو ال ْ كِ ت َا ب ِ ال َّ ذِ ي أ َ ن ْ َز لَ ي َ ا أ َ ي ُّ ه َ ا ال َّ ذِ ي َن آ مَ ن ُ وا آ ِم ن ُ وا ب‬
ِ ‫اَّلل ِ َو َر س ُ و ل ِ ه‬
ُ‫ِم ْن ق َ ب ْ ل‬
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang
Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya…” (QS. An-Nisa, 4: 136)

Diantara cara menjaga dan meneguhkan keimanan tersebut adalah dengan melakukan perbuatan baik (ibadah)
dan amal shaleh.

Allah Ta’ala berfirman,

‫َّللا ُ الظ َّ ا ل ِ ِم ي َن‬


َّ ‫ل‬ ُّ ‫ُض‬ ْ ‫ال د ُّ ن ْ ي َ ا َو ف ِ ي‬
ِ ‫اْل ِخ َر ة ِ َو ي‬ ِ ‫َّللا ُ ال َّ ذِ ي َن آ مَ ن ُ وا ب ِ ال ْ ق َ ْو ِل الث َّ ا ب ِ تِ ف ِ ي ال ْ حَ ي َ ا ة‬
َّ ‫ت‬ ُ ِ ‫ي ُث َ ب‬
ُ‫ي َ ش َ ا ء‬ َّ ُ‫َو ي َ ف ْ ع َ ل‬
‫َّللا ُ مَ ا‬
“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ‘ucapan yang teguh’ dalam kehidupan di dunia
dan di akhirat, dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia
kehendaki” (QS. Ibrahim, 14:27).

Ketika menafsirkan ayat ini Imam Qatadah berkata, “Adapun dalam kehidupan dunia, Allah meneguhkan iman
mereka dengan perbuatan baik (ibadah) dan amal shaleh (yang mereka kerjakan)”[1]

Maka, semakin banyak beribadah, akan semakin teguhlah keimanan kita kepada Allah Ta’ala.

Kedua, semakin kuatnya penyerahan diri dan ketundukkan kita kepada Allah Ta’ala (al-Islam).

Di saat kita melakukan ibadah, hakikatnya, saat itu kita sedang melakukan kristalisasi kesadaran diri terhadap
keagungan Allah Ta’ala (as-syu’ur bi ‘adzhamatillah) dan banyaknya nikmat yang diberikan oleh-Nya kepada
kita (as-syu’ur bi katsrati ni’amillah). Maka, semakin banyak beribadah akan semakin kuatlah syu’ur kita; dan
semakin berserah dirilah kita kepada-Nya.

Sebagai muslim, kita pun memiliki keyakinan, semakin kuat komitmen ibadah, semakin kuat pula dukungan
dan pertolongan Allah Ta’ala kepada kita. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

َ َ ‫ظ هللا َ ت َ ِج د ْ ه ُ ت ُ جَ ا ه‬
‫ك‬ ِ َ‫ح ف‬ َ ْ‫ح ف َ ظ‬
ْ ِ‫ ا‬، ‫ك‬ ِ َ‫ح ف‬
ْ َ ‫ظ هللا َ ي‬ ْ ِ‫ا‬
“Jagalah Allah maka Dia akan menjagamu, jagalah Allah maka kamu akan mendapati-Nya
dihadapanmu“ (HR at-Tirmidzi no. 2516, Ahmad [1/293] dan lain-lain, dinyatakan shahih oleh imam at-
Tirmidzi dan syaikh al-Albani dalam “Shahihul jaami’ish shagiir” no. 7957).

Makna “menjaga Allah” adalah menunaikan hak-hak-Nya dengan selalu beribadah kepadanya, serta
menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dan makna “kamu akan mendapati-Nya
dihadapanmu“: Dia akan selalu bersamamu dengan selalu memberi pertolongan dan taufik-Nya kepadamu.[2]

Ketiga, memperkokoh ihsan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang apa itu ihsan.

َ َّ ‫َّللا َ ك َ أ َ ن‬
َ ‫ك ت َ َر اه ُ ف َ إ ِ ْن ل َ مْ ت َ ك ُ ْن ت َ َر اه ُ ف َ إ ِ ن َّ ه ُ ي َ َر ا‬
‫ك‬ َّ َ ‫أ َ ْن ت َ ع ْ ب ُ د‬
“Kamu beribadah kepada Allah seakan-akan kamu melihatNya; jika kamu tidak dapat melihatNya maka
sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR. Bukhari-Muslim)

Maka jika kita beribadah kepada Allah -seraya terus berupaya memperbaikinya sehingga menjadi ibadah yang
benar- akan semakin kuatlah ihsan kita, dalam arti semakin kokohnya kesadaran
akan muraqabatullah (pengawasan Allah) dalam diri.

Keempat, memperkuat sikap al-ikhbat (ketundukkan) kepada Allah.

Tujuan beribadah kepada Allah Ta’ala adalah menunjukkan al-ikhbat (ketundukkan) kepada-Nya agar Dia
ridha. Maka, dengan ibadah yang benar al-ikhbat akan tertanam kuat dalam diri kita.

Allah Ta’ala befirman,

ْ ُ‫ف َ إ ِ ل َ ه ُ ك ُ مْ إ ِ ل َ ه ٌ َو ا ِح د ٌ ف َ ل َ ه ُ أ َ س ْ ل ِ مُ وا َو ب َ ش ِ ِر ال ْ م‬
‫خ ب ِ ت ِ ي َن‬
“Maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan, berilah
kabar gembira kepada orang-orang yang merendahkan diri (kepada Allah).” (Al-Hajj, 22: 34).

‫ب ال ْ جَ ن َّ ة ِ ه ُ مْ ف ِ ي ه َ ا خَ ا ل ِ د ُ و َن‬ َ ِ ‫خ ب َ ت ُ و ا إ ِ ل َ ى َر ب ِ ِه مْ أ ُ و ل َ ئ‬
ُ ‫ك أ َ صْ حَ ا‬ ْ َ ‫ت َو أ‬
ِ ‫إ ِ َّن ال َّ ذِ ي َن آ مَ ن ُ وا َو ع َ ِم ل ُ وا ال ص َّ ا ل ِ حَ ا‬
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal shalih dan merendahkan diri kepada
Rabb mereka, mereka itu adalah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Hud, 11: 23).

Ikhbat menurut pengertian bahasa artinya permukaan tanah yang rendah. Atas dasar pengertian bahasa ini pula
Ibnu Abbas radhiyallahu anhu dan Qatadah mengartikan lafazh mukhbitin di dalam ayat Al-Qur’an sebagai
orang-orang yang merendahkan diri.

Sedangkan menurut Mujahid, mukhbit artinya orang yang hatinya merasa tenang bersama Allah. Karena
menurut pendapatnya, khabtu artinya tanah yang stabil. Menurut Al-Akhfasy, mukhbitin artinya orang-orang
yang khusyu’. Menurut Ibrahim An-Nakha’y, artinya orang-orang yang shalat dan ikhlas. Menurut Al-Kalby,
artinya orang-orang yang hatinya lembut. Menurut Amr bin Aus, artinya orang-orang yang tidak berbuat
zhalim, dan jika dizhalimi tidak membalas.
Pendapat-pendapat tentang lafazh mukhbitin ini berkisar pada dua makna, yaitu merendahkan diri, dan merasa
tenang terhadap Allah. Karena itu lafazh ini disertai dengan kata ila (kepada), sebagai jaminan terhadap
pengertian ketenangan dan ketundukan kepada Allah.[3]

Kelima, meneguhkan tawakkal kepada-Nya.

Allah Ta’ala berfirman,

َّ ‫َو مَ ْن ي َ ت َ َو ك َّ ْل ع َ ل َ ى‬
ُ ‫َّللا ِ ف َ ه ُ َو حَ سْ ب ُ ه‬
“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS.
At-Thalaq, 65 : 3)

Mengenai tawakkal ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,

ُ‫ و ت َ ُر ْو ح‬، ‫ ت َغ د ُ ْو ِخ مَ ا ص ً ا‬، ‫ق الط َّ ي ْ َر‬ َّ َ‫ل َ ْو أ َ ن َّ ك ُ مْ ت َت َ َو ك َّ ل ُ ْو َن ع َ ل َ ى هللا ِ ح‬


ُ ‫ق ت َ َو ك ُّ ل ِ ه ِ ل َ َر َز ق َ ك ُ مْ ك َ مَ ا ي َ ْر ُز‬
‫ب ِ طَ ا ن ًا‬
“Seandainya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sungguh-sungguh tawakkal kepada-Nya, sungguh
kalian akan diberikan rizki oleh Allah sebagaimana Dia memberikan rizki kepada burung. Pagi hari burung
tersebut keluar dalam keadaan lapar dan pulang di sore hari dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad)

Al-Allamah Al Munawi mengatakan, “Tawakkal adalah menampakkan kelemahan serta penyandaran (diri)
kepada yang ditawakkali.” (Faidhul Qadir, 5/311).

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma mengatakan bahwa tawakkal bermakna percaya sepenuhnya kepada
Allah Ta’ala.

Imam Ahmad mengatakan, “Tawakkal berarti memutuskan pencarian disertai keputus-asaan terhadap
makhluk.”

Al Hasan Al Bashri pernah ditanya tentang tawakkal, maka beliau menjawab, “Ridho kepada Allah Ta’ala”.

Ibnu Rajab Al Hanbali mengatakan, “Tawakkal adalah bersandarnya hati dengan sebenarnya kepada Allah
Ta’ala dalam memperoleh kemashlahatan dan menolak bahaya, baik urusan dunia maupun akhirat secara
keseluruhan.”

Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Tawakkal yaitu memalingkan pandangan dari berbagai sebab
setelah sebab disiapkan.” [4]

Semua sikap itu akan muncul dalam diri jika kita beribadah dengan benar kepada-Nya.

Keenam, melahirkan al-mahabbah (kecintaan) kepada Allah Ta’ala.

Salah satu tuntutan ibadah kepada Allah Ta’ala adalah lahirnya al-mahabbah kepada-Nya di atas segalanya.
Allah Ta’ala berfirman,
ٌ ‫خ َو ان ُ ك ُ مْ َو أ َ ْز َو ا جُ ك ُ مْ َو ع َ شِ ي َر ت ُ ك ُ مْ َو أ َ ْم َو ا لٌ ا ق ْ ت َ َر ف ْ ت ُ مُ و ه َ ا َو ت ِ جَ ا َر ة‬ ْ ِ ‫ق ُ ْل إ ِ ْن ك َ ا َن آ ب َ ا ُؤ ك ُ مْ َو أ َ ب ْ ن َا ُؤ ك ُ مْ َو إ‬
‫َّللا ِ َو َر س ُ و ل ِ هِ َو ِج ه َ ا دٍ ف ِ ي س َ ب ِ ي ل ِ ه ِ ف َ ت َ َر ب َّ ص ُ وا‬ َّ َ‫ن ت َ ْر ض َ ْو ن َ ه َ ا أ َ ح‬
َّ ‫ب إ ِ ل َ ي ْ ك ُ مْ ِم َن‬ ُ ‫خ ش َ ْو َن ك َ س َ ا د َ ه َ ا َو مَ س َ ا ِك‬ ْ َ‫ت‬
ِ ‫َّللا ُ ال ي َ هْ دِ ي ال ْ ق َ ْو م َ ال ْ ف َ ا‬
‫س ق ِ ي َن‬ َّ ‫َّللا ُ ب ِ أ َ ْم ِر ه ِ َو‬ ْ
َّ َ‫حَ ت َّ ى ي َ أ ت ِ ي‬
“Katakanlah: ‘Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan
yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai,
adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai
Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS.
At-Taubah, 9: 24)

Maka, jika ibadah kita benar, akan lahirlah keindahan dan kenikmatan mahabbah kepada-Nya. Nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ َو أ َ ْن‬،‫ب إ ِ ل َ ي ْ ه ِ ِم مَّ ا س َ َو ا ه ُ مَ ا‬ َّ َ‫ أ َ ْن ي َ ك ُ و َن هللا ُ َو َر س ُ و ل ُ ه ُ أ ح‬: ‫اْل ِ ي ْ مَ ا ِن‬ ْ َ ‫ث مَ ْن ك ُ َّن ف ِ ي ه ِ َو جَ د َ ب ِ هِ َّن حَ َال َو ة‬ ٌ َ ‫ث َ ال‬
ُ ‫ ك َ مَ ا ي َ ك ْ َر ه‬،ُ ‫ َو أ َ ْن ي َ ك ْ َر ه َ أ َ ْن ي َ ع ُ و د َ ف ِ ي ال ْ ك ُ ف ْ ِر ب َ ع ْ د َ أ َ ْن أ َ ن ْ ق َ ذ َ ه ُ هللا ُ ِم ن ْ ه‬، ِ ‫ب ال ْ مَ ْر ء َ ال َ ي ُ ِح ب ُّه ُ إ ال َّ َِّلل‬
َّ ‫ي ُ ِح‬
‫ار‬
ِ َّ ‫ن‬ ‫ال‬ ‫ي‬ ‫ف‬
ِ َ‫ف‬ َ ‫ذ‬ ْ ‫ق‬ ُ ‫ي‬ ْ
‫ن‬ َ ‫أ‬
“Tiga sifat yang jika ada pada diri seseorang, ia akan meraih manisnya iman: (1) Allah dan Rasul-Nya lebih ia
cintai dari selain keduanya, (2) Ia mencintai seseorang, tidaklah mencintainya melainkan karena Allah, (3) Ia
membenci untuk kembali kepada kekafiran -setelah Allah menyelamatkannya darinya- sebagaimana ia benci
apabila dilempar ke dalam api.” (Hadits Muttafaq ‘Alaihi)

Sebagian salaf berkata,

ُ َ ‫ َو مَ ا أ َ طْ ي‬: َ‫ ق ِ ي ل‬. ‫ب مَ ا ف ِ ي ه َ ا‬
ُ ‫ مَ حَ ب َّة‬: َ‫ب مَ ا ف ِ ي ه َ ا؟ ق َ ا ل‬ َ َ ‫ن أ َ ه ْ ِل ا ل د ُّ ن ْ ي َ ا خَ َر جُ وا ِم ن ْ ه َ ا َو مَ ا ذ َ اق ُ وا أ َ ط ْ ي‬
ُ ْ ‫مَ س َ ا كِ ي‬
ْ ُ َ
ُ ‫هللا ِ َو مَ ع ْ ِر ف ت ه ُ َو ذِ ك ُر ه‬
“Sesungguhnya orang-orang miskin dari ahli dunia adalah mereka yang meninggalkan dunia, namun belum
merasakan apa yang terlezat di dunia.” Ditanya, “Kenikmatan apakah yang paling lezat di
dunia?” Dijawab, “Kecintaan kepada Allah, mengenal-Nya dan mengingat-Nya.”

Ketujuh dan kedelapan, memupuk khauf (rasa takut) dan raja’ (pengharapan) kepada Allah Ta’ala.

Jika kita beribadah dengan benar, akan muncul dalam diri kita khauf (rasa takut) jangan-jangan ibadah kita tidak
diterima dan tidak diridhoi-Nya. Meskipun begitu kita pun akan senantiasa memunculkan raja’ (pengharapan)
terhadap kemurahan, pengampunan dan kasih sayang Allah Ta’ala.

Khauf dan Raja’ ini hendaknya tumbuh seimbang dalam diri seorang muslim. Jangan
sampai khaufmenyebabkan manusia putus asa dari rahmat dan ampunan Allah Ta’ala, dan jangan
sampai raja’menyebabkan manusia menganggap remeh ancaman dan siksa-Nya,

ِ ‫ َو ل َ ْو ي َ ع ْ ل َ م ُ ال ْ ك َ ا ف ِ ُر مَ ا عِ ن ْ د َ هللا‬، ٌ ‫ط َ ِم عَ ب ِ جَ ن َّ ت ِ ه ِ أ َ حَ د‬ ‫ مَ ا‬، ِ ‫ع ن ْ د َ هللا ِ ِم َن ال ْ ع ُ ق ُ ْو ب َ ة‬ ُ ‫ل َ ْو ي َ ع ْ ل َ م ُ ا ْ ل مُ ْؤ ِم‬


ِ ‫ن مَ ا‬
ٌ ‫ق َ ن َ ط َ ِم ْن جَ ن َّ ت ِ ه ِ أ َ حَ د‬ ‫ مَ ا‬، ِ ‫ح مَ ة‬ ْ ‫ِم َن ال َّر‬
“Seandainya seorang mukmin mengetahui siksa yang ada di sisi Allah, maka dia tidak akan berharap
sedikitpun untuk masuk syurga. Dan seandainya orang kafir mengetahui rahmat yang ada di sisi Allah, maka
dia tidak akan berputus asa sedikitpun untuk memasuki Syurga-Nya.” (HR. Muslim)

Kesembilan, menumbuhkan sikap at-taubah (taubat) kepada Allah Ta’ala.


Menurut bahasa, At-taubah berarti ar-rujuu’ (kembali). Sedangkan menurut istilah, taubat adalah kembali dari
kondisi jauh dari Allah Ta’ala menuju kedekatan kepada-Nya. Atau juga berarti, pengakuan atas dosa,
penyesalan, berhenti, dan tekad untuk tidak mengulanginya kembali di masa datang.

Sarana kita untuk kembali dan mendekat kepada Allah Ta’ala adalah dengan beribadah kepada-Nya. Maka, jika
kita senantiasa beribadah kepada-Nya, akan tumbuhlah suasana taubat dalam keseharian kita. Sikap taubat
inilah diantaranya yang menjadi ciri orang-orang yang sempurna keimanannya. Allah Ta’ala berfirman,

ِ ‫اْل ِم ُر و َن ب ِ ال ْ مَ ع ْ ُر و‬
‫ف َو ال ن َّ ا ه ُ و َن ع َ ِن‬ ْ ‫الت َّ ا ئ ِ ب ُو َن ال ْ ع َ ا ب ِ د ُ و َن ال ْ حَ ا ِم د ُ و َن ال س َّ ا ئ ِ حُ و َن ال َّر ا كِ ع ُ و َن ال س َّ ا ِج د ُ و َن‬
ْ َّ ِ‫ال ْ مُ ن ْ ك َ ِر َو ال ْ حَ ا ف ِ ظ ُ و َن ل ِ حُ د ُ و د‬
‫َّللا ِ َو ب َ ش ِ ِر ال مُ ْؤ ِم ن ِ ي َن‬
“Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadat, yang memuji, yang melawat, yang ruku’,
yang sujud, yang menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah berbuat munkar dan yang memelihara hukum-hukum
Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mu’min itu.” (QS. At-Taubah, 9: 112)

Kesepuluh, membiasakan ad-du’a (menyeru/memohon) kepada Allah Ta’ala.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ِ ‫ال د ُّ ع َ ا ء ُ مُ خُّ ال ْ عِ ب َ ا د َ ة‬
“Doa adalah inti ibadah“. (HR. Tirmidzi) [5]

Di dalam “Tuhfatul Ahwadzi bi Syarhi Jami’ at-Tirmidzi” terdapat penjelasan bahwa doa itu disebut sebagai
inti dari sebuah ibadah sebab orang yang berdo’a hakikatnya adalah sedang memohon kepada Allah ketika
harapan kepada selain-Nya sudah terputus. Dan hal itu merupakan hakikat tauhid (pengesaan Allah) dan
keikhlasan (kemurnian aqidah), dan tidak ada ibadah yang melebihi derajat keduanya.

Dalam hadits lain disebutkan,

ُ ‫ال د ُّ ع َ ا ء ُ ه ُ َو ال ِع ب َ ا د َ ة‬
“Do’a adalah sesuatu yang sangat mendasar dalam ibadah” (HR. Abu Dawud)

Jika kita membiasakan diri beribadah kepada-Nya, maka akan terbiasalah kita menyeru dan memohon kepada-
Nya. Dengan begitu kita tidak akan termasuk ke dalam golongan orang-orang yang menyombongkan diri
kepada-Nya.

Allah Ta’ala berfirman,

‫إ ِ َّن ال َّ ذِ ي َن ي َ س ْ ت َ ك ْ ب ِ ُر و َن ع َ ْن عِ ب َ ا د َ ت ِ ي س َ ي َ د ْ خُ ل ُ و َن جَ ه َ ن َّ م َ د َ ا ِخ ِر ي َن‬
“Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk Jahannam dalam
keadaan hina dina.” (QS. Al-Mu’min, 40: 60)

Sebagian mufassir mengatakan bahwa makna ‘an ‘ibadatiy (dari menyembah-Ku) dalam ayat di atas adalah ‘an
du’aiy (dari berdoa kepada-Ku).
Kesebelas, terwujudnya sikap khusyu’ (lembut, tenang, tunduk, dan kerendahan diri di hadapan Allah Ta’ala).

Secara bahasa khusyu’ berarti as-sukuun (diam/tenang) dan at-tadzallul (merendahkan diri). Sifat mulia ini
bersumber dari dalam hati yang kemudian pengaruhnya terpancar pada anggota badan manusia.

Imam Ibnu Rajab berkata: “Asal (sifat) khusyu’ adalah kelembutan, ketenangan, ketundukan, dan kerendahan
diri dalam hati manusia (kepada Allah Ta’ala). Tatkala Hati manusia telah khusyu’ maka semua anggota badan
akan ikut khusyu’, karena anggota badan (selalu) mengikuti hati, sebagaimana sabda
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam: “Ketahuilah, sesungguhnya dalam tubuh manusia ada segumpal
daging, jika segumpal daging itu baik maka akan baik seluruh tubuh manusia, dan jika segumpal daging itu
buruk maka akan buruk seluruh tubuh manusia, ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati manusia”.

Maka jika hati seseorang khusyu’, pendengaran, penglihatan, kepala, wajah dan semua anggota badannya ikut
khusyu’, (bahkan) semua yang bersumber dari anggota badannya”[6]

Allah Ta’ala menyebut orang-orang yang khusyu’ di antaranya dalam firman-Nya berikut ini,

ْ‫إ ِ ال َّ ع َ ل َ ى ال ْ خَ ا شِ عِ ي َن ال َّ ذِ ي َن ي َ ظ ُ ن ُّ و َن أ َ ن َّ ه ُ م مُّ ال َ ق ُ و َر ب ِ هِ م‬ ٌ ‫َو ا س ْ ت َ عِ ين ُ و ا ْ ب ِ ال ص َّ ب ْ ِر َو ال ص َّ ال َ ة ِ َو إ ِ ن َّ ه َ ا ل َ ك َ ب ِ ي َر ة‬


‫إ ِ ل َ ي ْ ه ِ َر ا ِج ع ُ و َن‬ ْ‫َو أ َ ن َّ ه ُ م‬
“Dan mintalah pertolongan (kepada) Allah dengan sabar dan sholat. Dan sesungguhhya yang demikian itu
sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’ , (yaitu) orang-orang yang menyakini, bahwa mereka
akan menemui Rabb-nya dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (QS. Al-Baqarah, 2 : 45 -46)

ِ‫إ ِ َّن ال ْ مُ س ْ ل ِ ِم ي َن َو ال ْ مُ س ْ ل ِ مَ ا تِ َو ال ْ مُ ْؤ ِم ن ِ ي َن َو ال ْ مُ ْؤ ِم ن َا تِ َو ال ْ ق َ ا ن ِ ت ِ ي َن َو ال ْ ق َ ا ن ِ ت َ ا تِ َو ال ص َّ ا دِ ق ِ ي َن َو ال ص َّ ا دِ ق َ ا ت‬
‫ش عِ ي َن َو ال ْ خَ ا شِ ع َ ا تِ َو ال ْ مُ ت َ ص َ دِ ق ِ ي َن َو ال ْ مُ ت َ ص َ دِ ق َ ا تِ َو ال ص َّ ا ئ ِ ِم ي َن‬ ِ ‫َو ال ص َّ ا ب ِ ِر ي َن َو ال ص َّ ا ب ِ َر ا تِ َو ال ْ خَ ا‬
َ
َّ َّ ‫َّللا َ ك َ ث ِ ي ًر ا َو ال ذ َّ ا كِ َر ا تِ أ ع َ د‬
ُ ‫َّللا‬ ْ
َّ ‫ظ ي َن ف ُ ُر و جَ ه ُ مْ َو ال حَ ا ف ِ ظ َ ا تِ َو ال ذ َّ ا كِ ِر ي َن‬ ِ ِ ‫َو ال ص َّ ا ئ ِ مَ ا تِ َو ال ْ حَ ا ف‬
‫ظ ي مً ا‬
ِ َ ‫ج ًر ا ع‬ ْ َ ‫ل َ ه ُ مْ مَ غ ْ ف ِ َر ة ً َو أ‬
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu’min, laki-laki dan
perempuan yang tetap dalam keta’atannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang
sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan
perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan
perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala
yang besar” (QS. Al-Ahzab, 33: 35).

Dari uraian poin-poin di atas dapat disimpulkan bahwa al-‘ibadatus salimah (ibadah yang benar) akan
menghasilkan pengaruh yang positif pada jiwa kita, yakni tertanamnya at-taqwa (ketakwaan).

Allah Ta’ala berfirman,

‫اس ا ع ْ ب ُ د ُ وا َر ب َّ ك ُ م ُ ال َّ ذِ ي خَ ل َ ق َ ك ُ مْ َو ال َّ ذِ ي َن ِم ْن ق َ ب ْ ل ِ ك ُ مْ ل َ ع َ ل َّ ك ُ مْ ت َت َّ ق ُ و َن‬
ُ َّ ‫ي َ ا أ َ ي ُّ ه َ ا ال ن‬
“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu
bertakwa…” (QS. Al-Baqarah, 2: 21)

Wallahu a’lam.

Anda mungkin juga menyukai