Anda di halaman 1dari 17

1) Makna Afatul Lisan

dakwatuna.com – Afatul lisan adalah dua ungkapan kata yang memiliki arti bahaya lidah, hal
ini bukan berarti lidah selalu membawa mudharat bagi manusia, karena lidah juga bermanfaat
bagi manusia. Dengan lidah seseorang dapat berbicara dan menyampaikan maksud yang
diinginkan. Namun harus disadari pula bahwa betapa banyak orang yang tergelincir karena
lidahnya, akibat ketidakmampuan pemilik lidah menjaga dari ucapan dan kata-kata yang keluar
dari lidah tersebut. Karena itu sangatlah urgent dalam kehidupan seorang muslim memahami
bahaya dari lisan sebagaimana juga memahami akan manfaat lisan tersebut.

Dua hal penting yang sering diingatkan Islam kepada kita-manusia- adalah menjaga dan
memelihara dengan baik lidah dan tingkah laku. Rasulullah saw. berpesan kepada kita semua
yaitu:
ْ ‫ان ُي ْؤم ُن باهللِ َو ْال َي ْوم اآلخر َف ْال َي ُق ْل َخ ْي ًرا َأ ْو ل َي‬
‫ص ُم ْت‬ َ ‫َم ْن َك‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Kiamat hendaklah berkata yang baik atau diam.”

Pesan ini menekankan tentang pentingnya menjaga tutur kata, tidak mengucapkan hal yang
buruk dan menyakiti hati, karena bertutur sembarang tanpa pikir akan membawa kepada krisis
lain yaitu permusuhan, kekacauan bahkan pertumpahan darah.

Maka dengan menjaga lidah dan tutur kata, dapat dipastikan akan terjalinnya kehidupan yang
tenteram, damai dan sejahtera di tengah masyarakat sepanjang masa. Dalam konteks inilah
Rasulullah saw berpesan supaya menjaga lidah dan tingkah laku agar tidak mengganggu dan
melampaui batas atau menyentuh hak dan muruah (wibawa) orang lain.

Lidah memang tak bertulang, pepatah itu menggambarkan betapa sulit mengatur lidah ini.
Terkadang dalam tempat-tempat perkumpulan, keadaan menjadi semakin seru bahkan akan
menjadi segar, bila seseorang menyodorkan gosip ‘baru’. Terlebih bila sang pencetus ‘gosip’
pernah merasa dirugikan oleh ‘sang calon’ pesakitan. Yang ini bisa jadi akan tambah seru. Dia
pernah disakiti, disinggung, dipermalukan, dijahili, ataupun yang serupa dengan itu. Maka rem
lidah benar-benar sering blong.

2) Hakikat Lidah

Lidah adalah salah satu dari nikmat Allah. Manusia wajib memeliharanya dari dosa dan
kemaksiatan, menjaganya dari ucapan-ucapan yang bisa menimbulkan penyesalan dan kerugian.
Lidah akan menjadi saksi pada hari kiamat.

Allah SWT berfirman:


َ ‫﴾ َي ْو َم َت ْش َه ُد َع َل ْيه ْم َأ ْلس َن ُت ُه ْم َو َأ ْيديه ْم َو َأ ْر ُج ُل ُهم ب َما َك ُانوا َي ْع َم ُل‬
٢٤﴿ ‫ون‬ ِ ِ ِ ِ ِ

“Pada hari ketika lidah, tangan dan kaki menjadi saksi atas mereka terhadap apa-apa yang
dahulu mereka kerjakan.” (QS. 24: 24)
Lidah juga termasuk nikmat Allah SWT yang sangat besar bagi manusia. Kebaikan yang
diucapkannya akan melahirkan manfaat yang luas dan kejelekan yang dikatakannya
membuahkan ekor keburukan yang panjang. Karena dia tidak bertulang, dia tidak sulit untuk
digerakkan dan dipergunakan. Dia adalah alat paling penting yang bisa dimanfaatkan oleh setan
dalam menjerumuskan manusia.

Dalam hadits disebutkan:

“Sesungguhnya seorang hamba benar-benar mengucapkan kata-kata tanpa dipikirkan yang


menyebabkan dia tergelincir ke dalam neraka yang jaraknya lebih jauh antara timur dan
barat”. (Muttafaq ‘alaih, dari Abu Hurairah)

Dan lidah juga merupakan sarana mempermudah manusia menyampaikan maksud yang
diinginkan kepada orang yang diajak bicara sehingga dengan itu orang yang diajak bicara akan
memahami maksud dari orang tersebut. Jika lisan tidak ada maka seseorang akan sulit berbicara
dan menyampaikan sesuatu yang diinginkan kecuali dengan bahasa isyarat.

3) Fenomena Bahaya Lisan

1. a)  Alkalaamu fimaa laa ya’nihi (Ungkapan yang tidak berguna)

dakwatuna.com – Nabi Saw. telah bersabda: “Barang siapa mampu menjaga apa yang terdapat
antara dua janggut dan apa yang ada di antara dua kaki, maka aku jamin dia masuk surga.
( Muttafaq ‘alaih, dari Sahl bin Sa’ad)

Kita hendaknya hanya mengucapkan sesuatu yang bermanfaat, karena ucapan yang mubah dapat
mengarah kapada hal yang makruh atau haram. Rasulullah saw bersabda:
ْ ‫ان ُي ْؤم ُن باهللِ َو ْال َي ْوم اآلخر َف ْال َي ُق ْل َخ ْي ًرا َأ ْو ل َي‬
‫ص ُم ْت‬ َ ‫َم ْن َك‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia berbicara yang baik
atau diam”. (Muttafaq ‘alaih, dari Abu Hurairah)

Bila seseorang telah mengerti bahwa ia akan dihisab dan dibalas atas segala ucapan lidahnya,
maka dia akan tahu bahaya kata-kata yang diucapkan lidah, dan dia pun akan
mempertimbangkan dengan matang sebelum lidahnya dipergunakan. Allah berfirman:
ٌ ‫يب َعت‬ ْ َ َ ‫َ ْ اَّل‬ ُ َْ
١٨﴿ ‫يد‬ ِ ٌ ‫﴾ َّما يل ِفظ ِمن قو ٍل ِإ لدي ِه َر ِق‬

“Tidak ada satu ucapan pun yang diucapkan, kecuali di dekatnya ada malaikat Raqib dan
‘Atid.” (QS. Qoof: 18)

1. b)  Fudhulul Kalaam (Berbicara yang berlebihan)

Lidah memiliki kesempatan yang sangat luas untuk taat kepada Allah dan berdzikir kepadanya,
tetapi juga memungkinkan untuk digunakan dalam kemaksiatan dan berbicara berlebihan.
Semestinya kita mampu mengendalikan lidah untuk berdzikir dan taat kepada Allah, sehingga
bisa meninggikan derajat kita. Sedangkan banyak berbicara tanpa dzikir kepada Allah akan
mengeraskan hati, dan menjauhkan diri dari Allah ‘Azza wa Jalla.

Menuju surga cepat dengan lisan, menuju nerakapun cepat dengan lisan. Lisan bagai ‘jaring’
kalau menjaringnya baik akan mendapatkan hasil yang baik, sebaliknya jika tidak hasilnya akan
sedikit dan melelahkan. Kata orang lidah tidak bertulang, maka lebih senang mengatakan apa-
apa tanpa berpikir. Bahaya lidah ini sebenarnya besar sekali. Nabi Muhammad SAW juga pernah
bersabda, “Tiada akan lurus keimanan seorang hamba, sehingga lurus pula hatinya, dan tiada
akan lurus hatinya, sehingga lurus pula lidahnya. dan seorang hamba tidak akan memasuki
syurga, selagi tetangganya belum aman dari kejahatannya.”

Allah telah memberikan batasan tentang pembicaraan agar arahan pembicaran kita bermanfaat
dan berdampak terhadap sesama, sebagaimana firman-Nya:
َ ُ َ َ َّ َ َ َٰ َ ْ َ َ َّ َ ْ َ ‫ص َد َقة َأ ْو َم ْع ُر َ ْ ْ اَل‬ َ ْ ‫َّ ْ ُ اَّل‬ َ ْ َ ‫اَّل‬
‫ات الل ِه ف َس ْوف ن ْؤ ِت ِيه أ ْج ًرا‬ َ
ِ ‫ و َمن يفع ْل ذ ِلك ْاب ِتغ َاء َم ْرض‬ ۚ ‫اس‬
ِ ‫وف أو ِإص ٍح بين الن‬
ٍ ٍ َ ‫ِِّمن نج َواه ْم ِإ َمن أ َم َر ِب‬JI ‫خي َر ِفي ك ِث ٍير‬
١١٤﴿ ‫﴾ َع ِظ ًيما‬

“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari
orang yang menyuruh (manusia) memberi shodaqoh atau berbuat ma’ruf atau mengadakan
perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari
keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (Annisa: 114)

1. c) Al-khoudh fil baathil (Ungkapan yang mendekati kebatilan dan maksiat)

Orang-orang sufi lebih tekun menggunakan mulutnya untuk berdzikir dari pada berbincang-
bincang, memperingatkan dengan prihatin; Manusia paling sering tertimpa bahaya dan paling
banyak mendapatkan kesusahan adalah lidahnya terlepas dan hatinya tertutup. Ia tidak dapat
berdiam diri, dan kalau berkata tidak bisa mengungkapkan yang baik-baik.

Hasan Al Bashri semasa mudanya pernah merayu seorang wanita cantik di tempat sepi,
perempuan itu menegur, “Apakah engkau tidak malu? “Hasan Al Bashri menoleh ke kanan dan
ke kiri, lalu mengawasi pula sekelilingnya, setelah ia yakin di tempat itu hanya ada mereka
berdua, dan tidak terlihat siapapun, Hasan Al Bashri bertanya, “Malu kepada siapa? Di sini tidak
ada orang lain yang menyaksikan perbuatan kita. “Wanita itu menjawab, “Malu kepada Dzat
yang mengetahui khianatnya mata dan apa yang disembunyikan di dalam hati ”

Lemas sekujur tubuh Hasan Al Bashri. Ia menggigil ketakutan hanya karena jawaban sederhana
itu, sehingga ia bertobat tidak ingin mengulangi perbuatan jeleknya lagi. Karena itulah
Rasulullah saw. mengingatkan, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat,
ucapkanlah yang bermanfaat, atau lebih baik diam saja”.

1. d) Al-Miraa’ wal-jidaal (Berbantahan, bertengkar dan debat kusir).

Jidaal adalah menentang ucapan orang lain guna menyalahkan secara lafadz dan makna.
Perdebatan dalam isu-isu agama dan ibadah tidak banyak faedah yang didapat kecuali jika
dilangsungkan dengan etika debat yang benar, saling menghormati antar peserta dan dengan
kekuatan ilmiah yang meyakinkan. Biasanya debat yang tidak dikawal oleh akhlak lebih banyak
mengundang kepada pertengkaran dan permusuhan yang merugikan.

Tidak dinafikan debat merupakan salah satu uslub (cara) yang sangat efektif dan berkesan dalam
menyebarkan Islam, dakwah dan kebenaran, tetapi ia adalah langkah ketiga dan terakhir, yaitu
setelah terjadi kebuntuan dimana pendekatan dengan hikmah dan nasihat/pengajaran yang baik
tidak berhasil. Itupun dilangsungkan dengan akhlak dan adab yang tinggi.

Allah berfirman:
َ ‫ َو ُه َو َأ ْع َل ُم بامْل ُ ْه َتد‬ ۖ ‫ض َّل َعن َسبيله‬
﴿ ‫ين‬ َ ‫ إ َّن َر َّب َك ُه َو َأ ْع َل ُم ب َمن‬ ۚ ‫ َو َجاد ْل ُهم ب َّالتي ه َي َأ ْح َس ُن‬ ۖ ‫ة ْال َح َس َنة‬I ‫ِب َك ب ْالح ْك َمة َوامْل َ ْوع َظ‬JI ‫ْاد ُع إ َل ٰى َسبيل َر‬
ِ ِ ِِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِّ ِ ِ ِ
١٢٥﴾

“Serulah ke jalan Tuhanmu wahai Muhammad dengan hikmat kebijaksanaan dan nasihat
pengajaran yang baik dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang lebih baik” (Al-Nahl:
125).

Ayat di atas meletakkan debat pada tempat terakhir, yaitu selepas pendekatan hikmah dan nasihat
yang baik. Debat menjadi langkah terakhir, bukan karena kurang berkesan atau tidak ada
faedahnya, tetapi karena kesukaran mematuhi aturan, akhlak, adab-adabnya.

Debat selalu dirusak oleh tidak adanya ikhlas antara dua kubu yang terkait. Pendebat selalu
menginginkan kemenangan sekalipun ia tidak mempunyai hujjah. Pendebat tidak bersedia
mengalah, sekalipun ternyata ia berada pada pihak yang salah. Pendebat akan memilih untuk
berkata ‘ya’ apabila lawan berkata ‘tidak’ dan berkata ‘tidak’ apabila lawan berkata ‘ya’.

Debat selalu dikuasai oleh pihak yang handal bercakap, sekalipun tidak berisi. Keadaannya
bagaikan dua pasukan pemain sepak bola yang masing-masing mempunyai ‘suporter’ yang tidak
pernah mengaku kalah sekalipun tidak pernah bermain. Kalaupun ada yang mengaku, tetapi
hanya dalam gelanggang, di luar belum tentu. Begitulah debat yang tidak berakhlak dan biasa
kita saksikan.

Etika debat yang perlu dipatuhi untuk menghasilkan natijah yang baik bahkan sekaligus debat
disifatkan sebagai terbaik ialah:

1. Hindari penggunaan bahasa yang rendah, tindakan yang kasar dan tidak menghormati
pemikiran lawan. Jika perlu, adakan penengah untuk menengahi perjalanan debat.
Penengah perlu diberi hak memberi kartu kuning atau merah, bahkan ‘menskor’ pendebat
yang melanggar disiplin debat dan aturan.
2. Hendaklah lebih banyak mencari titik persamaan antara kedua belah pihak. Kurangi
usaha mencari titik perbedaan. Lebih banyak persamaan yang ditemui, lebih banyak hasil
yang diperoleh. Arahkan sepenuhnya kepada titik-titik persamaan.

Debat Alquran yang berlangsung antara Nabi s.a.w. dengan Yahudi dan Nashara bahkan dengan
kaum musyrikin menjadi contoh untuk dipelajari, disiplin, akhlak dan etikanya. Dikemukakan di
sini debat antara Nabi dengan musyrikin dalam ayat 24-26 surah Saba’ yang bermaksud; Allah
berfirman:
َ ُ ‫اَل‬ َ َ ‫﴾ ُقل اَّل ُت ْس َأ ُل‬٢٤﴿ ‫ضاَل ل ُّمبين‬
َ ‫ َوإ َّنا َأ ْو إ َّي ُاك ْم َل َع َل ٰى ُه ًدى َأ ْو في‬ ۖ ‫الل ُه‬
َّ ُ ْ َ ‫الس َم َاو ِ َ أْل‬
َّ ‫ِم َن‬JI ‫ُق ْل َمن َي ْر ُز ُق ُكم‬
‫ون َع َّما أ ْج َر ْم َنا َو ن ْسأ ُل‬ ٍ ِ ٍ ِ ِ ِ ‫ ق ِل‬ ۖ ‫ض‬
ِ ‫ات وا ر‬ ِّ
ُ َ ْ ُ َّ َ ْ َ ُ َ J َ ْ َ َ ْ َ ُ َ ْ َ َّ ُ َ ُّ َ َ َ ْ َ ُ َ ْ َ ْ ُ َ ُ َ ْ َ َّ َ
٢٦﴿ ‫ِق وهو الفتاح الع ِليم‬I ِّ ‫﴾ قل يجمع بيننا ربنا ثم يفتح بيننا ِبالح‬٢٥﴿ ‫﴾عما تعملون‬

“Bertanyalah wahai Muhammad, siapa yang memberi rezeki kepada kamu dari langit dan
bumi? Terangkanlah jawabnya ialah Allah. Sesungguhnya tiap-tiap satu golongan, sama ada
kami atau kamu tetap di atas hidayat atau tenggelam dalam kesesatan. Katakanlah: Tuhan akan
menghimpunkan kita semua pada hari kiamat, kemudian akan menyelesaikan krisis di antara
kita dengan penyelesaian yang benar.”

Debat nabi-nabi jelas beretika dan halus budi bahasanya. Setiap patah kata dalam ungkapannya
dapat menjadi contoh bagi para da’i yang mencintai kebenaran. Tetapi sayang, sebagian
pendebat sekarang banyak menyimpang jauh dari panduan nabi-nabi, mereka berdebat seolah-
olah berperang. Segala isu yang muncul dalam dakwah, besar kemungkinan ada persamaannya
dalam politik.

1. e)Al-Khushumah istifa-ulhaq (Banyak omong yang berlebih-lebihan ingin


mendapatkan haknya).

Mulutmu harimaumu. Pepatah ini mengingatkan kita agar lebih hati-hati dalam berucap dan
mengeluarkan pernyataan. Bahwa sumber dari segala bencana di dunia ini bukan pada bencana
alam, letusan gunung berapi, banjir, ataupun gempa bumi, melainkan bersumber pada mulut kita
sendiri.

Rasulullah saw bersabda: “Orang yang amat dibenci di sisi Allah adalah orang yang banyak
omong.” (al hadits)

Menurut ilmu kedokteran, dalam tubuh manusia terdapat banyak lubang, tetapi di antara lubang-
lubang itu, hanya lubang mulut yang paling banyak mengandung virus. Ada lubang telinga,
lubang hidung, bahkan lubang saluran pembuangan kotoran, tetapi semua itu tidak ada artinya
jika dibandingkan dengan lubang mulut. Mulut manusia memang berbisa.

Secara lahiriyah mulut manusia itu mengandung banyak virus, terlebih secara batiniah. Itulah
sebabnya, ketika Rasulullah didatangi seseorang yang hendak menanyakan tentang Islam dengan
satu pertanyaan yang tidak perlu dan disusul dengan pertanyaan lainnya, maka Rasulullah
memberi jawaban singkat:
ْ ‫ُق ْل َآم ْن ُت باهللِ ُث َّم‬
‫اس َت ِق ْم‬ ِ

Katakanlah aku beriman kepada Allah, kemudian beristiqamalah. Sahabat tersebut bertanya,
dengan cara apa kami memeliharanya? Rasulullah memberi isyarat kepada lisannya.

1. f)Al Mizaah (Bercanda dan senda gurau)


Rasullullah acapkali bercanda. Rasullullah saw. Bersabda:
َّ ُ َ َ َ َ ‫ّ ُ ُّ مْل‬
‫ل ِإال َح ًّقا‬Iُ ‫اح َوال أق ْو‬‫ِإ ِني أ ِحب ا ِ ز‬

“Sesungguhnya saya (Nabi Muhammad saw) suka bersendagurau dan saya tidak akan
mengatakan kecuali yang benar-benar.”

Seperti kisah Rasullullah bersama seorang nenek yang menanyakan apakah si dia (nenek) akan
masuk surga. Dan dijawab Rasul saw, bahwa hanya orang muda saja penghuni syurga. Si nenek
pun terkejut, dan akhirnya Rasullullah menerangkan bahwa biarpun orang tua akan menjadi
muda kembali bila masuk surga.

Rasullullah saw. Bersabda: “Sesungguhnya engkau (hai ibu tua) tidak lagi berupa seorang tua-
bangka pada waktu itu (yakni setelah masuk syurga). Karena Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung “. Maksudnya:
tanpa melalui kelahiran dan langsung menjadi gadis. “Dan Kami jadikan mereka gadis-gadis
perawan”

Pada hadits tersebut dan hadits-hadits yang lain, banyak menceritakan bagaimana Rasullullah
saw. bercanda, dan sesungguhnya bercanda yang benar saja yang diperbolehkan. Beberapa dai
banyak yang menggunakan banyolan-banyolan dalam penyampaian dakwahnya, terkadang sudah
keterlaluan. Padahal Islam adalah agama yang serius, bukan dijadikan bahan tertawaan.
Masyarakat yang mendengar dai-dai ini berbanyol, hanya mendapatkan ketawanya saja,
sedangkan ilmunya hilang terbawa gelak tawanya. Dan sesungguhnya Allah sangat murka pada
sesuatu yang berlebihan, termasuk tertawa. Padahal dalam suatu hadits yang menyebutkan
bahwa sesungguhnya bercanda itu menyempitkan hati. Di hadist tsb, menerangkan bahwa
Rasullulllah tak pernah terlihat palate (langit-langit tenggorokan)-nya bila beliau sedang ketawa,
hanya senyuman-lah yang selalu menghiasi pribadi beliau saw.

1. g) Bidza’atul lisan wal qoulul faahisy was-sab (Ungkapan yang menyakitkan /nyelekit)

Secara sadar atau tidak banyak kita jumpai perkataan yang menjurus kepada mencaci, menghina,
merendahkan, mengejek dan mempermainkan nama Allah, sifat-sifat-Nya, rasul-rasul-Nya,
kitab-kitab-Nya, ayat-ayat-Nya dan hukum-hukum-Nya serta hukum-hukum yang diterangkan
oleh rasul-Nya. Dan juga perkataan yang menolak, menafikan dan mengingkari segala perkara
dari ‘alim ulama’ dimana semua orang tahu bahwa perkara itu dari agama.

Mislanya seperti katanya mengenai mana-mana hukum Islam:

 “Hukum apa ini?”


 “Hukum ini sudah usang.”
 “Zaman sekarang tidak pantas diharamkan riba karena menghalangi kemajuan.”
 “Dalam zaman yang serba maju ini kaum wanita tak perlu dibungkus-bungkus.”
 “Berzina jikalau suka sama suka apalah haramnya?”
 “Minum arak kalau dengan tujuan hendak menyehatkan badan untuk beribadat apalah
salahnya?”
 “Berjudi kalau masing-masing sudah rela menerima untung ruginya apa salahnya?”
 “Kalau diberlakukan hukum-hukum Islam sampai kiamat kita tak maju-maju.”
 “Ini perbuatan tidak beradab’ – diceritakan bahwa Nabi Muhammad saw. setelah makan:
menjilat sisa makanan di jarinya.

Untuk itu Imam Al Bashri mengemukakan bahwa lidah orang berakal itu terletak di belakang
akalnya. Jika ia hendak berkata, dipikirkannya lebih dahulu. Kalau perkataan itu kira-kira bakal
bermanfaat baginya, ia akan mengucapkannya,. Kalau dirasakannya akan membahayakan
dirinya, ia memilih diam. Sedangkan hati orang dungu terletak di belakang lidahnya. Jika ia mau
berkata, langsung saja diucapkannya. “Apalagi mengatakan yang tidak pernah dikerjakan, dan
membungkus keburukan hati dan keculasan perangai dengan ucapan indah yang berbunga-
bunga. Barangkali manusia dapat dikelabui, tetapi apakah Allah swt. dapat ditipu?

1. h)Al La’nu (Melaknat, walaupun binatang atau benda, apatah lagi manusia)

Akhir-akhir ini kebiasaan melaknat (mengutuk) banyak merebak di tengah-tengah masyarakat,


baik yang tua maupun yang muda, laki-laki maupun wanita, dewasa maupun anak-anak,
sehingga didapati seseorang melaknat anaknya, saudaranya, tetangganya, bahkan melaknat kedua
orang tuanya dengan mengatakan, “Terlaknatlah kedua orang tuaku atau terlaknatlah ibuku, aku
akan melakukan ini dan ini (seperti terkutuk bapakku jika aku tidak melakukan ini dan ini).”
Biasanya dipakai untuk mengancam atau menantang.

Tidak diragukan lagi ucapan seperti itu adalah ucapan keji dan mungkar yang tidak
mendatangkan ridha Allah , seperti dalam firman-Nya:
َ ‫﴾إ َّن َر َّب َك َلبامْل ِ ْر‬
١٤﴿ ‫ص ِاد‬ ِ ِ

“Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi.” (al-Fajr: 14)

Dan firman Allah:


ُ َّ ‫ إ َّن‬ ۚ ‫ولوا َّالتي ه َي َأ ْح َس ُن‬
َ ‫الش ْي َط‬ ُ َُ J ُ
‫ان َي َنزغ َب ْي َن ُه ْم‬ ِ ِ ِ ‫ِل ِع َب ِادي يق‬Iِّ I‫ َوقل‬ ۚ

“Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku: Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang


lebih baik, sesungguhnya setan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka.” (Al-Isra: 53)

Dan beberapa hadits Nabi yang melarang hal tersebut di antaranya: Hadits Abu Dawud Tsabit
bin ad-Dhahak berbunyi: ”Melaknat seorang mukmin adalah seperti membunuhnya.”
(Mutafaqun ‘alaihi)

Hadits dari Abu Hurairah berbunyi: “Tidak pantas bagi seorang shiddiq (orang yang mengikuti
kebenaran) menjadi tukang laknat.” (HR Muslim)

Dan Hadits dari Abu Darda’ berbunyi: “Tukang-tukang laknat tidak akan menjadi pemberi
syafaat dan pemberi kesaksian pada hari kiamat.” (HR Muslim)
Hadits Abdullah bin Mas’ud berbunyi: “Seorang mukmin bukanlah tukang cela dan tukang
laknat dan bukanlah orang yang suka berkata keji lagi kotor.” (HR Tirmidzi) ; Hadits ini
dicantumkan oleh Syaikh al-Albani di dalam kitab beliau Shahih Jami’ Tirmidzi no 610 dan
Silsilah Hadits Shahih no 320

Di dalam Silsilah Hadits Shahih tercantum sebuah hadits yang berbunyi: “Apabila sebuah laknat
terucap dari mulut seseorang, maka ia (laknat itu) akan mencari sasarannya. Jika ia tidak
menemukan jalan menuju sasarannya, maka ia akan kembali kepada orang yang
mengucapkannya.”

Hakikat laknat adalah menjauhkan sesuatu dari rahmat Allah. Seseorang yang melaknat berarti
telah menyatakan bahwa sesuatu telah dijauhkan dari rahmat Allah, padahal itu termasuk perkara
gaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah Maka perbuatan seperti ini termasuk berdusta
dan mengada-ada atas nama Allah Dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah ia berkata, “Aku
mendengar Rasulullah bersabda,
“Dahulu kala ada dua orang Bani Israil yang bersaudara. Salah seorang di antara keduanya sering
berbuat dosa, sedangkan yang lain tekun beribadah. Yang tekun beribadah selalu mendapati
saudaranya berbuat dosa, ia berkata, ‘Tahanlah dirimu dari perbuatan dosa!’ Pada suatu hari, ia
melihat hal serupa, ia berkata, ‘Tahanlah dirimu.’ Saudaranya berkata, ‘Biarkan aku bersama
Rabbku! Apakah engkau diutus sebagai pengawasku?’ Maka ia pun berkata kepada saudaranya
tersebut, ‘Demi Allah, Allah tidak akan mengampunimu atau demi Allah, Allah tidak akan
memasukkanmu ke dalam surga.’ Kemudian ruh keduanya dicabut, lalu bertemu kembali di
hadapan Allah Rabbul ‘Alamin. Allah berkata kepada yang tekun beribadah, ‘Apakah engkau
mengetahui tentang Aku? Atau apakah engkau berkuasa atas apa yang ada ditangan-Ku?’
Kemudian Allah berkata kepada saudaranya, ‘Masuklah ke dalam surga dengan rahmat-Ku.’ Dan
Allah berkata kepadanya, ‘Seret ia ke neraka!'”

Abu Hurairah berkata, “Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, orang tersebut telah
mengatakan sebuah kalimat yang menghancurkan dunia dan akhiratnya.” (HR Abu Dawud
dengan sanad hasan) Cobalah perhatikan kalimat yang diucapkan oleh seorang ahli ibadah tadi
ternyata lebih besar daripada dosa yang dilakukan saudaranya, karena ia berani bersumpah atas
nama Allah. Hanya Allah sajalah yang dimintai pertolongan-Nya. Merupakan musibah besar jika
seseorang berani melaknat ibunya. Para sahabat sempat menganggap mustahil perbuatan seperti
itu, lalu Rasulullah menjelaskan maksudnya kepada mereka, yaitu dengan mencela ayah ibu
orang lain hingga orang tersebut mencaci ayah ibunya.(Muttafaqun ‘alaihi)

1. i)Al Ghina’ wasy-syi’r (Bernyanyi dan bersyair)

Allah berfirman:
َ ْ َ َّ
‫يث ِل ُي ِض َّل َعن َس ِب ِيل الل ِه ِبغ ْي ِر ِعل ٍم َو َي َّت ِخذ َها ُه ُز ًوا‬ َ ْ َ َْ َ َّ َ َ
ِ ‫اس َمن يشت ِري ل ْه َو الح ِد‬
ِ ‫و ِمن الن‬ ۚ

“Dan di antara manusia (ada) yang mempergunakan lahwul hadits untuk menyesatkan (manusia)
dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu bahan olok-olokan.”
(Luqman: 6)
Mengenai ayat ini Ibnu Abbas ra berkata bahwa Lahwal hadist dalam ayat ini berarti
“Nyanyian”. Ibnu Mas’ud r.a menerangkan bahwa Lahwal hadist itu adalah al-Ghina (nyanyian).

Allah berfirman:
َ ‫ون َواَل َت ْب ُك‬
٦٠﴿ ‫ون‬ َ ‫ض َح ُك‬ َ ‫﴾ َأ َفم ْن َٰه َذا ْال َحديث َت ْع َج ُب‬
ْ ‫﴾ َو َت‬٥٩﴿ ‫ون‬
ِ ِ ِ

“Maka apakah kamu merasa heran dengan pemberitaan ini dan kamu mentertawakan dan tidak
menangis sedang kamu bernyanyi-nyanyi.” (An-Najm: 59-60)

Kata Ikrimah r.a dari Ibnu Abbas r.a bahwa kata “As-Sumud” dalam akhir ayat ini berarti Al-
Ghina menurut dialek Himyar. Dia menambahkan bahwa jika mendengar Alquran dibacakan,
mereka bernyanyi-nyanyi, maka turunlah ayat ini.

Dalam hadits sahih yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari sahabat Abi Amir dan Abi Malik Al
Asy’ari Rasulullah saw bersabda: “Akan muncul dari kalangan ummatku sekelompok orang
yang menghalalkan farj (perzinahan), sutera, khamar dan alat-alat musik.” (lihat Fatul Bari,
10/51).

Nyanyian dan musik merupakan dua pintu yang dilalui setan untuk merusak hati dan jiwa.
Kaitannya dengan hal itu, Imam Al-Hafiz Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata: “Diantara tipu
daya setan – musuh Allah – dan diantara jerat yang dipasangnya untuk orang yang sedikit ilmu,
akal dan agamanya, sehingga orang yang bersangkutan tersebut terjebak kedalamnya untuk
mendengarkan kidung dan nyanyian yang diiringi musik yang diharamkan. Satu hal yang
mengherankan adalah sebagian manusia yang mengaku memiliki konsentrasi untuk ibadah justru
telah menjadikan nyanyian, tarian dan lagu-lagu lain sebagai wahana untuk beribadah sehingga
mereka meninggalkan Alquran.

Ibnu Qayyim dalam kitabnya “Ighatsatul-Lahfan min Mashayidisy-Syaithan” menamai nyanyian


seperti itu dengan sepuluh nama, yaitu: lahwun (main-main), laghwun (pekerjaan sia-sia), zuur
(kebathilan), muka (siulan), tasydiah (tepuk tangan), ruqyatuz-zina (jimat dalam perzinahan),
pedomannya setan, penumbuh nifak didalam hati, suara kedunguan, suara yang penuh dosa,
suara setan atau seruling setan.

Ada beberapa nyanyian yang diperbolehkan yaitu: Menyanyi pada hari raya. Hal itu berdasarkan
hadits A’isyah: “Suatu ketika Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wasallam masuk ke bilik ‘Aisyah,
sedang di sisinya ada dua orang hamba sahaya wanita yang masing-masing memukul rebana
(dalam riwayat lain ia berkata: “… dan di sisi saya terdapat dua orang hamba sahaya yang
sedang menyanyi.”), lalu Abu Bakar mencegah keduanya. Tetapi Rasulullah malah bersabda:
“Biarkanlah mereka karena sesungguhnya masing-masing kaum memiliki hari raya, sedangkan
hari raya kita adalah pada hari ini.” (HR. Bukhari)

Menyanyi dengan rebana ketika berlangsung pesta pernikahan, untuk menyemarakkan suasana
sekaligus memperluas kabar pernikahannya. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
“Pembeda antara yang halal dengan yang haram adalah memukul rebana dan suara (lagu) pada
saat pernikahan.” (Hadits shahih riwayat Ahmad). Yang dimaksud di sini adalah khusus untuk
kaum wanita. Nasyid Islami (nyanyian Islami tanpa diiringi dengan musik) yang disenandungkan
saat bekerja sehingga bisa lebih membangkitkan semangat, terutama jika di dalamnya terdapat
do’a.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyenandungkan sya’ir Ibnu Rawahah dan


menyemangati para sahabat saat menggali parit. Beliau bersenandung: “Ya Allah tiada
kehidupan kecuali kehidupan akherat maka ampunilah kaum Anshar dan Muhajirin.” Seketika
kaum Muhajirin dan Anshar menyambutnya dengan senandung lain: “Kita telah membai’at
Muhammad, kita selamanya selalu dalam jihad.” Ketika menggali tanah bersama para
sahabatnya, Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wasallam juga bersenandung dengan sya’ir Ibnu Rawahah
yang lain: “Demi Allah, jika bukan karena Allah, tentu kita tidak mendapat petunjuk, tidak pula
kita bersedekah, tidak pula mengerjakan shalat. Maka turunkanlah ketenangan kepada kami,
mantapkan langkah dan pendirian kami jika bertemu (musuh) Orang-orang musyrik telah
mendurhakai kami, jika mereka mengingin-kan fitnah maka kami menolaknya.” Dengan suara
koor dan tinggi mereka balas bersenandung “Kami menolaknya, … kami menolaknya.”
(Muttafaq ‘Alaih)

1. j)Attaqo’ur fil kalaam (Berfasih-fasih dalam berbicara untuk menarik perhatian)

Salah satu modal untuk dapat diterima dalam menjalin hubungan dengan orang lain adalah
menarik perhatian. Untuk itu kerap kali orang berakting untuk mendapatkan perhatian orang lain.
Namun kadang orang sering kebablasan dalam akting yang dimainkan, sehingga sering dijuluki
over acting, sok gagah, sok fasih. Misalnya saja ada orang yang sering menggunakan action
Inggris untuk menunjukkan bahwa dia dapat berbahasa Inggris. Atau dengan action Arab untuk
menunjukkan dia dapat berbahasa Arab, walaupun pada kenyataannya tidak. Pernah dalam
kampanye Pemilu seorang jurkam sebuah parpol besar (dengan penuh semangat berpidato di
hadapan massanya) berkata,” Saudara-saudara parpol kami sangat berempati dan antonius
dengan nasib rakyat jelata…” (Maksudnya mungkin antusias).

1. k) Ifsyaa’ussirri (Membocorkan rahasia)

Mudrik bin ‘Aun Al-Ahmas berkata: “Ketika aku berada di sisi Umar radhiyallahu ‘anhu,
datanglah utusan An-Nu’man. Umar radhiyallahu ‘anhu pun menanyakannya tentang keadaan
pasukan. Utusan itu menyebutkan orang-orang yang terluka dan terbunuh di Nahawand, ia
berkata: “Si Fulan bin Fulan, Fulan bin Fulan dan lain-lain yang tidak engkau kenal. Umar
radhiyallahu ‘anhu berkata: “Akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui mereka.”
Dalam riwayat lain disebutkan: “Akan tetapi Dzat Yang telah mengkaruniakan mereka syahadah
(mati syahid) mengetahui wajah dan nasab mereka.”

Hubungan istri adalah hubungan yang khas, di mana keduanya bisa saling meleburkan diri
menjadi satu kesatuan. Di sana ada cinta, juga kasih dan sayang. Karenanya, dalam kehidupan
suami istri pasti terjadi hubungan intim yang tidak ada orang lain yang mengetahuinya, kecuali
mereka berdua. Saat-saat itu suami mencurahkan segala kasih sayangnya kepada istri, demikian
juga sebaliknya.
Hubungan yang demikian, sekalipun berbaur antara cinta dan nafsu tapi Allah telah
mensakralkannya. Hubungan itu suci dan berpahala. Hunbungan itu baru ternoda jika ada salah
seorang di antaranya, baik suami atau istri yang membuka rahasia mereka berdua kepada orang
lain. Baik karena ingin mengungkapkan rasa bahagianya maupun karena rasa kecewa.

Membuka rahasia rumah tangga kepada pihak lain sama sekali tidak mendatangkan keuntungan,
justru bencana dan malapetaka. Rumah tangga bisa berantakan karena salah satu pihak merasa
tersinggung dan terhina karenanya. Kehidupan rumah tangga terganggu, bahkan tidak tertutup
kemungkinan jika kemudian masalahnya berkembang sampai akhirnya terjadi perceraian.

Jika anggota badan yang terluka bisa dijahit dan diperban. Akan tetapi jika hati yang terluka bisa
dibawa sampai mati. Hari ini bisa ditekan, tapi besok bisa muncul kembali. Itulah sebabnya
kenapa kita harus menjaga rahasia istri atau suami.

Dari Abu Said Al-Khudri ra beliau berkata: Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya sejelek-
jelek orang di sisi Allah pada hari qiamat kelak adalah suami yang sudah mencurahkan segala
kasih sayangnya kepada istrinya dan istrinya pun sudah menyerahkan segala kasih sayangnya
kepadanya, kemudian dia (suami) menyebarkan rahasia istrinya (dan istrinya membuka rahasia
suaminya).” (HR. Muslim)

1. l) Alkadzibu (Dusta atau berbohong dalam perkataan, janji dan sumpah)

Allah SWT berfirman

‫ور‬ ُّ َ ْ َ ُ َ ْ َ
ِ ‫واجت ِنبوا قول الز‬

“Hendaklah kita menjauhi perkataan-perkataan dusta.” (Al-Hajj: 30)

Dalam peribahasa mengatakan, “kerana lidah (mulut) badan binasa” ini mengingatkan kita untuk
hidup dalam suasana yang tenteram, aman dan damai, hendaklah diawasi lidah kerana melalui
tutur kata akan menjadi lebih benar, beradab dan bahasanya lebih santun.

Suka berbohong bukan saja menimbulkan kemarahan orang yang mendengarnya, malah
menimbulkan implikasi buruk kepada si pembohong itu sendiri. Dari Abu Hurairah r.a. katanya
Rasulullah s.a.w. bersabda: “Tidak beriman seseorang dengan sempurna sehingga ditinggalkan
pembohongan walaupun senda gurau, bersengketa atau perbalahan.”

Tabiat suka berbohong termasuk dalam kategori dosa besar setelah syirik (menyekutukan Allah)
dan durhaka terhadap kedua orang tua. Ini ditegaskan dalam sabda Rasulullah saw: “Maukah aku
tunjukkan perihal dosa-dosa besar? Kami menjawab: Ya, tentu mau wahai Rasulullah.
Rasulullah menjelaskan: Menyektukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua. Oh ya, (ada
lagi) yaitu perkataan dusta.” (Riwayat Muttafaq Alaih)

Berkata Imam Nawawi di kitabnya Al-Adzkar (halaman 326): “Ketahuilah! Sesungguhnya


menurut madzhab Ahlus Sunnah bahwa dusta itu ialah: Mengkabarkan tentang sesuatu yang
berlainan (berbeda/menyalahi) keadaannya. Baik dilakukan dengan sengaja atau karena
kebodohan (tidak sengaja), akan tetapi tidak berdosa kalau karena kebodohan (tidak sengaja) dan
berdosa kalau dilakukan dengan sengaja”.

1. m)Al Ghiibah (Menceritakan keburukan orang lain)

Dalam sebuah perjalanan ke suatu daerah, para sahabat diatur agar setiap dua orang yang
mampu, membantu seorang yang tak mampu (tentang makan-minum). Kebetulan Salman Al
Farisi diikutkan pada dua orang, tetapi ketika itu ia lupa tidak melayani keperluan keduanya. Ia
disuruh minta lauk pauk kepada Rasulullah saw. Dan setelah ia berangkat, keduanya berkata,
“Seandainya ia pergi ke sumur, pasti surutlah sumurnya.”

Sewaktu Salman menghadap, beliau bersabda, “Sampaikan kepada kedua temanmu bahwa kalian
sudah makan lauk pauknya.” Setelah ia menyampaikan kepada mereka berdua, lalu keduanya
menghadap kepada Nabi saw dan katanya, “Kami tidak makan lauk pauk dan seharian kami
tidak makan daging.” Kemudian Rasulullah bersabda, “Kalian telah mengatakan saudaramu
(Salman) begini-begitu. Maukah kalian memakan daging orang mati?” Mereka menjawab,
“Tidak!” “Jika kalian tidak mau makan daging orang mati, maka janganlah kalian ghibah
mengatakan kejelekan orang lain, sebab yang demikian itu berarti memakan daging saudaranya
sendiri.”

Menurut Ibnu Abbas, kisah tersebut yang melatarbelakangi diturunkannya surat Al-Hujarat: 12
َ َ ُْ َ ُ َ َ ً ْ َ ُ ُ ْ َّ َ ْ َ ‫ ْ ٌ َ اَل َ َ َّ ُ َ اَل‬J َّ َ ْ َ َّ J َّ َ J ً َ ُ َ ْ َ ‫َيا َأ ُّي َها َّالذ‬
‫ أ ُي ِح ُّب أ َح ُدك ْم أن َيأك َل ل ْح َم أ ِخ ِيه‬ ۚ ‫ضا‬ ‫ و تجسسوا و يغتب بعضكم بع‬ ۖ ‫ِن ِإثم‬I ِّ ‫ِن ِإن بعض الظ‬I ِّ ‫ِِّمن الظ‬I ‫ين َآم ُنوا اجت ِنبوا ك ِثيرا‬ ِ
ٌ َّ ٌ َّ َ َ َّ َّ َ َّ ُ َّ َ ُ ُ ُ ْ َ َ ًَْ
١٢﴿ ‫ ِإن الله تواب ر ِحيم‬ ۚ ‫ الله‬I‫ واتقوا‬ ۚ ‫﴾ميتا فك ِرهتموه‬

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (buruk), karena setengahnya
itu dosa, dan janganlah menyelidiki kesalahan orang lain, dan jangan pula setengah kamu
menggunjing (ghibah) atas sebagian yang lainnya. Maukah seseorang di antara kamu makan
daging saudaranya yang mati? Pasti kamu jijik (tidak mau). Bertaqwalah kepada Allah,
bahwasannya Allah menerima taubat lagi Penyayang.”

Dari Ali bin Ibrahim, dari ayahnya, dari An-Naufal, dari Al-Sakkuni, dari Abu Abdillah ra
berkata: Rasulullah SAW bersabda: ”Kerusakan yang dilakukan oleh ghibah
(mengumpat/memfitnah) pada iman seorang mukmin lebih cepat daripada kerusakan yang
disebabkan oleh penyakit aklah (penyakit yang memakan daging di tubuh manusia) pada
tubuhnya.”

Diriwayatkan dari Abu Dzar berkata: Ya Rasulullah, apakah ghibah itu? Rasul menjawab:
”Menyebutkan tentang saudaramu akan sesuatu yang membuat dia merasa jijik.” Aku berkata:
Ya Rasulullah, bagaimana jika hal tersebut memang ada pada dirinya? Rasul menjawab:
Ketahuilah, bahwa menyebut tentang sesuatu yang memang ada pada dirinya, berarti kamu telah
mengumpatnya. Abu Dzar berkata: Nabi SAW bersabda: Ghibah merupakan suatu dosa yang
lebih besar daripada berzina. Kataku: Bagaimana itu, ya Rasulullah? Rasul menjawab: ”Itu
karena orang yang berzina, jika dia bertobat kepada Allah, Allah menerima tobatnya. Namun
ghibah tidak diampuni oleh Allah, hingga korban daripada ghibah mengampuninya.”
1. n)Al-madhu (Sanjungan yang menjerumuskan)

Imam Ats-Tsauri menuturkan: “Apabila engkau bukan termasuk orang yang takjub terhadap diri
sendiri, hal lain yang perlu diingat ialah; hindarilah sifat senang disanjung orang.” Maksudnya
bukan orang lain tidak boleh memuji perbuatanmu itu, tetapi janganlah kamu meminta pujian
dari orang lain. Hendaknya engkau selalu berhubungan dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala
(dengan selalu mengingatnya).

Dalam sebuah hadits disebutkan: “Barangsiapa yang mencari ridha Allah Subhanahu wa
Ta’ala, meskipun menimbulkan kemarahan manusia, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan
meridhainya dan akan membuat manusia ridha terhadapnya. Dan barangsiapa yang mencari
kesenangan manusia, hingga membuat Allah murka maka Allah murka kepadanya dan membuat
manusia murka terhadapnya.” (HR. At-Tirmidzi).

Jenis pujian lain adalah memuji diri sendiri atas kekurangan yang ada padanya. Ini termasuk
rekomendasi terhadap diri sendiri. Sebagian orang sengaja memuji diri sendiri di hadapan orang
banyak. Padahal Allah SWT telah berfirman:
ُ َ ُّ ُ ‫َ اَل‬
‫ف ت َزكوا أ ُنف َسك ْم‬ ۖ

“Janganlah kamu menganggap diri kamu suci” (An-Najm: 32).

Dan perbuatan tadi termasuk menganggap suci diri sendiri. Rabbah Al-Qaisi pernah ditanya:
“Apakah yang dapat merusak amalan seseorang?” Beliau menjawab: “Sanjungan orang dan lupa
terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberi nikmat”

Seorang penyair berkata:

Sungguh aneh orang yang memuji dirinya sendiri


Namun tidak menyadari bahwa pujiannya itu sendiri adalah kekurangan dirinya
Seorang pemuda memuji diri atas kekurangan yang ada padanya,
Menyebut-nyebut aibnya sendiri hingga diketahui kejelekannya

Pujian sesekali perlu diberikan. Hal ini membuat orang lain berusaha untuk bekerja lebih baik
lagi. Karena, pada dasarnya semua orang mendambakan penghargaan walaupun hanya berupa
kata-kata pujian.

Rasulullah saw. memberikan reward kepada para sahabatnya selalu disertai doa. Misalnya Saad
Bin Abi Waqash pernah didoakan Rasulullah tentang dua hal yaitu kalau berdoa pasti dikabulkan
Allah dan kalau memanah pasti kena sasaran. Inilah sanjungan yang dilandasi persahabatan yang
dibangun atas dasar cinta kepada Allah.

Biasanya kita dapati pada masyarakat yang budaya paternalistiknya sangat kuat; budaya ‘Asal
Bapak Senang’; budaya Yes Man dan sebagainya. Berbagai gelar, acap kali disematkan sebagai
tanda loyalnya bawahan terhadap atasan, misalnya Bapak Revolusi, Wali ul Amri, Bapak
Pembangunan dan banyak bentuk-bentuk sanjungan yang pada akhirnya justru akan
menghancurkan orang tersebut. Seperti Firaun yang selalu disanjung, dipuja oleh rakyatnya dan
pada gilirannya Firaun mendeklarasikan dirinya sebagai tuhan. Dan kita tahu bagaimana akhir
dari kehidupan Firaun itu sangat tragis dan mengenaskan. Dan hanya Allah yang pantas
mendapat segala jenis sanjungan dan pujian.

1. o) Assukhriyah wal istihza’ (Menyebutkan hal yang bikin malu – kejelekan


diceritakan untuk ditertawakan)

Menjelang perpisahannya dengan Nabi Musa as, Nabi Khidir as, memberi nasihat, “Hai Musa,
janganlah terlalu banyak bicara, dan jangan pergi tanpa perlu, dan jangan banyak tertawa, juga
jangan mentertawakan orang yang berbuat salah, dan tangisilah dosa-dosa yang telah kamu
perbuat, hai putra Ali ‘Imran.” (Tanbighul Ghafilin: 192-193).

Tertawa, tentu saja, bukanlah sesuatu yang dilarang. Siapa saja boleh tertawa selagi ingin.
Dengan tertawa menunjukkan, bahwa seseorang sedang dalam keadaan senang.

Bahkan tertawa bisa menjadi ilham bagi seorang penulis untuk membuat sebuah buku. Akan
tetapi, tertawa dalam pengertian mengeluarkan suara meledak-ledak oleh sebab rasa suka, geli
apalagi mengandung unsur menghina seseorang, ini akan lain ceritanya.

Tidak didapati dalam ajaran di luar Islam yang mengatur tata hidup sedemikian rupa, hingga
masalah tertawa.

Allah swt berfirman:


َ ‫ض َح ُكوا َقلياًل َو ْل َي ْب ُكوا َكث ًيرا َج َز ًاء ب َما َك ُانوا َي ْكس ُب‬
٨٢﴿ ‫ون‬ ْ ‫﴾ َف ْل َي‬
ِ ِ ِ ِ

“Maka hendaklah mereka sedikit tertawa dan banyak menangis sebagai pembalasan dari apa
yang selalu mereka kerjakan.” (QS. At-Taubah: 82).

Dalam salah satu haditsnya Rasulullah saw bersabda: “Seandainya kamu mengetahui apa yang
aku ketahui, niscaya kamu akan sedikit tertawa, ….” (HR.Abu Dzar ra) . Rasulullah saw tidak
pernah tertawa, kecuali hanya tersenyum, tidak menoleh kecuali dengan wajah penuh
(maksudnya: tidak melirik). (Ja’far Auf, Mas’ud dari Auf Abdillah)

Berdasarkan hadits di atas, sebagian ulama berpendapat bahwa tersenyum itu hukumnya sunah,
sedang tertawa terbahak-bahak makruh. Maka bagi mereka yang tetap ingin sehat akalnya,
seyogyanya menjauhi tertawa dengan cara demikian (terbahak-bahak atau meledak-ledak), kata
Al-Faqih Abu Laits Samarqandi. Dengan kata lain, orang yang tidak bisa mengendalikan diri dan
gemar tertawa, akan membuat fungsi akalnya terganggu, lengah dan lupa diri, yang berarti
membuka pintu bagi syetan untuk masuknya godaan. Dalam surat An-Najm (53): 59-61 Allah
memperingatkan,
َ ‫﴾ َو َأ ُنت ْم َسام ُد‬٦٠﴿ ‫ون‬
٦١﴿ ‫ون‬ َ ‫ون َواَل َت ْب ُك‬
َ ‫ض َح ُك‬ َ ‫﴾ َأ َفم ْن َٰه َذا ْال َحديث َت ْع َج ُب‬
ْ ‫﴾ َو َت‬٥٩﴿ ‫ون‬
ِ ِ ِ ِ
“Apakah dengan ajaran ini, kalian ta’ajub (heran)? Kamu tertawa dan tidak menangis.
Sedangkan kalian lengah.” (An-Najm: 59-61)

Ibnu Abbas ra berkata, “Barangsiapa tertawa di saat berbuat maksiat, maka akan bercucuran
tangis di neraka.” Tertawa yang berlebihan, termasuk di antara 3 perkara yang menyebabkan hati
seorang menjadi bebal dan membatu. Sedang dua penyebab yang lainnya yaitu: belum lapar
sudah makan lagi dan gemar omong kosong (bicara ke sana kemari yang tak berguna).
Terkadang kita mendapati seseorang yang kesibukannya membuat orang tertawa-tawa, sehingga
bukan semata menjadi hiburan hati, tapi sudah mengarah pada membuat orang menjadi lengah
dan lupa.
Kepada yang berbuat seperti ini Rasulullah saw memberi peringatan: “Celakalah orang yang
berdusta supaya ditertawakan orang lain. Celakalah dia, celakalah dia!” (HR. Tirmidzi)

1. p) An-namiimah (Adu domba atau menghasut)

Adu domba merupakan perangai tercela yang menanamkan dendam diantara manusia, ini
merupakan sifat yang dibenci setiap muslim dan muslimah. Sifat yang buruk ini tidak boleh
diremehkan, karena diantara ciri-ciri adu domba dan yang telah ditetapkan baginya, bahwa ia
bisa memisahkan seseorang dengan kerabatnya, seseorang dengan teman-temannya, bahkan
dirinya dengan anggota saudaranya sendiri.

Adu domba bisa menimbulkan tindak pembunuhan, bahkan peperangan antara dua kabilah. Di
dalam masyarakat kita banyak terdapat peristiwa yang menunjukkan betapa besar akibat yang
ditimbulkan adu domba. Sedangkan istri yang ideal mempunyai sikap yang pasti dalam
menghadapi adu domba sesuai dengan hukum syari’at tentang adu domba, bahwa nabi perbah
bersabda:
َ َ ْ ُ َ
‫ال َي ْدخ ُل ال َج َّنة ن َّم ٌام‬

“Tidak akan masuk surga orang yang suka mengadu domba.” (muttafaq alaihi).

1. q) Al khotho’ fi daqo-iqul kalaam (Bertanya yang bukan-bukan, hingga memberatkan


orang yang menjawab)

Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, menceritakan bahwasanya di mendengar Rasulullah Shallallahu


‘alaihi Wasallam bersabda:
َْ َُ ْ َ ُ ْ َ ُ َ َ َ َ ْ َ َ َ ْ َ َ َّ ْ ُ ْ َ َ ْ َ ُ ْ ْ ُ ْ َ ْ ُ ُ ْ َ َ َ َ ُ ْ ُ َ ْ َ ْ ُ ُ ْ َ َ َ
‫ان ق ْبلك ْم كث َرة ُسؤ ِال ِه ْم َواخ ِتالف ُه ْم َع َلى أن ِب َي ِاء ِه ْم‬ ‫ما نهيتكم فاجت ِنبوه وما أمرتكم ِب ِه فائتوا ِمنه ما استطعتم ِإنما أهلك من ك‬

“Apa yang aku larang kalian dari (mengerjakan)-nya maka jauhilah ia, dan apa yang aku
perintahkan kalian untuk (melakukan)-nya maka lakukanlah sesuai dengan kemampuan kalian,
karena sesungguhnya yang menghancurkan orang-orang yang sebelum kalian adalah karena
banyaknya pertanyaan-pertanyaan mereka (yang mereka ajukan) dan perselisihan mereka
dengan para Nabi-Nabi (yang diutus kepada) mereka“. (H.R.Bukhari dan Muslim).
Dalam hadits tersebut kita diperintahkan untuk melakukan apa yang diperintahkan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam dan menjauhi apa saja yang dilarang oleh beliau.
Larangan tersebut dimaksudkan agar kita tidak terjebak dengan apa yang telah menimpa umat-
umat terdahulu yang hancur dan binasa gara-gara terlalu banyak bertanya kepada Nabi-Nabi
mereka tentang sesuatu yang tidak ada faedahnya begitu juga seringnya mereka berselisih dan
membantah Nabi-Nabi mereka tersebut.

Secara global, barangsiapa yang melakukan apa yang diperintahkan oleh Nabi saw dan menjauhi
apa yang dilarang oleh beliau dan memfokuskan diri pada apa yang diperintahkan kepadanya,
terlepas dari yang lainnya maka dia akan mendapakan keselamatan di dunia dan akhirat
sedangkan orang yang berbuat sebaliknya dengan menyibukkan dirinya berdasarkan
pertimbangan logika dan perasaan semata, maka dia telah terjerumus kedalam apa yang dilarang
oleh Nabi saw sama seperti halnya Ahlul Kitab yang binasa lantaran terlalu banyak bertanya dan
berselisih dengan para Nabi mereka dan ketidaktundukan serta ketidakta’atan mereka kepada
para Rasul yang diutus kepada mereka.

4) Menjauhi Bahaya Lidah

1. Menjaga mulutnya agar tidak kemasukan barang haram.


2. Menjaga mulutnya agar tidak mengeluarkan kata-kata yang tidak seharusnya dikatakan.

Masuk keluarnya sesuatu dari mulut itu harus benar-benar dijaga, sebab letak keselamatan
manusia, dunia dan akhiratnya itu terletak pada kemampuannya untuk menjaga hal tersebut di
atas.

Abu Bakar ash-Shiddiq, khalifah pertama pengganti Rasulullah pernah meletakkan tongkat di
mulutnya untuk menjaga ucapannya. Lalu ia menunjuk lisannya seraya berkata: “Inilah yang
dapat mengeluarkanku dari tempat tempat keluar (maksudnya: keluar dari batas-batas
kebenaran).”

Sebagai khalifah, Abu Bakar dikenal orang yang paling hemat dalam berbicara. Ketika ditunjuk
menjadi khalifah, ia hanya berpidato sebentar.

Meskipun pidatonya sebentar, tapi kata-katanya dihafal oleh para sahabat, juga kaum muslimin
hingga sekarang. Singkat tapi padat. Penuh arti dan konsisten. Apa yang dikatakan, itulah yang
ada di dalam pikiran dan perasaannya. Antara ucapan dan tindakannya tidak terdapat perbedaan.
Antara ucapannya hari ini dan besok tidak saling bertentangan.

Meskipun Abu Bakar memerintah kaum muslimin dalam tempo yang amat singkat, tapi banyak
hal yang bisa diselesaikan. Ancaman disintegrasi (pemurtadan), kerusuhan rasial antar suku dan
golongan, dan berbagai gejolak dalam negeri segera dapat diatasi, bukan dengan kata-kata, tapi
tindakan. Bukan dengan lelucon, humor, apalagi gaya ketoprakan.

Pemimpin model Abu Bakar inilah yang kita nantikan saat ini untuk memimpin bangsa
Indonesia menuju gerbang masa depan.
Semua pemimpin seharusnya dapat menahan diri dari perkataan yang tidak benar, mengandung
fitnah, dan adu domba. Mereka harus menahan diri dari ucapan yang dapat menyakiti atau
melukai perasaan orang lain, walaupun mengandung substansi yang benar. Pemimpin adalah
orang yang hemat berbicara, sedikit berkata-kata, dan berbicara seperlunya saja.

— Selesai…

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2015/04/17/67424/afatul-lisan-bahaya-lidah-bagian-ke-
2/#ixzz6CKj1tyl8
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Anda mungkin juga menyukai