Anda di halaman 1dari 21

dakwatuna.

com

Afatul Lisan (Bahaya Lidah), Bagian ke-2

Tim Kajian Manhaj Tarbiyah dalam rubrik SosialPada 17/04/15 | 17:50, 17:50

Afatul Lisan (Bahaya Lidah), Bagian ke-2

Ilustrasi. (inet)

Ilustrasi. (inet)

3) Fenomena Bahaya Lisan

a) Alkalaamu fimaa laa ya’nihi (Ungkapan yang tidak berguna)

dakwatuna.com – Nabi Saw. telah bersabda: “Barang siapa mampu menjaga apa yang terdapat antara
dua janggut dan apa yang ada di antara dua kaki, maka aku jamin dia masuk surga. ( Muttafaq ‘alaih, dari
Sahl bin Sa’ad)

Kita hendaknya hanya mengucapkan sesuatu yang bermanfaat, karena ucapan yang mubah dapat
mengarah kapada hal yang makruh atau haram. Rasulullah saw bersabda:

ْ ‫اآلخ ِر فَ ْاليَقُلْ خَ ْيرًا َأوْ لِيَصْ ُم‬


‫ت‬ ِ ‫َم ْن َكانَ يُْؤ ِمنُ بِاهللِ َو ْاليَوْ ِم‬

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia berbicara yang baik atau diam”.
(Muttafaq ‘alaih, dari Abu Hurairah)

Bila seseorang telah mengerti bahwa ia akan dihisab dan dibalas atas segala ucapan lidahnya, maka dia
akan tahu bahaya kata-kata yang diucapkan lidah, dan dia pun akan mempertimbangkan dengan matang
sebelum lidahnya dipergunakan. Allah berfirman:
١٨﴿ ‫﴾ َّما يَ ْلفِظُ ِمن قَوْ ٍل ِإاَّل لَ َد ْي ِه َرقِيبٌ َعتِي ٌد‬

“Tidak ada satu ucapan pun yang diucapkan, kecuali di dekatnya ada malaikat Raqib dan ‘Atid.” (QS.
Qoof: 18)

b) Fudhulul Kalaam (Berbicara yang berlebihan)

Lidah memiliki kesempatan yang sangat luas untuk taat kepada Allah dan berdzikir kepadanya, tetapi
juga memungkinkan untuk digunakan dalam kemaksiatan dan berbicara berlebihan. Semestinya kita
mampu mengendalikan lidah untuk berdzikir dan taat kepada Allah, sehingga bisa meninggikan derajat
kita. Sedangkan banyak berbicara tanpa dzikir kepada Allah akan mengeraskan hati, dan menjauhkan diri
dari Allah ‘Azza wa Jalla.

Menuju surga cepat dengan lisan, menuju nerakapun cepat dengan lisan. Lisan bagai ‘jaring’ kalau
menjaringnya baik akan mendapatkan hasil yang baik, sebaliknya jika tidak hasilnya akan sedikit dan
melelahkan. Kata orang lidah tidak bertulang, maka lebih senang mengatakan apa-apa tanpa berpikir.
Bahaya lidah ini sebenarnya besar sekali. Nabi Muhammad SAW juga pernah bersabda, “Tiada akan
lurus keimanan seorang hamba, sehingga lurus pula hatinya, dan tiada akan lurus hatinya, sehingga lurus
pula lidahnya. dan seorang hamba tidak akan memasuki syurga, selagi tetangganya belum aman dari
kejahatannya.”

Allah telah memberikan batasan tentang pembicaraan agar arahan pembicaran kita bermanfaat dan
berdampak terhadap sesama, sebagaimana firman-Nya:

‫ت هَّللا ِ فَسَوْ فَ نُْؤ تِي ِه َأجْ رًا‬ َ ِ‫اس ۚ َو َمن يَ ْف َعلْ ٰ َذل‬
َ ْ‫ك ا ْبتِغَا َء َمر‬
ِ ‫ضا‬ ٍ ‫ُوف َأوْ ِإصْ اَل‬
ِ َّ‫ح بَ ْينَ الن‬ ٍ ‫ص َدقَ ٍة َأوْ َم ْعر‬
َ ِ‫ير ِّمن نَّجْ َواهُ ْم ِإاَّل َم ْن َأ َم َر ب‬
ٍ ِ‫اَّل َخي َْر فِي َكث‬
١١٤﴿ ‫﴾ َع ِظي ًما‬

“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang
menyuruh (manusia) memberi shodaqoh atau berbuat ma’ruf atau mengadakan perdamaian di antara
manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami
memberi kepadanya pahala yang besar.” (Annisa: 114)
c) Al-khoudh fil baathil (Ungkapan yang mendekati kebatilan dan maksiat)

Orang-orang sufi lebih tekun menggunakan mulutnya untuk berdzikir dari pada berbincang-bincang,
memperingatkan dengan prihatin; Manusia paling sering tertimpa bahaya dan paling banyak
mendapatkan kesusahan adalah lidahnya terlepas dan hatinya tertutup. Ia tidak dapat berdiam diri, dan
kalau berkata tidak bisa mengungkapkan yang baik-baik.

Hasan Al Bashri semasa mudanya pernah merayu seorang wanita cantik di tempat sepi, perempuan itu
menegur, “Apakah engkau tidak malu? “Hasan Al Bashri menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu mengawasi
pula sekelilingnya, setelah ia yakin di tempat itu hanya ada mereka berdua, dan tidak terlihat siapapun,
Hasan Al Bashri bertanya, “Malu kepada siapa? Di sini tidak ada orang lain yang menyaksikan perbuatan
kita. “Wanita itu menjawab, “Malu kepada Dzat yang mengetahui khianatnya mata dan apa yang
disembunyikan di dalam hati ”

Lemas sekujur tubuh Hasan Al Bashri. Ia menggigil ketakutan hanya karena jawaban sederhana itu,
sehingga ia bertobat tidak ingin mengulangi perbuatan jeleknya lagi. Karena itulah Rasulullah saw.
mengingatkan, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, ucapkanlah yang bermanfaat,
atau lebih baik diam saja”.

d) Al-Miraa’ wal-jidaal (Berbantahan, bertengkar dan debat kusir).

Jidaal adalah menentang ucapan orang lain guna menyalahkan secara lafadz dan makna. Perdebatan
dalam isu-isu agama dan ibadah tidak banyak faedah yang didapat kecuali jika dilangsungkan dengan
etika debat yang benar, saling menghormati antar peserta dan dengan kekuatan ilmiah yang
meyakinkan. Biasanya debat yang tidak dikawal oleh akhlak lebih banyak mengundang kepada
pertengkaran dan permusuhan yang merugikan.

Tidak dinafikan debat merupakan salah satu uslub (cara) yang sangat efektif dan berkesan dalam
menyebarkan Islam, dakwah dan kebenaran, tetapi ia adalah langkah ketiga dan terakhir, yaitu setelah
terjadi kebuntuan dimana pendekatan dengan hikmah dan nasihat/pengajaran yang baik tidak berhasil.
Itupun dilangsungkan dengan akhlak dan adab yang tinggi.

Allah berfirman:
﴿ َ‫ض َّل عَن َسبِيلِ ِه ۖ َوهُ َو َأ ْعلَ ُم بِ ْال ُم ْهتَ ِدين‬
َ ‫ك ه َُو َأ ْعلَ ُم بِ َمن‬
َ َّ‫ك بِ ْال ِح ْك َم ِة َو ْال َموْ ِعظَ ِة ْال َح َسنَ ِة ۖ َو َجا ِد ْلهُم بِالَّتِي ِه َي َأحْ َسنُ ۚ ِإ َّن َرب‬
َ ِّ‫ع ِإلَ ٰى َسبِي ِل َرب‬
ُ ‫ا ْد‬
١٢٥﴾

“Serulah ke jalan Tuhanmu wahai Muhammad dengan hikmat kebijaksanaan dan nasihat pengajaran
yang baik dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang lebih baik” (Al-Nahl: 125).

Ayat di atas meletakkan debat pada tempat terakhir, yaitu selepas pendekatan hikmah dan nasihat yang
baik. Debat menjadi langkah terakhir, bukan karena kurang berkesan atau tidak ada faedahnya, tetapi
karena kesukaran mematuhi aturan, akhlak, adab-adabnya.

Debat selalu dirusak oleh tidak adanya ikhlas antara dua kubu yang terkait. Pendebat selalu
menginginkan kemenangan sekalipun ia tidak mempunyai hujjah. Pendebat tidak bersedia mengalah,
sekalipun ternyata ia berada pada pihak yang salah. Pendebat akan memilih untuk berkata ‘ya’ apabila
lawan berkata ‘tidak’ dan berkata ‘tidak’ apabila lawan berkata ‘ya’.

Debat selalu dikuasai oleh pihak yang handal bercakap, sekalipun tidak berisi. Keadaannya bagaikan dua
pasukan pemain sepak bola yang masing-masing mempunyai ‘suporter’ yang tidak pernah mengaku
kalah sekalipun tidak pernah bermain. Kalaupun ada yang mengaku, tetapi hanya dalam gelanggang, di
luar belum tentu. Begitulah debat yang tidak berakhlak dan biasa kita saksikan.

Etika debat yang perlu dipatuhi untuk menghasilkan natijah yang baik bahkan sekaligus debat disifatkan
sebagai terbaik ialah:

Hindari penggunaan bahasa yang rendah, tindakan yang kasar dan tidak menghormati pemikiran lawan.
Jika perlu, adakan penengah untuk menengahi perjalanan debat. Penengah perlu diberi hak memberi
kartu kuning atau merah, bahkan ‘menskor’ pendebat yang melanggar disiplin debat dan aturan.

Hendaklah lebih banyak mencari titik persamaan antara kedua belah pihak. Kurangi usaha mencari titik
perbedaan. Lebih banyak persamaan yang ditemui, lebih banyak hasil yang diperoleh. Arahkan
sepenuhnya kepada titik-titik persamaan.

Debat Alquran yang berlangsung antara Nabi s.a.w. dengan Yahudi dan Nashara bahkan dengan kaum
musyrikin menjadi contoh untuk dipelajari, disiplin, akhlak dan etikanya. Dikemukakan di sini debat
antara Nabi dengan musyrikin dalam ayat 24-26 surah Saba’ yang bermaksud; Allah berfirman:
‫﴾ قُل اَّل تُ ْسَألُونَ َع َّما َأجْ َر ْمنَا َواَل نُ ْسَأ ُل َع َّما‬٢٤﴿ ‫ين‬ ٍ ِ‫ضاَل ٍل ُّمب‬ َ ‫ض ۖ قُ ِل هَّللا ُ ۖ وَِإنَّا َأوْ ِإيَّا ُك ْم لَ َعلَ ٰى هُدًى َأوْ فِي‬
ِ ْ‫ت َواَأْلر‬ َ ‫قُلْ َمن َيرْ ُزقُ ُكم ِّمنَ ال َّس َم‬
ِ ‫اوا‬
ْ ْ
٢٦﴿ ‫ق َوهُ َو الفَتَّا ُح ال َعلِي ُم‬ ْ
ِّ ‫﴾ قُلْ يَجْ َم ُع بَ ْينَنَا َربُّنَا ثُ َّم يَ ْفتَ ُح بَ ْينَنَا بِال َح‬٢٥﴿ َ‫﴾تَ ْع َملُون‬

“Bertanyalah wahai Muhammad, siapa yang memberi rezeki kepada kamu dari langit dan bumi?
Terangkanlah jawabnya ialah Allah. Sesungguhnya tiap-tiap satu golongan, sama ada kami atau kamu
tetap di atas hidayat atau tenggelam dalam kesesatan. Katakanlah: Tuhan akan menghimpunkan kita
semua pada hari kiamat, kemudian akan menyelesaikan krisis di antara kita dengan penyelesaian yang
benar.”

Debat nabi-nabi jelas beretika dan halus budi bahasanya. Setiap patah kata dalam ungkapannya dapat
menjadi contoh bagi para da’i yang mencintai kebenaran. Tetapi sayang, sebagian pendebat sekarang
banyak menyimpang jauh dari panduan nabi-nabi, mereka berdebat seolah-olah berperang. Segala isu
yang muncul dalam dakwah, besar kemungkinan ada persamaannya dalam politik.

e)Al-Khushumah istifa-ulhaq (Banyak omong yang berlebih-lebihan ingin mendapatkan haknya).

Mulutmu harimaumu. Pepatah ini mengingatkan kita agar lebih hati-hati dalam berucap dan
mengeluarkan pernyataan. Bahwa sumber dari segala bencana di dunia ini bukan pada bencana alam,
letusan gunung berapi, banjir, ataupun gempa bumi, melainkan bersumber pada mulut kita sendiri.

Rasulullah saw bersabda: “Orang yang amat dibenci di sisi Allah adalah orang yang banyak omong.” (al
hadits)

Menurut ilmu kedokteran, dalam tubuh manusia terdapat banyak lubang, tetapi di antara lubang-lubang
itu, hanya lubang mulut yang paling banyak mengandung virus. Ada lubang telinga, lubang hidung,
bahkan lubang saluran pembuangan kotoran, tetapi semua itu tidak ada artinya jika dibandingkan
dengan lubang mulut. Mulut manusia memang berbisa.

Secara lahiriyah mulut manusia itu mengandung banyak virus, terlebih secara batiniah. Itulah sebabnya,
ketika Rasulullah didatangi seseorang yang hendak menanyakan tentang Islam dengan satu pertanyaan
yang tidak perlu dan disusul dengan pertanyaan lainnya, maka Rasulullah memberi jawaban singkat:
‫ت بِاهللِ ثُ َّم ا ْستَقِ ْم‬
ُ ‫قُلْ آ َم ْن‬

Katakanlah aku beriman kepada Allah, kemudian beristiqamalah. Sahabat tersebut bertanya, dengan
cara apa kami memeliharanya? Rasulullah memberi isyarat kepada lisannya.

f)Al Mizaah (Bercanda dan senda gurau)

Rasullullah acapkali bercanda. Rasullullah saw. Bersabda:

‫ِإنِّي ُأ ِحبُّ ْال ِمزَا َح َوالَ َأقُوْ ُل ِإالَّ َحقًّا‬

“Sesungguhnya saya (Nabi Muhammad saw) suka bersendagurau dan saya tidak akan mengatakan
kecuali yang benar-benar.”

Seperti kisah Rasullullah bersama seorang nenek yang menanyakan apakah si dia (nenek) akan masuk
surga. Dan dijawab Rasul saw, bahwa hanya orang muda saja penghuni syurga. Si nenek pun terkejut,
dan akhirnya Rasullullah menerangkan bahwa biarpun orang tua akan menjadi muda kembali bila masuk
surga.

Rasullullah saw. Bersabda: “Sesungguhnya engkau (hai ibu tua) tidak lagi berupa seorang tua-bangka
pada waktu itu (yakni setelah masuk syurga). Karena Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Kami
menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung “. Maksudnya: tanpa melalui kelahiran dan
langsung menjadi gadis. “Dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan”

Pada hadits tersebut dan hadits-hadits yang lain, banyak menceritakan bagaimana Rasullullah saw.
bercanda, dan sesungguhnya bercanda yang benar saja yang diperbolehkan. Beberapa dai banyak yang
menggunakan banyolan-banyolan dalam penyampaian dakwahnya, terkadang sudah keterlaluan.
Padahal Islam adalah agama yang serius, bukan dijadikan bahan tertawaan. Masyarakat yang
mendengar dai-dai ini berbanyol, hanya mendapatkan ketawanya saja, sedangkan ilmunya hilang
terbawa gelak tawanya. Dan sesungguhnya Allah sangat murka pada sesuatu yang berlebihan, termasuk
tertawa. Padahal dalam suatu hadits yang menyebutkan bahwa sesungguhnya bercanda itu
menyempitkan hati. Di hadist tsb, menerangkan bahwa Rasullulllah tak pernah terlihat palate (langit-
langit tenggorokan)-nya bila beliau sedang ketawa, hanya senyuman-lah yang selalu menghiasi pribadi
beliau saw.

g) Bidza’atul lisan wal qoulul faahisy was-sab (Ungkapan yang menyakitkan /nyelekit)

Secara sadar atau tidak banyak kita jumpai perkataan yang menjurus kepada mencaci, menghina,
merendahkan, mengejek dan mempermainkan nama Allah, sifat-sifat-Nya, rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-
Nya, ayat-ayat-Nya dan hukum-hukum-Nya serta hukum-hukum yang diterangkan oleh rasul-Nya. Dan
juga perkataan yang menolak, menafikan dan mengingkari segala perkara dari ‘alim ulama’ dimana
semua orang tahu bahwa perkara itu dari agama.

Mislanya seperti katanya mengenai mana-mana hukum Islam:

“Hukum apa ini?”

“Hukum ini sudah usang.”

“Zaman sekarang tidak pantas diharamkan riba karena menghalangi kemajuan.”

“Dalam zaman yang serba maju ini kaum wanita tak perlu dibungkus-bungkus.”

“Berzina jikalau suka sama suka apalah haramnya?”

“Minum arak kalau dengan tujuan hendak menyehatkan badan untuk beribadat apalah salahnya?”

“Berjudi kalau masing-masing sudah rela menerima untung ruginya apa salahnya?”

“Kalau diberlakukan hukum-hukum Islam sampai kiamat kita tak maju-maju.”

“Ini perbuatan tidak beradab’ – diceritakan bahwa Nabi Muhammad saw. setelah makan: menjilat sisa
makanan di jarinya.

Untuk itu Imam Al Bashri mengemukakan bahwa lidah orang berakal itu terletak di belakang akalnya.
Jika ia hendak berkata, dipikirkannya lebih dahulu. Kalau perkataan itu kira-kira bakal bermanfaat
baginya, ia akan mengucapkannya,. Kalau dirasakannya akan membahayakan dirinya, ia memilih diam.
Sedangkan hati orang dungu terletak di belakang lidahnya. Jika ia mau berkata, langsung saja
diucapkannya. “Apalagi mengatakan yang tidak pernah dikerjakan, dan membungkus keburukan hati
dan keculasan perangai dengan ucapan indah yang berbunga-bunga. Barangkali manusia dapat
dikelabui, tetapi apakah Allah swt. dapat ditipu?
h)Al La’nu (Melaknat, walaupun binatang atau benda, apatah lagi manusia)

Akhir-akhir ini kebiasaan melaknat (mengutuk) banyak merebak di tengah-tengah masyarakat, baik yang
tua maupun yang muda, laki-laki maupun wanita, dewasa maupun anak-anak, sehingga didapati
seseorang melaknat anaknya, saudaranya, tetangganya, bahkan melaknat kedua orang tuanya dengan
mengatakan, “Terlaknatlah kedua orang tuaku atau terlaknatlah ibuku, aku akan melakukan ini dan ini
(seperti terkutuk bapakku jika aku tidak melakukan ini dan ini).” Biasanya dipakai untuk mengancam
atau menantang.

Tidak diragukan lagi ucapan seperti itu adalah ucapan keji dan mungkar yang tidak mendatangkan ridha
Allah , seperti dalam firman-Nya:

َ ْ‫ك لَبِ ْال ِمر‬


١٤﴿ ‫صا ِد‬ َ َّ‫﴾ِإ َّن َرب‬

“Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi.” (al-Fajr: 14)

Dan firman Allah:

ُ َ‫ۚ وقُل لِّ ِعبَا ِدي يَقُولُوا الَّتِي ِه َي َأحْ َسنُ ۚ ِإ َّن ال َّش ْيطَانَ يَنز‬
‫غ بَ ْينَهُ ْم‬ َ

“Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku: Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik,
sesungguhnya setan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka.” (Al-Isra: 53)

Dan beberapa hadits Nabi yang melarang hal tersebut di antaranya: Hadits Abu Dawud Tsabit bin ad-
Dhahak berbunyi: ”Melaknat seorang mukmin adalah seperti membunuhnya.” (Mutafaqun ‘alaihi)

Hadits dari Abu Hurairah berbunyi: “Tidak pantas bagi seorang shiddiq (orang yang mengikuti
kebenaran) menjadi tukang laknat.” (HR Muslim)
Dan Hadits dari Abu Darda’ berbunyi: “Tukang-tukang laknat tidak akan menjadi pemberi syafaat dan
pemberi kesaksian pada hari kiamat.” (HR Muslim)

Hadits Abdullah bin Mas’ud berbunyi: “Seorang mukmin bukanlah tukang cela dan tukang laknat dan
bukanlah orang yang suka berkata keji lagi kotor.” (HR Tirmidzi) ; Hadits ini dicantumkan oleh Syaikh al-
Albani di dalam kitab beliau Shahih Jami’ Tirmidzi no 610 dan Silsilah Hadits Shahih no 320

Di dalam Silsilah Hadits Shahih tercantum sebuah hadits yang berbunyi: “Apabila sebuah laknat terucap
dari mulut seseorang, maka ia (laknat itu) akan mencari sasarannya. Jika ia tidak menemukan jalan
menuju sasarannya, maka ia akan kembali kepada orang yang mengucapkannya.”

Hakikat laknat adalah menjauhkan sesuatu dari rahmat Allah. Seseorang yang melaknat berarti telah
menyatakan bahwa sesuatu telah dijauhkan dari rahmat Allah, padahal itu termasuk perkara gaib, tidak
ada yang mengetahuinya kecuali Allah Maka perbuatan seperti ini termasuk berdusta dan mengada-ada
atas nama Allah Dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah
bersabda,

“Dahulu kala ada dua orang Bani Israil yang bersaudara. Salah seorang di antara keduanya sering
berbuat dosa, sedangkan yang lain tekun beribadah. Yang tekun beribadah selalu mendapati saudaranya
berbuat dosa, ia berkata, ‘Tahanlah dirimu dari perbuatan dosa!’ Pada suatu hari, ia melihat hal serupa,
ia berkata, ‘Tahanlah dirimu.’ Saudaranya berkata, ‘Biarkan aku bersama Rabbku! Apakah engkau diutus
sebagai pengawasku?’ Maka ia pun berkata kepada saudaranya tersebut, ‘Demi Allah, Allah tidak akan
mengampunimu atau demi Allah, Allah tidak akan memasukkanmu ke dalam surga.’ Kemudian ruh
keduanya dicabut, lalu bertemu kembali di hadapan Allah Rabbul ‘Alamin. Allah berkata kepada yang
tekun beribadah, ‘Apakah engkau mengetahui tentang Aku? Atau apakah engkau berkuasa atas apa
yang ada ditangan-Ku?’ Kemudian Allah berkata kepada saudaranya, ‘Masuklah ke dalam surga dengan
rahmat-Ku.’ Dan Allah berkata kepadanya, ‘Seret ia ke neraka!'”

Abu Hurairah berkata, “Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, orang tersebut telah mengatakan
sebuah kalimat yang menghancurkan dunia dan akhiratnya.” (HR Abu Dawud dengan sanad hasan)
Cobalah perhatikan kalimat yang diucapkan oleh seorang ahli ibadah tadi ternyata lebih besar daripada
dosa yang dilakukan saudaranya, karena ia berani bersumpah atas nama Allah. Hanya Allah sajalah yang
dimintai pertolongan-Nya. Merupakan musibah besar jika seseorang berani melaknat ibunya. Para
sahabat sempat menganggap mustahil perbuatan seperti itu, lalu Rasulullah menjelaskan maksudnya
kepada mereka, yaitu dengan mencela ayah ibu orang lain hingga orang tersebut mencaci ayah ibunya.
(Muttafaqun ‘alaihi)
i)Al Ghina’ wasy-syi’r (Bernyanyi dan bersyair)

Allah berfirman:

‫ض َّل عَن َسبِي ِل هَّللا ِ بِ َغي ِْر ِع ْل ٍم َويَتَّ ِخ َذهَا هُ ُز ًوا‬ ِ ‫اس َمن يَ ْشت َِري لَ ْه َو ْال َح ِدي‬
ِ ُ‫ث لِي‬ ِ َّ‫ۚ و ِمنَ الن‬
َ

“Dan di antara manusia (ada) yang mempergunakan lahwul hadits untuk menyesatkan (manusia) dari
jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu bahan olok-olokan.” (Luqman: 6)

Mengenai ayat ini Ibnu Abbas ra berkata bahwa Lahwal hadist dalam ayat ini berarti “Nyanyian”. Ibnu
Mas’ud r.a menerangkan bahwa Lahwal hadist itu adalah al-Ghina (nyanyian).

Allah berfirman:

ِ ‫﴾َأفَ ِم ْن ٰهَ َذا ْال َح ِدي‬


٦٠﴿ َ‫﴾ َوتَضْ َح ُكونَ َواَل تَ ْب ُكون‬٥٩﴿ َ‫ث تَ ْع َجبُون‬

“Maka apakah kamu merasa heran dengan pemberitaan ini dan kamu mentertawakan dan tidak
menangis sedang kamu bernyanyi-nyanyi.” (An-Najm: 59-60)

Kata Ikrimah r.a dari Ibnu Abbas r.a bahwa kata “As-Sumud” dalam akhir ayat ini berarti Al-Ghina
menurut dialek Himyar. Dia menambahkan bahwa jika mendengar Alquran dibacakan, mereka
bernyanyi-nyanyi, maka turunlah ayat ini.

Dalam hadits sahih yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari sahabat Abi Amir dan Abi Malik Al Asy’ari
Rasulullah saw bersabda: “Akan muncul dari kalangan ummatku sekelompok orang yang menghalalkan
farj (perzinahan), sutera, khamar dan alat-alat musik.” (lihat Fatul Bari, 10/51).

Nyanyian dan musik merupakan dua pintu yang dilalui setan untuk merusak hati dan jiwa. Kaitannya
dengan hal itu, Imam Al-Hafiz Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata: “Diantara tipu daya setan – musuh
Allah – dan diantara jerat yang dipasangnya untuk orang yang sedikit ilmu, akal dan agamanya, sehingga
orang yang bersangkutan tersebut terjebak kedalamnya untuk mendengarkan kidung dan nyanyian yang
diiringi musik yang diharamkan. Satu hal yang mengherankan adalah sebagian manusia yang mengaku
memiliki konsentrasi untuk ibadah justru telah menjadikan nyanyian, tarian dan lagu-lagu lain sebagai
wahana untuk beribadah sehingga mereka meninggalkan Alquran.

Ibnu Qayyim dalam kitabnya “Ighatsatul-Lahfan min Mashayidisy-Syaithan” menamai nyanyian seperti
itu dengan sepuluh nama, yaitu: lahwun (main-main), laghwun (pekerjaan sia-sia), zuur (kebathilan),
muka (siulan), tasydiah (tepuk tangan), ruqyatuz-zina (jimat dalam perzinahan), pedomannya setan,
penumbuh nifak didalam hati, suara kedunguan, suara yang penuh dosa, suara setan atau seruling
setan.

Ada beberapa nyanyian yang diperbolehkan yaitu: Menyanyi pada hari raya. Hal itu berdasarkan hadits
A’isyah: “Suatu ketika Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wasallam masuk ke bilik ‘Aisyah, sedang di sisinya ada
dua orang hamba sahaya wanita yang masing-masing memukul rebana (dalam riwayat lain ia berkata:
“… dan di sisi saya terdapat dua orang hamba sahaya yang sedang menyanyi.”), lalu Abu Bakar
mencegah keduanya. Tetapi Rasulullah malah bersabda: “Biarkanlah mereka karena sesungguhnya
masing-masing kaum memiliki hari raya, sedangkan hari raya kita adalah pada hari ini.” (HR. Bukhari)

Menyanyi dengan rebana ketika berlangsung pesta pernikahan, untuk menyemarakkan suasana
sekaligus memperluas kabar pernikahannya. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Pembeda
antara yang halal dengan yang haram adalah memukul rebana dan suara (lagu) pada saat pernikahan.”
(Hadits shahih riwayat Ahmad). Yang dimaksud di sini adalah khusus untuk kaum wanita. Nasyid Islami
(nyanyian Islami tanpa diiringi dengan musik) yang disenandungkan saat bekerja sehingga bisa lebih
membangkitkan semangat, terutama jika di dalamnya terdapat do’a.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyenandungkan sya’ir Ibnu Rawahah dan menyemangati para
sahabat saat menggali parit. Beliau bersenandung: “Ya Allah tiada kehidupan kecuali kehidupan akherat
maka ampunilah kaum Anshar dan Muhajirin.” Seketika kaum Muhajirin dan Anshar menyambutnya
dengan senandung lain: “Kita telah membai’at Muhammad, kita selamanya selalu dalam jihad.” Ketika
menggali tanah bersama para sahabatnya, Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wasallam juga bersenandung dengan
sya’ir Ibnu Rawahah yang lain: “Demi Allah, jika bukan karena Allah, tentu kita tidak mendapat petunjuk,
tidak pula kita bersedekah, tidak pula mengerjakan shalat. Maka turunkanlah ketenangan kepada kami,
mantapkan langkah dan pendirian kami jika bertemu (musuh) Orang-orang musyrik telah mendurhakai
kami, jika mereka mengingin-kan fitnah maka kami menolaknya.” Dengan suara koor dan tinggi mereka
balas bersenandung “Kami menolaknya, … kami menolaknya.” (Muttafaq ‘Alaih)
j)Attaqo’ur fil kalaam (Berfasih-fasih dalam berbicara untuk menarik perhatian)

Salah satu modal untuk dapat diterima dalam menjalin hubungan dengan orang lain adalah menarik
perhatian. Untuk itu kerap kali orang berakting untuk mendapatkan perhatian orang lain. Namun kadang
orang sering kebablasan dalam akting yang dimainkan, sehingga sering dijuluki over acting, sok gagah,
sok fasih. Misalnya saja ada orang yang sering menggunakan action Inggris untuk menunjukkan bahwa
dia dapat berbahasa Inggris. Atau dengan action Arab untuk menunjukkan dia dapat berbahasa Arab,
walaupun pada kenyataannya tidak. Pernah dalam kampanye Pemilu seorang jurkam sebuah parpol
besar (dengan penuh semangat berpidato di hadapan massanya) berkata,” Saudara-saudara parpol kami
sangat berempati dan antonius dengan nasib rakyat jelata…” (Maksudnya mungkin antusias).

k) Ifsyaa’ussirri (Membocorkan rahasia)

Mudrik bin ‘Aun Al-Ahmas berkata: “Ketika aku berada di sisi Umar radhiyallahu ‘anhu, datanglah utusan
An-Nu’man. Umar radhiyallahu ‘anhu pun menanyakannya tentang keadaan pasukan. Utusan itu
menyebutkan orang-orang yang terluka dan terbunuh di Nahawand, ia berkata: “Si Fulan bin Fulan,
Fulan bin Fulan dan lain-lain yang tidak engkau kenal. Umar radhiyallahu ‘anhu berkata: “Akan tetapi
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui mereka.” Dalam riwayat lain disebutkan: “Akan tetapi Dzat Yang
telah mengkaruniakan mereka syahadah (mati syahid) mengetahui wajah dan nasab mereka.”

Hubungan istri adalah hubungan yang khas, di mana keduanya bisa saling meleburkan diri menjadi satu
kesatuan. Di sana ada cinta, juga kasih dan sayang. Karenanya, dalam kehidupan suami istri pasti terjadi
hubungan intim yang tidak ada orang lain yang mengetahuinya, kecuali mereka berdua. Saat-saat itu
suami mencurahkan segala kasih sayangnya kepada istri, demikian juga sebaliknya.

Hubungan yang demikian, sekalipun berbaur antara cinta dan nafsu tapi Allah telah mensakralkannya.
Hubungan itu suci dan berpahala. Hunbungan itu baru ternoda jika ada salah seorang di antaranya, baik
suami atau istri yang membuka rahasia mereka berdua kepada orang lain. Baik karena ingin
mengungkapkan rasa bahagianya maupun karena rasa kecewa.

Membuka rahasia rumah tangga kepada pihak lain sama sekali tidak mendatangkan keuntungan, justru
bencana dan malapetaka. Rumah tangga bisa berantakan karena salah satu pihak merasa tersinggung
dan terhina karenanya. Kehidupan rumah tangga terganggu, bahkan tidak tertutup kemungkinan jika
kemudian masalahnya berkembang sampai akhirnya terjadi perceraian.
Jika anggota badan yang terluka bisa dijahit dan diperban. Akan tetapi jika hati yang terluka bisa dibawa
sampai mati. Hari ini bisa ditekan, tapi besok bisa muncul kembali. Itulah sebabnya kenapa kita harus
menjaga rahasia istri atau suami.

Dari Abu Said Al-Khudri ra beliau berkata: Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya sejelek-jelek orang
di sisi Allah pada hari qiamat kelak adalah suami yang sudah mencurahkan segala kasih sayangnya
kepada istrinya dan istrinya pun sudah menyerahkan segala kasih sayangnya kepadanya, kemudian dia
(suami) menyebarkan rahasia istrinya (dan istrinya membuka rahasia suaminya).” (HR. Muslim)

l) Alkadzibu (Dusta atau berbohong dalam perkataan, janji dan sumpah)

Allah SWT berfirman

‫ور‬ ُّ ‫َواجْ تَنِبُوا قَوْ َل‬


ِ ‫الز‬

“Hendaklah kita menjauhi perkataan-perkataan dusta.” (Al-Hajj: 30)

Dalam peribahasa mengatakan, “kerana lidah (mulut) badan binasa” ini mengingatkan kita untuk hidup
dalam suasana yang tenteram, aman dan damai, hendaklah diawasi lidah kerana melalui tutur kata akan
menjadi lebih benar, beradab dan bahasanya lebih santun.

Suka berbohong bukan saja menimbulkan kemarahan orang yang mendengarnya, malah menimbulkan
implikasi buruk kepada si pembohong itu sendiri. Dari Abu Hurairah r.a. katanya Rasulullah s.a.w.
bersabda: “Tidak beriman seseorang dengan sempurna sehingga ditinggalkan pembohongan walaupun
senda gurau, bersengketa atau perbalahan.”

Tabiat suka berbohong termasuk dalam kategori dosa besar setelah syirik (menyekutukan Allah) dan
durhaka terhadap kedua orang tua. Ini ditegaskan dalam sabda Rasulullah saw: “Maukah aku tunjukkan
perihal dosa-dosa besar? Kami menjawab: Ya, tentu mau wahai Rasulullah. Rasulullah menjelaskan:
Menyektukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua. Oh ya, (ada lagi) yaitu perkataan dusta.” (Riwayat
Muttafaq Alaih)
Berkata Imam Nawawi di kitabnya Al-Adzkar (halaman 326): “Ketahuilah! Sesungguhnya menurut
madzhab Ahlus Sunnah bahwa dusta itu ialah: Mengkabarkan tentang sesuatu yang berlainan
(berbeda/menyalahi) keadaannya. Baik dilakukan dengan sengaja atau karena kebodohan (tidak
sengaja), akan tetapi tidak berdosa kalau karena kebodohan (tidak sengaja) dan berdosa kalau dilakukan
dengan sengaja”.

m)Al Ghiibah (Menceritakan keburukan orang lain)

Dalam sebuah perjalanan ke suatu daerah, para sahabat diatur agar setiap dua orang yang mampu,
membantu seorang yang tak mampu (tentang makan-minum). Kebetulan Salman Al Farisi diikutkan pada
dua orang, tetapi ketika itu ia lupa tidak melayani keperluan keduanya. Ia disuruh minta lauk pauk
kepada Rasulullah saw. Dan setelah ia berangkat, keduanya berkata, “Seandainya ia pergi ke sumur,
pasti surutlah sumurnya.”

Sewaktu Salman menghadap, beliau bersabda, “Sampaikan kepada kedua temanmu bahwa kalian sudah
makan lauk pauknya.” Setelah ia menyampaikan kepada mereka berdua, lalu keduanya menghadap
kepada Nabi saw dan katanya, “Kami tidak makan lauk pauk dan seharian kami tidak makan daging.”
Kemudian Rasulullah bersabda, “Kalian telah mengatakan saudaramu (Salman) begini-begitu. Maukah
kalian memakan daging orang mati?” Mereka menjawab, “Tidak!” “Jika kalian tidak mau makan daging
orang mati, maka janganlah kalian ghibah mengatakan kejelekan orang lain, sebab yang demikian itu
berarti memakan daging saudaranya sendiri.”

Menurut Ibnu Abbas, kisah tersebut yang melatarbelakangi diturunkannya surat Al-Hujarat: 12

‫ض ُكم بَ ْعضًا ۚ َأيُ ِحبُّ َأ َح ُد ُك ْم َأن يَْأ ُك َل لَحْ َم َأ ِخي ِه َم ْيتًا‬


ُ ‫ْض الظَّنِّ ِإ ْث ٌم ۖ َواَل ت ََج َّسسُوا َواَل يَ ْغتَب بَّ ْع‬
َ ‫يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا اجْ تَنِبُوا َكثِيرًا ِّمنَ الظَّنِّ ِإ َّن بَع‬
‫هَّللا‬ ‫هَّللا‬
١٢﴿ ‫َر ْهتُ ُموهُ ۚ َواتَّقُوا َ ۚ ِإ َّن َ تَوَّابٌ َّر ِحي ٌم‬ ِ ‫﴾فَك‬

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (buruk), karena setengahnya itu dosa,
dan janganlah menyelidiki kesalahan orang lain, dan jangan pula setengah kamu menggunjing (ghibah)
atas sebagian yang lainnya. Maukah seseorang di antara kamu makan daging saudaranya yang mati?
Pasti kamu jijik (tidak mau). Bertaqwalah kepada Allah, bahwasannya Allah menerima taubat lagi
Penyayang.”
Dari Ali bin Ibrahim, dari ayahnya, dari An-Naufal, dari Al-Sakkuni, dari Abu Abdillah ra berkata:
Rasulullah SAW bersabda: ”Kerusakan yang dilakukan oleh ghibah (mengumpat/memfitnah) pada iman
seorang mukmin lebih cepat daripada kerusakan yang disebabkan oleh penyakit aklah (penyakit yang
memakan daging di tubuh manusia) pada tubuhnya.”

Diriwayatkan dari Abu Dzar berkata: Ya Rasulullah, apakah ghibah itu? Rasul menjawab: ”Menyebutkan
tentang saudaramu akan sesuatu yang membuat dia merasa jijik.” Aku berkata: Ya Rasulullah,
bagaimana jika hal tersebut memang ada pada dirinya? Rasul menjawab: Ketahuilah, bahwa menyebut
tentang sesuatu yang memang ada pada dirinya, berarti kamu telah mengumpatnya. Abu Dzar berkata:
Nabi SAW bersabda: Ghibah merupakan suatu dosa yang lebih besar daripada berzina. Kataku:
Bagaimana itu, ya Rasulullah? Rasul menjawab: ”Itu karena orang yang berzina, jika dia bertobat kepada
Allah, Allah menerima tobatnya. Namun ghibah tidak diampuni oleh Allah, hingga korban daripada
ghibah mengampuninya.”

n)Al-madhu (Sanjungan yang menjerumuskan)

Imam Ats-Tsauri menuturkan: “Apabila engkau bukan termasuk orang yang takjub terhadap diri sendiri,
hal lain yang perlu diingat ialah; hindarilah sifat senang disanjung orang.” Maksudnya bukan orang lain
tidak boleh memuji perbuatanmu itu, tetapi janganlah kamu meminta pujian dari orang lain. Hendaknya
engkau selalu berhubungan dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala (dengan selalu mengingatnya).

Dalam sebuah hadits disebutkan: “Barangsiapa yang mencari ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala,
meskipun menimbulkan kemarahan manusia, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan meridhainya dan
akan membuat manusia ridha terhadapnya. Dan barangsiapa yang mencari kesenangan manusia, hingga
membuat Allah murka maka Allah murka kepadanya dan membuat manusia murka terhadapnya.” (HR.
At-Tirmidzi).

Jenis pujian lain adalah memuji diri sendiri atas kekurangan yang ada padanya. Ini termasuk
rekomendasi terhadap diri sendiri. Sebagian orang sengaja memuji diri sendiri di hadapan orang banyak.
Padahal Allah SWT telah berfirman:

‫ۖ فَاَل تُ َز ُّكوا َأنفُ َس ُك ْم‬

“Janganlah kamu menganggap diri kamu suci” (An-Najm: 32).


Dan perbuatan tadi termasuk menganggap suci diri sendiri. Rabbah Al-Qaisi pernah ditanya: “Apakah
yang dapat merusak amalan seseorang?” Beliau menjawab: “Sanjungan orang dan lupa terhadap Allah
Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberi nikmat”

Seorang penyair berkata:

Sungguh aneh orang yang memuji dirinya sendiri

Namun tidak menyadari bahwa pujiannya itu sendiri adalah kekurangan dirinya

Seorang pemuda memuji diri atas kekurangan yang ada padanya,

Menyebut-nyebut aibnya sendiri hingga diketahui kejelekannya

Pujian sesekali perlu diberikan. Hal ini membuat orang lain berusaha untuk bekerja lebih baik lagi.
Karena, pada dasarnya semua orang mendambakan penghargaan walaupun hanya berupa kata-kata
pujian.

Rasulullah saw. memberikan reward kepada para sahabatnya selalu disertai doa. Misalnya Saad Bin Abi
Waqash pernah didoakan Rasulullah tentang dua hal yaitu kalau berdoa pasti dikabulkan Allah dan kalau
memanah pasti kena sasaran. Inilah sanjungan yang dilandasi persahabatan yang dibangun atas dasar
cinta kepada Allah.

Biasanya kita dapati pada masyarakat yang budaya paternalistiknya sangat kuat; budaya ‘Asal Bapak
Senang’; budaya Yes Man dan sebagainya. Berbagai gelar, acap kali disematkan sebagai tanda loyalnya
bawahan terhadap atasan, misalnya Bapak Revolusi, Wali ul Amri, Bapak Pembangunan dan banyak
bentuk-bentuk sanjungan yang pada akhirnya justru akan menghancurkan orang tersebut. Seperti Firaun
yang selalu disanjung, dipuja oleh rakyatnya dan pada gilirannya Firaun mendeklarasikan dirinya sebagai
tuhan. Dan kita tahu bagaimana akhir dari kehidupan Firaun itu sangat tragis dan mengenaskan. Dan
hanya Allah yang pantas mendapat segala jenis sanjungan dan pujian.

o) Assukhriyah wal istihza’ (Menyebutkan hal yang bikin malu – kejelekan diceritakan untuk
ditertawakan)
Menjelang perpisahannya dengan Nabi Musa as, Nabi Khidir as, memberi nasihat, “Hai Musa, janganlah
terlalu banyak bicara, dan jangan pergi tanpa perlu, dan jangan banyak tertawa, juga jangan
mentertawakan orang yang berbuat salah, dan tangisilah dosa-dosa yang telah kamu perbuat, hai putra
Ali ‘Imran.” (Tanbighul Ghafilin: 192-193).

Tertawa, tentu saja, bukanlah sesuatu yang dilarang. Siapa saja boleh tertawa selagi ingin. Dengan
tertawa menunjukkan, bahwa seseorang sedang dalam keadaan senang.

Bahkan tertawa bisa menjadi ilham bagi seorang penulis untuk membuat sebuah buku. Akan tetapi,
tertawa dalam pengertian mengeluarkan suara meledak-ledak oleh sebab rasa suka, geli apalagi
mengandung unsur menghina seseorang, ini akan lain ceritanya.

Tidak didapati dalam ajaran di luar Islam yang mengatur tata hidup sedemikian rupa, hingga masalah
tertawa.

Allah swt berfirman:

٨٢﴿ َ‫﴾فَ ْليَضْ َح ُكوا قَلِياًل َو ْليَ ْب ُكوا َكثِيرًا َج َزا ًء بِ َما كَانُوا يَ ْك ِسبُون‬

“Maka hendaklah mereka sedikit tertawa dan banyak menangis sebagai pembalasan dari apa yang selalu
mereka kerjakan.” (QS. At-Taubah: 82).

Dalam salah satu haditsnya Rasulullah saw bersabda: “Seandainya kamu mengetahui apa yang aku
ketahui, niscaya kamu akan sedikit tertawa, ….” (HR.Abu Dzar ra) . Rasulullah saw tidak pernah tertawa,
kecuali hanya tersenyum, tidak menoleh kecuali dengan wajah penuh (maksudnya: tidak melirik). (Ja’far
Auf, Mas’ud dari Auf Abdillah)

Berdasarkan hadits di atas, sebagian ulama berpendapat bahwa tersenyum itu hukumnya sunah, sedang
tertawa terbahak-bahak makruh. Maka bagi mereka yang tetap ingin sehat akalnya, seyogyanya
menjauhi tertawa dengan cara demikian (terbahak-bahak atau meledak-ledak), kata Al-Faqih Abu Laits
Samarqandi. Dengan kata lain, orang yang tidak bisa mengendalikan diri dan gemar tertawa, akan
membuat fungsi akalnya terganggu, lengah dan lupa diri, yang berarti membuka pintu bagi syetan untuk
masuknya godaan. Dalam surat An-Najm (53): 59-61 Allah memperingatkan,

ِ ‫﴾َأفَ ِم ْن ٰهَ َذا ْال َح ِدي‬


٦١﴿ َ‫﴾ َوَأنتُ ْم َسا ِم ُدون‬٦٠﴿ َ‫﴾ َوتَضْ َح ُكونَ َواَل تَ ْب ُكون‬٥٩﴿ َ‫ث تَ ْع َجبُون‬

“Apakah dengan ajaran ini, kalian ta’ajub (heran)? Kamu tertawa dan tidak menangis. Sedangkan kalian
lengah.” (An-Najm: 59-61)

Ibnu Abbas ra berkata, “Barangsiapa tertawa di saat berbuat maksiat, maka akan bercucuran tangis di
neraka.” Tertawa yang berlebihan, termasuk di antara 3 perkara yang menyebabkan hati seorang
menjadi bebal dan membatu. Sedang dua penyebab yang lainnya yaitu: belum lapar sudah makan lagi
dan gemar omong kosong (bicara ke sana kemari yang tak berguna). Terkadang kita mendapati
seseorang yang kesibukannya membuat orang tertawa-tawa, sehingga bukan semata menjadi hiburan
hati, tapi sudah mengarah pada membuat orang menjadi lengah dan lupa.

Kepada yang berbuat seperti ini Rasulullah saw memberi peringatan: “Celakalah orang yang berdusta
supaya ditertawakan orang lain. Celakalah dia, celakalah dia!” (HR. Tirmidzi)

p) An-namiimah (Adu domba atau menghasut)

Adu domba merupakan perangai tercela yang menanamkan dendam diantara manusia, ini merupakan
sifat yang dibenci setiap muslim dan muslimah. Sifat yang buruk ini tidak boleh diremehkan, karena
diantara ciri-ciri adu domba dan yang telah ditetapkan baginya, bahwa ia bisa memisahkan seseorang
dengan kerabatnya, seseorang dengan teman-temannya, bahkan dirinya dengan anggota saudaranya
sendiri.

Adu domba bisa menimbulkan tindak pembunuhan, bahkan peperangan antara dua kabilah. Di dalam
masyarakat kita banyak terdapat peristiwa yang menunjukkan betapa besar akibat yang ditimbulkan adu
domba. Sedangkan istri yang ideal mempunyai sikap yang pasti dalam menghadapi adu domba sesuai
dengan hukum syari’at tentang adu domba, bahwa nabi perbah bersabda:

‫الَ يَ ْد ُخ ُل ْال َجنَّةَ نَ َّما ٌم‬


“Tidak akan masuk surga orang yang suka mengadu domba.” (muttafaq alaihi).

q) Al khotho’ fi daqo-iqul kalaam (Bertanya yang bukan-bukan, hingga memberatkan orang yang
menjawab)

Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, menceritakan bahwasanya di mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
Wasallam bersabda:

‫م عَل َى َأ ْنبِيَا ِء ِه ْم‬xْ ُ‫اختِالَفُه‬


ْ ‫ك َم ْن َكانَ قَ ْبلَ ُك ْم ك َْث َرةُ سَُؤالِ ِه ْم َو‬
َ َ‫َما نَهَ ْيتُ ُك ْم فَاجْ تَنِبُوْ هُ َو َما َأ َمرْ تُ ُك ْم بِ ِه فَاْئتُوْ ا ِم ْنهُ َما ا ْستَطَ ْعتُ ْم ِإنَّ َما َأ ْهل‬

“Apa yang aku larang kalian dari (mengerjakan)-nya maka jauhilah ia, dan apa yang aku perintahkan
kalian untuk (melakukan)-nya maka lakukanlah sesuai dengan kemampuan kalian, karena sesungguhnya
yang menghancurkan orang-orang yang sebelum kalian adalah karena banyaknya pertanyaan-
pertanyaan mereka (yang mereka ajukan) dan perselisihan mereka dengan para Nabi-Nabi (yang diutus
kepada) mereka“. (H.R.Bukhari dan Muslim).

Dalam hadits tersebut kita diperintahkan untuk melakukan apa yang diperintahkan oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi Wasallam dan menjauhi apa saja yang dilarang oleh beliau. Larangan tersebut
dimaksudkan agar kita tidak terjebak dengan apa yang telah menimpa umat-umat terdahulu yang
hancur dan binasa gara-gara terlalu banyak bertanya kepada Nabi-Nabi mereka tentang sesuatu yang
tidak ada faedahnya begitu juga seringnya mereka berselisih dan membantah Nabi-Nabi mereka
tersebut.

Secara global, barangsiapa yang melakukan apa yang diperintahkan oleh Nabi saw dan menjauhi apa
yang dilarang oleh beliau dan memfokuskan diri pada apa yang diperintahkan kepadanya, terlepas dari
yang lainnya maka dia akan mendapakan keselamatan di dunia dan akhirat sedangkan orang yang
berbuat sebaliknya dengan menyibukkan dirinya berdasarkan pertimbangan logika dan perasaan
semata, maka dia telah terjerumus kedalam apa yang dilarang oleh Nabi saw sama seperti halnya Ahlul
Kitab yang binasa lantaran terlalu banyak bertanya dan berselisih dengan para Nabi mereka dan
ketidaktundukan serta ketidakta’atan mereka kepada para Rasul yang diutus kepada mereka.

4) Menjauhi Bahaya Lidah


Menjaga mulutnya agar tidak kemasukan barang haram.

Menjaga mulutnya agar tidak mengeluarkan kata-kata yang tidak seharusnya dikatakan.

Masuk keluarnya sesuatu dari mulut itu harus benar-benar dijaga, sebab letak keselamatan manusia,
dunia dan akhiratnya itu terletak pada kemampuannya untuk menjaga hal tersebut di atas.

Abu Bakar ash-Shiddiq, khalifah pertama pengganti Rasulullah pernah meletakkan tongkat di mulutnya
untuk menjaga ucapannya. Lalu ia menunjuk lisannya seraya berkata: “Inilah yang dapat
mengeluarkanku dari tempat tempat keluar (maksudnya: keluar dari batas-batas kebenaran).”

Sebagai khalifah, Abu Bakar dikenal orang yang paling hemat dalam berbicara. Ketika ditunjuk menjadi
khalifah, ia hanya berpidato sebentar.

Meskipun pidatonya sebentar, tapi kata-katanya dihafal oleh para sahabat, juga kaum muslimin hingga
sekarang. Singkat tapi padat. Penuh arti dan konsisten. Apa yang dikatakan, itulah yang ada di dalam
pikiran dan perasaannya. Antara ucapan dan tindakannya tidak terdapat perbedaan. Antara ucapannya
hari ini dan besok tidak saling bertentangan.

Meskipun Abu Bakar memerintah kaum muslimin dalam tempo yang amat singkat, tapi banyak hal yang
bisa diselesaikan. Ancaman disintegrasi (pemurtadan), kerusuhan rasial antar suku dan golongan, dan
berbagai gejolak dalam negeri segera dapat diatasi, bukan dengan kata-kata, tapi tindakan. Bukan
dengan lelucon, humor, apalagi gaya ketoprakan.

Pemimpin model Abu Bakar inilah yang kita nantikan saat ini untuk memimpin bangsa Indonesia menuju
gerbang masa depan.

Semua pemimpin seharusnya dapat menahan diri dari perkataan yang tidak benar, mengandung fitnah,
dan adu domba. Mereka harus menahan diri dari ucapan yang dapat menyakiti atau melukai perasaan
orang lain, walaupun mengandung substansi yang benar. Pemimpin adalah orang yang hemat berbicara,
sedikit berkata-kata, dan berbicara seperlunya saja.

— Selesai…
ucapafatul lisanlisanlidahModul Materi Tarbiyah Islamiyahkata

Tim Kajian Manhaj Tarbiyah Lembaga Kajian Manhaj Tarbiyah (LKMT) adalah wadah para aktivis dan
pemerhati pendidikan Islam yang memiliki perhatian besar terhadap proses tarbiyah islamiyah di
Indonesia. Para penggagas lembaga ini meyakini bahwa ajaran Islam yang lengkap dan sempurna ini
adalah satu-satunya solusi bagi kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat. Al-Quran dan Sunnah
Rasulullah saw adalah sumber ajaran Islam yang dijamin orisinalitasnya oleh Allah Taala. Yang harus
dilakukan oleh para murabbi (pendidik) adalah bagaimana memahamkan Al-Quran dan Sunnah
Rasulullah saw dengan bahasa yang mudah dipahami oleh mutarabbi (peserta didik) dan dengan
menggunakan sarana-sarana modern yang sesuai dengan tuntutan zaman.

Konten Terkait

Hadits-Hadits yang Terkait dengan Silaturahim (Bagian ke-3)

Hadits-Hadits yang Terkait dengan Sabar (bagian ke-1)

Redaksi Kontributor Informasi Iklan Kirim Tulisan Terms of Use Privacy Policy

All Rights Reserved | Lihat versi Desktop

Powered by AMPforWP

whatsapp line

Anda mungkin juga menyukai