Menuntut ilmu merupakan kewajiban atas setiap muslim. [HR. Ibnu Majah
no:224, dan lainnya dari Anas bin Malik. Dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani]
Dan agama adalah apa yang telah difirmankan oleh Alloh di dalam kitabNya,
Al-Qur’anul Karim, dan disabdakan oleh RosulNya di dalam Sunnahnya. Oleh
karena itulah termasuk kesalahan yang sangat berbahaya adalah berbicara
masalah agama tanpa ilmu dari Alloh dan RosulNya.
Sebagai nasehat sesama umat Islam, di sini kami sampaikan di antara bahaya
berbicara masalah agama tanpa ilmu:
Syeikh Abdul Aziz bin Abdulloh bin Baaz rohimahulloh berkata: “Berbicara
tentang Allah tanpa ilmu termasuk perkara terbesar yang diharamkan oleh
Allah, bahkan hal itu disebutkan lebih tinggi daripada kedudukan syirik. Karena
di dalam ayat tersebut Alloh mengurutkan perkara-perkara yang diharamkan
mulai yang paling rendah sampai yang paling tinggi.
Dan berbicara tentang Alloh tanpa ilmu meliputi: berbicara (tanpa ilmu) tentang
hukum-hukumNya, syari’atNya, dan agamaNya. Termasuk berbicara tentang
nama-namaNya dan sifat-sifatNya, yang hal ini lebih besar daripada berbicara
(tanpa ilmu) tentang syari’atNya, dan agamaNya.” [Catatan kaki kitab At-
Tanbihat Al-Lathifah ‘Ala Ma Ihtawat ‘alaihi Al-‘aqidah Al-Wasithiyah, hal: 34,
tahqiq Syeikh Ali bin Hasan, penerbit:Dar Ibnil Qayyim]
2. Berbicara tentang Allah tanpa ilmu termasuk dusta atas (nama) Allah.
Allah Ta’ala berfirman:
Imam Ali bin Abil ‘Izzi Al-Hanafi rohimahulloh berkata: “Barangsiapa berbicara
tanpa ilmu, maka sesungguhnya dia hanyalah mengikuti hawa-nafsunya, dan
Allah telah berfirman:
َ َ َو َم ْن أ
ِض ُّل ِم َّم ِن اتَّبَ َع ه ََواهُ بِغَي ِْر هُدًى ِمنَ هللا
Dan siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang mengikuti hawa nafsunya
dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun (Al-Qashshash:50)”
(Kitab Minhah Ilahiyah Fii Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah, hal: 393)
Allah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-
Nya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui. (QS. Al-Hujuraat: 1)
Orang yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu adalah orang sesat dan
mengajak kepada kesesatan, oleh karena itu dia menanggung dosa-dosa
orang-orang yang telah dia sesatkan. Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassallam:
ع ا إ ِل َ ى
َ ش ْيئًا َو َم ْن َد ِ ص ذَلِكَ ِم ْن أ ُ ُج
َ ور ِه ْم ُ ُور َم ْن تَبِعَهُ الَ يَ ْنقِ عا إِلَى هُدًى َكانَ لَهُ ِمنَ اْألَجْ ِر ِمثْ ُل أ ُ ُج
َ َم ْن َد
ًش ْيئا
َ ام ِه ْم َ ْ
ِ ص ذلِكَ ِمن آث َ ُ ْ َ ْ َ ْ ْ ْ
ُ عل ْي ِه ِمنَ ا ِإلث ِم ِمث ُل آث ِام َمن ت َبِعَهُ ال يَنق َ َ
َ َضاللة َكان َ َ
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu
akan diminta pertanggunganjawabnya. (QS. Al-Isra’ : 36)
Setelah menyebutkan pendapat para Salaf tentang ayat ini, imam Ibnu Katsir
rohimahulloh berkata: “Kesimpulan penjelasan yang mereka sebutkan adalah:
bahwa Alloh Ta’ala melarang berbicara tanpa ilmu, yaitu (berbicara) hanya
dengan persangkaan yang merupakan perkiraan dan khayalan.” (Tafsir Al-
Qur’anul Azhim, surat Al-Isra’:36)
ََو َمن لَّ ْم يَحْ ُكم بِ َمآ أَنزَ َل هللاُ فَأ ُ ْوالَئِكَ هُ ُم ْالكَافِ ُرون
Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah,
maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. 5:44)
Allah berfirman:
Sesungguhnya syaithan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan
mengatakan kepada Allah apa yang tidak kamu ketahui. (QS. 2:169)
Keterangan ini kami akhiri dengan nasehat: barangsiapa yang ingin bebicara
masalah agama hendaklah dia belajar lebih dahulu. Kemudian hendaklah dia
hanya berbicara berdasarkan ilmu. Wallohu a’lam bish showwab. Al-hamdulillah
Rabbil ‘alamin.
Artikel www.muslim.or.id
Oleh
Syaikh Abdul Malik bin Ahmad bin Al-Mubarak Ramadhani Al-Jazairi
Sesungguhnya jalan yang sama sekali tidak pernah diperselisihkan oleh kaum
muslimin baik di masa lampau maupun saat ini adalah jalan al-Kitab dan as-
Sunnah, jalan yang senantiasa diridhai Allah Ta’ala. Pada jalan itulah mereka
datang dan pada jalan itu pula mereka muncul. Meskipun mereka berselisih
dalam cara-cara pengambilan dalil dari kedua sumber tersebut.
Hai kaum kami, sesungguhnya kami tekah mendengarkan Kitab (al-qur’an) yang
diturunkan setelah Musa yang membenarkan kitab-kitab sebelumnya lagi
memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus. [Al–Ahqaf : 30]
Telah mencakup dua rukun, yakni al-Kitab dan as-Sunnah, sebagaimana telah
lewat. Sedang firman-Nya:
َب َعلَ ْي ِه ْم َوالَالضَّآلِين ُ ط َّالذِينَ أ َ ْنعَ ْمتَ َع َل ْي ِه ْم َغي ِْر ْال َم ْغ
ِ ضو َ ص َرا
ِ
Beliau berkata lagi: “Maka setiap orang yang lebih mengenal al-haq serta lebih
mengikutinya, berarti dialah yang lebih berhak mendapatkan jalan yang lurus.
Dan tidak ragu lagi bahwa sahabat-sahabat Rasulullah Radhiyallahu ‘anhum
yang paling berhak dengan status ini daripada kaum Rafidhah. Oleh karena itu
Salaf menafsirkan ash-shirath al-mustaqim (jalan yang lurus) dan orang-orang
yang berjalan di atasnya dengan Abu Bakar, ‘Umar, dan sahabat-sahabat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. [2]
Dalam perkara ini Ibnul Qayyim rahimahullah menetapkan bahwa orang yang
paling dimuliakan Allah dengan nikmat-Nya berupa ilmu dan amal adalah
sahabat-sahabat Rasulullah. Karena mereka menyaksikan turunnya wahyu,
mereka pula yang menyaksikan petunjuk/tuntunan Rasul mulia, yang dengan
petunjuk Rasululah itu mereka memahami tafsir yang selamat. Sebagaimana
yang diucapkan Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu : “Barangsiapa di antara kalian
yang berkehendak mengikuti sunnah, maka ikutilah sunnah orang yang telah
mati. Karena sesungguhnya orang yang hidup tidak aman dari fitnah
(kesesatan). Mereka itulah sahabat-sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Merekalah umat mulia yang memiliki hati yang paling baik, ilmu paling
dalam, serta paling sedikit memberatkan diri. Mereka adalah kaum yang dipilih
Allah untuk menyertai Nabi-Nya dan menegakkan din-Nya. Maka kenalilah
kelebihan mereka dan ikutilah jejak mereka. Pegang teguhlah akhlak serta din
mereka semampu kalian, karena sesungguhnya mereka berada di atas jalan
yang lurus. [3]
Jadi kaum muslimin yang dimaksud oleh Ibnu Mas’ud di atas adalah sahabat-
sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Imam Ahmad rahimahullah
berkata: “Menurut pendapat kami, pokok-pokok sunnah adalah berpegang teguh
dan meneladani apa yang dijalani oleh para sahabat Rasulullah” [5]
Dan barangsiapa memperoleh ridha Allah setelah para sahabat, maka itu karena
mengikuti petunjuk mereka. Allah Ta’ala berfirman:
ُضوا َع ْنه
ُ ي هللاُ َع ْن ُه ْم َو َر
َ ض
ِ ان َر
ٍ سَ ْار َو َّالذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِح
ِ ص ِ َوالسَّا ِبقُونَ اْأل َ َّولُونَ ِمنَ ْال ُم َه
َ اج ِرينَ َواْألَن
Dan telah terdapat pembatasan zaman salaf, yaitu orang-orang yang tidak boleh
diselisihi dengan mengada-adakan pemahaman baru yang hal itu tidak mereka
pahami. Yaitu di dalam hadits Ibnu Mas’ud, dia berkata, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
Selain dalil di atas, perkara pokok ini (yaitu kewajiban mengikuti pemahaman
Salaf) mempunyai dalil-dalil lain dari al-Kitab dan as-Sunnah. Di antaranya
adalah firman Allah Ta’ala:
يرا
ً صِ ت َم ْ ُس ِبي ِل ْال ُمؤْ ِمنِينَ نُ َو ِل ِه َمات ََولَّى َون
َ ص ِل ِه َج َهنَّ َم َو
ْ سآ َء َ سو َل ِمن بَ ْع ِد َماتَبَيَّنَ لَهُ ْال ُه َدى َو َيتَّبِ ْع َغي َْر
ُ الر
َّ قِ َِو َمن يُشَاق
Dalil dalam ayat ini ada pada digabungkan sikap menjauhi jalan kaum mu’minin
dengan penentangan kepada Rasul, hingga akhirnya berhak memperoleh
ancaman yang dahsyat ini. Padahal hanya dengan penentangan kepada Rasul
saja telah cukup untuk memperoleh ancaman tersebut berdasarkan firman Allah
Ta’ala:
ُ ِس َيحْ ب
ط َ ش ْيئًا َو ُ َّسو َل ِمن بَ ْع ِد َمات َ َبيَّنَ لَ ُه ُم ْال ُه َدى لَن ي
َ َض ُّروا هللا ُ الر َ إِ َّن َّالذِينَ َكف َُروا َو
َّ صدُّوا َعن َسبِي ِل هللاِ َوشَآقُّوا
أ َ ْع َمالَ ُه ْم
Di antara dalil lain adalah riwayat ‘Abdullah bin Luhai yang berkata, bahwa
Muawiyah bin Abu Sufyan berdiri di tengah-tengah kami dan berkata: “Ketahuilah
sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di tengah-tengah
kami dan beliau bersabda:
ٍ َس ْبعِينَ ِملَّةً َو ِإ َّن َه ِذ ِه ْال ِملَّةَ َست َ ْفت َِر ُق َع َلى ثَال
ِ ث َو َس ْبعِينَ ِث ْنت
َان ِ أَالَ ِإ َّن َم ْن قَ ْبلَ ُك ْم ِم ْن أ َ ْه ِل ْال ِكت َا
َ ب ا ْفت ََرقُوا َعلَى ِث ْنتَي ِْن َو
ُِي ْال َج َما َعة ْ
َ اح َدة ٌ فِي ال َجنَّ ِة َوه
ِ ار َو َو ِ َّس ْبعُونَ فِي الن َ َو
Dalil dalam hadits ini adalah dalam penyifatan al-firqatun najiyah (golongan yang
selamat) dengan al-jama’ah. Tidak dirangkaikannya kelompok ini (al-jama’ah)
dengan al-Kitab dan as-Sunnah –padahal kelompok ini sama sekali tidak akan
lepas dari al-Kitab dan as-Sunnah-, rahasianya adalah tersembunyi di balik
peringatan terhadap al-jama’ah yang memahami nash-nash al-Kitab dan as-
Sunnah dan mengamalkannya berdasarkan kehendak Allah dan Rasul-Nya.
Sedangkan di waktu itu tidak ada jama’ah (kelompok umat Islam) kecuali
sahabat-sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu para
ulama menshahihkan –hadits-hadits sebagai penguat– lafadz lain yang datang
dalam hadits ini dari riwayat Al-Hakim dan lainnya, yaitu sabda beliau dalam
menyifati al-firqatun najiyah:
Apa-apa yang pada hari ini aku dan sahabat-sahabatku berada di atasnya.
Di antara dalil lain adalah riwayat Abu Dawud dan lainnya dengan sanad yang
shahih lighairihi (shahih karena dikuatkan dengan sanad yang lain), dari Al-
‘Irbadh bin Sariyah, dia berkata:
ظةُ ُم َودِعٍ فَ َما َذا َ سو َل هللاِ َكأ َ َّن َه ِذ ِه َم ْو ِع ُ وب فَقَا َل قَائِ ٌل َيا َر ُ ُت ِم ْن َها ْالقُل ْ َت ِم ْن َها ْالعُيُونُ َو َو ِجلْ َظةً َب ِليغَةً ذَ َرف
َ ظنَا َم ْو ِع َ َو َع
يرا ً اختِالَفًا َك ِثْ سيَ َرى َ َش ِم ْن ُك ْم َب ْعدِي ف َّ
ْ وصي ُك ْم بِتَ ْق َوى ال ِهُُ َوالس َّْمعِ َوالطا َع ِة َو ِإ ْن َع ْبدًا َحبَ ِشيًّا فَإِنَّهُ َم ْن يَ ِع ُ
ِ ت َ ْع َه ُد ِإ َل ْينَا َفقَا َل أ
ور فَإ ِ َّن ُ ْ
ِ ت األ ُم َ ُ َ
ِ سكوا بِ َها َو َعضُّوا َعل ْي َها بِالنَّ َوا ِج ِذ َو ِإيَّاك ْم َو ُمحْ َدثا ُ َّ الرا ِشدِينَ ت َ َم ْ
َّ ََاء ال َم ْهدِيِين َ ْ
ِ سنَّ ِة ال ُخلف
ُ س َّنتِي َو ُ فَعَلَ ْي ُك ْم ِب
ٌضالَلَة َ ُك َّل ُمحْ َدث َ ٍة بِ ْد َعةٌ َو ُك َّل ِب ْد َع ٍة
Aku (Syaikh Abdul Malik Ramdhany) telah menjadikan nash-nash ini sebagai
dalil terhadap perkara yang sedang aku bahas ini. Karena aku mendapati Ibnu
Abil ‘Izzi menyebutkan nash-nash tersebut ketika menjelaskan ucapan Ath-
Thahawy: “Dan kita mengikuti sunnah dan jama’ah serta menjauhi setiap syadz
(menyimpang), perselisihan, dan perpecahan.” [10]
TATHBIQ (PENGAMALAN)
Karena pentingnya mengikatkan pemahaman al-Kitab dengan As-Sunnah dan
dan mengikatkan pemahaman al-Kitab dan as-Sunnah dengan pemahaman
Salafus Shaleh, berikut ini aku akan memaparkan kisah tentang ujian yang
dialami oleh Imam Ahmad rahiahullah dengan tujuan menjelaskan dua maksud
dalam satu kesempatan. Al-Ajury rahimahullah berkata: [11]
“Sampai kepadaku dari Al-Muhtadi rahimahullah, bahwa dia berkata: “Tidak ada
yang pernah mengalahkan ayahku –yaitu Al-Watsiq – (yaitu di dalam
perdebatan) kecuali seorang Syaikh yang didatangkan dari Mashishah (beliau
adalah imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah). Dia telah menetap di penjara
salama beberapa waktu. Suatu hari Ayahku ingat kepadanya dan berkata: “Bawa
Syaikh itu menghadapku!” Lalu dia didatangkan dalam keadaan terikat. Ketika
dia dihadapkkan pada ayahku, dia memberi salam, akan tetapi Ayahku tidak
membalasnya. Syaikh itu berkata pada ayahku: “Wahai Amirul Mu’minin, engkau
tidak melaksanakan adab (yang diajarkan) Allah dan Rasul-Nya kepadaku, Allah
Ta’ala berfirman:
سنَ ِم ْن َهآ أ َ ْو ُردُّوهَآ
َ َْوإِذَا ُح ِييتُم ِبت َِحيَّ ٍة فَ َحيُّوا بِأَح
Dalam riwayat yang dibawakan oleh Adz-Dzahaby dalam kitab As-Siyar: “…dan
Ibnu Abi Du’ad jatuh (martabatnya) di hadapan ayahku, dan setelah itu ayahku
tidak pernah menguji siapapun. Al-Muhtady berkata: “Kemudian aku rujuk
(kembali) dari pendapat ini (pendapat bahwa al-qur’an adalah mahluk). Dan aku
menyangka bahwa Ayahku juga telah rujuk dari pendapat tersebut sejak saat
itu.“ [12]
ًسنُ ت َأ ْ ِويال
َ ْسو ِل إِن ُكنت ُ ْم تُؤْ ِمنُونَ بِاهللِ َو ْاليَ ْو ِم اْأل َ ِخ ِر َذ ِلكَ َخ ْي ُرُُ َوأَح َّ َىءٍ فَ ُردُّوهُ ِإ َلى هللاِ َو
ُ الر ْ فَإِن تَنَازَ ْعت ُ ْم فِي ش
Kata ٍَىء
ْ ( شsesuatu) di ayat ini bentuk nakirah dalam konteks syarth (syarat),
sehingga meliputi seluruh perselisihan kontradiktif baik dalam ushul (urusan
pokok) ataupun furu’ (urusan cabang). Tafsir ini sebagaimana diungkapkan oleh
Al-‘Allamah Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithy.[13]
Ibnul Qayyim berkata: “Dan jika tidak ada penjelasan hukum -dan tidak
mencukupi- tentang perkara yang mereka perselisihkan dalam kitab Allah dan
sunnah Rasul-Nya, niscaya Allah tidak akan memerintahkan untuk
mengembalikan perselisihan kepada Kitab dan Sunnah. Karena tidak mungkin
bagi Allah memerintahkan untuk mengembalikan perselisihan yang terjadi
kepada orang yang tidak memiliki kemampuan memutuskan perselisihan
tersebut. [14]
(Diterjemahkan oleh Ummu Ishaq dari kitab Madarikun Nazhar, hal: 27-35,
Penerbit: Dar Sabilil Mu’minin, Cet:II/1418 H, karya Syeikh Abdul Malik bin
Ahmad bin Al-Mubarak Ramadhani Al-Jazairi)
Oleh
Ustadz Abu Minhal Lc
PENAFSIRAN AYAT
Ini adalah satu khithâb (panggilan ilahi) yang tertuju kepada kaum Mukminin[4]
yang harus didengar dan diperhatikan, untuk melaksanakan kandungan
perintahnya dan menjauhi kandungan larangannya.
Simaklah ‘Umar bin Khaththab memuji Abu Bakr ash-Shiddiq: “Dia seorang yang
jujur, gemar berbuat baik, memiliki akal yang lurus dan mengikuti al-haq”. [9]
Simak juga pujian Ibnu ‘Abbas terhadap ‘Umar bin Khaththab Rdhiyallahu anhu :
“Dia seorang yang sangat memperhatikan garis-garis aturan Kitabullâh”.[10]
Allâh Azza wa Jalla mengingatkan pada penutup ayat dengan berfirman ِإنَّهُ لَ ُك ْم
ٌ ِ( َعد ٌُّو ُمبsesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu).
ين
Mutharrif berkata, “Makhluk Allâh yang paling ampuh tipu muslihatnya terhadap
hamba Allâh adalah setan”.[12]
سو َل ۖ فَإ ِ ْن ت ََولَّ ْوا فَإِنَّ َما َع َل ْي ِه َما ُح ِم َل َو َعلَ ْي ُك ْم َما ُح ِم ْلت ُ ْم ۖ َو ِإ ْن ت ُ ِطيعُوهُ ت َ ْهتَدُوا ۚ َو َما َعلَى َّ َّللا َوأ َ ِطيعُوا
ُ الر َ َّ قُ ْل أ َ ِطيعُوا
ُغ ْال ُمبِين
ُ سو ِل إِ َّال ْالبَ َال
ُ الر
َّ
Katakanlah: “Taat kepada Allah dan taatlah kepada Rasul; dan jika kamu
berpaling maka sesungguhnya kewajiban Rasul itu adalah apa yang dibebankan
kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang
dibebankan kepadamu. Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat
petunjuk. Dan tidak lain kewajiban Rasul itu melainkan menyampaikan (amanat
Allah) dengan terang.” [an-Nûr/24:54].
ت النَّ ِع ِيم ُ ت يَ ْهدِي ِه ْم َربُّ ُه ْم بِإِي َمانِ ِه ْم ۖ تَجْ ِري ِم ْن تَحْ تِ ِه ُم ْاأل َ ْن َه
ِ ار فِي َجنَّا َّ إِ َّن َّالذِينَ آ َمنُوا َو َع ِملُوا ال
ِ صا ِل َحا
Dan Allâh akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat
petunjuk. Dan amal-amal shalih yang kekal itu lebih baik pahalanya di sisi
Rabbmu dan lebih baik kesudahannya. [Maryam/19:76].
Imam al-‘Izz bin ‘Abdus-Salam berkata, “Tidak boleh mengatakan bahwa syariat
itu qisyrûn (kulit), padahal memuat banyak sekali manfaat dan kebaikan.
Bagaimana bisa perintah untuk taat dan beriman disebut ‘kulit’?! Siapapun yang
melontarkan sebutan seperti ini tiada lain ia seorang yang dungu, celaka lagi
kurang beradab. Seandainya pernyataannya itu dikomentari sebagai qusyûr
(tidak penting) pastilah serta-merta ia akan mengingkari orang yang
menanggapinya. Bagaimana ia bisa melontarkan penyebutan ‘kulit’ (tidak
penting) kepada syariat, padahal syariat itu adalah Kitabullâh dan Sunnah Rasul-
Nya. Maka, orang bodoh ini pantas mendapatkan sanksi yang sesuai dengan
kesalahannya ini.”[13]
َ َّ فَإ ِ ْن زَ لَ ْلت ُ ْم ِم ْن بَ ْع ِد َما َجا َءتْ ُك ُم ْالبَيِنَاتُ فَا ْعلَ ُموا أ َ َّن
ٌ َّللا َع ِز
يز َح ِكي ٌم
Tetapi jika kamu menyimpang (dari jalan Allah) sesudah datang kepadamu bukti-
bukti kebenaran.
Cermati pula perkataan Abu Bakr Ash-Shiddîq Radhiyallahu anhu berikut ini,
“Aku khawatir akan menjadi orang yang sesat (menyimpang) bila aku tinggalkan
sesuatu dari petunjuk Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam “.
Dengan anggapan yang keliru tersebut, maka tidak diragukan jika mereka telah
menodai hikmah Allâh Azza wa Jalla . Syariat Allâh Azza wa Jalla ini tidak
diturunkan kecuali ada tujuan dan hikmahnya. Sehingga seandainya ada bagian
syariat yang tidak penting, tentu Allâh Azza wa Jalla tidak menurunkan dan
mensyariatkannya pada hamba-hamba-Nya, serta memerintahkan mereka untuk
bertaqarrub dengan-Nya.
Apakah kamu beriman kepada sebagian al-Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap
sebagian yang lain? [al-Baqarah/2:85].[16]
Wallahu a’lam.
Bahkan karena tingginya kedudukan iman kepada hari akhir, Allah Ta’ala dalam
banyak ayat al-Qur’an sering menggandengkan antara iman kepada-Nya dan
iman kepada hari akhir. Hal ini dikarenakan orang yang tidak beriman kepada
hari akhir maka tidak mungkin dia beriman kepada Allah Ta’ala, sebab orang
yang tidak beriman kepada hari akhir dia tidak akan mengerjakan amal shaleh,
karena seseorang tidak akan mengerjakan amal shaleh kecuali dengan
mengharapkan balasan kemuliaan dan karena takut siksaan-Nya pada hari
pembalasan kelak.
Oleh karena itu, Allah Ta’ala menggambarkan sifat orang-orang yang tidak
beriman kepada hari akhir dalam firman-Nya,
َ }وقَالُوا َما ه
{ِي ِإال َحيَاتُنَا ال ُّد ْنيَا نَ ُموتُ َونَحْ يَا َو َما يُ ْه ِل ُكنَا ِإال ال َّد ْه ُر َ
“Dan mereka berkata: “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia
saja, kita mati dan kita hidup, dan tidak ada yang membinasakan kita selain
masa (waktu)” (al-Jaatsiyah:24)[1].
Di antara perkara yang wajib diimani sehubungan dengan iman kepada hari
akhir adalah keberadaan al-haudh (telaga) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam sebagai kemuliaan yang Allah Ta’ala berikan kepada beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam, yang pada hari kiamat nanti orang-orang yang beriman dan
mengikuti petunjuk beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sewaktu di dunia akan
mendatangi dan meminum air telaga yang penuh kemuliaan tersebut, semoga
Allah Ta’ala memudahkan kita untuk meraih kemuliaan tersebut, amin.
Imam Ahmad bin Hambal berkata, “(Termasuk landasan pokok Islam adalah
kewajiban) mengimani (keberadaan) telaga milik Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam pada hari kiamat, yang nanti akan didatangi oleh umat
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam… sebagaimana yang disebutkan dalam
banyak hadits yang shahih (dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam)”[2].
Senada dengan ucapan di atas, imam Ibnu Abil ‘Izzi al-Hanafi menjelaskan,
“Hadits-hadits (shahih) yang menyebutkan (keberadaan) telaga
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencapai derajat mutawatir,
diriwayatkan oleh lebih dari tiga puluh orang sahabat (dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam)…”[8].
– Barangsiapa yang meminum air telaga tersebut maka dia tidak akan
merasakan haus lagi selamanya, sebagaimana hadits yang tersebut di atas.
Dalam hadits lain beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dialirkan pada
telaga itu dua saluran air yang (bersumber) dari (sungai al-Kautsar) di
surga…”[13].
Imam Ibnu Abdil Barr[23] berkata, “Semua orang yang melakukan perbuatan
bid’ah yang tidak diridhai Allah dalam agama ini akan diusir dari telaga
Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam (pada hari kiamat nanti), dan yang
paling parah di antara mereka adalah orang-orang (ahlul bid’ah) yang
menyelisihi (pemahaman) jama’ah kaum muslimin, seperti orang-orang
khawarij, syi’ah rafidhah dan para pengikut hawa nafsu, demikian pula orang-
orang yang berbuat zhalim yang melampaui batas dalam kezhaliman dan
menentang kebenaran, serta orang-orang yang melakukan dosa-dosa besar
secara terang-terangan, semua mereka ini dikhawatirkan termasuk orang-orang
yang disebutkan dalam hadits ini (yang diusir dari telaga Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam)[24].
Penutup
وآخر دعوانا أن الحمد هلل رب العالمين،وصلى هللا وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين
Artikel www.muslim.or.id
[5] Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih yang akan kami
sebutkan insya Allah.
[7] Kitab “An Nihayah fiil fitani wal malaahim” (hal. 127).
[8] Kitab “Syarhul ‘aqiidatith thahaawiyyah” (hal. 227).
[9] HR at-Tirmidzi (no. 2443) dan ath-Thabarani dalam “al-Mu’jamul Kabiir” (no.
6881), juga dari jalur lain (no. 7053) dari sahabat Samurah bin Jundub, hadits
ini sanadnya lemah, akan tetapi diriwayatkan dari beberapa jalur yang saling
menguatkan, sehingga hadits ini mencapai derajat hasan atau bahkan shahih,
sebagaimana penjelasan syaikh al-Albani dalam “Silsilatul ahaaditsish
shahiihah” (no. 1589).
[10] HSR al-Bukhari (no. 6218) dan Muslim (no. 2296) dari sahabat ‘Uqbah bin
‘Amir.
[11] HSR al-Bukhari (no. 6643) dan Muslim (no. 2290) dari sahabat Sahl bin
Sa’ad as-Saa’idi.
[12] HSR Muslim (no. 400) dari sahabat Anas bin Malik.
[13] HSR Muslim (no. 2300) dari sahabat Abu Dzar al-Gifaari.
[14] HSR al-Bukhari (no. 6208) dari sahabat Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash.
[16] HSR al-Bukhari (no. 6208) dan Muslim (no. 2292) dari sahabat Abdullah
bin ‘Amr bin al-‘Ash.
[18] Lihat keterangan syaikh Shaleh Alu syaikh dalam ”Syarhul ‘aqiidatith
Thahaawiyyah” (1/463).
[19] HSR Muslim (no. 2292) dari sahabat Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash.
[21] Riwayat imam al-Bukhari (no. 6211) dan Muslim (no. 2304) dari Anas bin
Malik.
[22] Lihat keterangan syaikh Shaleh Alu syaikh dalam ”Syarhul ‘aqiidatith
Thahaawiyyah” (1/468).
[23] Beliau adalah Yusuf bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Barr An Namari
Al Andalusi (wafat 463 H), syaikhul Islam dan imam besar ahlus Sunnah dari
wilayah Magrib, penulis banyak kitab hadits dan fikih yang sangat bermanfaat.
Biografi beliau dalam kitab “Tadzkiratul huffaazh” (3/1128).
[25] Lihat keterangan syaikh Shaleh Alu syaikh dalam ”Syarhul ‘aqiidatith
Thahaawiyyah” (1/468).
[27] Kitab “An Nihayah fiil fitani wal malaahim” (hal. 127).