Anda di halaman 1dari 29

Memahami ilmu agama merupakan kewajiban atas setiap muslim dan

muslimah. Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassallam bersabda:

‫علَى ُك ِل ُم ْس ِلم‬ َ ‫ب ْال ِع ْل ِم فَ ِري‬


َ ٌ‫ضة‬ َ
ُ َ‫ط ل‬

Menuntut ilmu merupakan kewajiban atas setiap muslim. [HR. Ibnu Majah
no:224, dan lainnya dari Anas bin Malik. Dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani]

Dan agama adalah apa yang telah difirmankan oleh Alloh di dalam kitabNya,
Al-Qur’anul Karim, dan disabdakan oleh RosulNya di dalam Sunnahnya. Oleh
karena itulah termasuk kesalahan yang sangat berbahaya adalah berbicara
masalah agama tanpa ilmu dari Alloh dan RosulNya.

Sebagai nasehat sesama umat Islam, di sini kami sampaikan di antara bahaya
berbicara masalah agama tanpa ilmu:

1.Hal itu merupakan perkara tertinggi yang diharamkan oleh Allah.

Alloh Ta’ala berfirman:

ِ ‫ى بِغَي ِْر ْال َح‬


‫ق َوأَن ت ُ ْش ِر ُكوا بِاهللِ َما لَ ْم يُن َِز ْل بِ ِه‬ َ ‫طنَ َواْ ِإلثْ َم َو ْالبَ ْغ‬
َ َ‫ظ َه َر ِم ْن َها َو َما ب‬
َ ‫ش َما‬ ِ ‫ي ْالف ََو‬
َ ‫اح‬ َ ِ‫قُ ْل إِنَّ َما َح َّر َم َرب‬
َ‫علَى هللاِ َما الَ ت َ ْعلَ ُمون‬ َ ‫طانًا َوأ َ ْن تَقُولُوا‬ َ ‫س ْل‬
ُ

Katakanlah: “Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang


nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak
manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah
dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan
(mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa saja yang tidak kamu
ketahui (berbicara tentang Allah tanpa ilmu)” (Al-A’raf:33)

Syeikh Abdul Aziz bin Abdulloh bin Baaz rohimahulloh berkata: “Berbicara
tentang Allah tanpa ilmu termasuk perkara terbesar yang diharamkan oleh
Allah, bahkan hal itu disebutkan lebih tinggi daripada kedudukan syirik. Karena
di dalam ayat tersebut Alloh mengurutkan perkara-perkara yang diharamkan
mulai yang paling rendah sampai yang paling tinggi.
Dan berbicara tentang Alloh tanpa ilmu meliputi: berbicara (tanpa ilmu) tentang
hukum-hukumNya, syari’atNya, dan agamaNya. Termasuk berbicara tentang
nama-namaNya dan sifat-sifatNya, yang hal ini lebih besar daripada berbicara
(tanpa ilmu) tentang syari’atNya, dan agamaNya.” [Catatan kaki kitab At-
Tanbihat Al-Lathifah ‘Ala Ma Ihtawat ‘alaihi Al-‘aqidah Al-Wasithiyah, hal: 34,
tahqiq Syeikh Ali bin Hasan, penerbit:Dar Ibnil Qayyim]

2. Berbicara tentang Allah tanpa ilmu termasuk dusta atas (nama) Allah.
Allah Ta’ala berfirman:

ِ‫علَى هللا‬ َ ‫علَى هللاِ ْال َكذ‬


َ َ‫ِب إِ َّن الَّذِينَ يَ ْفت َُرون‬ َ ‫ف أ َ ْل ِسنَت ُ ُك ُم ْال َكذ‬
َ ‫ِب َهذَا َحالَ ٌل َو َهذَا َح َرا ٌم ِلت َ ْفت َُروا‬ ِ ‫َوالَ تَقُولُوا ِل َما ت‬
ُ ‫َص‬
َ‫ِب الَ يُ ْف ِل ُحون‬ َ ‫ْال َكذ‬

Dan janganlah kamu mengatakan terhadapa apa yang disebut-sebut oleh


lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan
kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan
kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (QS. An-Nahl (16): 116)

3.Berbicara tentang Allah tanpa ilmu merupakan kesesatan dan


menyesatkan orang lain.

Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassallam bersabda:

َ‫عا ِل ًما ات َّ َخذ‬


َ ‫ق‬ ِ ‫ْض ْالعُلَ َم‬
ِ ‫اء َحتَّى إِذَا لَ ْم يُ ْب‬ ِ ‫ض ْال ِع ْل َم بِقَب‬ ُ ‫عهُ ِمنَ ْال ِع َبا ِد َولَ ِك ْن يَ ْق ِب‬ ً ‫ض ْال ِع ْل َم ا ْنتِزَ ا‬
ُ ‫عا يَ ْنت َِز‬ ُ ِ‫َّللاَ َال يَ ْقب‬
َّ ‫إِ َّن‬
‫ضلُّوا‬ َ َ ‫ضلُّوا َوأ‬ ْ
َ َ‫سئِلُوا فَأ َ ْفت َْوا بِغَي ِْر ِعلم ف‬
ُ َ‫سا ُج َّهاالً ف‬ ً ‫اس ُر ُءو‬ ُ َّ‫الن‬

Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dari hamba-hambaNya


sekaligus, tetapi Dia akan mencabut ilmu dengan mematikan para ulama’.
Sehingga ketika Allah tidak menyisakan seorang ‘alim-pun, orang-orang-pun
mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh. Lalu para pemimpin itu ditanya,
kemudian mereka berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka menjadi sesat dan
menyesatkan orang lain. (HSR. Bukhari no:100, Muslim, dan lainnya)

Hadits ini menunjukkan bahwa “Barangsiapa tidak berilmu dan menjawab


pertanyaan yang diajukan kepadanya dengan tanpa ilmu, dan mengqias
(membandingkan) dengan akalnya, sehingga mengharamkan apa yang Alloh
halalkan dengan kebodohan, dan menghalalkan apa yang Allah haramkan
dengan tanpa dia ketahui, maka inilah orang yang mengqias dengan akalnya,
sehingga dia sesat dan menyesatkan. (Shahih Jami’il Ilmi Wa Fadhlihi, hal: 415,
karya Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, diringkas oleh Syeikh Abul Asybal Az-Zuhairi)

4.Berbicara tentang Allah tanpa ilmu merupakan sikap mengikuti hawa-


nafsu.

Imam Ali bin Abil ‘Izzi Al-Hanafi rohimahulloh berkata: “Barangsiapa berbicara
tanpa ilmu, maka sesungguhnya dia hanyalah mengikuti hawa-nafsunya, dan
Allah telah berfirman:

َ َ ‫َو َم ْن أ‬
ِ‫ض ُّل ِم َّم ِن اتَّبَ َع ه ََواهُ بِغَي ِْر هُدًى ِمنَ هللا‬
Dan siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang mengikuti hawa nafsunya
dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun (Al-Qashshash:50)”
(Kitab Minhah Ilahiyah Fii Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah, hal: 393)

5.Berbicara tentang Allah tanpa ilmu merupakan sikap mendahului Allah


dan RasulNya.

Allah berfirman:

ُُ‫ع ِلي ُم‬


َ ‫س ِمي ٌع‬ ُ ‫يَاأَيُّ َها الَّذِينَ َءا َمنُوا الَ تُقَ ِد ُموا بَيْنَ يَ َدي ِ هللاِ َو َر‬
َ َ‫سو ِل ِه َواتَّقُوا هللاَ إِ َّن هللا‬

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-
Nya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui. (QS. Al-Hujuraat: 1)

Syeikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rohimahulloh berkata: “Ayat ini


memuat adab terhadap Alloh dan RosulNya, juga pengagungan,
penghormatan, dan pemuliaan kepadanya. Alloh telah memerintahkan kepada
para hambaNya yang beriman, dengan konsekwensi keimanan terhadap Alloh
dan RosulNya, yaitu: menjalankan perintah-perintah Alloh dan menjauhi
larangan-laranganNya. Dan agar mereka selalu berjalan mengikuti perintah
Alloh dan Sunnah RosulNya di dalam seluruh perkara mereka. Dan agar
mereka tidak mendahului Alloh dan RosulNya, sehingga janganlah mereka
berkata, sampai Alloh berkata, dan janganlah mereka memerintah, sampai
Alloh memerintah”. (Taisir Karimir Rahman, surat Al-Hujurat:1)

6.Orang yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu menanggung dosa-dosa


orang-orang yang dia sesatkan.

Orang yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu adalah orang sesat dan
mengajak kepada kesesatan, oleh karena itu dia menanggung dosa-dosa
orang-orang yang telah dia sesatkan. Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassallam:

‫ع ا إ ِل َ ى‬
َ ‫ش ْيئًا َو َم ْن َد‬ ِ ‫ص ذَلِكَ ِم ْن أ ُ ُج‬
َ ‫ور ِه ْم‬ ُ ُ‫ور َم ْن تَبِعَهُ الَ يَ ْنق‬ِ ‫عا إِلَى هُدًى َكانَ لَهُ ِمنَ اْألَجْ ِر ِمثْ ُل أ ُ ُج‬
َ ‫َم ْن َد‬
ً‫ش ْيئا‬
َ ‫ام ِه ْم‬ َ ْ
ِ ‫ص ذلِكَ ِمن آث‬ َ ُ ْ َ ْ َ ْ ْ ْ
ُ ‫عل ْي ِه ِمنَ ا ِإلث ِم ِمث ُل آث ِام َمن ت َبِعَهُ ال يَنق‬ َ َ
َ َ‫ضاللة َكان‬ َ َ

Barangsiapa menyeru kepada petunjuk, maka dia mendapatkan pahala


sebagaimana pahala-pahala orang yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi
pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa menyeru kepada kesesatan, maka
dia mendapatkan dosa sebagaimana dosa-dosa orang yang mengikutinya, hal
itu tidak mengurangi dosa mereka sedikitpun. (HSR. Muslim no:2674, dari Abu
Hurairah)
7.Berbicara tentang Allah tanpa ilmu akan dimintai tanggung-jawab.

Allah Ta’ala berfirman:

َ َ‫ص َر َو ْالفُ َؤا َد ُك ُّل أ ُ ْوالَئِكَ َكان‬


ً‫ع ْنهُ َم ْسئُوال‬ َ َ‫ْس لَكَ بِ ِه ِع ْل ٌم ِإ َّن الس َّْم َع َو ْالب‬ ُ ‫َوالَ ت َ ْق‬
َ ‫ف َما لَي‬

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu
akan diminta pertanggunganjawabnya. (QS. Al-Isra’ : 36)
Setelah menyebutkan pendapat para Salaf tentang ayat ini, imam Ibnu Katsir
rohimahulloh berkata: “Kesimpulan penjelasan yang mereka sebutkan adalah:
bahwa Alloh Ta’ala melarang berbicara tanpa ilmu, yaitu (berbicara) hanya
dengan persangkaan yang merupakan perkiraan dan khayalan.” (Tafsir Al-
Qur’anul Azhim, surat Al-Isra’:36)

8.Orang yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu termasuk tidak


berhukum dengan apa yang Allah turunkan.

Syeikh Hafizh bin Ahmad Al-Hakami menyatakan: “Fashal: Tentang Haramnya


berbicara tentang Allah tanpa ilmu, dan haramnya berfatwa tentang agama
Allah dengan apa yang menyelisihi nash-nash”. Kemudian beliau membawakan
sejumlah ayat Al-Qur’an, di antaranya adalah firman Allah di bawah ini:

َ‫َو َمن لَّ ْم يَحْ ُكم بِ َمآ أَنزَ َل هللاُ فَأ ُ ْوالَئِكَ هُ ُم ْالكَافِ ُرون‬

Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah,
maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. 5:44)

9.Berbicara agama tanpa ilmu menyelisihi jalan Ahlus Sunnah Wal


Jama’ah.

Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rohimahulloh menyatakan di dalam aqidah


Thahawiyahnya yang masyhur: “Dan kami berkata: “Wallahu A’lam (Allah Yang
Mengetahui)”, terhadap perkara-perkara yang ilmunya samar bagi kami”.
[Minhah Ilahiyah Fii Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah, hal: 393]

10.Berbicara agama tanpa ilmu merupakan perintah syaithan.

Allah berfirman:

َ ‫َآء َوأَن تَقُولُوا‬


َ‫علَى هللاِ َما الَ ت َ ْعلَ ُمون‬ ِ ‫إِنَّ َما يَأ ْ ُم ُر ُكم بِالس‬
ِ ‫ُّوء َو ْالفَحْ ش‬

Sesungguhnya syaithan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan
mengatakan kepada Allah apa yang tidak kamu ketahui. (QS. 2:169)
Keterangan ini kami akhiri dengan nasehat: barangsiapa yang ingin bebicara
masalah agama hendaklah dia belajar lebih dahulu. Kemudian hendaklah dia
hanya berbicara berdasarkan ilmu. Wallohu a’lam bish showwab. Al-hamdulillah
Rabbil ‘alamin.

Penulis: Ustadz Abu Isma’il Muslim Al-Atsari

Artikel www.muslim.or.id

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/6442-bahaya-bicara-


agama-tanpa-ilmu.html
Kewajiban Mengikuti Al-Kitab Dan As-Sunnah Berdasarkan Pemahaman
Salafus Shalih
KEWAJIBAN MENGIKUTI AL-KITAB DAN AS-SUNNAH BERDASARKAN
PEMAHAMAN SALAFUS SHALIH

Oleh
Syaikh Abdul Malik bin Ahmad bin Al-Mubarak Ramadhani Al-Jazairi

Sesungguhnya jalan yang sama sekali tidak pernah diperselisihkan oleh kaum
muslimin baik di masa lampau maupun saat ini adalah jalan al-Kitab dan as-
Sunnah, jalan yang senantiasa diridhai Allah Ta’ala. Pada jalan itulah mereka
datang dan pada jalan itu pula mereka muncul. Meskipun mereka berselisih
dalam cara-cara pengambilan dalil dari kedua sumber tersebut.

Kesepakatan mereka itu disebabkan Allah telah menjamin kelurusan bagi


pengikut al-Kitab, sebagaimana yang Dia firmankan lewat lisan bangsa Jin yang
beriman.

‫ق ُّم ْستَ ِق ٍيم‬


ٍ ‫ط ِري‬ ِ ‫ص ِدقًا ِل َما َبيْنَ َي َد ْي ِه يَ ْهدِي ِإلَى ْال َح‬
َ ‫ق َو ِإلَى‬ َ ‫سى ُم‬ ِ ُ ‫س ِم ْعنَا ِكت َابًا أ‬
َ ‫نز َل ِمن بَ ْع ِد ُمو‬ َ ‫قَالُوا يَاقَ ْو َمنَآ ِإنَّا‬

Hai kaum kami, sesungguhnya kami tekah mendengarkan Kitab (al-qur’an) yang
diturunkan setelah Musa yang membenarkan kitab-kitab sebelumnya lagi
memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus. [Al–Ahqaf : 30]

Sebagaimana Allah juga telah menjamin kelurusan tersebut bagi pengikut


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti pada firman-Nya kepada beliau:

ِ ‫َوإِنَّكَ َلت َ ْهدِي إِلَى‬


‫ص َراطٍ ُّم ْست َ ِق ٍيم‬

Sesungguhnya engkau (hai Muhammad) menunjukkan kepada jalan yang lurus.


[As-Syuura: 52]

Akan tetapi ada perkara yang menjadikan kelompok-kelompok Islam


menyimpang dari jalan-Nya, yaitu mereka lalai terhadap rukun ketiga yang telah
disebutkan dalam al-Kitab dan as-Sunnah bersama-sama. Rukun ketiga itu
adalah memahami al-Kitab dan as-Sunnah dengan pemahaman Salafus Shalih.
Dan surat al-Fatihah juga telah mencakup tentang tiga rukun ini dengan
penjelasan yang sangat sempurna. Firman Allah:
َ ‫ط ْال ُم ْست َ ِق‬
‫يم‬ َ ‫الص َرا‬
ِ ‫ا ْه ِدنَا‬

Tunjukilah kami ke jalan yang lurus. [Al-Fatihah : 6]

Telah mencakup dua rukun, yakni al-Kitab dan as-Sunnah, sebagaimana telah
lewat. Sedang firman-Nya:

َ‫ب َعلَ ْي ِه ْم َوالَالضَّآلِين‬ ُ ‫ط َّالذِينَ أ َ ْنعَ ْمتَ َع َل ْي ِه ْم َغي ِْر ْال َم ْغ‬
ِ ‫ضو‬ َ ‫ص َرا‬
ِ

Jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat atas mereka.[Al-


Fatihah : 7]

Telah mencakup pemahaman Salaf terhadap jalan ini. Memang tidak


seorangpun merasa ragu bahwa barangsiapa berpegang teguh dengan al-Kitab
dan as-Sunnah, berarti dia telah mendapatkan petunjuk yang lurus. Akan tetapi
pemahaman manusia terhadap al-Kitab dan as-Sunnah ada yang benar dan ada
yang keliru. Hal itu mengharuskan adanya rukun ketiga untuk menghilangkan
perselisihan yang terjadi. Rukun ketiga itu adalah mengikatkan pemahaman
khalaf dengan pemahaman salaf.

Ibnul Qayyim berkata: “Perhatikanlah rahasia mengagumkan -lewat ungkapan


yang lugas dan singkat- di balik penyebutan sebab dan akibat yang
diperuntukkan buat tiga golongan tersebut. Karena sesungguhnya nikmat yang
dianugerahkan pada mereka telah mengandung unsur nikmat hidayah yang
berupa ilmu yang bermanfaat dan amal shaleh.[1]

Beliau berkata lagi: “Maka setiap orang yang lebih mengenal al-haq serta lebih
mengikutinya, berarti dialah yang lebih berhak mendapatkan jalan yang lurus.
Dan tidak ragu lagi bahwa sahabat-sahabat Rasulullah Radhiyallahu ‘anhum
yang paling berhak dengan status ini daripada kaum Rafidhah. Oleh karena itu
Salaf menafsirkan ash-shirath al-mustaqim (jalan yang lurus) dan orang-orang
yang berjalan di atasnya dengan Abu Bakar, ‘Umar, dan sahabat-sahabat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. [2]

Dalam perkara ini Ibnul Qayyim rahimahullah menetapkan bahwa orang yang
paling dimuliakan Allah dengan nikmat-Nya berupa ilmu dan amal adalah
sahabat-sahabat Rasulullah. Karena mereka menyaksikan turunnya wahyu,
mereka pula yang menyaksikan petunjuk/tuntunan Rasul mulia, yang dengan
petunjuk Rasululah itu mereka memahami tafsir yang selamat. Sebagaimana
yang diucapkan Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu : “Barangsiapa di antara kalian
yang berkehendak mengikuti sunnah, maka ikutilah sunnah orang yang telah
mati. Karena sesungguhnya orang yang hidup tidak aman dari fitnah
(kesesatan). Mereka itulah sahabat-sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Merekalah umat mulia yang memiliki hati yang paling baik, ilmu paling
dalam, serta paling sedikit memberatkan diri. Mereka adalah kaum yang dipilih
Allah untuk menyertai Nabi-Nya dan menegakkan din-Nya. Maka kenalilah
kelebihan mereka dan ikutilah jejak mereka. Pegang teguhlah akhlak serta din
mereka semampu kalian, karena sesungguhnya mereka berada di atas jalan
yang lurus. [3]

Ibnu Mas’ud juga berkata: “Sesungguhnya Allah melihat hati hamba-hamba-Nya.


Lalu Dia mendapati hati Muhammad yang terbaik daripada hati hamba-hamba-
Nya yang lain. Kemudian Allah melihat lagi hati hamba-hamba-Nya setelah hati
Muhammad, dan Allah mendapati hati sahabat-sahabat Muhammad yang terbaik
daripada hati hamba-hamba-Nya yang lain. Sehingga Alah menjadikan mereka
pendamping Nabi-Nya. Mereka berperang untuk din-Nya. Maka apa yang dilihat
baik oleh kaum muslimin (yakni para sahabat), baik pula di sisi Allah. Dan apa
yang dilihat buruk oleh kaum muslimin, buruk pula di sisi Allah. [4]

Jadi kaum muslimin yang dimaksud oleh Ibnu Mas’ud di atas adalah sahabat-
sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Imam Ahmad rahimahullah
berkata: “Menurut pendapat kami, pokok-pokok sunnah adalah berpegang teguh
dan meneladani apa yang dijalani oleh para sahabat Rasulullah” [5]

Dan barangsiapa memperoleh ridha Allah setelah para sahabat, maka itu karena
mengikuti petunjuk mereka. Allah Ta’ala berfirman:

ُ‫ضوا َع ْنه‬
ُ ‫ي هللاُ َع ْن ُه ْم َو َر‬
َ ‫ض‬
ِ ‫ان َر‬
ٍ ‫س‬َ ْ‫ار َو َّالذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِح‬
ِ ‫ص‬ ِ ‫َوالسَّا ِبقُونَ اْأل َ َّولُونَ ِمنَ ْال ُم َه‬
َ ‫اج ِرينَ َواْألَن‬

Orang-orang terdahulu lagi pertama (masuk Islam) di antara orang-orang


Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.
Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah…[At-Taubah :
100] [6]

Dan telah terdapat pembatasan zaman salaf, yaitu orang-orang yang tidak boleh
diselisihi dengan mengada-adakan pemahaman baru yang hal itu tidak mereka
pahami. Yaitu di dalam hadits Ibnu Mas’ud, dia berkata, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:

َ ُ‫ش َها َدة ُ أَ َح ِد ِه ْم يَ ِمينَهُ َويَ ِمينُه‬


ُ‫ش َها َدتَه‬ َ ‫اس قَ ْرنِي ث ُ َّم َّالذِينَ يَلُو َن ُه ْم ث ُ َّم َّالذِينَ يَلُونَ ُه ْم ث ُ َّم يَ ِجي ُء أ َ ْق َوا ٌم تَ ْسبِ ُق‬
ِ َّ‫َخي ُْر الن‬
Sebaik-baik generasi adalah generasiku. Kemudian generasi setelah mereka,
kemudian setelah mereka lagi. Kemudian akan datang suatu kaum, kesaksian
salah seorang mereka mendahului sumpahnya, dan sumpahnya mendahului
kesaksiannya.” [Mutafaq ‘alaihi] [7]

Selain dalil di atas, perkara pokok ini (yaitu kewajiban mengikuti pemahaman
Salaf) mempunyai dalil-dalil lain dari al-Kitab dan as-Sunnah. Di antaranya
adalah firman Allah Ta’ala:

‫يرا‬
ً ‫ص‬ِ ‫ت َم‬ ْ ُ‫س ِبي ِل ْال ُمؤْ ِمنِينَ نُ َو ِل ِه َمات ََولَّى َون‬
َ ‫ص ِل ِه َج َهنَّ َم َو‬
ْ ‫سآ َء‬ َ ‫سو َل ِمن بَ ْع ِد َماتَبَيَّنَ لَهُ ْال ُه َدى َو َيتَّبِ ْع َغي َْر‬
ُ ‫الر‬
َّ ‫ق‬ِ ِ‫َو َمن يُشَاق‬

Barangsiapa menentang Rasul setelah jelas baginya kebenaran, dan mengikuti


jalan yang bukan jalannya orang-orang mu’min, Kami biarkan ia berkuasa
terhadap kesesatan dan Kami akan masukkan ia ke dalam Jahannam, dan
Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. [An-Nisa’ : 115]

Dalil dalam ayat ini ada pada digabungkan sikap menjauhi jalan kaum mu’minin
dengan penentangan kepada Rasul, hingga akhirnya berhak memperoleh
ancaman yang dahsyat ini. Padahal hanya dengan penentangan kepada Rasul
saja telah cukup untuk memperoleh ancaman tersebut berdasarkan firman Allah
Ta’ala:

ُ ِ‫س َيحْ ب‬
‫ط‬ َ ‫ش ْيئًا َو‬ ُ َّ‫سو َل ِمن بَ ْع ِد َمات َ َبيَّنَ لَ ُه ُم ْال ُه َدى لَن ي‬
َ َ‫ض ُّروا هللا‬ ُ ‫الر‬ َ ‫إِ َّن َّالذِينَ َكف َُروا َو‬
َّ ‫صدُّوا َعن َسبِي ِل هللاِ َوشَآقُّوا‬
‫أ َ ْع َمالَ ُه ْم‬

Sesungguhnya orang-orang kafir dan menghalangi (manusia) dari jalan Allah


serta menentang Rasul setelah petunjuk itu jelas bagi mereka, mereka tidak
dapat memberi madharat kepada Allah sedikitpun. Dan Allah akan
menghapuskan (pahala) amal-amal mereka. [Muhammad : 32] [8]

Di antara dalil lain adalah riwayat ‘Abdullah bin Luhai yang berkata, bahwa
Muawiyah bin Abu Sufyan berdiri di tengah-tengah kami dan berkata: “Ketahuilah
sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di tengah-tengah
kami dan beliau bersabda:

ٍ َ‫س ْبعِينَ ِملَّةً َو ِإ َّن َه ِذ ِه ْال ِملَّةَ َست َ ْفت َِر ُق َع َلى ثَال‬
ِ ‫ث َو َس ْبعِينَ ِث ْنت‬
‫َان‬ ِ ‫أَالَ ِإ َّن َم ْن قَ ْبلَ ُك ْم ِم ْن أ َ ْه ِل ْال ِكت َا‬
َ ‫ب ا ْفت ََرقُوا َعلَى ِث ْنتَي ِْن َو‬
ُ‫ِي ْال َج َما َعة‬ ْ
َ ‫اح َدة ٌ فِي ال َجنَّ ِة َوه‬
ِ ‫ار َو َو‬ ِ َّ‫س ْبعُونَ فِي الن‬ َ ‫َو‬

Ketahuilah sesungguhnya orang-orang sebelum kalian, yaitu ahli kitab, telah


terpecah menjadi 72 millah ( ajaran ). Dan sesungguhnya (umat) millah ini
(Islam) akan terpecah menjadi 73, 72 di dalam neraka dan satu di dalam surga.
Dia itu adalah Jama’ah. [Hadits shahih riwayat Abu Dawud dan lainnya]

Dalil dalam hadits ini adalah dalam penyifatan al-firqatun najiyah (golongan yang
selamat) dengan al-jama’ah. Tidak dirangkaikannya kelompok ini (al-jama’ah)
dengan al-Kitab dan as-Sunnah –padahal kelompok ini sama sekali tidak akan
lepas dari al-Kitab dan as-Sunnah-, rahasianya adalah tersembunyi di balik
peringatan terhadap al-jama’ah yang memahami nash-nash al-Kitab dan as-
Sunnah dan mengamalkannya berdasarkan kehendak Allah dan Rasul-Nya.
Sedangkan di waktu itu tidak ada jama’ah (kelompok umat Islam) kecuali
sahabat-sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu para
ulama menshahihkan –hadits-hadits sebagai penguat– lafadz lain yang datang
dalam hadits ini dari riwayat Al-Hakim dan lainnya, yaitu sabda beliau dalam
menyifati al-firqatun najiyah:

ْ َ‫َما أَنَا َعلَ ْي ِه ْال َي ْو َم َو أ‬


‫ص َحا ِبي‬

Apa-apa yang pada hari ini aku dan sahabat-sahabatku berada di atasnya.

Di antara dalil lain adalah riwayat Abu Dawud dan lainnya dengan sanad yang
shahih lighairihi (shahih karena dikuatkan dengan sanad yang lain), dari Al-
‘Irbadh bin Sariyah, dia berkata:

‫ظةُ ُم َودِعٍ فَ َما َذا‬ َ ‫سو َل هللاِ َكأ َ َّن َه ِذ ِه َم ْو ِع‬ ُ ‫وب فَقَا َل قَائِ ٌل َيا َر‬ ُ ُ‫ت ِم ْن َها ْالقُل‬ ْ َ‫ت ِم ْن َها ْالعُيُونُ َو َو ِجل‬ْ َ‫ظةً َب ِليغَةً ذَ َرف‬
َ ‫ظنَا َم ْو ِع‬ َ ‫َو َع‬
‫يرا‬ ً ‫اختِالَفًا َك ِث‬ْ ‫سيَ َرى‬ َ َ‫ش ِم ْن ُك ْم َب ْعدِي ف‬ َّ
ْ ‫وصي ُك ْم بِتَ ْق َوى ال ِهُُ َوالس َّْمعِ َوالطا َع ِة َو ِإ ْن َع ْبدًا َحبَ ِشيًّا فَإِنَّهُ َم ْن يَ ِع‬ ُ
ِ ‫ت َ ْع َه ُد ِإ َل ْينَا َفقَا َل أ‬
‫ور فَإ ِ َّن‬ ُ ْ
ِ ‫ت األ ُم‬ َ ُ َ
ِ ‫سكوا بِ َها َو َعضُّوا َعل ْي َها بِالنَّ َوا ِج ِذ َو ِإيَّاك ْم َو ُمحْ َدثا‬ ُ َّ ‫الرا ِشدِينَ ت َ َم‬ ْ
َّ َ‫َاء ال َم ْهدِيِين‬ َ ْ
ِ ‫سنَّ ِة ال ُخلف‬
ُ ‫س َّنتِي َو‬ ُ ‫فَعَلَ ْي ُك ْم ِب‬
ٌ‫ضالَلَة‬ َ ‫ُك َّل ُمحْ َدث َ ٍة بِ ْد َعةٌ َو ُك َّل ِب ْد َع ٍة‬

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehati kami dengan nasehat yang


menyentuh, meneteslah air mata dan bergetarlah hati-hati. Maka ada seseorang
yang berkata: “Wahai Rasulullah, seakan-akan ini adalah nasehat perpisahan.
Maka apa yang akan engkau wasiatkan pada kami?” Beliau bersabda: “Aku
wasiatkan pada kalian untuk bertakwa kepada Allah serta mendengarkan dan
mentaati (pemerintah Islam), meskipun yang memerintah kalian seorang budak
Habsyi. Dan sesungguhnya orang yang hidup sesudahku di antara kalian akan
melihat banyak perselisihan. Wajib kalian berpegang dengan sunnahku dan
sunnah Khulafaur Rasyidin Mahdiyyin (para pemimpin yang menggantikan
Rasulullah, yang berada di atas jalan yang lurus, dan mendapatkan petunjuk).
Berpegang teguhlah kalian padanya dan gigitlah ia dengan geraham-geraham
kalian. Serta jauhilah perkara-perkara yang baru. Karena setiap perkara yang
baru adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah sesat.“
Dalil dalam hadits ini ada dalam penggabungan antara sunnah nabawiyyah
dengan sunnah Khulafaur Rasyidin Mahdiyyin. Perhatikanlah bagaimana Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan kalimat beliau ini sebagai wasiat
terakhir untuk umat sesudah beliau, agar engkau mengetahui kebenaran ucapan
beliau lewat keaslian manhaj ini. Kemudian perhatikan pula bagaimana beliau
(memberikan wasiat) menghadapi perselisihan dengan tetap beriltizam pada
manhaj ini, agar engkau mengetahui bahwa pemahaman salafus shaleh
merupakan jalan keselamatan dari perpecahan.

Asy-Syathiby rahimahullah berkata: “Rasulullah menggandengkan -sebagaimana


engkau lihat– sunnah Khulafaur Rasyidin dengan sunnah beliau, dan bahwa
termasuk mengikuti sunnah beliau adalah dengan mengikuti sunnah mereka.
Sedangkan segala perkara yang baru menyelisihi sunnah tersebut, tidak
termasuk sunnah sama sekali. Karena sesungguhnya sunnah yang dilakukan
oleh para sahabat tidak lepas dari dua alternatif, bisa jadi mereka hanya semata-
mata mengikuti sunnah Rasulullah, atau mengikuti apa yang mereka pahami dari
sunnah beliau, baik secara global maupun terperinci, menurut satu sisi yang
tidak dipahami semisalnya oleh selain mereka, tidak lebih dari itu.”[9]

Aku (Syaikh Abdul Malik Ramdhany) telah menjadikan nash-nash ini sebagai
dalil terhadap perkara yang sedang aku bahas ini. Karena aku mendapati Ibnu
Abil ‘Izzi menyebutkan nash-nash tersebut ketika menjelaskan ucapan Ath-
Thahawy: “Dan kita mengikuti sunnah dan jama’ah serta menjauhi setiap syadz
(menyimpang), perselisihan, dan perpecahan.” [10]

TATHBIQ (PENGAMALAN)
Karena pentingnya mengikatkan pemahaman al-Kitab dengan As-Sunnah dan
dan mengikatkan pemahaman al-Kitab dan as-Sunnah dengan pemahaman
Salafus Shaleh, berikut ini aku akan memaparkan kisah tentang ujian yang
dialami oleh Imam Ahmad rahiahullah dengan tujuan menjelaskan dua maksud
dalam satu kesempatan. Al-Ajury rahimahullah berkata: [11]
“Sampai kepadaku dari Al-Muhtadi rahimahullah, bahwa dia berkata: “Tidak ada
yang pernah mengalahkan ayahku –yaitu Al-Watsiq – (yaitu di dalam
perdebatan) kecuali seorang Syaikh yang didatangkan dari Mashishah (beliau
adalah imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah). Dia telah menetap di penjara
salama beberapa waktu. Suatu hari Ayahku ingat kepadanya dan berkata: “Bawa
Syaikh itu menghadapku!” Lalu dia didatangkan dalam keadaan terikat. Ketika
dia dihadapkkan pada ayahku, dia memberi salam, akan tetapi Ayahku tidak
membalasnya. Syaikh itu berkata pada ayahku: “Wahai Amirul Mu’minin, engkau
tidak melaksanakan adab (yang diajarkan) Allah dan Rasul-Nya kepadaku, Allah
Ta’ala berfirman:
‫سنَ ِم ْن َهآ أ َ ْو ُردُّوهَآ‬
َ ْ‫َوإِذَا ُح ِييتُم ِبت َِحيَّ ٍة فَ َحيُّوا بِأَح‬

Apabila engkau diberi penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan


yang lebih baik daripadanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang
serupa)…” [An-Nisa’ : 86]

Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memerintahkan untuk membalas


salam. Maka Ayahku membalas salamnya: “‘Alaikas salam.“
Kemudian ayahku berkata kepada Ibnu Abi Du’ad: “Bertanyalah padanya!“
Syaikh itu berkata: “Wahai Amirul Mu’minin, aku seorang tahanan yang terikat.
Aku shalat dalam tahanan dengan tayammum karena aku tidak mendapatkan
air, perintahkanlah agar ikatanku dilepas dan berilah aku air agar aku dapat
bersuci kemudian shalat, dan setelah itu tanyailah aku. “ Lalu Ayahku
memerintahkan untuk melepas ikatannya dan memberinya air untuk berwudhu
kemudian shalat.
Ayahku berkata kepada Ibnu Abi Du’ad: “ Bertanyalah padanya!“
Tetapi Syaikh itu berkata: “Giliranku untuk bertanya, perintahkan dia agar
menjawabku.“
Ayahku berkata: “Bertanyalah!“
Maka Syaikh itu menghadap kepada Ibnu Abi Du’ad bertanya padanya:
“Kabarkan padaku tentang perkara yang engkau dakwahkan kepada manusia.
(yaitu pendapat bid’ah bahwa Al-Qur’an adalah makhluk-Red) Apakah itu
perkara yang didakwahkan oleh Rasulullah?“
Ibnu Abi Du’ad menjawab: “Tidak“
Syaikh itu berkata lagi: “Apakah itu perkara yang didakwahkan oleh Abu Bakar?“
Dia menjawab: “Tidak“
Syaikh itu berkata lagi: “Apakah itu perkara yang didakwahkan oleh ‘Umar bin
Khatthab sesudanya?
Dia menjawab: “Tidak“
Syaikh itu berkata lagi: “Apakah itu perkara yang didakwahkan oleh ‘Utsman bin
‘Affan sesudahnya?
Dia menjawab: “Tidak“
Syaikh itu berkata lagi: “Perkara yang tidak pernah didakwahkan oleh Rasulullah,
Abu Bakar, ‘Umar, tidak pula oleh ‘Utsman maupun ‘Ali –semoga Allah meridhai
mereka– tetapi engkau menyerukannya kepada manusia. Engkau hanya dapat
mengatakan: “Mereka mengetahuinya atau mereka bodoh tentang hal itu”. Jika
engkau katakan mereka mengetahuinya, tetapi mereka diam, berarti kitapun
harus diam (dari perkara yang tidak dibicarakan oleh salafus shaleh)
sebagaimana mereka diam. Tetapi jika engkau katakan: ”Mereka tidak
mengetahuinya, tetapi aku mengetahuinya“, sungguh betapa hinanya (engkau)!
Nabi beserta Khulafaur Rasyidin –semoga Allah Ta’ala meridhai mereka– tidak
mengetahui perkara itu sedikitpun, sedangkan engkau beserta sahabat-
sahabatmu mengetahuinya!?
Al-Muhtady berkata: “Aku melihat Ayahku beranjak berdiri dan masuk ke al-haira
(semacam taman yang digenangi air) dan meletakkan bajunya pada mulut beliau
yang sedang tertawa. Kemudian ayahku berkata: “Dia benar, kita hanya bisa
mengatakan: “Mereka (Salafus Shalih) mengetahuinya atau tidak
mengetahuinya”. Jika kita katakan: “Mereka mengetahuinya tetapi mereka diam”,
sepatutnyalah kitapun diam seperti mereka. Dan jika kita katakan: “Mereka tidak
mengetahuinya tetapi engkau mengetahuinya, betapa hinanya (engaku)! Nabi
beserta para sahabat beliau tidak mengetahuinya, tetapi engkau dan para
sahabaatmu mengetahuinya!?
Lalu Ayahku memanggil: “Wahai Ahmad!“
Akupun menjawab: “Labbaika (aku memenuhi panggilanmu).
Ayahku berkata: “Bukan engkau yang aku maksud, melainkan Ibnu Abi Du’ad.”
Diapun lalu mendekat pada Ayahku. “ Berikan nafkah pada Syaikh ini dan
keluarkan dia dari negeri kita. (yaitu Imam Ahmad dibebaskan dari penjara dan
diberi harta oleh Khalifah-red)

Dalam riwayat yang dibawakan oleh Adz-Dzahaby dalam kitab As-Siyar: “…dan
Ibnu Abi Du’ad jatuh (martabatnya) di hadapan ayahku, dan setelah itu ayahku
tidak pernah menguji siapapun. Al-Muhtady berkata: “Kemudian aku rujuk
(kembali) dari pendapat ini (pendapat bahwa al-qur’an adalah mahluk). Dan aku
menyangka bahwa Ayahku juga telah rujuk dari pendapat tersebut sejak saat
itu.“ [12]

Aku (Syaikh Abdul Malik) berkata: “Al-Ajury telah meriwayatkannya dengan


sanad pada hal. 91, Ibnu Batthah juga meriwayatkan dari Al-Ajury dalam Al-
Ibanah (Ar-Radd ‘alal Jahmiyyah), (no:452), dan dia juga mengeluarkannya dari
beberapa jalan lain di bawah no. tadi dan no:453. Juga Al-Khathib Al-Baghdadi
dalam Tarikh Baghdad (4/151-152) dan (10/75-79); Ibnul Jauzy dalam Manaqib
Al-Imam Ahmad hal. 431-436, dan Abdul Ghani Al-Maqdisy dalam Al-Mihnah hal.
169-174 dan 168-169; serta Ibnu Qudamah dalam At-Tawwabin hal. 210-215.

Aku (Syaikh Abdul Malik Ramdhany) katakan: “Perhatikanlah, sesungguhnya


sikap Syaikh tersebut (Imam Ahmad) dalam mengembalikan perkara yang besar
ini pada sirah/perjalanan Salafus Shaleh merupakan upaya melenyapkan
perselisihan secara langsung. Dan sesungguhnya sebab hidayah Al-Watsiq dan
Al-Muhtady telah disebutkan dalam kisah tadi. Inilah yang menunjukkan pada
kita bahwa pemahaman Salafus Shaleh adalah sumber asas yang cermat. Maka
peliharalah ia!
TANBIH (PERINGATAN)
Jika salafus shaleh berselisih dalam satu permasalahan, maka satu-satunya cara
yang ditempuh adalah dengan menegakkan dalil dari al-Kitab dan as-Sunnah
berdasarkan firman Allah Ta’ala:

ً‫سنُ ت َأ ْ ِويال‬
َ ْ‫سو ِل إِن ُكنت ُ ْم تُؤْ ِمنُونَ بِاهللِ َو ْاليَ ْو ِم اْأل َ ِخ ِر َذ ِلكَ َخ ْي ُرُُ َوأَح‬ َّ ‫َىءٍ فَ ُردُّوهُ ِإ َلى هللاِ َو‬
ُ ‫الر‬ ْ ‫فَإِن تَنَازَ ْعت ُ ْم فِي ش‬

Kemudian jika kalian berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada


Allah dan Rasul-Nya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama ( bagimu ) dan lebih baik akibatnya.
[An-Nisa’ : 59]

Kata ٍ‫َىء‬
ْ ‫( ش‬sesuatu) di ayat ini bentuk nakirah dalam konteks syarth (syarat),
sehingga meliputi seluruh perselisihan kontradiktif baik dalam ushul (urusan
pokok) ataupun furu’ (urusan cabang). Tafsir ini sebagaimana diungkapkan oleh
Al-‘Allamah Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithy.[13]

Ibnul Qayyim berkata: “Dan jika tidak ada penjelasan hukum -dan tidak
mencukupi- tentang perkara yang mereka perselisihkan dalam kitab Allah dan
sunnah Rasul-Nya, niscaya Allah tidak akan memerintahkan untuk
mengembalikan perselisihan kepada Kitab dan Sunnah. Karena tidak mungkin
bagi Allah memerintahkan untuk mengembalikan perselisihan yang terjadi
kepada orang yang tidak memiliki kemampuan memutuskan perselisihan
tersebut. [14]

(Diterjemahkan oleh Ummu Ishaq dari kitab Madarikun Nazhar, hal: 27-35,
Penerbit: Dar Sabilil Mu’minin, Cet:II/1418 H, karya Syeikh Abdul Malik bin
Ahmad bin Al-Mubarak Ramadhani Al-Jazairi)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun V/1422H/2001M Diterbitkan


Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Madarijus Salikin (1/13)
[2]. Madarijus Salikin (1/72-73). Tafsiran ini shahih secara mauquf atas Abul
‘Aliyah dan Al-Hasan. Ibnu Hibban menyebutkannya dalam Ats-Tsiqat (6/229)
secara mu’allaq (tanpa menyebutkan sanadnya). Dan Ibnu Nashr
memaushulkannya (menyambungkan sanadnya) di dalam As-Sunnah, juga Ibnu
Jarir dalam tafsirnya (183), Ibnu Hatim dalam tafsirnya (1/21-22), dan Al-Hakim
(2/259). Al-Hakim dan Adz-Dzahaby menshahihkannya. Lihat pula pada Al-
Imamah war Radd ‘alar Rafidhah oleh Abu Nu’aim (73). Di dalamnya terdapat
hadits semisalnya dari Ibnu Mas’ud – semoga Allah meridhainya –
[3]. Ibnu ‘Abdil Barr mengeluarkan semisalnya dalam Jami’ul Bayan (2/97), dan
Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah dari Ibnu Umar (1/305 )
[4]. Hadits hasan diriwayatkan oleh Ahmad dan selainnya
[5]. Syarh Ushuli I’tiqadi Ahlis Sunnah oleh Al-Lalika’I no. 317. Lihat pula Asy-
Syari’ah oleh Al-Ajury hal. 14
[6]. Lihat takhrij pengambilan dalil imam Malik dengan ayat ini dalam I’lamul
Muwaqqi’in oleh Ibnul Qayyim (4/94-95 )
[7]. Barangsiapa ragu dengan jumlah generasi, silakan lihat pada Ash-Shahihah
oleh Al-Albany no. 700
[8]. Lihat Majmu’ul Fatawa oleh Ibnu Taimiyyah (19/194)
[9]. Al-I’tisham (1/104)
[10]. Hal. 282-283 cetakan Al-Maktabul Islamy
[11]. Dalam kitab Asy-Syari’ah manuskrip Turki, lembaran 24, dan dalam kitab
yang telah dicetak hal. 63-64, tetapi padanya ada beberapa kesalahan cetak,
oleh karena aku (Syaikh Abdul Malik) tidak berpegang padanya kecuali sedikit
[12]. Adz-Dzahaby berkata dalam As-Siyar (11/313): “Ini adalah kisah yang
menarik, meskipun dalam jalannya ada perawi majhul (tidak dikenal), tetapi kisah
ini mempunyai penguat.
[13]. Adhwa’ul Bayan (1/ 333)
[14]. I’lamul Muwaqqi’in (1/49)

Read more https://almanhaj.or.id/2941-kewajiban-mengikuti-al-kitab-dan-as-


sunnah-berdasarkan-pemahaman-salafus-shalih.html

11 ADAB KEPADA RASUL Shallallahu ‘alaihi


Wa sallam
1. Menaati, menapaki jejak dan mengikuti petunjuk serta
mengikuti dan meneladani beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam,
2. Mendahulukan kecintaan pada beliau serta menghormati dan
mengagungkannya,
3. Bershalawat ketika menyebut dan atau mendengar beliau
disebut,
4. Waspada dari sikap menyelisihi dan mendurhakai beliau,
5. Tidak mendahulukan perkataan manusia manapun dari
perkataan dan pendapat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
6. Mengimani kenabian dan kerasulan beliau serta
membenarkan setiap apa yang beliau kabarkan,
7. Menghindari sikap ghuluw terhadap beliau, yakni tidak
menempatkan beliau pada posisi menuhankan beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
8. Tidak memberikan dan menisbatkan kekhususan Allah
kepada beliau dengan tidak bersumpah atas nama beliau
dan tidak bertawakkal kepada beliau,
9. Loyal dan cinta pada mereka yang cinta dan loyal pada
beliay serta memusuhi dan belepas diri dari orang yang
memusuhi dan membenci beliau,
10. Menolong sunnah dan melindungi kesucian syariat yang
beliau bawa,
11. Menghidupkan sunnahnya dan menampakkan syariatnya
serta dan meneruskan da’wah beliau serta menunaikan
wasiatnya.

(Sumber: Al-Muntaqa Min al-Adab Asy Syar’iyyah, Syekh Majid bin


Sa’ud Aal ‘Uwaisyin, hlm.18)

Konsisten Secara Total dengan Syariat


KONSISTEN SECARA TOTAL DENGAN SYARIAT

Oleh
Ustadz Abu Minhal Lc

‫﴾فَإ ِ ْن زَ لَ ْلت ُ ْم ِم ْن بَ ْع ِد َما‬٢٠٨﴿‫ين‬ ٌ ِ‫ان ۚ ِإنَّهُ لَ ُك ْم َع ُد ٌّو ُمب‬


ِ ‫ط‬َ ‫ش ْي‬
َّ ‫ت ال‬ ُ ‫الس ْل ِم كَافَّةً َو َال تَتَّبِعُوا ُخ‬
ِ ‫ط َوا‬ ِ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ا ْد ُخلُوا فِي‬
‫يز َح ِكي ٌم‬ٌ ‫َّللا َع ِز‬َ َّ ‫َجا َءتْ ُك ُم ْال َب ِينَاتُ فَا ْعلَ ُموا أ َ َّن‬

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan,


dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya syaitan itu
musuh yang nyata bagimu. Tetapi jika kamu menyimpang (dari jalan Allâh)
sesudah datang kepadamu bukti-bukti kebenaran, maka ketahuilah, bahwasanya
Allâh Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. [al-Baqarah/2:208-209].
MUFRADAT
‫الس ْل ُم‬
ِ (as-silmu), maksudnya adalah Islam.[1] Pendapat lainnya, ketaatan (kepada
Allâh).[2]

ً‫( كَافَّة‬kâffatan), maksudnya jamî’an (secara keseluruhan, totalitas).[3]

PENAFSIRAN AYAT
Ini adalah satu khithâb (panggilan ilahi) yang tertuju kepada kaum Mukminin[4]
yang harus didengar dan diperhatikan, untuk melaksanakan kandungan
perintahnya dan menjauhi kandungan larangannya.

Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhu, Mujahid rahimahullah, Abul ‘Aliyah rahimahullah,


Qatâdah rahimahullah, Adh-Dhahhâk rahimahullah dan ulama lainnya memaknai
dengan, ‘kerjakanlah semua amal shalih dan seluruh jenis kebajikan’.[5]

Sedangkan Ibnu Katsîr rahimahullah mengatakan, maksudnya adalah Allâh


Ta’ala memerintahkan para hamba-Nya yang beriman kepada-Nya dan
membenarkan para Rasul-Nya, supaya mereka kuat berpegang dengan seluruh
tali ajaran Islam dan syariat-syariatnya, mengaplikasikan seluruh perintah-Nya
dan meninggalkan semua larangan-Nya, sesuai jangkauan kemampuan
mereka.[6]

Kaum Mukminin diperintahkan untuk mengerjakan seluruh cabang keimanan dan


syariat-syariat Islam, yang banyak jumlahnya sesuai dengan kemampuan,[7]
tetapi bukan dengan memilih-milih aturan syariat dan hukum-hukum. Misal, yang
sesuai dengan kemaslahatan (kepentingan) dan hawa nafsunya akan diterima
dan diamalkan. Sedangkan ajaran yang tidak selaras dengan kemaslahan dan
hawa nafsu pribadi, ditolak atau ditinggalkan dan abaikan. Kewajiban kita ialah
menerima semua aturan syariat Islam dan hukum-hukumnya secara
keseluruhan.[8]

Mengagungkan syariat dan mengamalkannya termasuk wujud pengagungan


seorang hamba kepada Allâh Azza wa Jalla dan bukti keimanannya kepada
Allâh Azza wa Jalla . Allâh Azza wa Jalla berfirman:

ِ ‫َّللا فَإِنَّ َها ِم ْن ت َ ْق َوى ْالقُلُو‬


‫ب‬ َ ‫َٰذَلِكَ َو َم ْن يُعَ ِظ ْم‬
ِ َّ ‫شعَائِ َر‬

Demikianlah (perintah Allâh). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allâh,


maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati”. [al-Hajj/22:32].
Seperti halnya para sahabat Nabi, mereka insan-insan yang sangat kuat dalam
berpegang dengan ajaran Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya, dan tunduk
kepada al-haq. Mereka memiliki kesempurnaan iman dibandingkan generasi
selanjutnya.

Simaklah ‘Umar bin Khaththab memuji Abu Bakr ash-Shiddiq: “Dia seorang yang
jujur, gemar berbuat baik, memiliki akal yang lurus dan mengikuti al-haq”. [9]

Simak juga pujian Ibnu ‘Abbas terhadap ‘Umar bin Khaththab Rdhiyallahu anhu :
“Dia seorang yang sangat memperhatikan garis-garis aturan Kitabullâh”.[10]

HARUS MENGHINDARI TIPU-DAYA SETAN


Masuk ke dalam Islam secara total tidak mungkin dilakukan seorang hamba
kecuali hanya dengan menghindari dan menjauhi jalan dan bisikan, serta tipu
daya setan.[11] Karenanya, pada lanjutan ayat, Allâh Azza wa Jalla berfirman: ‫َو َال‬
‫ان‬
ِ ‫ط‬َ ‫ش ْي‬
َّ ‫ت ال‬ ُ ‫( تَتَّبِعُوا ُخ‬dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan).
ِ ‫ط َوا‬

Maksudnya, kata Imam Ibnu Katsir rahimahullah: “Kerjakanlah seluruh amal


ketaatan dan hindarilah oleh kalian semua yang dibisikkan setan kepada kalian.
Karena, “Sesungguhnya setan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji,
dan mengatakan terhadap Allâh apa yang tidak kamu ketahui” (al-
Baqarah/2:169), dan “karena sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak
golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala”
(Fâthir/35:6).

Allâh Azza wa Jalla mengingatkan pada penutup ayat dengan berfirman ‫ِإنَّهُ لَ ُك ْم‬
ٌ ِ‫( َعد ٌُّو ُمب‬sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu).
‫ين‬

Mutharrif berkata, “Makhluk Allâh yang paling ampuh tipu muslihatnya terhadap
hamba Allâh adalah setan”.[12]

TIDAK ADA ISTILAH “KULIT” UNTUK AJARAN ALLÂH DAN RASUL-NYA


Konsistensi dengan ajaran syariat dan mentaati Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam akan mendatangkan hidayah dan menjauhkan dari kesesatan. Allâh Azza
wa Jalla berfirman:

‫سو َل ۖ فَإ ِ ْن ت ََولَّ ْوا فَإِنَّ َما َع َل ْي ِه َما ُح ِم َل َو َعلَ ْي ُك ْم َما ُح ِم ْلت ُ ْم ۖ َو ِإ ْن ت ُ ِطيعُوهُ ت َ ْهتَدُوا ۚ َو َما َعلَى‬ َّ ‫َّللا َوأ َ ِطيعُوا‬
ُ ‫الر‬ َ َّ ‫قُ ْل أ َ ِطيعُوا‬
ُ‫غ ْال ُمبِين‬
ُ ‫سو ِل إِ َّال ْالبَ َال‬
ُ ‫الر‬
َّ
Katakanlah: “Taat kepada Allah dan taatlah kepada Rasul; dan jika kamu
berpaling maka sesungguhnya kewajiban Rasul itu adalah apa yang dibebankan
kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang
dibebankan kepadamu. Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat
petunjuk. Dan tidak lain kewajiban Rasul itu melainkan menyampaikan (amanat
Allah) dengan terang.” [an-Nûr/24:54].

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

‫ت النَّ ِع ِيم‬ ُ ‫ت يَ ْهدِي ِه ْم َربُّ ُه ْم بِإِي َمانِ ِه ْم ۖ تَجْ ِري ِم ْن تَحْ تِ ِه ُم ْاأل َ ْن َه‬
ِ ‫ار فِي َجنَّا‬ َّ ‫إِ َّن َّالذِينَ آ َمنُوا َو َع ِملُوا ال‬
ِ ‫صا ِل َحا‬

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal shalih,


mereka diberi petunjuk oleh Rabb mereka karena keimanannya, di bawah
mereka mengalir sungai-sungai di dalam surga yang penuh kenikmatan.
[Yunus/10:9].

Allâh juga berfirman:

َّ ‫َّللاُ َّالذِينَ ا ْهت َ َد ْوا ُهدًى ۗ َو ْالبَاقِيَاتُ ال‬


‫صا ِل َحاتُ َخي ٌْر ِع ْن َد َربِكَ ث َ َوابًا َو َخي ٌْر َم َردًّا‬ َّ ‫َويَ ِزي ُد‬

Dan Allâh akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat
petunjuk. Dan amal-amal shalih yang kekal itu lebih baik pahalanya di sisi
Rabbmu dan lebih baik kesudahannya. [Maryam/19:76].

Imam al-‘Izz bin ‘Abdus-Salam berkata, “Tidak boleh mengatakan bahwa syariat
itu qisyrûn (kulit), padahal memuat banyak sekali manfaat dan kebaikan.
Bagaimana bisa perintah untuk taat dan beriman disebut ‘kulit’?! Siapapun yang
melontarkan sebutan seperti ini tiada lain ia seorang yang dungu, celaka lagi
kurang beradab. Seandainya pernyataannya itu dikomentari sebagai qusyûr
(tidak penting) pastilah serta-merta ia akan mengingkari orang yang
menanggapinya. Bagaimana ia bisa melontarkan penyebutan ‘kulit’ (tidak
penting) kepada syariat, padahal syariat itu adalah Kitabullâh dan Sunnah Rasul-
Nya. Maka, orang bodoh ini pantas mendapatkan sanksi yang sesuai dengan
kesalahannya ini.”[13]

ANCAMAN BAGI SESEORANG YANG MENYIMPANG DARI JALAN ALLAH


AZZA WA JALLA
Seseorang yang tidak taat kepada Allâh Azza wa Jalla , hakikatnya ia justru
terjerumus ke dalam perbuatan yang buruk, yaitu mempertuhankan dan
mendewakan hawa nafsunya, sehingga menyeretnya kepada kehinaan,
kenistaan dan kesengsaraan hakiki. Realitas ini harus disadari oleh setiap
Mukmin yang berharap keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Seseorang yang beriman kepada Allâh Azza wa Jalla tidak sepantasnya


menjadikan hawa nafsunya sebagai “tuhan” yang ditaati. Maksudnya, jika satu
perintah sesuai dengan keinginannya, maka ia akan menjalankannya. Bila satu
aturan tidak sejalan dengan hawa nafsunya, ia pun menolak menaatinya.
Mestinya, hawa nafsunya harus tunduk patuh kepada aturan agama (Islam), dan
mengerjakan amalan kebajikan yang berada dalam jangkauan kemampuannya.
Adapun perintah-perintah yang belum sanggup untuk menjalankannya, maka
hendaklah ia mematuhi dan menanamkan niat untuk menjalankannya, sehingga
ia mendapatkan pahala dengan niatnya itu.[14]

Selanjutnya, pada ayat berikutnya Allâh Azza wa Jalla berfirman:

َ َّ ‫فَإ ِ ْن زَ لَ ْلت ُ ْم ِم ْن بَ ْع ِد َما َجا َءتْ ُك ُم ْالبَيِنَاتُ فَا ْعلَ ُموا أ َ َّن‬
ٌ ‫َّللا َع ِز‬
‫يز َح ِكي ٌم‬

Tetapi jika kamu menyimpang (dari jalan Allah) sesudah datang kepadamu bukti-
bukti kebenaran.

Ayat ini memuat peringatan dan ancaman terhadap seseorang yang


menyimpang dan menolak syariat Allâh Azza wa Jalla . Syaikh as-Sa’di
rahimahullah mengatakan, “Bila kalian meninggalkan kebenaran setelah hujjah-
hujjah tegak dan jelas di hadapan kalian, maka ketahuilah, bahwasanya Allâh
Maha Perkasa untuk membalas (sikap kalian). Tidak ada seorang(pun) yang
sanggup melarikan diri dari-Nya, dan tidak ada seorang pun yang mampu
mengalahkan-Nya. Dia (Allâh) Maha Bijaksana dalam ketentuan hukum-hukum-
Nya, pembatalan dan penetapan hukum-Nya. Oleh sebab itu para ulama
mengatakan, Allâh Maha Perkasa dalam menjatuhkan siksa-Nya, Maha
Bijaksana dalam ketentuan-ketentuan-Nya.”

Seorang hamba yang telah mengetahui al-haq, namun kemudian membencinya,


maka orang yang seperti ini pantas mendapatkan perlakuan dari Allâh Azza wa
Jalla untuk semakin dijauhkan dari kebenaran dan kemudian ditambah
kesesatannya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

‫َّللاُ قُلُوبَ ُه ْم‬


َّ ‫غ‬َ ‫غوا أَزَ ا‬
ُ ‫فَلَ َّما زَ ا‬

Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allâh memalingkan hati


mereka. [ash-Shaff/61:5].
Syaikh ‘Abdur-Rahmân as-Sa’di rahimahullah berkata, “Orang yang membenci
al-haqq dan justru berjalan mengikuti hawa nafsunya, pantaslah Allâh Azza wa
Jalla menambahkan kesesatan untuknya”.[15]

Cermati pula perkataan Abu Bakr Ash-Shiddîq Radhiyallahu anhu berikut ini,
“Aku khawatir akan menjadi orang yang sesat (menyimpang) bila aku tinggalkan
sesuatu dari petunjuk Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam “.

Syaikh Hamd bin Ibrâhîm al-‘Utsmân hafizhahullâh mengatakan, dengan


demikian (melalui ayat ini), dapat diketahui kesalahan orang-orang yang berada
di atas manhaj-manhaj yang tidak berdiri di atas al-haq. Mereka memperlakukan
syariat sesuai dengan kehendak sendiri, menjalankan sebagian petunjuk syariat
dan berpaling dari petunjuk syariat lainnya yang dianggapnya qusyûr (kulit), atau
masalah cabang yang tidak ada urgensi dan kepentingannya. Demikian dalih
mereka”.

Dengan anggapan yang keliru tersebut, maka tidak diragukan jika mereka telah
menodai hikmah Allâh Azza wa Jalla . Syariat Allâh Azza wa Jalla ini tidak
diturunkan kecuali ada tujuan dan hikmahnya. Sehingga seandainya ada bagian
syariat yang tidak penting, tentu Allâh Azza wa Jalla tidak menurunkan dan
mensyariatkannya pada hamba-hamba-Nya, serta memerintahkan mereka untuk
bertaqarrub dengan-Nya.

Allâh Ta’ala mengingatkan:

ِ ‫ض ْال ِكت َا‬


ٍ ‫ب َوت َ ْكفُ ُرونَ بِبَ ْع‬
‫ض‬ ِ ‫أَفَتُؤْ ِمنُونَ ِببَ ْع‬

Apakah kamu beriman kepada sebagian al-Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap
sebagian yang lain? [al-Baqarah/2:85].[16]

PELAJARAN DARI AYAT


1.Kewajiban menerima semua aturan syariat Allâh dan Rasul-Nya, tidak boleh
memilih sesuai dengan yang disukainya saja.

2. Semua petunjuk syariat baik dan mendatangkan kemaslahatan.

3.Kewajiban bagi kaum Mukminin agar meningkatkan semangat belajar dan


mendalami syariat Islam, agar mengetahui semua ajaran Allâh Azza wa Jalla
sehingga mengenal Islam dengan lebih baik dan dapat melaksanakannya.
4.Harus merasa takut terhadap ancaman dan makar dari Allâh Azza wa Jalla.

5. Konsisten dengan ajaran syariat akan mendatangkan hidayah demi hidayah.

6. Pelanggaran terhadap syariat dapat menjauhkan seseorang dari hidayah Allâh


Azza wa Jalla .

Wallahu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XVI/1434H/2013M. Penerbit


Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, Ikrimah, Qatadah, adh-Dhahhaak dan lainnya.
Lihat Zâdul-Masîr, 1/174; Tafsir al-Qur`ânil-‘Azhim, 1/569.
[2]. Dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, Abul ‘Aliyah dan Rabi’ bin Anas.
[3]. Zâdul-Masîr, 1/174.
[4]. Taisiru al-Karîmi ar-Rahmân, hlm. 84.
[5]. Tafsîru al-Qur`ânil-‘Azhîm, 1/569.
[6]. Tafsîru al-Qur`ânil-‘Azhîm, 1/569.
[7]. Tafsîru al-Qur`ânil-‘Azhîm, 1/570.
[8]. Aisaru at-Tafâsîr 1/.90.
[9]. HR al-Bukhâri no.3094.
[10]. HR al-Bukhâri kitab tafsir no.4642
[11]. Taisir al-Karîmir ar-Rahmân, hlm. 84.
[12]. Tafsîru al-Qur`ânil-‘Azhîm, 1/570.
[13]. Al-Fatawa al-Maushiliyyah, hlm.68-69. Nukilan dari ash-Shawaarifu ‘anil-
Haqq, hlm.72-73.
[14]. Taisiru al-Karimi ar-Rahmân, hlm. 84
[15]. At-Tankîl, hlm. 2/201. Nukilan dari ash-Shawârifu ‘anil Haqqi, hlm.74.
[16]. Lihat ash-Shawârifu ‘anil-Haqq, hlm.72.

Read more https://almanhaj.or.id/4088-konsisten-secara-total-dengan-


syariat.html
Iman kepada hari akhir/hari kemudian, yang berarti mengimani semua peristiwa
yang diberitakan dalam ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits shahih dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terjadi setelah kematian, adalah
salah satu rukun iman yang wajib diyakini oleh setiap orang yang beriman
kepada Allah Ta’ala dan kebenaran agama-Nya.

Bahkan karena tingginya kedudukan iman kepada hari akhir, Allah Ta’ala dalam
banyak ayat al-Qur’an sering menggandengkan antara iman kepada-Nya dan
iman kepada hari akhir. Hal ini dikarenakan orang yang tidak beriman kepada
hari akhir maka tidak mungkin dia beriman kepada Allah Ta’ala, sebab orang
yang tidak beriman kepada hari akhir dia tidak akan mengerjakan amal shaleh,
karena seseorang tidak akan mengerjakan amal shaleh kecuali dengan
mengharapkan balasan kemuliaan dan karena takut siksaan-Nya pada hari
pembalasan kelak.

Oleh karena itu, Allah Ta’ala menggambarkan sifat orang-orang yang tidak
beriman kepada hari akhir dalam firman-Nya,

َ ‫}وقَالُوا َما ه‬
{‫ِي ِإال َحيَاتُنَا ال ُّد ْنيَا نَ ُموتُ َونَحْ يَا َو َما يُ ْه ِل ُكنَا ِإال ال َّد ْه ُر‬ َ

“Dan mereka berkata: “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia
saja, kita mati dan kita hidup, dan tidak ada yang membinasakan kita selain
masa (waktu)” (al-Jaatsiyah:24)[1].

Kewajiban Mengimani Keberadaan Telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa


sallam

Di antara perkara yang wajib diimani sehubungan dengan iman kepada hari
akhir adalah keberadaan al-haudh (telaga) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam sebagai kemuliaan yang Allah Ta’ala berikan kepada beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam, yang pada hari kiamat nanti orang-orang yang beriman dan
mengikuti petunjuk beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sewaktu di dunia akan
mendatangi dan meminum air telaga yang penuh kemuliaan tersebut, semoga
Allah Ta’ala memudahkan kita untuk meraih kemuliaan tersebut, amin.

Imam Ahmad bin Hambal berkata, “(Termasuk landasan pokok Islam adalah
kewajiban) mengimani (keberadaan) telaga milik Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam pada hari kiamat, yang nanti akan didatangi oleh umat
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam… sebagaimana yang disebutkan dalam
banyak hadits yang shahih (dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam)”[2].

Imam Abu Ja’far ath-Thahawi berkata, “Al-Haudh (telaga) yang dengannya


Allah Ta’ala memuliakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, untuk
diminum (airnya) oleh umat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam (pada hari
kiamat nanti) adalah suatu yang benar adanya”[3].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ketika menjelaskan perkara-perkara yang wajib


diimani pada hari kiamat, beliau berkata[4], “Pada hari kiamat (ada) telaga
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang akan didatangi (oleh umat
beliau)…barangsiapa yang meminum (air) telaga tersebut maka dia tidak akan
merasakan haus lagi selamanya”[5].

Imam an-Nawawi mencantumkan hadits-hadits dalam “Shahih imam Muslim”


yang menyebutkan tentang telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam bab, “Penetapan (keberadaan) telaga Nabi kita
(Muhammad) shallallahu ‘alaihi wa sallam (pada hari kiamat nanti)…”[6].

Dalil-dalil yang menjelaskan keberadaan telaga Rasulullah shallallahu


‘alaihi wa sallam

Hadits-hadits shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang


menjelaskan ini banyak sekali, bahkan mencapai
derajat mutawatir (diriwayatkan dari banyak jalan sehingga tidak mungkin
diingkari kebenarannya).

Imam Ibnu Katsir berkata, “Penjelasan tentang telaga Rasulullah shallallahu


‘alaihi wa sallam – semoga Allah Memudahkan kita meminum dari telaga
tersebut pada hari kiamat – (yang disebutkan) dalam hadits-hadits yang telah
dikenal dan (diriwayatkan) dari banyak jalur yang kuat, meskipun ini tidak
disukai oleh orang-orang ahlul bid’ah yang berkeraskepala menolak dan
mengingkari keberadaan telaga ini…”[7].

Senada dengan ucapan di atas, imam Ibnu Abil ‘Izzi al-Hanafi menjelaskan,
“Hadits-hadits (shahih) yang menyebutkan (keberadaan) telaga
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencapai derajat mutawatir,
diriwayatkan oleh lebih dari tiga puluh orang sahabat (dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam)…”[8].

Di antara hadits-hadits tersebut adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa


sallam, “Sesungguhnya setiap Nabi memiliki telaga (pada hari kiamat nanti),
dan mereka saling membanggakan siapa di antara mereka yang paling banyak
orang yang mendatangi telaganya (dari umatnya), dan sungguh aku berharap
(kepada Allah Ta’ala) bahwa akulah yang paling banyak orang yang
mendatangi (telagaku)”[9].
Juga sabda beliau dalam hadits lain, “Sesungguhnya aku akan berada di depan
kalian (ketika mendatangi telaga pada hari kiamat nanti) dan aku akan menjadi
saksi bagi kalian, demi Allah, sungguh aku sedang melihat telagaku saat
ini”[10].

Dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya aku akan


berada di depan kalian ketika mendatangi telaga (pada hari kiamat nanti),
barangsiapa yang mendatanginya maka dia akan meminum airnya, dan
barangsiapa yang meminumnya maka dia tidak akan merasakan haus lagi
selamanya”[11].

Gambaran tentang Telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa


sallam dalam Hadits-Hadits yang Shahih

– Barangsiapa yang meminum air telaga tersebut maka dia tidak akan
merasakan haus lagi selamanya, sebagaimana hadits yang tersebut di atas.

– Sumber air telaga tersebut adalah sungai al-Kautsar di surga yang


Allah Ta’ala peruntukkan bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah kalian
mengetahui apa al-Kautsar itu?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya
yang lebih mengetahuinya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya al-Kautsar adalah sungai yang Allah Ta’ala janjikan kepadaku,
padanya terdapat banyak kebaikan, dan (airnya akan mengalir ke) telagaku
yang akan didatangi oleh umatku pada hari kiamat (nanti)…”[12].

Dalam hadits lain beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dialirkan pada
telaga itu dua saluran air yang (bersumber) dari (sungai al-Kautsar) di
surga…”[13].

– Adapun gambaran air telaga tersebut adalah sebagaimana sabda


beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Airnya lebih putih dari susu dan baunya
lebih harum dari (minyak wangi) misk (kesturi)”[14]. Dalam hadits lain,
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Dan (rasanya) lebih manis dari
madu”[15].

– Gayung/timba untuk mengambil air telaga tersebut sebagaimana sabda


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Gayung-gayungnya adalah seperti
bintang-bintang di langit”[16]. Artinya: jumlahnya sangat banyak dan berkilauan
seperti bintang-bintang di langit[17].

– Bentuk telaga tersebut adalah persegi empat sama sisi[18], sebagaimana


yang disebutkan dalam hadits yang shahih[19].
Siapakah Orang-Orang yang Terpilih Mendatangi Telaga
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?

Mereka adalah orang-orang yang beriman kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi


wa sallam dan selalu mengikuti petunjuk yang beliau sampaikan. Adapun
orang-orang yang berpaling dari petunjuk beliau sewaktu di dunia, maka
mereka akan diusir dari telaga tersebut[20].

Dalam sebuah hadits shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa


sallam menjelaskan bahwa ada orang-orang yang dihalangi dan diusir dari
telaga yang penuh kemuliaan ini[21]. Karena mereka sewaktu di dunia
berpaling dari petunjuk dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam kepada pemahaman dan perbuatan bid’ah, sehingga di akhirat mereka
dihalangi dari kemuliaan meminum air telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam ini, sebagai balasan yang sesuai dengan perbuatan mereka[22].

Imam Ibnu Abdil Barr[23] berkata, “Semua orang yang melakukan perbuatan
bid’ah yang tidak diridhai Allah dalam agama ini akan diusir dari telaga
Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam (pada hari kiamat nanti), dan yang
paling parah di antara mereka adalah orang-orang (ahlul bid’ah) yang
menyelisihi (pemahaman) jama’ah kaum muslimin, seperti orang-orang
khawarij, syi’ah rafidhah dan para pengikut hawa nafsu, demikian pula orang-
orang yang berbuat zhalim yang melampaui batas dalam kezhaliman dan
menentang kebenaran, serta orang-orang yang melakukan dosa-dosa besar
secara terang-terangan, semua mereka ini dikhawatirkan termasuk orang-orang
yang disebutkan dalam hadits ini (yang diusir dari telaga Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam)[24].

Terlebih lagi orang-orang yang mengingkari keberadaan telaga


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, seperti kelompok Mu’tazilah[25],
mereka termasuk orang yang paling terancam diusir dari telaga ini.

Imam Ibnu Katsir berkata, “Penjelasan tentang telaga Rasulullah shallallahu


‘alaihi wa sallam – semoga Allah Memudahkan kita meminum dari telaga
tersebut pada hari kiamat – (yang disebutkan) dalam hadits-hadits yang telah
dikenal dan (diriwayatkan) dari banyak jalur yang kuat, meskipun ini tidak
disukai oleh orang-orang ahlul bid’ah yang berkeraskepala menolak dan
mengingkari keberadaan telaga ini. Mereka inilah yang paling terancam untuk
dihalangi (diusir) dari telaga tersebut (pada hari kiamat)[26], sebagaimana
ucapan salah seorang ulama salaf: “Barangsiapa yang mendustakan
(mengingkari) suatu kemuliaan maka dia tidak akan mendapatkan kemuliaan
tersebut…”[27].
Imam Ibnu Abil ‘Izzi al-Hanafi berkata, “Semoga Allah membinasakan orang-
orang yang mengingkari keberadaan telaga ini, dan alangkah pantasnya
mereka ini untuk dihalangi dari mendatangi telaga tersebut pada hari (ketika
manusia mengalami) dahaga yang sangat berat (hari kiamat)”[28].

Penutup

Demikianlah penjelasan ringkas tentang telaga kemuliaan


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang kewajiban mengimaninya
merupakan perkara penting yang berhubungan dengan iman kepada hari akhir
dan merupakan salah satu prinsip dasar akidah Ahlus sunnah wal jamaah, yang
tercantum dalam kitab-kitab akidah para imam Ahlus sunnah.

Semoga Allah Ta’ala senantiasa melimpahkan taufik-Nya kepada kita semua


untuk dapat meraih semua kebaikan dan kemuliaan yang dijanjikan-Nya di
dunia dan di akhirat kelak, sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar, Maha
Dekat, dan Maha Mengabulkan doa.

‫ وآخر دعوانا أن الحمد هلل رب العالمين‬،‫وصلى هللا وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين‬

Kota Kendari, 3 Sya’ban 1431 H

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA

Artikel www.muslim.or.id

[1] Lihat keterangan syaikh al-‘Utsaimin dalam ”Syarhul ‘aqiidatil waasithiyyah”


(2/528).

[2] Kitab “Ushuulus sunnah” (hal. 3-4).

[3] Kitab “Syarhul ‘aqiidatith thahaawiyyah” (hal. 227).

[4] Kitab “Syarhul ‘aqiidatil waasithiyyah” (2/572).

[5] Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih yang akan kami
sebutkan insya Allah.

[6] Kitab “Shahih imam Muslim” (4/1791).

[7] Kitab “An Nihayah fiil fitani wal malaahim” (hal. 127).
[8] Kitab “Syarhul ‘aqiidatith thahaawiyyah” (hal. 227).

[9] HR at-Tirmidzi (no. 2443) dan ath-Thabarani dalam “al-Mu’jamul Kabiir” (no.
6881), juga dari jalur lain (no. 7053) dari sahabat Samurah bin Jundub, hadits
ini sanadnya lemah, akan tetapi diriwayatkan dari beberapa jalur yang saling
menguatkan, sehingga hadits ini mencapai derajat hasan atau bahkan shahih,
sebagaimana penjelasan syaikh al-Albani dalam “Silsilatul ahaaditsish
shahiihah” (no. 1589).

[10] HSR al-Bukhari (no. 6218) dan Muslim (no. 2296) dari sahabat ‘Uqbah bin
‘Amir.

[11] HSR al-Bukhari (no. 6643) dan Muslim (no. 2290) dari sahabat Sahl bin
Sa’ad as-Saa’idi.

[12] HSR Muslim (no. 400) dari sahabat Anas bin Malik.

[13] HSR Muslim (no. 2300) dari sahabat Abu Dzar al-Gifaari.

[14] HSR al-Bukhari (no. 6208) dari sahabat Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash.

[15] HSR Muslim (no. 2301) dari sahabat Tsauban.

[16] HSR al-Bukhari (no. 6208) dan Muslim (no. 2292) dari sahabat Abdullah
bin ‘Amr bin al-‘Ash.

[17] Lihat keterangan syaikh al-‘Utsaimin dalam ”Syarhul ‘aqiidatil waasithiyyah”


(2/573).

[18] Lihat keterangan syaikh Shaleh Alu syaikh dalam ”Syarhul ‘aqiidatith
Thahaawiyyah” (1/463).

[19] HSR Muslim (no. 2292) dari sahabat Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash.

[20] Lihat keterangan syaikh al-‘Utsaimin dalam ”Syarhul ‘aqiidatil waasithiyyah”


(2/573).

[21] Riwayat imam al-Bukhari (no. 6211) dan Muslim (no. 2304) dari Anas bin
Malik.

[22] Lihat keterangan syaikh Shaleh Alu syaikh dalam ”Syarhul ‘aqiidatith
Thahaawiyyah” (1/468).
[23] Beliau adalah Yusuf bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Barr An Namari
Al Andalusi (wafat 463 H), syaikhul Islam dan imam besar ahlus Sunnah dari
wilayah Magrib, penulis banyak kitab hadits dan fikih yang sangat bermanfaat.
Biografi beliau dalam kitab “Tadzkiratul huffaazh” (3/1128).

[24] Kitab “Syarh Az Zarqaani ‘ala muwaththa-il imaami Maalik” (1/65).

[25] Lihat keterangan syaikh Shaleh Alu syaikh dalam ”Syarhul ‘aqiidatith
Thahaawiyyah” (1/468).

[26] Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih di atas

[27] Kitab “An Nihayah fiil fitani wal malaahim” (hal. 127).

[28] Kitab “Syarhul ‘aqiidatith thahaawiyyah” (hal. 229).

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/4624-telaga-kemuliaan-


rasulullah-pada-hari-kiamat.html

Anda mungkin juga menyukai