ض وا ب ِِه احْلَ َّق َواخَّتَ ُذوا آيَايِت َو َم ا ِ ِ ِ ْذ ِرين وجُي ِاد ُل الَّ ِذين َك َف روا بِالْباط
ِ وم ا نُر ِس ل الْمرس لِ َ ِإ
ُ ِل ليُ ْدح َ ُ َ َ ني اَّل ُمبَ ِّش ِر
َ َ َ ين َو ُمن َ ُْ ُ ْ َ َ
ُأنْ ِذ ُروا ُه ُز ًوا
“Dan tidaklah Kami mengutus rasul-rasul hanyalah sebagai pembawa berita gembira
dan sebagai pemberi peringatan, tetapi orang-orang yang kafir membantah (mendebat)
dengan yang bathil, agar dengan demikian mereka dapat melenyapkan yang hak dan
mereka menganggap ayat-ayat Kami dan peringatan-peringatan terhadap mereka
sebagai olok-olokkan.”[TQS. al-Kahfi (18): 56].
Dalam surat Hûd [11] ayat 32, diceritakan diskusi antara Nuh as dengan kaumnya.
Allah SWT berfirman:
نيِ ِ َّ قَالُوا يا نُوح قَ ْد جادلْتنا فََأ ْكثرت ِج َدالَنا فَْأتِنا مِب ا تَعِ ُدنَا ِإ ْن ُكْنت ِمن
َ الصادق َ َ َ َ َ َ ْ َ ََ َ َ ُ َ
“Mereka berkata, ‘Hai Nuh, sesungguhnya kamu telah berbantah (diksusi / jidal) dengan
kami, dan kamu telah memperpanjang bantahanmu terhadap kami, maka datangkanlah
kepada kami adzab yang kamu ancamkan kepada kami, jika kamu termasuk orang-orang
yang benar’.” [TQS. Hûd (11): 32].
Al-Qur’an juga menceritakan kisah mujadalah yang dilakukan para nabi di surat-
surat yang lain; misalnya, kisah diskusi antara Ibrahim dengan Namrudz, Musa dengan
Fir’aun dan nabi-nabi yang lain. Begitu pentingnya tradisi ini, sampai-sampai al-Qur’an
juga mengatur tata cara dan adab-adab dalam berdebat. Allah SWT berfirman:
ين ظَلَ ُم وا ِمْن ُه ْم َوقُولُوا َآمنَّا بِالَّ ِذي ُأنْ ِز َل ِإلَْينَ ا َوُأنْ ِز َل ِإلَْي ُك ْم ِ َّ ِإ ِ
ْ اب ِإاَّل بِالَّيِت ه َي
َ َأح َس ُن اَّل الذ
ِ َواَل جُتَ ِادلُوا َْأهل الْ ِكت
َ َ
اح ٌد َوحَنْ ُن لَهُ ُم ْسلِ ُمو َن
ِ وِإهَل نَا وِإهَل ُكم و
َْ ُ َ ُ َ
“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling
baik, kecuali dengan orang-orang lalim di antara mereka, dan katakanlah: "Kami telah
beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan
kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya
berserah diri". [TQS. Al ‘Ankabût (29): 46].
Kisah-kisah mujadalah juga termuat dalam dokumen sejarah, baik yang tercantum
dalam sunnah, atsar, dan dokumen-dokumen sejarah lainnya.
Tradisi muqaranah, muhadzarah, dan mujadalah adalah tradisi ilmiah yang terus
dipelihara sampai sekarang. Bahkan, al-Qur’an dengan tegas mencela orang-orang yang
tidak mau melakukan mujadalah atau muqaranah tanpa ada alasan yang dibenarkan.
Allah SWT berfirman:
ِ فَِإ ْن مَل يست ِجيبوا لَك فَاعلَم َأمَّنَا يتَّبِع و َن َأهْواءهم ومن َأض ُّل مِم َّ ِن اتَّب ع ه واه بِغَ ِ ه ًدى ِمن اللَّ ِه ِإ َّن اللَّه اَل يه
ْدي َ َ َ ُ َ َ َ َ ُ رْي َ ْ َ َ ْ َُ َ ُ َ ْ ْ َ ُ َْ َ ْ
ِِ
َ الْ َق ْو َم الظَّالم
ني
“Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu) ketahuilah bahwa sesungguhnya
mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat
daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari
Allah sedikitpun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang
dzalim.” [TQS. Al Qashash (28): 50].
Ayat ini menjelaskan bahwasanya, bila seseorang tidak memenuhi tantangan lawan
diskusinya, sesungguhnya orang itu telah terjatuh pada hawa nafsu. Jika ia menyakini
kebenaran dan kekuatan pendapatnya, maka tidak ada alasan untuk tidak memenuhi
undangan lawan diskusinya. Ia harus datang dan melayani tantangan diskusi dari pihak
lawannya. Jika ia tidak memenuhi undangan lawan diskusinya tanpa ada alasan yang
syar’i, pada dasarnya ia telah ragu akan kemampuan dan kekuatan pendapatnya. Padahal,
seorang Muslim tidak boleh beramal dengan pendapat yang meragukan.
Motif utama dari diskusi dan perbandingan adalah mencari kebenaran tertinggi,
sekaligus untuk mengoreksi pendapat-pendapat dan keyakinan-keyakinan yang salah.
Dengan diskusi, akan diketahui pendapat siapakah yang paling dekat dengan kebenaran,
dan pendapat siapa yang lemah. Bila suatu pendapat telah terbukti lemah dan salah, maka
pendapat itu harus ditinggalkan dengan sikap lapang dada, dan penuh keikhlasan. Tidak
sepantasnya ia bersikukuh dengan pendapat yang telah terbukti kesalahan dan
kelemahannya.
Diskusi untuk mencari kebenaran dan untuk mengoreksi pendapat diwajibkan
dalam Islam. Namun bila diskusi telah mengarah pada berbantah-bantahan —tidak
dilandasi dengan landasan ilmiah, atau lawan diskusi adalah orang-orang yang dzalim—,
maka diskusi semacam merupakan merupakan perbuatan tercela. Allah SWT berfirman:
ين ظَلَ ُموا ِمْن ُه ْم ِ َّ ِإ ِ ِ َواَل جُتَ ِادلُوا َْأهل الْ ِكت
ْ اب ِإاَّل بِالَّيِت ه َي
َ َأح َس ُن اَّل الذ َ َ
“Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan cara yang paling
baik, kecuali dengan orang-orang yang dzalim diantara mereka.” [TQS. Al ‘Ankabût
(29): 46]
Orang-orang yang dzalim di sini adalah orang-orang yang setelah diberikan
kepadanya penjelasan-penjelasan dan keterangan-keterangan dengan cara yang paling
baik, mereka tetap membantah, membangkang, dan menyatakan permusuhan.
Hanya saja, kita dilarang berbantah-bantahan sehingga menyebabkan kelemahan.
Al-Qur’an telah menyatakan hal ini dengan sangat jelas:
ِ َّ اصرِب وا ِإ َّن اللَّهَ مع ِ واَل َتنَ َازعُوا َفَت ْف َشلُوا وتَ ْذ َه
َ الصاب ِر
ين ََ ُ ْ ب رحيُ ُك ْم َو
َ َ َ
“…Dan janganlah kamu berbantah-bantahan yang menyebabkan kamu menjadi gentar
dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang
sabar.” (Qs. al-Anfâl [8]: 46).
Atas dasar itu, diskusi yang tidak dilandasi ilmu pengetahuan dan mengarah
kepada berbantah-bantahan harus dijauhi dan dihindarkan. Sedangkan diskusi untuk
mencari pendapat yang terkuat justru menjadi kewajiban setiap kaum Muslim. Tatkala
Rasulullah Saw menetapkan posisi pertahanan kaum Muslim pada saat perang Badar,
pendapat beliau disanggah oleh Khubab bin Mundzir. Akan tetapi, karena pendapat
beliau Saw mengenai posisi pertahanan kaum Muslim bukan berasal dari wahyu, dan
beliau Saw mengetahui bahwa pendapat Khubab bin Mundzir lebih tepat, maka beliau
Saw segera meninggalkan pendapatnya dan mengikuti pendapat Khubab bin Mundzir. Ini
menunjukkan bahwa dalam hal-hal yang membutuhkan keahlian dan kepakaran, kita
harus merujuk kepada pendapat orang yang memang ahli dan pakar dalam bidangnya.
Melihat Perbedaan
Islam telah meletakkan batasan-batasan dalam melihat perbedaan. Pertama, dalam
hal apa mereka boleh berbeda dan dalam hal apa mereka tidak boleh berbeda (ikhtilaf).
Perbedaan pendapat bisa ditolerir selama perbedaan tersebut menyangkut masalah-
masalah yang dzanniyyah (dugaan kuat). Kata quru’ misalnya, merupakan lafadz
musytarak yang bisa diartikan suci (thaharah) atau haidl (haid). Kata lamasa, bisa
diartikan menyentuh (hakiki) atau bersetubuh.
Namun, jika perbedaan pendapat tersebut menyangkut perkara-perkara yang
qath’iy, maka, perbedaan pendapat dalam perkara semacam ini jelas merupakan sesuatu
yang terlarang; seperti perbedaan pendapat dalam masalah-masalah ‘aqidah dan hukum-
hukum syariat yang ditetapkan dalil-dalil qath’iy – misalnya; hukum rajam, potong
tangan, larangan riba, dan lain sebagainya. Dalam kasus-kasus semacam ini kaum
Muslimin tidak dibenarkan berbeda pendapat (ikhtilaf).
Kedua, Islam telah menetapkan bahwasanya sebuah pendapat baru absah disebut
pendapat Islamiy, jika pendapat itu lahir dari ‘aqidah Islamiyyah, dan dibangun di atas
dalil-dalil syariat, baik yang mu’tabar --al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan Qiyas;
maupun syubhat dalil –mashalih al-mursalah, istihsan, madzhab shahabat, dan lain
sebagainya. Sebuah pendapat tidak dianggap sebagai pendapat Islamiy (ra’yu al-
Islaamiy) jika tidak lahir dari ‘aqidah Islamiyyah, dan tidak dibangun di atas dalil-dalil
mu’tabar atau syubhat dalil. Al-Qur’an telah menyatakan hal ini dengan tegas:
ْك ِم َن اللَّ ِه ِ َّ اك علَى ش ِريع ٍة ِمن اَأْلمْ ِر فَاتَّبِعه ا واَل َتتَّبِع َأه
َ ) ِإن َُّه ْم لَ ْن يُ ْغنُ وا َعن18( ين اَل َي ْعلَ ُم و َن
َ ْواءَ الذ
َ ْ َ َْ َ َ َ َ َ َمُثَّ َج َع ْلن
ِ ٍ ض ُه ْم َْأولِيَاءُ َب ْع
َ ض َواللَّهُ َويِل ُّ الْ ُمتَّق
ني ِِ
َ َشْيًئا َوِإ َّن الظَّالم
ُ ني َب ْع
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syari’at (peraturan), dari urusan
agama itu, maka ikutilah syari’at itu, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-
orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat
menolak dari kamu sedikitpun dari (siksa) Allah, dan sesungguhnya orang-orang yang
dzalim itu sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain, dan Allah adalah
pelindung orang-orang yang bertaqwa.”[TQS. Al Jâtsiyah (45): 18-19].
اتَّبِعُوا َما ُأنْ ِز َل ِإلَْي ُك ْم ِم ْن َربِّ ُك ْم َواَل َتتَّبِعُوا ِم ْن ُدونِِه َْأولِيَاءَ قَلِياًل َما تَ َذ َّك ُرو َن
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu (Tuhanmu), dan janganlah kamu
mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kami mengambil pelajaran
(daripadanya).” [TQS. Al A’râf (7): 3].
Ketiga, jika terjadi perbedaan pendapat, maka tolok ukur untuk menyatakan suatu
pendapat itu layak diadopsi atau tidak, adalah al-Qur’an dan Sunnah. Bukan
dikembalikan kepada hawa nafsu maupun alasan-alasan non syar’iy. Al-Qur’an
menyatakan hal ini dengan sangat jelas:
ِ ِِ ِ ِ ِ ِإ ِ
َاتَّبعُوا َما ُأنْ ِز َل لَْي ُك ْم م ْن َربِّ ُك ْم َواَل َتتَّبعُوا م ْن ُدونه َْأوليَاء
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu (Tuhanmu), dan janganlah kamu
mengikuti pemimpin-pemimpin selainNya.” [TQS. Al A’râf (7): 3].
Keempat, seorang Muslim diwajibkan mengadopsi satu hukum syariat, sebelum ia
mengerjakan suatu perbuatan. Ia dilarang mengerjakan satu perbuatan dengan lebih dari
satu hukum. Ia harus memilih satu pendapat untuk satu perbuatannya. Memilih sebuah
pendapat yang dianggap kuat, di antara pendapat-pendapat yang ada, disebut dengan
tarjih. Oleh karena itu, ketika ia hendak memilih salah satu hukum di antara hukum-
hukum yang ada, ia harus menggunakan kaidah tarjih yang syar’iy, hingga bisa
menentukan mana pendapat paling kuat yang layak diadopsi.
Inilah prinsip-prinsip asasi dalam mempersepsi dan menyikapi perbedaan
pendapat. Seorang Muslim wajib memperhatikan prinsip-prinsip di atas, agar perkataan
dan perbuatannya selalu sejalan dengan sunnah Nabi saw. Lebih dari itu, agar ia mampu
memilih pendapat yang paling rajih di antara pendapat-pendapat yang ada, ia wajib
meningkatkan kapasitas ilmu serta bersungguh-sungguh dalam meneliti dan mengkaji
metodologi serta dalil yang menyangga sebuah pendapat. Pasalnya, pendapat yang
paling rajih hanya bisa diketahui setelah mengkaji keshahihan dan kekuatan dalil dan
metodologi istinbathnya. Jika suatu pendapat dibangun berdasarkan dalil yang kuat dan
metodologi istinbath yang tangguh, maka pendapat itu layak diikuti. Adapun pendapat
yang dalil-dalil dan metodologi istibathnya telah terbukti kelemahannya, maka pendapat
tersebut harus ditinggalkan.
اب ِ ِ ِّ هو الَّ ِذي جعل الشَّمس ِضياء والْ َقمر نُورا وقَدَّره منَا ِز َل لِتعلَموا ع َدد
َ ني َواحْل َس
َ السن َ َ ُ َْ َ ُ َ َ ً ََ َ ً َ َ ْ َ َ َ َُ
“Dialah yang menjadikan matahari bersinar, dan bulan bercahaya, dan ditetapkan
manzilah-manzilah bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun
dan perhitungan waktu.”[TQS. Yunus (10): 5]; dan ayat-ayat lain yang memiliki
pengertian senada.
Menurut penganut hisab, ayat di atas menunjukkan bahwasanya Allah swt telah
menciptakan matahari, bulan, dan orbit planet dengan perhitungan tertentu, agar manusia
bisa menghitung bilangan tahun dan bulan (hisab); tidak terkecuali penetapan awal dan
akhir Ramadhan. Apalagi, masih menurut mereka, hisab modern yang ditunjang dengan
alat-alat canggih memiliki tingkat akurasi yang sangat tinggi. Oleh karena itu,
berdasarkan keumuman ayat di atas, awal dan akhir Ramadhan bisa ditetapkan dengan
hisab (perhitungan).
Pendapat ini lemah. Kelemahan argumentasi di atas dapat dijelaskan sebagai
berikut. Pertama, keumuman ayat di atas telah ditakhshish oleh riwayat-riwayat shahih
yang mengharuskan kaum Muslim untuk memulai dan mengakhiri puasa Ramadhan
berdasarkan ru`yat. Adapun riwayat-riwayat yang mentakhshish keumuman ayat di atas
adalah sebagai berikut;
Rasulullah saw bersabda:
ِ ِ ِ ِِ ِ ِ ِِ ِ ص
َ وموا لُرْؤ يَته َوَأفْط ُروا ل ُرْؤ يَته فَِإ ْن غُيِّبَ َعلَْي ُك ْم فََأ ْكملُوا ع َّد َة َش ْعبَا َن ثَاَل ث
ني ُ ُ
“Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya
(hilal). Apabila pandangan kalian tersamar (terhalang), maka sempurnakanlah hitungan
bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” [ HR. Bukhari 4/106 dan Muslim 1081, dari Abu Hurairah ra]
ِ ِ
ُوموا َحىَّت َتَر ْوا اهْل اَل َل َواَل ُت ْفط ُروا َحىَّت َتَر ْوهُ فَِإ ْن غُ َّم َعلَْي ُك ْم فَاقْ ُد ُروا لَه
ُ صُ َاَل ت
“Janganlah kalian puasa hingga melihat hilal, jangan pula kalian berbuka hingga
melihatnya, jika kalian terhalangi awan hitunglah bulan Sya’ban.” [HR. Bukhari 4/102 dan
Muslim 1080, dari Abdullah bin Umar ra]
ٍ ِ ِ
وموا
ُ صُ َّوموا َحىَّت َت َر ْوهُ مُث
ُ ص ُ ََأح ُد ُك ْم َواَل ت
َ ُومه ُ َالش ْهَر بِص يَام َي ْوم َواَل َي ْو َمنْي ِ ِإاَّل َأ ْن يَ ُك و َن َش ْيءٌ ي
ُ ص َّ ِّموا ُ اَل تُ َق د
َّه ُر تِ ْس ٌع َو ِع ْش ُرو َن ِ ِ ِ مِت َ َحىَّت َتَر ْوهُ فَِإ ْن َح
َ ال ُدونَهُ َغ َم َامةٌ فََأ ُّوا الْع َّد َة ثَاَل ث
ْ ني مُثَّ َأفْطُروا َوالش
“Janganlah kalian mendahului bulan Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari
kecuali seseorang diantara kalian yang biasa berpuasa padanya. Dan janganlah kalian
berpuasa sampai melihatnya (hilal Syawal). Jika ia (hilal) terhalang awan, maka
sempurnakanlah bilangan tiga puluh hari kemudian berbukalah (Iedul Fithri) dan satu
bulan itu 29 hari.”[ HR. Abu Dawud 2327, an-Nasa’i 1/302, at-Tirmidzi 1/133, al-Hakim
1/425, dan di shahih kan sanadnya oleh al-Hakim dan disetujui oleh adz-Dzahabi]
ِ ِ ِ ِ ِإمَّنَا الش
ُوموا َحىَّت َتَر ْوهُ َواَل ُت ْفط ُروا َحىَّت َتَر ْوهُ فَِإ ْن غُ َّم َعلَْي ُك ْم فَاقْد ُروا لَه
ُ صُ ََّه ُر ت ْس ٌع َوع ْش ُرو َن فَاَل ت
ْ
“Sesungguhnya bulan itu ada 29 hari, maka janganlah kalian berpuasa hingga
melihatnya. Apabila mendung menutupi kalian, maka perkirakanlah.” [HR. Imam
Muslim dari Ibnu ‘Umar ra].
Hadits-hadits di atas berfungsi sebagai pentakhshish keumuman ayat-ayat al-Quran
yang berbicara tentang hisab (perhitungan) bilangan bulan dan tahun. Dalam hal ini
berlakulah kaedah ushul fikih, “al-‘âm yabqa fi ‘umûmihi ma lam yarid dalil at-
takhsish” (dalil umum tetaplah dalam kemumumannya, selama tidak ada dalil yang
mengkhususkannya). Adapun dalam kasus ini -- penentuan awal dan akhir Ramadhan--,
ada nash-nash sharih yang menyatakan bahwasanya penentuan awal dan akhir Ramadhan
harus berdasarkan ru’yat bukan dengan hisab. Nash-nash tersebut merupakan
pentakhshish (menkhususkan) keumuman ayat di atas [QS. Yunus (10):5, dan lain-lain].
Dengan demikian, keumuman QS. Yunus [10]: 5 telah dikhususkan oleh hadits –
hadits shahih di atas. Sedangkan para ‘ulama telah sepakat bahwasanya mengamalkan
dalil yang lebih khusus adalah kewajiban dan lebih utama.
Kedua, QS. Yunus (10): 5 dan ayat-ayat lain yang memiliki pengertian senada,
tidak secara sharih memerintahkan kaum Muslim untuk mengawali dan mengakhir puasa
Ramadhan dengan hisab. Lalu, dari mana penganut hisab bisa berkesimpulan bahwa ayat
tersebut berbicara tentang perintah hisab, sedangkan ayat itu tidak berbicara secara sharih
tentang kewajiban hisab? Yang jelas, mereka menyimpulkan bahwa QS.Yunus [10]: 5
berisi perintah melakukan hisab, berdasarkan ijtihad mereka terhadap ayat tersebut.
Hanya saja, para ulama ushul telah menggariskan bahwasanya tidak ada ijtihad atas suatu
urusan ketika urusan tersebut telah ditetapkan oleh nash sharih. Sedangkan dalam kasus
penetapan awal dan akhir Ramadhan, ada nash-nash sharih yang menjelaskan wajibnya
kaum Muslim mengawali dan mengakhir puasa dengan ru’yat. Dalam keadaan seperti
ini, maka, ijtihad para penganut hisab telah gugur dengan adanya nash-nash yang sharih
(laa ijtihaad ‘inda wuruud al-nash).
Ketiga, penganut hisab juga menyandarkan pendapatnya pada hadits riwayat Imam
Bukhari:
ِ ِ ِ ِإ
ني َ َّه ُر َه َك َذا َو َه َك َذا َي ْعيِن َمَّر ًة ت ْس َعةً َوع ْش ِر
َ ين َو َمَّر ًة ثَاَل ث ْ ب الش
ُ ب َواَل حَنْ ُس
ُ ُنَّا َُّأمةٌ ُِّأميَّةٌ اَل نَكْت
“Sesungguhnya kami ini adalah ummat yang ummi; tidak menulis dan menghisab. Bulan
itu demikian dan demikian, yakni kadang-kadang 29 hari dan kadang-kadang 30
hari”[HR. Imam Bukhari]
Pendukung hisab menyatakan bahwa Nabi saw dan shahabat menggunakan ru`yat
untuk menetapkan awal dan akhir Ramadhan, dikarenakan saat itu kaum Muslim belum
mengetahui dan terbiasa dengan ilmu hisab. ‘Illat dilakukannya ru`yat karena kaum
Muslim belum menguasai ilmu hisab. Atas dasar itu, jika mereka telah mengetahui ilmu
hisab tentunya ru`yat tidak lagi dibutuhkan. Bahkan hisab boleh mengganti ru’yat.
Pendapat ini pun sangat lemah. Alasannya, pertama, hadits ini hanya menceritakan
kondisi kaum Muslimin pada saat itu, dan sama sekali tidak menunjukkan bahwa ‘illat
ru`yat adalah karena belum dikuasainya ilmu hisab oleh kaum Muslim saat itu. Ditinjau
dari arah manapun, ummi bukanlah ‘illat (sebab tasyri’) ru’yat, sehingga boleh
dinyatakan bahwa bila mereka tidak ummi lagi, mereka boleh menetapkan Ramadhan
dengan hisab. Sebab, sighat hadits tersebut berbentuk akhbariyyah; dan pada galibnya,
sighat akhbariyah tidak memberikan implikasi pada larangan dan perintah. Kedua, jika
hadits ini tidak secara sharih memerintahkan kaum Muslim untuk melakukan hisab, itu
berarti, penganut hisab mengambil jalan mafhum dari hadits riwayat Imam Bukhari di
atas untuk menetapkan keabsahan hisab sebagai jalan penetapan awal dan akhir
Ramadhan. Padahal jika “opini” atau interpretasi terhadap suatu nash bertentangan
dengan nash sharih, maka “opini atau interpretasi tersebut” wajib ditinggalkan.
Sedangkan nash-nash sharih telah menetapkan bahwasanya jalan untuk menetapkan awal
dan akhir Ramadhan adalah ru`yat, bukan dengan hisab; seperti sabda Rasulullah saw;
ِ ِ ِ ِ ِإمَّنَا الش
ُوموا َحىَّت َتَر ْوهُ َواَل ُت ْفط ُروا َحىَّت َتَر ْوهُ فَِإ ْن غُ َّم َعلَْي ُك ْم فَاقْد ُروا لَه
ُ صُ ََّه ُر ت ْس ٌع َوع ْش ُرو َن فَاَل ت
ْ
“Sesungguhnya bulan itu ada 29 hari, maka janganlah kalian berpuasa hingga
melihatnya. Apabila mendung menutupi kalian, maka perkirakanlah.” [HR. Imam
Muslim dari Ibnu ‘Umar ra].
Hadits inilah yang lebih layak diamalkan, bukan “interpretasi” para penganut
hisab.
Ketiga, penganut hisab juga menyandarkan pendapat mereka dengan hadits
riwayat Imam Muslim:
ِ ِ ِ ِ ِإمَّنَا الش
ُوموا َحىَّت َتَر ْوهُ َواَل ُت ْفط ُروا َحىَّت َتَر ْوهُ فَِإ ْن غُ َّم َعلَْي ُك ْم فَاقْد ُروا لَه
ُ صُ ََّه ُر ت ْس ٌع َوع ْش ُرو َن فَاَل ت
ْ
“Sesungguhnya bulan itu ada 29 hari, maka janganlah kalian berpuasa hingga
melihatnya. Apabila mendung menutupi kalian, maka perkirakanlah.” [HR. Muslim].
Menurut penganut hisab, frase “faqduru lahu” (perkirakanlah) bisa diartikan
dengan “hitunglah atau hisablah”. Pendapat ini pun juga lemah. Sebab, untuk
menafsirkan kata “perkirakanlah”, maka kita harus melihat matan hadits tersebut secara
utuh, lalu, membandingkannya dengan hadits-hadits lainnya. Jika kita perhatikan matan
utuh hadits riwayat Imam Muslim di atas, dapat disimpulkan bahwa faqdurûlahu
(perkirakan), artinya adalah “sempurnakanlah bilangan bulannya”; sebagai riwayat lain
menyatakan:
ِ ِ ِ ِِ ِ ِ ِِ ِ ص
َ وموا لُرْؤ يَته َوَأفْط ُروا ل ُرْؤ يَته فَِإ ْن غُيِّبَ َعلَْي ُك ْم فََأ ْكملُوا ع َّدةَ َش ْعبَا َن ثَاَل ث
ني ُ ُ
“Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya
(hilal). Apabila pandangan kalian tersamar (terhalang), maka sempurnakanlah hitungan
bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” [ HR. Bukhari 4/106 dan Muslim 1081, dari Abu Hurairah ra]
Dengan demikian, penafsiran paling tepat terhadap kata faqdurûlahu adalah
sempurnakan (fâkmilû) bilangan Sya’ban menjadi 30 hari, dan bukan “hitunglah/atau
hisablah”. Selain itu, jika frase “faqduru lahu” harus diartikan dengan “hisablah”, hal ini
justru bertentangan dengan keadaan Nabi saw dan para shahabat pada saat itu yang tidak
bisa melakukan hisab –lihat hadits riwayat Imam Bukhari. Mana mungkin Rasulullah
saw memerintahkan para shahabat untuk melakukan hisab, sedangkan pada saat itu
mereka belum mengetahui dan tidak terbiasa melakukan hisab? Walhasil, makna hadits
riwayat Imam Muslim di atas adalah “jika kalian telah meru’yat dan terhalang mendung
maka genapkanlah (sempurnakanlah) bilangan Sya’ban menjadi 30 hari”. Tidak hanya
itu saja, seandainya makna faqdurûlahu adalah hisab, tentunya Rasulullah Saw tidak akan
menyatakan kalimat, “Jika kalian terhalang mendung.” Sebab, hisab tidak dipengaruhi
ada atau tidaknya mendung.
Keempat, penganut hisab juga menyatakan bahwa kata “ru`yat” dalam frase
“liru’yatihi” (karena meru`yatnya), tidak melulu bermakna melihat dengan mata
telanjang. Menurut mereka, kata ru`yat berasal dari kata “ra`a” yang bisa diartikan
“berpikir”. Oleh karena itu, riwayat-riwayat yang mencantumkan lafadz ra’a, bisa
diartikan dengan memikirkan, atau menghisab. Atas dasar itu, bagi penganut hisab,
hadits-hadits yang berbicara tentang ru`yat tidak bertentangan dengan hisab. Pendapat ini
juga lemah. Bila kita perhatikan matan utuh hadits-hadits yang berbicara tentang ru`yat,
amat jelas di sana, bahwasanya makna “ru’yat” dalam hadits-hadits Nabi saw adalah
“melihat dengan mata telanjang”, bukan “menghisab atau menghitung”. Rasul bersabda:
ِ ِ ِ ِِ ِ ِ ِِ ِ ص
َ وموا لُرْؤ يَته َوَأفْط ُروا ل ُرْؤ يَته فَِإ ْن غُيِّبَ َعلَْي ُك ْم فََأ ْكملُوا ع َّد َة َش ْعبَا َن ثَاَل ث
ني ُ ُ
“Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya
(hilal). Apabila pandangan kalian tersamar (terhalang), maka sempurnakanlah hitungan
bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” [ HR. Bukhari 4/106 dan Muslim 1081, dari Abu Hurairah ra]
ِ ِ
ُوموا َحىَّت َتَر ْوا اهْل اَل َل َواَل ُت ْفط ُروا َحىَّت َتَر ْوهُ فَِإ ْن غُ َّم َعلَْي ُك ْم فَاقْ ُد ُروا لَه
ُ صُ َاَل ت
“Janganlah kalian puasa hingga melihat hilal, jangan pula kalian berbuka hingga
melihatnya, jika kalian terhalangi awan hitunglah bulan Sya’ban.” [HR. Bukhari 4/102 dan
Muslim 1080, dari Abdullah bin Umar ra]
ٍ ِ ِ
وموا
ُ صُ َّوموا َحىَّت َت َر ْوهُ مُث
ُ ص ُ ََأح ُد ُك ْم َواَل ت
َ ُومه ُ َالش ْهَر بِص يَام َي ْوم َواَل َي ْو َمنْي ِ ِإاَّل َأ ْن يَ ُك و َن َش ْيءٌ ي
ُ ص َّ ِّموا ُ اَل تُ َق د
َّه ُر تِ ْس ٌع َو ِع ْش ُرو َن ِ ِ ِ مِت َ َحىَّت َتَر ْوهُ فَِإ ْن َح
َ ال ُدونَهُ َغ َم َامةٌ فََأ ُّوا الْع َّد َة ثَاَل ث
ْ ني مُثَّ َأفْطُروا َوالش
“Janganlah kalian mendahului bulan Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari
kecuali seseorang diantara kalian yang biasa berpuasa padanya. Dan janganlah kalian
berpuasa sampai melihatnya (hilal Syawal). Jika ia (hilal) terhalang awan, maka
sempurnakanlah bilangan tiga puluh hari kemudian berbukalah (Iedul Fithri) dan satu
bulan itu 29 hari.”[ HR. Abu Dawud 2327, an-Nasa’i 1/302, at-Tirmidzi 1/133, al-Hakim 1/425, dan
di shahih kan sanadnya oleh al-Hakim dan disetujui oleh adz-Dzahabi]
Di dalam matan utuh hadits-hadits di atas terdapat kata, “jika terhalang mendung,
maka sempurnakanlah hitungan menjadi tiga pula hari”. Frase ini dengan jelas
menunjukkan bahwasanya frase “liru`yatihi” dalam hadits-hadits tersebut bermakna
“melihat dengan mata telanjang”, bukan hisab. Sebab, hanya pandangan mata belaka
yang bisa terhalang oleh mendung. Sangat aneh rasanya, bila lafadz “ru`yat” dalam
hadits-hadits itu diartikan dengan hisab. Sebab perhitungan astronomi tidak dipengaruhi
oleh mendung. Dengan kata lain, “perhitungan astronomi” tidak mungkin dan tidak akan
pernah terganggu oleh cuaca mendung. Selain itu, pemaknaan seperti itu juga akan
bertentangan dengan sabda Rasulullah Saw, “Sesungguhnya kami ini adalah ummat yang
ummi. Tidak menulis dan menghisab.” [HR. Imam Bukhari]. Hadits ini menceritakan
bahwa Rasulullah Saw tidak melakukan hisab. Bagaimana bisa dikatakan bahwa tafsir
liru’yatihi adalah perintah dari Rasulullah saw untuk melakukan perhitungan astronomis;
sedangkan Rasulullah saw dan kaum Muslim saat itu tidak (bisa) melakukan hisab?
Bukankah riwayat-riwayat itu diucapkan pada masa Nabi saw dan shahabat, sedangkan
mereka tidak melakukan hisab?
Demikianlah, seluruh argumentasi penganut hisab telah terbukti kelemahannya;
dan terbukti juga bahwa ru`yat adalah pendapat kuat yang paling dekat dengan Al-Quran
dan Sunnah.
َّاس ِإىَل الصَّاَل ِة ِ صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم بَِز َك ِاة الْ ِفطْ ِر َأ ْن ُتَؤ َّدى َقْب َل ُخ ُر
ِ وج الن ِ ُ َأمرنَا رس
َ ول اللَّه ُ َ ََ
Rasulullah saw memerintahkan kami dalam zakat fithri agar ditunaikan sebelum
keluarnya orang-orang untuk shalat (HR Abu Dawud).
Kemarfu’an hadits ini tidak diragukan. Sebab, hadits ini menjelaskan ketentuan
hukum Rasulullah saw atas suatu perbuatan. Berbeda halnya dengan hadits Ibnu Abbas
ra; di dalam redaksi “laa hakadza amaranaa Rasulullah saw” masih mengandung
kesamaran, apakah perintah Rasulullah saw yang dimaksud oleh Ibnu ‘Abbas ra dalam
perkataannya “hakadza amaranaa Rasulullah saw” adalah perintah Rasulullah saw
kepada penduduk Madinah untuk tidak mengikuti rukyat penduduk Syam, ataukah
perintah Rasulullah saw kepada kaum Muslim untuk mengawali dan mengakhiri
Ramadhan dengan ru`yat hilal (shumu liru`yatihi wafthiru liru`yatihi). Kesamaran inilah
yang mengharuskan kita untuk menghukumi hadits tersebut sebagai hadits mauquf,
bukan hadits marfu’. Kesimpulan seperti ini juga diketengahkan Imam Asy-Syaukani
yang menggolongkan hadist ini sebagai ijtihad Ibnu Abbas.1
Adapun mengenai ijtihad shahabat, kaum Muslim diperbolehkan mengikuti hasil
ijtihad Ibnu Abbas ra, sebagaimana bolehnya kaum Muslim mengikuti hasil ijtihad
seorang mujtahid. Hanya saja, jika ijtihad shahabat dijadikan sebagai dalil syara’ --yang
darinya digali hukum-hukum syariat--, jelas tidak diperbolehkan. Sebab, shahabat
bukanlah orang yang ma’shum, dan ijtihadnya tidak termasuk dalam dalil syariat.2
Akhirnya, hadits dari Kuraib adalah ijtihad pribadi Ibnu ‘Abbas. Ijtihad shahabat
tidak layak digunakan dalil untuk menetapkan hukum syariat.3
Selain itu, Ibnu ‘Abbas ra sendiri juga menuturkan riwayat marfu’ yang lebih
utama diamalkan dibandingkan ijtihad beliau dalam hadits riwayat Kuraib ra. Hadits itu
adalah:
ِروا لُِرْؤ يَت ِِه ِ ِ ول اللَّ ِه صلَّى اللَّه علَي ِه وسلَّم اَل تَصوموا َقبل رمضا َن ص
ُ وموا ل ُرْؤ يَتِه َوَأفْط
ُ ُ َ ََ َ ْ ُ ُ َ َ َ َْ ُ َ ُ ال َر ُس َ َال ق ٍ ََّع ْن ابْ ِن َعب
َ َاس ق
ِ ِ
َ ت ُدونَهُ َغيَايَةٌ فََأ ْكملُوا ثَاَل ث
ني َي ْو ًما ْ َفَِإ ْن َحال
Dari Ibnu 'Abbas ra yang berkata, bahwa Rasulullah saw bersabda, "Janganlah kalian
berpuasa sebelum Ramadhan. Berpuasalah karena melihatnya dan berbukalah karena
melihatnya. Jika ia (hilal) terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangan tiga puluh
hari.” (HR. Imam Tirmidzi no. 624 dan Ibnu Hibban no. 2301)
Kedua, hadits tentang perintah ru’yat bersifat umum, dan khithab (seruannya)
berlaku bagi seluruh kaum Muslimin. Kata shûmû liru’yatihi adalah lafadz umum.
Artinya, bila satu daerah telah melihat bulan, maka wilayah yang lain harus berpuasa
karena hasil ru’yat daerah tersebut.
1
al-Syaukani, Nayl al-Awthâr,7/25
2
Dalil syara yang mu’tabar adalah al-Kitab, al-Sunnah, Ijma’ Sahabat, dan Qiyas.
3
Imam asy-Syaukani, Nailul Authar, hal. 254-255.
Imam asy-Syaukani menyatakan, “Sabda beliau ini tidaklah dikhususkan untuk
penduduk satu daerah tertentu tanpa menyertakan daerah yang lain. Bahkan sabda
beliau ini merupakan khitab (pembicaraan) yang tertuju kepada siapa saja di antara
kaum Muslimin yang khitab itu telah sampai kepadanya. ‘Apabila penduduk suatu negeri
telah melihat hilal, maka (dianggap) seluruh kaum Muslimin telah melihatnya. Ru’yat
penduduk negeri itu berlaku pula bagi kaum Muslimin lainnya’.”
Imam asy-Syaukani menyimpulkan, “Pendapat yang layak dijadikan pegangan
adalah, apabila penduduk suatu negeri telah melihat bulan sabit (ru’yatul hilal), maka
ru’yat ini berlaku pula untuk seluruh negeri-negeri yang lain.”4
Oleh karena itu kapan saja penduduk suatu negeri melihat hilal, maka wajib atas
seluruh negeri berpuasa karena sabda Rasulullah Saw, “Puasalah kalian karena melihat
hilal dan berbukalah karena melihatnya.” Ucapan ini umum mencakup seluruh ummat
manusia. Jadi siapa saja dari mereka melihat hilal dimanapun tempatnya, maka ru’yat itu
berlaku bagi mereka semuanya.5
Imam ash-Shan’ani berkata, “Makna dari ucapan ‘karena melihatnya’ yaitu
apabila ru’yat didapati diantara kalian. Hal ini menunjukkan bahwa ru’yat pada suatu
negeri adalah ru’yat bagi semua penduduk negeri dan hukumnya wajib.”6
Shiddiq Hasan Khan berkata, “Apabila penduduk suatu negeri melihat hilal, maka
seluruh negeri harus mengikutinya. Hal itu dari segi pengambilan dalil hadits-hadits
yang jelas mengenai puasa, yaitu ‘karena melihat hilal dan berbuka karena hilal’
(Hadits Abu Hurairah dan lain-lain). Hadits-hadits tersebut berlaku untuk semua ummat,
maka barangsiapa diantara mereka melihat hilal dimana saja tempatnya, jadilah ru’yat
itu untuk semuanya …”7
Pendapat senada diungkapkan oleh Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’
al-Fatawa, dimana beliau berkata,”Orang-orang yang menyatakan bahwa ru’yat tidak
digunakan bagi semuanya (negeri-negeri) seperti kebanyakan pengikut-pengikut
madzhab Syafi’i, diantaranya mereka ada yang membatasi dengan jarak qashar shalat,
ada yang membatasi dengan perbedaan mathla’ seperti Hijaz dengan Syam, Iraq dengan
Khurasan, kedua-duanya lemah (dha’if) karena jarak qashar shalat tidak berkaitan
dengan hilal…Apabila seseorang menyaksikan pada malam ke 30 bulan Sya’ban di
suatu tempat, dekat maupun jauh, maka wajib puasa. Demikian juga kalau menyaksikan
hilal pada waktu siang menjelang maghrib maka harus imsak (berpuasa) untuk waktu
yang tersisa, sama saja baik satu iklim atau banyak iklim.”8
Ketiga, riwayat Kuraib tersebut merupakan ijtihad seorang sahabat. Atas dasar
itu, ia tidak absah digunakan untuk mentakhsis (mengkhususkan) keumuman lafadz yang
4
Lihat pula pendapat Imam Ibnu Hajar al-Asqalani; Fâth al-Bârî; Bab Shiyâm.
5
Sayyid Sabbiq, Fiqh as-Sunnah, jld. 1, hal. 368.
6
Subulus Salam, jld. 2, hal. 310.
7
Ar-Raudhah an-Nadiyah, jld. 1, hal. 146.
8
Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, jld. 25, hal. 104-105.
terdapat dalam hadist shûmû liru’yatihi. Sebab, yang bisa mentakhsis dalil syariat harus
dalil syariat pula. Oleh karena itu, hadist-hadist tersebut (shûmû liru’yatihi) tetap dalam
keumumannya. Sebagaimana kaidah ushul, al-‘âm yabqa fi ‘umûmihi ma lam yarid dalil
at-takhsish” (sebuah dalil yang bersifat umum tetap pada kemumumannya, selama tidak
ada dalil yang mengkhususkannya).9
Keempat, seandainya riwayat Kuraib tersebut absah digunakan sebagai dalil
(hadits marfu’), maka berpegang kepada hadits yang diucapkan oleh Rasulullah Saw
secara langsung (qâla Rasulullah Saw) lebih kuat dibandingkan dengan hadits yang
dikatakan oleh seorang shahabat (misalnya, qâla Ibnu ‘Abbas). Imam al-Amidi
mengatakan, “Hadits yang telah disepakati kemarfu’annya lebih dikuatkan daripada
hadits yang masih diperselisihkan kemarfu’annya. Hadits yang dituturkan dengan lafadz
asli dari Rasulullah saw lebih dikuatkan daripada hadits yang diriwayatkan bil makna.”10
Kelima, selain itu ijtihad Abdullah Ibnu ‘Abbas ra. di atas bertentangan dengan
makna yang sharih (eksplisit) hadits yang diriwayatkan dari sekelompok sahabat Anshor:
ص لَّى اهللُ َعلَي ِْه ِ ِ َ فَ َش ِه ُدوا ِعن،َّه ا ِر ِ فَج اء ر ْك، فََأص بحنَا ِص ياما،غُ َّم علَينَا ِهاَل ُل َش َّو ٍال
َ ْد َر ُس ول اهلل َ ب م ْن آ ِخ ِر الن ٌ َ َ َ ً َ ْ َْ َْ
َوَأ ْن،ِروا ِم ْن َي ْو ِم ِه ْم َّ ِ ِ ول
َّ َ اهلل ِ
ُ اس َأ ْن يُ ْفط
َ ص لى اهللُ َعلَيْه َو َس ل َم الن ُ فَ ََأمَر َر ُس،س ْ َأن َُّه ْم َر َْأوا اهْل اَل َل،َو َس لَّ َم
ِ بِاَأْلم
" يد ِه ْم ِم َن الْغَ ِد
ِ ِخَي ْرجوا لِع
ُُ
“Hilal bulan Syawal tertutup oleh mendung bagi kami sehingga kami tetap berpuasa
pada keesokan harinya. Menjelang sore hari datanglah beberapa musafir dari Mekkah
ke Madinah. Mereka memberikan kesaksian di hadapan Nabi Saw bahwa mereka telah
melihat hilal kemarin (sore). Maka Rasulullah Saw memerintahkan mereka (kaum
Muslimin) untuk segera berbuka dan melaksanakan sholat ‘Ied pada keesokan harinya.”[
HR. Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Ibnu Mundir dan
Ibnu Hazm]
Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah Saw memerintahkan kaum Muslimin
untuk membatalkan puasa setelah mendengar informasi ru’yatul hilal bulan Syawal dari
beberapa orang yang berada di luar Madinah al-Munawarah. Peristiwa itu terjadi ketika
ada serombongan orang dari luar Madinah yang memberitakan bahwa mereka telah
melihat hilal Syawal di suatu tempat di luar Madinah al-Munawarah sehari sebelum
mereka sampai di Madinah. Kebolehan mathla’ juga akan bertentangan dengan riwayat
Ibnu ‘Abbas sendiri;
9
Dr. Muhammad Husain Abdullah, al-Wadhih fi Ushul al-Fiqh, hal. 318.
10
Imam al-Amidi, al-Ihkâm fi Ushûl al-Ahkâm, jld. 2, hal. 364.
َأن حُمَ َّم ًدا َ َت اهْلِاَل َل ق
َّ ال َأتَ ْش َه ُد َأ ْن اَل ِإلَهَ ِإاَّل اللَّهُ َأتَ ْش َه ُد َ صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َف َق
ُ ْال ِإيِّن َرَأي َ ِّ َأعَرايِب ٌّ ِإىَل النَّيِب
ْ ََجاء
وموا َغ ًداُ ص ِ ال يَا بِاَل ُل َأذِّ ْن يِف الن
ُ ََّاس َأ ْن ي َ َول اللَّ ِه قَ َال َن َع ْم ق
ُ َر ُس
“Telah datang seorang Arab Badui kepada Nabi Muhammad Saw kemudian berkata,
‘Sungguh saya telah melihat hilal.’ Rasulullah bertanya, ‘Apakah anda bersaksi bahwa
tidak ada ilah selain Allah?’ Dia menjawab, ‘Ya.’ Rasulullah bertanya lagi, ‘Apakah
Anda bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah Rasulullah?’ Orang tersebut
menjawab, ‘Ya.’ Lalu Rasulullah bersabda, ‘Wahai Bilal umumkan kepada manusia
(masyarakat) agar mereka berpuasa besok.” [HR. Imam yang lima, disahihkan oleh Ibnu
Khuzaimah dan Ibnu Hiban].
Keenam, fakta menunjukkan bahwa, selisih waktu antara titik terjauh di
permukaan ini tidak sampai satu hari. Jika demikian kenyataannya, tidak mungkin ada
selisih waktu lebih dari sehari. Daerah yang terletak dalam satu bujur yang sama,
harusnya bisa memulai dan mengakhiri puasa pada waktu yang sama. Sebab, daerah
yang terletak sebujur, sejauh apapun jaraknya tidak akan berbeda atau berselisih waktu.
Sayangnya, setelah Khilafah Islamiyyah runtuh, dan negeri kaum Muslim terpecah
menjadi negara-negara bangsa yang lemah, mereka tidak lagi serentak dalam memulai
dan mengakhiri puasa Ramadhan. Padahal secara astronomi harusnya daerah-daerah
tersebut bisa memulai puasa secara bersamaan. Lebih-lebih lagi, alat transportasi dan
informasi di era modern sekarang ini memungkinkan seseorang untuk mengetahui dan
memantau daerah-daerah yang paling jauh. Mathla’ telah menyebabkan daerah-daerah
yang ada di permukaan bumi ini tidak serentak dalam mengawali dan mengakhiri puasa
Ramadhan. Padahal, secara astronomi seharusnya tidak perlu terjadi perbedaan waktu
hingga satu hari lamanya. Kenyataan seperti ini mengharuskan kita meninggalkan
mathla’.
Ketujuh, dengan memperhatikan persatuan dan kesatuan ummat Islam seluruh
dunia, akan lebih arif dan bijaksana rasanya, jika kaum Muslim memilih pendapat ru’yat
global, agar mereka bisa serentak dalam memulai dan mengakhiri puasa Ramadhan.
Lebih dari itu, mengadopsi ru`yat global, bisa menjadi “langkah antara” untuk menuju
persatuan umat Islam seluruh dunia.
Dalam sejarah pernah dituturkan, bahwa para khalifah dari Dinasti ‘Utsmaniyyah
telah mengadopsi pendapat madzhab Hanafi yang menyatakan, “Perbedaan mathla’ tidak
diakui. Penduduk timur wajib terikat dengan hasil ru’yat penduduk barat, jika ru’yat
berhasil mereka tetapkan berdasarkan cara-cara yang telah ditentukan.” [al-Darr al-
Mukhtâr wa Radd al-Muhtâr, jld. 2, hal. 131-132]
ِ ِ ِ ِِ ِ ِ ِِ ِ ص
َ وموا لُرْؤ يَته َوَأفْط ُروا ل ُرْؤ يَته فَِإ ْن غُيِّبَ َعلَْي ُك ْم فََأ ْكملُوا ع َّد َة َش ْعبَا َن ثَاَل ث
ني ُ ُ
“Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya
(hilal). Apabila pandangan kalian tersamar (terhalang), maka sempurnakanlah hitungan
bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” [ HR. Bukhari 4/106 dan Muslim 1081, dari Abu Hurairah ra]
Hadits ini dengan sangat jelas memberikan pengertian, bahwasanya walaupun
bulan sudah wujud di suatu tempat —memenuhi parameter-parameter astronomi—, akan
tetapi, jika ditempat itu ditutupi mendung –sehingga bulan tidak mungkin dilihat, maka
kita harus menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Seandainya hisab bisa
dijadikan bayyinah (bukti), tentunya kita wajib berpuasa besok harinya tanpa harus
menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Hanya saja, Nabi saw memerintahkan
kaum Muslim untuk menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi 30 hari, jika pandangan
mereka terhalang oleh mendung, walaupun sebenarnya bulan sudah wujud dan bisa
dirukyat. Hal ini menunjukkan, sekiranya perhitungan astronomi sudah menetapkan
bahwa bulan telah wujud dan mungkin dilihat di suatu daerah, tidak secara otomatis, saat
itu juga kaum Muslim harus sudah memulai melakukan ibadah puasa. Sebab, bisa saja
daerah tersebut tertutup mendung tebal yang menghalangi proses ru’yat. Jika bulan tidak
bisa dilihat karena mendung, maka bulan Sya’ban harus digenapkan menjadi 30 hari,
walaupun perhitungan astronomi “memastikan” bulan sudah wujud pada hari itu.
Ini semakin menguatkan, bahwa hisab tidak bisa membatalkan ru’yat. Ru’yat
hanya akan gugur, jika kesaksiannya dilakukan oleh orang-orang yang tidak memenuhi
syarat-syarat kesaksian secara syar’iy.
11
al-Shabuni, Rawâi’ al-Bayân, 1/210
12
Sayyid Sabiq, Fiqh al- Sunnah, 1/368.
13
al-Jaziri, al-Fiqh ‘alâ al-Madzhâhib al-Arba’ah, 1/550
14
al-Qurthuby, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 2/296.
15
al-Hashfaky, “al-Durr al-Mukhtâr wa Radd al-Muhtâr”, 2/131-132
16
Mughn al-Muhtâj, 2/223-224
Sebagian pengikut Madzhab Maliki, seperti Ibnu al Majisyun, menambahkan
syarat, ru’yat itu harus diterima oleh seorang khalifah. “Tidak wajib atas penduduk suatu
negeri mengikuti rakyat negeri lain, kecuali hal itu telah terbukti diterima oleh al-imâm
al-a’dham (khalifah). Setelah itu, seluruh kaum Muslimin wajib berpuasa. Sebab, seluruh
negeri bagaikan satu negeri. Dan keputusan khalifah berlaku bagi seluruh kaum
Muslim” 17
Ibnu Taimiyah dalam Majmû’ al-Fatawa berkata, “Orang-orang yang menyatakan
bahwa ru’yah tidak digunakan bagi semuanya (negeri-negeri yang lain) seperti
kebanyakan pengikut-pengikut madzhab Syafi’i; dan di antara mereka ada yang
membatasi dengan jarak qashar shalat, ada yang membatasi dengan perbedaan mathla’
seperti Hijaz dengan Syam, Iraq dengan Khurasan", sesungguhnya kedua-duanya lemah
(dha’if) karena jarak qashar shalat tidak berkaitan dengan hilal…Apabila seseorang
menyaksikan pada malam ke 30 bulan Sya’ban di suatu tempat, dekat maupun jauh,
maka ia wajib berpuasa. Demikian juga kalau ia menyaksikan hilal pada waktu siang
menjelang maghrib maka ia harus imsak (berpuasa) untuk waktu yang tersisa, sama saja
baik satu iklim atau banyak iklim.”18
Atas dasar itu, jika penduduk negeri-negeri Timur (benua Asia) jauh melihat bulan
sabit Ramadhan, maka ru’yah wajib diikuti oleh kaum Muslim yang berada di negeri-
negeri belahan Barat (Timur Tengah), tanpa kecuali. Siapapun dari kalangan kaum
Muslim yang berhasil me-ru`yat hilal maka ru`yat tersebut merupakan hujjah bagi orang
yang tidak melihatnya. Pasalnya, kesaksian seorang Muslim di suatu negeri tidak lebih
utama dari kesaksian seorang Muslim di negeri yang lain.