Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

JIDAL
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Ulumul Qur’an

Disusun Oleh:
Mahara Fitri : 22421211536

Dosen Pengampu:
Bapak Muhammad Nurman, M. Ag

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS SYARIAH, DAKWAH DAN USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI TAKENGON
2022
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Segala puji bagi Allah, yang Maha Mengetahui dan Maha Melihat
hamba-hamba-Nya. Alhamdulillah karena berkat Rahmat dan Karunia-Nya
kami dapat menyelesaikan tugas makalah Ulumul Qur’an  ini. Adapun
maksud dan tujuan kami disini yaitu  menyajikan beberapa hal yang menjadi
materi dari makalah kami. Makalah  ini membahas
mengenai “Jidal”. Makalah ini menggunakan bahasa yang mudah
dimengerti untuk para pembacanya.

Penulis menyadari bahwa didalam makalah ini masih banyak


kekeurangan, kami mengharapkan kritik dan saran demi menyempurnakan
makalah penulis agar lebih baik dan dapat berguna semaksimal
mungkin. Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak
yang telah membantu proses penyusunan dan penyempurnaan makalah ini.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Takengon, 08 Oktober 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A. Defenisi Jidal..................................................................................................2
B. Metode Jidal Dalam Al-Qur’an......................................................................2
C. Jenis-jenis Jidal Dalam Al-Qur’an.................................................................4
D. Betuk-bentuk Jidal Dalam Al-Qur’an............................................................5

BAB II PENUTUP....................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................10

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Kebenaran-kebenaran yang ada dalam alam raya begitu nyata dan


telah dapat dirasakan manusia. Alam ini telah mengungkapkan sendiri tanpa
perlu kepada argumentasi lain untuk menyatakan kebenaran dan
eksitensinya tersebut. Namun demikian, kesombongan seringkali
mendorong seseorang untuk membangkitkan keraguan terhadap hakikat-
hakikat tersebut dengan bersembunyinya di balik akal. Usaha demikian ini
perlu dihadapi dengan hujjah agar hakikat-hakikat tersebut dapat diakui
sebagaimana mestinya, dipercayainya atau malah diingkari. Al-Qur’anul
Karim, seruan Allah kepada seluruh umat manusia, berdiri tegak di hadapan
berbagai macam arus kebatilan yang mengingkari hakikat-hakikatnya dan
memperdebatkan pokok-pokoknya. Karenanya ia perlu membungkam
usaha-usaha mereka secara konkrit dan realistis serta menghadapi mereka
dengan uslub bahasa yang memuaskan, argumentasi yang canggih, pasti dan
bantahan yang tegas.

Pada pembahasan ini akan dijelaskan pokok-pokok tentang Jidal


meliputi defenisi Jidal, metode Jidal dalam Al-Qur’an, jenis-jenis Jidal
dalam Al-Qur’an dan macam-macam Jidal dalam Al-Qur’an. Semoga
makalah yang singkat ini bermanfaat dan dapat menambah khazanah
keilmuan bagi para pembacanya.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Defenisi Jidal
Secara Etimologi Jidal berasal dari kata ‫جدل – يجدل – جدأل‬ yang
artinya mengemaskan, mengetatkan, dan menguatkan.
Sedangkan secara Terminologi Jidal berarti bertukar pikiran
dengan cara bersaing dan berlomba untuk mengalahkan kawan
dalam mempertahankan argumen. Untuk memenangkan pendapat
dalam suatu perdebatan yang sengit. Pengertian ini lebih
menunjukkan kepada perdebatan atau diskusi, yaitu untuk mencari
kebenaran.
Dengan demikian Jidal Al-Qur’an adalah pembuktian-
pembuktian serta pengungkapan dalil-dalil yang terkandung di
dalamnya, untuk dihadapkan kepada orang kafir dan mematahkan
argumentasi para penentang dengan seluruh tujuan dan maksud
mereka, sehingga kebenaran ajaran-Nya dapat diterima.
Di dalam Al-Qur’an Allah menyatakan bahwa Jidal
merepukan salah satu tabiat manusia dengan firman-Nya dalam
surah Al-Kahfi: 54

‫سانُ اَ ْكثَ َر ش َْي ٍء َج َداًل‬ ِ ‫ص َّر ْفنَا فِ ْي ٰه َذا ا ْلقُ ْر ٰا ِن لِلنَّا‬


َ ‫س ِمنْ ُك ِّل َمثَ ۗ ٍل َو َكانَ ااْل ِ ْن‬ َ ‫َولَقَ ْد‬

Artinya: “Dan Sesungguhnya Kami telah mengulang-ulangi


bagi manusia dalam Al-Quran ini bermacam-macam perumpamaan,
dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah".1

B. Metode Jidal Dalam Al-Qur’an


Bermunazharah (bertukar pikiran) dengan ahli kitab melalui
cara yang baik. Allah berfirman dalam Surah Al-Ankabut: 46

ْٓ ‫س ۖنُ اِاَّل الَّ ِذيْنَ ظَلَ ُم ْوا ِم ْن ُه ْم َوقُ ْولُ ْٓوا ٰا َمنَّا ِبالَّ ِذ‬
‫ي اُ ْن ِز َل اِلَ ْينَا َواُ ْن ِز َل‬ ِ ‫َواَل ت َُجا ِدلُوْٓ ا اَ ْه َل ا ْل ِك ٰت‬
َ ‫ب اِاَّل بِالَّتِ ْي ِه َي اَ ْح‬
ْ ‫اح ٌد َّونَ ْحنُ لَ ٗه ُم‬
َ‫سلِ ُم ْون‬ ِ ‫اِلَ ْي ُك ْم َواِ ٰل ُهنَا َواِ ٰل ُه ُك ْم َو‬

Artinya: “Dan janganlah kamu berdebat denganAhli Kitab,


melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-
orang zalim di antara mereka, dan Katakanlah: "Kami telah
beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada Kami dan

1 Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi Ulumil Qur’an, (Terj), Aunur Rafiq El-


Mazni, Pengantar Studi Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Kautsar, 2009), hlm. 376.

2
yang diturunkan kepadamu; Tuhan Kami dan Tuhanmu adalah satu;
dan Kami hanya kepada-Nya berserah diri".

Bermunazharah seperti itu bertujuan untuk menampakkan


hak kebenaran sejati dan menegakkan hujjah kepada mereka.
Metode Jidal Al-Qur’an dalam memberi petunjuk kepada orang kafir
dan mengalahkan para penentang Al-Qur’an.

Metode yang terdapat di dalam Al-Qur’an dalam berdebat


dengan para penentang, banyak menggunakan dalil-dalil dan bukti
yang kuat serta jelas yang dapat dipahami oleh kalangan awam dan
akademisi. Ia membatalkan setiap kerancuan dan mematahkannya
dengan redaksi yang konkrit, indah susunannya dan tidak
memerlukan pemerasan akal atau banyak penyelidikan.

Rasulullah juga diperintahkan agar berdebat dengan kaum


musyrik menggunakan cara yang baik yang dapat meredakan
keberingasan mereka. Firman Allah Q.S An-Nahl: 125

ْ‫س ۗنُ اِنَّ َربَّ َك ُه َو اَ ْعلَ ُم بِ َمن‬ َ ‫سبِ ْي ِل َربِّ َك بِا ْل ِح ْك َم ِة َوا ْل َم ْو ِعظَ ِة ا ْل َح‬
َ ‫سنَ ِة َو َجا ِد ْل ُه ْم بِالَّتِ ْي ِه َي اَ ْح‬ َ ‫اُ ْد ُع اِ ٰلى‬
َ‫سبِ ْيلِ ٖه َو ُه َو اَ ْعلَ ُم بِا ْل ُم ْهتَ ِديْن‬
َ ْ‫ض َّل عَن‬ َ

Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan


hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara
yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui
tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Tidak menggunakan metode-metode berpikir ilmu kalam


yang rumit, karena dua hal:

Mengingat Firman-Nya, “Dan kami tidak mengutus seorang


Rasul melainkan dengan bahasa kaumnya.” (Q.S Ibrahim: 4).

Orang yang cenderung pada penggunaan pendapat yang


mendalam adalah orang yang tidak mampu mengungkapkan hujjah
secara jelas. Sebab, orang dapat berbicara dengan sangat jelas
sehingga dapat dipahami oleh banyak orang, tidak akan
menggunakan teori-teori rumit, yang hanya akan dipahami segelintir
orang sehingga perkataan mereka pun kurang jelas.2

2 Lowis Al-Ma’luf, Al-munjid Fillughati Wal Al’alam, (Beirut: Darus Masyruk,


1986), hlm. 82.

3
C. Jenis-jenis Jidal Dalam Al-Qur’an
1. Dalam Al-Qur’an banyak mengungkapkan ayat-ayat kauniyah
yang disertai perintah melakukan perenungan dan pemikiran
untuk dijadikan dalil bagi penetapan dasar-dasar akidah, seperti
ketauhidan Allah dalam uluhiyah-Nya dan keimanan kepada
malaikat-malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul-Nya dan hari
kemudian (Lihat Q.S Al-Baqarah: 21-22).
2. Membantah pendapat para penentang dan lawan, serta
mematahkan argumentasi mereka. Perdebatan macam ini
mempunyai beberapa bentuk:
a. Mengajukan pertanyaan tentang hal-hal yang telah diakui dan
diterima baik oleh akal, agar ia mengakui apa yang tadinya
diingkari, seperti penggunaan dalil dengan makhluk untuk
menetapkan adanya Khaliq (Lihat Q.S Ath-Thur: 35-43).
b. Menggunakan argumentasi yang berkaitan dengan asal mula
kejadian dan hari kebangkitan (Lihat Q.S Al-Qiyamah: 36-
40). Termasuk di antaranya beristidlal dengan kehidupan
bumi yang tandus kering, untuk menetapkan kehidupan
sesudah mati untuk dihisab. (Lihat Q.S Fushshilat: 39).
c. Membatalkan pendapat lawan dengan membuktikan
kebalikannya, (Lihat Q.S Al-An’am: 91) ayat ini merupakan
respon terhadap pendirian orang Yahudi, sebagaimana
diceritakan Allah dalam firman-Nya: “Dan mereka tidak
menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya
dikala mereka mengatakan: Allah tidak menurunkan sesuatu
pun kepada manusia.” (Q.S Al-An’am).
d. Menggunakan teori (as-sabr wa taqsim), yakni mengoleksi
beberapa sifat sesuatu, kemudian menjelaskan bahwa sifat-
sifat tersebut bukanlah ‘illat, alasan hukum, (Lihat Q.S Al-
An’am: 143-144).
e. Mematahkan hujjah lawannya dengan menjelaskan bahwa
asumsinya itu tidak diakui oleh seorang pun, (Lihat Q.S Al-
An’am: 101).3

3 Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi Ulumil Qur’an, (Terj), Aunur Rafiq El-


Mazni, Pengantar Studi Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Kautsar, 2009), hlm. 146.

4
D. Betuk-bentuk Jidal Dalam Al-Qur’an
1. As-Sibru dan Taqsim
Membatasi sesuai dengan sifat dan menolak untuk membagi
salah satunya sebagai dasar hukum, seperti dalam surah Al-
An’am: 143

‫ضْأ ِن ا ْثنَ ْي ِن َو ِمنَ ا ْل َم ْع ِز ا ْثنَ ْي ۗ ِن‬ ٍ ۚ ‫ثَمٰ نِيَةَ اَ ْز َو‬


َّ ‫اج ِمنَ ال‬

Artinya: (Yaitu) delapan binatang yang berpasangan,


sepasang domba, sepasang dari kambing….

Ini adalah penjelasan tentang kebodohan bangsa Arab


sebelum masuk Islam berkenaan tentang binatang ternak yang
mereka haramkan dan membagikan kedalam beberapa bagian.
Semua yang diciptakan ini milik Allah. Maka Allah Swt
mengcounter atas pernyataan mereka itu dengan cara as-sabri
wa at-taqsim, seakan Allah berfirman: “sesungguhnya semua
yang diciptakan ini milik Allah, Allah telah menciptakan segala
sesuatu berpasang-pasang ada yang jantan dan ada yang betina,
tetapi mengapa kalian mengharamkan apa yang kalian sebutkan?
Padahal masalah mengharamkan itu masalah ibadah (hanya
Allah yang berhak menentukan), yang harus diambil dari Allah
Swt dan diutusnya seorang rasul.

2. Al-Qaulu bi Mujab
Ibnu Abi al-Ishbi’ berkata,”Hakikat dari istilah ini adalah
membantah ucapan musuh dengan kandungan atau isi ucapan
sendiri”.
Ulama lainnya mengatakan bahwa istilah tersebut dibagi
menjadi dua, yaitu:
a. Apabila ada sifat pada kata-kata orang lain
sebagai kinayah (sindiran) dari sesuatu yang ditetapkan suatu
hukum untuknya, kemudian dia tetapkan bagi sesuatu yang
lain, firman Allah Q.S Al-Munafiqun: 8.
‫هّٰلِل‬
ُ ‫يَقُ ْولُ ْونَ لَ ِٕىنْ َّر َج ْعنَٓا اِلَى ا ْل َم ِد ْينَ ِة لَيُ ْخ ِر َجنَّ ااْل َع َُّز ِم ْن َها ااْل َ َذ َّل َۗو ِ ا ْل ِع َّزةُ َولِ َر‬
‫س ْولِ ٖه‬

Artinya: Mereka berkata: "Sesungguhnya jika kita


telah kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat
akan mengusir orang-orang yang lemah dari padanya."
Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi rasul-
Nya….

5
Di dalam ayat ini kata al-a’azzu (yang mulia) adalah
kata yang diucapkan oleh orang-orang munafik sebagai
gambaran tentang kelompok mereka, sedangkan kata al-
adzallu (yang hina) juga kata-kata mereka untuk
menggambarkan tentang kelompok orang beriman. Orang-
orang munafik menyatakan dirinya dengan kata tersebut
untuk mengusir orang-orang beriman dari Madinah. Maka
Allah membantah mereka bahwa sifat mulia itu ditujukan
untuk selain  kelompok mereka, yaitu untuk Allah dan Rasul-
Nya serta orang-orang yang beriman. Seakan-akan dikatakan
kepada mereka “kelompok yang mulia akan mengusir
kelompok yang hina.”
b. Memahami lafaz yang keluar dari ucapan orang lain berbeda
dengan maksudnya dan disertai penyebutan sesuatu yang
berkaitan dengannya, firman Allah Q.S At-Taubah: 61.

‫َو ِم ْن ُه ُم الَّ ِذيْنَ يُْؤ ُذ ْونَ النَّبِ َّي َويَقُ ْولُ ْونَ ُه َو اُ ُذنٌ ۗقُ ْل اُ ُذنُ َخ ْي ٍر لَّ ُك ْم‬

Artinya: Di antara mereka (orang-orang munafik)


ada yang menyakiti Nabi dan mengatakan: "Nabi
mempercayai semua apa yang didengarnya." Katakanlah:
"Ia mempercayai semua yang baik bagi kamu.
Di antara kaum munafik itu ada orang-orang yang
suka menyakiti Nabi dengan perkataan, Nabi mempercayai
semua apa yang didengarnya. Maksudnya, siapa pun yang
berkata, bercerita, dan bersumpah kepadanya, maka ia akan
mempercayainya. Allah berfirman “Katakanlah ia
mempercayai semua yang baik bagi kamu.” Artinya, ia
selalu mendengarkan yang baik, dan bisa membedakan mana
yang berkata benar dan mana yang berkata berdusta.

3. At-Taslim
Yaitu memastikan sesuatu yang tidak mungkin terjadi baik
dengan cara meniadakan, karena sesuatu yang disebutkan itu
tidak mungkin terjadi sebab tidak memenuhi persyaratan. Seperti
firman Q.S Al-Mu’minun: 91.
‫هّٰللا‬
َ‫س ْب ٰحن‬ ٍ ۗ ‫ض ُه ْم ع َٰلى بَ ْع‬
ُ ‫ض‬ َ َ‫َب ُك ُّل اِ ٰل ۢ ٍه بِ َما َخل‬
ُ ‫ق َولَ َعاَل بَ ْع‬ َ ‫َما ات ََّخ َذ ُ ِمنْ َّولَ ٍد َّو َما َكانَ َم َع ٗه ِمنْ اِ ٰل ٍه اِ ًذا لَّ َذه‬
َ‫صفُ ْون‬ ‫هّٰللا‬
ِ َ‫ۙ ِ َع َّما ي‬

Artinya: Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-


kali tidak ada Tuhan (yang lain) beserta-Nya, kalau ada Tuhan

6
beserta-Nya, masing-masing Tuhan itu akan membawa makhluk
yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan
mengalahkan sebagian yang lain. Maha suci Allah dari apa
yang mereka sifatkan itu.
Maksud dari ayat di atas adalah tidak ada Tuhan yang lain
bersama Allah. Seandainya illah itu berbilang, niscaya masing-
masing illah akan membawa makhluk yang diciptakannya. Jika
itu terjadi, maka alam semesta ini tidak akan teratur dan
kehidupan akan berantakan. Namun kenyataannya yang dapat
kita saksikan menunjukkan betapa alam ini begitu teratur rapi,
baik alam semesta yang berada di atas maupun yang berada di
bawah, satu sama lain saling beraturan dengan sistematis.

4. Al-Isjaal
Yaitu kata-kata yang mendorong seseorang yang diajak
bicara untuk memenuhi apa yang diminta. Ini seperti firman
Allah Swt Q.S Ali-Imran: 194.

ُ ‫َربَّنَا َو ٰاتِنَا َما َو َع ْدتَّنَا ع َٰلى ُر‬


َ‫سلِك‬

Artinya: Ya Tuhan kami, berilah kami apa yang telah Engkau


janjikan kepada kami dengan perantaraan Rasul-rasul Engkau.
Maksud ayat ini, berilah kami apa yang telah Engkau
janjikan kepada kami dengan perantara (lisan) Rasul-rasul
Engkau, yaitu surga bagi orang yang taat. Firman Allah dalam
Q.S Al-Mu’minun: 8

َ‫ۙ َوالَّ ِذيْنَ ُه ْم اِل َمٰ ٰنتِ ِه ْم َو َع ْه ِد ِه ْم َراع ُْون‬

Artinya: Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat


(yang dipikulnya) dan janjinya.

5. Al-Intiqal
Yaitu upaya seseorang yang berdalil untuk mengalihkan
dalilnya dengan dalil yang lainnya, karena pihak lawan tidak
memahami maksud dari dalil yang pertama. Seperti dalam
perdebatan Nabi Ibrahim dengan Raja Namrudz, firman dalam
Q.S Al-Baqarah: 258
‫هّٰللا‬
‫ت قَا َل اَنَ ۠ا‬
ُۙ ‫ي يُ ْح ٖي َويُ ِم ْي‬ْ ‫ي َح ۤا َّج اِ ْب ٰر ٖه َم فِ ْي َربِّ ٖ ٓه اَنْ ٰا ٰتىهُ ُ ا ْل ُم ْل َك ۘ اِ ْذ قَا َل اِ ْب ٰر ٖه ُم َربِّ َي الَّ ِذ‬
ْ ‫اَلَ ْم تَ َر اِلَى الَّ ِذ‬
‫ب‬ ْ ْ ‫ْأ‬َ ْ ‫ْأ‬ ‫هّٰللا‬ َ
َّ ‫اُ ْح ٖي َواُ ِميْتُ ۗ قَا َل اِ ْب ٰر ٖه ُم فاِنَّ َ يَ تِ ْي بِال‬
ِ ‫ت بِ َها ِمنَ ال َمغ ِر‬ ِ ‫قف‬ ِ ‫ش ِر‬ ْ ‫س ِمنَ ال َم‬ ِ ‫ش ْم‬

7
Artinya: Ketika Ibrahim mengatakan: "Tuhanku ialah yang
menghidupkan dan mematikan," orang itu berkata: "Saya dapat
menghidupkan dan mematikan". Ibrahim berkata:
"Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, Maka
terbitkanlah Dia dari barat.”

6. Al-Munaqadhah
Yaitu mengaitkan sesuatu pada faktor yang mustahil sebagai
isyarat (tanda) bahwa itu tidak mungkin terjadi, seperti firman
Allah Swt dalam Q.S Al-A’raf: 40

َ ‫ۗ َواَل يَد ُْخلُ ْونَ ا ْل َجنَّةَ َح ٰتّى يَلِ َج ا ْل َج َم ُل فِ ْي‬


‫س ِّم ا ْل ِخيَا ِط‬

Artinya: Dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta


masuk ke lubang jarum.

7. Mujaaraat al-Khasmi li Ya’tsar


Yaitu dengan cara menerima sebagian permulaannya, sebagai
trik untuk mematahkan lawan dan mengalahkannya, Perkataan
mereka, yaitu para rasul, bahwa “kami tidak lain hanyalah
manusia seperti kamu” merupakan pengakuan bahwa mereka
juga memiliki keterbatasan sebagaimana manusia. Mereka
seakan-akan menafikan risalah dari diri mereka, tetapi tidaklah
demikian yang dimaksud. Bahkan ini termasuk memberi
kesempatan pada musuh untuk menyerah, seakan mereka
berkata: ”apa yang kalian tuduhkan pada kami bahwa kami
hanyalah manusia adalah benar. Kami tidak mengingkarinya,
tetapi ini tidak menafikan adanya Allah Swt yang member
nikmat dan karunia kepada kami dengan risalah”.4

4 Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Semarang: Pustaka


Rizki Putra, 2002), hlm.195.

8
BAB III

PENUTUP

Jidal Al-Qur’an adalah pembuktian-pembuktian serta pengungkapan


dalil-dalil yang terkandung di dalam Al-Qur’an, untuk dihadapkan kepada
orang kafir dan mematahkan argumentasi para penentang dengan seluruh
tujuan dan maksud mereka, sehingga kebenaran ajaran-Nya dapat diterima.

Metode Jidal dalam Al-Qur’an yang di tempuh salah satunya adalah


dengan cara Bermunazharah (bertukar pikiran). Bermunazharah seperti itu
bertujuan untuk menampakkan hak kebenaran sejati dan menegakkan
hujjah. Metode yang terdapat di dalam Al-Qur’an dalam berdebat dengan
para penentang, banyak menggunakan dalil-dalil dan bukti yang kuat serta
jelas yang dapat dipahami oleh kalangan awam dan akademisi. Ia
membatalkan setiap kerancuan dan mematahkannya dengan redaksi yang
konkrit, indah susunannya dan tidak memerlukan pemerasan akal atau
banyak penyelidikan. Yang paling perlu diketahui bahwasanya berdebat
merupakan tabiat manusia.

Mengenai jenis-jenis dan bentuk-bentuk Jidal dalam Al-Qur’an


cukup banyak disebutkan, salah satu contoh jenis jidal adalah banyak
menyebutkan ayat-ayat kauniyah yang disertai perintah melakukan
perenungan dan pemikiran untuk dijadikan dalil bagi penetapan dasar-dasar
akidah, seperti ketauhidan Allah dalam uluhiyah-Nya dan keimanan kepada
malaikat-malaikat, kitab-kitab, Rasul-rasul-Nya dan hari kemudian.
Sedangkan salah satu contoh dari bentuk Jidal adalah At-Taslim yaitu
memastikan sesuatu yang tidak mungkin terjadi baik dengan cara
meniadakan, karena sesuatu yang disebutkan itu tidak mungkin terjadi sebab
tidak memenuhi persyaratan.

9
DAFTAR PUSTAKA

Lowis Al-Ma’luf, Al-munjid Fillughati Wal Al’alam, (Beirut: Darus


Masyruk, 1986), hlm. 82.

Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi Ulumil Qur’an, (Terj), Aunur


Rafiq El-Mazni, Pengantar Studi Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Kautsar,
2009), hlm. 146.

Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi Ulumil Qur’an, (Terj), Aunur


Rafiq El-Mazni, Pengantar Studi Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Kautsar,
2009), hlm. 376.

Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Semarang:


Pustaka Rizki Putra, 2002), hlm.195.

10

Anda mungkin juga menyukai