Anda di halaman 1dari 21

10 Jenis Solat Yang Tidak Diterima Oleh Allah s.w.

Rasulullah S.A.W. telah bersabda yang bermaksud : "Sesiapa yang memelihara solat,
maka solat itu sebagai cahaya baginya, petunjuk dan jalan selamat dan barangsiapa
yang tidak memelihara solat, maka sesungguhnya solat itu tidak menjadi cahaya,
dan tidak juga menjadi petunjuk dan jalan selamat baginya." (Tabyinul Mahaarim)

Rasulullah S.A.W telah bersabda bahwa : "10 orang solatnya tidak diterima oleh
Allah S.W.T, antaranya :

1. Orang lelaki yang solat sendirian tanpa membaca sesuatu.

2. Orang lelaki yang mengerjakan solat tetapi tidak mengeluarkan zakat.

3. Orang lelaki yang menjadi imam, padahal orang yang menjadi makmum
membencinya.

4. Orang lelaki yang melarikan diri.

5. Orang lelaki yang minum arak tanpa mahu meninggalkannya (Taubat).

6. Orang perempuan yang suaminya marah kepadanya.

7. Orang perempuan yang mengerjakan solat tanpa memakai tudung.

8. Imam atau pemimpin yang sombong dan zalim menganiaya.

9. Orang-orang yang suka makan riba'.

10. Orang yang solatnya tidak dapat menahannya dari melakukan perbuatan yang
keji dan mungkar."

Sabda Rasulullah S.A.W yang bermaksud : "Barang siapa yang solatnya itu tidak
dapat menahannya dari melakukan perbuatan keji dan mungkar, maka
sesungguhnya solatnya itu hanya menambahkan kemurkaan Allah S.W.T dan jauh
dari Allah."

Hassan r.a berkata : "Kalau solat kamu itu tidak dapat menahan kamu dari
melakukan perbuatan mungkar dan keji, maka sesungguhnya kamu dianggap orang
yang tidak mengerjakan solat. Dan pada hari kiamat nanti solatmu itu akan
dilemparkan semula ke arah mukamu seperti satu bungkusan kain tebal yang
buruk."

3. Orang lelaki yang menjadi imam, padahal orang yang menjadi makmum membencinya
Dalam literatur kitab fikih madzhab Syafi‘i dijelaskan bahwa jika ada seseorang yang tidak disukai
orang banyak atau di lingkungan sekitar, maka ia dimakruh menjadi imam.

Sedangkan salah satu dalil yang dikemukakan untuk mendukung pendapat ini adalah riwayat Ibnu
Abbas RA yang menyatakan bahwa Nabi SAW pernah mengatakan bahwa ada tiga orang di mana
Allah tidak mengangkat shalat mereka ke atas kepalanya, salah satunya adalah seseorang yang
menjadi imam shalat padahal jamaahnya tidak menyukainya.

‫َّاس رضي هللا عنه أَنَّ ال َّن ِبيَّ صلى هللا عليه وسلم َقا َل ثَاَل َث ٌة اَل َيرْ َف ُع‬ ٍ ‫ُون لِ َما َر َوى ابْنُ َعب‬ َ َ ‫َو ُي ْك َرهُ أَنْ ُي‬
ِ ‫صلَّيِ الرَّ ُج ُل ِب َق ْو ٍم َوأ ْك َث ُر ُه ْم َل ُه َك‬
َ ‫اره‬
َ
‫ُون‬
َ ‫اره‬ ِ ‫صاَل َت ُه ْم َف ْوقَ رُؤُ وسِ ِه ْم َف َذ َك َر فِي ِْه ْم ُر ُجاًل أ َّم َق ْومًا َو ُه ْم لَ ُه َك‬
َ ُ‫هللا‬

Artinya, “Dimakruhkan seseorang shalat menjadi imam bagi suatu kaum, sedangkan mayoritas dari
kaum itu tidak menyukainya. Pandangan ini didasarkan pada riwayat Ibnu Abbas RA yang
menyatakan bahwa Nabi SAW pernah mengatakan bahwa ada tiga orang yang Allah tidak
mengangkat shalat mereka ke atas kepalanya, salah satunya yang disebutkan dalam riwayat tersebut
adalah seseorang yang mengimami suatu kaum padahal kaum tersebut tidak menyukainya,” (Lihat
Abu Ishaq Asy-Syirazi, Al-Muhadzdzab fi Fiqhil Imamis Syafi’i, Beirut, Darul Fikr, juz II, halaman 98).

Lain halnya apabila yang tidak menyukainya hanya sebagian kecil orang. Dalam konteks yang kedua
ini, maka ia tidak makruh menjadi imam, sebab tidak ada seorang pun yang sama sekali disukai
semua orang.

‫ان الَّ َذي َي ْك َر ُه ُه اأْل َ َق ُّل َل ْم ُي ْك َر ْه أَنْ َيؤُ َّم ُه ْم اِل َنَّ أَ َح ًدا اَل َي ْخلُو ِممَّنْ َي ْك ُر ُه ُه‬
َ ‫َفإِنْ َك‬

Artinya, “Karenanya apabila orang tersebut tidak disukai oleh sedikit orang maka ia tidak makruh
menjadi imam mereka, karena tidak ada seorang pun yang semua orang menyukainya,” (Lihat, Abu
Ishaq As-Syirazi, Al-Muhadzdzab fi Fiqhil Imamis Syafi’i, juz II, halaman 98).

Sampai di sini terlihat jelas kemakruhan menjadi imam bagi orang yang tidak disukai oleh
kebanyakan orang atau lingkungan sekitar. Jika dikatakan bahwa orang yang tidak disukai
kebanyakan orang makruh menjadi imam bagi mereka, lantas apakah mereka juga makruh
bermakmum dengan orang tersebut?

Ketidaksukaan kebanyakan orang terhadap imam tersebut ternyata tidak dengan serta memakrukan
mereka untuk bermakmun dengannya. Jadi yang terkena hukum makruh adalah seseorang yang
menjadi imam padahal ia tidak disukai oleh mayoritas jamaahnya sehingga jamaah yang bermakmun
kepadanya tidak terkena hukum makruh. Demikian sebagaimana yang dipahami dari penjelasan
Sulaiman Al-Jamal berikut ini.

‫صاَل ةُ َخ ْل َف ُه‬ َ ‫أَمَّا ْال ُم ْق َتد‬


َ ‫ُون اَلَّذ‬
َّ ‫ِين َي ْك َرهُو َن ُه َفاَل ُت ْك َرهُ لَ ُه ُم ال‬

Artinya, “Adapun orang-orang yang bermakmum kepada (imam) yang mereka tidak sukai maka tidak
makruh bagi mereka untuk shalat di belakangnya,” (Lihat Sulaiman Al-Jamal, Hasyiyatul Jamal,
Beirut, Darul Fikr, juz II, halaman 767).
Syarat-syarat Menjadi Imam dan Makmum Solat Berjemaah
13/08/2011
Syarat-syarat Menjadi Imam dan Makmum Solat Berjemaah
oleh Abu Basyer pada 13 Agustus 2011 jam 0:13
Segala puji bagi Allah, Tuhan sekelian alam. Selawat serta salam buat
junjungan mulia Nabi Muhammad S.A.W. keluarga serta para sahabat dan
pengikut yang istiqamah menuruti baginda hingga ke hari kiamat.
 
Sahabat yang dirahmati Allah,
Nabi SAW memberi wasiat kepada umatnya supaya tidak meninggalkan
solat berjemaah di masjid.
 
Sabda Rasulullah SAW. maksudnya, “Sesiapa yang berjalan untuk pergi
mendiriian solat fardu berjemaah, maka ianya seperti pahala haji, dan
sesiapa yang berjalan untuk pergi mendirikan solat sunat (iaitu duha) ,
maka ianya seperti pahala umrah sunat”.(Hadis Riwayat Imam Ahmad bin
Hanbal, Abu Daud,Tabrani , Baihaqi )
 
Sabda Nabi SAW yang bermaksud : “Solat berjemaah melebihi solat
bersendirian dengan 27 darjat (atau 27 kali ganda). ” (Hadis riwayat Bukhari
dan Musliam)
 
Sebelum melaksanakan solat fardu berjemaah kita perlulah mengetahu
syarat-syarat sah menjadi imam dalam solat berjemaah.
 
Sebelum memulai solat dengan makmumnya, seorang imam setelah
muazin selesai mengumandangkan azan dan qamat (iqamah), maka imam
berdiri paling depan dan menghadap makmum untuk mengatur barisan
terlebih dahulu. Jika sudah lurus, rapat dan rapi imam menghadap kiblat
untuk mulai ibadah solat berjamaah dengan khusyuk.
Dalam kita mengerjakan solat berjemaah untuk lelaki saf yang paling baik
adalah saf yang paling hadapan sekali dan untuk saf wanita adalah di
barisan paling belakang sekali.
 
Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW. bersabda, “Seandainya orang-orang
tahu (pahala) yang terdapat di dalam seruan (azan) dan barisan (saf)
pertama kemudian mereka tidak mendapatkan cara untuk mencapainya
kecuali dengan cara melakukan undian, pasti mereka akan
mengadakannya.” (Hadis Riwayat Bukhari, no. 615. Muslim, no. 137)
 
“Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla dan para Malaikat-Nya berselawat ke
atas barisan (saf) yang pertama atau saf yang awal.” (Dinilai hasan oleh al-
Albani di dalam Sahih at-Targhib wa at-Tarhib, 1/197)
 
A. Syarat Untuk Menjadi Imam Solat Berjamaah :
 
1. Lebih banyak mengerti dan paham masalah ibadah solat.
2. Lebih banyak hafal surah-surah al-Quran.
3. Lebih fasih dan baik dalam membaca bacaan-bacaan solat.
4. Lebih tua daripada jamaah lainnya.
5. Tidak mengikuti gerakan soalat orang lain.
6. Laki-laki. Tetapi jika semua makmum adalah wanita, maka imam boleh
perempuan.
 
Bacaan dua rekaat awal untuk solat zuhur dan ashar pada surat al-Fatihah
dan bacaan surah pengiringnya dibaca secara perlahan (sirran yang hanya
boleh didengar sendiri, orang lain tidak jelas mendengarnya). Sedangkan
pada solat maghrib, isya dan subuh dibaca secara nyaring yang dapat
didengar makmum. Untuk solat Jumaat, Aidul fitri, Aidul adha, gerhana,
istiqo, tarawih dan witir dibaca nyaring, sedangkan untuk solat malam
dibaca sedang, tidak nyaring dan tidak perlahan.
 
B. Syarat sah menjadi makmum dalam solat berjamaah
 
1. Niat untuk mengikuti imam dan mengikuti gerakan imam.
2. Berada satu tempat dengan imam.
3. Lelaki dewasa tidak sah jika menjadi makmum imam perempuan.
4. Jika imam batal, maka seorang makmum maju ke depan menggantikan
imam.
5. Jika imam lupa jumlah rekaat atau salah gerakan solat, makmum
mengingatkan dengan membaca subhanallah dengan suara yang dapat
didengar imam. Untuk makmum perempuan dengan cara bertepuk tangan.
6. Makmum dapat melihat atau mendengar imam.
7. Makmum berada di belakang imam.
8. Mengerjakan ibadah solat yang sama dengan imam.
9. Jika datang terlambat, maka makmum akan menjadi masbuk yang boleh
mengikuti imam sama seperti makmum lainnya, namun setelah imam
salam masbuk menambah jumlah rakaat yang tertinggal. Jika berhasil
mulai dengan mendapatkan rukuk bersama imam walaupun sebentar maka
masbuk mendapatkan satu rakaat. Jika masbuk adalah makmum pertama,
maka masbuk menepuk pundak imam untuk mengajak solat berjamaah.
 
C. Kedudukan Imam Dan Makmum Solat Jamaah.
 
1. Jika terdiri dari dua lelaki atau dua wanita saja, maka yang satu menjadi
imam dan yang satu menjadi makmum berada di sebelah kanan imam agak
ke belakang sedikit.
 
2. Jika makmum terdiri dari dua orang atau lebih maka kedudukan
makmum adalah membuat barisan sendiri di belakang imam. Jika makmum
yang kedua adalah masbuk, maka masbuh menepuk bahu makmum
pertama untuk melangkah kebelakang membuat barisan tanpa
membatalkan solat.
 
3. Jika terdiri dari makmum lelaki dan makmum wanita, maka makmum laki-
laki berada dibelakang imam, dan wanita dibalakang makmum lelaki.
 
4. Jika ada anak-anak maka anak lelaki berada di belakang makmum lelaki
dewasa dan disusul dengan makmum anak-anak perempuan dan kemudian
yang terakhir adalah makmum perempuan dewasa.

KEDUDUKAN SAF ISTERI KETIKA SOLAT DENGAN SUAMI


Butiran
Dimuatnaik oleh Muhammad Fahmi Rusli
 Diterbitkan: 03 Julai 2017
 Al Kafi li al-Fatawi

Soalan :
Assalamualaikum Mufti, bagaimanakah kedudukan saf yang betul apabila
seorang isteri solat berdua bersama dengan suaminya ?
Jawapan :
Alhamdulillah kami panjatkan ke atas junjungan besar Nabi Muhammad
S.A.W, para isteri dan keluarga baginda, para sahabat serta golongan yang
mengikuti jejak langkah baginda sehingga hari kiamat.
Isu ini disebutkan oleh para fuqaha apabila mereka membincangkan
berkenaan susunan saf di dalam solat yang melibatkan orang lelaki,
perempuan, khunsa, serta kanak-kanak. Di antara dalil yang
menjadi madar (ruang lingkup) perbahasan berkaitan isu ini adalah sebuah
riwayat daripada Anas bin Malik R.A yang menyatakan :
‫ص َّلى‬َ ِ‫سولُ هَّللا‬ ُ ‫ َف َقا َم َر‬، ‫ص ِّل َل ُك ْم‬ َ ُ ‫مِن ُه ُث َّم َقا َل ُقو ُموا َفأِل‬ َ ‫ص َّلى هَّللا ُ َع َل ْي ِه َو َس َّل َم ل َِط َع ٍام‬
ْ ‫ص َن َع ْت ُه َل ُه َفأَ َك َل‬ َ ِ‫سو َل هَّللا‬ َ ‫َأنَّ َجدَّ َت ُه ُم َل ْي َك َة‬
ُ ‫دَع ْت َر‬
‫ف‬
َ ‫ص َر‬ َ ‫ص َّلى هَّللا ُ َع َل ْي ِه َو َس َّل َم َر ْك َع َت ْي ِن ُث َّم ْان‬
َ ِ‫سولُ هَّللا‬
ُ ‫ص َّلى َل َنا َر‬َ ‫ َف‬، ‫مِن َو َرا ِئ َنا‬ ْ ‫وز‬ ُ ‫ َوا ْل َع ُج‬، ‫اء ُه‬ َ ‫ص َف ْفتُ َوا ْل َيتِي َم َو َر‬َ ‫ َو‬، ‫هَّللا ُ َع َل ْي ِه َو َس َّل َم‬
Maksudnya : Bahawa neneknya yang bernama Mulaikah menjemput
Rasulullah S.A.W memakan makanan yang telah dimasaknya. Maka
baginda pun menjamu makanan tersebut lalu bersabda : Bangunlah untuk
aku bersolat bersama kamu semua. Kemudian Rasulullah S.A.W berdiri
untuk solat, lalu baginda meletakkan aku dan seorang anak yatim di
belakangnya, dan perempuan tua (nenek) di belakang kami. Kemudian
baginda solat dua rakaat bersama kami dan seterusnya beredar.
Riwayat Al-Bukhari (380)
Berdasarkan hadis di atas, terdapat beberapa faedah yang boleh
dikeluarkan seperti berikut:
 Hadis di atas menunjukkan kepada keharusan solat sunat secara
berjamaah.
 Galakan kepada penghuni rumah untuk mengambil berkat dengan
kehadiran orang soleh dan ahli ilmu dengan menunaikan solat di
dalam rumah mereka.
 Baginda S.A.W mahu mengajarkan kepada mereka pergerakan-
pergerakan solat.
 Begitu juga diajarkan pergerakan solat kepada orang perempuan. Ini
kerana, sangat sedikit dan terbatas pergerakan solat yang dapat
mereka pelajari daripada Rasulullah ketika di masjid. Maka apabila
baginda solat di rumah Mulaikah ini, beliau dapat melihat pergerakan
solat, mempelajarinya, dan seterusnya mengajarkan kepada orang
lain.
 Hadis ini juga menunjukkan sahnya solat kanak-kanak yang
mumayyiz.
 Hadis di atas turut menjelaskan bahawa kanak-kanak juga turut
mempunyai tempat di dalam saf.
 Begitu juga orang perempuan berdiri di belakang orang lelaki semasa
solat.
Demikianlah beberapa faedah daripada hadis yang diistinbatkan oleh Imam
Al-Nawawi Rahimahullah apabila mensyarahkan hadis di atas.
Rujuk Syarah Sahih Muslim, Al-Nawawi (5/293).
Justeru, dapatlah difahami bahawa jika seorang perempuan itu menjadi
makmum kepada orang lelaki, sama ada lelaki tersebut adalah ayahnya,
abang, adik, atau suaminya, maka kedudukan saf bagi wanita itu adalah di
belakang imam. Ini juga bertepatan dengan nas yang turut diriwayatkan
oleh Anas bin Malik R.A yang mengatakan :
‫امنِي َع ْن َيمِي ِن ِه َو َأ َقا َم ا ْل َم ْر َأ َة َخ ْل َف َنا‬ َ ‫ص َّلى هَّللا ُ َع َل ْي ِه َو َس َّل َم‬
َ ‫ص َّلى ِب ِه َو ِبأ ُ ِّم ِه َأ ْو َخا َل ِت ِه َقا َل َفأَ َق‬ َ ِ‫سو َل هَّللا‬
ُ ‫َأنَّ َر‬
Maksudnya: Sesungguhnya Rasulullah S.A.W solat dengannya (Anas)
bersama dengan ibunya atau ibu saudaranya lalu Anas berkata: Baginda
mendirikan aku di sebelah kanannya dan baginda mendirikan orang
perempuan di belakang kami.
Riwayat Muslim (1056)
Kata Imam Al-Nawawi Rahimahullah: Sekiranya yang hadir mengerjakan
solat itu terdiri daripada orang lelaki, kanak-kanak, golongan khunsa, serta
orang perempuan, maka didahulukan orang lelaki, kemudian kanak-kanak,
kemudian golongan khunsa, kemudian orang perempuan. Rujuk Al-Majmu'
Syarah Al-Muhazzab, Al Nawawi (3/132).
Di dalam kenyataannya yang lain Imam Al-Nawawi mengatakan:
Para ashab kami mengatakan: Kesemuanya ini (susunan solat) hukumnya
adalah mustahab (sunat) dan menyelisihinya adalah makruh namun tidak
membatalkan solat.
Imam Al-Mawardi di dalam kitabnya Al-Hawi Al-Kabir (2/340) menukilkan
kenyataan Imam Al-Syafie yang berkata: Apabila seorang lelaki menjadi
imam, maka makmum (lelaki) berdiri di bahagian kanannya. Sekiranya
makmum tersebut merupakan khunsa musykil atau perempuan maka
setiap seorang dari mereka berdiri di belakangnya (imam) secara
bersendirian.
Sekiranya seorang lelaki menjadi imam kepada seorang sahaja wanita,
maka perempuan tersebut berdiri di belakangnya dan bukannya di
sebelahnya. Ini berdasarkan sabda Nabi S.A.W :
‫ش ُّرهَا َأ َّو ُل َها‬
َ ‫ص ُفوفِ ال ِّنسَاءِ آخ ُِرهَا َو‬ َ ‫ال َأ َّو ُل َها َو‬
ُ ‫ َو َخ ْي ُر‬،‫ش ُّرهَا آخ ُِرهَا‬ ِّ ِ‫ص ُفوف‬
ِ ‫الر َج‬ ُ ‫َخ ْي ُر‬
Maksudnya : Sebaik-baik saf orang lelaki adalah yang paling depan dan
seburuk-buruk saf orang lelaki adalah yang paling akhir. Manakala sebaik-
baik saf orang perempuan adalah yang paling belakang dan seburuk-buruk
saf bagi mereka adalah yang paling hadapan.
Riwayat Muslim (440)
Kesimpulan
Setelah kami mengemukakan beberapa pendapat para fuqaha berserta
dengan nas-nas syarak di atas, maka kami menyatakan bahawa sekiranya
seorang wanita solat bersama suaminya secara berjamaah, maka
kedudukannya adalah di belakang suaminya. Semoga Allah S.W.T
memberikan kefahaman yang jelas kepada kita dalam beragama. Ameen.

 
D. Syarat-syarat sah untuk seseorang itu menjadi Imam :
 
1) Islam, tidak sah solat yang diimamkan oleh seseorang yang kafir.
 
2) Berakal, tidak sah solat yang diimamkan oleh seseorang yang gila. Ini
kerana, solat yang dilakukan oleh orang yang disahkan gila tersebut
tidak sah. Tetapi jika gila itu bermusim maka solat ketika dia sihat
sah tetapi adalah dibenci. Ini kerana dikhuatiri penyakit gilanya itu
berulang ketika dia menunaikan solat.
 
3) Baligh, tidak sah solat yang diimamkan seseorang mumaiyiz kepada
seorang yang baligh di dalam solat wajib dan sunat.
 
Ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas dan Ibn Masud
maksudnya : “Janganlah diimamkan solat itu oleh seorang budak sehingga
dia baligh. Ini kerana solat itu adalah dalam keadaan sempurna sedangkan
budak atau kanak-kanak itu bukan daripada ahli yang sempurna”.
 
Imam Syafie berpendapat, harus orang yang baligh menjadi makmum
kepada imam yang belum Mumaiyiz. Ini berdasarkan apa yang diriwayatkan
daripada Amr bin Salamah:” Aku telah mengimamkan solat di zaman
Rasulullah SAW sedang aku adalah anak yang baru berumur tujuh tahun”.
(Hadis Riwayat Bukhari)
 
4) Lelaki yang sejati sekiranya yang menjadi makmum itu adalah
lelaki.Tidak sah solat yang diimamkan oleh seorang perempuan atau
khunsa bagi makmum lelaki sama ada solat fardu
atau sunat. Sekiranya yang menjadi makmum itu perempuan semata-mata
maka tidak disyaratkan lelaki menjadi imam bagi jemaah tersebut.
 
5) Bersih daripada hadas dan kekotoran. Tidak sah menjadi imam yang
berhadas atau orang yang terdapat najis pada badannya, pakaiannya sama
ada dia mengetahui hal tersebut atau lupa.
 
6) Baik bacaannya dan mengetahui rukun-rukunnya. Seseorang imam
hendaklah baik bacaannya kerana solat tidak sah melainkan dengan
bacaan dan mengetahui rukun-rukun solat. Tidak sah seseorang qari
menjadi makmum kepada seseorang yang buta huruf (jumhur) dan wajib
bagi qari mengulangi solatnya. Seperti mana keadaannya tidak menjadi
makmum kepada seseorang yang tidak mampu rukuk, sujud atau tidak
boleh duduk ataupun tidak mampu mengadap kiblat.
 
7) Keadaan yang bukan makmum.Tidak sah solat makmum mengikut
makmum lain sebagai imam. Mengikut seseorang yang sudah terputus
dengan imamnya disebabkan masbuk
 
8) Imam mesti seorang yang fasih al-lisan.Mampu menyebut huruf-huruf di
dalam al-Quran dari makhrajnya.
 
Tugas Imam Solat :
Tidak boleh menjadi imam jika sekalian makmumnya membencinya atau
tiada bersetuju dengannya. Jangan ke depan juga kalau di belakang ada
orang yang lebih faqih daripadanya, kecuali jika orang itu enggan ke depan,
ketika itu bolehlah dia menjadi Imam. Dalam hal ini, makruh masing-masing
tolak menolak untuk menjadi Imam.

Adab-Adab Imam Dalam Shalat Berjama’ah

ADAB IMAM DALAM SHALAT BERJAMA’AH

Oleh
Ustadz Armen Halim Naro

Seorang muslim yang baik, berusaha untuk menyempurnakan


setiap amalnya. Karena hal itu sebagai bukti keimanannya.
Maka shalat harus menjadi perhatian utamanya.

Dapat dibayangkan, bagaimana ketika imam bertakbir, terlihat


para makmun bertakbir sambil mengangkat tangannya secara
serempak; ketika imam mengucapkan amin terdengar
keserasian dalam mengikutinya.

Tidak salah, jika ada yang mengatakan, bahwa persatuan dan


kesatuan umat terlihat dari lurus dan rapat suatu shaf,
sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam :

‫صفُوْ فَ ْ ُكم أَوْ لَيُ َخالِفُ َّن هللا ُبَ ْينَ ُوجُوْ ِه ُك ْم‬
ُ ‫لَتُ َس ُّو َّن‬

“Hendaklah kalian luruskan shaf kalian, atau Allah akan


memecah belah persatuan kalian” [1]

Pembahasan ini terbagi menjadi dua bagian.


Pertama, adad-adab imam.
Kedua, adab-adab makmum.

Tidak diragukan lagi, bahwa tugas imam merupakan tugas


keagamaan yang mulia, yang telah diemban sendiri oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ; begitu juga dengan
Khulafaur Rasyidin setelah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Banyak hadits yang menerangkan tentang fadhilah imam.


Diantaranya sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Tiga golongan di atas unggukan misik pada hari kiamat,”
kemudian beliau menyebutkan, diantara mereka, (ialah)
seseorang yang menjadi imam untuk satu kaum sedangkan
mereka (kaum tersebut) suka kepadanya. Pada hadits yang
lain disebutkan, bahwa dia memperoleh pahala seperti pahala
orang-orang yang shalat di belakangnya.[2]

Akan tetapi -dalam hal ini- manusia berada di dua ujung


pertentangan.
Pertama : Menjauhnya para penuntut ilmu dari tugas yang
mulia ini, tatkala tidak ada penghalang yang menghalanginya
menjadi imam.
Kedua : Sangat disayangkan “masjid pada masa sekarang ini
telah sepi dari para imam yang bersih, berilmu dari kalangan
penuntut ilmu dan pemiliknya –kecuali orang-orang yang
dirahmati oleh Allah-.

Bahkan kebanyakan yang mengambil posisi ini dari golongan


orang-orang awam dan orang-orang yang bodoh. Semisal,
dalam hal membaca Al Fatihah saja tidak tepat, apalagi
menjawab sebuah pertanyaan si penanya tentang sebuah
hukum atau akhlak yang dirasa perlu untuk agama ataupun
dunianya. Mereka tidaklah maju ke depan, kecuali dalam
rangka mencari penghasilan dari jalannya dan dari pintunya.
Secara tidak langsung, -para imam seperti ini- menjauhkan
orang-orang yang semestinya layak menempati posisi yang
penting ini. Hingga, -sebagaimana yang terjadi di sebagian
daerah kaum muslimin- sering kita temui, seorang imam masjid
tidak memenuhi kriteria kelayakan dari syarat-syarat menjadi
imam. Oleh karenanya, tidaklah aneh, kita melihat ada
diantara mereka yang mencukur jenggot, memanjangkan
kumis, menjulurkan pakaiannya (sampai ke lantai) dengan
sombong, atau memakai emas, merokok, mendengarkan
musik, atau bermu’amalah dengan riba, menipu dalam
bermua`amalah, memberi saham dalam hal yang haram, atau
istrinya bertabarruj, atau membiarkan anak-anaknya tidak
shalat, bahkan kadang-kadang sampai kepada perkara yang
lebih parah dari apa yang telah kita sebutkan di atas”. [3]

Di bawah ini, akan dijelaskankan tentang siapa yang berhak


menjadi imam, dan beberapa adab berkaitan dengannya,
sebagaimana point-point berikut ini.

Pertama : Menimbang Diri, Apakah Dirinya Layak Menjadi Imam


Untuk Jama’ah, Atau Ada Yang Lebih Afdhal Darinya?
Penilaian ini tentu berdasarkan sudut pandang syari’at.
Diantara yang harus menjadi penilaiannya ialah: [4]
1). Jika seseorang sebagai tamu, maka yang berhak menjadi
imam ialah tuan rumah, jika tuan rumah layak menjadi imam.

2). Penguasa lebih berhak menjadi imam, atau yang


mewakilinya. Maka tidaklah boleh maju menjadi imam, kecuali
atas izinnya. Begitu juga orang yang ditunjuk oleh penguasa
sebagai imam, yang disebut dengan imam rawatib.

3). Kefasihan dan kealiman dirinya. Maksudnya, jika ada yang


lebih fasih dalam membawakan bacaan Al Quran dan lebih
‘alim, sebaiknya dia mendahulukan orang tersebut. Hal ini
ditegaskan oleh hadits yang diriwayatkan Abi Mas`ud Al Badri
Radhiyallahu ‘anhu , dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:

ً‫ فَإ ِ ْن َكانُوْ ا فِى ال ُّسنَّ ِة َس َوا ٌء فَأ َ ْق َد ُمهُ ْم ِهجْ َرة‬، ‫ فَإ ِ ْن َكانُوْ ا فِى ْالقِ َرا َء ِة َس َوا ٌء فَأ َ ْعلَ ُمهُ ْم بِال ُّسنَّ ِة‬، ِ‫ب هللا‬ ِ ‫يَ ُؤ ُّم ْالقَوْ َم أَ ْق َر ُؤهُ ْم لِ ِكتَا‬
: ‫ َو الَ يَ ُؤ َّم َّن ال َّر ُج ُل ال َّرج َُل فِي س ُْلطَانِه (وفى رواية‬،)‫ ِسنًّا‬: ‫(وفِى ِر َوايَ ٍة‬ َ ‫ فَإ ِ ْن َكانُوْ ا فِى ْال ِهجْ َر ِة َس ِوا ٌء فَأ َ ْق َد ُمهُ ْم ِس ْل ًما‬،
‫فِي بَ ْيتِ ِه) َو الَ يَ ْق ُع ْد َعلَى تَ ْك ِر َمتِ ِه إِاَّل بِإ ِ ْذنِ ِه‬

“Yang (berhak) menjadi imam (suatu) kaum, ialah yang paling


pandai membaca Kitabullah. Jika mereka dalam bacaan sama,
maka yang lebih mengetahui tentang sunnah. Jika mereka
dalam sunnah sama, maka yang lebih dahulu hijrah. Jika
mereka dalam hijrah sama, maka yang lebih dahulu masuk
Islam (dalam riwayat lain: umur). Dan janganlah seseorang
menjadi imam terhadap yang lain di tempat kekuasaannya
(dalam riwayat lain: di rumahnya). Dan janganlah duduk di
tempat duduknya, kecuali seizinnya” [5]

4). Seseorang tidak dianjurkan menjadi imam, apabila jama’ah


tidak menyukainya. Dalam sebuah hadits disebutkan:

ِ ‫ َر ُج ٌل أَ َّم قَوْ ًما َوه ْم لَهُ َك‬: ‫ق ُر ُؤوْ ِس ِه ْم ِش ْبرًا‬


َ‫ارهُوْ ن‬ َ ‫…ثَالثَةٌ الَ تَرْ تَفِ ُع‬
َ ْ‫صالَتُهُ ْم فَو‬

“Tiga golongan yang tidak terangkat shalat mereka lebih satu


jengkal dari kepala mereka: (Yaitu) seseorang menjadi imam
suatu kaum yang membencinya”[6]

Berkata Shiddiq Hasan Khan rahimahullah, “Dhahir hadits yang


menerangkan hal ini, bahwa tidak ada perbedaan antara orang-
orang yang membenci dari orang-orang yang mulia (ahli ilmu,
pent), atau yang lainnya. Maka, dengan adanya unsur
kebencian, dapat menjadi udzur bagi yang layak menjadi imam
untuk meninggalkannya”.
Kebanyakan, kebencian yang timbul terkhusus pada zaman
sekarang ini -berasal dari permasalahan dunia. Jika ada di
sana dalil yang mengkhususkan kebencian, karena kebencian
(didasarkan, red.) karena Allah, seperti seseorang membenci
orang yang bergelimang maksiat, atau melalaikan kewajiban
yang telah dibebankan kepadanya, maka kebencian ini
bagaikan kibrit ahmar (ungkapan untuk menunjukkan sesuatu
yang sangat langka, pen.). Tidak ada hakikatnya, kecuali pada
bilangan tertentu dari hamba Allah. (Jika) tidak ada dalil yang
mengkhususkan kebencian tersebut, maka yang lebih utama,
bagi siapa yang mengetahui, bahwa sekelompok orang
membencinya -tanpa sebab atau karena sebab agama- agar
tidak menjadi imam untuk mereka, pahala meninggalkannya
lebih besar dari pahala melakukannya.[7]

Berkata Ahmad dan Ishaq,“Jika yang membencinya satu, dua


atau tiga, maka tidak mengapa ia shalat bersama mereka,
hingga dibenci oleh kebanyakan kaum.” [8]

Kedua : Seseorang Yang Menjadi Imam Harus Mengetahui


Hukum-Hukum Yang Berkaitan Dengan Shalat, Dari Bacaan-
Bacaan Shalat Yang Shahih, Hukum-Hukum Sujud Sahwi Dan
Seterusnya.
Karena seringkali kita mendapatkan seorang imam memiliki
bacaan yang salah, sehingga merubah makna ayat,
sebagaimana yang pernah penulis dengar dari sebagian imam
sedang membawakan surat Al Lumazah, dia
mengucapkan”Allazi jaama`a maalaw wa `addadah”, dengan
memanjangkan “Ja”, sehingga artinya berubah dari arti
‘mengumpulkan’ harta, menjadi ‘menyetubuhi’nya [9] .
Na`uzubillah.

Ketiga : Mentakhfif Shalat.


Yaitu mempersingkat shalat demi menjaga keadaan jama’ah
dan untuk memudahkannya. Batasan dalam hal ini, ialah
mencukupkan shalat dengan hal-hal yang wajib dan yang
sunat-sunat saja, atau hanya mencukupkan hal-hal yang
penting dan tidak mengejar semua hal-hal yang dianjurkan[10].
Diantara nash yang menerangkan hal ini, ialah hadist yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu:
‫صلَّى لِنَ ْف ِس ِه فَ ْليُ ِطلْ َما َشا َء‬
َ ‫ َو إِ َذا‬،‫ف فَإ ِ َّن فِ ْي ِه ُم ال َّسقِ ْي َم َو الض َِّع ْيفَ َو ْال َكبِ ْي َر‬
ْ ِّ‫اس فَ ْليُخَ ف‬
ِ َّ‫صلَّى أَ َح ُد ُك ْم لِلن‬
َ ‫إِ َذا‬

“Jika salah seorang kalian shalat bersama manusia, maka


hendaklah (dia) mentakhfif, karena pada mereka ada yang
sakit, lemah dan orang tua. (Akan tetapi), jika dia shalat
sendiri, maka berlamalah sekehandaknya” [11]

Akan tetapi perlu diingat, bahwa takhfif merupakan suatu


perkara yang relatif. Tidak ada batasannya menurut syari’at
atau adat. Bisa saja menurut sebagian orang pelaksanaan
shalatnya terasa panjang, sedangkan menurut yang lain terasa
pendek, begitu juga sebaliknya. Oleh karenanya, hendaklah
bagi imam -dalam hal ini- mencontoh yang dilakukan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa penambahan ataupun
pengurangan yang dilakukan beliau n dalam shalat, kembali
kepada mashlahat. Semua itu, hendaklah dikembalikan kepada
sunnah, bukan pada keinginan imam, dan tidak juga kepada
keinginan makmum.[12]

Keempat : Kewajiban Imam Untuk Meluruskan Dan Merapatkan


Shaf.
Ketika shaf dilihatnya telah lurus dan rapat, barulah seorang
imam bertakbir, sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengerjakannya.

Dari Nu`man bin Basyir Radhiyallahu ‘anhu berkata,”Adalah


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meluruskan shaf kami.
Seakan-akan beliau meluruskan anak panah. Sampai beliau
melihat, bahwa kami telah memenuhi panggilan beliau.
Kemudian, suatu hari beliau keluar (untuk shalat). Beliau
berdiri, dan ketika hendak bertakbir, nampak seseorang
kelihatan dadanya maju dari shaf. Beliaupun berkata:

‫صفُوْ فَ ْ ُكم أَوْ لَيُ َخالِفُ َّن هللا ُبَ ْينَ ُوجُوْ ِه ُك ْم‬
ُ ‫لَتُ َس ُّو َّن‬

“Hendaklah kalian luruskan shaf kalian, atau Allah akan


memecah-belah persatuan kalian” [13]
Adalah Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu mewakilkan
seseorang untuk meluruskan shaf. Beliau tidak akan bertakbir
hingga dikabarkan, bahwa shaf telah lurus. Begitu juga Ali dan
Utsman c melakukannya juga. Ali sering berkata,”Maju, wahai
fulan! Ke belakang, wahai fulan!”[14]

Salah satu kesalahan yang sering terjadi, seorang imam


menghadap kiblat dan dia mengucapkan dengan suara
lantang,”Rapat dan luruskan shaf,” kemudian dia langsung
bertakbir. Kita tidak tahu, apakah imam tersebut tidak tahu
arti rapat dan lurus. Atau rapat dan lurus yang dia maksud
berbeda dengan rapat dan lurus yang dipahami oleh semua
orang?!

Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Adalah salah


seorang kami menempelkan bahunya ke bahu kawannya,
kakinya dengan kaki kawannya.” Dalam satu riwayat
disebutkan,“Aku telah melihat salah seorang kami
menempelkan bahunya ke bahu kawannya, kakinya dengan
kaki temannya. Jika engkau lakukan pada zaman sekarang,
niscaya mereka bagaikan keledai liar (tidak suka dengan hal
itu, pen).”[15]

Oleh karenanya, Busyair bin Yasar Al Anshari berkata, dari


Anas Radhiyallahu ‘anhu,“Bahwa ketika beliau datang ke
Madinah, dikatakan kepadanya,’Apa yang engkau ingkari pada
mereka semenjak engkau mengenal Rasulullah n ?’ Beliau
menjawab,’Tidak ada yang aku ingkari dari mereka, kecuali
mereka tidak merapatkan shaf’.” [16]

Berkata Syaikh Masyhur bin Hasan-hafizhahullah-,“Jika para


jama’ah tidak mengerjakan apa yang dikatakan oleh Anas dan
Nu`man Radhiyallahu ‘anhu, maka celah-celah tetap ada di
shaf. Kenyataanya, jika shaf dirapatkan, tentu shaf dapat diisi
oleh dua atau tiga orang lagi. Akan tetapi, jika mereka tidak
melakukannya, niscaya mereka akan jatuh ke dalam larangan
syari’at. Diantaranya;
1). Membiarkan celah untuk syetan dan Allah Azza wa Jalla
putuskan perkaranya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh
Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Luruskanlah shaf
kalian, dan luruskanlah pundak-pundak kalian, dan tutuplah
celah-celah. Jangan biarkan celah-celah tersebut untuk
syetan. Barangsiapa yang menyambung shaf, niscaya Allah
akan menyambung (urusan)nya. Barangsiapa yang
memutuskan shaf, niscaya Allah akan memutus
(urusan)nya.”[17]

2). Perpecahan hati dan banyaknya perselisihan diantara


jama’ah.

3). Hilangnya pahala yang besar, sebagaimana diterangkan


dalam hadits shahih, diantaranya sabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam,

َ‫ْونَ الصُّ فُوْ ف‬Vُُْ ‫صل‬


ِ َ‫ص ُّلوْ نَ َعلَى الَّ ِذ ْينَ ي‬
َ ُ‫إِ َّن هللا ََو َمالئِ َكتَهُ ي‬

“Sesungguhnya Allah dan MalaikatNya mendo’akan kepada


orang yang menyambung shaf” [18 [19]

Kelima : Meletakkan Orang-Orang Yang Telah Baligh Dan


Berilmu.

Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu


‘alaihi wa sallm:

ُ ‫لِيَلِيَنِ ْي ِم ْن ُك ْم أُوْ لُوْ ا ْاألَحْ الَ َم َو النُّهَى ثُ َّم الَّ ِذ ْينَ َيلُوْ نَهُ ْم ثُ َّم الَّ ِذ ْينَ يَلُوْ نَهُ ْم َوالَ ت َْختَلِفُوْ ا فَت َْختَلِفَ قُلُوْ بُ ُك ْم َوإِيَّا ُك ْم َو هَ ْي َش‬
‫ات‬
ِ ‫ْاألَس َْو‬
‫اق‬

“Hendaklah yang mengiringiku orang-orang yang telah baligh


dan berakal, kemudian orang-orang setelah mereka, kemudian
orang-orang setelah mereka, dan janganlah kalian berselisih,
niscaya berselisih juga hati kalian, dan jauhilah oleh kalian
suara riuh seperti di pasar” [20].
Keenam : Menjadikan Sutrah (Pembatas) Ketika Hendak
Shalat.
Hadits yang menerangkan hal ini sangat mashur. Diantaranya
hadits Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu :

َ‫ فَإ ِ َّن َم َعهُ القَ ِر ْين‬،ُ‫ فَإ ِ ْن أَبَى فَ ْليُقَاتِ ْله‬،َ‫ َو الَ تَ َد ْع أَ َحدًا يَ ُمرُّ بَ ْينَ يَ َد ْيك‬، ‫صلِّ إِالََّ إِلَى ُس ْت َر ٍة‬
َ ُ‫الَ ت‬

“Janganlah shalat, kecuali dengan menggunakan sutrah


(pembatas). Dan jangan biarkan seseorang lewat di
hadapanmu. Jika dia tidak mau, maka laranglah dia,
sesungguhnya bersamanya jin.” [22]

Sedangkan dalam shalat berjama’ah, maka kewajiban


mengambil sutrah ditanggung oleh imam. Hal ini tidak
perselisihan di kalangan para ulama.[23]

Nabi telah menerangkan, bahwa lewat di hadapan orang yang


shalat merupakan perbuatan dosa. Beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,“Jika orang yang lewat di hadapan orang
shalat mengetahui apa yang dia peroleh (dari dosa, pen),
niscaya (dia) berdiri selama empat puluh, (itu) lebih baik
daripada melewati orang yang sedang shalat tersebut.”

Salah seorang rawi hadits bernama Abu Nadhar berkata,“Aku


tidak tahu, apakah (yang dimaksud itu, red.) empat puluh hari
atau bulan atau tahun.[24]

Ketujuh : Menasihati Jama’ah, Agar Tidak Mendahului Imam


Dalam Ruku’ Atau Sujudnya, Karena (Seorang) Imam Dijadikan
Untuk Diikuti.
Imam Ahmad berkata,“Imam (adalah) orang yang paling layak
dalam menasihati orang-orang yang shalat di belakangnya, dan
melarang mereka dari mendahuluinya dalam ruku’ atau sujud.
Janganlah mereka ruku’ dan sujud serentak (bersamaan)
dengan imam. Akan tetapi, hendaklah memerintahkan mereka
agar rukuk dan sujud mereka, bangkit dan turun mereka
(dilakukannya) setelah imam. Dan hendaklah dia berbaik dalam
mengajar mereka, karena dia bertanggung jawab kepada
mereka dan akan diminta pertanggungjawaban besok. Dan
seharusnyalah imam meperbaiki shalatnya, menyempurnakan
serta memperkokohnya. Dan hendaklah hal itu menjadi
perhatiannya, karena, jika dia mendirikan shalat dengan baik,
maka dia pun memperoleh ganjaran yang serupa dengan orang
yang shalat di belakangnya. Sebaliknya, dia berdosa seperti
dosa mereka, jika dia tidak menyempurnakan shalatnya.”[25]

Kedelapan : Dianjurkan bagi imam, ketika dia ruku’ agar


memanjangkan sedikit ruku’nya, manakala merasa ada yang
masuk, sehingga (yang masuk itu) dapat memperoleh satu
raka’at, selagi tidak memberatkan makmum, karena
kehormatan orang-orang yang makmum lebih mulia dari
kehormatan orang yang masuk tersebut.

Demikianlah sebagian adab-adab imam yang dapat kami


sampaikan. Insya Allah, pada mendatang akan kami terangkan
adab-adab makmun.
Wallahu `a`lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun


VII/1424H/2003M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah
Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo
Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. HR Muslim no. 436.
[2]. Kitab Mulakhkhsul Fiqhi, Syaikh Shalih bin Fauzan,
halaman 1/149.
[3]. Kitab Akhtha-ul Mushallin, Syaikh Masyhur Hasan Al
Salman, halaman 249.
[4]. Ibid, halaman 1/151.
[5]. HR Muslim 2/133. Lihat Irwa` Ghalil 2/256-257.
[6]. HR Ibnu Majah no. 971. Berkata Syaikh Khalil Makmun
Syikha,“Sanad ini shahih, dan rijalnya tsiqat.” Hadits ini juga
diriwayatkan melalui jalan Thalhah, Abdullah bin Amr dan Abu
Umamah c . Berkata Shiddiq Hasan Khan,“Dalam bab ini,
banyak hadits dari kelompok sahabat saling menguatkan satu
sama lain.” (Lihat Ta`liqatur Radhiyah, halaman 1/336.
[7]. Ta`liqatur Radhiyah, halaman 1/337-338.
[8]. Lihat Dha`if Sunan Tirmizi, halaman 39.
[9]. Sebagaimana yang dikisahkan kepada penulis, bahwa
seorang imam berdiri setelah raka’at keempat pada shalat
ruba`iah (empat raka`at). Ketika dia berdiri, maka bertasbihlah
para makmun yang berada di belakangnya, sehingga membuat
masjid menjadi riuh. Tasbih makmum malah membuat imam
bertambah bingung. Apakah berdiri atau bagaimana!? Setelah
lama berdiri, hingga membuat salah seorang makmun
menyeletuk,”Raka’atnya bertambaaah, Pak!!” Lihat, bagaimana
imam dan makmum tersebut tidak mengetahui tata cara shalat
yang benar.
[10]. Shalatul Jama’ah, Syaikh Shalih Ghanim Al Sadlan,
halaman 166, Darul Wathan 1414 H.
[11]. HR Bukhari, Fathul Bari, 2/199, no. 703.
[12]. Shalatul Jama’ah, halaman 166-167.
[13]. HR Muslim no. 436.
[14]. Lihat Jami` Tirmidzi, 1/439; Muwaththa`, 1/173 dan Al
Umm, 1/233.
[15]. HR Abu Ya`la dalam Musnad, no. 3720 dan lain-lain,
sebagimana dalam Silsilah Shahihah, no. 31.
[16]. HR Bukhari no. 724, sebagaimana dalam kitab Akhtha-ul
Mushallin, Syaikh Masyhur Hasan, halaman 207.
[17]. HR Abu Daud dalam Sunan, no. 666, dan lihat Shahih
Targhib Wa Tarhib, no. 495.
[18]. HR Ahmad dalam Musnad, 4/269, 285,304 dan yang
lainnya. Hadistnya shahih.
[19]. Lihat Akhtha-ul Mushallin, halaman 210-211.
[20]. HR Muslim no. 432 dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahih, no.
1572.
[21]. Pembatas yang sah untuk dijadikan sutrah adalah
setinggi beban unta, yaitu kira-kira satu hasta. Lihat Akhtha-ul
Mushallin, halaman 83.
[22]. HR Muslim no. 260 dan yang lain.
[23]. Fathul Bari, 1/572.
[24]. HR Bukhari 1/584 no. 510 dan Muslim 1/363 no. 507.
[25]. Kitab Shalat, halaman 47-48, nukilan dari kitab Akhtha-ul
Mushallin, halaman 254.
[26]. “Al-Mulakhkhashul Fiqhi” Hal. (159)
Read more https://almanhaj.or.id/2486-adab-adab-imam-dalam-
shalat-berjamaah.html

Anda mungkin juga menyukai