harus dijaga
pabrikjammasjid.com/imam-sholat-masjid/
July 5, 2021
Di dalam Islam, Imam Sholat dan Imam Masjid merupakan satu kesatuan. Karenanya,
menjadi Imam masjid merupakan posisi yang agung dan penting. Tidak setiap orang
boleh untuk menjadi imam masjid untuk mengimami shalat kaum Muslimin.
Ada sejumlah kriteria yang harus dipenuhi. Berikut ini adalah penjelasan tentang orang
yang berhak menjadi imam masjid.
1/13
7. Menghadap ke para makmum dengan wajahnya jika telah mengucapkan salam.
8. Tidak mengkhususkan dirinya dengan doa yang diaminkan oleh para makmum tanpa
menyertakan para makmum.
9. Tidak shalat di tempat yang sangat tinggi dari para makmum kecuali ada sebagian shaf
makmum yang bersamanya maka itu tidak mengapa.
10. Tidak shalat di sebuah tempat yang tertutup di dalamnya dari seluruh makmum.
11. Tidak memperlama duduk menghadap kiblat setelah salam
12. Berpaling ke para makmum setelah salam kadang ke sebelah kanannya dan kadang
ke sebelah kirinya, tidak masalah ke arah mana pun.
13. Mengambil sutrah karena sutrah itu menjadi sutrahnya dan orang di belakangnya.
Referensi Penulisan Imam Sholat Masjid
Share this:
1. Muslim.
Yakni, seorang imam masjid tidak melakukan bid’ah yang menyebabkan pelakunya
keluar dari Islam. Contohnya adalah melakukan thawwaf di kuburan dalam rangka
taqarrub kepada penghuninya, mempersembahkan sembelihan dan nadzar untuk
mereka, berdoa dan minta pertolongan kepada mereka.
3. Lelaki
Apabila di kalangan makmum ada yang lelaki. Ini merupakan madzhab salaf dan khalaf,
serta madzhab Fuqaha’ yang tujuh serta Imam Empat Madzhab dan selain mereka.
Imam An Nawawi berkata dalam kitab Al Majmu’, ’Para ulama telah berijma’ atas
keharaman shalat di belakang orang yang berhadats.”
5. Berakal
7. Mampu membaca al Fatihah dan apa saja yang menjadikan shalatnya sah.
8. Tidak menjadi seorang makmum pada saat itu atau pada asalnya makmum
seperti orang yang masbuq yang mengganti rakaat yang dia tertinggal.[i]
2/13
Sumber: https://www.facequizz.com/
Beliau menjawab,” Wajib atas para pemilik kewenangan (para pemimpin) untuk
memeriksa imam agar orang yang menjadi imam itu orang yang memang layak untuk
menduduki posisi imam karena ‘adalah- nya (jauh dari dosa besar dan tidak terus
menerus melakukan dosa -dosa kecil dan menjauhi hal -hal yang meruntuhkan martabat
(muruah), pent), agamanya, ilmunya dan keutamaannya, bagus bacaan qurannya
sehingga mereka bisa memilih yang paling utama kemudian yang di bawah mereka
kualitasnya.
Nabi bersabda:
“Yang berhak menjadi imam suatu kaum -waktu shalat- ialah yang terbaik bacaannya
terhadap kitabullah -al-Quran-.
Jikalau semua jamaah di situ sama baiknya dalam membaca kitabullah, maka yang
terpandai dalam as-Sunnah -Hadits-.
3/13
Jikalau semua sama pandainya dalam as-Sunnah, maka yang terdahulu hijrahnya.
Jikalau dalam hijrahnya sama dahulunya, maka yang tertua usianya.
Janganlah seorang itu menjadi imamnya seorang yang lain dalam daerah kekuasaan
orang lain itu dan jangan pula seorang itu duduk dalam rumah orang lain itu di atas
bantalnya -orang lain tadi-, kecuali dengan izinnya -yang memiliki bantal tersebut-.”
(Riwayat Muslim)
Dalam riwayat lain disebutkan oleh Imam Muslim: “Maka yang terdahulu masuknya
Islam” sebagai ganti “yang tertua usianya.”
Maka hendaklah para pemilik kewenangan agar memeriksa keadaan imam dan
mendahulukan yang paling utama baru kemudian yang di bawahnya dari sisi agama dan
‘adalah-nya dan bacaan Al Quran dan ilmu. Yang paling utama kemudian yang berada di
bawahnya.”[ii]
1. Bahwa yang paling berhak untuk menjadi imam adalah yang paling baik bacaan al
Qurannya. Apabila orang-orang itu setara dalam bacaan Al Quran maka yang
paling mengetahui sunnah. Jika mereka setara dalam pengetahuan tentang sunnah
maka yang paling dahulu hijrahnya dan jika masih setara maka yang paling tua
usianya.
2. Bahwa sulthan (pemimpin) dan tuan rumah, dan pemimpin majlis dan imam masjid
itu yang lebih berhak atas imamah daripada yang lainnya selama salah seorang
dari mereka tidak memberikan ijin.
3. Keutamaan hijrah dan keutamaan keterdahuluan dalam Islam.
4. Dan dalam sabda Rasul ( ” “ﯾَ ُﺆ ﱡم اﻟ َﻘ ْﻮ َمYang berhak menjadi imam suatu kaum -waktu
shalat-) itu terdapat hujjah bagi larangan imamah wanita atas laki-laki karena
lafazhnya adalah اﻟ َﻘ ْﻮ َمyang berarti ini khusus untuk lelaki.[iii]
4/13
Sumber: https://www.sayidaty.net/
Imam sholat di masjid memiliki tugas dan tanggung jawab yang banyak yang harus dia
tunaikan. Berikut ini adalah sebagian di antara tugas dan tanggung jawab imam sholat
masjid:
1. Menjaga shalat jamaah, tidak ketinggalan dari jamaahnya atau terlambat dari
mereka atau memberatkan mereka.
Apabila dia melihat tidak memungkinkan untuk hadir maka dia harus mencari
penggantinya untuk menjalankan tugasnya.
5/13
Dari Abu sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah melihat kelambatan
pada sejumlah sahabatnya, maka beliau bersabda kepada mereka:
ﻻ ﯾﺰال ﻗﻮم ﯾﺘﺄﺧﺮون ﺣﺘﻰ ﯾﺆﺧﺮﻫﻢ اﷲ، وﻟﯿﺄﺗﻢ ﺑﻜﻢ ﻣﻦ ﺑﻌﺪﻛﻢ،ﺗﻘﺪﻣﻮا ﻓﺄﺗﻤﻮا ﺑﻲ
ﺛﻢ أﺧﺎﻟﻒ إﻟﻰ ﻣﻨﺎزل ﻗﻮم ﻻ ﯾﺸﻬﺪون اﻟﺼﻼة ﻓﺄﺣﺮق ﻋﻠﯿﻬﻢ،ﻟﻘﺪ ﻫﻤﻤﺖ أن آﻣﺮ ﺑﺎﻟﺼﻼة ﻓﺘﻘﺎم
Ini menjadi dalil bahwa seorang imam sholat hendaknya memeriksa orang-orang yang
shalat bersamanya dan mengingatkan dengan baik orang-orang yang berlambat-lambat,
dan hendaklah dia menjalankan kewajiban memberikan nasihat kepada mereka.
4. Memikat hati manusia dan menjadikan mereka suka untuk bolak balik ke masjid
dan menjaga shalat jamaah.
Seorang imam sholat masjid harus memahami sunnah Nabi Muhammad dalam
menjaga keadaan orang-orang yang shalat dalam bentuk tidak memberatkan mereka
dengan memperpanjang shalat, menyusahkan mereka dan membuat mereka menjauh
dari masjid.
Oleh karena itu, Nabi menghasung agar meringankan shalat dan memperingatkan
dalam sebuah nasehat yang kuat agar tidak membuat orang berlari menjauh.
Dalam sebuah riwayat dari Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, seseorang berkata,’Wahai
Rasulullah. Sungguh aku benar-benar aku sengaja mengakhirkan shalat subuh karena
perbuatan fulan. Ia memanjangkan (bacaan shalat) saat mengimami kami.”
Abu Mas’ud berkata, “Sungguh, aku belum pernah melihat Rasulullah sangat marah
ketika menyampaikan peringatan melebihi kemarahan beliau pada hari tersebut.”
Beliau bersabda:
6/13
“Sungguh, di antara kalian ada orang yang membuat manusia lari! Siapa pun di antara
kalian mengimami manusia, ringankanlah! Sebab, di antara mereka ada orang yang
lemah, tua renta, atau memiliki keperluan.” [HR Al Bukhari no. 702 dan Muslim no. 466]
ﺎﺿ َﺤ ُﻪ َوأَ ْﻗﺒَ َﻞ إِﻟَﻰ ِ َ َﻓﺘَ َﺮ َك ﻧ، ُﺼﻠﱢﻲ َ ﺎذا ﯾً َﻓ َﻮا َﻓ َﻖ ُﻣ َﻌ، ﺎﺿ َﺤ ْﯿﻦ َو َﻗ ْﺪ َﺟﻨَ َﺢ اﻟﻠﱠْﯿ ُﻞ ٌ َ َ َ
ِ ِ َ أ ْﻗﺒَﻞ َر ُﺟﻞ ﺑِﻨ: َﻗﺎل، ﺎر ﱠي ِﺼ
َ ِاﷲ
َ اﻷ ْﻧ وﻋﻦ َﺟﺎﺑِ َﺮ ْﺑ َﻦ َﻋ ْﺒ ِﺪ ﱠ
َﻓ َﺸ َﻜﺎ إِﻟَْﯿ ِﻪ، اﷲُ َﻋﻠَْﯿ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ
ﺻﻠﱠﻰ ﱠ َ َﻓﺄَﺗَﻰ اﻟﻨﱠﺒِ ﱠﻲ، ﺎل ِﻣ ْﻨ ُﻪَ َﺎذا ﻧً اﻟﺮ ُﺟ ُﻞ َوﺑَﻠَ َﻐ ُﻪ أَ ﱠن ُﻣ َﻌ
ﻮر ِة اﻟﺒَ َﻘ َﺮ ِة – أَ ِو اﻟﻨﱢ َﺴﺎ ِء – َﻓﺎ ْﻧ َﻄﻠَ َﻖ ﱠ
َ َﻓ َﻘ َﺮأَ ﺑِ ُﺴ، ُﻣ َﻌﺎ ٍذ
َو ﱠ، ﱢﻚ َ اﺳ َﻢ َرﺑ ﻻ َﱠ َ َﻓﻠَ ْﻮ: ار
ٍ ﻼ َث ِﻣ َﺮ َ َﺎن أَْﻧ َﺖ – أَ ْو أَ َﻓﺎﺗِ ٌﻦ – ﺛ ٌ أَ َﻓﺘﱠ، ﺎذ
ُ ﯾَﺎ ُﻣ َﻌ: اﷲُ َﻋﻠَْﯿ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢﺻﻠﱠﻰ ﱠ َ َﻓ َﻘ، ﺎذاً ُﻣ َﻌ
ﺲ ِ اﻟﺸ ْﻤ ْ ﱢﺢ ِ ﺻﻠ ْﯿ َﺖ ﺑِ َﺴﺒ َ ﺎل اﻟﻨﱠﺒِ ﱡﻲ
ﺎﺟ ِﺔَ اﻟﺤَ ﯿﻒ َو ُذو ُ اﻟﻀ ِﻌﯿﺮ َو ﱠ ُ ُِﺼﻠﱢﻲ َو َرا َء َك اﻟ َﻜﺒ َ َﻓﺈِﻧﱠ ُﻪ ﯾ، َواﻟﻠﱠْﯿ ِﻞ إِ َذا ﯾَ ْﻐ َﺸﻰ، ﺎﻫﺎ َ ﺿ َﺤ ُ َو
Dari Jabir bin ‘Abdullah Al Anshari, ia berkata, “Seorang laki-laki datang dengan
membawa dua unta yang baru saja diberinya minum saat malam sudah gelap gulita.
Laki-laki itu kemudian meninggalkan untanya dan ikut shalat bersama Mu’adz.
Dalam shalatnya Mu’adz membaca surah Al Baqarah atau surah An Nisaa’ sehingga laki-
laki tersebut meninggalkan Mu’adz. Maka sampailah kepadanya berita bahwa Mu’adz
mengecam tindakannya.
Akhirnya laki-laki tersebut mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengadukan
persoalannya kepada beliau. Nabi lalu bersabda, “Wahai Mu’adz, apakah kamu
membuat fitnah?” Atau kata Beliau: “Apakah kamu menjadi pembuat fitnah? -Beliau
ulangi perkataannya tersebut hingga tiga kali-
“Mengapa kamu tidak membaca saja surat ‘Sabbihisma rabbika’, atau dengan
‘Wasysyamsi wa dhuhaahaa’ atau ‘Wallaili idzaa yaghsyaa’? Karena yang ikut shalat di
belakangmu mungkin ada orang yang lanjut usia, orang yang lemah atau orang yang
punya keperluan.” [HR Al Bukhari no. 705]
Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata,”Dalam hadits ini ada anjuran untuk
meringankan shalat untuk menjaga keadaan para makmum. Adapun orang yang
berkata: ‘Memanjangkan shalat itu tidak dibenci bila diketahui ada kerelaan dari para
makmum.’
Ada masalah pada hal ini. Sesungguhnya seorang imam terkadang tidak mengetahui
keadaan orang yang datang dan bermakmum kepadanya setelah dia masuk ke dalam
shalat sebagaimana hadits dalam bab ini. Berdasarkan hal ini, memanjangkan shalat ini
dibenci secara mutlak.
Kecuali bila diharuskan atas seseorang yang mengimami suatu kaum yang terbatas yang
mereka itu rela dengan shalat yang panjang di sebuah tempat yang tidak akan dimasuki
oleh selain mereka.” [Fathul Bari karya Ibnu Hajar, Penerbit Darul Ma’rifah: 2/ 197]
Hal ini bukan berarti bahwa seorang imam sholat masjid kemudian meringankan shalat
sampai pada tingkat menggugurkan yang wajib dengan alasan untuk menjaga manusia.
Sungguh ini kerusakan besar.
Akan tetapi yang dimaksud dengan meringankan shalat adalah bersikap pertengahan
dalam urusan tersebut dan merasa bertanggung jawab untuk melaksanakan pekerjaan
tersebut dan berupaya untuk memikat hati manusia dan bekerja untuk membuat manusia
7/13
suka menjalankan apa yang Allah fardhukan atas mereka, sambil menyempurnakan
shalat di seluruh hal yang Allah wajibkan dalam shalat.
Hal-hal yang diwajibkan dalam shalat tersebut bisa berupa bacaan, tumakninah,
menyempurnakan ruku’dan sujud, tasbih dan tahmid dan semua yang wajib.
Di antara buah dari hal tersebut adalah pengaruh imam kepada makmum, mereka
mendengar kepada arahan-arahannya , kelapangan dada mereka terhadap apa yang dia
sampaikan dan yang dia inginkan dari mereka.
Hal ini termasuk bagian penting dari tanggung jawab seorang imam sholat masjid.
Jamaah shalat itu hanya percaya kepada imam yang memiliki kapasitas, memiliki rekam
jejak yang baik, akhlak yang baik, yang sesuai antara perkataan dengan perbuatan.
Selain itu juga berpegang teguh dengan petunjuk Nabi dalam perkataan dan
perbuatannya dan mengambil teladan kepada akhlak Nabi , sifat -sifatnya yang agung
berupa sabar, penuh empati, santun, adil, murah hati, rasa malu, jujur, dan seluruh akhlak
mulia.
Demikian ulasan singkat tentang tugas dan tanggung jawab imam masjid. Semoga
bermanfaat.[iv]
8/13
Sumber: youm7.com
Menjadi Imam shalat di masjid merupakan sebuah keutamaan dalam Islam. Dalam
pelaksanaannya, seorang Imam Masjid harus memenuhi sejumlah adab saat mengimami
kaum Muslimin dalam shalat berjama’ah.
Dr. Sa’id bin Ali bin Wahf Al Qahthani menerangkan adab-adab dan sunnah ketika
menjadi imam sholat di masjid dengan sistematis dan berdasarkan dalil-dalil yang shahih
sebagai berikut:
Meringankan shalat itu persoalan yang bersifat nisbi. Hal ini dikembalikan kepada apa
yang dikerjakan oleh Nabi , yang senantiasa beliau lakukan. Dan petunjuk yang
senantiasa beliau tekuni itulah yang menjadi hakim atas persoalan yang diperselisihkan
oleh manusia.
Telah banyak hadits shahih yang menjelaskan bacaan Nabi dalam shalat lima waktu,
dan sudah dijelaskan dalam sifat shalat. Maka, perbuatan Nabi itulah yang dimaksud
dengan meringankan shalat yang beliau perintahkan.
9/13
Oleh karena itu, Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, ”Rasulullah dahulu
memerintahkan untuk meringankan shalat dan mengimami kami dengan Ash Shaffaat.”
[HR An Nasai no. 826 dan dishahihkan oleh Al Albani dan Shahih Sunan An Nasai 1/272]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, ”Dengan demikian, membaca surat Ash-
Shafaat termasuk meringankan shalat yang diperintahkan oleh Nabi . Wallahu a’lam.”
[Zaadul Ma’ad 1/214]
Termasuk di dalamnya adalah mengatur jama’ah yang shalat dengan cara duduk.
Bagaimana agar mereka tidak terdiskriminasi di dalam masjid. Masjid harus ramah
terhadap jama’ah disabilitas.
Berdasarkan hadits Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, ”Suatu kali shalat
zhuhur sudah didirikan, lalu ada seseorang yang pergi menuju ke Baqi’ untuk buang hajat
kemudian pulang ke keluarganya, berwudhu terus kembali ke masjid sementara
Rasulullah masih di rakaat pertama karena beliau memanjangkannya.” [Muslim no.
454]
”Sungguh aku mengimami shalat mereka dengan shalat Rasulullah . Aku panjangkan
dua rakaat pertama dan aku pendekkan dua rakaat yang lain dan aku tidak melampaui
apa yang aku teladani dari shalat Rasulullah .” [Muttafaq ‘alaih: Al Bukhari no. 770 dan
Muslim no. 453]
Jabir berkata, ”Isya’ terkadang jika beliau melihat mereka telah berkumpul maka beliau
segerakan dan jika beliau melihat mereka lambat datang maka beliau akhirkan.”
[Muttafaq ‘alaih: Al Bukhari no. 560 dan Muslim no. 646]
Namun untuk shalat selain isya’ maka beliau melaksanakannya di awal waktu selain
shalat zhuhur karena sedemikian panasnya. [Lihat Syarh Al Mumti’ karya Ibnu Utsaimin,
4/276-277]
10/13
Karenanya, meski jam iqomah digital berbunyi, imam sholatlah yang berhak menentukan
untuk mendirikan shalat atau menundanya karena kepentingan jama’ah.
Berdasarkan hadits riwayat Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu secara marfu’:
“Imam jangan shalat di tempat yang dia pakai shalat di situ sampai dia bergeser dari
tempatnya.” [HR Abu Dawud no. 616 dan Ibnu Majah no. 1428 dan dishahihkan oleh Al
Albani.]
Dari Ali radhiyallahu ‘anhu ia berkata,”Jika seorang imam telah mengucapkan salam,
jangan melakukan shalat tathawwu’ sampai dia bergeser dari tempatnya atau dia
memisah antara kedua shalat itu dengan pembicaraan.” [Al Mushannaf karya Ibnu Abi
Syaibah 2/209]
Maksudnya, apabila melakukan shalat dan telah selesai kemudian beliau menghadap ke
makmum dengan wajahnya karena imam membelakangi makmum itu merupakan hak
imamah (kepemimpinan).
Apabila shalat telah selesai, sebab ini telah hilang. Maka, dengan menghadap ke
makmum saat itu akan menghilangkan keangkuhan dan superioritas terhadap para
makmum. Wallahu a’lam. [Lihat Fathul Bari karya Ibnu Hajar 2/334]
Berdasarkan hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu secara marfu’, dan di dalamnya:
”Tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk mengimami
manusia kecuali dengan ijin mereka dan tidak boleh mengkhususkan dirinya sendiri
dengan sebuah doa tanpa menyertakan mereka. Apabila dia melakukan hal itu maka
sungguh dia telah mengkhianati mereka.” [HR Abu Daud no. 91]
11/13
9. Tidak shalat di tempat yang sangat tinggi dari para makmum kecuali
ada sebagian shaf makmum yang bersamanya maka itu tidak mengapa.
Sedangkan untuk makmum tidak makruh jika imam berada di bagian yang lebih rendah.
[Lihat Al Mughni karya Ibnu Qudamah 3/48 dan Asy Syarh Al Mumti’ karya Ibnu Utsaimin
4/ 423-426]
10. Tidak shalat di sebuah tempat yang tertutup di dalamnya dari seluruh
makmum.
[Lihat: Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 2/59-60 dan al Inshaf fi ma’rifatir Rajih minal Khilaf
karya Al Mardawi yang dicetak bersama Asy Syarh Al kabir 4/457-458, Asy Syarh Al
Mumti’ 4/427-428, Hasyiyah Ar Raudh Al Murbi’ karya Ibnu Qasim 2/351]
Berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ia berkata, “Rasulullah itu tidak duduk
kecuali selama waktu membaca:
“ Allahumma antas salaam wa minkas salaam, tabarakta yaa Dzal Jalaali wal Ikraam.”
[HR Muslim no. 591]
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,” Aku sering melihat Rasulullah
memalingkan wajahnya ke kanan. [HR. Muslim, no. 708]
13. Mengambil sutrah karena sutrah itu menjadi sutrahnya dan orang di
belakangnya.
Berdasarkan hadits Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu secara marfu’: “Jika salah
seorang dari kalian shalat hendaklah menghadap kepada sutrah dan hendaklah dia
mendekat ke sutrah.” [HR Abu Dawud no. 698, Al Albani mengatakan,”Hadits hasan
Shahih.” Di dalam Shahih Sunan Abi Dawud 1/135]
Dan karena Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma pernah berjalan dengan himarnya di depan
sebagian shaff pertama kemudian turun dari himar dan tidak seorang pun
mengingkarinya. [Muttafaq ‘alaih: Al Bukhari no. 493 dan Muslim no. 504]
12/13
Hal ini menunjukkan bahwa sutrah sholat bagi imam merupakan sutrah bagi
makmumnya.[v]
Demikian tadi penjelasan Dr. Sa’id bin Ali bin Wahf Al Qahthani tentang 13 adab imam
masjid secara ringkas. Semoga tulisan ini bermanfaat.
[ii]
https://binbaz.org.sa/fatwas/10293/%D8%A7%D9%84%D8%B4%D8%B1%D9%88%D8
%B7-
[iii] Lihat: Nuzhatul Muttaqin Syarh Riyadhis Shalihin, karya Dr. Musthafa Sa’id Al Khin,
Dr. Musthafa Al Bugha, Muhyidin Mistu, Ali Asy Syirjabi, Muhammad Amin Luthfi,
Muassasah Ar Risalah, cetakan ke 14, 1407 H / 1987 M, hal. 331.
13/13