B. Rukun-Rukun Shalat
Arti shalat baik secara bahasa atau syara’ telah dijelaskan lalu.
Rukun-rukun shalat ada 18, yaitu :
1. Niat.
2. Berdiri jika mampu.
3. Takbiratul ihram.
4. Membaca Al-Fatihah.
5. Ruku’.
6. Tuma’ninah dalam ruku’.
7. Bangun dari ruku’ dan i’tidal.
8. Tuma’ninah dalam i’tidal.
9. Sujud dua kali dalam setiap rakaatnya.
10. Tuma’ninah dalam sujud.
11. Duduk di antara dua sujud dalam setiap rakaat.
12. Tuma’ninah di dalam duduk antara dua sujud.
13. Duduk akhir yang diakhiri salam.
14. Tasyahud dalam duduk akhir.
15. Membaca shalawat atas Nabi dalam duduk akhir setelah selesai dari tasyahud.
16. Salam yang pertama.
17. Niat keluar dari shalat.
18. Mengurutkan rukun-rukun sesuai dengan urutan yang kami sebutkan.
D. Shalat Jama’ah
Shalat berjama’ah bagi laki-laki dalam shalat fardlu selain shalat Jum’at
hukumnya sunah muakkad menurut mushannif dan Ar-Rofi’i. Sedang, qoul ashoh
menurut An-Nawawi, adalah bahwa shalat jama’ah hukumnya adalah fardlu kifayah.
Makmum bisa mendapatkan jama’ah dengan imam pada selain shalat Jum’at
selama imam belum salam dengan salam yang pertama meskipun belum duduk
menyertai imam. Adapun jama’ah dalam shalat Jum’at, maka hukumnya fardlu ain
dan tidak didapatkan dengan menemukan kurang dari satu rakaat.
Wajib bagi makmum untuk berniat i’timam (bermakmum) atau mengikuti
imam. Tidak wajib menentukan nama imam, tapi cukup berniat mengikut pada orang
yang hadir (yang menjadi imam) jika tidak mengetahuinya. Jika menentukan nama
imamnya dan ternyata salah, maka shalatnya batal, kecuali jika ditambahkan dengan
isyarat. Seperti perkataan, “saya niat bermakmum dengan Zaid ini.” Kemudian,
ternyata nama imam adalah Amr, maka shalatnya madih sah.
Tidak (wajib niat jama’ah) bagi imam. Tidak wajib niat menjadi imam untuk
mendapatkan sahnya bermakmum pada selain shalat Jum’at. Tapi, niat menjadi imam
itu hukumnya sunah. Jika imam tidak berniat, maka shalatnya dianggap shalat sendiri.
Diperbolehkan bagi seorang merdeka untuk bermakmum kepada budak. Seorang
baligh boleh bermakmum kepada anak yang murohiq (telah tamyiz). Sedang, anak
kecil yang belum tamyiz itu tidak sah bermakmum kepadanya.
Bermakmumnya laki-laki terhadap perempuan hukumnya tidak sah. Juga tidak
sah laki-laki bermakmum kepada khuntsa dan musykil. Dan khuntsa musykil tidak sah
bermakmum kepada perempuan dan juga kepada (sesama) khuntsa. Tidak sah
bermakmumnya seorang yang qori’, yaitu seorang yang lancar membaca Al
-Fatihah, terhadap seorang yang ummy, yaitu seorang yang tidak benar dalam satu
huruf atau tasydid dari surat Al-Fatihah.
Kemudian, mushannif memberikan isyarat terhadap syarat-syarat bermakmum
dengan perkataannya: “Di bagian mana pun seorang shalat di masjid dengan
(mengikuti) shalat imamnya yang berada dalam masjid, yang penting ia (makmum)
mengetahui shalat imamnya dengan melihat langsung terhadap imam atau melihat
sebagian shaf, maka hal itu mencukupi dalam sahnya bermakmum pada imam selama
posisi makmum tidak lebih maju daripada imam. Jika lebih maju dengan tumitnya
imam dalam kesejajarannya, maka shalatnya tidak sah. Tidak masalah makmum
menyamai imam (dalam posisi tempatnya). Namun, disunahkan untuk berada sedikit
di belakang imam dan tidak sampai menjadikannya terpisah dari shaf sendirian hingga
tidak mendapatkan keutamaan jama’ah.
Jika imam shalat di masjid dan makmum berada di luar masjid, namun masih
dekat dengan imam, yakni jarak keduanya tidak melebihi kurang lebih 300 dziro’ dan
makmum mengetahui shalat imam serta tidak ada penghalang di antara imam dan
makmum, maka boleh/sah bermakmum dengan imam tersebut. Jarak tersebut dihitung
dari bangunan masjid bagian belakang. Jika imam dan makmum berada di selain
masjid, adakalanya berupa tanah lapang atau bangunan, maka syaratnya adalah jarak
antara keduanya tidak melebihi 300 dziro’ dan tidak ada penghalang antara keduanya.