Anda di halaman 1dari 24

M.

Akbar Aprianur
Fiqih
Pembahasan Tentang Pembatal Sholat Menurut 4 Imam Mazhab

ɭɭɭ

09 Agustus 2017
HAL-HAL YANG MEMBATALKAN SHALAT MENURUT IMAM
SYAFI’I

HHAL-HAL YANG MEMBATALKAN SHALAT

Di antara hal-hal yang membatalkan shalat sebagaimana yang telah dijabarkan


oleh para fuqaha adalah sebagai berikut :

1. Berbicara Dengan Sengaja

Berbicara dengan sengaja yang dimaksud disini bukanlah berupa bacaan bacaan
dalam AlQuran, dzikir atau pun do’a. Akan tetapi merupakan pembicaraan yang
sering dilakukan manusia dalam kehidupan sehari-harinya. Hal ini sesuai
dengan hadits Rasulullah saw. yang di riwayatkan Imam Bukhari dan Imam
Muslim (Muttafaqun ‘Alaih) berikut:

‫ حنى نزل فقول هللا‬,‫ يتكلم أحدنا اخاه فى حاجته‬,‫ كنا نتكلم فى الصالة‬:‫ قال‬,‫عن زيد بن ارقم رضي هللا عنه‬
‫ (حافظوا على الصلوات و الصالة الوسطى و قوموا هلل قانتين) فأمرنا نالسكوت‬:‫تعالى‬

ِArtinya:

“Dari Zaid bin Al-Arqam ra berkata,”Dahulu kami bercakap-capak pada saat


shalat. Seseorang ngobrol dengan temannya di dalam shalat. Yang lain
berbicara dengan yang disampingnya. Hingga turunlah firman Allah SWT
“Peliharalah semua shalat, dan shalat wusthaa . Berdirilah untuk Allah dengan
khusyu”. Maka kami diperintahkan untuk diam dan dilarang berbicara dalam
shalat”. (HR. Jamaah kecuali Ibnu Majah).

Perkataan yang keluar disaat shalat, baik itu satu kata ataupun hanya satu huruf
akan membatalkan shalat jika dilakukan dengan sengaja. Berbeda bila seseorang
melakukannya tanpa sadar alias tidak disengaja, ataupun melakukannya tanpa
tahu hukumnya maka syari’ memberikan keringanan bagi orang yang
melakukannya (berbicara dalam shalat), selama perkataan atau atau pun kata
yang disebutkan masih dalam kategori sedikit. Dalam satu riwayat dikatakan
tidak lebih dari 6 kata.

2. Makan dan Minum

Makan dan minum adalah salah satu perbuatan yang dapat membatalkan shalat.
Apabila seseorang makan atau pun minum ketika melaksanakan shalat dengan
sengaja, maka shalatnya batal. Hal ini disebabkan karena akan menghilangkan
kemulian dalam shalat. perbuatan makan dan minum dalam shalat ini, baik
sedikit ataupun banyak selama dilakukan dengan sengaja tetap akan
membatalkan shalatnya.

Adapun jika perbuatan makan dan minum dalam shalat ini dilakukan tanpa
disengaja, maka disyaratkan dalam hal tersebut tidak lebih dari kadar humsah
‫( الحمصة‬tidak bisa dibakar ataupun di masak kembali), yaitu kadar/batasan yang
menjadi kebiasaan dalam kehidupan. Maka shalatnya tidak batal. Dan apabila di
dalam mulut seseorang ada sisa gula atau sesuatu yang bisa mencair atau pun
meleleh ketika melaksanakan shalat, maka jika ia menelannya akan
membatalkan shalatnya.

3. Banyak Gerakan dan Terus Menerus


Yang dimaksud adalah gerakan yang banyak dan berulang-ulang terus dan
bukan merupakan gerakan yang terdapat dalam shalat. Mazhab Imam Syafi’i
memberikan batasan sampai tiga kali gerakan berturut-turut sehingga seseorang
batal dari shalatnya.

Namun bukan berarti setiap ada gerakan langsung membatalkan shalat. Sebab
dahulu Rasulullah SAW pernah shalat sambil menggendong anak (cucunya).

Rasulullah SAW shalat sambil mengendong Umamah, anak perempuan dari


anak perempuannya. Bila beliau SAW sujud, anak itu diletakkannya dan bila
berdiri digendongnya lagi”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Bahkan beliau SAW memerintah orang yang sedang shalat untuk membunuh
ular dan kalajengking (al-aswadain). Dan beliau juga pernah melepas sandalnya
sambil shalat. Kesemuanya gerakan itu tidak termasuk yang membatalkan
shalat.

4. Membelakangi atau Tidak Menghadap Kiblat

Bila seseorang shalat dengan membelakangi kiblat dengan sengaja, atau di


dalam shalatnya melakukan gerakan hingga badannya bergeser arah hingga
membelakangi kiblat , maka shalatnya itu batal dengan sendirinya.

Hal ini ditandai dengan bergesernya arah dada orang yang sedang shalat itu,
menurut kalangan Ulama Syafi’iyah dan Ulama Hanafiyah. Sedangkan menurut
Ulama Mazhab Malikiyah, bergesernya seseorang dari menghadap kiblat
ditandai oleh posisi kakinya. Sedangkan menurut Mazhab Hanabilah, ditentukan
dari seluruh tubuhnya.

Kecuali pada shalat sunnah, dimana menghadap kiblat tidak menjadi syarat
shalat. Rasulullah SAW pernah melakukannya di atas kendaraan dan
menghadap kemana pun kendaraannya itu mengarah.

Namun yang dilakukan hanyalah shalat sunnah, adapun shalat wajib belum
pernah diriwayatkan bahwa beliau pernah melakukannya. Sehingga sebagian
ulama tidak membenarkan shalat wajib di atas kendaraan yang arahnya tidak
menghadap kiblat. Namun, dalam kondisi darurat, tidak menghadap kiblat
dibolehkan, selama yang bersangkutan sudah berusaha semaksimal mungkin
untuk tetap menghadap kiblat, misal orang yang habis operasi berat dan tidak
mungkin menggeser-geser tempat tidurnya atau orang yang berada dalam bus
umum yang perjalanannya tidak mengarah ke arah kiblat, sementara sopirnya
tidak toleran terhadap orang-orang yang mau shalat. Maka jika mungkin, di
waktu takbiratul ihram, tetap menghadap kiblat, tapi jika tidak mungkin
(misalnya karena menghadap kiblat berarti menghadap ke sandaran kursi), maka
dibolehkan menghadap sesuai arah bus. Namun, jika bisa mengusahakan bus
berhenti di waktu shalat, maka ini adalah yang terbaik.

5. Terbuka Aurat Secara Sengaja

Bila seseorang yang sedang melakukan shalat tiba-tiba terbuka auratnya secara
sengaja, maka shalatnya otomatis menjadi batal. Baik dilakukan dalam waktu
yang singkat ataupun terbuka dalam waktu yang lama. Namun jika auratnya
terbuka tanda disengaja dan bukan dalam waktu yang lama, maksudnya hanya
terbuka sekilas dan langsung ditutup lagi, para Ulama dari mazhab Syafi’iyah
dan Ulama Hanabilah mengatakan tidak batal.

Namun Ulama Mazhab Malikiyah mengatakan secepat apapun ditutupnya,


kalau sempat terbuka, maka shalat itu sudah batal dengan sendirinya.

Namun perlu diperhatikan bahwa yang dijadikan sandaran dalam masalah


terlihat aurat dalam hal ini adalah bila dilihat dari samping, atau depan atau
belakang. Bukan dilihat dari arah bawah seseorang. Sebab bisa saja bila secara
sengaja diintip dari arah bawah, seseorang akan terlihat auratnya. Namun hal ini
tidak berlaku.

6. Mengalami Hadats Kecil atau Besar

Bila seseorang mengalami hadats besar atau kecil, maka batal pula shalatnya.
Baik terjadi tanpa sengaja atau secara sadar.

Namun harus dibedakan dengan orang yang merasa ragu-ragu dalam berhadats.
Para ulama mengatakan bahwa rasa ragu tidak lah membatalkan shalat. Shalat
itu baru batal apabila memang ada kepastian telah mendapat hadats.

7. Tersentuh Najis baik pada Badan, Pakaian atau Tempat Shalat

Bila seseorang yang sedang shalat terkena benda najis, maka secara langsung
shalatnya menjadi batal. Namun yang dijadikan patokan adalah bila najis itu
tersentuh tubuhnya atau pakaiannya dan tidak segera ditepis/tampiknya najis
tersebut maka batallah shalatnya tersebut. Adapun tempat shalat itu sendiri bila
mengandung najis, namun tidak sampai tersentuh langsung dengan tubuh atau
pakaian, shalatnya masih sah dan bisa diteruskan.

Demikian juga bila ada najis yang keluar dari tubuhnya hingga terkena
tubuhnya, seperti mulut, hidung, telinga atau lainnya, maka shalatnya batal.

Namun bila kadar najisnya hanya sekedar najis yang dimaafkan, yaitu najis-
najis kecil ukuran, maka hal itu tidak membatalkan shalat.
8. Tertawa

Orang yang tertawa dalam shalatnya, batallah shalatnya itu. Maksudnya adalah
tertawa yang sampai mengeluarkan suara. Adapun bila sebatas tersenyum,
belumlah sampai batal shalatnya.

9. Murtad, Mati, Gila atau Hilang Akal

Orang yang sedang melakukan shalat, lalu tiba-tiba murtad, maka batal
shalatnya. Demikian juga bila mengalami kematian. Dan orang yang tiba-tiba
menjadi gila dan hilang akal saat sedang shalat, maka shalatnya juga batal.

10. Berubah Niat

Seseorang yang sedang shalat, lalu tiba-tiba terbetik niat untuk tidak shalat di
dalam hatinya, maka saat itu juga shalatnya telah batal. Sebab niatnya telah
rusak, meski dia belum melakukan hal-hal yang membatalkan shalatnya.

11. Meninggalkan Salah Satu Rukun Shalat dengan sengaja

Apabila ada salah satu rukun shalat yang tidak dikerjakan dengan sengaja, maka
shalat itu menjadi batal dengan sendirinya. Misalnya, seseorang tidak membaca
surat Al-Fatihah lalu langsung ruku’, maka shalatnya menjadi batal. Namun jika
lupa, dan ingat selama masih dalam shalat maka dia harus melakukan sujud
syahwi sebelum salam, jika lupa pula untuk sujud syahwi, maka bisa dilakukan
setelah salam.

Kecuali dalam kasus shalat berjamaah dimana memang sudah ditentukan bahwa
imam menanggung bacaan fatihah makmum, sehingga seorang yang tertinggal
takbiratul ihram dan mendapati imam sudah pada posisi rukuk, dibolehkan
langsung ikut ruku’ bersama imam dan telah mendapatkan satu rakaat.

Demikian pula dalam shalat jahriyah (suara imam dikeraskan), dengan pendapat
yang mengataka bahwa bacaan Al-Fatihah imam telah menjadi pengganti
bacaan Al-Fatihah buat makmum, maka bila makmum tidak membacanya, tidak
membatalkan shalat.

12. Mendahului Imam dalam Shalat Jama’ah

Bila seorang makmum melakukan gerakan mendahului gerakan imam, seperti


bangun dari sujud lebih dulu dari imam, maka batal-lah shalatnya. Namun bila
hal itu terjadi tanpa sengaja, maka tidak termasuk yang membatalkan shalat.

AS-Syafi’iyah mengatakan bahwa batasan batalnya shalat adalah bila


mendahului imam sampai dua gerakan yang merupakan rukun dalam shalat. Hal
yang sama juga berlaku bila tertinggal dua rukun dari gerakan imam.

13. Terdapatnya Air bagi Orang yang Shalatnya dengan Tayammum

Seseorang yang bertayammum sebelum shalat, lalu ketika shalat tiba-tiba


terdapat air yang bisa dijangkaunya dan cukup untuk digunakan berwudhu’,
maka shalatnya batal. Dia harus berwudhu’ saat itu dan mengulangi lagi
shalatnya.

14. Berubah Niat

Niat adalah salah satu rukun dalam shalat, jika rukun tersebut tidak terpenuhi
maka tidak sah shalatnya tersebut. Seseorang yang sedang melaksanakan shalat,
kemudian dia berniat keluar dari shalatnya tersebut, atau ada sesuatu kejadian
yang membuat (mushalli) keluar dari shalatnya, maka shalatnya tersebut akan
menjadi batal dengan berubah niatnya tersebut, karena shalat harus dimulai
dengan niat yang pasti.

15. Mengucapkan Salam Secara Sengaja

Bila seseorang mengucapkan salam secara sengaja dan sadar, maka shalatnya
batal. Dasarnya adalah hadits Nabi SAW yang menyatakan bahwa salam adalah
hal yang mengakhiri shalat. Kecuali lafadz salam di dalam bacaan shalat, seperti
dalam bacaa tahiyat.
TENTANG SYARAT DAN SIFAT SHALAT (Fiqih Kontekstual)

Menurut Pandangan Para Imam

1. Tentang menutup aurat

a. Menurut Abu Hanifah, Syafi’I dan Ahmad:

Menutup aurat termasuk syarat sah shalat. Shalat dalam keadaan aurat terbuka
berarti tidak sopan, menyebabkan seseorang –selamanya—tidak akan masuk
dalam “lingkaran” shalat. Artinya, ia sama dengan orang yang belum (tidak)
mengerjakan shalat. Atau sebagaimana orang yang mengerjakan shalat dalam
keadaaan –membawa—najis; tidak sah.

b. Menurut pengikut Imam Malik, ada dua macam:

1. Menutup aurat termasuk salah satu syarat sah shalat, bagi yang mampu.
Sedemikian, sehingga jika seseorang mampu menutup aurat tetapi melakukan
shalat dengan keadaan terbuka, maka batal shalatnya.

Sesungguhnya, tidak ada satu pun yang bisa disembunyika di hadapan Ilahi.
Tidak ada perbedaan antara shalat dengan berpakaian maupun telanjang.
Menutup aurat ketika shalat hanya demi kesempurnaan yang tidak sampai
menodai keabsahannya bila di tinggalkan, meski itu berdosa. Ini, sebenarnya,
adalah salah satu dari kebiasaan masyarakat yang kemudaian “diikuti” oleh
syariat. Allah berfirman:

“Hai anak Adam. Pakailah ‘zinah’ (pakaian yang menutupi aurat) di setiap –
akan memasuki—masjid” (QS Al-A’raf : 31)

Imam Ali Al-Khawash berkata:


“Orang yang hadir di hadapan Ilahi dengan pakaian yang bagus berarti
memperlihatkan nikmat yang diberikan. Seolah ia berkat, ‘Lihatlah apa yang
diberikan Allah kepadaku. Lihatlah apa yang diizinkan Allah kepadaku untuk
masuk dalam bait-Nya, bermunajad dengan Kalam-Nya. ‘Ini berbeda bila
seseorang hadir dengan pakaian kotor dan berbau, yang itu bisa dianggap kufur
nikmat’

Imam Ali Al-Khawash juga berkata:

“Perintahkan budak perempuanmu menutup aurat ketika mengerjakan shalat


sebagaimana wanita merdeka, demi hati-hatinya. Bisa jadi, Illat (alasan hukum)
dalam masalah ini bukan karena rendahnya kedudukan atau tidak adanya
syahwat ketika melihat mereka. Sebab, hal itu akan bertentangan bila budak
perempuan tersebut ternyata lebih cantik dan lebih menarik dibanding wanita
merdeka.

Adapun mereka yang berkata bahwa aurat budak perempuan seperti kaum laki-
laki adalah pendapat dari segolongan ulama salaf yang
menjadikan illat wajibnya menutup aurat bagi wanita adalah kecenderungan
hati laki-laki ketika memandangnya. Sedang perempuan budak, biasanya tidak
menimbulkan syahwat, kecuali hanya pada satu dua orang.

Imam Ali Al-Khawash berkata lagi:

“Wanita merdeka hanya membuka wajah dan kedua telapak tangan ketika
melakukan shalat adalah untuk mengagungkan Ilahi. Para arif berkat, ‘Saat itu
kaum wanita berada di hadira Ilahi dan dalam penjagaan-Nya seperti anak singa
dalam dekapan induknya. Tidak boleh kaum laki-laki mencuri pandang
padanya’. Atas dasar ini pula mengapa kaum wanita juga membuka wajah
ketika melakukan ikram. Saat itu, mereka ada di hadirat Ilahi yang khusus.
Maka, kaum laki-laki tidak boleh memandang wajah yang sedang shalat atau
ikram. Siapa yang melanggar berarti siap menerima murka Ilahi dan termasuk
orang-orang yang celaka.
Sebab itu, para ulama memerintahkan untuk memasang cadar (kain tipis) ketika
kaum wanita melakukan ikram; agar masyarakat awam tidak jatuh dalam murka
Allah saat memandangnya.

Selanjutnya Imam Ali Al-Khawash berkata:

“Orang arif, ketika memandang apa yang diperintahkan syariat, yang pertama
kali dilihat adalah hikmahnya. Apa yang saya uraikan di atas adalah salah satu
dari sekianl hikmah yang tersembunya. Perhatikanlah!”

2. Aurat laki-laki

a. Menurut Abu Hanifah dan Syafii:

Aurat laki-laki adalah antara pusar dan lutut.

b. Menurut Imam Malik dan Ahmad:

Aurat laki-laki hanya qubul dan dubur. Ini untuk orang-orang yang sangat
miskin.

3. Pusar laki-laki bukan termasuk aurat. Bagaimana dengan lutut?

a. Menurut Abu Hanifah dan sebagian sahabat Syafii:

Lutut laki-laki termasuk aurat.

b. Menurut Imam Malik, Syafii dan Ahmad:

Lutut laki-laki tidak termasuk aurat.


4. Aurat wanita

a. Menurut Imam Malik dan Syafii:

Seluruh tubuh wanita adalah aurat, kecuali wajah dan kedua telapak tangan.

b. Menurut Abu Hanifah:

Seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah, kedua telapak tangan dan
kedua telapak kaki.

c. Menurut Imam Ahmad:

Seluruh tubuh wanita adalah aurat, kecuali wajah. Sesungguhnya, wajah adalah
tempat utama timbulnya fitnah, sekaligus rahasia dalam kewajiban untuk
membukanya saat mengerjakan shalat. Tidak adanya larangan dari Syari’
tentang—kemungkinannya—jatuhnya pandangan masyarakat (orang-orang
awam) terhadap kecantikan yang terbuka tersebut adalah sebagai peringatan
bagi kaum arif; bahwa wanita tidak diperintah untuk menutup wajah kecuali
untuk memenuhi kebutuhan, bersama orang-orang yang mampu menjaga rasa
malu dan sopan santun. Sehingga orang-orang tersebut tetap mampu menjaga
diri dari melihatnya dan tetap bermusyahadah kepada Allah dengan hatinya.
Akan tetapi, orang-orang fasik akan selalu berusaha untuk mencuri pandang
padanya.

Orang yang punya rasa malu dan sopan santun, ketika pertama kali melihatnya
–keadaan—wanita tidak sebagaimana biasanya; dalam keadaan wajah terbuka,
segera sadar bahwa wanita tersebut sedang ada dalam hadirat-Nya. Sama sekali
ia tidak boleh diganggu. Ia ada dalam perlindungan-Nya seperti anak singa ada
dalam dekapan induknya. Inilah rahasia mengapa wanita membuka wajah ketika
mengerjakan shalat dan ikram.

5. Sebagian aurat terbuka ketika sedang shalat

a. Menurut Abu Hanifah:

Aurat yang terbuka sebesar (selebar) satu dirham, tidak membatalkan shalat.
Lebih dari itu, batal. Ini di-qiyas-kan pada najis yang dimaafkan, dari segi
bahwa keduanya harus dijauhi.

b. Menurut Imam Malik:

Bila seseorang sadar bahwa auratnya terbuka dan ia mampu menutupnya, tapi ia
tetap shalat dalam keadaan aurat terbuka, maka batal shalatnya.

c. Menurut Imam Syafii:

Terbukanya aurat, sedikit atau banyak, membatalkan shalat. Di-qiyas-kan pada


robeknya khuf; walau sedikit dinilai mudharat.

d. Menurut Imam Ahmad:

Aurat yang tersingkap sedikit tidak membatalkan shalat. Bila banyak,


membatalkan. Ukuran banyak atau sedikit tergantung kebiasaan, berdasarkan
hadist:

”Diangkat—tuntutan hukum—dari umatku, sebab salah dan lupa.” (HR Ibn


Hajar dan Khatabi)

Juga sebuah hadist:

“Bila aku perintahkan pada kalian tentang sesuatu, kerjakan menurut


kemampuanmu” (HR Baihaqi)
Apa yang tidak mampu dikerjakan tidak akan mencemari keabsahan amal yang
dilakukan.

6. Shalat dengan telanjang karena tidak punya pakaian

a. Menurut Abu Hanifah:

Orang yang telanjang karena tidak punya pakaian boleh mengerjakan shalat
dengan duduk atau berdiri. Tergantung besar kecilnya rasa malu yang
bersangkutan.

b. Menurut Imam Malik dan Syafii:

Orang telanjang harus melakukan shalat dengan berdiri serta rukuk dan sujud
sebagaimana lazimnya, berdasar hadis:

“Bila aku perintahkan pada kalian tentang sesuatu, kerjakan menurut


kemampuanmu”. (HR Baihaqi)

Juga berdasar kaidah:

“Yang mudah tidak gugur oleh yang sulit”

c. Menurut Imam Ahmad:

Orang telanjang melakukan shalat dengan duduk. Rukuk dan sujudnya memakai
isyarat. Ini untuk mereka yang sangat malu.

7. Tentang suci dari najis

a. Menurut Abu Hanifah, Syafii dan Ahmad:

Suci badan, pakaian, dan tempat dari najis termasuk syarat sah shalat.
b. Menurut Malik, ada dua macam:

1. Bila orang tersebut tahu tentang adanya najis, maka tidak sah shalatnya. Bila
tidak tahu atau lupa, tetap sah. Ini pendapat Imam Malik yang –dianggap—
paling sahih.

2. Orang yang tahu tentang adanya najis dan sengaja shalat dengannya,
shalatnya tetap sah. Yang dipentingkan di sini adalah –kesucian—hati, bukan
anggota lahir sebagaimana dikatakan dalam hadis:

“Allah tidak memandang pada bentuk dan jasadmu, tapi melihat hatimu” (HR
Muslim)

Apa yang tidak dipandang atau diperhatikan oleh Allah berarti sesuatu yang
mudah (remeh), berbeda dengan hati. Tentang adanya hadis, “Jika engkau haid
tinggalkan shalat dan jika telah berhenti mandi dan shalatlah”, tidak bisa
dihubungkan dengan masalah ini. Perintah untuk meninggalkan shalat
terkadang bukan karena adanya darah, tapi karena ada illat lain dalam haid;
karena derasnya darah haid yang tidak berbeda dengan beser (tidak bisa
menahan kencing). Maka, wanita kemudian –diperintah—membersihkan darah
tersebut, sebelum shalat.

Sebagian mazhab Syafii menyatakan kepada Imam Malik bahwa hadis tersebut
menerangkan tentang kewajiban menjauhi najis di luar shalat. Maka, apalagi
dalam shalat yang tentu harus lebih diutamakan, dengan illat berlumuran darah.

Akan tetapi, pendapat Imam Malik di atas terlihat lebih mapan. Dikuatkan
dengan, pertama, hadis:

“Orang junub dan orang haid tidak boleh membaca apa pun dari Alqur’an”
(HR Turmudzi dan Ibn Majali)
Di sini, haid dikumpulkan dengan junub, karena junub adalah sesuatu yang
telah ditentukan atas badan. Begitu pula denga haid. Kedua, adanya Ijma
tentang keharusan mensucikan diri dari hadas, bukan dari najis. Juga adanya
keharusan untuk mengusap darah yang lebih dari satu dirham, bukan yang
kurang dari itu, bila tidak ada air. Ketiga, tidak ada keterangan yang jelas dari
Rasul tentang tidak diterimanya shalat bila “bersama” najis; yang ada justru
keterangan bahwa shalat tidak diterima bila berhadas.

“Allah tidak menerima shalat kalian yang berhadas, sampai ia berwudhu.” (HR
Bukhari, Abu Daud, dan Ahmad)

3. Orang yang terkena najis, sadar atau tidak (tahu atau tidak), batal shalatnya.

8. Mengerjakan shalat di dekat orang junub, tanpa disadari (diketahui)

a. Menurut Abu Hanifah dan Ahmad:

Shalat di dekat orang junub, meski tidak tahu, adalah batal. Ini demi ihtiyat-nya.

b. Menurut Imam Malik dan Syafii:

Shalatnya tetap sah. Allah tidak menuntut pertanggungjawaban kecuali atas


sesuatu yang diketahui.

9. Pengetahuan tentang masuk waktu shalat

a. Menurut Abu Hanifah, Syafii dan Ahmad:

Dugaan yang kuat tentang masuknya waktu shalat telah memenuhi kewajiban
untuk melakukan shalat.
b. Menurut Imam Malik:

Seseorang harus benar-benar mengetahui masuknya waktu shalat. Tidak sah


hanya dengan dugaan, karena dugaan masih mungkin salah.

10. Arah kiblat yang ternyata keliru

a. Menurut Abu Hanifah, Malik dan Ahmad:

Orang yang telah berusaha mencari arah kiblat kemudian ternyata keliru, tidak
wajib mengulangi shalatnya. Ini untuk masyarakat awam.

b. Menurut Imam Syafii:

Orang yang keliru menentukan arah kiblat harus mengulangi shalatnya, bila
waktu masih cukup. Ini untuk orang yang bersungguh-sungguh dan berhati-hati
dalam masalah agama.

11. Berkata-kata dalam shalat

a. Menurut Imam Malik, Syafii dan Ahmad:

Berkata-kata karena lupa, atau karena tidak mengetahui keharamannya, atau


berkata yang tidak banyak, tidak membatalkan shalat.

b. Menurut Abu Hanifah:

Berkata-kata, meski lupa, membatalkan shalat, kecuali salam. Shalat adalah


sesuatu yang amat penting dan perbuatan yang telah jelas. Ketidaktahuan
tentang perkara shalat tidak bisa dijadikan alasan. Orang tersebut berarti telah
meninggalkan kewajiban: mencari ilmu tentang masalah agama.

12. Berkata-kata yang banyak dalam shalat

a. Menurut Imam Malik:

Berkata-kata banyak, demi kemaslahatan seperti mengingatkan imam yang


salah yang tidak bisa diingatkan kecuali dengan ucapan, tidak membatalkan
shalat.

b. Menurut Imam Syafii:

Berkata-kata banyak membatalkan shalat

c. Menurut Imam Auzai:

Perkataan banyak tapi demi kebaikan, seperti menunjukkan orang tersesat atau
menunjukkan adanya bahaya, tidak membatalkan shalat. Kewajiban yang
dibebankan kepad kita adalah untuk menolah bahaya. Kaidah-kaidah syariah
kenyataannya juga lebih mendahului masalah-masalah seperti itu daripada
shalat.

13. Makan dan Minum dalam shalat

a. Menurut Abu Hanifah, Malik dan Syafii:

Makan dan Minum, meski lupa, membatalkan shalat. Itu mengganggu


kekhusyukan. hari. Sebab itu, ulama mengharamkan dan memerintahkan untuk
makan dan minum sebelum shalat.

b. Menurut Imam Ahmad:


Minum dalam shalat sunnah, tidak membatalkan. Dalam shalat sunnah,
seseorang boleh memilih; meneruskan hingga salam atau menghentikannya.
Allah memerintahkan pada hamba-Nya untuk khusyuk dalam shalat (fardhu),
yang Dia kemudian”menyiramkan” ridha dalam hati mereka, sehingga nafsunya
menjadi dingin. Tapi tidak demikian dalam shalat sunnah. Seseorang bisa nyaris
pingsan karena kehausan. Sebab itu, ia menyiram dengan air minum. Said Ibn
Jabir juga minum ketika mengerjakan shalat sunnah. Imam Thawus berkat,
“Tidak apa-apa minum dalam shalat sunnah”.

14. Cara mengingatkan imam yang lupa atau salah

a. Menurut Imam Syafii:

Untuk jamaah laki-laki, mengingatkannya dengan cara membaca tasbih, sedang


jamah wanita dengan bertepuk. Hal ini, disebabkan suara wanita dikhawatirkan
bisa menimbulkan fitnah.

b. Menurut Imam Malik:

Baik jamaah laki-laki maupun wanita dengan cara membaca tasbih. Ini bila
suara wanita tidak dikhawatirkan menimbulkan fitnah, di samping memang
tidak ada hadis yang menunjukkan hal itu.

Kedua pendapat di atas, tujuannya untuk mengingatkan imam. Bila kau wanita
bisa –tidak dikhawatirkan menimbulkan fitnah—dengan membaca tasbih, itu
lebih baik. Bacaan tasbih adalah menyebut Asma Allah yang bisa dipakai di
mana pun, berbeda dengan tepuk.

15. Menangis karena takut kepada Allah

a. Menurut sebagian ulama:


Menangis karena takut kepada Allah dalam shalat adalah membatalkan shalat.
Orang yang menjalankan riyadhah atau mendengar nasihar dari ayat-ayat
Alqur’an, yang menangis seharusnya hati, bukan mata.

b. Menurut sebagian ulama yang lain:

Menangis karena takut kepada Allah tidak membatalkan shalat. Justru semakin
menyatukan hari kepada-Nya.

16. Diberi salam orang lain ketika –sedang—shalat

a. Menurut ittifaq imam mazhab empat:

Orang yang –sedang—shalat kemudian diberi salam oleh seseorang, ia sunnah


menjawab dengan isyarat. Sedemikian, sehingga hal itu tidak menimbulkan hal-
hal yang tidak diinginkan.

b. Menurut Imam Ats-Tsaury dan Atha’:

Salam tersebut dijawab setelah selesai shalat. Ini demi mementingkan


menghadap Sang Khalik daripada makhluk, yang itu bisa dilakukan setelah
selesai shalat.

c. Menurut Imam Ibn Musayyab dan Al-Hassan:

Salam tersebut dijawab dengan lafal salam juga. Ini dilakukan untuk
menghadapi orang-orang yang belum mengerti, sehingga bila tidak demikian
justru dikhawatirkan akan menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan.

17. Melintasnya sesuatu di hadapan orang yang shalat

a. Menurut Abu Hanifah, Malik dan Syafii:


Melintasnya wanita, anjing atau kendaraan, tidak membatalkan shalat. Ini
khusus untuk orang-orang tertentu yang hal-hal tersebut tidak sampai
mengganggu musyahadahnya kepada Allah.

b. Menurut Imam Ahmad, Ibn Abbas, Anas dan Ibn Musayyab:

Melintasnya wanita, anjing atau kendaraan bisa membatalkan shalat. Ini untuk
orang-orang yang menjadi terganggu kekhusyukan shalatnya. Hikmah
pembatalan ini, agar setan tidak memisahkan mereka dari Allah. Setan tidak
akan lewat kecuali—akan—merusakkan musyahadah manusia kepada yang
Haq. Padahal, siapa yang rusak musyahadahnya berarti rusak shalatnya. Namun,
itu tidak terjadi pada para aulia, karena tingkat makrifat mereka kepada Allah.
Sedemikian, sehingga mereka tidak melihat sesuatu kecuali di situ ada –tanda-
tanda kebesaran—Ilahi.

18. Laki-laki shalat di samping (di dekat) seorang wanita

a. Menurut Imam Malik dan Syafii:

Laki-laki boleh mengerjakan shalat di dekat seorang wanita. Ini untuk orang-
orang tertentu yang keberadaan wanita tersebut tidak mengganggu kekhusyukan
dan keikhlasan shalatnya. Di samping itu, wanita itu sendiri harus pula
mempunyai pribadi yang sempurna, yang dengan itu Allah menolong Nabi
Muhammad SAW atas Aisyah dan Hafshah; wanita yang mampu menjadi
mahkota dunia, wanita yang mempunyai rasa malu, dan wanita yang –bisa—
menjaga serta mengendalikan nafsunya.

b. Menurut Abu Hanifah:

Laki-laki yang mengerjakan shalat di dekat wanita adalah batal. Hati manusia,
pada umumnya, terpengaruh oleh keberadaan wanita tersebut, di samping
tampak jelas ketidaksempurnaan wanita itu sendiri (mengapa ia berada di dekat
kaum laki-laki lain?) Ini untuk orang-orang awam. Adapun para pembesar sufi,
sebaiknya juga demikian. Sebab, mereka menyaksikan
ketidaksempurnaan maqam wanita tersebut, di samping adanya kecondongan
hati kepadanya.

19. Membunuh ular atau kalajengking saat shalat

a. Menurut ittifaq imam mazhag empat:

Orang yang sedang shalat, boleh membunuh ular atau kalajengking; tidak
makruh. Ini untuk orang-orang yang masih merasa takut pada selain Allah
ketika berada dalam hadirat-Nya.

b. Menurut Imam Nakhai:

Orang yang sedang shalat dilarang membunuh ular atau kalajengking.


Hukumnya makruh. Ini untuk mereka yang mampu menahan diri dalam hadirat
Ilahi, demi memuliakan-Nya. Mereka tetap bersabar untuk tidak membunuh
hal-hal seperti itu sampai selesai shalat. Termasuk dalam ini nyamuk dan kutu.

20. Mengerjakan shalat di tempat-tempat yang dilarang, seperti tempat


mandi, kuburan, kandang binatang atau lainnya.

a. Menurut Abu Hanifah dan Malik:

Mengerjakan shalat di tempat-tempat tersebut hukumnya sah, tapi makruh.


Tempat shalat bukan hakikat shalat itu sendiri. Ia –hanya—seperti tetangga
yang amat dekat, yang bagaimanapun tetap orang lain. Atau, seperti orang yang
mengerjakan shalat di samping (di dengan) orang kafir, minuman keras atau
yang lain, yang semua itu dianggap kotor oleh Allah.

b. Menurut Imam Ahmad:

Shalat yang dilakukan di tempat-tempat tersebut adalah batal. Ini demi


mengagungkan hadira Ilahi; agar seseorang tidak mengerjakan shalat di
kuburan, tempat penyembelihan hewan, tempat mandi, tempat pembuangan
sampah, kandang binatang, di tengah jalan dan lainnya. Allah adalah Dzat Yang
Mahasuci. Tidak boleh seseorang “menemui”-Nya di tempat-tempat seperti itu.
Sebaliknya, kita diperintahkan untuk memakai pakaian yang bagus dan parfum
demi mengagungkan hadirat-Nya. Karena itulah, para tokoh sufi seperti Abdul
Qadir Al-Jilly, Sayyid Ali Ibn Wafa, Syekh Muhammad Al-Hanafi, Syekh
Madin, Syekh Abi Al-Hasan Al-Basri dan putranya; Syekh Muhammad, selalu
mengerjakan shalat di tempat-tempat yang bagus (mewah) dan penuh bau
harum demi memuliakan Allah.

Namun, jumhur ulama lebih suka mengerjakan shalat di tempat yang sederhana
karena takut orang lain akan meniru tanpa tahu tujuannya. Sedemikian,
sehingga manusia menjadi sombong dan lupa diri.

Adapun tentang makruhnya mengerjakan shalat di atas Ka’bah, tidah bisa


dijelaskan kecuali dengan uraiian yang panjang. Jangan tergesa menyalahkan
orang lain yang mengerjakan shalat di atas sesuatu yang mewah, atau pada
sesuatu yang aneh. Allah mempunyai hamba-hamba yang suci sebagai
perhiasan dan orang-orang yang rendah hati sehingga tidak pernah
“menampakkan” diri.

Anda mungkin juga menyukai