Anda di halaman 1dari 18

I.

SUJUD
Sajdah ( ُ‫ )سجدة‬atau sujūd ( ‫ )سُجود‬merupakan perkataan Arab yang boleh disama artikan
dengan perbuatan meletakkan dahi, hidung, kedua-dua telapak tangan, kedua-dua lutut dan
kedua-dua perut anak jari-jari kaki pada keadaan serentak di lantai dengan tujuan tertentu
kerana Allah pada waktu dan masa-masa tertentu. Ketika sujud, Muslim dikehendaki
membaca bacaan tertentu dalam perbuatannya itu.

Takrifan sujud ini boleh ini boleh disejajarkan dengan kewajipan bersujud yang telah
diperintahkan Allah dan RasulNya. Sabda Muhammad Rasullullah yang bermaksud:

Aku diperintah (oleh Allah) bahawa aku sujud di atas tujuh anggota, di atas dahi dan
diisyarat dengan tangannya di atas hidungnya,dan dua tangan dan dua lutut dan perut-perut
anak jari dua kaki. (Hadis Muttafaqun Alaih)

Jenis sujud dalam Islam

1.  Sujud Sahwi

Sujud sahwi adalah sujud yang dilakukan karena meninggalkan pekerjaan atau bacaan
tertentu dalam sholat. Hal-hal yang menyebabkan sujud sahwi adalah karena lupa dan
meninggalkan sunnah ab’adh (bila dilakukan secara sengaja maka sholatnya batal) atau ragu-
ragu bilangan rakaat shalat. Jika seseorang ragu-ragu terhadap rakat sholat maka yang
ditetapkan ialah rakaat yang jumlahnya lebih sedikit. Dari Ibni Mas‘ud ra. Bahwa Rasulullah
SAW bersabda, ”Bila kamu lupa dalam shalat, maka sujudlah dua kali (sujud sahwi)” (HR.
Muslim) ”Bila seseorang merasa ragu dalam shalatnya, dan tidak tahu sudah berapa rakaat,
tiga atau empat, maka hendaklah membuang ragunya itu dan lakukan apa yang diyakini.
Kemudian hendaklah sujud dua kali sebelum salam.” (HR. Muslim)
Cara sujud shawi sama dengan sujud pada umumnya. Jumlahnya dua kali diselingi duduk di
antara dua sujud.

Waktu mengerjakan sujud Sahwi


Ada perbedaan ulama dalam masalah ini:

1. Mazhab Hanafi mengatakan bahwa sujud sahwi itu dilakukan sesudah salam pertama.
Baik karena kelebihan atau karena kekurangan dalam shalat.
Caranya menurut mazhab ini adalah bertasyahhud lalu mengucapkan salam sekali
saja, lalu sujud lagi (sujud sahwi) kemudian bertasyahud lagi salu bersalam. Bila saat
salam pertama dilakukan dua kali salam, maka tidak boleh lagi sujud sahwi.
2. Sedangkan Mazhab Maliki dan menurut sebuah riwayat dari Imam Ahmad bin
Hanbal, bahwa harus dibedakan sujud sahwi berdasarkan bentuk lupanya. Bila
lupanya adalah kekurangan dalam gerakan shalat, maka sujud sahwi dilakukan
sebelum salam. Dan sebaliknya bila kelebihan gerakan, maka sujudnya sesudah salam
atau setelah selesai shalat. Dalilnya adalah hadits Abdullah bin Malik bin Buhainah
“bahwa Rasulullah SAW langsung berdiri pada rakaat kedua dalam shalat zhuhur dan
tidak duduk tasyahhud awal. Ketika telah selesai salatnya, maka beliau sujud dua

1
kali”. (HR. Bukhari dan Muslim) Sedangkan bila lupa yang menyebabkan kelebihan
gerakan shalat, maka sujudnya sesudah salam.Dalilnya adalah hadits Abdullah bin
as‘ud ra. Bahwa Rasulullah SAW shalat bersama kami lima rakaat. Lalu kami
bertanya, ”Apakah ada perubahan (tambahan) dalam shalat?” Beliau bertanya,
”Memangnya kenapa?”. ”Anda shalat lima rakaat wahai Rasulullah”, jawab kami.
“Sesungguhnya aku adalah manusia seperti kalian, jadi aku mengingat seperti kalian
mengingat dan lupa seperti kalian lupa.”. Lalu beliau sujud dua kali.” (HR. Muslim)
3. Mazhab Syafi‘i dan juga riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa
sujud sahwi itu dilakukan sebelum salam.
4. Sedangkan Mazhab Hambali mengatakan bahwa sujud sahwi itu dilakukan sebelum
salam.

Sujud Sahwi dalam sholat jamaah

Dalam shalat jamaah, posisi imam adalah untuk diikuti. Namun hak makmum adalah
mengingatkan bila imam lalai atau lupa. Makmum laki-laki memberi peringatan dengan
mengucapkan lafaz “Subhanallah”, sedangkan makmum wanita dengan menepuk punggung
tangan.Untuk itu imam wajib mendengar peringat makmum bila melakukan kesalahan, dan
diakhir salat hendaknya melakukan sujud sahwi dan wajib diikuti oleh makmum. Meskipun
yang lupa hanya imam saja, tapi makmum harus ikut imam dan melakukan sujud sahwi juga.

Bacaan Sujud Sahwi


Lafaz yang diucapkan ketika sujud sahwi adalah “subhaana man laa yanaamu wa la yashuu”

(Maha Suci Allah yang tidak pernah tidur dan lupa).

2.  Sujud Tilawah

Tilawah secara bahasa artinya bacaan. Sujud tilawah menurut perngertian syara’ adalah sujud
yang dilakukan ketika seseorang membaca atau mendengar ayat-ayat sajdah dibacakan orang
lain. Sujud tilawah dapat dilakukan pada waktu shalat, juga di luar shalat. Hukumnya ialah
sunnah.
Dari Abi Hurairah ra, Nabi SAW bersabda : “Apabila seseorang membaca ayat sajdah, lalu ia
sujud, maka syaitan menghindar dan menangis serta berkata : Hai, celaka, anak Adam
(manusia) diperintahkan sujud kemudia dia sujud, maka baginya syurga, dan saya pernah
diperintahkan sujud juga, tetapi sayang enggan, maka bagi saya neraka.” (HR. Muslim).
Dari Ibnu Umar ra, sesungguhnya Rasulullah SAW pernah membaca Al-Qur’an di depan
kami, ketika beliau membaca ayat sajdah beliau takbir lalu sujud, kami pun sujud pula
bersama-sama beliau.” (HR. At-Turmudzi).

Bacaan sujud tilawah :

Artinya :

“Aku sujud kepada Tuhan yang telah menjadikan dan membentuk aku dan telah
membukakan pendengaran dan penglihatan dengan kekuasaan dan kekuatanNya. Maha
Berkah Allah, Dialah sebaik-baik pencipta.”
Menurut Ibnu Sakan, bacaan sujud ini dibaca tiga kali. Ada satu riwayat yang menyatakan

2
bahwa jika sujud tilawah dilakukan pada waktu shalat, maka sebaiknya yanng dibaca adalah
“subhaana robbiyal a’laa wa bihamdih”.
Syarat-syarat Sujud Tilawah
a. Suci dari hadats dan najis.
b. Menghadap kiblat.
c. Menutup aurat.
d. Ketika membaca atau mendengar ayat sajdah.

Rukun Sujud Tilawah (di luar shalat) :


a. Niat
b. Takbiratul Ihram.
c. Sujud satu kali.
d. Memberi salam sesudah duduk
e. Tertib

Ayat-ayat Sajdah :
a. Surat Al-A’raf : 206
b. Surat Ar-Ra’du : 15
c. Surat An-Nahl : 50
d. Surat Al-Isra : 109
e. Surat Maryam : 58
f. Surat Al-Hajj : 18
g. Surat Al-Furqan : 60
h. Surat An-Naml : 26
i. Surat As-Sajdah : 15
j. Surat Shod : 24
k. Surat An-Najm : 62
k. Surat Al-Insyiqaq : 21
l. Surat Al-Alaq : 19

3.  Sujud Syukur

Syukur artinya berterima kasih kepada Allah. Sujud Syukur ialah sujud yang dilakukan ketika
sesorang memperoleh keni’matan Allah atau terhindar dari bahaya. Hukumnya adalah
sunnah.
Sujud syukur dilakukan di luar sholat, dan mengenai syarat dan rukunnya sama seperti sujud
tilawah.
Dari Abu Bakrah, sesungguhnya Nabi SAW apabila mendapat sesutau yang menyenangkan
atau diberi khaba gembira segera tunduk sujud sebagai tanda syukur kepada Allh SWT. (HR
Abu Dawud, Ibnu Majah dan At-Turmudzi yang menganggap hadits hasan).
Dalam hadits lain disebutkan bahwa sesungguhnya Ali ra. ketika menulis surat kepada Nabi
SAW untuk memberitahukan masuk Islamnya suku Hamazan beliau sujud dan setelah
mengangkat kepalanya beliau bersabda : “Selamat sejahteera atas suku Hamazan.”

3
II. SHOLAT SUNAH
Macam shalat sunah adalah : 
1. Shalat Wudhu, Yaitu shalat sunnah dua rakaat yang bisa dikerjakan setiap selesai wudhu,
niatnya :Ushalli sunnatal wudlu-I rak’ataini lillahi Ta’aalaa’ artinya : ‘aku niat shalat
sunnah wudhu dua rakaat karena Allah’  

2. Shalat Tahiyatul Masjid, yaitu shalat sunnah dua rakaat yang dikerjakan ketika
memasuki masjid, sebelum duduk untuk menghormati masjid. Rasulullah bersabda

‘Apabila seseorang diantara kamu masuk masjid, maka janganlah hendak duduk sebelum
shalat dua rakaat lebih dahulu’ (H.R. Bukhari dan Muslim). Niatnya : ‘Ushalli sunnatal
Tahiyatul Masjidi   rak’ataini lillahi Ta’aalaa’ Artinya : ‘aku niat shalat sunnah tahiyatul
masjid dua rakaat karena Allah’

3. Shalat Dhuha. Adalah shalat sunnah yang dikerjakan ketika matahari baru naik. Jumlah
rakaatnya minimal 2 maksimal 12. Dari Anas berkata Rasulullah ‘Barang siapa shalat
Dhuha 12 rakaat, Allah akan membuatkan untuknya istana disurga’ (H.R. Tarmiji dan Abu
Majah). Niatnya : ‘Ushalli sunnatal Dhuha rak’ataini lillahi Ta’aalaa’ Artinya : ‘aku niat
shalat sunnah dhuha dua rakaat karena Allah’

 4. Shalat Rawatib. Adalah shalat sunnah yang dikerjakan mengiringi shalat fardhu.

a.   Qabliyah, adalah shalat sunnah rawatib yang dikerjakan sebelum shalat wajib.
Waktunya : 2 rakaat sebelum shalat subuh, 2 rakaat sebelum shalat Dzuhur, 2 atau 4 rakaat
sebelum shalat Ashar, dan 2 rakaat sebelum shalat Isya’. Niatnya: ‘Ushalli sunnatadh
Dzuhri*  rak’ataini Qibliyyatan lillahi Ta’aalaa’ Artinya: ‘aku niat shalat sunnah sebelum
dzuhur dua rakaat karena Allah’       * bisa diganti dengan shalat wajib yang akan
dikerjakan.

b.   Ba’diyyah, adalah shalat sunnah rawatib yang dikerjakan setelah shalat fardhu.
Waktunya : 2 atau 4 rakaat sesudah shalat Dzuhur, 2 rakaat sesudah shalat Magrib dan 2
rakaat sesudah shalat Isya. Niatnya : ‘Ushalli sunnatadh Dzuhri*  rak’ataini Ba’diyyatan
lillahi Ta’aalaa’ Artinya : ‘aku niat shalat sunnah sesudah  dzuhur dua rakaat karena
Allah’   * bisa diganti dengan shalat wajib yang akan dikerjakan.

5. Shalat Tahajud, adalah shalat sunnah pada waktu malam. Sebaiknya lewat tengah malam.
Dan setelah tidur. Minimal 2 rakaat maksimal sebatas kemampuan kita. Keutamaan shalat ini,
diterangkan dalam Al-Qur’an. ‘Dan pada sebagian malam hari bershalat tahajudlah kamu
sebagai suatu ibadah tambahan bagimu. Mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ketempat
yang terpuji’(Q.S. Al Isra : 79 ). Niatnya : ‘Ushalli sunnatal tahajjudi  rak’ataini lillahi
Ta’aalaa’ Artinya : ‘aku niat shalat sunnah tahajjud dua rakaat karena Allah’

6.  Shalat Istikharah, adalah shalat sunnah dua rakaat untuk meminta petunjuk yang baik,
apabila kita menghadapi dua pilihan, atau ragu dalam mengambil keputusan. Sebaiknya
dikerjakan pada 2/3 malam terakhir. Niatnya : ‘Ushalli sunnatal Istikharah  rak’ataini lillahi
Ta’aalaa’ Artinya : ‘aku niat shalat sunnah Istikharah dua rakaat karena Allah’

4
7.  Shalat Hajat, adala shalat sunnah dua rakaat untuk memohon agar hajat kita dikabulkan
atau diperkenankan oleh Allah SWT. Minimal 2 rakaat maksimal 12 rakaat dengan salam
setiap 2 rakaat. Niatnya : ‘Ushalli sunnatal Haajati  rak’ataini lillahi Ta’aalaa’ Artinya :
‘aku niat shalat sunnah hajat dua rakaat karena Allah’

8. Shalat Mutlaq, adalah shalat sunnah tanpa sebab dan tidak ditentukan waktunya, juga
tidak dibatasi jumlah rakaatnya. ‘Shalat itu suatu perkara yang baik, banyak atau sedikit’ (Al
Hadis). Niatnya : ‘Ushalli sunnatal rak’ataini lillahi Ta’aalaa’ Artinya : ‘aku niat shalat
sunnah dua rakaat karena Allah’

9.  Shalat Taubat, adalah shalat sunnah yang dilakukan setelah merasa berbuat dosa kepada
Allah SWT, agar mendapat ampunan-Nya. Niatnya: ‘Ushalli sunnatal Taubati   rak’ataini
lillahi Ta’aalaa’ Artinya : ‘aku niat shalat sunnah taubat   dua rakaat karena Allah’

10. Shalat Tasbih, adalah shalat sunnah yang dianjurkan dikerjakan setiap malam, jika tidak
bisa seminggu sekali, atau paling tidak seumur hidup sekali. Shalat ini sebanyak empat rakaat,
dengan ketentuan jika dikerjakan pada siang hari cukup dengan satu salam, Jika dikerjakan
pada malam hari dengan dua salam. Cara mengerjakannya

Niat :

 ‘Ushalli sunnatan tasbihi raka’ataini lilllahi ta’aalaa’ artinya ‘aku niat shalat sunnah tasbih
dua rakaat karena Allah’

a. Usai membaca surat Al Fatehah membaca tasbih 15 kali.

b. Saat ruku’, usai membaca do’a ruku membaca tasbih 10 kali

c. Saat ‘itidal, usai membaca do’a ‘itidal membaca tasbih 10 kali

d. Saat sujud, usai membaca doa sujud membaca tasbih 10 kali

e. Usai membaa do’a duduk diantara dua sujud membaca tasbi 10 kali.

f. Usai membaca doa sujud kedua membaca tasbih 10 kali.

Jumlah keseluruhan tasbih yang dibaca pada setiap rakaatnya sebanyak 75 kali. Lafadz bacaan
tasbih yang dimaksud adalah sebagai berikut :

‘Subhanallah wal hamdu lillahi walaa ilaaha illallahu wallahu akbar’ artinya : ‘Maha suci
Allah yang Maha Esa. Segala puji bagi Akkah, Dzat yang Maha Agung’.

11. Shalat Tarawih,  adalah shalat sunnah sesudah shalat Isya’pada bulan Ramadhan.
Menegenai bilangan rakaatnya disebutkan dalam hadis. ‘Yang dikerjakan oleh Rasulullah
saw, baik pada bulan ramadhan atau lainnya tidak lebih dari sebelas rakaat’ (H.R. Bukhari).
Dari Jabir ‘Sesungguhnya Nabi saw telah shallat bersama-sama mereka delapan rakaat,

5
kemudian beliau shalat witir.’ (H.R. Ibnu Hiban)

Pada masa khalifah Umar bin Khathtab, shalat tarawih dikerjakan sebanyak 20 rakaat dan hal
ini tidak dibantah oleh para sahabat terkenal dan terkemuka. Kemudian pada zaman Umar bin
Abdul Aziz bilangannya dijadikan 36 rakaat. Dengan demikian bilangan rakaatnya tidak
ditetapkan secara pasti dalam syara’, jadi tergantung pada kemampuan kita masing-masing,
asal tidak kurang dari 8 rakaat. Niat shalat tarawih :

‘Ushalli sunnatan Taraawiihi rak’ataini (Imamam/makmuman) lillahi ta’aallaa’ artinya :


‘Aku niat shalat sunat tarawih dua rakaat (imamam/makmum) karena Allah’

12. Shalat Witir, adalah shalat sunnat mu’akad (dianjurkan) yang biasanya dirangkaikan


dengan shalat tarawih, Bilangan shalat witir 1, 3, 5, 7 sampai 11 rakaat. Dari Abu Aiyub,
berkata Rasulullah ‘Witir itu hak, maka siapa yang suka mengerjakan lima, kerjakanlah.
Siapa yang suka mengerjakan tiga, kerjakanlah. Dan siapa yang suka satu maka
kerjakanlah’(H.R. Abu Daud dan Nasai). Dari Aisyah : ‘Adalah nabi saw. Shalat sebelas
rakaat diantara shalat isya’ dan terbit fajar. Beliau memberi salam setiap dua rakaatdan
yang penghabisan satu rakaat’ (H.R. Bukhari dan Muslim)

‘Ushalli sunnatal witri rak’atan lillahi ta’aalaa’artinya : ‘Aku niat shalat sunnat witir dua
rakaat karena Allah’

13. Shalat Hari Raya, adalah shalat Idul Fitri pada 1 Syawal dan Idul Adha pada 10
Dzulhijah. Hukumnya sunat Mu’akad (dianjurkan).’Sesungguhnya kami telah memberi
engkau (yaa Muhammad) akan kebajikan yang banyak, sebab itu shalatlah engkau dan
berqurbanlah karena Tuhanmu ‘ pada Idul Adha –  ‘(Q.S. Al Kautsar.1-2)Dari Ibnu Umar
‘Rasulullah, Abu Bakar, Umar pernah melakukan shalat pada dua hari raya sebelum
berkhutbah.’(H.R. Jama’ah). Niat Shalat Idul Fitri :

‘Ushalli sunnatal li’iidil fitri rak’ataini (imamam/makmumam) lillahita’aalaa’ artinya : ‘Aku


niat shalat idul fitri dua rakaat (imam/makmum) karena Allah’

Niat Shalat Idul Adha :

‘Ushalli sunnatal li’iidil Adha rak’ataini (imamam/makmumam) lillahita’aalaa’ artinya :


‘Aku niat shalat idul adha dua rakaat (imam/makmum) karena Allah

Waktu shalat hari raya adalah setelah terbit matahari sampai condongnya matahari. Syarat,
rukun dan sunnatnya sama seperti shalat yang lainnya. Hanya ditambah beberapa sunnat
sebagai berikut:

a.  Berjamaah

b.  Takbir tujuh kali pada rakaat pertama, dan lima kali pada rakat kedua

c.  Mengangkat tangan setinggi bahu pada setiap takbir.

d.  Setelah takbir yang kedua sampai takbir yang terakhir membaca tasbih.

6
e.  Membaca surat Qaf dirakaat pertama dan surat Al Qomar di rakaat kedua.

Atau surat A’la dirakat pertama dan surat Al Ghasiyah pada rakaat kedua.

f.   Imam menyaringkan bacaannya.

g.  Khutbah dua kali setelah shalat sebagaimana khutbah jum’at

h.  Pada khutbah Idul Fitri memaparkan tentang zakat fitrah dan pada Idul

Adha tentang hukum-hukum Qurban.

i.   Mandi, berhias, memakai pakaian sebaik-baiknya.

j.   Makan terlebih dahulu pada shalat Idul Fitri pada Shalat Idul Adha

sebaliknya.

14. Shalat Khusuf, adalah shalat sunat sewaktu terjadi gerhana bulan atau matahari. Minimal
dua rakaat. Caranya mengerjakannya :

a. Shalat dua rakaat dengan 4 kali ruku’ yaitu pada rakaat pertama, setelah ruku’ dan I’tidal
membaca fatihah lagi kemudian ruku’ dan I’tidal kembali setelah itu sujud sebagaimana biasa.
Begitu pula pada rakaat kedua.

b. Disunatkan membaca surat yang panjang, sedang membacanya pada waktu gerhana bulan
harus nyaring sedangkan pada gerhana matahari sebaliknya.

Niat shalat gerhana bulan :

‘Ushalli sunnatal khusuufi rak’ataini  lillahita’aalaa’ artinya : ‘Aku niat shalat gerhana


bulan  dua rakaat  karena Allah’

15. Shalat Istiqa’,adalah shalat sunat yang dikerjakan untuk memohon hujan kepada Allah
SWT. Niatnya ‘

‘Ushalli sunnatal Istisqaa-I  rak’ataini (imamam/makmumam) lillahita’aalaa’ artinya : ‘Aku


niat shalat istisqaa dua rakaat (imam/makmum) karena Allah’

Syarat-syarat mengerjakana Shalat Istisqa :

a.  Tiga hari sebelumnya agar ulama memerintahkan umatnya bertaobat dengan berpusa dan
meninggalkan segala kedzaliman serta menganjurkan beramal shaleh. Sebab menumpuknya
dosa itu mengakibatkan hilangnya rejeki dan datangnya murka Allah. ‘Apabila kami hendak
membinasakan suatu negeri, maka lebih dulu kami perbanyak orang-orang yang fasik, sebab
kefasikannyalah mereka disiksa, lalu kami robohkan (hancurkan) negeri mereka sehancur-
hancurnya’(Q.S. Al Isra’ : 16).

b.  Pada hari keempat semua penduduk termasuk yang lemah dianjurkan pergi kelapangan

7
dengan pakaian sederana dan tanpa wangi-wangian untuk shalat Istisqa’

c.  Usai shalat diadakan khutbah dua kali. Pada khutbah pertama hendaknya membaca istigfar
9 X dan pada khutbah kedua 7 X.

Pelaksanaan khutbah istisqa berbeda dengan khutbah lainnya, yaitu :

a.  Khatib disunatkan memakai selendang.

b.  Isi khutbah menganjurkan banyak beristigfar, dan berkeyakinan bahwa Allah SWT akan
mengabulkan permintaan mereka.

c.  Saat berdo’a hendaknya mengangkat tangan setinggi-tingginya.

Saat berdo’a pada khutbah kedua, khatib hendaknya menghadap kiblat membelakangi
makmumnya

8
III. MACAM – MACAM PUASA

1. PUASA WAJIB

a. Puasa Ramadhan

Puasa Ramadhan adalah puasa wajib yang dikerjakan bagi setiap muslim pada bulan
Ramadhan selama sebulan penuh.

Allah SWT berfirman:

Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agara kamu bertaqwa. (Q.S. Al-Baqarah[2]: 183)
Puasa Ramadhan juga termasuk dalam rukun Islam, sebagaimana tersebut dalam hadits
Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar r.a:

“Didirikan agama Islam itu atas lima dasar yaitu bersaksi bahwa tiada sesembahan melainkan
Allah dan Nabi Muhammada adalah utusan Allah, mendirikan shalat lima waktu,
mengeluarkan zakat, puasa bulan Ramadhan dan melaksanakan haji ke Baitullah bagi yang
mampu jalannya” (H.R. Bukhari dan Muslim).

b. Puasa Nadzar

Nadzar secara bahasa berarti janji. Puasa nadzar adalah puasa yang disebabkan karena janji
seseorang untuk mengerjakan puasa. Misalkan, Rudi berjanji jika nanti naik kelas 9 ia akan
berpuasa 3 hari berturut-turut, maka apabila Rudi benar-benar naik kelas ia wajib
mengerjakan puasa 3 hari berturut-turut yang ia janjikan itu.

Berkaitan dengan puasa nadzar, Rasulullah saw pernah bersabda:


Barangsiapa bernadzar akan mentaati Allah (mengerjakan perintahnya), maka hendaklah ia
kerjakan. (H.R. Bukhari)

c. Puasa Kafarat

Kafarat berasal dari kata dasar kafara yang artinya menutupi sesuatu. Puasa kafarat secara
istilah artinya adalah puasa untuk mengganti denda yang wajib ditunaikan yang disebabkan
oleh suatu perbuatan dosa, yang bertujuan menutup dosa tersebut sehingga tidak ada lagi
pengaruh dosa yang diperbuat tersebut, baik di dunia maupun di akhirat.

2. PUASA SUNNAH

a. Puasa enam hari di bulan Syawal.

9
Baik dilakukan secara berturutan ataupun tidak. Rasulullah saw bersabda, yang artinya:
Keutamaan puasa romadhon yang diiringi puasa Syawal ialah seperti orang yang berpuasa
selama setahun (HR. Muslim).

b. Puasa sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah

Yang dimaksud adalah puasa di sembilan hari yang pertama dari bulan ini, tidak termasuk
hari yang ke-10. Karena hari ke-10 adalah hari raya kurban dan diharamkan untuk berpuasa.

c. Puasa hari Arafah

Yaitu puasa pada hari ke-9 bulan Dzuhijjah. Keutamaannya, akan dihapuskan dosa-dosa pada
tahun lalu dan dosa-dosa pada tahun yang akan datang (HR. Muslim). Yang dimaksud
dengan dosa-dosa di sini adalah khusus untuk dosa-dosa kecil, karena dosa besar hanya bisa
dihapus dengan jalan bertaubat.

d. Puasa Muharrom

Yaitu puasa pada bulan Muharram terutama pada hari Assyuro’. Keutamaannya puasa ini,
sebagaimana disebutkan dalam hadist riwayat Bukhari, yakni puasa di bulan ini adalah puasa
yang paling utama setelah puasa bulan Romadhon.

e. Puasa Assyuro’

Hari Assyuro’ adalah hari ke-10 dari bulan Muharram. Nabi shalallahu ‘alaihi wasssalam
memerintahkan umatnya untuk berpuasa pada hari Assyuro’ ini dan mengiringinya dengan
puasa 1 hari sebelum atau sesudahnhya. Hal ini bertujuan untuk menyelisihi umat Yahudi dan
Nasrani yang hanya berpuasa pada hari ke-10. Keutamaan: akan dihapus dosa-dosa (kecil) di
tahun sebelumnya (HR. Muslim).

f. Puasa Sya’ban.

Yang dimaksud puasa Sya’ban adalah memperbanyak puasa pada bulan Sya’ban.
Keutamaan: Bulan ini adalah bulan di mana semua amal diangkat kepada Rabb semesta alam
(HR. An-Nasa’i & Abu Daud, hasan).

g. Puasa Senin dan Kamis.

Nabi telah menyuruh ummatnya untuk puasa pada hari Senin dan Kamis. Hari Senin adalah
hari kelahiran Nabi Muhammad sedangkan hari Kamis adalah hari di mana ayat Al-Qur’an
untuk pertama kalinya diturunkan. Perihal hari Senin dan Kamis, Rasulullah juga telah
bersabda:

“Amal perbuatan itu diperiksa pada setiap hari Senin dan Kamis, maka saya senang diperiksa
amal perbuatanku, sedangkan saya sedang berpuasa. (HR Tirmidzi)

h. Puasa Tengah Bulan (tiga hari setiap bulan Qamariyah).

10
Disunnahkan untuk melakukannya pada hari-hari putih (Ayyaamul Bidh) yaitu tanggal 13,
14, dan 15 setiap bulan qamariyah.

i. Puasa Dawud

Cara mengerjakan puasa nabi Dawud adalah dengan sehari puasa sehari tidak puasa, atau
selang-seling. Puasa nabi Dawud adalah puasa yang paling disukali oleh Allah swt. (HR.
Bukhari-Muslim).

3) Puasa Makruh

Kapan puasa hukumnya makruh? Puasa yang makruh dilakukan adalah puasa pada hari Jumat
dan Sabtu yang tidak bermaksud mengqadha’ Ramadhan, membayar nadzar atau kafarat, atau
tidak diniatkan untuk puasa sunnah tertentu. Jadi seseorang yang puasa pada hari Jumat atau
Sabtu dengan niat mengqadha’ puasa Ramadhan tidak termasuk puasa makruh. Misal tanggal
9 Dzulhijjah jatuh pada hari Sabtu maka puasa hari Sabtu pada waktu itu menjadi puasa
sunnah bukan makruh. Ada pendapat lain yang lebih keras bahkan menyatakan bahwa puasa
pada hari Jumat tergolong puasa haram jika dilakukan tanpa didahului hari sebelum atau
sesudahya.

4) Puasa Haram

Ada puasa pada waktu tertentu yang hukumnya haram dilakukan, baik karena waktunya atau
karena kondisi pelakukanya.

a. Hari Raya Idul Fitri

Tanggal 1 Syawwal telah ditetapkan sebagai hari raya sakral umat Islam. Hari itu adalah hari
kemenangan yang harus dirayakan dengan bergembira. Karena itu syariat telah mengatur
bahwa di hari itu tidak diperkenankan seseorang untuk berpuasa sampai pada tingkat haram.
Meski tidak ada yang bisa dimakan, paling tidak harus membatalkan puasanya atau tidak
berniat untuk puasa.

b. Hari Raya Idul Adha

Hal yang sama juga pada tanggal 10 Zulhijjah sebagai Hari Raya kedua bagi umat Islam. Hari
itu diharamkan untuk berpuasa dan umat Islam disunnahkan untuk menyembelih hewan
Qurban dan membagikannya kepada fakir msikin dan kerabat serta keluarga. Agar semuanya
bisa ikut merasakan kegembiraan dengan menyantap hewan qurban itu dan merayakan hari
besar.

c. Hari Tasyrik

Hari tasyrik adalah tanggal 11, 12 dan 13 bulan Zulhijjah. Pada tiga hari itu umat Islam masih
dalam suasana perayaan hari Raya Idul Adha sehingga masih diharamkan untuk berpuasa.

11
Pada tiga hari itu masih dibolehkan utnuk menyembelih hewan qurban sebagai ibadah yang
disunnahkan sejak zaman nabi Ibrahim as.

d. Puasa sepanjang tahun / selamanya

Diharamkan bagi seseorang untuk berpuasa terus setiap hari. Meski dia sanggup untuk
mengerjakannya karena memang tubuhnya kuat. Tetapi secara syar`i puasa seperti itu
dilarang oleh Islam. Bagi mereka yang ingin banyak puasa, Rasulullah SAW menyarankan
untuk berpuasa seperti puasa Nabi Daud as yaitu sehari puasa dan sehari berbuka

HAL – HAL YANG MEMBATALKAN PUASA

1- Makan dan minum dengan sengaja

Yang disebut makan dan minum sebagai pembatal puasa adalah yang sudah makruf disebut
makan dan minum[1] yang dimasukkan adalah zat makanan[2] ke dalam perut (lambung) dan
dapat menguatkan tubuh (mengenyangkan)[3].

Syaikh Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Orang yang berpuasa dilarang makan dan minum
karena keduanya dapat menguatkan tubuh. Padahal maksud meninggalkan makan dan minum
di mana kedua aktivitas ini yang mengalirkan darah di dalam tubuh, di mana darah ini adalah
tempat mengalirnya setan, dan bukanlah disebabkan karena melakukan injeksi atau
bercelak.”[4]

Jika demikian sebabnya, maka memasukkan sesuatu yang bukan makanan ke dalam perut
tidaklah merusak puasa.[5]

Jika orang yang berpuasa lupa, keliru, atau dipaksa, puasanya tidaklah batal. Dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ِ ِ
ُ‫ فَِإمَّنَا أَطْ َع َمهُ اللَّهُ َو َس َقاه‬، ُ‫ص ْو َمه‬ َ ‫إِ َذا نَس َى فَأَ َك َل َو َش ِر‬
َ ‫ب َف ْليُت َّم‬
“Apabila seseorang makan dan minum dalam keadaan lupa, hendaklah dia tetap
menyempurnakan puasanya karena Allah telah memberi dia makan dan minum.”[6]

2- Muntah dengan sengaja

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ِ َ َ‫من ذَرعه قَىء وهو صائِم َفلَيس علَي ِه ق‬


‫ض‬ ْ ‫ضاءٌ َوإِن‬
ِ ‫اسَت َقاءَ َف ْلَي ْق‬ ْ َ َ ْ ٌ َ َُ َ ٌ ْ َُ َ ْ َ
“Barangsiapa yang muntah menguasainya (muntah tidak sengaja) sedangkan dia dalam
keadaan puasa, maka tidak ada qadha’ baginya. Namun apabila dia muntah (dengan
sengaja), maka wajib baginya membayar qadha’.”[7]

12
Yang tidak membatalkan di sini adalah jika muntah menguasai diri artinya dalam keadaan
dipaksa oleh tubuh untuk muntah. Hal ini selama tidak ada muntahan yang kembali ke dalam
perut atas pilihannya sendiri. Jika yang terakhir ini terjadi, maka puasanya batal.[8]

3- Mendapati haidh dan nifas

Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
ditanya mengenai sebab kekurangan agama wanita, beliau berkata,

‫ص ْم‬
ُ َ‫ص ِّل َومَلْ ت‬
َ ُ‫ت مَلْ ت‬ َ ‫س إِ َذا َح‬
ْ ‫اض‬ َ ‫أَلَْي‬
“Bukankah wanita jika haidh tidak shalat dan tidak puasa?” (HR. Bukhari no. 304 dan
Muslim no. 79).

Penulis Kifayatul Akhyar berkata, “Telah ada nukilan ijma’ (sepakat ulama), puasa menjadi
tidak sah jika mendapati haidh dan nifas. Jika haidh dan nifas didapati di pertengahan siang,
puasanya batal.”[9]

Syaikh Musthofa Al Bugho berkata, “Jika seorang wanita mendapati haidh dan nifas,
puasanya tidak sah. Jika ia mendapati haidh atau nifas di satu waktu dari siang, puasanya
batal. Dan ia wajib mengqadha’ puasa pada hari tersebut.”[10]

4- Jima’ (bersetubuh) dengan sengaja

Yang dimaksud di sini adalah memasukkan pucuk zakar atau sebagiannya secara sengaja
dengan pilihan sendiri dan dalam keadaan tahu akan haramnya. Yang termasuk pembatal di
sini bukan hanya jika dilakukan di kemaluan, termasuk pula menyetubuhi di dubur manusia
(anal sex) atau selainnya, seperti pada hewan (dikenal dengan istilah zoophilia). Menyetubuhi
di sini termasuk pembatal meskipun tidak keluar mani.

Sedangkan jika dilakukan dalam keadaan lupa dan tidak mengetahui haramnya, maka tidak
batal sebagaimana ketika membahas tentang pembatal puasa berupa makan.[11]

Dalil yang menunjukkan bahwa bersetubuh (jima’) termasuk pembatal adalah firman Allah
Ta’ala,

ِّ ‫َس َو ِد ِم َن الْ َف ْج ِر مُثَّ أَمِت ُّوا‬


‫الص يَ َام إِىَل اللَّْي ِل‬ ِ ِ ‫ط اأْل َبي‬
ْ ‫ض م َن اخْلَْي ط اأْل‬
ُ َْ ُ ‫اش َربُوا َحىَّت َيتََبنَّي َ لَ ُك ُم اخْلَْي‬
ْ ‫َو ُكلُ وا َو‬
‫اج ِد‬
ِ ‫اشروه َّن وأَْنتم عاكِ ُفو َن يِف الْمس‬
ََ
ِ
َ ْ ُ َ ُ ُ َ‫َواَل ُتب‬
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.
Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu
campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid” (QS. Al Baqarah: 187).
Tubasyiruhunna dalam ayat ini bermakna menyetubuhi.

5- Keluar mani karena bercumbu

13
Yang dimaksud mubasyaroh atau bercumbu di sini adalah dengan bersentuhan seperti ciuman
tanpa ada pembatas, atau bisa pula dengan mengeluarkan mani lewat tangan (onani).
Sedangkan jika keluar mani tanpa bersentuhan seperti keluarnya karena mimpi basah atau
karena imajinasi lewat pikiran, maka tidak membatalkan puasa.

Muhammad Al Hishni rahimahullah berkata, “Termasuk pembatal jika mengeluarkan mani


baik dengan cara yang haram seperti mengeluarkan mani dengan tangan sendiri (onani) atau
melakukan cara yang tidak haram seperti onani lewat tangan istri atau budaknya.” Lalu beliau
katakan bahwa bisa dihukumi sebagai pembatal karena maksud pokok dari hubungan intim
(jima’) adalah keluarnya mani. Jika jima’ saat puasa diharamkan dan membuat puasa batal
walau tanpa keluar mani, maka mengeluarkan mani seperti tadi lebih-lebih bisa dikatakan
sebagai pembatal. Juga beliau menambahkan bahwa keluarnya mani dengan berpikir atau
karena ihtilam (mimpi basah) tidak termasuk pembatal puasa. Para ulama tidak berselisih
dalam hal ini, bahkan ada yang mengatakan sebagai ijma’ (konsensus ulama).”[12]

Al Baijurimenyebutkan bahwa keluarnya madzi tidak membatalkan puasa walau karena


bercumbu.[13]

Syaikh Prof. Dr. Musthofa Al Bugho berkata, “Diharamkan mencium pasangan saat puasa
Ramadhan bagi yang tinggi syahwatnya karena hal ini dapat mengantarkan pada rusaknya
puasa. Sedangkan bagi yang syahwatnya tidak bergejolak, maka tetap lebih utama ia tidak
mencium pasangannya.”[14]

Konsekuensi dari Melakukan Pembatal Puasa

Bagi yang batal puasanya karena makan dan minum, muntah dengan sengaja, mendapati
haidh dan nifas, dan keluar mani karena bercumbu, maka kewajibannya adalah mengqadha’
puasa saja.

Sedangkan yang batal puasa karena jima’ (bersetubuh) di siang bulan Ramadhan, maka ia
punya kewajiban qadha’ dan wajib menunaikan kafarah yang dibebankan pada laki-laki[15].
Kafarah atau tebusannya adalah memerdekakan satu orang budak. Jika tidak didapati, maka
berpuasa dua bulan berturut-turut. Jika tidak mampu, maka memberi makan kepada 60 orang
miskin.[16]

Semoga bermanfaat.
[Tulisan di atas dicuplik dari Buku Panduan Ramadhan cetakan keenam tahun 2014 karya
Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal yang dibagikan gratis kepada kaum muslimin,
diterbitkan oleh Pustaka Muslim Yogyakarta. Bagi yang ingin mendownload buku tersebut
silakan buka di sini]

[1] Merokok termasuk pembatal puasa karena secara bahasa disebut syarbud dukhon (minum
asap). Itu artinya merokok sudah termasuk minum. Ini pendapat Syaikh Muhammad bin
Shalih Al ‘Utsaimin yang disebutkan oleh Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman bin Jibrin
dalam Syarh ‘Umdatul Fiqh, 1: 584.

[2] Dalam Lisanul ‘Arob disebutkan,

ً‫أكلت الطعام أكالً ومأكال‬


14
“Aku benar-benar makan dan yang dimakan adalah makanan.”

Ar Romaani dalam Al Mishbahul Munir berkata,

ً‫ فبلع احلصاة ليس بأكل حقيقة‬،‫األكل حقيقةً بلع الطعام بعد مضغه‬
“Makan hakikatnya adalah memasukkan makanan setelah dikunyah. Jika yang dimasukkan
adalah batu, maka itu sebenarnya tidak disebut makan.”

Dalam Al Mufrodhaat Al Ashfahani disebutkan,

‫األكل تناول املطعم‬


“Makan adalah mencerna makanan.”

Nukilan-nukilan pakar bahasa di atas menunjukkan bahwa makan hanyalah dimaksudkan jika
yang dimasukkan itu makanan. Hal ini dikuatkan pula dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam,

ُ‫ع طَ َع َامهُ َو َشَرابَه‬


َ ‫يَ َد‬
“Puasa itu meninggalkan makanan  dan minuman.” (HR. Bukhari no. 1903).

[3] Yang juga termasuk makan dan minum adalah injeksi makanan melalui infus. Jika
seseorang diinfus dalam keadaan puasa, batallah puasanya karena injeksi semacam ini
dihukumi sama dengan makan dan minum. Lihat Shifat Shoum Nabi, hal. 72.

[4] Majmu’ Al Fatawa, 25: 245.

[5] Lihat pembahasan dalam risalah Mufthirootu Ash Shiyam Al Mu’ashiroh karya guru
penulis, Syaikh Dr. Ahmad bin Muhammad Al Kholil.

[6] HR. Bukhari no. 1933 dan Muslim no. 1155.

[7] HR. Abu Daud no. 2380, Ibnu Majah no. 1676 dan Tirmidzi no. 720. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[8] Lihat Hasyiyah Syaikh Ibrahim Al Bajuri, 1: 556.

[9] Kifayatul Akhyar, hal. 251.

[10] Al Fiqhu Al Manhaji, hal. 344.

[11] Lihat bahasan dalam Al Iqna’, 1: 408 dan Syarh Al Baijuri, 1: 559-560.

[12] Lihat Kifayatul Akhyar, hal. 251.

15
[13] Hasyiyah Al Baijuri, 1: 560.

[14] Al Fiqhu Al Manhaji, hal. 344.

[15] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah 28: 59-60 dan Shohih Fiqih Sunnah, 2: 108

[16] Kewajiban kafarah tersebut dijelaskan pada hadits Abu Hurairah berikut, “Suatu hari
kami pernah duduk-duduk di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian datanglah
seorang pria menghadap beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu pria tersebut mengatakan,
“Wahai Rasulullah, celaka aku.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apa yang
terjadi padamu?” Pria tadi lantas menjawab, “Aku telah menyetubuhi istriku, padahal aku
sedang puasa.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah engkau
memiliki seorang budak yang dapat engkau merdekakan?” Pria tadi menjawab, “Tidak”.
Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau mampu berpuasa
dua bulan berturut-turut?” Pria tadi menjawab, “Tidak”. Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam bertanya lagi, “Apakah engkau dapat memberi makan kepada 60 orang miskin?” Pria
tadi juga menjawab, “Tidak”. Abu Hurairah berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas
diam. Tatkala kami dalam kondisi demikian, ada yang memberi hadiah satu wadah kurma
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata,“Di mana orang yang bertanya tadi?” Pria tersebut lantas menjawab, “Ya, aku.”
Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Ambillah dan bersedakahlah
dengannya.” Kemudian pria tadi mengatakan, “Apakah akan aku berikan kepada orang yang
lebih miskin dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada yang lebih miskin di ujung
timur hingga ujung barat kota Madinah dari keluargaku. ” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
lalu tertawa sampai terlihat gigi taringnya. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata, “Berilah makanan tersebut pada keluargamu.” (HR. Bukhari no. 1936 dan Muslim
no. 1111)

16
MAKALAH

ISLAMIC

MUHAMMAD FAKHRAN ZAIRI


SECONDARY II B

17
DARUL HIKAM INTERNATIONAL SCHOOL

18

Anda mungkin juga menyukai