Pustaka Eidariesky Syarat dan Kriteria menjadi imam dalam shalat berjama’ah arieskyeida
7 tahun yang lalu G. SYARAT DAN KRITERIA MENJADI IMAM DALAM SHALAT
BERJAMA’AH Untuk menjadi imam shalat tidak menunggu ditunjuk dan juga bukan dengan
cara berinisiatif, melainkan dengan pengetahuan yang jelas dan pasti tentang syarat dan
kriteria yang lebih utama untuk menjadi imam. Secara umum, orang yang harus dipilih jadi
imam shalat adalah orang yang paling faqih dalam urusan agama terutama dalam masalah
shalat. Selain itu para ulama juga menyebutkan yang paling banyak hafalan Al-Qur’an nya,
juga yang paling baik bacaannya dan lainnya. Para ulama telah berhasil membuat peringkat
yang paling berhak untuk menjadi imam dalam shalat. Misalnya dalam madzhab Al-
Hanafiyah disebutkan peringkat itu yaitu: 1. Orang Yang Paling Baik Bacaannya Di antara
syarat yang paling utama untuk menjadi imam dalam shalat berjama’ah adalah orang yang
paling baik bacaannya atau disebut dengan aqra’uhum. Sebagaimana sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits beliau: # Dari Abi Mas’ud Al-Anshari bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Yang menjadi imam shalat bagi manusia
adalah yang paling baik bacaan kitabullahnya (Al-Quran Al-Karim). Bila mereka semua
sama kemampuannya dalam membaca Al-Quran, maka yang paling banyak
pengetahuannya terhadap sunnah” (HR. Jama’ah kecuali Bukhari) # Dari Abu Masna Al-
Badri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jama’ah di imami oleh yang lebih
pandai membaca Kitab Allah. Jika sama-sama pandai dalam membaca Kitab Allah, maka
oleh yang lebih alim tentang sunnah. Jika sama-sama pula, maka oleh yang lebih tua.” (HR.
Muslim dan Abu Dawud) Sebagian ulama menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan
aqra’uhum adalah yang paling paham, yakni yang paling paham dalam masalah agama,
terutama dalam masalah shalat. 2. Orang Yang Paling Wara’ Lalu peringkat berikutnya
adalah orang yang paling wara’, yaitu orang yang paling menjaga dirinya agar tidak jatuh
dalam masalah syubhat # Dari Abi Martsad Al-ghanawi bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Rahasia diterimanya shalat kamu adalah yang jadi imam
(seharusnya) ulama di antara kalian. Karena para ulama itu merupakan wakil kalian
kepada Tuhan kalian.” (HR. At-Thabrani dan Al-Hakim). # Dari Ibnu Umar, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jadikanlah orang-orang yang terpilih di antara
kamu sebagai imam; karena mereka adalah orang-orang perantaraan kamu dengan
Tuhanmu.” (HR. Ad-Daruqutni). # “Apabila seseorang menjadi imam …, padahal di
belakangnya ada orang-orang yang lebih utama daripadanya, maka semua mereka dalam
kerendahan terus menerus.” (HR. Ahmad) 3. Orang Yang Lebih Tua Usianya Peringkat
berikutnya adalah yang lebih tua usianya. Dengan pertimbangan bahwa orang yang lebih
tua umumnya lebih khusyu` dalam shalatnya. Selain itu memang ada dasar hadits berikut:
# Hendaklah yang lebih tua diantara kalian berdua yang menjadi imam (HR. Imam yang
enam). Apabila derajat mereka semua sama, maka boleh dilakukan undian. Intinya kita
dapat ambil bahwa syarat yang paling utama dari imam itu adalah yang paling baik
bacaannya dan paling paham dalam hukum-hukum shalat. 4. Hal-Hal Lain Yang Perlu
Diperhatikan a) Pembesar Negara & Tuan Rumah Imam bagi pembesar-pembesar negara
(apabila shalat bersama-sama mereka) & tuan rumah (kecuali jika ia idzinkan yang lain
sebagai imam). # Dari Ibnu Mas’ud, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Janganlah seseorang mengimami seseorang di dalam rumah tangga orang yang di imami
itu dan di dalam pemerintahannya.” (HR. Muslim, hadits shahih) b) Kaum Yang Tidak
Menyukai Kita Janganlah mengimami suatu kaum yang tidak menyukai kita. # Dari Abu
Amir Ibnu Ash, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah engkau
mengimami suatu kaum, sedangkan mereka membencimu.” (HR. Abu Dawud).
Langsung Majalah Islam Asy-Syariah MENU DAN WIDGET Kriteria Imam dalam Shalat
Sahabat mulia, Malik bin al-Huwairits radhiyallahu ‘anhu bercerita,
انَ َرفِيقًا//اهُ َو َك//َاربُونَ فَأَقَ ْمنَا ِع ْن َدهُ ِع ْش ِرينَ لَ ْيلَةً فَظَ َّن أَنَّا ا ْشتَ ْقنَا أَ ْهلَنَا َو َسأَلَنَا َع َّم ْن تَ َر ْكنَا فِي أَ ْهلِنَا فَأ َ ْخبَرْ ن
ِ َ َونَحْ نُ َشبَبَةٌ ُمتَق,يَّ ِأَتَ ْينَا النَّب
ُد ُك ْم ثُ َّم/ؤَ ِّذ ْن لَ ُك ْم أَ َح//ُاَل ةُ فَ ْلي/الص
َّ تِ َر/ضَ لِّي َوإِ َذا َح/ص َ ُونِي أ//لُّوا َك َما َرأَ ْيتُ ُم/ص َ رُوهُ ْم َو/وهُ ْم َو ُم//وا إِلَى أَ ْهلِي ُك ْم فَ َعلِّ ُم// ارْ ِج ُع:ال
َ ََر ِحي ًما فَق
َ
“ لِيَ ُؤ َّم ُك ْم أ ْكبَ ُر ُك ْمKami pernah datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Saat itu,
kami semua pemuda sebaya. Kami pun bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
selama 20 hari 20 malam. Setelah memandang bahwa kami telah merindukan keluarga,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada kami tentang keluarga yang kami
tinggalkan. Kami pun menceritakannya kepada beliau. Ternyata, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam adalah orang yang penuh kasih sayang dan kelembutan. Setelah itu beliau
bersabda, ‘Pulanglah ke keluarga kalian. Tinggallah di antara mereka, ajari dan perintahkan
mereka (untuk melaksanakan Islam). Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku
melaksanakan shalat. Jika waktu shalat telah tiba, salah seorang di antara kalian hendaknya
mengumandangkan azan untuk kalian dan yang paling tua di antara kalian menjadi imam’.”
Kedudukan Hadits Malik bin al- Huwairits radhiyallahu ‘anhu Hadits di atas, dengan
tambahan lafadz ( لِّي///ص َ ُونِي أ///لُّوا َك َما َرأَ ْيتُ ُم///ص َ ) َو, dikeluarkan oleh al-Imam al-Bukhari
rahimahullah di tiga tempat dalam Shahih al-Bukhari, 1. Kitab al-Azan (no. 631) 2. Kitab al-
Adab (no. 6008) 3. Kitab Akhbarul Ahad (no. 7246) Ketiga riwayat tersebut bersumber dari
jalur Ayyub dari Abu Qilabah dari Malik bin al-Huwairits radhiyallahu ‘anhu. Mengenai
sahabat yang meriwayatkan hadits di atas, beliau adalah Abu Sulaiman Malik bin al-
Huwairits bin Asyam bin Zabalah bin Hasyis. Beliau berasal dari suku Sa’d bin Laits bin
Bakr bin Abdu Manat bin Kinanah. Beliau menetap di Bashrah hingga wafatnya pada 74 H.
Malik bin al-Huwairits radhiyallahu ‘anhu memiliki beberapa hadits di dalam Shahih al-
Bukhari, seluruhnya berkenaan dengan tata cara shalat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam. Peristiwa datangnya Malik bin al- Huwairits radhiyallahu ‘anhu bersama
rombongan dari suku Laits disebutkan oleh sebagian ahli sejarah terjadi pada tahun al-
Wufud (tahun kedatangan utusan secara bergelombang dari berbagai negeri untuk
menyatakan keislaman). Ibnu Sa’d rahimahullah menyatakan bahwa peristiwa tersebut
terjadi sebelum Perang Tabuk yang terjadi pada bulan Rajab tahun 9 H. (Fathul Bari,
13/292—293) Pandangan Ulama tentang Hadits Ini Ash-Shan’ani rahimahullah
menyatakan, “Hadits ini adalah landasan yang kuat untuk menyatakan bahwa apa yang
dilakukan dan yang diucapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam shalat
adalah bayan (penjelasan) tentang perintah shalat yang masih mujmal (global) di dalam al-
Qur’an.” (Subulus Salam) Asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Hadits ini menjelaskan
tentang wajibnya seluruh perbuatan dan ucapan di dalam shalat yang tsabit (sahih) dari
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Yang mendukung hal ini adalah tata cara tersebut
merupakan bentuk bayan (penjelasan) terhadap firman Allah Subhanahu wata’ala yang
masih mujmal (global) dari ayat, َاَل ة/الص َّ وا//‘ َوأَقِي ُمDan dirikanlah shalat.’ (al- Baqarah: 43)
Perintah di atas adalah perintah al- Qur’an yang menunjukkan wajib. Dan bayan
(penjelasan) untuk bentuk mujmal (global) yang wajib juga dihukumi wajib.” (Nailul
Authar 2/175) Adapun sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, صلِّي َ ُصلُّوا َك َما َرأَ ْيتُ ُمونِي أ
َ “ َوDan
shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku melaksanakan shalat,” diterangkan oleh
al-Imam Ibnu Hibban rahimahullah, “ (Kalimat ini) adalah bentuk perintah yang mencakup
segala hal yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam shalatnya.
Hal-hal yang dikecualikan oleh ijma’ atau riwayat, maka tidak ada dosa bagi yang
meninggalkannya di dalam shalat. Adapun yang tidak dikecualikan oleh ijma’ atau riwayat,
maka hal itu adalah perintah yang tidak boleh ditinggalkan oleh kaum muslimin
seluruhnya, apa pun alasannya.” (al- Ihsan, 3/286) Beberapa Hukum dan Faedah dari
Hadits Malik bin al-Huwairits radhiyallahu ‘anhu Ada banyak hukum dan faedah yang
dapat dipetik dari hadits Malik bin al-Huwairits radhiyallahu ‘anhu antara lain, 1. Semangat
setiap muslim untuk menyampaikan ilmu dan kebenaran. Al – Imam al – Bukhari
rahimahullah memberikan judul bab untuk hadits di atas di salah satu pembahasannya,
“Motivasi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Utusan Suku Abdul Qais Agar Mereka
Menghafalkan Iman dan Ilmu lalu Menyampaikannya kepada Masyarakat Mereka.” Malik
bin al-Huwairits radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
berpesan kepada kami, ‘Pulanglah kepada keluarga kalian dan ajarkanlah ilmu kepada
mereka’.” 2. Azan dan iqamat disyariatkan untuk shalat saat sedang safar. Hukum ini
diambil dari sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pada hadits di atas, ُصاَل ة َّ ت ال ِ ض َرَ َوإِ َذا َح
دُك ْم/ؤَ ِّذ ْن لَ ُك ْم أَ َح//ُ“ فَ ْليJika waktu shalat telah tiba, hendaknya salah seorang di antara kalian
mengumandangkan azan untuk kalian.” Al-Imam Bukhari rahimahullah membuat judul
untuk hadits di atas pada salah satu pembahasannya, bab “Azan dan Iqamat bagi Musafir
Apabila Mereka Berjamaah”. Dalil lain adalah hadits Abu Qatadah rahimahullah dalam
riwayat Muslim (no. 681) yang secara panjang mengisahkan salah satu safar Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam perjalanan tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam dan para sahabat tertidur sampai matahari terbit. Kemudian Bilal Shallallahu
‘alaihi wasallam mengumandangkan azan. Dalil berikutnya adalah hadits ‘Uqbah bin ‘Amir
Shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2203), beliau pernah
ْ ِ يَ ْع َجبُ َربُّ ُك ْم ِم ْن َر
mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, س ِ اعي َغن ٍَم فِي َرأ
ت ُ ْر//َ ْد َغف/َ ق، افُ ِمنِّي/َاَل ةَ يَخ/الص َّ ؤَ ِّذنُ َويُقِي ُم/ُ ي، َذا/َ ِدي ه/ْرُوا إِلَى َعب/ُ ا ْنظ: َّل/ َّز َو َج/َصلِّي فَيَقُو ُل هللاُ ع َّ َش ِظيَّ ٍة بِ َجبَ ٍل يُ َؤ ِّذنُ بِال
َ ُصاَل ِة َوي
َ“ لِ َع ْب ِدي َوأَدْخَ ْلتُهُ ْال َجنَّةRabb kalian kagum terhadap seorang penggembala kambing yang berada
di puncak bukit. Ia mengumandangkan azan dan melaksanakan shalat. Lalu Allah
Shallallahu ‘alaihi wasallam berfirman, ‘Lihatlah hamba- Ku ini. Ia mengumandangkan azan
dan melaksanakan shalat karena takut kepada-Ku. Sungguh, Aku telah memberikan
ampunan untuknya dan Aku akan memasukkannya ke dalam surga’.” Al-Imam Abu Dawud
rahimahullah membuat judul untuk hadits di atas, bab “Azan di Saat Safar.” Hadits ini
dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam ash-Shahihah (1/65). 3. Bersikap kasih sayang dan
lembut kepada sesama manusia. Al – Imam al – Bukhari rahimahullah memberikan judul
untuk hadits di atas pada salah satu pembahasannya, bab “Bersikap Rahmat kepada
Binatang dan Manusia”. Faedah ini dipahami dari keterangan Malik bin al-Huwairits
radhiyallahu ‘anhu yang menilai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, انَ َرفِيقًا َر ِحي ًما//َو َك
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang penuh kasih dan kelembutan.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar radhiyallahu ‘anhu menerangkan bahwa ada dua riwayat di dalam
Shahih al-Bukhari untuk lafadz ,()رفِيقًا ) َرفِيقًا َ ), dengan huruf fa’ kemudian qaf )رقِيقًا َ ), dengan
huruf qaf kemudian qaf lagi. Adapun di dalam riwayat Muslim hanya dengan lafadz ( ) َرقِيقًا,
dengan huruf qaf kemudian qaf lagi. Namun, kedua lafadz tersebut satu makna. 4.
Keterangan tentang salah satu kriteria imam shalat. Adapun kriteria seorang muslim yang
berhak menjadi imam telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam
sebuah hadits secara berurutan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, يَ ُؤ ُّم ْالقَوْ َم أَ ْق َر ُؤهُ ْم
َوا ًء/ َر ِة َس/ْانُوا فِي ْال ِهج//إ ِ ْن َك/َ ف،ً َرة/ْ َد ُمهُ ْم ِهج/ َوا ًء فَأ َ ْق/نَّ ِة َس/الس
ُّ فَإ ِ ْن َكانُوا فِي، فَإ ِ ْن َكانُوا فِي ْالقِ َرا َء ِة َس َوا ًء فَأ َ ْعلَ ُمهُ ْم بِال ُّسنَّ ِة،ِب هللا ِ لِ ِكتَا
ِه/ِ ِه إِاَّل بِإ ِ ْذن/ِ ِه َعلَى تَ ْك ِر َمت/ِ ْد فِي بَ ْيت/ ْلطَانِ ِه َواَل يَ ْق ُع/ َل فِي ُس/ ُل ال َّر ُج/ ُؤ َّم َّن ال َّر ُج/َ َواَل ي، ْل ًما/“ فَأ َ ْق َد ُمهُ ْم ِسYang berhak menjadi
imam shalat untuk suatu kaum adalah yang paling pandai dalam membaca al-Qur’an. Jika
mereka setara dalam bacaan al- Qur’an, (yang menjadi imam adalah) yang paling mengerti
tentang sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Apabila mereka setingkat dalam
pengetahuan tentang sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, (yang menjadi imam
adalah) yang paling pertama melakukan hijrah. Jika mereka sama dalam amalan hijrah,
(yang menjadi imam adalah) yang lebih dahulu masuk Islam.” (HR. Muslim no. 673 dari
Abu Mas’ud al-Anshari radhiyallahu ‘anhu) Dalam riwayat lain, ada tambahan lafadz, فَإ ِ ْن
نًّا/ ُرهُ ْم ِس/َ ُؤ َّمهُ ْم أَ ْكب/َ َوا ًء فَ ْلي/“ َكانُوا فِي ْال ِهجْ َر ِة َسJika mereka sama dalam amalan hijrah, (yang menjadi
imam adalah) yang paling tua di antara mereka.” Dengan demikian, yang paling berhak
menjadi imam shalat secara berurutan adalah; 1. Yang paling pandai membaca al-Qur’an.
Jika sama-sama pandai, 2. Yang paling mengerti tentang sunnah Nabi radhiyallahu ‘anhu.
Jika sama-sama mengerti, 3. Yang paling pertama melaksanakan hijrah. Jika sama dalam hal
hijrah, 4. Yang lebih dahulu masuk Islam. Jika bersama masuk Islam, 5. Yang lebih tua.
Selanjutnya, yang dimaksud dengan al-aqra’, apakah yang paling baik bacaannya ataukah
yang paling banyak hafalannya? Jawabannya adalah yang paling baik bacaannya.
Maknanya, yang bacaannya sempurna dengan pengucapan huruf sesuai dengan
makhrajnya. Adapun keindahan suara bukanlah syarat. Jika ada dua orang; 1. Bacaan al-
Qur’annya sangat baik. 2. Bacaannya baik, namun tidak sebaik orang pertama, hanya saja ia
lebih menguasai fikih tentang shalat dibandingkan dengan orang pertama. Dalam hal ini,
orang kedua lebih berhak untuk menjadi imam shalat. Pembahasan ini tidak berlaku jika
pada pelaksanaan shalat berjamaah di sebuah masjid telah ditunjuk imam tetap, maka
imam tetap tersebut yang paling berhak selama tidak ada uzur. (asy-Syarhul Mumti’, Ibnu
Utsaimin) 5. Riwayat ahad dapat diterima meskipun di dalam masalah akidah. Hal ini
berseberangan dengan yang diyakini oleh kaum Mu’tazilah. Al-Imam al-Bukhari
rahimahullah menamakan sebuah bab untuk hadits di atas pada salah satu
pembahasannya, bab “Keterangan tentang Diperbolehkannya Khabar dari Satu Orang yang
Jujur Tepercaya dalam Masalah Azan, Shalat, Puasa, Kewajiban- Kewajiban Islam, dan
Masalah Ahkam.” 6. Perjuangan dakwah Islam tidak pernah lepas dari peran dan andil para
pemuda. Di dalam hadits di atas, suku Laits mengutus kaum muda untuk mempelajari
syariat Islam agar dapat diajarkan kembali kepada masyarakatnya. Allah Subhanahu
wata’ala berfirman tentang Ashabul Kahfi, دًى//ُاهُ ْم ه//َ َربِّ ِه ْم َو ِز ْدن//ِوا ب//ُةٌ آ َمن//َ“ إِنَّهُ ْم فِ ْتيSesungguhnya
mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Rabb mereka dan Kami
tambahkan kepada mereka petunjuk.” (al-Kahfi: 13) Ibnu Katsir rahimahullah
menerangkan, “Allah Subhanahu wata’ala menjelaskan (tentang Ashabul Kahfi) bahwa
mereka adalah para pemuda. Kaum muda lebih mudah menerima al-haq (kebenaran) dan
lebih cepat mengikuti jalan kebaikan dibandingkan dengan kaum tua. Sebab, kaum tua
telah terlalu jauh dan tenggelam di dalam agama kebatilan. Oleh sebab itu, kalangan
sahabat yang menyambut seruan Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya didominasi oleh
kaum muda. Adapun kalangan tua Quraisy, mayoritas mereka tetap memilih agama nenek
moyang. Hanya sedikit saja dari kalangan tua yang masuk Islam.” Di dalam ayat lain,
tentang dakwah Nabi Musa ‘Alaihissalam, Allah Subhanahu wata’ala berfirman, فَ َما آ َمنَ لِ ُمو َس ٰى
وْ نَ َو َملَئِ ِه ْم أَن يَ ْفتِنَهُ ْم/َف ِّمن فِرْ ع
ٍ ْ و/َ“ ۚ إِاَّل ُذ ِّريَّةٌ ِّمن قَوْ ِم ِه َعلَ ٰى خMaka tidak ada yang beriman kepada Musa,
selain pemuda-pemuda dari kaumnya (Musa) dalam keadaan takut bahwa Fir’aun dan
pemuka-pemuka kaumnya akan menyiksa mereka.” (Yunus: 83) Ibnu Katsir rahimahullah
menerangkan, “Allah Subhanahu wata’ala memberikan kabar, meskipun Nabi Musa
‘Alaihissalam membawa ayat-ayat yang kuat, argumen-argumen pasti, dan alasan-alasan
yang jelas, tetap saja kaumnya tidak beriman kecuali sedikit sekali. Yang sedikit itu adalah
kaum dzurriyah, yaitu kaum muda. Itu pun masih dibayangi oleh kecemasan dan
kekhawatiran dari makar Fir’aun dan pengikutnya yang berusaha mengembalikan mereka
kepada kekufuran sebagaimana dahulu.” Mudah-mudahan beberapa pelajaran dari hadits
Malik bin al-Huwairits radhiyallahu ‘anhu di atas bermanfaat. Wallahul muwaffiq. Ditulis
oleh Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar Ibnu Rifai Diposkan 28 Mei 2013Penulis
RedaksiKategori Asy Syariah Edisi 087, HaditsTag shalat, shalat berjamaah Navigasi
SEBELUMNYA Pos Adab-Adab di dalam Masjid BERIKUT Pos Shalat, Antara Diterima Dan
Tidak Dengan bangga bertenaga WordPress
\(1).”(2)
Urutan ini dianjurkan ketika akan menunjuk imam masjid. Adapun
masjid yang telah memiliki imam, atau tuan rumah maka urutan
ini tidak diperlukan.(3) Sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wasallam, “Dan janganlah seseorang mengimami orang lain
di rumahnya, dan jangan pula ia duduk di tempatnya(4) tanpa
seizinnya.”(