Anda di halaman 1dari 4

“Imamah Ash-Shalat”

Oleh:

Alfi Nurafika, Izzatun Ni’mah, Leily Nurliyana F.,

Nida Rohmi & Nurma Fadhilah

Shalat jama’ah adalah shalat yang dilakukan secara bersama-sama, sedikitnya


dilakukan oleh dua orang, seorang imam dan seorang makmum. Shalat jamaah
memiliki keutamaan dibandingkan dengan shalat sendiri yakni 27 derajat. Dalam bab
jama’ah banyak permasalahn yang dibahas, diantaranya tentang syarat-syarat sah
jama’ah, urutan makmum dalam shaf, ikutnya makmum pada imam, ketentuan imam
shalat dan sebagainya.

Dalam ringkasan ini akan dipaparkan mengenai ketentuan-ketentuan imam


dalam shalat jama’ah atau imamah ash-shalat dan permasalahan yang berkaitan
dengannya seperti orang yang paling berhak menjadi imam, bermakmum pada imam
yang fasik atau ahli bid’ah, berjamaah dengan lain mahrom, bermakmum pada imam
yang berbeda madzhab, posisi jama’ah imam di atas dan makmum di bawah, serta
bermakmum pada imam yang berbeda shalat.

a. Siapa yang paling berhak menjadi imam?

Orang yang paling berhak menjadi imam adalah hakim, kemudian tuan rumah atas
tamunya, dan tuan atas budaknya. Sedangkan kriteria orang yang paling berhak
menjadi imam baik imam masjid maupun selainnya adalah:

1. Imam tetap yang telah ditunjuk (di sebuah masjid)


2. Orang yang lebih ahli fiqih
3. Orang yang lebih bagus bacaannya
4. Orang yang lebih wira’i
5. Yang lebih dahulu hijrah (berlaku pada masa nabi)
6. Yang lebih dahulu masuk islam (berlaku pada masa nabi)
7. Orang yang bagus nashabnya
8. Orang yang paling bagus sebutannya
9. Orang yang paling bersih pakaiannya
10. Orang yang lebih bersih badannya
11. Orang yang paling baik pekerjaannya
12. Oaring yang paling bagus suaranya
13. Orang yang paling bagus bentuknya
14. Jika semuanya sama, maka imam shalat ditentukan berdasarkan undian.

Kriteria lain adalah imam yang adil lebih utama dari imam fasik
meskipun imam yang fasik lebih ahli fiqih dan lebih bagus bacaannya,
kemudian imam baligh lebih utama dari imam imam anak kecil, imam yang
muqim lebih utama dari imam musafir, imam anak halal lebih utama dari
anak zina, serta budak yang ahli fiqih adalah setara dengan orang merdeka
yang tidak faqih.

b. Berjama’ah pada imam yang fasik atau ahli bid’ah

Jika imam dalam suatu jama’ah adalah orang yang fasik atau ahli bid’ah dan
makmum mengetahunya maka berjamaah dengan yang demikian adalah makruh.
Menurut ibnu hajar jika menemukan imam yang demikian, maka shalat sendiri adalah
lebih utama, sedangkan menurut imam Ramly shalat berjamaah adalah lebih utama.

c. Berjama’ah dengan lain mahrom

Dalam kasus ini, penulis menuqil pendapat imam malik dan imam Syafi’i “jika
seorang laki-laki mengerjakan shalat sementara di sampingnya terdapat perempuan
maka shalatnya sah. Dari sini maka dapat disimpulkan bahwa jika seseorang shalat
berjama’ah dengan lain mahram maka shalatnya sah.
d. Berjama’ah dengan imam yang berbeda madzhab

Jika imam jama’ah adalah orang yang berbeda madzhab maka lebih baik
mencari jama’ah lain yang imamnya semadzhab meskipun jama’ahnya lebih
sedikit.

e. Posisi jama’ah imam di atas dam makmum di bawah

Fenomena seperti ini, seringkali kita temui di Indonesia karena banyaknya masjid
yang bertingkat di Negara kita. Lalu bagimana hukumnya jika imam shalat di atas
sedangkan makmum di bawah atau sebaliknya?. Menurut sebagian pendapat shalatnya
sah jika posisi imam tepat di atas makmum sekiranya makmum berjalan ke atas posisi
kepala makmum tepat di bawah telapak kaki imam begitupun sebaliknya. Hal yang
demikian disyaratkan shalat yang di selain masjid. Sedangkan di masjid tidak
disyaratkan.

f. Berjama’ah dengan shalat yang berbeda

Jika makmum berjamaah dengan imam berbeda shalat maka:

1. Tidak sah shalat maktubah berjama’ah dengan shalat jenazah atau shalat
kusuf
2. Sah shalat dhuhur berjama’ah dengan shalat asar, shalat maghrib
dengan isya’, dan sebaliknya
3. Sah shalat qadha dibelakang imam yang ada’ dan sebaliknya
4. Sah shalat sunnah di belakang imam yang shalat fardhu, sedangkan
shalat fardhu di belakang imam yang shalat sunnah, ulama’ madzhab
berbeda pendapat. Menurut imam abu hanifah, imam maliki, dan imam
hanbali tidak diperbolehkan, sedangkan imam syafi’i memperbolehkan.
Sumber rujukan

Zain bin Ibrahim bin Zain bin Smith, At-Taqriratu As-Sadidah.

Syaikh Muhammad bin Abdurrahman Ad-Dimsyaqi, Rahmatul Ummah trjm Fiqih


Islam Empat Madzhab.

Anda mungkin juga menyukai