Jawapan:
Dalam sebuah hadis daripada Ibn Abbas R.Anhuma menyebut:
ْ َ َ
، ِن وَ َرائِه ْ مِ ص
ٌ معْقُو َ ه ُ سُ صلِّي وَ َرأ َ ُث ي ِ ِحارَ ْ ن ال َ ْ ه َرأى عَبْد َ اللَّهِ ب ُ َّ أن
ماَ :ل َ اس فَقَا َ َ َ ف أَقْب َّ َ فَل، ه ُ ُّ حل َ َ جعَ َم ف َ فَقَا
ٍ َّ ن عَب
ِ ْ ل إِلى اب َ ص َر
َ ْ ما ان ُ َل ي
ْ
ِه4 ْ ه عَلَيُ َّ لَّى الل4 ص
َ ِل اللَّهَ و4 س ُ ت َر ُ ْ معِ سَ إِنِّي: ل َ سي ؟ فَقَا ِ ك َو َرأ َ َل
ٌ و44ُ مكْت
ف َ َو44ُلِّي وَه4 ص
َ ُ ل الَّذِي ي ُ 4 َ مث
َ ذ َا4 َل ه ُ 4 َ مث
َ ا44م َ َّ إِن: ل ُ و44م ي َ ُق َ َّ سل
َ َو
Bahawa beliau melihat Abdullah bin al-Harith solat dalam keadaan rambutnya
diikat di belakang. Beliau (Ibn Abbas) lantas bangkit dan melepaskan ikatan
tersebut. Apabila dia selesai (solat), lantas dia menghadap Ibn Abbas dan
berkata: “Mengapa kamu lakukan pada rambutku demikian?” Lalu Ibn Abbas
menjawab: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Perumpamaan orang ini
(yang solat dengan mengikat rambutnya) seperti orang yang solat sedangkan
kedua tangannya diikat ke belakang.” [Riwayat Muslim (1129)]
“Perkataan (وص-- )معقialah himpunan rambutnya seperti orang yang solat dalam
keadaan tangannya terikat kepada dua bahunya, hukumnya adalah makruh.
Ini kerana rambutnya jika tidak dibiarkan bebas, tidak jatuh pada lantai atau bumi.
Justeru, tidaklah jadi dalam makna syahid dengan semua juzuknya.
Samalah seperti kedua tangan yang terikat pada bahunya, tidak terkena bumi ketika
sujud. Abu Syamah berkata: Ini ditanggung pada makna ‘ ’العقصselepas pintal
sebagaimana dilakukan oleh ramai wanita.”
Ibn al-Athir Rahimahullah berkata: “Makna hadis ini adalah apabila orang yang solat
rambutnya diuraikan (tidak diikat), maka rambut tersebut akan jatuh ke tanah ketika
sujud sehingga pemiliknya akan diberikan pahala sujud dengan rambutnya.
Namun, apabila rambutnya diikat, jadilah ia termasuk dalam makna orang yang tidak
sujud. Ia diumpamakan dengan orang yang terikat kedua tangannya, kerana kedua
tangan tersebut tidak dapat menyentuh tanah ketika sujud (sepertimana rambut
yang diikat ke belakang tidak dapat menyentuh tanah ketika sujud).” (Lihat al-
Nihayah fi Gharib al-Hadith, 3/275)
Di dalam kitab Nail al-Authar disebut: “Hukum ini (larangan mengikat rambut
ketika solat) adalah khusus bagi lelaki, tidak bagi wanita. Kerana rambut mereka
(para wanita) adalah aurat, wajib ditutup di dalam solat.
Apabila mereka melepaskan ikatan rambut, boleh jadi rambutnya terurai dan sukar
untuk menutupnya sehingga membatalkan solat. Dan juga, ia akan menyulitkannya
apabila perlu melepaskan rambut ketika hendak solat. Nabi SAW sendiri telah
memberikan keringanan kepada kaum wanita untuk tidak melepaskan ikatan rambut
mereka ketika mandi wajib, sedangkan (hal ini) sangat perlu untuk membasahkan
seluruh rambut mereka ketika mandi tersebut.” (Lihat Nail al-Authar, 2/440)
Oleh itu, jika jemaah perempuan mengikatnya dalam sanggul, maka dibolehkan.
Dalam permasalahan lelaki mengikat rambut, perlu dilihat, adakah sampai kepada
tahap tasyabbuh (penyerupaan) kepada wanita atau tidak. Jika tasyabbuh dengan
perempuan, maka seeloknya, hendaklah ditinggalkan. Panjang yang dihadkan yang
tidak sampai kepada had keperempuanan.
Solat mereka tetap sah tetapi hukumnya makruh tanzihi bagi lelaki. Semoga Allah
memberi kefahaman kepada kita dalam melaksanakan agama-Nya. Amin.
Soalan : Sah atau tak solat lelaki yg berambut panjang melepasi bahu ke
pinggang ?
solat tetap sah. haram penampilan menyerupai wanita.
Soalan : Apakah hukum mengikut rambut ketika solat dan diluar solat.
Disebutkan dlm kitab2 fekah, Sunat utk melepaskan rambut didalam dan
diluar solat.
Ketika sujud, rambut2 tersebut akan turut sama bersujud. Jika rambut terikat,
rambut tersebut tidak sujud. Menyalahi melebihi utama jika ikat rambut.
Kepanjangan rambut lelaki setakat bahu sahaja dan jgn merupai perempuan.
Wallahua'lam
Kredit : Galeri Buku Sunnah
Syekh Salim bin Sumair Al-Hadlrami dalam kitabnya Safînatun Najâ menyebutkan ada 7
(tujuh) syarat yang harus dipenuhi ketika seorang bersujud dalam shalatnya.
Ketujuh syarat tersebut adalah bersujud di atas tujuh anggota badan, kening atau dahi
dalam keadaan terbuka, bertumpu pada kepala, jatuhnya badan bukan untuk selain
sujud, tidak bersujud di atas sesuatu yang dapat bergerak sebab gerakannya orang
yang shalat, tubuh bagian bawah diangkat lebih tinggi dari tubuh bagian atas, dan
tuma’ninah. Ketujuh syarat di atas oleh Syekh Muhammad Nawawi Banten diberi
penjelasan dalam kitabnya Kâsyifatus Sajâ sebagai berikut:
Pertama, bersujud di atas tujuh anggota badan.
Di dalam pelaksanaannya sujud harus melibatkan 7 (tujuh) anggota badan, yakni
kening, kedua tangan, kedua lutut, dan kedua telapak kaki.
Ini berdasarkan oleh hadis yang di antaranya diriwayatkan oleh Imam Bukhari dimana
Rasulullah SAW bersabda: ،ْن ِ ار ِب َي ِد ِه َعلَى أَ ْنفِ ِه َوال َيدَ ي
ِ ْن َوالرُّ ْك َب َتي َ َوأَ َش،ِالج ْب َهة ُ ْأُمِر
ُ ْت أَنْ أَسْ جُدَ َعلَى َسب َْع ِة أَع
َ ظ ٍم َعلَى
ْ َ
ِ وأط َرافِ ال َقدَ َمي َ Artinya: “Saya diperintah untuk bersujud di atas tujuh anggota badan, yakni
ْن
dahi—sambil tangan beliau menunjuk pada hidungnya--, kedua tangan, kedua kaki, dan
ujung-ujung telapak kaki.” (HR. Imam Bukhari)
Kedua, kening dalam keadaan terbuka. Artinya ketika sujud tidak boleh ada sesuatu
apapun yang menutupi kening kecuali bila ada udzur atau alasan tertentu seperti
adanya rambut yang tumbuh di kening atau adanya perban yang bila dilepas maka akan
menimbulkan bahaya.
Ketiga, bertumpu pada kepala. Artinya ketika bersujud yang menjadi tumpuan adalah
kening, bukan lainnya,di mana beban kepala menimpa tempatnya sujud.
Dalam hal ini Dr. Musthafa Al-Khin dalam kitab Al-Fiqhul Manhajî memberikan satu
gambaran bilamana di bawang kening tersebut terdapat kapas maka ia akan tertekan
dan nampak jelas bekas sujudnya di kapas tersebut.
Keempat, jatuhnya badan bukan untuk selain sujud. Artinya turunnya badan ke posisi
sujud bukan karena untuk suatu tujuan selain sujud. Sebagai contoh, ketika orang yang
shalat dalam posisi i’tidal atau berdiri tegak setelah ruku ia didorong oleh anaknya
sehingga terjatuh ke depan pada posisi sujud.
Ini artinya turunnya badan pada posisi sujud tersebut bukan karena mau melakukan
sujud tapi karena hal lain yakni terjatuh didorong oleh anak. Dalam kasus seperti ini bila
ia meneruskan sujudnya maka tidak sah. Ia mesti berdiri lagi untuk kemudian
menurunkan badan untuk bersujud.
Kelima, tidak bersujud di atas sesuatu yang dapat bergerak sebab gerakannya orang
yang shalat. Sebagai contoh, orang yang shalat dengan menggunakan baju koko
misalnya, dimana ujung lengannya lebih lebar.
Ketika orang yang shalat ini melakukan gerakan-gerakan shalat dari berdiri ke ruku’, dari
ruku’ ke i’tidal, dan seterusnya maka ujung lengan bajunya akan ikut bergerak. Itu
artinya lengan baju tersebut adalah sesuatu yang tersambung dengan diri orang yang
shalat dan bergerak karena gerakan orang tersebut.
Bila ketika sujud keningnya berada di atas ujung lengan baju maka sujudnya menjadi
tidak sah karena bersujud di atas sesuatu yang bersambung dengan dirinya dan dapat
bergerak karena gerakannya. Termasuk juga telapak tangannya sendiri. Bila ia bersujud
di atas telapak tangannya maka sujudnya dianggap tidak sah karena telapak tangan
diaanggap sebagai sesuatu yang bersambung dengannya.
Keenam, tubuh bagian bawah diangkat lebih tinggi dari tubuh bagian atas. Dengan
syarat ini maka orang yang bersujud posisi pantatnya harus lebih tinggi dari posisi
kepala dan kedua pundaknya, tidak boleh sejajar atau bahkan lebih rendah. Sebagai
contoh kasus dalam hal ini adalah orang yang shalat di anak tangga, dimana posisi
kakinya ada di anak tangga bagian bawah. Pada posisi demikian ketika ia melakukan
sujud maka posisi kepala akan berada di anak tangga yang lebih atas. Bila dengan
kondisi demikian posisi pantat sejajar dengan posisi kepala maka sujudnya tidak sah
yang berarti juga menjadikan shalatnya tidak sah. Syekh Nawawi memberikan
kelonggaran bagi wanita yang sedang hamil. Bila ia kesulitan melakukan sujud dengan
posisi pantat lebih tinggi dari kepala maka tak mengapa ia melakukannya sebisa yang ia
mampu dan tidak ada kewajiban baginya untuk mengulangi shalatnya.
Ketujuh, tuma’ninah. Saat bersujud orang yang melakukannya harus disertai dengan
tuma’ninah, yakni sikap dimana semua anggota badan terdiam tenang dengan waktu
minimal selama orang mengucapkan kalimat tasbih subhânallâh. Ini juga berarti bahwa
waktu paling cepat dalam melakukan sujud adalah selama orang mengucapkan kalimat
tasbih tersebut.Wallâhu a’lam.
Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/83776/syarat-dan-tata-cara-melakukan-sujud-
dalam-shalat