Maka, dapat difahami, mengapa ada ruang pembahasan (Ba’ts) terhadap Mashadirul
Ahkâm (sumber-sumber hukum) dalam Agama Islam.
2
Madzhab Hanafî menyebutkan bahwa wajib-wajib shalât ada 18, yaitu:
1. Membaca Takbîr ketika permulaan shalât,
2. Membaca Surat Al-Fatihah,
3. Membaca surat atau ayat Al-Qur’an setelah membaca Al-Fatihah,
4. Membaca surat pada dua rakaat pertama dalam shalât fardhu,
5. Mendahulukan bacaan surat Al-Fatihah daripada surat yang lain,
6. Menyatukan hidung dan kening ketika sujud,
7. Urut dalam setiap perbuatan yang dilakukan dalam shalât,
8. Thuma’ninah dalam setiap rukunnya,
9. Duduk pertama (tasyahud awal) setelah dua rakaat pada shalât yang berjumlah tiga
atau empat rakaat,
10. Membaca tasyahud ketika duduk pertama,
11. Membaca tasyahud ketika duduk terakhir sebelum salam,
12. Bergegas bangkit ke rakaat ketiga setelah membaca tasyahud awal,
13. Mengucapkan ‘as-Salam’ tanpa ‘alaikum’ sebanyak dua kali pada akhir shalât
sambil menoleh ke kanan dan ke kiri,
14. Mengeraskan suara bagi imam pada dua rakaat shalât shubuh, dua rakaat dalam
shalât Maghrib dan Isya’ meski shalâtnya qadha’,
15. Membaca pelan bagi imam atau makmum pada shalât Dzuhur dan Ashar selain dua
rakaat shalât Maghrib dan Isya’, serta shalât nafilah pada siang hari,
16. Membaca do’a Qunut dalam shalât witir,
17. Takbîr dalam shalât ‘Id,
18. Diam dan mendengarkan imam dalam shalât berjama’ah.
(Wahbah Az-Zuhailî, Al Fiqh Al-Islâmî wa Adillatuhu-Bab Shalât)
Rukun Shalât Hanafî/الحن ــفي Mâlikî/املالك ــي Syâfi`î /ﺍلشافع ــي Hanbalî/الحنبل ــي
Thuma‘ninah Wajib Rukun pada gerakan rukuk, I’tidal, Sujud dan
duduk di antara dua sujud.
Sebagian ulama‘ Syâfi`îyah hukum
thuma’ninah dalam shalât adalah syarat
sahnya Rukun.
4
Ringkasan Rukun Shalât menurut Empat madzhab
No Rukun Shalât Hanafî/ Mâlikî/ Syâfi`î / Hanbalî/
الحن ــفي املالك ــي ﺍلشافع ــي الحنبل ــي
1 Niat Syarat Rukun Syarat
2 Takbîratul Ihrâm
3 Berdiri bagi yang sanggup)* Rukun
4 Membaca surat Al Fâtihah
5 Ruku`
6 I'tidal Bukan Rukun
Rukun
7 Sujud dua kali Rukun
8 Duduk di antara dua sujud Bukan Rukun
Rukun
9 Duduk Tasyahud Akhir)** Rukun
10 Membaca Tasyahhud Akhir Bukan Rukun
Rukun
Membaca Shalawat Nabi pada Bukan Rukun/ Bukan Rukun/Sunnah
Tahiyyat Awwal Bukan Wajib
11 Membaca Shalawat Nabi pada Bukan Rukun/ Rukun
Tahiyyat Akhir Bukan Wajib
12 Membaca Shalawat Ibrahimiyah Bukan Rukun/ Bukan Rukun
pada Tahiyyat Akhir Bukan Wajib Rukun/Sunnah
13 Salam Pertama Wajib Rukun
14 Salam Kedua Wajib Tidak Sunnah Wajib
Wajib
15 Tartib (beurutan) Wajib Rukun
16 Thuma'ninah Wajib Rukun
(*)(1)Lurus tulang belakangnya (2) tetap (tidak bergerak-gerak/bergoyang) (3) Muka dan dada
menghadap kiblat.
(**)Adapun duduk untuk tasyahhud itu termasuk rukun, karena tasyahhud akhir itu termasuk rukun.
Tartib, merupakan gabungan dari Qaulî dan Fi’lî, juga ada yang berpendapat: Tertib
termasuk Rukun Qalbî .
5
1. Rukun Qalbî (hati), mencakup satu rukun yaitu niat.
Qashdu : Menyengaja ى%( أصsengaja aku shalât)
Ta’aradh: Menentukan fardhu atau sunnah
Ta’yîn: Menentukan Waktu
Dalam hati
Dalam huruf yang delapan: Dalam kalimat ( ﷲ اكdiantara alif dengan Ra)
Jangan berubah: Tidak boleh merubah niat (berdiri untuk shalât sunnah,
kemudian ditengah-tengah shalât dirubahnya menjadi shalât fardlu).
Membedakan Ada’(Shalât yang dilaksanakan tepat pada waktunya) dengan
Qadla’(Shalât yang dilaksanakan pada waktu yang lain (diluar waktu shalât yang
dimaksud)
Hukum melafadzkan niat :
Hukum melafadzkan niat (at talafadz bi nnîyah) seperti :
ُٔا َﺻ ِ ّ ْﲇ ﻓَ ْﺮ َض اﻟْ ُﻈﻬْ ِﺮ َٔا ْرﺑ َ َﻊ َر ْﻛ َﻌ ٍﺎت ُﻣ ْﺴـ َﺘ ْﻘ ِﺒ َﻞ ْاﻟ ِﻘ ْﺒ َ ِةل َٔادَاﺋ ًﺎ اﻣ َﺎﻣ ًﺎ) َﻣﺎْٔ ُﻣ ْﻮﻣ ُﺎ( ِ َّ ِهلل ﺗَ َﻌ َﺎﱃ
ِٕ
Pendapat yang shahîh di kalangan Syâfi’î yah(sebagaimana dalam Mughnî al-Muhtâj,
1/148-150) menyatakan wajibnya niat fardlu dan syarat niat ada tiga, yaitu
bersengaja (al-qashd), menentukan (at-ta'yîn) dan niat fardlu (al-fardlîyah).
Menurut Madzhab Syâfi’î , ber-niat itu di hati dan di lisan – Syaikh Zainuddîn Al
Malibarî menyatakan dalam Fathul Mu’în: Sunnah hukumnya melafadzkan niat
sebelum Takbîratul Ihrâm, dan juga harus disengaja, juga menentukan (ta’yin) akan
mengerjakan shalât Fardlu atau Sunnah, Adâ’ atau Qadha’, sebagai Imam atau
Ma’mum), juga bisa dilihat di dalam Kitab Tuhfah al Muhtâj, II/12
Pendapat yang menyatakan bahwa sunnah melafadzkan niat juga didukung oleh
Ulama Hanbalîyah (Al Mughnî al Mukharraq 1/464)
Dalam ( )الفقـه اإلسـالمي وأدلتـهFiqh Islâmî wa Adillatuhu - Dr.Wahbah Zuhailî mengatakan:
"Dalam shalât fardlu disyaratkan dua perkara, yaitu menentukan jenis shalât dan
bermaksud melakukannya. Ibnu Qudamah (pengarang Kitab Al Mughnî – beliau
termasuk Ulama' Hanbalî) berkata: "niat menentukan jenis shalât itu wajib, dan
shalâtnya akan jadi sesuai dengan yang ditentukan."
Dalam Kitab Al-Fiqh 'ala Madzâhibi Al-Arba'ah - Bab Hukum Melafadzkan Niat
Melaksanakan Shalât Tunai (Adâ’) atau Qadha’ dan Lainnya: ‘Abdurrahman Al Juzairî
mengatakan :
ك ــأن، ونيـ ــة األداء أو القض ــاء أو نح ــو ذلـ ــك يس ــن أن يـ ــتلفظ بلس ــانه بالنيـ ــة،حك ــم ال ــتلفظ بالني ــة
ً ً
، فل ــو نــوى بقلب ــه ص ــالة الظه ــر، ــي ذل ــك تنب ــا للقل ــبT ألن،ي ف ــرض الظه ــر م ــثال%يقــول بلس ــانه أص ــ
ــي الني ــةT I ــJ ألن ــك قــد عرفــت أن املعت،ي العص ــر فإن ــه ال يض ــر% نويــت أص ــ:ولك ــن ســبق لس ــانه فقــال
فخطــأ اللســان ال،ــى تنبيــه القلــب% وإنمــا هــو مســاعد ع، النطــق باللســان لــيس بنيــة،إنمـا هــو القلــب
أم ــا، وه ــذا الحك ــم متف ــق علي ــه عن ــد الش ــافعية والحنابل ــة،يض ــر م ــا دام ــت ني ــة القل ــب ص ــحيحة
إن ال ــتلفظ بالني ــة: والحنفي ــة ق ــالوا،ما تح ــت الخ ــط )املالكي ــةv والحنفي ــة ف ــانظر م ــذه،املالكي ــة
ً ً
إن ال ــتلفظ بالني ــة: ــى أن املالكي ــة ق ــالوا% ع،ي موسوس ــا% اال إذا ك ــان املص ــ، ــي الص ــالةT ل ــيس مروع ــا
6
، إن ال ـ ــتلفظ بالني ـ ــة بدع ـ ــة: الحنفي ـ ــة ق ـ ــالوا. وين ـ ــدب للموس ـ ــوس، املوس ـ ــوسIخ ـ ــالف األو{ ـ ــى لغ ـ ــ
(.ويستحسن لدفع الوسوسة
Melafadzkan niat dengan lisan hukumnya sunnah, misalnya mengucapkan
dengan lisannya ( ـﲇ ﻓَـ ْـﺮ َض اﻟْ ُﻈﻬْـ ِﺮ
ْ ّ ِ ُٔا َﺻـ
) dan lain sebagainya, karena melafadzkan niat itu
berfungsi sebagai perhatian bagi hati. Jika ia berniat shalât dhuhur dengan hatinya
akan tetapi lisannya terlanjur (tanpa sengaja) mengucapkan:
(ﴫـ ْ ّ ِ ـﺖ ُٔا َﺻـ
ِ ْ ـﲇ اﻟ َﻌ ُ ﻧ ََﻮﻳْـ
) maka yang demikian itu tidak batal; karena anda telah tahu bahwa
yang diperhitungkan dalam berniat adalah hati, sedangkan penggungkapan dengan
lisan bukanlah niat, melainkan ia berfungsi sebagai alat bantu dalam
memperingatkan hati; maka kesalahan lisan tidaklah membatalkan niat selama niat
hati itu benar. Hukum ini disepakati oleh madzhab Syâfi’î dan Hanbalî .
"Waktu" berniat
Niat itu dilakukan "bersamaan" dengan takbîratul Ihrâm dan mengangkat kedua
tangan, boleh, bila niat itu sedikit lebih dulu dari keduanya.
7
yang dia baca tidak dianggap cukup selama masih belum terdengar oleh dirinya
sendiri, dengan syarat pendengarannya normal dan tidak diganggu dengan hal-hal
lainnya seperti dijelaskan di atas. Jika tidak demikian, maka dia harus mengeraskan
suara sampai dia bisa mendengar suaranya sendiri, setelah itu barulah bacaan yang
dia kerjakan dianggap mencukupi. Demikianlah nash yang dikemukakan oleh Syâfi`î
dan disepakati oleh pengikutnya. Sedangkan Ashab Syâfi`î berkata: Disunnahkan agar
tidak menambah volume suara yang sudah dapat dia dengarkan sendiri.
As-Syâfi`î berkata di dalam Al-Umm: Hendaklah suaranya bisa didengar sendiri dan
orang yang berada di sampingnya. Tidak patut dia menambah volume suara lebih dari
ukuran itu. (Al-Majmû’, III/295).
Para ulama madzhab Syâfi`î berpendapat bahwa orang yang bisu bukan sejak lahir -
mengalami kecelakân di masa perkembangannya- wajib menggerakkan mulutnya
ketika membaca lafadz Takbîr, ayat-ayat Al-Qur`an doa tasyahud dan lain sebagainya,
karena dengan melaksanakan demikian, dia dianggap melafadzkan dan
menggerakkan mulut, sebab perbuatan yang tidak mampu dikerjakan akan dimâfkan,
akan tetapi selagi masih mampu dikerjakan maka harus dilakukan. (Fatâwâ al Ramlî,
I/140 dan Hasyîyah Qulyubî, I/143)
Keharusan melafadhkan rukun Qaulî ini sesuai dengan hadîts bahwa Rasûlullâh
membaca bacaan shalât dengan menggerakkan lidah dan bibirnya:
، ﻧ َ َﻌ ْﻢ: ﻗَﺎ َل،ﴫ؟ ُّ ﷲ ﻋَﻠَ ْﻴ ِﻪ َو َﺳ َّ َﲅ ﻳ َ ْﻘ َﺮ ُٔا ِﰲ
ِ ْ اﻟﻈﻬْ ِﺮ َواﻟ َﻌ ُ اهلل َﺻ َّﲆ ُ ﻗُﻠْﻨَﺎ ِﻟ َﺨ َّﺒ ٍﺎب َٔا َﰷ َن َر ُﺳ: ﻗَ َﺎل،َﻋ ْﻦ َٔا ِﰊ َﻣ ْﻌ َﻤ ٍﺮ
ِ َّ ﻮل
» » ِابﺿْ ِﻄ َﺮ ِاب ِﻟ ْﺤ َﻴﺘِ ِﻪ:ﻮن َذاكَ ؟ ﻗَﺎ َل َ ُ ِ َﰈ ُﻛ ْﻨ ُ ْﱲ ﺗَ ْﻌ ِﺮﻓ:ﻗُﻠْﻨَﺎ
“Dari Abu Ma’mar , dia berkata: Kami bertanya kepada Khabbab , apakah
Rasûlullâh membaca bacaan shalât pada shalât Dzuhur dan Ashar? Ia menjawab:
“Ya”. Lalu kami bertanya lagi: Bagaimana kalian bisa mengetahui hal itu? Dia berkata:
“Dengan bergeraknya jenggot beliau”. (HR. Bukhârî dan Abu Dâwud).
Kalau Rasûlullâh membaca hanya di dalam hati, tidak akan mungkin jenggot beliau
sampai bergerak-gerak. Bahkan dalam hadîts itu diungkapkan dengan kalimat
“ ”اضطرابyang artinya goncang, menunjukkan gerakannya jelas betul-betul bergerak,
bukan sekadar bergerak.
8
Menurut madzhab Syâfi`î, Mâlikî dan Hanbalî sepakat bahwa mengucapkannya
dalam bahasa Arab ( IJ"ﷲ اكAllâhu Akbar") adalah wajib,walaupun orang yang shalât itu
adalah orang ajam (bukan orang Arab).
Hanafî : Sah mengucapkannya dengan bahasa apa saja, walau yang bersangkutan
bisa bahasa Arab.
Semua ulama mazhab sepakat : syarat takbîratul ihrâm adalah semua yang
disyaratkan dalamshalât. Kalau bisa melkitakannya dengan berdiri; dan dalam
mengucapkan kata ﷲ اﻛﱪ
- Allâhu Akbar- itu harus didengar sendiri, baik terdengar
secara keras oleh dirinya, atau dengan perkiraan jika ia tuli.
10
9. Tidak disisipi bacaan dzikir asing, yaitu dzikir yang tidak ada kaitannya dengan
shalât, seperti membaca “alhamdulillah” setelah bersin, dan menjawab adzan.
Yang termasuk dzikir bukan asing adalah seperti melakukan sujud tilawah,
membaca “amin”, dan berdoa memohon rahmat atau perlindungan dari adzab.
10. Tidak membacanya dengan maksud lain selain bacaan shalât. Jika membacanya
untuk mendapatkan keberkahan, dzikir atau doa, maka tidak sah bacaan
tersebut.
11. Membacanya dalam bahasa Arab, karena terjemahan al-Fâtihah bukan Alquran.
11
langsung mengikuti i’tidal imam. Jika ia melakukan rukuk maka batal shalâtnya
karena telah menambah perbuatan dalam shalât.
Keadaan masbuk ini juga berlaku bagi seseorang yang terlambat bangkit dari
sujud sehingga ketika berdiri ia mendapati imamnya telah rukuk atau hampir
rukuk, maka ia tidak perlu membaca al-Fâtihah atau menyempurnakan bacaannya.
Adapun jika makmum tidak dalam keadaan masbuk tetapi ia belum selesai
membaca al-Fâtihah ketika imam rukuk maka jika keterlambatannya itu
disebabkan sebuah dzur, seperti bacaan imam yang sangat cepat, atau bacaannya
yang lambat, maka ia tetap harus melanjutkan bacaan al-Fâtihah hingga selesai.
Dalam hal ini diberikan keringanan baginya untuk terlambat dari gerakan imam
dalam batas maksimal 3 (tiga) rukun besar. Jika telah lebih dari itu maka
makmum memiliki dua pilihan, yaitu memisahkan diri dari imam (mufâraqah)
atau tetap bersama imam tetapi Rakaat pertama dihitung tidak ada sehingga ia
harus menambah satu Rakaat lagi setelah imam salam.
Catatan:
Basmalah merupakan ayat pertama dari surah ini sehingga harus dibaca secara keras
dalam shalât jahriyah dan secara lirih dalam shalât siriyah. Sebagaimana diriwayatkan
dari Ummu Salamah ر ﷲ ع@اbahwa: “Nabi menganggap basmalah sebagai ayat.” (HR.
Ibnu Khuzaimah).
2.3.Tasyahud Akhir
(1) Dalam duduk yang benar/tetap dada lurus ke arah kiblat
Duduk tasyahud akhir merupakan rukun shalât menurut jumhur ulama tidak
termasuk madzhab Hanafî.( Badruddîn Al-Ainî al-Hanafî, Al-Biyanah Syarh Hidayah, 178).
Hanafî: tidak termasuk rukun shalât, lafadz yang beliau gunakan yakni bacaan
tasyahud Abdullâh bin Mas’ûd :
ى%التحيات هلل والصلوات والطيبات السالم عليك أا الن ورحمة ﷲ وبركاته السالم علينا وع
" عباد ﷲ الصالح ن أشهد أن ال إله اال ﷲ وأشهد أن محمدا عبدﻩ ورسوله
(Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, cet, pertama (Beirut: Dar Al-Kutub
Al-Ilmiyah, 2012), h. 131)
Jumhur ulama menetapkan bahwa posisi duduk untuk tasyahud akhir adalah duduk
tawarruk. Posisinya hampir sama dengan duduk iftirasyi namun posisi kaki kiri tidak
diduduki melainkan dikeluarkan ke arah bawah kaki kanan. Sehingga duduknya
diatas tanah tidak lagi diatas lipatan kaki kiri seperti pada duduk iftirasyi.
اهلل … ﻓَﺎ َذا َﺟﻠَـ َـﺲ ِﰲ اﻟـ َّـﺮ ْﻛ َﻌ َﺘ ْ ِﲔ َﺟﻠَـ َـﺲ ﻋَـ َـﲆ ِر ْﺟـ ِ ِـهل ِ َّ ِاﻟﺴﺎ ِﻋ ِﺪ ُّي َٔاانَ ُﻛ ْﻨ ُﺖ َٔا ْﺣ َﻔ َﻈ ُ ْﲂ ِﻟ َﺼ َﻼ ِة َر ُﺳﻮل
َّ َٔاﺑُﻮ ُ َﲪ ْﻴ ٍﺪ
ِٕ
ُﴪى َوﻧ ََﺼ َﺐ ْ ُٔاﻻﺧ َْﺮى َوﻗَ َﻌﺪَ ﻋَ َﲆ َﻣ ْﻘ َﻌﺪَ ﺗِ ِﻪ َ ْ ُﴪى َوﻧ ََﺼ َﺐ اﻟْ ُﻴ ْﻤ َﲎ َوا َذا َﺟﻠَ َﺲ ِﰲ َّاﻟﺮ ْﻛ َﻌ ِﺔ ْاﻻٓ ِﺧ َﺮ ِة ﻗَﺪَّ َم ِر ْﺟ َ ُهل اﻟْﻴ َ ْ اﻟْﻴ
Maka apabila beliau duduk setelah dua rakaat, beliau duduk di atas ِٕ kaki kiri sambil
menegakkan telapak kaki kanan, dan apabila beliau duduk pada rakaat akhir beliau
majukan kaki kiri sambil menegakkan telapak kaki yang satunya, dan beliau duduk di
lantai. (HR. Al-Bukhârî)
12
Ulama’ Asy-Syâfi`îyyah dan Hanabilah (Hanbalî) berpendapat bahwa untuk duduk
tasyahud akhir, yang disunnahkan adalah duduk tawarruk.
Menurut Ulama’ Hanafîyah, posisi duduk tasyahud akhir sama dengan posisi duduk
diantara dua sujud, yaitu duduk iftirasyi. (Nailul Authâr, h. 273)
Madzhab Mâlikî sebagaimana diterangkan dalam kitab Asy-Syarhu Shaghir
menyunnahkan untuk duduk tawarruk baik pada tasyahud awal maupun tasyahud
akhir.
Bacaan Tahîyyat
(2) mendengar bacaan (3) tertib (4) memelihara hurufnya (5) memelihara
kalimatnya (6) memelihara baris-(harakat)nya (7) memelihara tasydîd-nya
Bacaan tasyahud ada berberapa pendapat.
Pendapat pertama yaitu pendapat jumhur ulama dari madzhab Hanafî dan Hanbalî
serta ada kemiripan pada madzhab Mâlikî .
Sedangkan pada madzhab Syâfi`î menggunakan bentuk yang kedua yaitu:
َاﻟﻠَّﻬُ َّﻢ َﺻ ِ ّﻞ ﻋَ َﲆ ُﻣ َﺤ َّﻤ ٍﺪ
“Allâhumma shalli ‘ala Muhammad...”. (Wahbah Zuhaily, Al-Wajiz fi Fiqhi islam, cet.
Pertama, (Damaskus: Darul Fikr, 2005 M) 1/166).
Dr. Wahbah Zuhailî, berkata dalam Kitab Fiqh Islâmî wa Adillatuhu: Hanafî yah dan Syâfi’î
yah berpendapat : Disunnahkan membaca sayyidina kepada Nabi Muhammad dalam
membaca shalawat Ibrâhîmiyyah, karena itu merupakan manifestasi pelaksanaan adab.
Oleh sebab itu membaca sayyidina itu lebih utama daripada meninggalkannya. Adapun
hadîts
( اﻟﺼ ـ َﻼ ِة
َّ ) َﻻ ﺗ ُ َﺴ ـ ِﻮد ُْو ِ ْﱐ ِ ْﰲ (janganlah kamu menyebut kepemimpinanku dalam membaca
shalawat) adalah hadîts palsu (Asnâ al-Mathâlib fi Ahâdits Mukhtalijat al-Marâtib karya Al-
Hut al-Bairuti, hal. 55.)
Maka Shalawat atas Nabi yang sempurna dan lebih afdhal, sebagaimana shalawat yang
dibaca dalam Shalât adalah nash :
َ َامك َﺻﻠ َّ ْﻴ َﺖ ﻋﲆ َﺳـ ِﻴّﺪ َان ا ْﺑ َﺮا ِﻫ َﲓ َو ﻋَ َﲆ آلِ َﺳـ ِ ّﻴﺪ َان، َاﻟﻠَّﻬُ َّﻢ َﺻ ِ ّﻞ ﻋَ َﲆ َﺳـ ِﻴّﺪ َان ُﻣ َﺤ َّﻤ ٍﺪ َو ﻋَ َﲆ آلِ َﺳـ ِﻴّﺪ َان ُﻣ َﺤ َّﻤ ٍﺪ
ِ َ َامك َابر ْﻛ َﺖ ﻋَ َﲆ َِٕﺳـ ِﻴّﺪ َان ا ْﺑ َﺮا ِﻫ َﲓ َو ﻋَ َﲆ آل، َو ِابركْ ﻋَ َﲆ َﺳـ ِﻴّﺪ َان ُﻣ َﺤ َّﻤ ٍﺪ َو ﻋَ َﲆ آلِ َﺳـ ِﻴّﺪ َان ُﻣ َﺤ َّﻤ ٍﺪ،ا ْﺑ َﺮا ِﻫ َﲓ
ِٕ ِٕ
.َﺳـ ِﻴّﺪ َان ا ْﺑ َﺮا ِﻫ َﲓ ِﰱ ْاﻟ َﻌﺎﻟَ ِﻤ َﲔ اﻧ ََّﻚ َ ِﲪﻴ ٌﺪ َﻣﺠِ ﻴ ٌﺪ
ِٕ ِٕ
2.5. Salam yang pertama
(1) Dalam duduk (2) mendengar salam (3) berturut-turut (4) tertib (5) memelihara
hurufnya (6) memelihara tasydîdnya (7) memelihara kalimatnya (8) memlihara
barisnya.
Menurut empat madzhab, kalimatnya sama:
َ ُ ُ َ ُ َ َ
ِ الم َعل ْيكم َو َر ْح َمة ا
هلل الس
Kecuali madzhab Mâlikî, yaitu :
ُ َ ُ ُ َ ُ َ َ
الم َعل ْيكم َو َر ْح َمة اهللِ َوَب َركات ُهالس
Syâfi’î, Mâlikî, dan Hanbalî : mengucapkan salam adalah wajib. Hanafî : tidak wajib.
(Bidayatul Mujtahid, I/126).
Hanbalî: wajib mengucapkan salam dua kali, sedangkan yang lain hanya
mencukupkan satu kali saja yang wajib.
14