Anda di halaman 1dari 3

Wanita Imam Sholat

Posted By Gus Mad - 09 November 2009 @ 00.35 WIB.

TIDAK LUMRAH, PEREMPUAN SEBAGAI IMAM SHOLAT

“Islam tidak membedakan antara lelaki dan perempuan, memperlakukan secara setara, namun
kaum lelaki telah membuat hukum untuk menjustifikasi fikih dalam memenjarakan perempuan
dan meletakkan sebagai pasangan seksual semata, padahal Allah sendiri tidak bisa disifati
sebagai lelaki atau perempuan, karena Allah bukan seperti manusia” Amina Wadood dalam
khotbahnya yang dilangsir oleh koran Mesir Al Massa.

Amina Wadood, Aktivis perempuan dan dosen Studi Islam di Universitas Virginia
Commonwealth, Amerika Serikat, telah lama mengajukan konsep sholat jum’at dengan imam
seorang perempuan untuk dilaksanakan di berbagai masjid, namun selalu ditolak oleh seluruh
masjid di New York, bahkan diseluruh wilayah Amerika, akhirnya sholat jum’at tersebut dapat
terselenggara tapi disebuah gereja dengan peserta hampir mencapai seratus orang, sedang yang
bertindak sebagai khotib dan imam adalah Amina Wadood sendiri, penyelenggaraan sholat
jum’at kontroversial pada 18 Maret tersebut, dengan mengundang stasiun televisi Al Jazeera dan
Al Arabiya yang merupakan stasiun televisi terpopuler di dunia Arab dan Islam.
Apa yang di lakukan oleh Amina Wadood tadi tidak sekedar menggegerkan kaum muslimin,
namum mencoreng citra Islam, karena melaksanakan ibadah di dalam gereja, sehingga banyak
yang menjulukinya sebagai “perempuan gila”, tindakannya sebagai bid’ah (yang menyesatkan),
pelanggaran atas syari’at Islam secara jama’i (kolektif), melanggar ijma’ (kesepakatan ulama),
dan lain sebagainya.

Tidak lumrah.
Sebetulnya kasus Amina Wadood ini sekedar pelaksanaan ibadah yang tidak lumrah, dilihat dari
kasus permasalahannya yang kontroversial tersebut dirunut oleh hadits hingga kajian fiqih Islam,
dan yang sebetulnya bukan hal baru… Pertama, pelaksanaan ibadah di dalam gereja, merupakan
ibadah yang tidak lumrah dilakukan oleh umat islam, karena gereja merupakan tempat ibadah
yang digunakan oleh umat beragama lain sehingga pelaksanaan sholat di gereja menjadi tanda
tanya ada apa dibalik itu?… dengan banyaknya gambar terpampang, yang Rasulullah melarang
pemasangan gambar-gambar dalam sebuah ruangan, Ibnu Abbas (sahabat Nabi) tidak senang ada
pelaksanaan sholat di gereja dengan alasan adanya banyak gambar.

Padahal syarat sahnya pelaksanaan sholat cukup berada pada tempat yang suci, di manapun
berada, sebagai mana Umar ibn Abdul Aziz pernah mengimami sholat jama’ah dalam sebuah
gereja di Syria. (Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf 1:423). Dan baru-baru saja disampaikan
oleh VOICE OF AMERIKA bahwa sebagian umat Islam Amerika melaksanakan Sholat Tarawih
di dalam beberapa gereja dan sinagoge di berbagai wilayah Amerika. Hal itu terlaksana karena di
Amerika sulit ditemukan mushola atau masjid.

Kedua, Perempuan menjadi imam sholat bagi lelaki maupun perempuan, ini merupakan
substansi dari topik pemasalahan yang menimbulkan banyak perbincangan, tidak bisa
membayangkan jika para ulama mau memberi fatwa menerima hal itu, namun dalan realitas
bahwa permasalahan ini merupakan tema lama pembicaraan ahli fikih, yaitu bila ternyata
perempuan mempunyai nilai lebih dalam ilmu pengetahuan keislaman dibandingkan para lelaki,
kenapa tidak boleh?…
Dalam hadits shahih (Riwayat Abi Dawud) dari Ummu Waroqoh binti Naofal al
Anshoriyah :”Nabi SAW mengunjunginya di rumahnya, sambil mengangkat seorang muadzin
(lelaki) beliau memerintah Ummu Waroqoh untuk meng-imami penghuni rumah, (dalam riwayat
Al Baihaqi ada tambahan)”dalam sholat-sholat fardlu”. Kata al Shon’ani dalam kitab Subulu al
Salam, hadits ini menunjukn absahnya imam wanita terhadap penghuni rumah walaupun ada
lelakinya, pendapat ini didukung oleh para imam seperti Abu Tsur, al-Muzani, at-Thobari. (juz
2:35). Ibnu Taimiyah menukil bahwa Imam Ahmad ibn Hanbal memperbolehkan perempuan
menjadi imam bagi para lelaki bila mereka tidak mampu membaca Alqur’an (al Qowaid al
Nuraniyah 2:78).

Namun ada yang memberi batasan pada sholat tertentu perihal ke-absah-an imam perempuan,
diantara ulama yang mengesahkan ke-imam-an wanita terhadap lelaki hanya pada sholat Tarowih
bukan sholat fardlu, adalah Imam Abu al Khatthab (penyusun majma’ul Bahrain), Imam al
Zarkasyi dan Imam Ibnu Hubairoh (lihat Al Inshof karya al Mardawi 2:246).

Memang ini merupakan hal yang tidak lumrah karena mayoritas ulama menyatakan tidak sah ke-
imaman tersebut. Mereeka berdasar pada hadits riwayat Ibnu Majah yang menyatakan
“janganlah sekali-kali perempuan mengimami lelaki”. Namun hadits ini diragukan kebenarannya
dan Dloif (shon’ani dalam Subulu al Salam 2:28).

Ketidak-lumrahan yang ketiga dan keempat adalah perempuan menjadi khatib dalam
pelaksanaan sholat jum’at, apabila menjadi imam itu sah, maka menjadi khatibpun sah-sah saja,
Sedangkan perihal posisi perempuan berbicara atau orasi dihadapan lelaki, bisa dilihat dalam
peristiwa Asma binti Yazid al Anshori, yang menuntut emansipasi dan melakukan orasi
dihadapan Rosulullah dan para sahabat dengan mengatakan:
“Ya Rosulallah, saya adalah delegasi para wanita menghadap kamu, Allah mengutus kamu
kepada lelaki dan perempuan, kami beriman kepadamu dan Tuhanmu, kami para perempuan
terbatas hanya sekedar menjadi tiang-tiang rumah, pelampiasan nafsu, mengandung dan
melahirkan anak-anak, sedang engkau para lelaki mendapat kebebasan dalam berkumpul-
kumpul, membezuk orang sakit, mengantar jenazah, berulang kali berhaji, dan yang paling utama
adalah bisa berjihad di jalan Allah. Dan bila para lelaki pergi haji, umroh atau jihad, kami
menjaga harta, menyongket pakaian dan mendidik anak-anak mereka, apakah kami tidak boleh
untuk bergabung memperoleh pahala dan kebaikan bersama mereka ?”

Nabi SAW membalikan tubuh menghadap ke para sahabatnya seraya mengatakan: “pernahkah
kalian semua mendengar ungkapan perempuan seindah yang dituntut oleh wanita ini tentang
hak-hak dalam agamanya ? jawab mereka : “kami tidak pernah mengira bahwa ada perempuan
yang mendapat pencerahan seperti dia.” (Ibnu al Atsir dalam Usud al Ghobah 5:415), ini pujian
Rasulullah atas perempuan yang menuntut hak-haknya dalam konteks agama Islam..

Kelima dari perilaku tidak lumrah dalam kasus yang ditayangkan televisi Al Jazeera terlihat para
jamaah campur antara lelaki dan perempuan dalam shaf, mereka tidak dipisah baik dengan sekat
mupun barisnya, sebagaimana di al Masjid al Haram dikala musim Haji, perempuan ada di depan
lelaki, di samping atau belakangnya, dan tak ada kritik dari siapapun kecuali hanya usaha
sebagian penjaga masjid yang berusaha memisahkan antara lelaki dan perempuan dengan beda
lokasi. Peristiwa Amina Wadood dan yang ada dalam al Masjid al Haram adalah merupakan
tradisi yang telah ada sejak zaman Rasulullah, seperti cerita Ibnu Abbas “Ada seorang wanita
cantik sholat di belakang Rasulullah, sebagian sahabat ada yang mengambil shaf kedepan agar
tidak melihatnya dan ada pula yang di belakangnya berada diakhir shaf, sehingga ketika
melakukan ruku’ bisa melihatnya dari bawah ketiak” (HR Tirmidzi :5128)

Yang terakhir, permasalahaan ini terlihat dalam tayangan televisi tersebut, seorang wanita sholat
dengan rambut terbuka, alias rambutnya tidak tertutup jilbab maupun mukena, tidak seperti
kondisi sholat perempuan di Indonesia yang tertutup rapat dan bahkn sakan-akan berlebihan
dalam menutup aurat, mulai dari punggung telapak tangan harus tidak kelihatan, menambahkan
mukena untuk menutup aurat, sehingga sholat seorang muslimah Indonesia sering tergantung
pada ditemukan atau tidaknya mukena, bila tidak menemukan mukena di suatu masjid dalam
perjalanan, lebih suka tidak sholat dan meng-qodlo-nya nanti bila sudah ada mukena.

Terkait permasalahan aurat bagi perempuan muslimah, diwaktu sholat atau di luar adalah sama
dan tidak beda, kecuali dalam kondisi tertentu seperti pemeriksaan dokter, berada di antara
muhrim / keluarganya atau dalam kesaksian sebuah pengadilan yaitu dengan menutup seluruh
tubuh selain wajah dan kedua telapak tangan.

Kalau diruntut peristiwa membuka aurat di masa Rasulullah, sebagaimana yang diriwayatkan
oleh al Imam al Bukhori (hadits ke 190), Ibnu Umar bercerita “lelaki dan perempuan berwudlu
secara bersama-sama pada zaman Rasulullah SAW” (ada penjelasan tambahan dalam riwayat
Abu Daud) “dari tempat satu bersama-sama”, maka ketidak lumrahan tersebut menjadi hal biasa,
yaitu membuka lengan, rambut bahkan sampai ketengkuk dan telinga, karena dalam pelaksanaan
wudlu harus membuka anggota tersebut, padahal dalam cerita di atas lelaki dan perempuan
secara bersamaan berwudlu dari suatu bejana yang satu.

Ada yang memberikan penafsiran terhadap hadits tersebut, bahwa kata lelaki dan perempuan
tersebut adalah suami istri (Rofii dalam madzhab syafii), ada pula yang mengatakan tempat
boleh satu tapi pelaksanaan digilir dalam waktu yang berbeda (Malik dalam Muwatho) dan ada
juga yang menyatakan peristiwa dalam cerita terjadi sebelum diberlakukan hijab (Ibn Hajar).

Demikian ketidak lumrahan dari kasus Amina Wadood ini kami paparkan, bukan untuk mencari
hal yang mudah atau melecehkan ketentuan hukum yang telah dijustifikasikan oleh para ulama,
tapi untuk menunjukan bahwa kasus tersebut bukan merupakan hal yang baru dalam dunia Islam,
dan perbedaan pendapat dalam memahami dan menafsiri nash / dasar agama biasa terjadi sejak
era sahabat sampai sekarang masih tetap berkembang, yang mana hal tersebut bagi dunia
pesantren merupakan kewajaran, dan penulisan ini bagaikan nguyahi segoro. Wallohu’Alam bi al
Showab
http://ppaq.wordpress.com/fiqih-alternatif/wanita-imam-sholat-2/

Anda mungkin juga menyukai