Anda di halaman 1dari 12

Adzan 2x.

Mayoritas kaum muslimin di Indonesia melaksanakan ibadah shalat Jumat dengan seruan

azan dua kali. Praktek ini mengacu pada inisiatif khalifah ketiga, Sayyidina Utsman ibn Affan,

tanpa ada sanggahan dari para sahabat lainnya. Sehingga disimpulkan telah terjadi ijmak

sahabat.

Memang pada masa Rasulullah, Abu Bakr dan Umar, adzan Jumat dilaksanakan sekali saja,

sebagaimana riwayat berikut ini:

Artinya:  Diriwayatkan dari as-Saib bin Yazid anak saudara perempuan Namir, ia berkata:

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dahulu tidak memiliki selain satu muadzin di dalam

semua shalat, baik pada hari Jumat maupun lainnya, yang bertugas adzan dan iqamah. Ia

berkata: Bilal dahulu adzan apabila Rasulullah duduk di atas mimbar pada hari Jumat dan

iqamah apabila beliau turun. Dan (dia juga melakukan seperti itu) untuk Abu Bakar dan

Umar Radhiyallahu Anhu sehingga (zaman) Utsman. [HR Ahmad] 

Kemudian riwayat bahwa Sayyidina Utsman menambah satu adzan lagi adalah sebagai

berikut: 
Artinya:  Diriwayatkan dari as-Saib bin Yazid, ia berkata: Adzan pada hari Jumat awalnya

dahulu ialah apabila imam telah duduk di atas mimbar pada masa Nabi SAW, Abu Bakar

dan Umar RA. Namun ketika Utsman RA (menjadi khalifah) dan orang-orang bertambah

banyak, beliau menambah adzan ketiga di az-Zaurak (suatu tempat di pasar Madinah). [HR

al-Bukhari]

Dari dua riwayat tersebut, disimpulkan bahwa dalam shalat Jumat pada masa Nabi

Muhammad SAW, Abu Bakr dan Umar adalah adzan sekali. Kemudian pada masa Utsman,

karena umat Islam bertambah banyak, dan tempat tinggalnya berjauhan, sehingga beliau

khawatir ada yang tidak mendengarkan adzan, maka dibutuhkan satu lagi adzan untuk

memberitahu masuknya waktu shalat Jumat yang akan dilaksanakan. 

Mengacu pada riwayat kedua tersebut bahwa yang dimaksud adzan yang ketiga adalah

adzan yang dilantunkan sebelum khatib naik ke mimbar. Sementara adzan pertama adalah

adzan setelah khatib naik ke mimbar dan duduk, sebelum khatib berkhutbah dan adzan

kedua adalah ikamah. 

Al-Hafidz Ibn Hajar al-Asqalany dalam Fathul Bary Syarh Shahih al-Bukhary mengutip riwayat

Waqi' dari Ibn Dzi'b tentang adanya dua adzan pada masa Nabi, Abu Bakr, dan Umar.

Kemudian beliau mengutip pendapat Ibn Khuzaimah: ...... dua kali adzan maksudnya adalah

adzan dan iqamah. Dinamakan dua adzan karena sama-sama bermakna i'lam

(pemberitahuan). 

Kaum muslimin yang shalat Jumat dengan satu adzan adalah benar, karena demikianlah

dicontohkan Rasulullah dan dua khalifah pengganti beliau. Demikian juga kaum muslimin

yang mengikuti ijtihad Sayyidina Utsman ibn 'Affan juga benar, karena Rasulullah

menitahkan kaum muslimin untuk mengikuti sunnah para khulafaur rasyidin antara lain

dalam Sunan Abi Daud, dan Sunan at-Tirmidzi:  Faalaikum bisunnati wa sunnati al-khulafa

ar-rasyidin al-mahdiyyin.
Lebih-lebih tindakan Utsman ini sama sekali tidak dipungkiri oleh para sahabat lainnya.

Dalam al-Mawahib al-Ladunniyah (juz 2, halaman 249), dinyatakan bahwa hal itu adalah

ijmak sukuti:

 Artinya: Sesungguhnya apa yang dilakukan Sayyidina Utsman itu merupakan ijmak sukuti,

karena para sahabat yang lain tidak menentang kebijakan tersebut. 

Al-Hafidz Ibn Hajar dalam Fathul Bary (juz 2, halaman 394) menyatakan ketundukan

masyarakat atas kebijakan tersebut,

 Artinya: Yang jelas, masyarakat telah melakukan sesuai dengan tindakan Utsman di setiap

negeri pada waktu itu, karena beliau adalah khalifah yang perintahnya dipatuhi.

Dengan demikian pada masa Utsman, hingga saat ini mayoritas kaum muslimin di dunia

dalam shalat Jumat menyelenggarakan dua adzan dan satu ikamah.

https://jatim.nu.or.id/keislaman/berikut-dalil-mengumandangkan-dua-adzan-saat-shalat-

jumat-Sv7qu,

 9 Februari 2021
Beduq 1

Adzan itu panggilan shalat. Kalau bedug dibuat sebagai penanda tibanya waktu shalat. Di

tengah kemajuan peradaban di Jawa serta teknik metalurgi yang khas era Majapahit, bedug

masuk menjadi bagian dari tradisi umat Islam, khususnya di langgar dan masjid.

Konon, bedug bagian dari jejak pengaruh Tiongkok di kebudayaan Muslim Jawa.

Pembawanya Laksamana Muhammad Chengho saat pelesir politik di Majapahit. Di dalam

salah satu jilid novel pentalogi Gajahmada karya Langit Kresna Hariadi, terdapat percakapan

antara Gajahmada dengan salah satu anggota teliksandi Bhayangkari tentang sebuah

komunitas Muslim di pesisir Jawa yang menggunakan bedug sebagai penanda waktu

sembahyang.

Di Tiongkok, mereka meletakkannya di kuil. Fungsi lain, pasukan infanteri menabuhnya

sebagai tambur besar yang mengiringi pasukan. Di level lain, bedug ditabuh sebagai media

komunikasi perubahan strategi perang atau formasi tempur, sebagaimana kita saksikan

dalam film Red Cliff 1 dan 2 yang epik itu.

Di Jepang, selain dipakai dalam ritual agama, juga digunakan dalam acara budaya, termasuk

ketika musisi Kitaro menyertakannya dalam instrumentalia yang menghentak dan

legendaris, Matsuri. Duh, indahnya!

Di Jawa sendiri, salah satu bedug terbesar pernah dibuat di Purworejo di era Cokronegoro I.

Bedug ini dinamakan Kiai Bagelen. Dibikin tahun 1834. Bahannya terbuat dari kulit banteng

Jawa dan kayu jati purba. Cokronegoro I sendiri merupakan bupati Purworejo pertama,

sahabat Pangeran Diponegoro saat mondok, lalu menjadi lawannya dalam Perang Jawa.

Cokronegoro I menulis Babad Kedungkebo yang berisi lika-liku Perang Jawa versi dirinya dan
Belanda, dan menjadi manuskrip penting selain Babad Dipanegara yang ditulis oleh Sang

Pangeran. Keren sekali, detail Perang Jawa yang ditulis oleh dua lelakon penting.

Di kemudian hari, bedug disertai dengan kentongan. Benda ini sudah menyertai masyarakat

pedesaan Jawa sejak beberapa abad silam, yang digunakan sebagai media komunikasi:

kebakaran, maling, bencana alam, kumpul untuk mendengar informasi dari aparat desa,

kabar dukacita dll. Jumlah ketukannya berbeda-beda, disesuaikan dengan informasi yang

(akan) disampaikan. Misalnya, ketukan 5-5-5 berarti ada pencurian, 1-1-1 ada lelayu

(dukacita), dan lain-lain.

Berbeda dengan kentongan di samping bedug masjid yang ukurannya tidak besar, kentongan

di balai desa bentuknya jumbo. Suaranya juga khas. Lebih nyaring.

Di kemudian hari, terjadi perbedaan antara umat Islam mengenai penggunaan bedug dan

kentongan ini. Kaum modernis menolak, kaum Muslim tradisionalis masih menggunakannya,

bahkan di zaman ketika pengeras suara merajalela.

Soal polemik fiqh ini, dalam Islamku, Islam Anda, Islam Kita, Gus Dur menyuguhkan

perdebatan elegan antara KH M Hasyim Asy'ari, Rais Akbar NU, dengan Wakilnya, KH Faqih

Maskumambang, Gresik, terkait polemik hukum penggunaan bedug dan kentongan.

Sebagaimana diterangkan dalam karyanya, ar Risalah al Musammah bi al Jasus fi Bayani

Hukmi an Naqus, Kiai Hasyim mengutip ikhtilaf para ulama terkait hukum menabuh

kentongan dan bedug sebelum adzan. Sebagian memperbolehkan bahkan menghukuminya


sunnah, sebagian lain melarang. Kitab ini ada dalam antologi karya Kiai Hasyim Asy'ari yang

berjudul Irsyadus Sari.

Kiai Faqih Maskumambang kemudian menuliskan sanggahannya melalui karya juga.

Judulnya Hazzur Ru'us fi Radd Jasus 'an Tahrim Naqus. KH Abdul Aziz Masyhuri Denanyar

Jombang menemukan kembali naskah ini pada kisaran 2014. Pada 2019 naskah itu ditahqiq

Ibnu Harjo al-Jawi dan kini diterbitkan Maktabah Turmusy Lit-Turats, pada tahun ini.

Demikian elegannya perdebatan ini sehingga ketika Kiai Hasyim Asy'ari berkunjung ke Gresik,

Kiai Faqih memerintahkan kepada para takmir masjid untuk menurunkan kentongan dari

tempatnya, semata-mata menghormati pandangan pendiri NU tersebut.

“Meyakini sebuah kebenaran, tidak berarti hilangnya sikap menghormati pandangan orang

lain, sebuah sikap tanda kematangan pribadi kedua tokoh tersebut. Begitulah tata krama

dalam perbedaan pendapapat yang ditunjukkan oleh para pendahulu kita, suatu sikap yang

harus diteladani dan dilestarikan.” demikian tulis Gus Dur dalam Islamku, Islam Anda, Islam

Kita menutup polemik produktif di antara dua ulama di atas. Elegan, bukan? Wallahu A'lam

Bishshawab

Rijal Mumazziq Z Adalah Rektor Institut Agama Islam Al-Falah As-Sunniyyah Kencong, Jember

https://jatim.nu.or.id/opini/bedug--dari-tambur-perang-hingga-polemik-dua-ulama-S3dVO

14 September 2020
Beduq 2

Bedug dan kentongan merupakan dua alat instrumen yang digunakan untuk memberi tahu

awal masuk waktu shalat fardhu. Bedug dan kentongan biasanya dipukul sebanyak dua kali

sebelum adzan untuk menandai waktu masuknya shalat. Sedangkan pada hari jumat, Bedug

dan kentongan di pukul kurang lebih 30 menit sebagai penanda masuknya shalat jumat.

Seperti yang kita ketahui, banyak masjid-masjid yang tidak memilih menggunakan Bedug dan

kentongan karena mereka memang tidak digunakan pada zaman Rasulullah. Bahkan, Bedug

dan kentongan ternyata juga sering digunakan oleh kaum Yahudi dan Nasrani meskipun

sekarang mereka telah meninggalkannya.

Mereka yang menolak menggunakan Bedug dan kentongan beranggapan bahwa hal tersebut

bukanlah sunnah Nabi, dan Nabi pun tidak pernah mengajarkan hal semacam itu. Jadi

mereka lebih memilih untuk tidak menggunakannya karena alasan tersebut.

Sedangkan untuk kalangan Nahdiyin, Bedug dan kentongan merupakan budaya Islam

Nusantara yang telah diajarkan oleh para Walisongo dan para ulama zaman dulu. Bedug

yang masih kuat sejarahnya dalam lingkup Islam Walisongo adalah Bedug Masjid Agung

Demak dan Masjid Menara Kudus yang sekarang telah diakui sebagai cagar budaya.

Konon, Bedug merupakan alat instrumen yang berasal dari India dan China, kemudian masuk

ke tanah Jawa dan disambut dengan baik oleh raja Jawa dan masyarakatnya. Alat tersebut

awalnya digunakan untuk mengetahui waktu sembahyang orang-orang non Islam. Karena

para ulama mengetahui maslahat alat tersebut, akhirnya mereka menggunakan Bedug

sebagai penanda waktu shalat juga. Lalu pertanyaannya, bagaimana hukum menggunakan

Bedug dan kentongan? Padahal dalam Rasulullah sendiri tidak mengajarkan hal tersebut?

Sebagaimana keputusan Muktamar NU ke-11 di Banjarmasin (1936 M). Mereka secara

mufakat lebih memilih menggunakan dalil Aqli, atau dalil yang didasarkan pada logika tanpa

melanggar aturan syariat yang berlaku.


Soal mereka yang menolak atas dasar "tidak diajarkan oleh Rasulullah", apakah hal tersebut

selamanya dijadikan pembenaran ketika menyikapi budaya-budaya baru yang tidak diajarkan

oleh Nabi? Mungkin menurut hemat kami, mengharamkan Bedug dan kentongan dengan

alasan tersebut adalah pemikiran yang kaku, tanpa mempertimbangkan beberapa sisi baik

yang dihasilkan oleh alat tersebut.

Contoh, mengenai Handphone  yang tidak pernah diajarkan oleh Nabi. Kenapa tidak

diharamkan? Padahal alat tersebut juga budaya, bahkan disebut sebagai "budaya modern"

yang berasal dari non muslim, yang konon katanya ditemukan pertama kali oleh Martin

Cooper pada tahun 1973.

Salah satu alasan mengapa Handphone  tidak diharamkan adalah besarnya kemaslahatan

yang didapat dari pada madharatnya. Memang benar budaya tersebut buatan non muslim,

tetapi hal tersebut tidak akan pernah bisa menjadi alasan pantas dalam memvonis

pengharaman barang tersebut. Sebab, kemaslahatannya sangatlah besar, dan salah satunya

adalah memudahkan kita dalam syiar Islam. Contoh lain, penggunaan pesawat, kereta api,

mobil, apakah budaya tersebut diajarkan oleh Nabi Saw?

Para ulama memang berselisih pendapat mengenai hukum kentongan. Kenapa berselisih?

Karena mereka memiliki cara pandang masing-masing. Dan tentunya akan dipengaruhi oleh

budaya pada masa itu. Misal, ulama yang mengharamkan kentongan adalah karena sifatnya

yang menyerupai dengan penanda waktu masuknya ibadah non Muslim, dan hal tersebut

akan menjadi tasyabbuh (meniru atau mengikuti agama lain) apabila digunakan dan

diterapkan dalam ibadah Muslim.


Sedangkan ulama yang mengatakan mubah memiliki anggapan bahwa benda tersebut tidak

lagi digunakan oleh kaum Non Muslim. Dan sangat memungkinkan dijadikan sebagai

benda syiar  Islam dalam menentukan awal waktu shalat.

Adipati Tjokronagoro I, Bupati Purworejo pertama memerintahkan masyarakat untuk

membuat Bedug besar pertama kali di Masjid Darul Muttaqien pada tahun 1834 M. dan

diberi nama Kyai Bagelan.  Bedug yang konon paling besar di Indonesia tersebut merupakan

karya besar umat Islam sebagai pendukung syiar Islam.

Dalam kacamata fiqih, Bedug sendiri adalah instrumen yang memiliki karakter "Low" dan

condong ke "Sub", itu artinya alat tersebut masuk dalam kategori alat yang dibolehkan

dalam Islam. Karena tidak memiliki unsur bunyi mendayu-dayu yang dapat berpotensi

melupakan Allah. Hal ini sejalan dengan alat musik "genderang" yang digunakan Rasulullah

untuk perang. 

Kalau dalam kacamata modern, Bedug juga bisa diartikan sebagai penanda yang dapat

menggema luas. Hal ini sejalur dengan fungsi TOA atau speaker yang berada di masjid-masjid

sekarang. Berhubung sejarah mencatat listrik masuk di Indonesia pada abad ke-19, maka

sangatlah tidak logis apabila kita menemukan TOA atau speaker pada masa sebelumnya. Dan

Bedug inilah salah satu solusi terbaik untuk dijadikan sebagai penanda waktu shalat, karena

dapat menggema luas di masyarakat.

Walisongo pun juga menganjurkan untuk membangun masjid di dekat alun-alun (tempat-

tempat yang berpotensi memiliki keramaian), dekat pasar, atau tengah-tengah pemukiman

warga, agar suara Bedug dapat menggema dan alhasil  masyarakat terbantu ketika waktu-

waktu shalat fardhu telah tiba. Maka, tidak heran kita temukan menara-menara pada masjid
peninggalan Walisongo, karena dulu memang berfungsi untuk menggemakan suara Bedug

maupun adzan.

Sedangkan kentongan merupakan alat musik komunikasi tradisional yang konon berasal dari

legenda Cheng Ho China. Sejarah mengatakan listrik masuk Indonesia pada abad ke-19, yaitu

ketika kolonial Belanda membuat pembangkit listrik untuk pabrik-pabrik gula dan teh.

Sebagai alat komunikasi pada masa non listrik, tentu saja kentongan memiliki banyak sekali

manfaat. Contoh, kentongan ronda, yang digunakan untuk memberi tahu kapan terjadi

kebakaran, pencurian, orang hilang dan lain-lain. Apakah manfaat tersebut melanggar

syariat? Tentu saja tidak. Sama halnya dengan kentongan masjid, yang dipadukan dengan

Bedug karena memiliki satu kesatuan fungsi, yaitu media untuk memberi tahu kapan waktu

shalat masuk.

Itulah mengapa beberapa sudut pandang harus dilibatkan dalam menghukumi perkara

tersebut. Tetapi kami ingin menegaskan, substansi dari hukum ini tentu saja terletak pada

"kemaslahatan" dan "kemadharatan" yang berlaku. Tidak selamanya Bedug dan kentongan

dihukumi mubah. Kalau tujuannya untuk mengganggu orang yang beribadah, maka

haramlah jadinya.

Itulah pembahasan mengenai hukum Bedug dan kentongan dalam Islam. Semoga apa yang

kami sampaikan bermanfaat. Wallahu A'lam

https://www.abusyuja.com/2020/08/hukum-kentongan-dan-beduk-dalam-islam.html
Memegang tongkat

Kita kerap mendapati seorang khatib memegang tongkat ketika menyampaikan khutbah.

Jumhur (mayoritas) ulama fiqh mengatakan bahwa sunnah hukumnya khatib memegang

tongkat dengan tangan kirinya pada saat membaca khutbah. Dijelaskan oleh Imam Syafi'i di

dalam kitab al-Umm:

Imam Syafi'i RA berkata: Telah sampai kepada kami (berita) bahwa ketika Rasulullah saw

berkhuthbah, beliau berpegang pada tongkat. Ada yang mengatakan, beliau berkhutbah

dengan memegang tongkat pendek dan anak panah. Semua benda-benda itu dijadikan

tempat bertumpu (pegangan). Ar-Rabi' mengabarkan dari Imam Syafi'i dari Ibrahim, dari

Laits dari 'Atha', bahwa Rasulullah SAW jika berkhutbah memegang tongkat pendeknya

untuk dijadikan pegangan". (al-Umm, juz I, hal 272)

Dari Syu'aib bin Zuraidj at-Tha'ifi ia berkata ''Kami menghadiri shalat jum'at pada suatu

tempat bersama Rasulullah SAW. Maka  Beliau berdiri berpegangan pada sebuah tongkat

atau busur". (Sunan Abi Dawud hal. 824).

As Shan’ani mengomentari hadits terserbut bahwa hadits itu menjelaskan tentang

“sunnahnya khatib memegang pedang atan semacamnya pada waktu menyampaikan

khutbahnya”. (Subululus Salam, juz II, hal 59)


Apabila muadzin telah selesai (adzan), maka khatib berdiri menghadap jama' ah dengan

wajahnya. Tidak boleh menoleh ke kanan dan ke kiri. Dan kedua tangannya memegang

pedang yang ditegakkan atau tongkat pendek serta (tangan yang satunya memegang)

mimbar. Supaya dia tidak mempermainkan kedua tangannya. (Kalau tidak begitu) atau dia

menyatukan tangan yang satu dengan yang lain". (Ihya' 'Ulum al-Din, juz I, hal 180)

Hikmah dianjurkannya memegang tongkat adalah untuk mengikat hati (agar lebih

konsentrasi) dan agar tidak mempermainkan tangannya. Demikian dalam kitab Subulus

Salam, juz II, hal 59).

Jadi, seorang khatib disunnahkan memegang tongkat saat berkhutbah. Tujuannya, selain

mengikuti jejak Rasulullah SAW juga agar khatib lebih konsentrasi (khusyu’) dalam membaca

khuthbah. Wallahua’lam bishshawab.

H.M.Cholil Nafis, MA. Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masa’il (LBM) PBNU

https://islam.nu.or.id/jumat/anjuran-memegang-tongkat-saat-khutbah-uMavz

Anda mungkin juga menyukai