Anda di halaman 1dari 24

Acara tahlilan, biasanya berisikan acara pembacaan ayat-ayat suci Al-Quran, dzikir(Tasbih, tahmid, takbir, tahlil,

istighfar, dll), Sholawat dan lain sebagainya yg bertujuan supaya amalan tsb, selain untuk yang membacanya juga bisa
bermanfaan bagi si mayit.

Berikut kami sampaikan beberapa dalil yang menerangkan sampainya amalan tsb (karena keterbatasan ruang & waktu
maka kami sampaikan sementara dalil yg dianggap urgen saja, Insya Alloh akan disambung karena masih ada beberapa
dalil hadits & pendapat ulama terutama ulama yang sering dijadikan sandaran sodara kita yg tidak menyetujui adanya
acara tahlilan diantaranya pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah, Imam Ibnul Qoyyim, Imam As-Saukani dll..

DALIL SAMPAINYA AMALIYAH BAGI MAYIT

1. Dalil Alquran:

Artinya: Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa : Ya Tuhan kami, beri
ampunlah kami dan saudar-saudar kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami (QS Al Hasyr: 10)

Dalam ayat ini Allah SWT menyanjung orang-orang yang beriman karena mereka memohonkan ampun (istighfar)
untuk orang-orang beriman sebelum mereka. Ini menunjukkan bahwa orang yang telah meninggal dapat manfaat dari
istighfar orang yang masih hidup.

2. Dalil Hadits

a. Dalam hadits banyak disebutkan doa tentang shalat jenazah, doa setelah mayyit dikubur dan doa ziarah kubur.

Tentang doa shalat jenazah antara lain, Rasulullah SAW. bersabda:

Artinya: Dari Auf bin Malik ia berkata: Saya telah mendengar Rasulullah SAW. setelah selesai shalat jenazah-
bersabda: Ya Allah ampunilah dosanya, sayangilah dia, maafkanlah dia, sehatkanlah dia, muliakanlah tempat
tinggalnya, luaskanlah kuburannya, mandikanlah dia dengan air es dan air embun, bersihkanlah dari segala kesalahan
sebagaimana kain putih bersih dari kotoran, gantikanlah untuknya tempat tinggal yang lebih baik dari tempat
tinggalnya, keluarga yang lebih baik dari keluarganya, pasangan yang lebih baik dari pasangannya dan peliharalah dia
dari siksa kubur dan siksa neraka (HR Muslim).

Tentang doa setelah mayyit dikuburkan, Rasulullah saw. bersabda:

Artinya: Dari Ustman bin Affan ra berkata: Adalah Nabi SAW. apabila selesai menguburkan mayyit beliau beridiri
lalu bersabda: mohonkan ampun untuk saudaramu dan mintalah keteguhan hati untuknya, karena sekarang dia sedang
ditanya (HR Abu Dawud)

Sedangkan tentang doa ziarah kubur antara lain diriwayatkan oleh Aisyah ra bahwa ia bertanya kepada Nabi SAW.:

Artinya: bagaimana pendapatmu kalau saya memohonkan ampun untuk ahli kubur ? Rasul SAW. menjawab, Ucapkan:
(salam sejahtera semoga dilimpahkan kepada ahli kubur baik mumin maupun muslim dan semoga Allah memberikan
rahmat kepada generasi pendahulu dan generasi mendatang dan sesungguhnya insya Allah- kami pasti menyusul) (HR
Muslim).
b. Dalam Hadits tentang sampainya pahala shadaqah kepada mayyit

Artinya: Dari Abdullah bin Abbas ra bahwa Saad bin Ubadah ibunya meninggal dunia ketika ia tidak ada ditempat,
lalu ia datang kepada Nabi SAW. unntuk bertanya: Wahai Rasulullah SAW. sesungguhnya ibuku telah meninggal
sedang saya tidak ada di tempat, apakah jika saya bersedekah untuknya bermanfaat baginya ? Rasul saw. menjawab:
Ya, Saad berkata: saksikanlah bahwa kebunku yang banyak buahnya aku sedekahkan untuknya (HR Bukhari).

c. Dalil Hadits Tentang Sampainya Pahala Saum

Artinya: Dari Aisyah ra bahwa Rasulullah SAW. bersabda: Barang siapa yang meninggal dengan mempunyai
kewajiban shaum (puasa) maka keluarganya berpuasa untuknya(HR Bukhari dan Muslim)

d. Dalil Hadits Tentang Sampainya Pahala Haji

Artinya: Dari Ibnu Abbas ra bahwa seorang wanita dari Juhainnah datang kepada Nabi saw. dan bertanya:
Sesungguhnya ibuku nadzar untuk hajji, namun belum terlaksana sampai ia meninggal, apakah saya melakukah haji
untuknya ? rasul menjawab: Ya, bagaimana pendapatmu kalau ibumu mempunyai hutang, apakah kamu membayarnya
? bayarlah hutang Allah, karena hutang Allah lebih berhak untuk dibayar (HR Bukhari)

3. Dalil Ijma

a. Para ulama sepakat bahwa doa dalam shalat jenazah bermanfaat bagi mayyit.

b. Bebasnya hutang mayyit yang ditanggung oleh orang lain sekalipun bukan keluarga. Ini berdasarkan hadits Abu
Qotadah dimana ia telah menjamin untuk membayar hutang seorang mayyit sebanyak dua dinar. Ketika ia telah
membayarnya nabi saw. bersabda:

Artinya: Sekarang engkau telah mendinginkan kulitnya (HR Ahmad)

4. Dalil Qiyas

Pahala itu adalah hak orang yang beramal. Jika ia menghadiahkan kepada saudaranya yang muslim, maka hal itu tidak
ada halangan sebagaimana tidak dilarang menghadiahkan harta untuk orang lain di waktu hidupnya dan membebaskan
utang setelah wafatnya.

Islam telah memberikan penjelasan sampainya pahala ibadah badaniyah seperti membaca Alquran dan lainnya
diqiyaskan dengan sampainya puasa, karena puasa adalah menahan diri dari yang membatalkan disertai niat, dan itu
pahalanya bisa sampai kepada mayyit. Jika demikian bagaimana tidak sampai pahala membaca Alquran yang berupa
perbuatan dan niat.

Adapun dalil yang menerangkan shadaqah untuk mayit pada hari-hari tertentu seperti hari ke satu, dua sampai dengan
ke tujuh bahkan ke-40 yaitu hadits marfu mursal dari tiga orang tabi`ien yaitu Thaus, Ubaid bin Umair dan Mujahid
yang dapat dijadikan qaid kepada hadits-hadits mutlak (tidak ada qaid hari-hari untuk bershadaqah untuk mayit) di
atas:

a. Riwayat Thaus :
Bahwa orang-orang mati itu akan mendapat fitnah (ujian) di dalam alam kubur mereka tujuh hari. Maka mereka (para
sahabat) itu menganjurkan untuk memberi shadaqah makanan atas nama mereka selama hari-hari itu.

b. Sebagai tambahan dari riwayat Ubaid bin Umair:

Terjadi fitnah kubur terhadap dua golongan orang yaitu orang mukmin dan orang munafiq. Adapun terhadap orang
mukmin dilakukan tujuh hari dan terhadap orang munafiq dilakukan 40 hari.

c. Ada lagi tambahan dalam riwayat Mujahid yaitu

Ruh-ruh itu berada diatas pekuburan selama tujuh hari, sejak dikuburkan tidak memisahinya.

Kemudian dalam beberapa hadits lain menyatakan bahwa kedua malaikat Munkar dan Nakir itu mengulangi
pertanyaan-pertanyaan tiga kali dalam satu waktu. Lebih jelas dalam soal ini dapat dibaca dalam buku Thulu ats-
tsuraiya di izhaari makana khafiya susunan al Imam Suyuty dalam kitab Al-Hawi lil fatawiy jilid II.

11. Tahlilan-4 (.... sambungan No.1,2,3 ...) Sepertinya Anda selalu membatasi bahwa sunah nabi itu hanya sesuatu
yang pernah Nabi lakukan sehingga pertanyaan Anda selalu apakah Nabi SAW pernah melakukannya, apakah ada
contohnya dari nabi ...... begitu terus pertanyaannya Anda dari awal .... TENTANG 1 7 HARI. Komentar saya
terdahulu menyebutkan tentang tiga macam sunah nabi; 1.Sunnah Fi`liyah (perbuatan nabi saw, yang diberi contohnya
oleh Nabi saw), 2. Sunnah Qouliyah (perkataan Nabi saw seperti anjuran, perintah dll), 3. Sunnah Taqririyah
(perbuatan sahabat yang disetujui Nabi saw, tidak dilarang). Tentang tradisi kirim pahala sedekah atas mayit 1-7 hari
tidak termasuk sunah fi`liyah yang diberi contoh Nabi saw, atau juga tidak termasuk sunah qouliyah yang angka 1-7
hari itu (tetapi kalau sedekah atas mayit pahalanya termasuk sunah qouliyah). Adapun tentang angka 1-7 hari termasuk
sunah nabi yang ketiga, yaitu sunah taqririyah alias disetujui nabi saw, atau tidak ada larangan dari Nabi saw -- seperti
kata riwayat Imam Ahmad bin Hanbal, yang mendapatkan riwayat dari Hasyim bin al-Qasim, meriwayatkan dari Al-
Asyjai, dari Sofyan, bahwa Imam Thawus bin Kaisan radliyallahu anhu (seorang TABI`IN) mengatakan;
Sesungguhnya orang mati difitnah (diuji dengan pertanyaan malaikat) didalam quburnya selama 7 hari, dan mereka
menganjurkan agar memberikan makan atau sedekah (pahalanya) untuk yang meninggal selama 7 hari tersebut.
Riwayat ini disebutkan tidak hanya oleh Imam Ahmad Ahmad bin Hanbal, tetapi juga oleh Imam Suyuthi, Imam Abu
Nuaim al-Ashbahani, Ibnu Hajar al-Haitami dll. As-Suyuthi menyatakan bahwa dari sisi riwayat, para perawi atsar
Thawus termasuk kategori perawi hadits-hadits shohih dikenal sebagai salah seorang generasi pertama ulama negeri
Yaman dan pemuka para tabiin yang sempat menjumpai lima puluh orang sahabat Nabi Saw. Nama Imam al-Hafidz
as-Suyuthi yang mengatakan diatas saya kira sudah tidak asing lagi dikalangan pesantren, si empunya Kitab Tafsir
Jalalain dan Asbabun Nuzul al-Qur`an, yang kitab-kitabnya tentang ilmu al-Qur`annya menjadi rujukan para ahli tafsir
sesudahnya mengatakan kaum muslimin telah melakukannya pada masa Rasulullah -- dan Nabi SAW juga mengetahui
dan taqrir (menyetujui, tidak melarang), para sahabat melakukannya namun tidak sampai kepada Rasulullah
shallallahu alayhi wa sallam. Atas hal demikian disimpulkan bahwa khabar ini berasal dari seluruh sahabat maka
jadilah itu sebagai ijma, tetapi ada juga yang mengatakan hanya sebagian shahabat saja, dan masyhur dimasa mereka
tanpa ada yang mengingkarinya. Ini merupakan anjuran mengasihi mayit yang baru meninggal selama ujian dalam
kuburnya dengan cara melakukan shadaqah makan selama 7 hari yang pahalanya untuk mayit. Hal demikian telah
dilakukan oleh para sahabat. Sedangkan ulama telah berijma bahwa pahalanya bermanfaat bagi mayit. Kata Imam
Suyuthi, Sesungguhnya sunnah memberikan makan selama 7 hari, telah sampai kepadaku bahwa sesungguhnya
amalan ini berkelanjutan dilakukan sampai sekarang (zaman Imam Suyuthi) di Makkah dan Madinah. Maka secara
dhahir, amalan ini tidak pernah di tinggalkan sejak masa para shahabat Nabi hingga masa kini (zaman Imam as-
Suyuthi), dan sesungguhnya generasi yang datang kemudian telah mengambil amalan ini dari pada salafush shaleh
hingga generasai awal Islam. Dalam kitab-kitab tarikh dituturkan tentang para Imam, mereka mengatakan manusia
menegakkan amalan diatas kuburnya selama 7 hari dengan membaca al-Quran. Shadaqah seperti yang dilakukan
diatas (pahalanya ditujukan untuk mayit) berlandaskan hadits Nabi yang banyak disebutkan dalam berbagai riwayat.
TENTANG ANGKA 7, 40, 100, 1000 HARI Angka-angka ini pada komen terdahulu sedikit juga sudah saya singgung
bahwa para wali tidak serta merta mengharamkan tradisi sebelumnya. Bahkan dengan tradisi itu justru digunakan
untuk mengislamkan mereka dengan cara mengganti lafal-lafal mantera di upacara-upacara adat mereka dengan
kalimah tauhid yang ada dalam tahlilan itu. Pada kenyataannya mereka berbondong-bondong memasuki agama Islam
dengan cara demikian melalui pendekatan yang adaptif menggunakan kearifan local dengan tidak begitu saja
mengatakan musyrik, bid`ah, sesat, neraka dsb. Representasi (keterwakilan) dari masyarakat demikian bisa dicoba
dengan dakwah di masyarakat yang masih tradisional kultural kalau dengan mudah kita mengatakan tradisi mereka
sesat atau bid`ah dijamin mereka akan langsung tersinggung akibatnya masyarakat sudah lari duluan tidak mau
mendengarkan pengajian (ora kena iwake wis buthak banyune = tidak dapat ikannya sudah keruh airnya). Dengan
kata lain, kita sikapi saja dengan kearifan, toh angka-angka 7, 40, 100, 1000 hari bukanlah prinsip, justru yang
prinsip tauhidnya itu --- kecuali juga bisa kita gunakan sebagai alat syiar. (kecuali di kota-kota yang masyarakatnya
rasional, tidak lagi kultural cara atau proses islamisasinya sudah lain).

Tampilkan lebih sedikit

Balas

Haryanto SMP 1 Paliyan Gunungkidul2 minggu yang lalu


10. Lebih Hebat Mana ..... (sambungan No.9). sambungan tulisan diatas-----Peluru kedua yang ditembak
menggunakan "baju" walisongo. Kenapa walisongo? Walisongo memiliki pengaruh keagamaan cukup besar di
nusantara, khususnya di Jawa. Bahkan keberadaanya juga dijadikan simbol salah satu organisasi keagaaman terbesar
di Indonesia (bahkan di Asia Tenggara) dengan bersimbulkan Bintang Sembilan. Organisasi ustadz-ustadz "terbaru"
awalnya juga menggunakan bajuwalisongo digunakan sebagai dakwah kegiatannya (misalnya video-video
dakwahnya di Youtube dinamai Chanel Walisongo juga), termasuk (walaupun hanya sementara) dakwah-dakwah
pengajiannya di Jawa bagian selatan menggunakan atribut walisongo. Padahal kalau mau jujur itu hanyalah strategi,
alat --- aslinya kurang cocok dengan walisongo itu sendiri, ajarannya banyak hal yang dikritik serta dianggap tidak
murni dicampuri bid`ah dan kesyirikan--- menurutnya. Ketidaksukaan kepada walisongo itu sendiri lambat laun juga
tidak bisa ditutupi walaupun pada masa-masa awal sudah berusaha serapat mungkin untuk dijadikan alat dalam
dakwah.

Tampilkan lebih sedikit

Balas

Haryanto SMP 1 Paliyan Gunungkidul2 minggu yang lalu


9. Lebih Hebat Mana Imam Syafii vs Walisongo? Sepertinya judul video diatas, "WALISONGO ... , TIDAK ADA
DALILNYA !!!"-- direspon langsung Ustadz Abu Yahya Badrussalam, dengan video barunya, "WALISONGO
BUKAN DALIL." Ada pertanyaan yang diajukan Ustadz Badrus dalam ceramah itu, "LEBIH HEBAT MANA
WALISONGO DENGAN IMAM SYAFII ???" Sama halnya kalau ada oranga bertanya, "Lebih hebat mana sahabat
Abubakar dengan sahabat Umar?" Mungkin anda akan mengatakan lebih hebat sahabat Umar karena pemerintahan
diantara kholifah empat (Khulafaur Rosyidin) beliaulah yang paling berhasil, Islam menjadi kuat berkat keberadaan
Umar, bahkan kata Nabi saw -- setan saja juga akan menyingkir kalau yang lewat Umar. Saya kira walaupun itu ada
dalilnya dan benar , tetapi YANG TIDAK BENAR, TIDAK TAHU ADAB (suul adab), dan KURANG AJAR
terletak justru pada PERTANYAANNYA". Kenapa kok adab-nya seperti itu, apalagi mengatas namakan orang
tahu agama (`alim). Dan Nabi SAW pun saya kira juga TIDAK RELA (ridlo) mendengar pertanyaan seperti itu.
Masing - masing memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh yang lainnya. Sahabat Abubakar beliaulah yang paling
utama dan paling kuat imannya dibanding sahabat lainnya. Sahabat Utsman dialah yang paling dermawan dan paling
malu (dalam hal agama) sampai-sampai nabi dan malaikatpun juga malu kepadanya. Sahabat Ali dialah yang paling
berilmu dan luas pengetahuannya. Sahabat ibn Abbas beliaulah yang paling ahli tentang tafsir al-Quran dibanding
sahabat lainnya, juga dikenal paling mustajab doanya. Lebih hebat mana diantara sahabat2 nabi itu? Lebih berilmu
mana Imam Syafii, Imam Malik, Imam Ahmad bin Hanbali, Imam Abu Hanifah dibanding .. Imam Ja`far Shadiq?
Dunia mengakui rumusan hukum fikh imam empat itu. Tetapi kenyataannya imam empat itu juga mengakui
ilmunya masih dibawah Imam Ja`far Shadiq. Seperti kata Abu Hanifah (Imam Hanafi), Aku tidak pernah melihat
seorang ahli fiqih yang paling alim selain Ja'far bin Muhammad (Ja`far Shadiq). Sampai-sampai Khalifah al-Manshur
dari Dinasti Abbasiyah merasa khawatir tersaingi oleh kebesaran pengaruh wibawa Syaikh Ja`far Shadiq (terhadap
para ulama dan umat) pada zaman itu sehingga bagaimana cara menjatuhkannya (termasuk mengadu domba
dengan Abu Hanifah). Syaikh Ja`far Shadiq dikenal tidak hanya ulama tetapi juga wali Allah yang dikenal luas
akan mustajabnya doa dan karomahnya. Bahkan Imam Abu Hanifah pun akhirnya harus berguru selama dua tahun.
Kata Imam Abu Hanifah, Kalau bukan karena dua tahun belajar kepada Imam Ja`far Shadiq maka celakalah aku!
Imam Malik adalah juga murid langsung yang berguru Syaikh Ja`far Shadiq selain Imam Abu Hanifah. Dengan
demikian Imam Syafii disusul Imam Ahmad ibn Hanbali memiliki mata rantai sanad keilmuan yang bersambung
kepada Imam Ja`far Shadiq (tidak hanya itu, bahkan semua cabang terekat sufi dalam tasawuf seperti Tarekat
Qodiriyah, Naqsyabandiyah, dll sanad atau silsilahnya pasti bersambung dengan Syaikh Ja`far Shadiq. Dengan
demikian bisa disimpulkan beliaulah dua lautan (ilmu fikh dan tarekat tasawuf, asalnya dari satu sumber yang sama).
Para ahli tasawuf (sufi) seperti walisongo itu juga bermadzab fikh tetapi islamisasi di negara-negara Asia Afrika pada
umumnya tidak langsung dengan ilmu fikh (malah belum tentu berhasil kalau menggunakan pendekatan fikh) sebab
masyarakat zaman dahulu itu masih tradisional. Pada masyarakat demikian lebih membutuhkan bukti kultural yang
sesuai cara berfikir mereka dan bukan semata ceramah sebagai ustadz yang sarat dengan ilmu hukum formal (fikh)
sehingga bisa dipahami mengapa islamisasi itu dilakukan dalam kapasitasnya sebagai ahli tasawuf (sufi) dan bukan
ahli fikh (fukoha) walaupun para wali (ulama, kiyai) pada masa itu juga memiliki keahlian kedua-duanya. Di negerinya
orang yang paling dihormati Imam Syafii adalah seorang ahli tasawuf (sufi) bernama Sayyidah Nafisah yang dikenal
wali Allah wanita (waliyah) yang memiliki banyak karomah dan mustajab doanya. Tidak hanya itu bahkan juga
begitu banyak umat dan ulama Mesir minta doanya sampai-sampai Imam Syafii berwasiat kepada Al-
Buwaithi (murid utamanya) jika kelak dirinya wafat agar Sayyidah Nafisah berkenan mensholati diatas jenasahnya.
Sejarah juga mencatat, ketika Imam Syafii wafat diiringi ribuan takziah dari kota Fushthat tempat Imam Syafii tinggal
menuju rumah Sayyidah Nafisah di Darbi as-Siba untuk disholatkan sesuai wasiat yang disampaikan kepada Al-
Buwaithi. Demikianlah betapa tingginya penghormatan imam fikh ini kepada seorang sufi (ahli tasawuf) wanita cicit
Rosulullah itu. Lebih hebat mana Imam Syafii dengan Sayyidah Nafisah? Ahmad ibn Hanbal (Imam Hanbali, pendiri
fikh Madzab Hanbali) pernah mengejar-ngejar seseorang yang terkenal dengan julukan Si Kaki Telanjang bernama
Bisyr ibn Harits hanya untuk minta didoakan. Kata Imam Hanbali, Bisyr ibn Harits adalah wali Allah keempat dari
golongan abdal. Bahkan Khalifah Umar ibn Khathab dan beberapa sahabat lain harus mencari-cari dan
menanyakan seorang pemuda dari Yaman bernama Uwais al Qorni hanya untuk minta didoakan sesuai pesan Nabi
saw, seperti kata hadits shahih Muslim, "Sebaik-baik tabi'in, adalah seorang laki-laki yang biasa dipanggil Uwais, dia
memiliki ibu, dan dulu dia memiliki penyakit belang ditubuhnya. Carilah ia, dan mintalah doa kepadanya agar
memohonkan ampun untuk kalian.' Kira-kira lebih hebat mana sampai yang satu membutuhkan, yang satunya lagi
seolah-olah tidak berhajat kepadanya kecuali kepada Allah. Sehebat Imam Syafii pun belum tentu berhasil atau
sesukses seperti wali-wali Allah yang mengislamkan masyarakat Asia atau Afrika yang tradisional kultural pada masa
itu. Sebaliknya mereka para wali atau ulama itu juga menggunakan kaidah fikhnya Imam Syafii (menggunakan
Madzab Syafii) dalam mengajari shalat, wudhu dll. Dengan kata lain, seseorang memiliki kebihan sendiri-sendiri yang
tidak dimiliki oleh yang lainnya dan tidak sepatutnnya membanding-bandingkannya. Tinggi ditempatnya masing-
masing, dengan kekhususan masing-masing. Lha yang menjadi masalah justru --- kenapa sekarang banyak ustadz-
ustad tetentu gencar nguplek-uplek Imam Syafii dan walisongo? Padahal harusnya itu bukan tokoh-tokoh dari
madzabnya atau kelompok organisasinya, alias orang luar gitu. Tetapi kenapa dua icon itu yang "ditembak" (ada
misi-misi atau tujuan tertentukah?). Ingin mengubah pemahaman dengan madzab baru dalam keagamaan --- ustadz
yang model baru menganggap lebih murni sehingga praktek keagamaan lama harus dirubah). Seperti ada skenario
besar (grand design) yang sebetulnya tidak terlalu sulit untuk dibaca arahnya. Misalnya tentang Imam Syafii (Madzab
Syafii) yang notabenenya merupakan madzab yang dianut umat muslim Indonesia sejak Islam pertama kali masuk
nusantara. Belakangan ini mulai terlihat ditembak dari berbagai jurusan yang sebetulnya mengarah ke organisasi Islam
terbesar di Indonesia yang notabenenya bermadzab syafii. Persoalnnya peluru-peluru itu dibidik oleh ustadz-ustadz
yang jelas-jelas dengan latar belakang bukan madzab syafii tetapi dengan gaya sangat menguasai madzab syafii.
Hebatnya lagi, walaupun semua orang tau ustadz-ustadznya itu latar belakang belajar agamaannya bukan madzab
syafii tetapi dengan lihai memakai baju Imam Syafii. Penerbitan terbesarnya dari buku-buku yang diterjemahkan
diberi nama PUSTAKA IMAM SYAFII (padahal yang dicetak buku-buku terjemahan dari kitab-kitab bukan madzab
syafii -- tetapi dari kitab ulama Saudi yang jelas-jelas bermadzab X). Masjid yang menjadi pusat kegiatannya juga
diberi nama "Masjid Imam Syafii". Bahkan untuk menyerang yang sudah diketahui secara umum sebagai masalah
khilafiyah (masalah lawas diungkit-ungkit lagi) sedikit-sedikit mengatasnamakan pendapatnya Imam Syafii (kok bisa
fasih mendalil dengan dalil Imam Syafii ya, seolah-olah sudah terencana dengan matang). Mestinya orang akan bangga
dengan sumber keilmuan dia belajar sesuai jalur sanadnya, sehingga baju yang dipakaipun dengan nama sumber dari
mana ia memperoleh ilmu. Misalnya kalau ilmunya dari jalur Muhammad Ibn Abdul Wahab, Bin Baz, Albani, maka
baju atau kerudung yang digunakan juga mengambil dari kalangan mereka (bukan madzab orang lain), atau ulama-
ulama yang satu jalur dalam sanad keilmuan. Ini masalah etika atau adab. Kecuali kalau masalahnya politik yang
berhubungan dengan tipu muslihat atau strategi yang berhubungan dengan misi-misi atau tujuan-tujuan tertentu
(agama atau kekuasaan). Contoh memakai "baju" lain untuk strategi menghancurkan adalah dalam perang Aceh,
karena Belanda tidak berhasil mengalahkan Aceh selama hampir 50 tahun maka digunakan strategi dengan
mengirim Snouck Hurgronje yang sudah di kursus dulu di Mekkah belajar ilmu agama disana dan pura-pura
menggunakan baju Islam dengan nama Abdul Ghofar untuk mengetahui kelemahan-kelemahan orang-orang Islam
Aceh. Hasilnya, dengan pengetahuan agama luas inilah akhirnya rakyat Aceh baru berhasil dikalahkan Belanda
melalui Snouck Hurgronje yang menyusup dengan baju Islam. Dalam hal-hal demikian (diluar adab, etika) masuk
dalam ranah politicking bisa dipahami.

Tampilkan lebih sedikit

Balas

Haryanto SMP 1 Paliyan Gunungkidul2 minggu yang lalu


8. Taklid -2. PERCAYA dan YAKIN kepada guru (ulama, kiyai) atau nabi itu penting. PERCAYA-NYA HATI antara
makmum kepada imam, murid kepada guru ulamanya. Sama seperti kepercayaan para sahabat yang menghujam
kepada nabinya. Ciri-cirinya orang yang percaya bagaimana? KAMI MENDENGAR DAN KAMI TAAT, Sami`na
wa atho`na (an-Nuur:51, al-Maidah:7, al-Baqarah:285), ini adalah adab berguru (agama). KEBERKAHAN ILMU
sangat tergantung TEBAL TIPISNYA KEPERCAYAAN kepada ahli ilmu-nya (guru ulamanya). Sebaliknya ilmu
(agama) TIDAK BERKAH apabila dilandasi KURANG PERCAYA kepada ahli ilmunya (guru). Ciri-cirinya orang
yang kurang percaya bagaimana? Hatinya ada KERAGUAN terhadap ahli ilmu (guru, ulama)--- kalau perlu minta
bukti kebenarannya : BUKTINYA MANA? DALILNYA MANA? MANA DALILNYA? SURAT APA?
AYAT BERAPA? HADITSNYA MANA? SHAHIH TIDAK? Dan sejenisnya. Sami`na Wa Atho`na (Kami
dengar dan kami taat) adalah adab umat terdahulu (generasi salaf) dalam belajar agama kepada kepada ahli ilmu
(ulama, guru). Kata-kata mana dalilnya? hanya berlaku bagi guru (ustadz) yang masih diragukan keulamaannya
dan dianggap tidak terpercaya. Ulama-ulama terdahulu menjadi besar, orang mulia justru karena tidak ada keinginan
menjadi ulama atau orang besar. Kebesarannya yang kemudian dicari-cari ilmunya ternyata dari berkahnya
kepercayaan dan adabnya terhadap ahli ilmu (guru) bukan dari kepandaian otaknya dalam mempelajari atau menghafal
ilmu. Dengan kata lain, lebih disebabkan dari akhlak dan adabnya terhadap ahli ilmu (guru) sehingga ilmunya
bermanfaat. Demikianlah perbedaan antara ilmu akherat dengan ilmu dunia yang semata mendasarkan kepada
kecerdasan otak atau kepandaian indrawi/dzahiriyah. Misalnya seperti di universitas atau lembaga formal dengan
predikat doktor agama sekalipun. Bahkan Dr. lulusan Mekkah atau Madinah pun sekarang juga bukan jaminan, berapa
ribu saja sarjana-sarjana jurusan agama Islam pada kenyataannya belum tentu ilmunya berguna di masyarakat.
Sebaliknya, penyebaran agama Islam, proses islamisasi justru diterimanya agama Islam itu di masyarakat (secara
sanad keilmuan) lebih banyak disebarkan oleh ulama atau kiyai tradisional yang notabenenya bukan lulusan lembaga
formal. Pada kenyataannya masyarakat di pelosok-pelosok tanah air berbondong-bondong masuk agama Islam berkat
sentuhan kata-kata bijaknya ulama /kiyai (tentu hakikinya af`al perbuatan atau hidayah Allah) melalui mereka para
ulama itu ---- (justru malah bukan yang doktor-doktor agama atau S.Ag/Sarjana Agama masyarakat memeluk agama
Islam). Ulama dalam pengertian yang sebenarnya besar dari bawah atas pengakuan dan kepercayaan umat. Contoh
Habib Luthfi yang video pengajiannya oleh santrinya banyak di upload di Youtube ini (biasanya kwalitas settingan
videonya kurang bagus, tampak tidak dipersiapkan untuk tayangan publikasi, lain dengan ustadz-ustadz yang
disengaja mau dipublikasikan kwalitas videonya bagus dekali hehe). Kecuali Habib Luthfi, seperti Tuan Guru Zaini
Abdul Ghaniy Martapura berapa puluh ribu, bahkan ratus ribu, orang mendengarkan pengajiannya termasuk kalangan
umum diluar jamaahnya. Tidak ada iklan, tidak ada media yang membesarkan, tidak ada mobilisasi massa, lalu siapa
yang menggerakkan hati mereka kalau bukan Allah SWT? ( .. masuk media saja diluar kehendaknya). Tetapi lain
yang ........ masuk media sengaja di skenario. Videonya "sengaja sudah disetting, dipersiapkan hehe....---- biasanya
mengabaikan aspek ruhiyah, hati -- agama hanya didekati dengan metodologi otak sentris. Ulama model ini umumnya
diperkenalkan melalui media (bukan berarti karbitan lho?). Pada ulama demikian umumnya -- ikatan batinnya
tidak sekuat sebagaimana umat dengan ulama yang face to face seperti halnya ikatan batin para sahabat dengan
nabinya (kultus?). Ikatan batin antara umat dan ulama itu penting sebab akan dibuktikan dan diikuti ajarannya sampai
meninggalnya. Inilah ciri-ciri ulama akherat. Ulama yang dibesarkan oleh media, sebagaimana yang sudah -sudah
(bukan berarti menyamakan dengan artis atau intertainment) pada umumnya tidak bisa bertahan terlalu lama. Lima
sampai sepuluh tahun saja mungkin sudah hebat. Bukan jaminannya dari lulusan Mekkah/Madinah terutama kalau
belajarnya secara formal (di Universitas ). Biasanya pengaruhnya lebih permanen kalau sumber mata air
keilmuannya kepada ulama yang informal dan memang memiliki sanad yang jelas keatas tanpa diembel-embeli
gelar. Contoh tentang mengunggulkan atas nama Mekkah dan Madinah ini, kalau kita boleh bangga maka ulama-
ulama kita seperti KH. Hasyim Asy`ari (pendiri NU) dan KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyyah) guru-
gurunya adalah ulama besar Mekkah pada waktu itu ketika belajar disana. Belajarnya juga secara informal kepada
ulama yang semata-mata agama, tanpa pretense keduniaan atau agar memperoleh pekerjaan atau gelar bahkan tidak
ada keinginan untuk menjadi ulama sama sekali. Tetapi yang paling membanggakan mungkin Syaikh Nawawi al-
Banteni (dari Banten, dan tinggal di Mekkah) karena, kecuali sebagai imam Masjidil Haram beliau juga dianggap
MAHA GURU -nya para ulama di kedua tanah suci itu (Mekkah dan Madinah) sehingga di panggil SAYYIDUL
ULAMA HIJAZ (Hijaz adalah sebutan untuk kota suci Mekkah dan Madinah sebelum dikuasai Ibn Saud). Dengan
kata lain, beliau adalah GURUNYA PARA GURU ulama-ulama Mekkah dan Madinah pada waktu itu. Murid-
muridnya yang dari Indonesia antara lain KH. Khalil Bangkalan Madura, KH. Hasyim Asy`ari Tebu Ireng, KH.
Ahmad Dahlan dll. Syaikh Nawawi al-Banteni termasuk ulama yang memiliki "karomah" -- jasadnya oleh Allah
SWT diharamkan bumi memakannya karena sekian tahun setelah meninggalnya ternyata masih tetap utuh dan harum
baunya, ketika pemerintah memerintahkan penggalian kubur untuk diisi dengan mayat yang baru -- akhirnya
pemerintah Arab Saudi mengambil kebijakan untuk dikembalikan seperti sedia kala dan tetap dimakamkan di Ma`la,
Mekkah.

Tampilkan lebih sedikit

Balas

Haryanto SMP 1 Paliyan Gunungkidul2 minggu yang lalu


7. Bid`ah? Adapun yang dianggap bid`ah itu secara umum) biasanya masalah lama (khilafiyah) yang tidak akan
pernah selesai (kecuali yang baru lahir kemarin sore ya kalau tidak tahu ini masalah khilafiyah--- masalah lama) yang
sebetulnya juga diakui para ulama muktabar dengan dalil masing-masing kayak qunut subuh, tarweh, tahlil, tawasul
dll. Itu masalah lama (khilafiyah) yang tidak akan pernah selesai. Sudah tahu tidak akan pernah selesai kok dipaksa-
paksakan "pasti" yang terjadi yang DIBAWAH apa? PERTIKAIAN.. (mau coba, lanjutkan saja .....) Harusnya belajar
dari pengalaman masa lalu .... (bedanya kalau yang sekarang kan ada "alat"-nya... apa itu ? media sosial --
disosialisasikan kemana-mana --- ustadznya dipasang yang banyak dan kira-kira nanti materinya itu yang rawan-
rawan diperselisihkan itu -- kalau perlu videonya dibuat banyak sehingga pemirsa mudah melihat dari misi yang akan
disampaikan -- cuma kalau belajar dari masa lalu: ada aksi, ada reaksi terus begitu -- kalau ada ulama yang terpancing
mau menanggapi biasanya dengan "adu dalil" masing-masing - selesainya mau kapan??? lha masing-masing pingin
dianggap benar? (catat: ada aksi, pasti ada reaksi). ---- dengan kata lain, ...YANG MEMULAI SIAPA??? ..... inilah
penyebab utama "biang perselisihan". Adu dalil--- perang dalil --- hehe (mau dengan bahasa "mengingatkan" atau
"memurnikan" juga boleh, sama kalau ada orang mengatakan "tak ingatkan ya itu bukan bid`ah ini lho dalil-dalinya
....?" (menurut versinya)... Selama 23 tahun dakwah Nabi saw (dari usia 40-63 tahun)selama itu pula Nabi saw itu
yang dibicarakan ya yang ada dalam al-Quran itu. Artinya yang ditingkahlakui, perbuatan Nabi jarang ngomongin
bid`ah, kecuali hanya beberapa saat. Lha kalau kalau lewat berapa abad kemudian (jauh dari masa Nabi dan
sahabat) ada segelintir umat ngomongnya bid`ah melulu bid`ah, bid`ah sedikit-dikit bid`ah bahkan seakan-
akan sebagian umurnya dipersembahkan untuk membicarakan bid`ah melulu dalam materi agamanya --- yang jelas
itu bukan perbuatan nabi yang dicontohkan, tidak mencontoh Nabi saw. Lha kok kita malah bikin bid`ah sendiri
tanpa nyadari. Nabi saja cuma ngomongin seperti barang lewat, kita ngomonginnya setiap saat, setiap hari bid`ah
melulu, bid`ah lagi, bid`ah lagi.. seolah- olah itu maha penting di Quran . (padahal di Quran yang 30 Juz tebal itu
jangan-jangan dibahas saja tidak, apa iya? coba dicari untuk PR di rumah). Lha rak malah kebalik JADI PELAKU
BID`AH to TANPA DISADARINYA? Sikap yang tidak dicontohkan Nabi saw. Tidak sesuai pesan al_Quran
yang 6000an ayat ------- (mungkin maksudnya jangan sampai mbahas yang 6000an ayat Quran itu ya biar disibukkan
mbahas bid`ah? Coba wahai yang mengaku paling murni Islamnya dalam mengikuti al-Quran dan as-Sunnah tolong
carikan dan dihitung dengan obyektif berapa persen di bahas dalam Quran tentang bid`ah itu? Berapa persen
diantara sekian ribu, ratus, bahkan juta Hadits Nabi di bahas? Kok melulu itu terus yang dibahas ya? Inilah yang saya
maksud pelaku bid`ah yang sebenarnya tanpa dirinya menyadarinya telah melakukan bid`ah, kalau tidak hendak
dikatakan memang memiliki misi atau tujuan untuk menggiring agar tidak membahas al-Quran yang 6000an ayat itu
dengan demikian energi umat Islam akan terkuras dengan sia-sia membahas bid`ah melulu. Atau bisa saja hanya
latah seperti ceramah ustadz model baru sekarang yang cenderung ke arah pendangkalan sepotong pemahaman
dalam agama. Betapa tidak para ulama atau kiyai di pesantren dulu ngaji itu yang dibahas urut A Z dalam pengajian
kitab maupun tafsir. Misalnya dari juz 1 30 dan memakan waktu yang tidak singkat (bertahap sekali). Demikian
juga Kitab Shahih Bukhori, Muslim, Ihya Ulumuddin, Riyadhus sholihin dan lain-lain secara runtut. Itupun tidak
sekali telan, satu bahasan saja bisa berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Hasilnya betul-betul matang, ilmu
dan jiwanya juga benar-benar mengendapkendatipun alim (pandai) tetapi betul-betul merendah dan jauh dari
kesan hanya pandai dalam berdebat, retorika (ceramah) atau berdalil saja. Ubudiahnya (ibadah) juga kuat luar biasa
dibanding generasi-generasi sekarang. Pembicaraan dan bahasan juga balance (seimbang). Itulah akhlak ulama
terdahulu. Tetapi sekarang kajian terakhir ustadz-ustadz terkini jauh dari akhlak ulama terdahulu. Coba cermati dengan
modal hafal satu hadist bid`ah saja seolah-olah seluruh isi Quran itu isinya yang dibahas tentang bid`ah semua?
hanya satu segelintir dalam hadist (tentang bid`ah?) diantara ratusan ribu hadist-hadits lain yang lebih pokok
tetapi yang di uplek-uplek dalam setiap pengajian kok temanya itu sehingga isi Quran dan Hadist yang utama malah
dikalahkan. Inilah yang saya maksud pendangkalan sepotong pemahaman. Itupun kalau sifatnya khilafiyah lebih
parah lagi (sudah tema masa lalu khilafiyah itu dan pasti ya itu itu saja yang dipermasalahkan) , karena ulama-ulama
besar yang hafal ribuan hadist dan lebih tahu tentang teks itu, juga lebih tahu dan hafal tentang Quran bisa memahami
apa artinya khilafiyah dalam agama. Tetapi kita angkatan baru, yang tahu saja sepotong-potong itu pun juga hanya
ngutip sana ngutip sini kalau tidak sama dengan pemahaman kita miliki kemudian ditebas saja dengan kenceng: kafir,
musyrik, bid`ah dan lain-lain. Pada hal (ini yang mungkin tidak banyak dari genenerasi pemula dalam belajar agama
tahu) ternyata hal-hal tu MASIH DIPERSELISIHKAN (KHILAFIYAH) DIANTARA ULAMA_ULAMA
MUKTABAR. Tidak mau tahu apa itu ARTINYA KHILAFIYAH dalam agama. Tidak mau tahu bagaimana
perbedaan diantara para alim dalam merumuskan hukum agama. Pokoknya langsung Quran dan hadits, titik! (
mungkin juga tidak mau tahu bagaimana hadist yang yang dipeganginya kuat-kuat itu berasal dan dirumuskan,
dikiranya itu langsung dari nabi tidak melalui rumusan keilmuan mereka-mereka. Padahal seandainya tahu bahwa
Imam Bukhori atau sanad yang membawa hadits itu ternyata bermadzab salah satu dari madzab empat dan
menafsirkannya begini .. begini sesuai madzabnya, mungkin saja hadits yang dipeganginya kuat-kuat itu tidak jadi
dipakai? --- dikiranya langsung dari Nabi kali ya?). Diatas semuanya, saya kira perlu kita mengaji agama kembali ke
model A Z diatas , dengan urut sehingga tidak sampai menggeser tema pokok Quran atau satu hadits bid`ah
tidak mengalahkan ratusan ribu hadits lain yang lebih pokok. Dengan kata lain proporsional dan
professional hehemungkin begitu istilahnya

Tampilkan lebih sedikit

Balas

Haryanto SMP 1 Paliyan Gunungkidul2 minggu yang lalu


6. Taklid = ikut-ikutan? Kita masih berpegang kesepakatan ulama terdahulu, bagi orang awam yang ilmu agamanya
minim wajib taklid terhadap ulama yang lebih tahu tentang agama tetapi bagi yang anti taklid silahkan saja
menggali sendiri Quran Hadits itu sesuai pendapat masing-masing. Kesannya memang lebih ilmiyah dan nyunnah
daripada yang hanya taklid. Bahkan terkesan juga lebih berilmu pemahaman agamanya bila dilihat dzahirnya
(penampilan luar). Taqlid itu mengikuti orang yang tahu tentang agama (ulama) tanpa harus mengetahui dalil-dalil.
Dalam hal ini, tak ada bedanya dengan ittiba, karena keduanya mempunyai arti yang sama. Dan tidak terbukti adanya
perbedaan secara bahasa antara keduanya. Sama seperti para shahabat mengikuti saja kepada Nabi SAW atau generasi
salaf terdahulu para awam menjadi muslim juga mengikuti saja ulama yang mengislamkannya. Menurut Imam Suyuthi
pengarang Tafsir al_Quran yang kitab-kitabnya banyak menjadi rujukan para ahli tafsir sesudahnya, " Bagi yang bukan
mujtahid wajib bertaqlid secara mutlaq, baik ia seorang awam maupun yang alim dasarnya firman Allah SWT:
Bertanyalah kamu pada orang yang alim (dalam bidangnya) jika kalian tidak tahu. Tentang orang muslim "awwam"
yang dikesankan bodoh dalam pengetahuan agama itupun sebetulnya juga memiliki "kelebihan". Contoh ini
pengalaman nyata dan saya kira juga tidak cuma satu atau dua contoh-contoh lainnya. Boleh percaya boleh tidak,
pinter agama (ceramah, teori, mendalil dll) belum tentu yakinnya terhadap Allah lebih hebat dari yang awam-awam,
yang kurang dalilnya itu. Ini sudah saya buktikan selama puluhan tahun sejak tahun 1980-an. Ketika mengaji kepada
ulama, santri-santri atau orang-orang yang datang kepada Pak Kiai (ulama) di pondok sering dimintai doa kemudian
memberi bacaan doa itu agar diamalkan --- hasilnya bisa berbeda-beda. Tetapi ini yang sering saya lihat, orang-orang
pinter, bahkan sarjana agama IAIN (sekarang UIN) tidak jarang kalah terhadap orang awam dalam hal berdoa atau
mujahadah (ubudiah?)-(bukan dalam hal mendalil lho?). Kalau sudah sampai praktek orang-orang awam pun
ternyata juga memiliki kelebihan, amaliahnya kuat-kuat (baca Quran, dzikir, shalat-shalat sunnat dll) kuat berjam-
jam, bahkan ;menjadi menu kesehariannya (istikomah). Mungkin karena tidak terlalu banyak berfikir ya ---sehingga
konsen atau focus. Tetapi orang-orang pinter yang banyak berfikir, pikirannya juga macam macam, dzikir-shalat-
baca Qur`an pikirannya malah kemana-mana banyak jurusan, akibatnya kalah focus ke Allah Swt. Ilmu dan otaknya
menjadi penghalang antara dirinya dengan Tuhannya. Sebaliknya mereka yang mampu menanggalkan pikiran atau
otaknya ketika menghadap Allah Swt maka yang terjadi adalah hudlur (hadir) nya hati dihadapan-Nya sehingga
kuat berjam-jam bermunajat dan doanya juga bebas dari keraguan (skeptisime) otak fikirannya. Contoh saya punya
teman hanya lulusan SD (kebetulan jadi imam masjid di kampung), suatu saat dimintai doa agar penyakit lever yang
diderita tetangganya sembuh, sebab dokter sudah angkat tangan dan memberi vonis hidupnya tidak lama lagi
berdasarkan analisa medis dari hasil rontgen. Ketika sowan Pak kiai, teman saya yang dimintai tolong tetangganya
tadi disuruh membaca Al-fatihah dan doa-doa yang beliau tulis dalam lembar kertas, agar dibaca selama tujuh hari
untuk melihat perkembangannya. Satu minggu kemudian teman saya tadi menyuruh tetangga yang minta tolong tadi
untuk di cek lagi ke dokter. Hasilnya betul-betul diluar dugaan, dokter tidak percaya baru satu minggu yang lalu
hatinya bolong-bolong sekarang hasil rontgennya organnya jadi sempurna, bagus sekali (betul-betul tidak masuk akal,
"mukjizat" kata dokter). Kenapa bisa terjadi? Sampai-sampai Sang Dokter ingin ketemu dengan Pak Kyai Ulama itu.
Ternyata hanya "teman lama" ketika Pak Kyai dulu pernah kuliah di Fakultas Kedokteran UGM (Pak Kyai ini
sebetulnya juga masih teman dengan Habib Luthfi yang pengajiannya juga banyak di unggah di youtube ini oleh
murid-muridnya (walau kwalitasnya amatiran tidak sebagus video ustadz A, B, C yang memang dipersiapkan untuk
publikasi) ketika masa kecilnya, bahkan ayah sang kyai pernah menjadi guru ngaji Habib Luthfi ketika kecilnya).
Karena dianggap telah menyelamatkan nyawanya (si tetangga tadi), teman saya yang lulusan SD dan imam masjid di
kampung tadi dianggap sebagai bapak angkat oleh si sakit. Ini satu fonemena, kejadian-kejadian lain; tidak sedikit
kalau diceritain. Kesimpulan saya dari banyak hal yang terjadi; Pertama, walaupun sering di cap "taklid" - orang awam
(apalagi yang belum banyak polusi masuk di otaknya) memang kesannya tradisional, kolot, kurang berpendidikan
tetapi hatinya masih bersih dari prasangka-prasangka. Biasanya akhlak atau hatinya juga jauh dari sifat tercela,
pikirannya tidak macam-macam dan lain-lain. Hal demikian kalau dilihat Allah Swt koneknya cepet nyambung
dan Allah Maha Melihat yang sebenarnya (tidak hanya penampilan lahir). Bukankah Allah yang dilihat hatinya?
Seperti riwayat Imam Muslim Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada tubuh kalian dan tidak pula kepada rupa
kalian, tetapi Dia melihat yang ada dalam dada (hati) kalian. Kedua, penyakit orang pinter itu biasanya skeptis
(peragu) harus dibuktikan dengan nalar dulu, dan ini memang yang dikehendaki aturan akademik dalam penarikan
kesimpulan kodifikasi ilmiah. Akibatnya keyakinannya pun tidak seyakin orang awam yang tanpa reserve. Kalau
Tuhan melihat suasana hati di hambanya yang demikian tentu sesuai prasangkanya, menurut kadar keyakinannya.
Seperti Hadits Qudsi, Aku sebagaimana prasangka hambaku kepada-Ku. Tidak semua memang, banyak juga orang
pandai yang memiliki keyakinan lebih walau perbandingan rata-rata memiliki kecenderungan ke arah yang pertama
tadi. Andaikata kita seyakin dimasa-masa awal muslimin, yang waktu itu akal atau rasio bukan sebagai standar ukuran
kepandaian seseorang mungkin mustajabnya tidak jauh dari mereka. Contoh, tidak mungkin kan orang bisa berjalan
di atas air atau udara, karena prasangka kita demikian ya sesuai prasangka yang diyakininnya, tidak mungkin.itu.
Lalu Allah Swt menurutinya..tidak mungkin.... sesuai keyakinan/ persangkaan hambanya. Sebaliknya tidak ada yang
tidak mungkin bagi Allah -- yang berprasangka bahwa hal itu kecil bagi Allah bila kita meyakininya. Sama seperti
sahabat Ala` bin Hadhrami ketika diminta Khalifah Abubakar ash-Shidik memimpin menumpas pemberontak di
Bahrain yang harus menyeberangi lautan, terpaksa karena tidak ada kapal - kemudian berdoa kepada Allah agar bisa
menyeberang dengan berjalan kaki di atas air dengan 8000 pasukan. Kata Ala` bin Hadhrami kepada pasukannya,
Seberangilah dengan menyebut asma Allah . Sulit dipercaya akal sehat manusia (mungkin doanya juga tidak
menggunakan akal ya?) pasukan muslimin berjalan diatas laut seperti halnya berjalan di darat dengan jumlah pasukan
berkuda 6.000 orang dan yang berjalan kaki 2.000 orang. Atau karena saking yakinnya atas kuasa Allah Swt (tidak
membatasi kekuasaan Allah Swt.) sahabat Umar bin Khatab berkirim surat kepada Sungai Nil agar airnya naik
sehingga penduduk Mesir tidak lagi membuat persembahan dengan mengorbankan gadis. Setelah surat dilempar (oleh
sahabat Amr bin Ash), keesokan harinya bertepatan hari raya Nasrani, air Sungai Nil telah mengalir dengan ketinggian
7 meter lebih. Sejak saat itu adat mempersembahkan seorang gadis hidup-hidup ke tengah Sungai Nil berhenti. Hal-
hal di luar akal sehat (meminjam istilah orang sekarang) pada diri sahabat tidak hanya dua contoh diatas, ternyata
cukup banyak sehingga sulit membedakan apa bedanya dengan mukjizat?. Para ulama menyebutnya sebagai
karomah dan hal itu lazim/biasa bagi para auliya` (wali Allah, semua sahabat Nabi adalah auliya`). Dan untuk orang
muslim biasa disebut ma`unah juga lazim terjadi walau dengan kadar yang lebih rendah. Bukankah sehabis Nabi
Saw wafat yang mampu mematahkahkan istijroj-nya para ahli sihir, dukun, dll adalah hal-hal seperti diatas? Mungkin
kita yang sudah dicekoki logika dan rasionalitas Barat (sekolah-sekolah umum memang dikenalkan oleh Belanda pada
zaman penjajahan) hal demikian bisa dianggap khurafat, berkirim surat kok kepada sungai, akal sehatnya ditaruh
dimana? Atau bisa saja kita menganggap berita atau haditsnya tidak terpercaya, tetapi saya lebih yakin kepada
perawinya yang sudah dikenal shahih dan tertera dalam kitab-kitab terpercaya dalam Tafsir Ibnu Katsir, Al-Qurthubi,
Tafsir Fakhrur Razi, Tarikh Al-Khulafa karya Asy-Syuyuti, Thabaqat Asy-Syafiiyah Al-Kubra karya As-Subkiy dan
kitab-kitab masyhur lainnya yang sudah tidak diragukan lagi - ketimbang pendapat segelintir pemuja akal yang
mengatakan dhoif hanya karena .. tidak masuk akal. Ada yang bilang, Hari gini masih percaya cerita begituan,
dasar TBC: Takhayul, Bid`ah, Churafat !!!

Tampilkan lebih sedikit

Balas

Haryanto SMP 1 Paliyan Gunungkidul2 minggu yang lalu


5. Tentang Tasawuf-2 Yang menjadi persoalan adalah di kalangan para pembaru pada abad-abad terakhir -- tasawuf
sering yang ditonjolkan daftar hitam atau penyimpangannya walaupun mungkin hanya dilakukan oleh "oknum".
Mungkin ini yang menarik kalau dijadikan isu atau pembicaraan, dan memiliki daya jual termasuk untuk
menyalahkan atau strategi menyerang agar terkesan "salah/sesat" semua. Jadi ketika mengupas tasawuf yang dikupas
bukan tasawufnya itu sendiri yang sebenarnya, tetapi sengaja dicari "kelemahannya". Sama ketika membahas tentang
"karomah" wali Allah, yang dibahas bukan wali Allah itu sendiri yang sebenarnya --- tetapi sengaja dibelokkan, yang
ditonjolkan kecuali ada wali Allah tetapi ada juga "wali Syetan" dengan ilmu sihirnya sehingga "kesan" -nya jadi lain,
bukan karomah para wali Allah tetapi "sihir". Sebetulnya dihampir cabang ilmu bisa saja terjadi penyimpangan, baik
itu dari tasawuf, fikih, akidah dan lain-lain seperti ditulis al-Ghazali dalam Kitab al-Munqidz minadz Dzalal
(terjemahan edisi bahasa Indonesia banyak dijumpai di toko-toko buku) yang mengulas penyimpangan-penyimpangan
banyak disiplin ilmu. Penyimpangan-penyimpangan itu tentu bukan dari induk ilmu tersebut, tetapi dari cabang
yang datangnya belakangan. Misalnya, kalau itu ilmu tasawuf ada yang berpendapat pengabaian syareat seperti dalam
cerita Syaikh Siti Jenar --- biasanya yang DITONJOLKAN SYAIKH SITI JENAR-nya daripada TASAWUF YANG
BENAR YANG DISAMPAIKAN WALISONGO (padahal harusnya kan lebih banyak yang walisongo, mosok 9
ulama kalah dengan 1 ulama?). Kesannya kan jadi negative semua kalau dipukul rata. Dalam kesan pencitraan, gara-
gara nila (tinta) setitik maka rusak susu sebelanga, maka bagi ustadz-ustadz yang memiliki misi tertentu biasanya
yang ditampilkan dari sisi negatifnya untuk menyerang golongan lain atau pembenaran fahamnya. Solusinya harus
kita kembalikan ke INDUK ILMU yang bersangkutan. Misalnya kalau itu tasawuf maka kita kembalikan ke isi Kitab
ar-Risalah al-Qusyairiyyah [edisi Indonesia diterbitkan Risalah Gusti dengan judul Risalatul Qusyairiyah] yang
dianggap sebagai "kitab induknya tasawuf". Atau Kitab Ihya` Ulumudin Imam Ghazali dll kok tidak pakai yang ini
saja dan sudah terkenal muktabar dan menyebar dipakai di belahan dunia dari pada mencari-cari daftar hitam lain
(cerita lokal) yang tidak ada di induk aslinya. Dan kalau itu ilmu fikh misalnya juga sesuai tidak di kitab "induk" ilmu
fikh tersebut seperti al-Umm, ar-Risalah, al-Musnad dll. Induk dari kitab-kitab yang muktabar dan diakui para ulama
selama berabad-abad sudah barang tentu juga merupakan penjelasan dari induknya semua kitab tersebut yaitu al-
Qur`anul Karim.
Tampilkan lebih sedikit

Balas

Haryanto SMP 1 Paliyan Gunungkidul2 minggu yang lalu


4. Tentang Tasawuf: Satu hal yang TIDAK TERBANTAHKAN adalah penyebaran Islam dari berbagai belahan
benua, seperti ditulis banyak ahli sejarah baik sejarawan Barat maupun Timur, dilakukan melalui saluran
"TASAWUF. Pada umumnya mereka disebut WALI (wali Allah, auliya`). Di Jawa misalnya karena berjumlah
sembilan disebut wali sanga (sanga = sembilan). Hal demikian tidak saja hanya terjadi di negara-negara Asia,
bahkan proses islamisasi di Afrika lebih khusus lagi melalui jalur tarekat dalam tasawuf, para penyebarnya juga
dikenal sebagai wali. Yang menarik para wali itu juga pakar fikh dalam syareat agama, tetapi secara de facto lebih
dikenal sebagai ahli tasawuf dalam menyebarkan agama. Dengan kata lain, proses islamisasi, diterimanya penyebaran
agama Islam itu bukan karena kapasitasnya sebagai fuqoha (ahli fikh) tetapi lebih disebabkan karena sebagai ahli
tasawuf (sufi). Ini fakta sejarah yang sudah berlangsung selama berabad-abad. Dikatakan, kalau tidak karena jasa
mereka di beberapa kawasan benua Asia dan Afrika yang sekarang menjadi muslim tentu sudah menjadi daerah
beragama Masehi karena tujuan kolonialisme kecuali penguasaan wilayah (glory), dan penguasaan kekayaan sumber
daya alam (gold), tetapi juga misi menyebarkan agama (gospel). Faktanya bisa dilihat dari agama yang sekarang dianut
daerah-daerah bekas jajahan yang tidak disinggahi para wali pada umumnya adalah daerah nonmuslim. Persoalannya,
ini yang menarik untuk dikaji, pada abad-abad belakangan tasawuf mulai diperselisihkan masuk dalam kategori sunah
atau bid`ah (heresies). Yang unik dalam peradaban Islam justru sebelumnya istilah tasawuf itu sendiri muncul pada
masa-masa salaf (tabi`in) bersamaan dengan awal berkembangnya istilah fikh. Bahkan dikatakan fikh dianggap ilmu
aturan dzohir (jasmaninya agama) yang mengatur hukum formal, sedang tasawuf adalah ruhnya yang terkait hukum-
hukum nonlahir seperti ikhlas, riya`, sabar, tawakal, dan lain-lain termasuk dzauk (penghayatan rasa keagamaan)
dalam pendekatan diri kepada Allah SWT. Ucapan yang sangat terkenal dari Imam Malik (Anas ibn Malik, imam fikh
Madzab Maliki), Orang yang bertasawuf tanpa fikh rusak imannya (zindiq), sedangkan orang yang berfikh tanpa
tasawuf rusak dirinya (fasik). Hanya orang yang menghimpun keduanya yang akan menemukan kebenaran.
Demikian juga Imam Syafii (Muhammad ibn Idris, imam fikh Madzab Syafii) dalam diwannya memberi nasehat,
Jadilah orang fikh yang bertasawuf jangan jadi salah satunya. Jika kamu menjadi ahli fikh saja, maka hatimu akan
keras (hanya pandai ceramah saja). Dan jika kamu menjadi yang kedua saja, maka sungguh bodoh (dungu). Demi
Alloh, aku benar- benar ingin menasehatimu. Teks diatas mirip perkataan Imam Malik, perbedaanya pada penekanan
atau tambahan Imam Syafii di akhir kalimat, Demi Alloh, aku benar-benar ingin menasehatimu. Di negeri Mesir
orang yang paling dihormati Imam Syafii justru seorang ahli tasawuf (sufi) wanita dari kalangan asyrof (keturunan
Rosululloh SAW) bernama Sayyidah Nafisah, bahkan dianggapnya sebagai guru dan banyak mendengarkan hadits
darinya. Wanita ini kecuali banyak dikunjungi ulama-ulama pada zamannya juga dikenal memiliki banyak karomah
dan mustajab doanya. Disaat-saat terakhir dari penyakit yang dideritannya, Imam Syafii mengutus muridnya
menghadap Sayyidah Nafisah untuk didoakan kesembuhan penyakitnya. Sayyidah Nafisah hanya mengatakan,
Matta`ahu Alloh bi al Nazhr lla Wajhih al-Karim. (Semoga Allah memberinya kegembiraan ketika berjumpa
dengan-Nya). Ketika disampaikan, Imam Syafii paham maksudnya, kemudian berwasiat kepada Al-Buwaithi jika
kelak dirinya wafat agar Sayyidah Nafisah berkenan mensholati diatas jenasahnya. Beberapa saat kemudian ketika
Imam Syafii wafat diiringi ribuan takziah dari kota Fushthat tempat Imam Syafii tinggal menuju rumah Sayyidah
Nafisah di Darbi as-Siba untuk disholatkan sesuai wasiat yang disampaikan kepada Al-Buwaithi. Demikianlah betapa
tingginya penghormatan imam fikh ini kepada seorang sufi (ahli tasawuf) wanita cicit Rosulullah itu. Abu Hanifah
(Imam Hanafi, pendiri fikh Madzab Hanafi) berkisah tentang dirinya, Kalau bukan karena dua tahun (belajar tasawuf
kepada Imam Ja`far Shadiq) maka celakalah aku! Imam Ja`far Shadiq sendiri orang yang paling disegani dari
kalangan ulama, auliya`, bahkan sultan di zamannya (Khalifah al-Manshur) dan masih terhitung generasi kelima
keturunan Rosul SAW. Beliau adalah maha guru tasawuf, semua cabang tarekat sufi sanad silsilahnya akan
bersambung ke beliau sampai Rosulullah SAW melalui jalur sahabat Abubakar dan Ali ibn Abi Thalib. Bahkan juga
maha guru ilmu fikh karena sanad keilmuan semua madzab fikh dimasa sesudahnya bersambung sampai Imam Ja`far
Shadiq. Kata Imam Hanafi, Aku tidak pernah melihat seorang ahli fiqih yang paling alim selain Ja'far bin Muhammad
(Ja`far Shadiq). Anas ibn Malik (Imam Malik) juga belajar langsung kepada Imam Ja`far. Ahmad ibn Hanbal (Imam
Hanbali, pendiri fikh Madzab Hanbali) pernah mengejar-ngejar ahli tasawuf (sufi) yang terkenal dengan julukan Si
Kaki Telanjang bernama Bisyr ibn Harits hanya untuk minta doanya. Kata Imam Hanbali, Bisyr ibn Harits adalah
wali keempat dari golongan abdal. Di lain waktu Imam Hanbali juga mendapat laporan tentang aktivitas sekelompok
tasawuf, Sesungguhnya mereka (para shufi) itu mendengarkan musik, berdiri dan menari-nari sampai larut dalam
dzikirnya. Jawab Imam Hanbali, Apakah kamu hendak mencegah mereka untuk bersenang-senang selama sejam
bersama Allah? Akan halnya ibn Taimiyah yang ditunjukkan pada umumnya sisi-sisi negatifnya sementara pujian-
pujiannya terhadap tasawuf disembunyikan. Bahkan kata Nurcholis Madjid yang mengambil penelitian dari gelar
doctornya (disertasi) tentang ibn Taimiyah, beliau sebagai seorang ulama yang mengambil Tarekat Qodiriyyah. Ibn
Taimiyah sendiri dalam bukunya Majmu` al-Fatawa juga mengatakan, Aku telah mengenakan jubah sufi (tasawuf)
dari berbagai syaikh, diantaranya yang teragung adalah Syaikh Abdul Qodir al-Jailani (pendiri tarekat Qodiriyah).
Mungkin orang juga banyak yang tidak tahu kalau Imam Ibn Katsir pengarang tafsir Ibn Katsir ternyata juga
mengambil tarekat tasawuf. Kata Imam Sholahudin ash-Shufadi, Imam Ibn Katsir memakai baju tasawuf dan
mengambil Thoriqoh Sadziliyah. Kecuali sebagai murid Imam ibn Katsir, Imam Sholahudin ash-Shufadi juga belajar
kepada Imam Ibn Taimiyah. Muhammad Al-Fatih, sultan Turki Usmani pemimpin yang diramalkan Rosulullah SAW
sebagai penakhluk Konstantinopel (1453) bahkan semenjak kecil dibesarkan ulama tasawuf dalam disiplin Tarekat
Naqsyabandiyyah dibawah asuhan Syaikh Syamsuddin yang dikenal waliyullah dari Syam dan masih keturunan
sahabat Abubakar Ash-Shidiq. Dalam sejarah, jaya- jayanya tasawuf terutama tarekat dengan disiplin syareat yang
ketat disertai kebiasaan shalat sunat yang merata dari raja, bangsawan, tentara sampai lapisan bawah akar rumput
menasional pada masa pemerintahannya. Kata Nabi Saw. "Konstantinopel akan jatuh ditangan seorang pemimpim
yang sebaik- baik pemimpin, tentaranya sebaik-baik tentara dan rakyatnya sebaik-baik rakyat." Sebetulnya ini menarik
untuk dijadikan bahan kajian atau penelitian (terutama skripsi, tesis atau disertasi bagi para sarjana agama yang ingin
jadi doktor --- soalnya dari raja, ulama, bangsawan, tentara, rakyat pada masa itu tidak bisa dilepaskan dari disiplin
tarekat tasawuf. Dikalangan tentara yang terkenal dengan Tarekat Bektasiyah, walaupun sang raja sendiri
Naksyabandiyah -- sementara rakyat juga merata dibanyak tarekat seperti Qodiriyah, Naksyabandiyah dll. Bagaimana
dikatakan sesat kalau Nabi saw mengatakan, "Rajanya sebaik-baik pemimpin, tentara nya sebaik tentara rakyatnya
sebaik-baik rakyat" adalah mereka bertarekat tasawuf??? Adapun kritikan-kritikan seperti Imam Syafii, Ahmad ibn
Hanbal, ibn Taimiyah dan lain-lain kepada tasawuf lebih kepada kelompok-kelompok orang (oknum) yang
menyimpang dari jalur hakekat tasawuf, sama seperti Imam Ghozali yang walaupun juga seorang sufi tetapi tetapi
memberikan kritikan tajam kepada sebagian pelaku-pelaku tasawuf, fikh, ilmu kalam dan lain-lainnya seperti dalam
kitabnya Al Munqidz min Adh Dholal (Penyelamat dari Kesesatan). Perbedaannya dengan guru-guru atau ustadz yang
datang belakangan kemudian dipukul rata dari sisi negatif dan dikutip secara berantai oleh yang awam pemahaman
agamanya. Dari pihak `alim masa kinipun tidak sedikit yang tidak jujur menyembunyikan kebenaran itu dengan
menghilangkan bagian-bagian tertentu dari kitab-kitab yang dikutip atau diterjemahkannya, atau juga memelintir
makna kata-kata dalam terjemahan mereka layaknya ahlulkitab pada zaman Nabi Musa atau Isa As agar sesuai dengan
alur pemikiran golongan mereka seperti pendeta-pendeta Bani Israil.

Tampilkan lebih sedikit

Balas

Haryanto SMP 1 Paliyan Gunungkidul2 minggu yang lalu


3. DIBLOKIR KOMENTAR 2 (diblokir dibanyak akun video tentang tahlilan-3 ......) Tahlilan alias membaca bacaan
dzikir dengan kalimah tahlil, tasbih, tahmid, takbir, istighfar, shalawat, surah dan ayat tertentu dari al-Quran dll....)
sebetulnya dikalangan para ulama juga sangat tahu mana bid`ah, wajib, sunah, haram dsb. Dibacanya tidak lebih
karena sisi spiritual yang, apabila seseorang membacanya dengan kontinyu sebagaimana halnya shalat tahajud atau
lainnya tentu akan tahu fadhilah (keutamaan)-nya. Susah dipahami memang kalau sudah menyentuh wilayah
transenden vertikal, logika bisa dijungkirbalikkan. Bahkan professor doktor jurusan agama yang mengandalkan
logika tetapi ketika rasionalitasnya sudah mentok, tambah ilmu agamanya tetapi tidak menemukan kekhusuan yang
sebenar-benarnya`, tidak menambah kedekatan dengan maha Kuasa, padahal ilmu agamanya tambah terus ---
akhirnya jatuh tersungkur dihadapan kiyai atau ulama yang bersih hatinya yang katakanlah mungkin tidak intelek
(tradisionalis?). Saya ambil contoh, Prof. Dr. Harun Nasution (yang kalau orang kuliahan dulu bukunya jadi rujukan)
dan Prof. Dr. Hamka yang terkenal itu -- bukankah mereka berdua di akhir usianya menemukan sisi spiritual yang
mencerahkan baginya setelah berkunjung dan berdiskusi dengan Abah Anom (Syaikh Ahmad Shohibul Wafa Tajul
Arifin, Suryalaya Jawa Barat) dan membaca bacaan-bacaan dzikir darinya sebagai amalan sehari-hari. Sufiolog
Luqman Hakim yang menyelesaikan studinya di Spesial Program Philosopy UGM, dan menempuh program Doktor
di University of Malaya Kuala Lumpur merasa ilmu-ilmu agama yang dipelajarinya secara akademik ternyata merasa
hanya kulit belaka sedangkan sisi spiritualnya tercerahkan setelah bertemu dengan KH. Abdul Jalil Mustaqim
Tulungagung seorang ulama tua yang cukup disegani di Jawa Timur. Dengan kata lain agama itu betul-betul wilayah
hati disisi lain yang tidak akan mungkin bisa diraih hanya dengan membaca atau disamakan dengan ilmu-ilmu
umum. Agama itu memiliki ruh dan harus diperoleh atau dicerahkan dari orang yang memiliki ruh juga (ruh mulia,
semisal nabi atau ulama yang bersih hatinya) dan bukan dari barang mati (buku, google, elektronik) sebagai gurunya.
Inilah yang membedakan dengan ilmu umum. Bahkan sesungguhnya perdebatan-perdebatan dalam agama seperti
ramai di internet sekarang dalam pandangan spiritual (hati?) bisa dikatakan 90 persen tidak akan menambah dekat
di sisi-Nya tetapi hanya akan menambah jauh dengan-Nya walaupun secara pengetahuan agama (ilmu?) semakin
bertambah. Inilah fadhilah (keutamaan ) dzikir-dzikir seperti bacaan-bacaan mulia yang terkandung dalam tahlilan,
Surah Yasin atau surah-surah dalam al-Quran lainnya bisa melihat(hatinya) dan membedakan bagi orang yang
ahli atau mengamalkan, bukan semata pandainya berdalil agama. Kalau kemudian dalam suatu majelis (kumpulan
orang banyak) karena ada warga masyarakat memiliki hajat seperti walimahan, pernikahan, sunatan, syukuran dan
hajatan-hajatan lain kemudian bacaan-bacaan mulia kalimat dzikir dalam tahlilan, Yasinan, atau surah-surah dalam
al-Quran lainnya diunduh warga masyarakat tentu saja tidak bisa dikatakan melanggar syareat agama karena
diadakan warga pada mulanya untuk mengharap doanya orang banyak. Dan tentu saja kalau kita merasakan
bermasyarakat terutama pedesaan-pedesaan (bukan perkotaan) sosio kulturalnya bagaimana kan?. Perkotaan lebih
rasional (bahkan cenderung dianggap buang-buang waktu), mencari praktisnya, dan mungkin tidak peduli. Yang
penting sesunggunya menyikapi perbedaan-perbedaan itu kita bisa belajar dari para wali songo atau ulama-ulama
sesudahnya (tradisional?), yang tidak hanya mengandalkan keberanian atau semangat tetapi juga sikap bijak dalam
menyebarkan agama. Mereka bukan orang-orang bodoh, tetapi juga tahu mana yang diwajibkan dalam syareat agama,
apa itu sunah, bid`ah, musyrik dan yang semisalnya. Contoh, ada seorang ulama atau kiyai yang cukup berpengaruh
di lingkungan para ulama di Yogya selatan "sering dimintai memimpin tahlilan" di masyarakat -- ketika ibunda Pak
Kiyai meninggal ditanya muridnya, kenapa tidak ditahlili (ketika pas tujuh harinya). Jawab kiyai tersebut, ibu setiap
hari sudah baca tahlilan. Maksudnya ketika hidupnya bacaan-bacaan wirid tahlil, yang dikenal dengan dzikir pagi dan
petang itu menjadi amalan sehari-hari ibu sang kiyai tersebut, disamping juga tidak pernah melewatkan membaca al-
Qur`an kecuali saat udzur. Dari jawaban diatas kita bisa menarik kesimpulan bahwa tahlilan itu asal mulanya dari
tidak lebih dzikir-dzikir umum yang merupakan bacaan mulia diambil dari sunah qouliyah Nabi Saw yang,
walaupun secara fi`liyah (perbuatan) tidak dicontohkan Nabi Saw. Misalnya, membaca shalawat, tasbih, istighfar,
membaca surat atau ayat ini itu dan lain-lain tidak ada kan haditsnya secara fi`liyah yang nabi lakukan? Tetapi secara
qouliyah (perkataan nabi) memang Nabi Saw menganjurkan (kalau tidak hendak dikatakan memerintahkan) membaca
dzikir-dzikir tersebut. Sama dengan membaca al-Quran. Tidak ada haditsnya kalau Nabi tadarus membaca al-Quran
setiap hari. Tidak ada haditsnya nabi Saw melakukan khataman 30 juz sebagai amalan ibadah. Dengan kata lain, nabi
Saw tidak mencontohkan (secara perbuatan, fi`liyah). Tetapi secara qouliyah (anjuran, perkataan) Nabi Saw tentu
bersesuaian. Itulah bacaan tahlilan seperti itu. Karena secara qoul (perkataan) Nabi Saw disabdakan bahwa membaca
ayat ke-255 dari Surat al-Baqarah (ayat Kursi) itu mengandung fadhilah (keutamaan) demikian-demikian, membaca
ini-itu mengandung fadhilah yang pahalanya demikian, atau membaca dzikir , Subhanallahil `adziim subhanallahi
wa bihamdihii --itu ringan diucapkan di lisan tetapi berat di timbangan amal dll. MASALAH-MASALAH DALAM
TAHLILAN Cara pandang menyikapi tahlilan dari yang ekstrim sampai moderat, dari yang kontra dan yang setuju
antara lain: Masalah pertama, betul itu sesuai yang nabi sabdakan dalam hadits, tetapi secara tradisi (dalam perbuatan)
apa Nabi saw membaca ini itu sehabis shalat atau sehabis apa misalnya kan berarti ada contohnya yang pernah
dilakukan, sehingga sudah barang tentu bukan bid`ah karena nabi mencontohkan. Tetapi kegiatan dzikir-dzikir
(tahlilan) itu kan secara tradisi tidak dicontohkan sehingga kalau di pukul rata secara dangkal sesuatu yang tidak
dicontohkan Nabi saw adalah bid`ah. Semua bid`ah itusesat! Demikianlah bisa dibuat tafsir lain secara tekstual
leterlej dari sisi yang lain. Masalah kedua, bacaan-bacaan demikian karena dianggap bacaan mulia dan mengandung
fadhilah (keutamaan) maka kemudian masyarakat menjadikan tradisimisalnya acara hajatan apa saja
sebelumnya di dahului tahlilan. Mau walimahan acara pernikahan, sunatan, acara hajatan ini itu malam harinya
didahului dengan kumpulan dzikir-dzikir (tahlilan) itu. Termasuk orang meninggal. Yang agak jadi polemik, justru
yang terakhir inilah yang terkenal sehingga terkesan kalau tahlilan itu hubungannya dengan orang meninggal.
Masalah keempat, tidak jarang warga masyarakat awam mendasarkan niat semata. Misalnya, yang penting niat saya
baik, tahlilan ini saya tujukan untuk minta doa agar (sesuai hajat) dalam hajatan apa misalnya agar berjalan lancar dan
juga mendapat pahala tentunya dari membaca dzikir-dikir itu. Bukankah kata Pak Kiyai, katanya syahnya amal itu
tergantung niat dan hatinya, seperti riwayat Imam Muslim Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada tubuh kalian
dan tidak pula kepada rupa kalian, tetapi Dia melihat yang ada dalam dada (hati) kalian. Tentu juga harus dibarengi
dengan ilmu, misalnya dasar-dasar yang dibaca tersebut karena Nabi saw menganjurkan membaca bacaan-bacaan
yang ada dalam dzikir tahlilan itu. Masalah kelima, ketika ada warga masyarakat yang menanyakan apakah tahlilan
itu tidak menyalahi sunnah dan termasuk bid`ah? Maka jawab Pak Modin (pemuka agama di masyarakat), Sunnah
itu ada dua: fi`liyyah, perbuatan yang dicontohkan Nabi saw dan qouliyyah, perkataan Nabi saw. Tahlilan itu isinya
bacaan-bacaan dzikir yang diambil dari hadits-hadits tentang keutamaan (fadhilah) bacaan-bacaan tertentu yang bisa
di cari di kitab-kitab hadits seperti Bukhari, Muslim, Nasai dll bab Dzikir. Jadi termasuk Sunnah qouliyyah, anjuran-
anjuran Nabi saw agar dibaca. Jangan-jangan kamu malah belum pernah membaca bacaan-bacaan anjuran itu ya?
Paling tidak kalau ikut tahlilan kan masyarakat atau orang banyak jadi ikut membaca dzikir tahlil, tasbih, tahmid,
takbir, istighfar, shalawat, surat-surat ini itu dll. (Sebetulnya saya ingin menambahi jawaban Pak Modin, bahwa
Sunnah Nabi itu tidak hanya dua, tapi tiga yaitu ditambah taqriyyah, persetujuan Nabi saw). Masalah keenam, tentang
bid`ah, Pak Modin melanjutkan jawabannya lagi. Bid`ah itu pengertiannya tidak sesederhana yang kamu baca. Kalau
sahabat Umar tidak mengatakan, inilah sebaik-baik sunnah -- tetapi justru dikatakan inilah sebaik-baik bid`ah dan
diikuti semua sahabat nabi lain --- apa kamu kira pemahaman leterlej yang ada dalam benakmu itu lebih benar dari
para sahabat yang kesehariannya bersama Nabi saw? Para generasi sesudahnya dari salaf bahkan memberikan contoh
bid`ah-bid`ah yang baik (bid`ah hasanah). Tetapi pemahaman terbaru, dari beberapa gelintir generasi baru abad-abad
terakhir ini yang jaraknya dari masa Nabi semakin jauh -- justru malah memahaminya dengan pukul rata, leterlejk
semata. Inilah akibatnya kalau sedikit-sedikit langsung (Qur`an-Hadits?) "tidak melalui ahlinya" hanya dengan modal
membaca terjemahan.

Tampilkan lebih sedikit

Balas

Haryanto SMP 1 Paliyan Gunungkidul2 minggu yang lalu


2. DIBLOKIR KOMENTAR 2 (diblokir dibanyak akun video yang tentang tahlilan -2) . Kata tahlilan itu cuma
istilahsaja, isinya kumpulan dzikir pagi dan petang sesuai hadits yang terkumpul dalam bab dzikir-dzikir (al-adzkar)
seperti dalam kitab haditsnya Imam Bukhori, Muslim, Imam Nawawi dan lain-lain. Didalamnya berisi kalimat tahlil,
tasbih, tahmid, istighfar, shalawat, surat-surat pendek atau ayat-ayat tertentu seperti ayat 1-5 Surat Al-Baqarah, 163,
255 (ayat kursi) dll. Nabi menganjurkan membacanya karena mengandung fadhilah (keutamaan). Bedanya dengan al-
Quran, dzikir-dzikir tersebut dianggap dosisnya lebih ringan dan persyaratannya juga lebih simple. Catatan-catatan
saya berkaitan dengan bacaan tahlilan ini antara lain; Pertama, kendatipun dijaman Nabi tidak ditradisikan (karena
jamannya berbeda, peperangan dll), tetapi yang jelas teks isinya bisa di cek di kitab-kitab hadits yang saya sebut diatas.
Kedua, menjadi amalan (bacaan) harian yang banyak dibaca sebagai dzikir rutin oleh ulama dan umat muslim
terdahulu (bacaan-bacaan sama, tetapi urutannya kadang berbeda seperti al-Matsuratnya Hasan Al-Bana, Ratib Hadad,
Alaidrus, atau Hizb-hizb ulama banyak yang dzikirnya serupa). Bahkan Ibn Taimiyah juga menyusun dalam bab
khusus tentang dzikir-dzikir yang ia baca sebagai dzikir harian, teks bacaanya banyak yang sama dengan dzikir dalam
tahlilan. Ketiga, saya kira perlu dibuktikan melalui penelitian bagaimana proses islamisasi masyarakat tradisional
(masa lalu) yang kental dengan budaya mistis , sihir, perdukunan dan sejenisnya? Ternyata dengan model ijazah
(pemberian doa atau dzikir-dzikir dari ulama atau kiyahi untuk diamalkan atau dibaca). Terbukti model demikian
sangat ampuh mengalahkan mantra-mantara sakti abangan atau local sehingga mereka mengakui dan akhirnya
perlahan-lahan berduyun-duyun mengucapkan kalimat tauhid, masuk Islam dan banyak yang mengaji kepada ulama
tersebut. Dengan kata lain, tahlilan itu isinya kalimat-kalimat Allah yang penuh mukjizat yang mampu mematahkan
kesaktian atau sihir budaya masyarakat local pada umumnya. Inilah islamisasi masyarakat jaman dulu (tradisional?)
yang membutuhkan bukti fisik, ketua adat orang paling disegani dan didengarkan masyarakat kalau kenyataannya
kalah dengan ilmu ulama pendatang, maka kepercayaannya akan beralih ke ulama itu (bukankah yang dinamakan
ilmu pada jaman dahulu, atau di masyarakat pedalaman, pelosok itu lebih kepada kelebihan mistik?). Pada masa
demikian ilmu-ilmu Barat (rasionalitas) belum masuk. Jadi dakwah agama tidak mempan kalau cuma ceramah
model dakwah ustadz sekarang kendatipun dengan dalil yang dakik-dakik dan fasih Bahasa Arabnya serta pandai
sekali argumentasinya. Tidak nyambung dengan cara berfikir keadaan masyarakat waktu itu. Keempat, belajar kepada
para wali--- ulama terdahulu juga harus bijaksana (tidak emosional, tidak disertai dengan hawa nafsu
untuk mengalahkan)--kalau langsung keras divonis musyrik, pasti akan lari (buthak banyune, ora keno iwake--
padahal harusnya , ojo buthak banyune, ben keno iwakke), maka budaya local tidak serta merta ditolak. Upacara-
upacara adat untuk keselamatan (menolak bencana) keluarga atau masyarakat dimanapun menyatu dengan
kepercayaan masyarakat (dan ini tradisi asli nusantara dimana-mana, kepercayaan animisme). Tetapi Sunan Kalijaga
mengatakan, di agama Rasul (Islam) juga ada upacara menolak bencana namanya sedekah (shodaqoh) dengan
membagi-bagikan makanan kepada tetangga sekitar maka bisa menolak bala`. Mantera-matera dalam upacara pun
oleh Sunan Kalijaga diganti dengan doa dzikir-dzikir tahlilan itu. Kelima, pada perkembangannya kreasi Sunan
Kalijaga membudaya sebagai tradisi masyarakat, yang kalau generasi berikutnya terputus tidak menemukan ulama
atau kiyahi maka dzikir-dzikir tahlilan itu hanya sekedar tradisi dan tidak memiliki nilai ibadah sebagai dzikir. Contoh
di pedusunan-pedusunan yang jauh dari ulama masih dijumpai walau kalimatnya banyak yang salah, tetapi saya kira
ketidaksempurnaan demikian masih ada sisi positifnya, masih mudah diluruskan (diajak ke agama Islam yang benar)
daripada kepercayaannya 100% masih animisme atau agama lain. Ini modal yang sangat besar, tinggal menindak
lanjuti. Dampak lain, kreasi itu juga ternyata segala macam upacara adat kemudian dihubungkan dengan tahlilan dari
upacara walimahan (temanten), sunatan, selamatan, syukuran, sampai orang meninggal dan lain-lain. Tetapi ada sisi
positipnya juga bila disertai ilmu dan niat yang benar, seperti hadist sebaik-baik majelis (berkumpulnya orang
banyak) adalah majelis dzikir. Ada benarnya juga, sebab dalam acara-acara demikian manusia umum rawan menjurus
ke pesta-pesta, pentas hiburan, main kartu, ngrumpi atau menjurus ke hal-hal yang dihukumi maksiyat, maka acara
membaca kumpulan dzikir-dzikir (tahlilan), pengajian, tadarus al-Quran, atau Yasinan dan yang sejenisnya tentu lebih
sesuai dengan syareat agama karena termasuk majelis dzikir seperti hadist diatas. Keenam, tampaknya yang agak
menjadi berselisih paham apabila bacaan-bacaan dzikir (tahlilan) itu di unduh masyarakat untuk upacara-upacara
hari kematian dari orang tua yang meninggal. Tentang hal ini kesimpulan saya ada dua sisi. Sisi pertama, memang
ada dalil kuat sampainya hadiah pahala orang hidup (seperti shodakoh, haji, dzikir, bacaan Quran dll) yang ditujukan
kepada keluarga yang sudah meninggal. Jumhur ulama (mayoritas ulama) dari berbagai madzab membenarkan dengan
dalil-dalil yang kuat dalam hal ini, termasuk Ibn Taimiyah ulama yang dikenal keras. Sisi kedua, yang susah justru
bilangan harinya dari hitungan orang meninggal mulai hari ke- 7, 40,100 atau 1000 hari. Ini pula tampaknya yang
pernah diperselisihkan antara Sunan Kalijaga dan Sunan . (Ampel?). Menurut Sunan Kalijaga yang penting isi
dan tujuannya tidak bertentangan dengan agama. Nanti orang-orang penyembah animisme-dinamisme itu akan
mengucapkan kalimat tauhid dan pelan-pelan berbodong-bondong masuk Islam asal jangan dibuat tersinggung apa
yang menjadi kebiasaannya. Hal lain terjadi kepada akulturasi budaya lokal, maraknya pengajian yang
diselenggarakan pada hari-hari tertentu dalam pengajian-pengajian seperti pengajian Jum`at Kliwon, Sabtu Paing dll.
Mengapa memakai nama-nama yang berunsur nonislami? Apakah kemudian menjadi tidak syah pengajiannya?
Ketujuh, membaca sejarah Islam (lulusan jurusan sejarah hehe) dari berbagai kawasan negara. Kesimpulannya
orang-orang jaman dahulu, budayanya masih mistis dan tradisional, mereka ber-Islam, ber-Tauhid dengan cara-
cara seperti diatas. Dengan kata lain, sepandai apapun (otaknya) dalam ceramah agama, secara teori merasa paling
benar atau hebat seperti ustadz-ustadz sekarang kalau tidak memiliki kemampuan seperti dalam point no.3 jangan
harap memiliki kapasitas ulama yang mampu mengislamkan orang banyak (tidak sama misalnya, orang pandai
ceramah/ngomong kemudian orang awam terkagum-kagum mendengarkan pidatonya yang fasih, dalil-dalil, dan
bahasa arabnya hebat ---atau orang awam akan terkekeh-kekeh karena lucu mendengar isi ceramahnya)tetapi ulama
terdahulu itu betul-betul karena kerendahan hatinya, karomah (kemuliaan) sehingga mereka hatinya terbuka, dan
bukan mengislamkan orang yang sudah islam karena dianggap melakukan perbuatansyirik atau bid`ah. Diatas
semuanya, sunnah nabi itu bisa fi`liyah (perbuatan yang dicontohkan Nabi), atau qouliyah (perkataan, sabda Nabi).
Tradisi-tradisi yang berkembang sesudahnya seperti pengajian-pengajian (apalagi melalui internet di Youtube),
bersama-sama tadarus membaca al-Quran, tahlilan, Yasinan, dan lain-lain tentu tidak masuk kategori pertama (yang
dicontohkan Nabi SAW) karena kondisi belum berkembang, tetapi yang jelas masuk kategori yang kedua sesuai yang
disabdakan nabi. Dengan kata lain (kesimpulannya), menurut kaidah ilmu, persoalannya bukan masalah apa yang
pernah nabi contohkan (perbuat), tetapi sesuai tidak dengan yang nabi sabdakan(sesuai tidak dengan anjuran,
perintah, perkataan nabi?

Tampilkan lebih sedikit

Balas

Haryanto SMP 1 Paliyan Gunungkidul2 minggu yang lalu


Komentar di biblokir dibeberapa akun tertentu:(Tentang Tahlilan 1). Dilihat dari kronologi sejarah tahlilan, sebetulnya
awalnya "dzikir-dzikir umum" yang pada zaman dahulu sudah lazim jadi wiridan (bacaan kalimah dzikir). Kemudian
dimanfaatkan Walisongo untuk "alat" atau "sarana" syiar menyebarkan agama Islam dengan mengganti "mantera-
mantera" selamatan (permohonan roh kepada nenek moyang atau dewa) diganti dengan "kalimat-kalimat tauhid"
(dzikir-dizkir). Pada perkembangannya semua upacara adat doanya sudah tidak lagi menggunakan mantera-mantera
atau memohohon arwah leluhur tetapi sudah bergeser dengan kalimat-kalimat tauhid yang ada dalam tahlilan itu mulai
dari upacara pernikahan, sunatan, syukuran, mendirikan rumah dll (di desa-desa sampai sekarang klo mau ada hajatan
nikah atau hajat apa saja malem harinya sebelum hari H minta doa orang banyak/masyarakat dengan baca tahlil itu).
Yang aneh kok sekarang opini yang menonjol (terbentuk?) ---- tahlilan menjadi "selalu dihubungkan" dengan orang
meninggal ya? Jangankan mantera-mantera diganti dengan kalimat tauhid tahlil -- tempat ibadah kita (masjid) --
bentuknya tidak seperti sekarang -- bentuk masjid kuno (zaman dulu di Nusantara semua masjidnya pasti bentuknya
atap tumpang menyesuaikan unsur lokal (bahkan ada masjid yang masih menggunakan bekas pura Hindu seperti di
Menara Kudus Jawa Tengah Masjid Sunan Kudus dan Masjid Sendang Duwur di Tuban) -- ini perpaduan dengan
budaya lokal atau Hindu untuk mengesankan bahwa Islam itu ramah, "toleran" dan universal gitu kali ya.. agar bisa
diterima masyarakat. Dengan KEARIFAN LOKAL tidak serta merta mengharamkan segala sesuatu yang berbeda,
bahkan kalau bisa digunakan sebagai sarana atau alat syiar. Contohnya sudah diuraikan diatas seperti yang
dilakukan Walisongo, upacara adat mantera-manteranya diganti dengan kalimat tauhid (dzikir-dzikir) seperti tahlilan
itu. Atau bahkan Sultan Agung bagaimana menarik rakyatnya agar beragama Islam dengan menciptakan Kalender
Jawa dari paduan Kalender Hijriyah (Islam) dengan Kalender Caka (Hindu). Sebaliknya kalau kita TIDAK
MENGGUNAKAN KEARIFAN LOKAL misalnya tiba-tiba dakwah di masyarakat pelosok desa-desa itu tradisi-
tradisinya kita babat atau dibumihanguskan dengan mengatakan syirik, bid`ah, masuk neraka -- dijamin 100% mereka
tersinggung dan menentang. Kalau sudah begini ADA DUA KERUGIAN, pertama harusnya bisa diajak ke agama
tauhid tetapi malah menjadi antipati (membenci) agama kita (wis ora keno iwake, buthak banyune). Kedua, citra
agama kita juga menjadi jelek karena ulah kita, mereka ganti membalas merasa kepercayaan mereka disalahkan
karena kita terlanjur menyalahkan menjelekkan keyakinan mereka --- sehingga ganti dibalas keyakinan kita (Islam)
yang kena getahnya nama Islam jadi jelek dikesankan oleh masyarakat. Persinggunggan demikian sering terjadi di
masyarakat-masyarakat pedesaan (tradisional), tidak hanya di Jawa bahkan nyaris merata di pelosok-pelosok
nusantara masa lalu (bahkan mungkin sampai sekarang). Tahlilan dianggap memiliki nilai ibadah sebagai amalan atau
bacaan kalimah dzikir yang waktu dan tata caranya "tidak mengikat" (asal tidak kondisi hadats), tidak seperti shalat
sebagai dzikir yang bersifat mengikat (syarat, rukun, waktu, dan jumlah rakaatnya sudah ditentukan). Sebetulnya
kalau ditelusuri sumbernya atau sejarah "tahlilan" asalnya dari dzikir-dzikir umum yang dicari di kitab-kitab hadits
tentang (Bab) Dzikir banyak ditemukan bacaan dzikirnya. Ada yang membacanya setiap hari, ada yang setiap malam
Jum`at (dengan pertimbangan keutamaan dalil Hari Jum`at, biasanya juga berjama`ah). Nilai syiarnya justru
berjamaah itu kalau di desa-desa, biasanya karena kumpul-kumpul demikian. Lalu kalau di desa-desa itu kan masih
sarat dengan upacara-upacara adat ya dari pernikahan, sunatan, kekahan (aqiqoh) dll tuan rumah memanfaatkan
(mengunduh) majlis dzikir tahlilan sebagai minta doanya orang banyak (masyarakat). Kesan paling parah (salah
kaprah?) adalah bila di unduh (dimanfaatkan) keluarga yang baru meninggal atau dihubungkan dengan orang
meninggal sehingga kesannya tahlilan itu untuk orang meninggal. Yaitu digunakan untuk mendoakan dengan
mengirim sedekah (shadaqah) pahala bacaan-bacaan istighfar (mohon pengampunan), tasbih, tahlil, dll dikirimkan
sebagai hadiah pahalanya untuk yang sudah meninggal. Tentang "DALIL- DALIL" hadiah sedekah pahala (kirim
pahala) kepada orang tua yang sudah meninggal dalam bacaan kalimah dzikir tahlilan biasanya digunakan : Kisah-1;
Seorang lelaki datang kepada Nabi saw. dan berkata: Ibuku telah mati mendadak, dan tidak berwasiat dan saya kira
sekiranya ia sempat bicara, pasti akan bersedekah, apakah ada pahala baginya jika Aku bersedekah untuknya? Jawab
Nabi saw: Ya. (HR.Bukhori, Muslim dan Nasai) Kisah-2; Bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulallah
saw.: Ayah saya meninggal dunia, dan ada meninggalkan harta serta tidak memberi wasiat. Apakah dapat menghapus
dosanya bila saya sedekahkan? Nabi saw. menjawab : Dapat! (HR Ahmad, Muslim dan lain-lain). Kisah-3; Ibu
Saad bin Ubadah meninggal dunia disaat dia (Saad bin Ubadah) sedang tidak ada ditempat. Maka berkatalah ia :
Wahai Rasulallah! Sesungguhnya ibuku telah wafat disaat aku sedang tidak ada disisinya, apakah ada sesuatu yang
bermanfaat untuknya jika aku sedekahkan? Nabi menjawab; Ya ! Berkata Saad bin Ubadah : Saya persaksikan
kepadamu (wahai Rasulallah) bahwa kebun kurma saya yang sedang berbuah itu sebagai sedekah untuknya. (HR
Bukhori, Turmudzi dan Nasai) Kisah-4; Bahwa Nabi saw.pernah mendengar seorang laki-laki berkata: Labbaik an
Syubrumah (Ya Allah, saya perkenankan perintahMu untuk si Syubrumah). Nabi bertanya: Siapa Syubrumah itu? Dia
menjawab : Saudara saya atau teman dekat saya. Nabi bertanya: Apakah engkau sudah berhaji untuk dirimu? Dia
menjawab: belum! Nabi bersabda: Berhajilah untuk dirimu kemudian berhajilah (pahalanya) untuk Syubrumah ! .
(HR.Abu Daud). Kisah-5; Kisah dua anak yatim dari orangtua yang sholeh, sebagaimana termaktub surat Al-Kahfi:82.
Itu pun sepenuhnya merupakan manfaat yang diperoleh dari orang lain, bukan dari amal kebajikan dua anak yatim itu
sendiri. Kisah-6; Rasulallah saw menangguhkan sholat mayyit bagi orang yang wafat dalam keadaan berhutang hingga
hutangnya dilunasi oleh orang lain, seperti yang dilakukan oleh Qatadah ra dan Imam Ali bin Abi Thalib ra. Itupun
merupakan kenyataan bahwa manfaat dapat di peroleh dari amal kebajikan orang lain. Kisah-7; Anak-anak orang
mukmin (yang wafat dalam keimanan) akan masuk surga dengan amal bapak mereka (yang mukmin) dan ini juga
berarti mengambil manfaat semata-mata amal orang lain. (QS at-Thur : 21). Kisah-8; Orang yang duduk dengan ahli
dzikir akan diberi rahmat (ampunan) dengan berkah ahli dzikir itu sedangkan dia bukanlah diantara mereka dan
duduknya itupun bukan untuk dzikir melainkan untuk keperluan tertentu, maka nyatalah bahwa orang itu telah
mengambil manfaat dengan amalan orang lain. (HR Bukhori, Muslim dari Abu Hurairah). Kisah-9; Shalat untuk
mayyit (baca: sholat jenazah) dan berdoa untuk si mayyit didalam shalat ini, adalah pemberian syafa'at untuk mayyit
dengan shalatnya itu, ini juga pengambilan manfaat dengan amalan orang lain yang masih hidup. Kisah-10; Para
periwayat hadits seperti Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya, memasukkan hadits ini dengan judul Bab Wushul
Tsawab Ash Shadaqat Ilal Mayyit (Bab: Sampainya pahala Sedekah kepada Mayit). Imam An Nasai dalam kitab
Sunannya memasukkan hadits ini dengan judul Bab Fadhlu Ash Shadaqat anil Mayyit (Bab: Keutamaan Bersedekah
Untuk Mayyit). Imam Al Bukhari dalam kitab Shahih-nya dengan judul Bab Maa Yustahabu Liman Tuwufiya
Fujaatan An Yatashaddaquu Anhu wa Qadhai An Nudzur anil Mayyit (Bab: Apa saja yang dianjurkan bagi yang
wafat tiba-tiba, bersedekah untuknya, dan memenuhi nazar si mayyit). Kisah-11; disebutkan Nabi SAW pernah
melewati kuburan, lalu beliau bersabda: Sesungguhnya dua mayat ini sedang disiksa, namun bukan karena dosa
besar. Yang satu disiksa karena tidak membersihkan dirinya dari air kencingnya, sedang yang lainnya ia dahulu suka
mengadu domba. Kemudian beliau meminta pelepah kurma yang masih basah dan dibelahnya menjadi dua. Setelah
itu beliau menancapkan salah satunya pada sebuah kuburan dan yang satunya lagi pada kuburan yang lain seraya
bersabda: Semoga pelepah itu dapat meringankan siksanya, selama belum kering(HR. Bukhari , Muslim). Bukankah
di al-Quran juga disebutkan bahwa tumbuh-tumbuhan itu selalu bertasbih kepada Allah hanya manusia tidak
mendengarnya? Pengarang Tafsir al-Qur`an Al-Qurthubi mengatakan : Ulama kita menjelaskan, kalau tasbihnya
kayu saja (pelepah kurma) dapat meringankan azab kubur (bermanfaat kepada mayat), maka apalagi bacaan al-quran
yang dilakukan oleh seorang mukmin?. Kisah-12; Sesungguhnya setiap tasbih adalah sadaqah, setiap takbir
sadaqah, setiap tahmid sadaqah dan setiap tahlil adalah sadaqah. (H.R. Muslim). Bukankah dalam tahlilan itu isinya
mencakup semuanya: ya shadaqoh harta yang dikeluarkan, ya shadaqoh bacaan Quran, ya shadaqah bacaan tasbih,
takbir, tahmid, tahlil dll???

Tampilkan lebih sedikit

Balas

Purnomo Ari3 minggu yang lalu


Sekedar ngikut nimbrung, menambahi komen tahlilan kirim sedekah mayit keluarga yang meninggal: Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam telah menyampaikan bahwa kita boleh bersedekah atas nama orang yang telah meninggal
dunia . Telah bercerita kepada kami Ismail berkata telah bercerita kepadaku Malik dari Hisyam bin Urwah dari
bapaknya dari Aisyah radliallahu anha bahwa ada seorang laki-laki yang berkata kepada Nabi shallallahu alaihi
wasallam: Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia secara mendadak dan aku menduga seandainya dia sempat
berbicara dia akan bershadaqah. Apakah aku boleh bershadaqah atas namanya? Beliau menjawab: Ya bershodaqolah
atasnya. (HR Muslim 2554) Contoh sedekah oleh bukan keluarga. Pernah dicontohkan bebasnya utang mayyit yang
ditanggung oleh orang lain sekalipun bukan keluarga. Ini berdasarkan hadits Abu Qotadah dimana ia telah menjamin
untuk membayar hutang seorang mayyit sebanyak dua dinar. Ketika ia telah membayarnya Nabi bersabda: Sekarang
engkau telah mendinginkan kulitnya (HR Ahmad) Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menyampaikan bahwa
sedekah tidak selalu dalam bentuk harta. Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad bin Asma` Adl
Dlubai Telah menceritakan kepada kami Mahdi bin Maimun Telah menceritakan kepada kami Washil maula Abu
Uyainah, dari Yahya bin Uqail dari Yahya bin Yamar dari Abul Aswad Ad Dili dari Abu Dzar bahwa beberapa orang
dari sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam bertanya kepada beliau, Wahai Rosulullah, orang-orang kaya dapat
memperoleh pahala yang lebih banyak. Mereka shalat seperti kami shalat, puasa seperti kami puasa dan bersedekah
dengan sisa harta mereka. Maka beliau pun bersabda: Bukankah Allah telah menjadikan berbagai macam cara kepada
kalian untuk bersedekah? Setiap kalimat tasbih adalah sedekah, setiap kalimat takbir adalah sedekah, setiap kalimat
tahmid adalah sedekah, setiap kalimat tahlil adalah sedekah, amar maruf nahi munkar adalah sedekah (HR Muslim
1674) Imam Syafii ra , ulama yang telah diakui oleh jumhur ulama dari dahulu sampai sekarang berkompetensi
sebagai Imam Mujtahid Mutlak. Ulama yang paling baik dalam memahami Al Quran dan As Sunnah dan Beliau
masih bertemu dengan para perawi hadits atau Salafush Sholeh, sebagaimana yang disampaikan oleh Imam
Nawawi Imam asy-Syafii rahimahullah berkata : disunnahkan agar membaca sesuatu dari al-Quran disisi
quburnya, dan apabila mereka mengkhatamkan al-Quran disisi quburnya maka itu bagus (Riyadlush Shalihin [1/295]
lil-Imam an-Nawawi ; Dalilul Falihin [6/426] li-Imam Ibnu Allan ; al-Hawi al-Kabir fiy Fiqh Madzhab asy-Syafii
(Syarah Mukhtashar Muzanni) [3/26] lil-Imam al-Mawardi dan lainnya. Imam Syafii mengatakan aku menyukai
sendainya dibacakan al-Quran disamping qubur dan dibacakan doa untuk mayyit ( Marifatus Sunani wal Atsar
[7743] lil-Imam al-Muhaddits al-Baihaqi.) Begitupula Imam Ahmad semula mengingkarinya karena atsar tentang hal
itu tidak sampai kepadanya namun kemudian Imam Ahmad ruju al-Hafidh (Ibnu Hajar) berkata setelah
mentakhrijnya dengan sanadnya kepada al-Baihaqi, ia berkata ; telah menceritakan kepada kami Abu Abdillah al-
Hafidz, ia berkata telah menceritakan kepada kami Abul Abbas bin Yaqub, ia berkata, telah menceritakan kepada
kami al-Abbas bin Muhammad, ia berkata, aku bertanya kepada Yahya bin Muin tentang pembacaan al-Quran
disamping qubur, maka ia berkata ; telah menceritakan kepadaku Mubasysyir bin Ismail al-Halabi dari Abdur
Rahman bin al-Lajlaj dari ayahnya, ia berkata kepada putranya, apabila aku telah wafat, letakkanlah aku didalam
kuburku, dan katakanlah oleh kalian Bismillah wa alaa Sunnati Rasulillah, kemudian gusurkan tanah diatasku
dengan perlahan, selanjutnya bacalah oleh kalian disini kepalaku awal surah al-Baqarah dan mengkhatamkannya,
karena sesungguhnya aku melihat Ibnu Umar menganjurkan hal itu. Kemudian al-Hafidh (Ibnu Hajar) berkata setelah
mentakhrijnya, hadits ini mauquf yang hasan, Abu Bakar al-Khallal telah mentakhrijnya dan ia juga mentakhrijnya
dari Abu Musa al-Haddad sedangkan ia orang yang sangat jujur. Ia berkata : kami shalat jenazah bersama bersama
Ahmad, maka tatkala telah selesai pemakamannya duduklah seorang laki-laki buta yang membaca al-Quran
disamping qubur, maka Ahmad berkata kepadanya ; hei apa ini, sungguh membaca al-Quran disamping qubur adalah
bidah. Maka tatkala kami telah keluar, berkata Ibnu Qudamah kepada Ahmad : wahai Abu Abdillah, apa
komentarmu tentang Mubasysyir bin Ismail ? , Ahmad berkata : tsiqah, Ibnu Qudamah berkata : engkau menulis
sesuatu darinya?, Ahmad berkata : Iya. Ibnu Qudamah berkata : sesungguhnya ia telah menceritakan kepadaku dari
Abdur Rahman bin al-Lajlaj dari ayahnya, ia berpesan apabila dimakamkan agar dibacakan pembukaan al-Baqarah
dan mengkhatamkannya disamping kuburnya, dan ia berkata : aku mendengar Ibnu Umar berwasiat dengan hal itu,
Maka Ahmad berkata kepada laki-laki itu lanjutkanlah bacaaanmu. Abdul Haq berkata : telah diriwayatkan bahwa
Abdullah bin Umar radliyallahu anhumaa- memerintahkan agar dibacakan surah al-Baqarah disisi quburnya dan
diantara yang meriwayatkan demikian adalah al-Mualla bin Abdurrahman. Tahlilan hukum asalnya adalah boleh,
menjadi makruh jika keluarga ahli kubur merasa terbebani atau meratapi kematian, menjadi haram jika dibiayai dari
harta yang terlarang (haram), atau dari harta mayyit yang memiliki tanggungan / hutang atau dari harta yang bisa
menimbulkan bahaya atasnya.

Anda mungkin juga menyukai