Anda di halaman 1dari 10

Tahlilan 

adalah ritual/upacara selamatan yang dilakukan sebagian


umat Islam, kebanyakan di Indonesia dan kemungkinan di Malaysia,
untuk memperingati dan mendoakan orang yang telah meninggal
yang biasanya dilakukan pada hari pertama kematian hingga hari
ketujuh, dan selanjutnya dilakukan pada hari ke-40, ke-100, kesatu
tahun pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Ada pula yang
melakukan tahlilan pada hari ke-1000.

Kata "Tahlil" sendiri secara harfiah berarti berizikir dengan mengucap


kalimat tauhid "Laa ilaaha illallah" (tiada yang patut disembah kecuali
Allah).

Upacara tahlilan ditengarai merupakan praktik pada abad-abad transisi


yang dilakukan oleh masyarakat yang baru memeluk Islam, tetapi tidak
dapat meninggalkan kebiasaan mereka yang lama. Berkumpul-kumpul di
rumah ahli mayit bukan hanya terjadi pada masyarakat pra Islam di
Indonesia saja, tetapi di berbagai belahan dunia, termasuk di jazirah Arab.
Oleh para da'i(yang dikenal wali songo) pada waktu itu, ritual yang lama
diubah menjadi ritual yang bernafaskan Islam. Di Indonesia, tahlilan masih
membudaya, sehingga istilah "Tahlilan" dikonotasikan memperingati dan
mendo'akan orang yang sudah meninggal. tahlilan dilakukan bukan
sekadar kumpul-kumpul karena kebiasaan zaman dulu. Generasi sekarang
tidak lagi merasa perlu dan sempat untuk melakukan kegiatan sekadar
kumpul-kumpul seperti itu. jika pun tahlilan masih diselenggarakan sampai
sekarang, itu karena setiap anak pasti menginginkan orangtuanya yang
meninggal masuk sorga. sebagaimana diketahui oleh semua kaum muslim,
bahwa anak saleh yang berdoa untuk orangtuanya adalah impian semua
orang, oleh karena itu setiap orangtua menginginkan anaknya menjadi
orang yang saleh dan mendoakan mereka. dari sinilah, keluarga
mendoakan mayit, dan beberapa keluarga merasa lebih senang jika
mendoakan orangtua mereka yang meninggal dilakukan oleh lebih banyak
orang(berjama'ah). maka diundanglah orang-orang untuk itu, dan
menyuguhkan(sodaqoh) sekadar suguhan kecil bukanlah hal yang aneh,
apalagi tabu, apalagi haram. suguhan(sodaqoh) itu hanya berkaitan dengan
menghargai tamu yang mereka undang sendiri. maka, jika ada anak yang
tidak ingin atau tidak senang mendoakan orangtuanya, maka dia (atau
keluarganya) tidak akan melakukannya, dan itu tidak berakibat hukum
syareat. tidak makruh juga tidak haram. anak seperti ini pasti juga orang
yang yang tidak ingin didoakan jika dia telah mati kelak.

Kegiatan ini bukan kegiatan yang diwajibkan. orang boleh melakukannya


atau tidak. tahlilan bukanlah kewajiban, dan adalah dusta dan mengada-ada
jika tahlilan ini dihitung sebagai rukun. tahlilan adalah pilihan bebas bagi
setiap orang dan keluarga berkaitan dengan keinginan mendoakan orangtua
mereka ataukah tidak. tahlilan juga bukanlah kegiatan yang harus
dilakukan secara berkumpul-kumpul di rumah duka dan oleh karenanya
dituduhkan membebani tuan rumah. tahlilan itu mendoakan mayit dan itu
bisa dilakukan sendiri-sendiri atau berjamaah, di satu tempat yang sama
atau di mana-mana. menuduhkan tahlil sebagai bid'ah adalah mengada-ada
dan melawan keyakinan kaum muslim bahwa anak saleh yang berdoa
untuk orangtuanya adalah cita-cita setiap orang.
Sebenarnya acara tahlilan telah lama menjadi pro dan kontra di kalangan umat
Islam. Sebagai muslim sejati yang selalu mengedepankan kebenaran, semua pro
dan kontra harus dikembalikan kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Sikap
seperti inilah yang sepatutnya dimiliki oleh setiap insan muslim yang benar-benar
beriman kepada Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya.  Hal ini jelas kita temui
pada Firman Allah pada Surah An Nisaa’: 59 (artinya) : “Maka jika kalian
berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Qur’an) dan Ar Rasul (As Sunnah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah
dan Rasul-Nya. Yang demikian itu lebih utama bagi kalian dan lebih baik
akibatnya.” 

Untuk itu perlu kita melihat dasar-dasar pemikiran dan dalil-dalil yang diambil
oleh kalangan yang pro maupun yang kontra tentang Tahlilan ini.

Kalangan yang Mendukung Tahlilan


Madzhab  Ahlussunnah  wal  Jama’ah  mempergunakan  Ijma’  dan  Qiyas  kalau 
tidak  mendapatkan  dalil  nash  yang  shahih  (jelas)  dari Al‐Qur’an  dan As‐
Sunnah. Kita 
tidak dapat menghalalkan sesuatu atau mengharamkan sesuatu, kecuali dengan dali
l‐dalil yang jelas berdasarkan ke 4 sumber hukum di atas.   Janganlah kita menghar
amkan apa yang dihalalkan oleh Allah  SWT dan Rasul‐Nya, dan jangan 
pula menghalalkan  apa  yang  diharamkan Allah  SWT  dan Rasul‐Nya. Di 
dalam Ilmu Fiqih apabila kita melihat suatu perbuatan di  tengah‐
tengah masyarakat, kita 
tidakbisa dengan secepat mungkin berkata halal atau haram.Kita sebaiknya mengik
uti dan mengambil pelajaran dari kisah sahabat Mu’adz r.a. ketika beliau di utus ol
eh Rasulullah saw ke negeri Yaman. 
“Dari sahabat Mu’adz berkata; tatkala Rasulullah SAW mengutus ke Yaman, R
asulullah bersabda  bagaimana  engkau menentukan  apabila  tampak 
kepadamu  suatu  ketentuan?  Mu’adz menjawab;  saya  akan menentukan 
hukum  dengan  kitab Allah?  kemudian  nabibersabda;  kalau  tidak  engkau 
jumpai  dalam  kitab  Allah? Mu’adz  menjawab;  denganSunnah  Rasulullah 
s.aw.  kemudian  nabi  bersabda;  kalau  tidak  engkau  jumpai  dalamSunnah 
Rasulullah  dan  dalam  kitab  Allah? Mu’adz  menjawab;  saya  akan 
berijtihad dengan  pendapat  saya  dan  saya  tidak  kembali;  Mu’adz  berkata: 
maka  Rasulullah memukul  dadanya,  kemudian Mu’adz  berkata; 
Alhamdulillah  yang  telah 
memberikan taufiq kepada utusan Rasulullah SAW dengan apa yang Rasulullah 
meridlai‐Nya."

Langkah  yang  di  ambil  dari  sahabat Mu’adz  r.a.  di  atas  dapat  kita  jadikan 
pedoman dalam  mengambil  suatu  langkah‐langkah  hukum  agama  apabila  kita 
melihat  dan mendapati amalan baru‐baru yang berkembang di masyarakat.

Pengiriman hadiah pahala bagi mayit  ini  sunnah  secara  syariat 


sebagaimana Rasulullah SAW.   mencontohkan  dan  membolehkannya, 
ketika  salah  seorang  yang  menemui Rasulullah  SAW  dan  bertanya 
tentang  suatu  hal  sebagaimana  teriwayat  dalam  hadist berikut: 
 
 “ Dari Abu Dzar radliallahu 'anhu, dari Nabi shalla Allahu alaihi wa
sallam, sesungguhnya beliau bersabda: "Bahwasanya pada setiap tulang
sendi kalian ada sedekah. Setiap bacaan tasbih itu adalah sedekah, setiap
bacaan tahmid itu adalah sedekah, setiap bacaan TAHLIL itu adalah
sedekah, setiap bacaan takbir itu adalah sedekah, dan amar ma’ruf nahi
munkar itu adalah sedekah, dan mencukupi semua itu dua rakaat yang
dilakukan seseorang dari sholat Dluha.” (Hadits riwayat: Muslim).
  
  Dari Aisyah  ra bahwa sungguh  telah datang seorang 
lelaki pada nabi saw seraya berkata:  “Wahai Rasulullah,  sungguh  ibuku 
telah meninggal mendadak  sebelum
berwasiat, kukira bila ia sempat bicara mestilah ia akan bersedekah, bolehk
ah aku
bersedekah atas namanya?”, Rasul saw menjawab : “Boleh” (Shahih Muslim 
hadits no.1004).
 Seorang  laki‐laki  bertanya  kepada  Rasulullah 
SAW,  “Ayahku meninggal  dunia,
dan ia meninggalkan harta serta tidak memberi wasiat. Apakah dapat meng
hapus dosanya bila  saya 
sedekahkan?” Ujar Nabi SAW, “Dapat!”  [HR. Ahmad, Muslim
dari Abu Hurairah]
 Memang hadist di atas adalah berhubungan dengan sedeqah jariyah bagi si 
mayit namun  jelas sekali kejadian di atas adalah ketika orang  tua dari sang 
lelaki  itu  telah meninggal,
bukan ketika orang tua masih hidup pada saat sang anak menyedekahkan ha
rta sang Ibu dan pahalanya bagi orang tua mereka.  Jadi  jelaslah  bahwa 
sang  anak mensedeqahkan  harta  dari  orang  tuanyadan mengirim 
menghadiahkan pahala sedeqah tersebut bagi orang tuanya yang telah menin
ggal dunia.  

Banyak hadist hadist dari Rasulullah saw. dan riwayat sahabat r.a. yang nyata 
dan kuat  membolehkan mengirim pahala bagi mayit khususnya 
lewat bacaan Al‐Qur’an, doa dan  sedeqah adalah dari hadist‐
hadist berikut ini : 
 
 Abu Muhammad As Samarkandy, Ar Rafi’iy dan Ad Darquthniy, masing‐
masing menunjuk  sebuah  hadits  yang  diriwayatkan  oleh  Imam Ali  bin Abi 
Thalib  k.w. bahwa  Rasul  saw  bersabda:  “Barangsiapa  lewat  melalui 
kuburan,  kemudian  ia membaca  “Qul  Huwallahu  Ahad”  sebelas  kali
dengan niat menghadiahkan pahalanya pada para penghuni kubur, 
ia sendiri akan memperoleh sebanyak yang
diperoleh semua penghuni kubur”.
 Abu  Hurairah  ra  meriwayatkan  bahwasanya  Nabi  Muhammad  saw 
bersabda:“Barangsiapa yang berziarah di kuburan, kemudian ia membaca ‘
Al Fatihah’, ‘Qul
Huwallahu Ahad’ dan ‘Alhakumut takatsur’, lalu ia berdoa Ya Allah, kuhadia
hkan pahala  pembacaan  firmanMu  pada  kaum  Mu’minin  dan  Mu’minat 
penghuni kubur  ini, maka mereka  akan menjadi  penolong 
baginya(pemberi  syafaat)  pada hari kiamat”.
  Diriwayatkan  oleh Daruquthni  bahwa  seorang  laki‐laki 
bertanya,  “Ya Rasulullah SAW,  saya  mempunyai  ibu  bapak  yang  selagi 
mereka  hidup,  saya  berbakti kepadanya.  Maka  bagaimana  caranya 
saya  berbakti  kepada  mereka,  setelah mereka meninggal dunia?” 
Ujar Nabi SAW, “Berbakti  setelah mereka meninggal, caranya  ialah 
dengan melakukan  shalat  untuk mereka  disamping  shalatmu,  dan
berpuasa untuk mereka disamping puasamu!”
 Seorang  sahabat  bertanya  kepada  Rasulullah  saw,  seraya 
berkata:  "Wahai
Rasulullah, sesungguhnya kami bersedekah untuk keluarga kami yang suda
h mati, kami  melakukan  haji  untuk  mereka  dan  kami  berdoa  bagi 
mereka;  apakah  hal tersebut  pahalanya  dapat  sampai  kepada mereka? 
Rasulullah  saw  bersabda:  Ya! Sungguh  pahala  dari  ibadah  itu  benar‐
benar  akan  sampai  kepada  mereka  dan
sesungguhnya mereka itu benar‐benar bergembira  dengan kiriman 
pahala tersebut,
sebagaimana salah seorang dari kamu sekalian bergembira dengan 
hadiah apabila hadiah tersebut dikirimkan kepadanya!ʺ
 “Diriwayatkan dari ‘Auf bin Malik, ia berkata; Nabi SAW telah menunaika
n shalat
jenazah, aku mendengar Nabi SAW berdoa; Ya Allah!! ampunilah dia, rahmati
lah dia, maafkan dia.”
 Dalam  riwayat  lainnya dari Anas bin Malik  r.a. bahwa Rasulullah 
saw bersabda:”Apabila  seorang mukmin membaca  ayat Kursi  
dan menghadiahkan  pahalanya kepada para penghuni kubur,
maka Allah akan memasukkan empat puluh cahaya
ke setiap kubur orang mukmin 
mulai dari ujung dunia bagian timur sampai barat, Allah akan melapangkan 
liang kubur mereka, memberi pahala enam puluh orang nabi  kepada  yang 
membaca,  mengangkat  satu  derajat  bagi  setiap  mayit,  dan
menuliskan sepuluh kebajikan bagi  setiap mayit.”
  Al‐Baihaqiy  di  dalam  Sya’bul‐Iman  mengetengahkan  sebuah  hadist 
yang diriwayatkan  oleh  Mi’qal  bin  Yassar  r.a.,  dan  dalam  Al‐Jami’ush‐
Shaghir  dan    Misykatul‐Mashabih  bahwa  Rasulullah  saw  bersabda: 
“Barang  siapa  membaca Yasin  semata‐mata  demi  keridhoan  Allah,  ia 
memperoleh  ampunan  atas  dosa‐dosanya  yang  telah  lalu.  Karena  itu 
hendaknya  kalian membacakan  Yasin  bagi
orang – orang yang telah meninggal dunia di antara kalian.”
 Diriwayatkan  pula  bahwa  Siti  Aisyah  pernah  beritikaf  atas  nama 
adiknya
Abdurrahman bin Abu Bakar yang telah meninggal dunia. Bahkan Siti Aisyah j
uga
memerdekakan budak atas namanya (adiknya). (Al Imam Qurthubi di dalam ki
tab At‐Tadzkirat Bi Ahwali al‐Mauta wa Umur al‐Akhirat.
 Hadits‐hadits di atas dijadikan dalil oleh para ulama salaf dan kalaf untuk me
nfatwakan  kebolehan  mengirim  /  menghadiahkan  pahala  baik  sedeqah, 
bacaan  Al  Qur’an  dan mendoakan bagi mayit.
 
Sedangkan mengenai tentang jamuan makanan / minuman ala kadarnya bagi tamu 
ketika  tahlilan  (para  pelayat  /  pentakziyah) merupakan  amalan mulia  yang 
sangat  dianjurkan  untuk memuliakan mereka (tamu).  Jamuan  sederhana 
(ala kadarnya)  ini bisa di kategorikan  sebagai  sedeqah dari keluarga 
(shohibul bait) yang mana pahala dari sedeqah ini bisa 
di hadiahkan kepada mayyit (yang
meninggal) atau untuk dirinya sendiri (keluarga mayyit).   
Memberi  jamuan  yang  biasa  diadakan  ketika  ada  orang  meninggal, 
hukumnya  boleh  (mubah),  dan menurut mayoritas  ulama  bahwa memberi 
jamuan  itu  termasuk  ibadah  yang  terpuji  dan  dianjurkan.  Sebab,  jika  dilihat 
dari  segi  jamuannya  termasuk  sedekah   yang  dianjurkan  oleh  Islam  yang 
pahalanya  dihadiahkan  pada  orang  telah meninggal.  Dan lebih dari itu, 
ada tujuan lain yang ada di balik  jamuan tersebut, yaitu ikramud dla`if 
(menghormati  tamu),  dengan  bersabar menghadapi musibah  dan 
tidak menampakkan  rasa susah dan gelisah kepada orang lain.

Mengenai  makan  dirumah  duka,  sungguh  Rasul  saw  telah  melakukannya, 


dijelaskan  dalam Tuhfatul Ahwadziy : 

“Riwayat Hadits riwayat Ashim bin Kulaib ra yg diriwayatkan oleh Abu Dawud da
lam  sunannya  dengan  sanad  shahih,  dari  ayahnya,  dari  seorang  lelaki 
anshar,  berkata  :  kami keluar bersama Rasul  saw dalam  suatu penguburan 
jenazah,  lalu kulihat Rasul  saw memerintahkan pada penggali kubur 
untuk memperlebar dari arah kaki dan dari  arah  kepala,  ketika  selesai  maka 
datanglah  seorang  utusan  istri  almarhum,  mengundang  Nabi  saw  untuk 
bertandang  kerumahnya,  lalu  Rasul  saw  menerima undangannya  dan  kami 
bersamanya,  lalu  dihidangkan  makanan,  lalu  Rasul  saw 
menaruh tangannya saw di makanan itu kamipun menaruh tangan kami dimakanan 
itu  lalu  kesemuanyapun  makan.  
 
Riwayat  Abu  Dawud  dan  Baihaqi  dalam  Dalail  Nubuwwah,  demikian  pula 
diriwayatkan  dalam  AL  Misykaah,  di  Bab  Mukjizat,  dikatakan  bahwa  ketika 
beliau  saw  akan  pulang  maka  datanglah  utusan  istri  almarhum.. dan hal 
ini merupakan Nash  yg  jelas bahwa Rasulullah  saw mendatangi  undangan 
keluarga  duka,  dan  berkumpul  bersama  sahabat  beliau  saw  setelah 
penguburan dan makan”. (Tuhfatul Ahwadziy Juz 4 hal 67). 
 
Imam Thawus berkata: Seorang yang mati akan beroleh ujian dari Allah dalam kub
urnya  selama  7  hari.  Untuk  itu,  sebaiknya mereka  (yang masih 
hidup) mengadakan  jamuan  makan  (sedekah) untuknya selama hari‐hari 
tersebut. Sahabat Ubaid  ibn Umair berkata: 
“Seorang mukmin dan seorang munafiq sama‐sama akan mengalami ujian dalam k
ubur. 
Bagi seorang mukmin akan beroleh ujian selam 7 hari, sedang seorang munafiq sel
ama 40  hari di waktu pagi.”  (Al Hawi lil Fatawa as Suyuti, Juz II hal 178)
 
 
Kalangan yang Menolak Tahlilan
 “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah
Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridhoi Islam sebagai
agamamu.” (QS. al-Ma‘idah [5]: 3). disini Allah mengatakan bahwa Agama Islam
telah sempurna.
 Segala bentuk bid’ah dalam Ad-Dien hukum ialah haram dan sesat,
sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Arti : Janganlah kamu
sekalian mengada-adakan urusan-urusan yg baru, krn sesungguh mengadakan hal yg
baru ialah bid’ah, dan setiap bid’ah ialah sesat”. [Hadits Riwayat Abdu Daud, dan
At-Tirmidzi ; hadits hasan shahih]. 
 Dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,“Arti : Barangsiapa
mengadakan hal yg baru yg bukan dari kami maka peruntukan tertolak”.
 Hadis riwayat Muslim : “Jika manusia meninggal, maka terputuslah
amalnya kecuali tiga : “sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak
sholeh yang selalu mendoakan orang tuanya”. Mereka berkata : “Kata-kata
“terputuslah amalnya”menunjukkan bahwa amal-amal apapun kecuali yang
tiga itu tidak akan sampai pahalanya kepada mayit.
  Allah berfirman yang artinya, “Sesungguhnya seseorang itu tidak akan
menanggung dosa seseorang yang lain dan bahwasanya manusia tidak akan
memperolehi ganjaran melainkan apa yang telah ia kerjakan.” (An-Najm: 38-
39). Berkata Al-Hafizh Imam Ibnu Katsir rohimahulloh: “Melalui ayat yang
mulia ini, Imam Syafi’i rohimahulloh dan para pengikutnya menetapkan bahwa
pahala bacaan (Al-Qur’an) dan hadiah pahala tidak sampai kepada orang
yang mati, karena bacaan tersebut bukan dari amal mereka dan bukan usaha
mereka. Oleh karena itu Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam tidak pernah
memerintahkan umatnya, mendesak mereka untuk melakukan perkara
tersebut dan tidak pula menunjuk hal tersebut (menghadiahkan bacaan
kepada orang yang mati) walaupun hanya dengan sebuah dalil pun.”

Islam telah menunjukkan hal yang dapat dilakukan oleh mereka yang telah
ditinggal mati oleh teman, kerabat atau keluarganya yaitu dengan
mendo’akannya agar segala dosa mereka diampuni dan ditempatkan di surga
Alloh subhanahu wa ta’ala. Sedangkan jika yang meninggal adalah orang tua,
maka termasuk amal yang tidak terputus dari orang tua adalah do’a anak
yang sholih karena anak termasuk hasil usaha seseorang semasa di dunia.

Ayat dan hadits di atas menjelaskan suatu landasan yang agung yaitu bahwa Islam
telah sempurna, tidak butuh ditambah dan dikurangi lagi. Tidak ada suatu ibadah,
baik perkataan maupun perbuatan melainkan semuanya telah dijelaskan oleh
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.

Memang secara sepintas pula, penyajian hidangan untuk para tamu merupakan
perkara yang terpuji bahkan dianjurkan sekali didalam agama Islam. Namun
manakala penyajian hidangan tersebut dilakukan oleh keluarga si mayit baik untuk
sajian tamu undangan tahlilan ataupun yang lainnya, maka memiliki hukum
tersendiri. Bukan hanya saja tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam bahkan perbuatan ini telah melanggar sunnah para sahabatnya
radhiallahu ‘anhum. Jarir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu–salah seorang sahabat
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam– berkata: “Kami menganggap/ memandang
kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh
keluarga mayit merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit).” (H.R Ahmad,
Ibnu Majah dan lainnya)

Sehingga acara berkumpul di rumah keluarga mayit dan penjamuan hidangan dari
keluarga mayit termasuk perbuatan yang dilarang oleh agama menurut pendapat
para sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan para ulama salaf. Lihatlah
bagaimana fatwa salah seorang ulama salaf yaitu Al Imam Asy Syafi’i dalam
masalah ini. Kami sengaja menukilkan madzhab Al Imam Asy Syafi’i, karena
mayoritas kaum muslimin di Indonesia mengaku bermadzhab Syafi’i. Al Imam
Asy Syafi’i rahimahullah berkata dalam salah satu kitabnya yang terkenal yaitu ‘Al
Um’ (1/248): “Aku membenci acara berkumpulnya orang (di rumah keluarga
mayit –pent) meskipun tidak disertai dengan tangisan. Karena hal itu akan
menambah kesedihan dan memberatkan urusan mereka.” (Lihat Ahkamul Jana-iz
karya Asy Syaikh Al Albani hal. 211)

Malah yang semestinya, disunnahkan bagi tetangga keluarga mayit yang


menghidangkan makanan untuk keluarga mayit, supaya meringankan beban yang
mereka alami. 

Sebagaimana bimbingan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam hadistnya:


‫آلل َج ْعفَ َر طَ َعا ًما فَقَ ْد أَتَاهُ ْم أَ ْم ٌر يُ ْش ِغلُهُ ْم‬
ِ e‫اصْ نَعُوا‬
“Hidangkanlah makanan buat keluarga Ja’far, Karena telah datang perkara
(kematian-pent) yang menyibukkan mereka.” (H.R Abu Dawud, At Tirmidzi dan
lainnya).

Sekali lagi, bukan pihak yang sedang berduka yang harus menyajikan makanan
untuk para pelawat .

Anda mungkin juga menyukai