Untuk itu perlu kita melihat dasar-dasar pemikiran dan dalil-dalil yang diambil
oleh kalangan yang pro maupun yang kontra tentang Tahlilan ini.
Langkah yang di ambil dari sahabat Mu’adz r.a. di atas dapat kita jadikan
pedoman dalam mengambil suatu langkah‐langkah hukum agama apabila kita
melihat dan mendapati amalan baru‐baru yang berkembang di masyarakat.
Banyak hadist hadist dari Rasulullah saw. dan riwayat sahabat r.a. yang nyata
dan kuat membolehkan mengirim pahala bagi mayit khususnya
lewat bacaan Al‐Qur’an, doa dan sedeqah adalah dari hadist‐
hadist berikut ini :
Abu Muhammad As Samarkandy, Ar Rafi’iy dan Ad Darquthniy, masing‐
masing menunjuk sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ali bin Abi
Thalib k.w. bahwa Rasul saw bersabda: “Barangsiapa lewat melalui
kuburan, kemudian ia membaca “Qul Huwallahu Ahad” sebelas kali
dengan niat menghadiahkan pahalanya pada para penghuni kubur,
ia sendiri akan memperoleh sebanyak yang
diperoleh semua penghuni kubur”.
Abu Hurairah ra meriwayatkan bahwasanya Nabi Muhammad saw
bersabda:“Barangsiapa yang berziarah di kuburan, kemudian ia membaca ‘
Al Fatihah’, ‘Qul
Huwallahu Ahad’ dan ‘Alhakumut takatsur’, lalu ia berdoa Ya Allah, kuhadia
hkan pahala pembacaan firmanMu pada kaum Mu’minin dan Mu’minat
penghuni kubur ini, maka mereka akan menjadi penolong
baginya(pemberi syafaat) pada hari kiamat”.
Diriwayatkan oleh Daruquthni bahwa seorang laki‐laki
bertanya, “Ya Rasulullah SAW, saya mempunyai ibu bapak yang selagi
mereka hidup, saya berbakti kepadanya. Maka bagaimana caranya
saya berbakti kepada mereka, setelah mereka meninggal dunia?”
Ujar Nabi SAW, “Berbakti setelah mereka meninggal, caranya ialah
dengan melakukan shalat untuk mereka disamping shalatmu, dan
berpuasa untuk mereka disamping puasamu!”
Seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah saw, seraya
berkata: "Wahai
Rasulullah, sesungguhnya kami bersedekah untuk keluarga kami yang suda
h mati, kami melakukan haji untuk mereka dan kami berdoa bagi
mereka; apakah hal tersebut pahalanya dapat sampai kepada mereka?
Rasulullah saw bersabda: Ya! Sungguh pahala dari ibadah itu benar‐
benar akan sampai kepada mereka dan
sesungguhnya mereka itu benar‐benar bergembira dengan kiriman
pahala tersebut,
sebagaimana salah seorang dari kamu sekalian bergembira dengan
hadiah apabila hadiah tersebut dikirimkan kepadanya!ʺ
“Diriwayatkan dari ‘Auf bin Malik, ia berkata; Nabi SAW telah menunaika
n shalat
jenazah, aku mendengar Nabi SAW berdoa; Ya Allah!! ampunilah dia, rahmati
lah dia, maafkan dia.”
Dalam riwayat lainnya dari Anas bin Malik r.a. bahwa Rasulullah
saw bersabda:”Apabila seorang mukmin membaca ayat Kursi
dan menghadiahkan pahalanya kepada para penghuni kubur,
maka Allah akan memasukkan empat puluh cahaya
ke setiap kubur orang mukmin
mulai dari ujung dunia bagian timur sampai barat, Allah akan melapangkan
liang kubur mereka, memberi pahala enam puluh orang nabi kepada yang
membaca, mengangkat satu derajat bagi setiap mayit, dan
menuliskan sepuluh kebajikan bagi setiap mayit.”
Al‐Baihaqiy di dalam Sya’bul‐Iman mengetengahkan sebuah hadist
yang diriwayatkan oleh Mi’qal bin Yassar r.a., dan dalam Al‐Jami’ush‐
Shaghir dan Misykatul‐Mashabih bahwa Rasulullah saw bersabda:
“Barang siapa membaca Yasin semata‐mata demi keridhoan Allah, ia
memperoleh ampunan atas dosa‐dosanya yang telah lalu. Karena itu
hendaknya kalian membacakan Yasin bagi
orang – orang yang telah meninggal dunia di antara kalian.”
Diriwayatkan pula bahwa Siti Aisyah pernah beritikaf atas nama
adiknya
Abdurrahman bin Abu Bakar yang telah meninggal dunia. Bahkan Siti Aisyah j
uga
memerdekakan budak atas namanya (adiknya). (Al Imam Qurthubi di dalam ki
tab At‐Tadzkirat Bi Ahwali al‐Mauta wa Umur al‐Akhirat.
Hadits‐hadits di atas dijadikan dalil oleh para ulama salaf dan kalaf untuk me
nfatwakan kebolehan mengirim / menghadiahkan pahala baik sedeqah,
bacaan Al Qur’an dan mendoakan bagi mayit.
Sedangkan mengenai tentang jamuan makanan / minuman ala kadarnya bagi tamu
ketika tahlilan (para pelayat / pentakziyah) merupakan amalan mulia yang
sangat dianjurkan untuk memuliakan mereka (tamu). Jamuan sederhana
(ala kadarnya) ini bisa di kategorikan sebagai sedeqah dari keluarga
(shohibul bait) yang mana pahala dari sedeqah ini bisa
di hadiahkan kepada mayyit (yang
meninggal) atau untuk dirinya sendiri (keluarga mayyit).
Memberi jamuan yang biasa diadakan ketika ada orang meninggal,
hukumnya boleh (mubah), dan menurut mayoritas ulama bahwa memberi
jamuan itu termasuk ibadah yang terpuji dan dianjurkan. Sebab, jika dilihat
dari segi jamuannya termasuk sedekah yang dianjurkan oleh Islam yang
pahalanya dihadiahkan pada orang telah meninggal. Dan lebih dari itu,
ada tujuan lain yang ada di balik jamuan tersebut, yaitu ikramud dla`if
(menghormati tamu), dengan bersabar menghadapi musibah dan
tidak menampakkan rasa susah dan gelisah kepada orang lain.
“Riwayat Hadits riwayat Ashim bin Kulaib ra yg diriwayatkan oleh Abu Dawud da
lam sunannya dengan sanad shahih, dari ayahnya, dari seorang lelaki
anshar, berkata : kami keluar bersama Rasul saw dalam suatu penguburan
jenazah, lalu kulihat Rasul saw memerintahkan pada penggali kubur
untuk memperlebar dari arah kaki dan dari arah kepala, ketika selesai maka
datanglah seorang utusan istri almarhum, mengundang Nabi saw untuk
bertandang kerumahnya, lalu Rasul saw menerima undangannya dan kami
bersamanya, lalu dihidangkan makanan, lalu Rasul saw
menaruh tangannya saw di makanan itu kamipun menaruh tangan kami dimakanan
itu lalu kesemuanyapun makan.
Riwayat Abu Dawud dan Baihaqi dalam Dalail Nubuwwah, demikian pula
diriwayatkan dalam AL Misykaah, di Bab Mukjizat, dikatakan bahwa ketika
beliau saw akan pulang maka datanglah utusan istri almarhum.. dan hal
ini merupakan Nash yg jelas bahwa Rasulullah saw mendatangi undangan
keluarga duka, dan berkumpul bersama sahabat beliau saw setelah
penguburan dan makan”. (Tuhfatul Ahwadziy Juz 4 hal 67).
Imam Thawus berkata: Seorang yang mati akan beroleh ujian dari Allah dalam kub
urnya selama 7 hari. Untuk itu, sebaiknya mereka (yang masih
hidup) mengadakan jamuan makan (sedekah) untuknya selama hari‐hari
tersebut. Sahabat Ubaid ibn Umair berkata:
“Seorang mukmin dan seorang munafiq sama‐sama akan mengalami ujian dalam k
ubur.
Bagi seorang mukmin akan beroleh ujian selam 7 hari, sedang seorang munafiq sel
ama 40 hari di waktu pagi.” (Al Hawi lil Fatawa as Suyuti, Juz II hal 178)
Kalangan yang Menolak Tahlilan
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah
Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridhoi Islam sebagai
agamamu.” (QS. al-Ma‘idah [5]: 3). disini Allah mengatakan bahwa Agama Islam
telah sempurna.
Segala bentuk bid’ah dalam Ad-Dien hukum ialah haram dan sesat,
sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Arti : Janganlah kamu
sekalian mengada-adakan urusan-urusan yg baru, krn sesungguh mengadakan hal yg
baru ialah bid’ah, dan setiap bid’ah ialah sesat”. [Hadits Riwayat Abdu Daud, dan
At-Tirmidzi ; hadits hasan shahih].
Dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,“Arti : Barangsiapa
mengadakan hal yg baru yg bukan dari kami maka peruntukan tertolak”.
Hadis riwayat Muslim : “Jika manusia meninggal, maka terputuslah
amalnya kecuali tiga : “sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak
sholeh yang selalu mendoakan orang tuanya”. Mereka berkata : “Kata-kata
“terputuslah amalnya”menunjukkan bahwa amal-amal apapun kecuali yang
tiga itu tidak akan sampai pahalanya kepada mayit.
Allah berfirman yang artinya, “Sesungguhnya seseorang itu tidak akan
menanggung dosa seseorang yang lain dan bahwasanya manusia tidak akan
memperolehi ganjaran melainkan apa yang telah ia kerjakan.” (An-Najm: 38-
39). Berkata Al-Hafizh Imam Ibnu Katsir rohimahulloh: “Melalui ayat yang
mulia ini, Imam Syafi’i rohimahulloh dan para pengikutnya menetapkan bahwa
pahala bacaan (Al-Qur’an) dan hadiah pahala tidak sampai kepada orang
yang mati, karena bacaan tersebut bukan dari amal mereka dan bukan usaha
mereka. Oleh karena itu Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam tidak pernah
memerintahkan umatnya, mendesak mereka untuk melakukan perkara
tersebut dan tidak pula menunjuk hal tersebut (menghadiahkan bacaan
kepada orang yang mati) walaupun hanya dengan sebuah dalil pun.”
Islam telah menunjukkan hal yang dapat dilakukan oleh mereka yang telah
ditinggal mati oleh teman, kerabat atau keluarganya yaitu dengan
mendo’akannya agar segala dosa mereka diampuni dan ditempatkan di surga
Alloh subhanahu wa ta’ala. Sedangkan jika yang meninggal adalah orang tua,
maka termasuk amal yang tidak terputus dari orang tua adalah do’a anak
yang sholih karena anak termasuk hasil usaha seseorang semasa di dunia.
Ayat dan hadits di atas menjelaskan suatu landasan yang agung yaitu bahwa Islam
telah sempurna, tidak butuh ditambah dan dikurangi lagi. Tidak ada suatu ibadah,
baik perkataan maupun perbuatan melainkan semuanya telah dijelaskan oleh
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Memang secara sepintas pula, penyajian hidangan untuk para tamu merupakan
perkara yang terpuji bahkan dianjurkan sekali didalam agama Islam. Namun
manakala penyajian hidangan tersebut dilakukan oleh keluarga si mayit baik untuk
sajian tamu undangan tahlilan ataupun yang lainnya, maka memiliki hukum
tersendiri. Bukan hanya saja tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam bahkan perbuatan ini telah melanggar sunnah para sahabatnya
radhiallahu ‘anhum. Jarir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu–salah seorang sahabat
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam– berkata: “Kami menganggap/ memandang
kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh
keluarga mayit merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit).” (H.R Ahmad,
Ibnu Majah dan lainnya)
Sehingga acara berkumpul di rumah keluarga mayit dan penjamuan hidangan dari
keluarga mayit termasuk perbuatan yang dilarang oleh agama menurut pendapat
para sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan para ulama salaf. Lihatlah
bagaimana fatwa salah seorang ulama salaf yaitu Al Imam Asy Syafi’i dalam
masalah ini. Kami sengaja menukilkan madzhab Al Imam Asy Syafi’i, karena
mayoritas kaum muslimin di Indonesia mengaku bermadzhab Syafi’i. Al Imam
Asy Syafi’i rahimahullah berkata dalam salah satu kitabnya yang terkenal yaitu ‘Al
Um’ (1/248): “Aku membenci acara berkumpulnya orang (di rumah keluarga
mayit –pent) meskipun tidak disertai dengan tangisan. Karena hal itu akan
menambah kesedihan dan memberatkan urusan mereka.” (Lihat Ahkamul Jana-iz
karya Asy Syaikh Al Albani hal. 211)
Sekali lagi, bukan pihak yang sedang berduka yang harus menyajikan makanan
untuk para pelawat .