PENDAPAT WAHABI :
Mereka mengatakan bahwa: “Bertawassul dengan selain yang hidup dan yang hadir
(ada di depan kita) adalah kufur”. Atas dasar kaidah inilah, kelompok Wahabi mengecap
kafir dia yang tidak sependapat dengannya dan halal untuk dibunuh (halal darahnya).
Juga terdapat sebuah hadits shahih dan hasan sanadnya yang ada sangkut pautnya
dengan tahlilan, sebagai berikut (Islam, 2017): “Sahabat Jabir bin Abdullah radhiallahu
‘anhu berkata: “Pada suatu hari kami keluar Bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menuju Sa’ad bin Mu’az ketika meninggal dunia. Setelah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menshalatinya, ia diletakkan di dalam kubur, dan kemudian diratakan
dengan tanah, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca tasbih, dan kami
membaca tasbih dalam waktu yang lama. Baginda membaca takbir dan kami membaca
takbir pula. Kemudian baginda ditanya: “Wahai Rasulullah, mengappa engkau membaca
takbir?”, Baginda menjawab: “Sungguh kuburan hamba Allah yang shaleh ini benar-benar
menghimpitnya, (maka aku membacanya) sehingga Allah melepaskannya dari himpitan itu.”
Dari hadits di atas, bagi seseorang yang sebagian sudah terpengaruh Wahabi terkhusus di
Indonesia akan tetap menolak tahlilan dan akan berkomentar sebagai berikut: “Terkait hadits
itu, bahwa bacaan takbir dan tasbih dilakukan hanya ketika waktu pemakaman saja. Oleh
karenanya, bacaan tersebut hanya diperbolehkan/dianjurkan dibaca sewaktu pemakaman,
tidak dilain waktu pemakaman.” dalam (Islam, 2017).
Adapun dalil yang digunakan sebagai dasar kelompok mereka dalam menentang
tradisi tahlilan yaitu sebagai berikut. “Bid’ah dalam al-Din hukumnya adalah haram dan
sesat, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Janganlah kamu
sekalian mengadaadakan urusan-urusan yang baru, karena sesungguhnya mengadakan hal
yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat” (Hadits Riwayat Abu Daud, dan
Tirmidzi: hadit yang hasan dan shahih), (Feby Penganut Salafi, Wawancara Daring, 9
November 2020).
COUNTER
Dari beberapa fakta-fakta bahwa kelompok Wahabi yang meragukan dan menentang
tradisi tahlilan di atas yang dianggap menyesatkan, terdapat sebuah pernyataan oleh Syekh
Ibn Taimiyah yang di klaim sebagai rujukan utama paham Wahabi yang ketika
diinterpretasikan tidaklah menentang hal-hal yang terdapat dalam komponen/komposisi
tradisi tahlilan. Sebagaimana dalam komponen tahlilan yang terdiri dari al-Qur’an pilihan,
tasbih, tahlil, shalawat, doa dan lainnya. Komposisi/komponen didalamya terdapat beberapa
dzikir pilihan sudah ada sejak berabad-abad lalu. Pernyataan Syekh Ibnu Taimiyah pernah
ditanya tentang ritual yang serupa dengan tahlilan, dan ia membenarkannya bahkan
menganjurkannya, sebagai berikut:
“Ibn Taimiyah ditanya, tentang seseorang yang memprotes ahli dzikir (berjamaah)
dengan berkata kepada mereka, “Dzikir kalian ini bid’ah mengeraskan suara yang kalian
lakukan juga bid’ah.” Mereka memulai dan menutup dzikirnya dengan al-Qur’an, lalu
mendoakan kaum muslimin yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Mereka
mengumpulkan antara tasbih, tahmid, tahlil, takbir, hauqalah (laa haula wa laa quwwata
illaa billaah) dan shalawat kepada Nabi saw?” Lalu Ibn Taimiyah menjawab: “Berjamaah
dalam dzikir, mendengarkan al-Qur’an dan berdoa adalah amal shaleh, termasuk qurbah
dan ibadah yang paling utama dalam setiap waktu.
Dalam shahih al Bukhari, Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah memiliki banyak
Malaikat yang selalu bepergian di muka bumi. Apabila mereka bertemu dengan sekumpulan
orang yang berdzikir kepada Allah, maka mereka terpanggil, “Silahkan sampaikan hajat
kalian”, lanjutkan hadits tersebut terdapat redaksi, “Kami menemukan mereka bertasbih
dan bertahmid kepada-Mu”… Adapun memelihara rutinitas aurad (bacaan-bacaan wirid)
seperti shalat, membaca al Qur’an, berdzikir atau berdoa, setiap pagi dan sore serta pada
sebagian waktu malam dan lain-lain, hal ini merupakan tradisi Rasulullah saw dan hamba-
hamba Allah yang salih, zaman dulu dan sekarang.” [Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, juz 2:
520] (Timur, 2016).
Dari pernyataan Syekh Ibn Taimiyah tersebut terdapat kesimpulan bahwa dzikir yang
dilakukan secara berjama’ah dengan komposisi seperti tahmid, tasbih, al-Qur’an, shalawat,
tahlil dan lainnya yang ada pada praktik tahlilan merupakan amal salih dan termasuk qurbah
dan ibadah yang terutama di setiap kondisi/waktu. Dari sini tentu antara Ulama rujukan
utama kelompok Wahabi dan para pengikut Wahabi belum ada kesamaan pendapat dalam
menyikapi tradisi sejenis tahlilan yang terdari dari beberapa komposisi bacaan tersebut. Tentu
tidak sepatutnya kelompok Wahabi langsung mengklaim tradisi tahlilan sebagai musyrik,
bid’ah, mengkafirkan dan menyesatkan orang yang melaksanakannya. Penolakan dan
keraguan pengikut aliran Wahabi tentu tidak sejalan dengan pernyataan Syekh Ibn Taimiyah
seperti halnya di atas.
Memang benar secara tekstual hadits tersebut dilakukan ketika sewaktu pemakaman
ketika sahabat Sa’ad bin Mu’adz dikebumikan. Namun, jika ditilik secara kontekstual
pembacaan takbir dan tasbih tersebut tidaklah terbatas hanya ketika waktu pemakaman saja,
dengan berbagai alasan yang dibilang tepat. Yakni ketika Rasul ditanya oleh sahabat selepas
membaca tasbih dan takbir, Rasulullah hanya menjawab bahwasannya bacaan tersebut bisa
bermanfaat untuk melepaskan Sa’ad bin Mu’az dari himpitan tanah kuburnya. Pertanyaan
yang dilontarkan sahabat tersebut hanya menanyakan hubungan bacaan takbir dan tasbih
dengan melepaskan sahabat Sa’ad bin Mu’az dari himpitan kuburnya, tanpa menghubungkan
waktu yang relevan atau waktu tertentu dalam membacakan bacaan takbir dan tasbih tersebut.
Dengan begitu, manfaat mambaca dzikir tidaklah berkaitan dengan kapan/waktu dibacanya,
akan tetapi manfaat/fadhilah tersebut tidaklah terbatas hanya ketika waktu pemakaman, dan
ini bersifat umum (Islam, 2017).
MAULID NABI
Hukum merayakan maulid nabi itu tidak boleh karna hal hal berikut:
a. Malam kelahiran Rasulullah tidak diketahui secara qath’i (pasti), bahkan sebagian
ulama kontemporer menguatkan pendapat yang mengatakan bahwasannya terjadi
pada malam ke 9 (sembilan) Rabi’ul Awwal dan bukan malam ke 12 (dua belas).Jika
demikian maka peringatan Maulid Nabi Muhammad yangbiasa diperingati pada
malam ke 12 (dua belas) Rabi’ul Awwal tidak ada dasarnya, bila dilihat dari sisi
sejarahnya.
b. . Di lihat dari sisi syar’i, maka peringatan Maulid Nabi juga tidak ada dasarnya.Jika
sekiranya acara peringatan Maulid Nabi disyari’atkan dalam agama ,maka pastilah
acara maulid ini telah di adakan oleh Nabi atau sudah barang tentu telahanjurkan
kepada ummatnya. sekiranya telahlaksanakan atau telahanjurkan kepada ummatnya,
niscaya ajarannya tetap terpelihara hingga hari ini, karena Allah ta’ala berfirman :
“Sesungguhnya Kami-lah yang telah menurunkan Al Al-Qur’an dan
sesungguhnyabenar-benar memeliharanya”.Q.S; Al Hijr : 9
Allah telah menentukan jalan yang harus ditempuh agar dapat sampai kepada-
Nya, yaitu jalan yang telah dilalui oleh Rasulullah , maka bagaimana mungkin sebagai
seorang hamba menempuh jalan lain dari jalan Allah, agar bisa sampai kepada
Allah?.Hal ini jelas merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak Allah,karena telah
membuat syari’at baru pada agama-Nya yang tidak ada perintah dari-Nya.Dan ini pun
termasuk bentuk pendustaan terhadap firman Allah ta’ala :
“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agama mu dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku-ridha’i Islam itu jadi agama bagimu“.Q.S; Al-
Maidah : 3.
COUNTER......................................