Anda di halaman 1dari 20

Keharaman Tawasul Versi Wahabi-Salafi

Wasitah/Tawasul dan Tabarruk          

                                         

Keharaman Tawasul Versi Wahabi

Seperti telah disinggung, kaum Wahabi adalah kelompok yang sangat gencar melarang tawasul.
Demikian pula dengan tabaruk dan  istighatsah. Argumen keharamannya juga berkenaan dengan
tuduhan bahwa praktik tawasul merusak kemurnian tauhid. Jadi, setelah diharamkan, menyusul
kemudian dengan tuduhan bid‘ah dhalalah dan syirik. Bagi kaum Wahabi, tawasul berarti
meminta pertolongan kepada selain Khaliq. Jika pandangannya demikian, tabaruk (mengambil
berkah dari orang saleh atau para wali) tidak ada dalam konsep keberagamaan Wahabi. Begitu
pula dengan istighatsah, karena dalam kamus mazhab Salafi-Wahabi, majlis zikir adalah bid‘ah
dhalalah.  

Secara leksikon, kata ‘tawasul’ mempunyai arti ‘darajah’  (kedudukan), ‘qurbah’ (kedekatan)
dan ‘wasilah’ (penyampai/ penghubung). Sehingga sewaktu di katakan bahwa ‘washala fulan
ilallah washilatan idza amala amalan taqarraba bihi ilaihi’ (Bila seseorang beramal dengan
amalan yang mendekatkan diri kepada Allah, amal tersebut dapat menjadi penghubung
menyampaikan dirinya kepada Allah Swt.)’. (Ibnu Mandzur, Kitab Lisan al-Arab jilid 11 asal
kata wa-sha-la).

Dalam Al-Quran terdapat penggunaan kata tawasul dalam ayat berikut: “Hai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan (wasilah) yang mendekatkan diri kepada-
Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan’ (QS Al-Maidah
[5]:35). Dalam ayat ini, Allah Swt. menjelaskan bahwa ketakwaan dan jihad merupakan sarana
untuk sampainya manusia menuju Allah Swt.

Secara garis besar tawasul/wasitah bermakna perantara. Dalam praktiknya, ia banyak dilakukan
ketika berdoa kepada Allah Swt.. Doa itu dilakukan dengan menyertakan nama Nabi Muhamad
Rasulallah Saw. atau nama pribadi seseorang yang masyhur dikenal sebagai ahli takwa. Atau
dengan menyebut-nyebut amal kebajikan si pendoa. Dengan tawasul ini, diyakini bahwa peluang
dikabulkannya harapan dan doa lebih besar. Yang penting ditekankan di sini bahwa tujuan
permintaan tetap ditujukan kepada Allah Swt. Termasuk juga praktik wasitah/ tawasul ialah
meminta bantuan kepada makhluk. Hal ini dipraktikkan dengan mengambil qiyas bahwa Nabi
Muhamad Saw. adalah pemberi syafaat kepada umatnya baik yang masih hidup maupun yang
telah wafat. Demikian pula, dengan permohonan kepada para sahabat Nabi Saw., kepada para
waliyullah atau ahli takwa, baik yang masih hidup maupun yang telah wafat.

Dalam perdebatan mengenai tawasul, yang menjadi pokok masalah adalah soal sarana-sarana
lain ,selain yang disebutkan dalam ayat di atas, yang dipandang sah menurut syariat Islam. Ini
pula yang menjadi bahan perdebatan antara kaum Wahabi dengan kelompok lain. Muhamad bin
Abdul Wahhab an-Najdi (pelopor dan imam gerakan Wahabi), dalam kitab Kasyfus Syubuhat
halaman 60, menyatakan,

Jika ada sebagian orang musyrik (baca: muslim non-Wahabi/ Salafi) mengatakan kepadamu,
‘Ingat lah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak
(pula) mereka bersedih hati’ (QS.Yunus [10]:62), atau mengatakan bahwa syafa’at adalah benar,
atau mengatakan bahwa para nabi memiliki kedudukan di sisi Allah, atau mengungkapkan
perkataan Nabi untuk berargumen menetapkan kebatilan mereka (seperti syafa’at, tawasul/
istighatsah, tabaruk—pen.), sedang kalian tidak memahaminya (tidak bisa menjawabnya)
katakanlah, ’Sesungguh- nya Allah dalam Al-Quran menjelaskan bahwa orang-orang yang
menyimpang adalah orang yang meninggalkan ayat-ayat yang jelas (muhkam) dan mengikuti
yang samar (mutasyabih)

Di sini jelas sekali, Muhamad bin Abdul Wahab menyatakan ‘sesat’ (bahkan menuduh musyrik)
orang-orang yang meyakini adanya syafa’at. Menarik untuk diperhatikan bahwa Muhamad bin
Abdul Wahhab mengajarkan kepada para pengikutnya “cara melarikan diri” dari diskusi
mengenai topik ini. Ia tidak mau memasuki topik ini secara detail, tapi langsung melompat pada
dalil lain tentang pembagian ayat mutasyabihat dan muhkamat. Tidak heran jika kita
menyaksikan bagaimana debat kaum Wahabi saat ini. Mereka banyak mengeluarkan dalil baik
dari nash Al-Quran maupun hadis, tapi sering kali konteksnya tidak tepat.

Nashiruddin Albani, seorang ahli hadis dari kalangan Wahabi-Salafi, pernah menyatakan dalam
salah satu karyanya yang berjudul at-Tawasul: Ahkamuhu wa Anwa‘uhu (Tawasul: hukum-
hukum dan jenis-jenisnya) begitu juga dalam mukadimahnya atas kitab Syarh at-Thahawiyah”
(hal.60), menyatakan, “Sesungguhnya masalah tawasul bukanlah tergolong masalah akidah.”

Lebih tegas lagi, pernyataan Abdullah bin Baz ,seorang mufti mazhab Wahabi, “Barangsiapa
yang meminta (istighatsah/ tawasul) kepada Nabi dan meminta syafaat darinya, ia telah merusak
keislamannya.” (Al-Aqidah as-Shahihah wa Nawaqidh al-Islam). Begitu pula, Abdul Aziz Bin
Baz ,Imam kelompok Wahabi, dalam kitab al-Fatawa al-Islamiyah jilid 4 hal.29 mengatakan,
“Meletakkan Al-Quran dalam kendaraan (mobil) untuk mencari berkah (tabaruk) merupakan
sesuatu yang tidak berasas (tidak ada asal/dasarnya) dalam syariat Islam.” Dengan kata lain,
Abdul Aziz bin Baz menyatakan bahwa perbuatan semacam itu (mencari berkah) tidak ada
dalilnya dan merupakan perbuatan bid’ah!

Ibnu Utsaimin dalam kitab Majmu’at al-Fatawa li Ibnui Utsaimin fatwa nomer 366 mengatakan:
“Mengambil berkah dari kisa’ (kain yang melingkari.red) Ka’bah dan mengusap-usapnya
merupakan perbuatan bid’ah, karena Nabi tidak pernah mengajarkannya”. Dalam kasus yang
sama (tabaruk) juga ia sebutkan dalam kitab Dalil al-Akhtha halaman 107, “Sebagian penziarah
mengusapkan tangannya ke mihrab, mimbar dan tembok-tembok masjid. Semua prilaku itu
masuk kategori bid’ah”. Inilah, fatwa Syeikh Utsaimin yang namanya selalu dicantumkan dalam
situs dan blog-blog kaum Wahabi/Salafi, selain Abdul Aziz Bin Baz di atas tadi.

Ibnu Fauzan ,kelompok ulama Salafi, dalam kitab al-Bid’ah hal.28-29 mengatakan, “Tabaruk


mempunyai arti mencari berkah, penetapan kebaikan, meminta kebaikan dan meminta tambahan
dari hal-hal tadi. Permintaan ini, harus diminta dari sesuatu yang pemiliknya memiliki
kemampuan. Ini tidak lain hanyalah Allah semata. Hanya Dia yang mampu menurunkan dan
menetapkannya. Tiada satu makhluk pun yang mampu memberi ampunan, memberi berkah atau
mengadakan dan menetapkan hal-hal tadi. Atas dasar itu, tidak diperbolehkan mengambil berkah
dari tempat-tempat, peninggalan-peninggalan ataupun dari seseorang, baik yang masih hidup
maupun yang telah wafat. Karena hal itu bisa masuk kategori syirik”.

Jika tadi Bin Baz dan Bin Usaimin menyebutnya sebagai perbuatan bid'ah, Ibnu Fauzan lebih
berani lagi menyatakan bahwa Pencari Berkah Tergolong Musyrik.

Para ulama Wahabisme  yang terhimpun dalam “al-Lajnah ad-Da’imah li al-Buhuts al-Ilmiyah


wa al-Ifta’” (Tim Tetap Pengkaji dan Pemberi Fatwa) dalam fatwanya nomer 3019 menyatakan,
“…Perhatian masyarakat terhadap masjid ini (masjid al-haramain-pen.) dengan mengusap-usap
tembok dan mihrab untuk mencari berkah merupakan pekerjaan bid’ah dan juga masuk dari
salah satu jenis syirik. Perbuatan ini, sama dengan perbuatan kaum kafir pada zaman jahiliyah”.

Ternyata kumpulan ulama Wahabi tersebut, ingin menyatukan antara fatwa para tokoh ulama
mereka. Sebagian dari mereka menyatakan “tabaruk” merupakan perbuatan bid’ah, sedang yang
lain menyatakan perbuatan syirik. Fatwa mereka ‘bid’ah dan syirik’ inilah,  yang harus kita garis
bawahi untuk bekal kajian berikutnya.

Bahkan, ibnu Taimiyah ,ulama yang sering disebut-sebut sebagai rujukan utama kaum Wahabi-
Salafi, dalam salah satu kitabnya At-Tawasul wal Wasilah, tidak terlalu tegas bersikap mengenai
soal tawasul. Terkadang beliau mengingkarinya, terkadang membolehkannya. Dan ada pula ia
mencoba menjawab masalah ini dengan mengklasifikasikan jenis-jenis tawasul. Dalam kitab itu,
Ibnu Taimiyah mengklasifikasikan tawasul dalam tiga jenis:

Pertama, tawasul dengan ketaatan Nabi dan keimanan kepadanya. Ini tergolong asal muasal
iman dan Islam. Barang- siapa yang mengingkarinya, berarti telah  kufur terhadap hal yang
umum dan yang khusus.  

Kedua, tawasul dengan doa dan syafa’at Nabi, dalam arti bahwa nabi secara langsung dapat
memberi syafa’at dan mendengar doa semasa hidupnya, sehingga di akhirat kelak, mereka akan
ber-tawasul kepadanya untuk mendapat syafa’atnya. Barangsiapa yang mengingkari hal tersebut,
dia tergolong kafir murtad dan harus diminta untuk bertaubat. Jika tidak, ia harus dibunuh karena
kemurtadannya.

Ketiga, tawasul untuk mendapat syafa’atnya pasca kewafatanya. Sungguh ini merupakan bid‘ah
yang dibuat-buat. (Ibnu Taimiyah, At-Tawasul wal Wasilah, hal. 13, 20, dan 50)

 
Dari penjelasan di atas tadi, menunjukkan bahwa pengkategorian bid‘ah tawasul menurut Ibnu
Taimiyah, terletak pada hidup dan wafatnya objek yang dijadikan tempat bertawasul.

Dalam kitab Qa‘idah Jalilah Fit-Tawasul Wal-Washilah ketika membahas firman Allah, “Hai
orang-orang yang beriman, bertakwa lah kepada Allah dan carilah jalan (wasilah) yang
mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat
keberuntungan.”(QS Al-Maidah [5]:35), Ibnu Taimiyah menulis, [“Mencari wasilah atau
bertawasul untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. hanya dapat dilakukan oleh orang yang
beriman kepada Muhamad Rasulallah Saw. dengan mengikuti tuntunan agamanya. Tawasul
dengan beriman dan taat kepada beliau Saw. adalah wajib bagi setiap orang, lahir dan batin, baik
di kala beliau masih hidup maupun setelah wafat, baik langsung di hadapan beliau sendiri atau
pun tidak.

Bagi setiap muslim, tawasul dengan iman dan taat kepada Rasulallah Saw. adalah suatu hal yang
tidak mungkin dapat ditinggalkan. Untuk memperoleh keridhaan Allah dan keselamatan dari
murka-Nya tidak ada jalan lain kecuali tawasul dengan beriman dan taat kepada Rasul-Nya.
Sebab, beliaulah penolong (Syafi’) umat manusia. Beliau Saw. adalah makhluk Allah termulia
yang dihormati dan diagungkan oleh manusia-manusia terdahulu maupun generasi-generasi
berikutnya hingga hari kiamat kelak. Di antara para Nabi dan Rasul yang menjadi penolong
umatnya masing-masing.

Muhamad Rasulallah Saw. adalah penolong (Syafi’) yang paling besar dan tinggi nilainya dan
paling mulia dalam pandangan Allah Swt. Mengenai Nabi Musa a.s., Allah Swt. berfirman,
bahwa Ia mulia di sisi Allah. Mengenai Nabi Isa a.s., Allah Swt. juga berfirman bahwa Ia mulia
di dunia dan di akhirat, namun dalam firman-firman-Nya yang lain menegaskan bahwa
Muhamad Rasulallah Saw. lebih mulia dari semua Nabi dan Rasul. Syafa’at dan doa beliau Saw.
pada hari kiamat hanya bermanfaat bagi orang yang bertawasul dengan iman dan taat kepada
beliau Saw.”.] Demikianlah pandangan Ibnu Taimiyah mengenai tawasul.

Dari penjelasan Ibnu Taimiyah di atas, dapat diambil dua pengertian:

Seorang Muslim yang taat, mencintai dan mengikuti tuntunan Rasulallah Saw. serta
mempercayai syafa’at beliau, dapat dibenarkan kalau ia bertawasul dengan keimananannya,
ketaatannya, kecintaannya dan kepatuhannya mengikuti tuntunan beliau Saw.. Kita bertawasul
dengan Nabi kita Muhamad Saw. dibawah kesaksian Allah Swt., bahwa tawasul kita itu benar-
benar atas dasar keimanan dan kecintaan kita kepada beliau Saw. Tambah lagi dengan keyakinan
kita bahwa beliau Saw. adalah seorang Nabi dan Rasul yang sangat mulia dan amat tinggi
martabatnya dalam pandangan Allah Swt..

 
Ibnu Taimiyah mengatakan, “barang siapa yang didoakan oleh Rasulallah Saw., ia dapat
bertawasul dengan doa beliau”. Mengenai itu, kita mempunyai keyakinan, Rasulallah Saw.
senantiasa mendoakan umatnya. Hal ini, kita ketahui dari berbagai hadis, antara lain yang di
riwayatkan oleh Aisyah r.a., ‘Aku tahu benar bahwa Rasulallah Saw. orang yang baik hati,
karena itu aku berani berkata kepada beliau, ‘Ya Rasulallah, berdoalah untukku.’ Kemudian
beliau berdoa, ‘Ya Allah, limpahkanlah ampunan-Mu bagi Aisyah atas segala dosanya di masa
lalu dan di masa mendatang, yang diperbuat secara diam-diam maupun secara terang-
terangan.’ Aisyah r.a. tertawa. Kepadanya Rasulallah Saw. bertanya, ‘Apakah engkau gembira
mendengar doaku?’ Ia menjawab, ‘Bagaimana aku tidak gembira karena doa anda? ’Rasulallah
Saw. kemudian menegaskan, ‘Itulah doa bagi umatku yang kuucapkan setiap shalat.’” (Hadis
ini, dikemukakan oleh Al-Bazzar dengan para perawi yang sahih, dan Ahmad bin Manshur Ar-
Ramadi sebagai orang yang dapat dipercaya, demikianlah menurut kitab Majma’ az-Zawa’id).

 Ada keterangan yang lebih mengherankan lagi, jika kaum Wahabi kontemporer sedemikian
gencar melarang tawasul. Muhamad Ibnu Abdul Wahab dalam kitabnya yang lain, Al-Istifta,
menunjukkan peralihan sikap. Sikap pertama, sebagaimana diikuti Albani dan Al-Baz ,ulama dan
mufti Wahabi modern, memandang soal tawasul sebagai merusak akidah. Sedangkan dalam
kitab Al-Istifta, Muhamad Ibnu Abd Wahab menyatakan, soal tawasul adalah soal ikhtilaf
fiqhiyah. Perbedaan mengenai soal cabang, bukan soal pokok (tauhid). Anehnya, kendati
demikian, kaum Wahabi tetap menolak dan melarang keras praktik tawasul.

Dalam kitab Al-Istifta dan diulang dalam Majmu’ah al-Muallafat bagian 111 halaman 68, yang
diterbitkan khusus oleh Universitas Islam Imam Muhamad bin Sa’ud dalam pekan peringatan
Muhamad Ibnu Abdul-Wahhab, tertulis:

“Tidak ada salahnya seseorang bertawasul kepada orang-orang saleh. Pendapat Imam Ahmad bin
Hanbal yang memperbolehkan tawasul khusus kepada Nabi Muhamad Saw. saja, berlainan
sekali dengan pendapat sementara orang yang tidak memperbolehkan minta pertolongan kepada
sesama makhluk. Banyak ulama yang tidak menyukai hal itu (tawasul). Kami sendiri sependapat
dengan jumhur ulama yang memandang tawasul itu makruh, tidaklah berarti bahwa kami
mengingkari atau melarang orang bertawasul. Kami pun tidak mempersalahkan orang yang
melakukan ijtihad mengenai soal itu. Yang kami ingkari dan tidak dapat dibenarkan ialah orang
yang lebih banyak meminta (berdoa) kepada sesama makhluk daripada mohon kepada Allah
Swt.. Yang kami maksud adalah orang yang minta-minta kepada kuburan, seperti kuburan
Syaikh Abdul Kadir Al-Jailani dan lain-lain. Kepada kuburan-kuburan itu mereka minta supaya
diselamatkan dari bahaya, minta supaya dipenuhi keinginannya dan lain sebagainya”.

Keterangan di atas berbeda sekali dengan isi surat yang dikirimkan oleh Muhamad Ibnu Abdul
Wahab kepada warga Qushim. Dalam surat itu, Muhamad Ibnu Abd Wahab menghukumi kafir
orang yang bertawasul kepada orang-orang saleh; menghukumi kafir Al-Bushairi (pengarang
kitab Burdah) atas kalimat ya akramal khalq... dan membakar kitab Dalailul Khairat. (lihat
kumpulan fatwa Syaikh Abdul Wahab yang diterbitkan oleh Universitas Muhamad Bin Saud
Riyadh bagian ketiga hal.68).
 

 Kelompok Wahabi-Salafi memahami tawasul sebagai bentuk penyembahan kepada selain Allah.
Mereka menyamakan argumen kaum jahiliah ketika diminta berhenti menyembah berhala,
“Kami tidak menyembah mereka (berhala-berhala) kecuali untuk mendekatkan diri kami
sedekatnya dengan Allah.” (QS. Az-Zumar [39]:3). Mereka mendudukan para ahli takwa dan
orang-orang saleh, yang dijadikan sebagai sarana (wasilah) dalam bertawasul sebagai “berhala”
yang disembah oleh para ahli tawasul. Karenanya, kaum Wahabi menyebut praktik tawasul
sebagai syirik.

Dengan asumsi seperti itu, kaum Pengingkar memperkuat tuduhannya dengan sejumlah dalil
nash mengenai larangan menyekutukan Allah Swt., antara lain:

“...Maka janganlah kalian menyembah kepada Allah (dengan) menyertakan seseorang…”  (QS
Al-Jin [72]: 18);

“Hanya Allah lah (yang berhak mengabulkan) doa yang benar. Apa-apa juga yang mereka seru
selain Allah tidak akan dapat mengabulkan apapun juga bagi mereka.” (QS. Ar-Ra’ad [13]: 14).
“Tahukah engkau, apakah hari pembalasan itu? Sekali lagi, tahukah engkau, apakah hari
pembalasan itu? Yaitu hari pada saat seseorang tidak berdaya sedikitpun menolong orang lain;
dan segala urusan pada hari itu berada di dalam kekuasaan Allah.” (QS. Al-Infithar [82]:17-
19). “Tidak ada sedikitpun campur tangan kamu (hai Muhamad) dalam urusan mereka (kaum
musyrikin)” (QS.Ali Imran : 128) Katakanlah (hai Muhamad): ‘Aku tidak berkuasa
mendatangkan ke manfaatan bagi diriku, dan tidak pula berkuasa menolak kemadharatan”.
(QS.Al-A’raf : 188)

Kelompok ini, menyamakan orang-orang yang bertawasul sama dengan kaum musyrikin
jahiliyah. Mereka menuduh, dengan bertawasul berarti mengakui dan meyakini adanya sifat-sifat
ketuhanan kepada objek tawasul, sebagaimana kaum musyrik jahiliyah menganggap patung-
patung mereka. Semuanya, dinilai telah menyembah selain Allah dan menyekutukan Allah
dengan yang lain. Paham seperti ini, adalah keliru.

Ayat-ayat suci tersebut pada hakekatnya ditujukan kepada mereka yang tidak berdoa kepada
Allah Swt.. Adapun, orang yang bertawasul berdoa hanya kepada Allah Swt. tidak kepada selain
Allah Swt.. Orang yang bertawasul dengan Nabi dan ahli takwa, sama sekali tidak mempunyai
pikiran atau keyakinan bahwa mereka itu akan menjadi sekutu Allah atau menyaingi kekuasaan-
Nya pada hari pembalasan! Setiap muslim tahu benar bahwa keyakinan seperti itu adalah sesat.

Begitu pula, ayat Al-A’raf:188 itu pun tidak pula pada tempatnya, karena Allah Swt. telah
mengaruniakan kedudukan (maqam) terpuji dan tertinggi kepada Rasulallah Saw. yaitu
kewenangan memberi syafa’at seizin Allah didunia dan akhirat.
Demikian pula, pernyataan beliau Saw. kepada kaum kerabatnya, beberapa saat setelah beliau
menerima wahyu Ilahi, ‘dan berilah peringatan kepada kaum kerabatmu yang terdekat’ (Asy-
Syu’ara : 214), yaitu: ‘Hai Fulan bin Fulan dan hai Fulanah binti Fulan, di hadapan Allah aku
(Muhammad saw.) tidak dapat memberi pertolongan apa pun kepada kalian…! 

Pernyataan Rasulallah Saw. itu tidak berarti lain kecuali bahwa beliau tidak berdaya menangkal
madharat/malapetaka yang telah dikenakan Allah kepada seseorang dan beliau Saw. pun tidak
berdaya menolak manfaat yang telah diberikan Allah Swt. kepada seseorang, sekalipun orang itu
kerabat beliau sendiri. Pengertian itu tidak ada kaitannya dengan tawasul. Bertawasul kepada
Rasulallah Saw. dalam berdoa  tidak berarti lain kecuali mengharapkan syafa’at beliau agar
Allah Swt. berkenan mengabulkan doa dan permohonan yang diminta. Adapun, soal terkabulnya
suatu doa atau tidak, sepenuhnya berada didalam kekuasaan Allah Swt.”. Demikianlah pula garis
besar pandangan Imam Asy-Syaukani mengenai soal tawasul.

Dan ayat Az-Zumar:3 diatas, oleh golongan pengingkar dijadikan dalil untuk melarang tabaruk
(pengambilan barokah) itu tidak tepat sekali, karena dalam ayat tersebut jelas tidak
menyebutkan; ‘Kami tidak mengambil barokah mereka melainkan....’, tapi diayat ini
menyebutkan; ‘Kami tidak menyembah mereka melainkan.....’

Kaum musyrikin Jahiliyah meyakini ’sifat ketuhanan’ kepada berhala-berhala secara hakiki,
bukan hanya sekedar wasitah ,sebagaimana ucapan mereka,  untuk mendekatkan hubungan 
dengan Allah. Mereka menyembah patung itu, menyekutukan Allah Swt. dan meyakini berhala-
berhala mempunyai kekuatan secara bebas, mampu menjauhkan segala marabahaya dan
memberikan manfaat kepada mereka. Sekiranya, kaum musyrikin benar-benar memandang
berhala atau sesembahan lainnya hanya sebagai wasitah, mereka tidak akan menyembahnya,
memberi sajian-sajian dan sebagainya. Begitu pula, mereka dalam perang Uhud Abu Sufyan bin
Harb tidak akan berteriak minta pertolongan pada berhalanya yang bernama Hubal: U’lu Hubal
artinya Jayalah Hubal. Abu Sufyan dan pasukan musyrikin yang dipimpinnya percaya dan
meyakini bahwa berhala Hubal akan dapat mengalahkan Allah Swt. dan Rasul-Nya serta
pasukan muslimin. Disini jelaslah kepercayaan, keimanan kaum musyrikin jauh berbeda dengan
keimanan kaum muslimin yang bertawasul tersebut.

Untuk menyerang kaum yang sering bertawasul, kaum Wahabi berargumen juga dengan dua
hadis berikut ini. Mereka memahami dua hadis berikut secara tekstual. Hadis yang dimaksud
adalah sebagai berikut:

ُ‫ه‬O‫ ْد َكتَب‬Oَ‫ ْيٍئ ق‬O‫ك إالَّ بِ َش‬ َ َ‫ت َعلَى اَ ْن يَ ْنفَعُوْ ن‬


َ ‫ك بِ َش ْيٍئ لَ ْم يَ ْنفَ َـعُو‬ َّ ‫ َوإ َذا ا ْستَ َع ْنتَ فَا ْست َِع ْن بَاهللِ َوا ْعلَ ْم‬,َ‫إ َذا َس ْألتَ فَاسْأ ِل هللا‬
ْ ‫أن االُ َّمةَ لَ ِو اجْ تَ َمـ َع‬
ُ
َ‫ك إالَّ بِ َش ْيٍئ قَد َكتَبَهُ هللاُ عَليْـَك‬َ ْ‫أن يَضُرُّ وْ كَ بِ َش ْيٍئ لَ ْم يَضُرُّ و‬ ْ ‫ َولَ ِو اجْ تَ َمعُوْ ا َعلَى‬,  ‫ك‬ َ َ‫هللاُ ل‬                                                                            

“Jika engkau minta sesuatu mintalah pada Allah dan jika engkau hendak minta pertolongan
mintalah kepada Allah. Ketahuilah, seumpama manusia sedunia berkumpul untuk menolongmu,
mereka tidak akan dapat memberi pertolongan, selain apa yang telah disuratkan Allah bagimu.
Dan seumpama mereka berkumpul untuk mencelakakan dirimu, mereka tidak akan dapat berbuat
mencelakakan dirimu selain dengan apa yang telah disuratkan Allah menjadi nasibmu” (HR.
Tirmidzi).

Pada zaman Rasulallah Saw. ada seorang munafik yang selalu mengganggu kehidupan kaum
muslimin. Ketika itu Abu Bakar r.a. berkata pada teman-temannya, “Mari kita minta pertolongan
pada Rasulallah dari gangguan si munafik itu.” Kepada mereka beliau Saw. menjawab, “Itu tidak
dapat dimintakan pertolongan kepadaku, tetapi hanya dapat dimintakan pertolongan kepada
Allah.” (HR. Thabrani)

Dengan riwayat di atas, bagi kaum Wahabi-Salafi semua permintaan dan semua pertolongan
yang diminta dari selain Allah adalah syirik (keluar dari agama). Berbeda dengan kaum Sunni
yang memahami hadis-hadis tersebut sebagai peringatan agar kaum Muslim jangan lengah,
segala sebab musabab yang mendatangkan kebaikan berasal dari Allah Swt. Jadi bila hendak
minta tolong pada manusia, haruslah tetap yakin bahwa bisa atau tidak, mau atau tidak mau,
sepenuhnya tergantung pada kehendak dan izin Allah Swt. Hadis-hadis di atas, bagi kebanyakan
kaum Sunnni bermakna untuk memantapkan akidah. Posisi para nabi dan wali Allah hanyalah
sebagai wasilah (perantara), tidak lebih dari itu. Kalau mereka bersikeras mempunyai
paham ,tidak boleh minta tolong kepada sesama makhluk, hanya kepada Allah Swt., maka hadis
akan berlawanan dengan beberapa hadis berikut ini;

Rasulallah Saw. bersabda;

ِ ‫وهللاُ فِى عَوْ ِن ال َع ْب ِد َما َكانَ ال َع ْب ُد فِى عَوْ ِن‬                


‫أخ ْي ِه‬ َ

‘Allah menolong hamba-Nya selagi hamba itu mau menolong saudaranya’. Atau sabda
Rasulallah Saw.;

َ ‫واُوالَِئـ‬ ‫ َح َواِئ ِج ِه ْم‬ ‫ع النَّاسُ إلَ ْي ِه ْم فِي‬


ُ ‫اس يَ ْف َز‬ ْ ِ ‫إن هَّلِل‬
ِ ‫ك اآل ِمنُوْ نَ ِم ْن َع َذا‬
 ِ‫ب هللا‬ ِ ‫خلـقًا َخلَقَهُ ْم لِ َح َواِئ‬
ِ َّ‫ج الن‬ َّ                                       

.‘Allah mempunyai makhluk yang diciptakan untuk keperluan orang banyak. Kepada mereka itu,
banyak orang mohon pertolongan untuk memenuhi kebutuhannya. Mereka adalah, orang-orang
yang selamat dari siksa Allah’.

Sebuah riwayat dari Abdullah bin Abbas r.a. mengatakan bahwa Rasulallah Saw. bersabda:
“Banyak Malaikat Allah dimuka bumi selain yang bertugas mengawasi amal perbuatan manusia.
Mereka mencatat setiap lembar daun yang jatuh dari batangnya. Oleh karenanya, jika seorang
diantara kalian tersesat ditengah sahara (atau tempat lainnya), hendaklah ia berseru: ‘Hai para
hamba Allah tolonglah aku’ “.(HR.At-Thabrani dengan para perawi yang terpercaya).

Abdullah bin Mas’ud r.a meriwayatkan, Rasulallah Saw.  bersabda: “Jika seorang diantara kalian
ternak piaraannya terlepas ditengah sahara, hendaklah ia berseru: ’Hai para hamba Allah,
tahanlah ternakku…,hai para hamba Allah tahanlah ternakku’. Karena sesungguhnya Allah
mempunyai makhluk (selain manusia) dimuka bumi yang siap memberi pertolongan”. (HR. Abu
Ya’la dan At-Thabarani dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya, kecuali satu orang yang
dipandang lemah yaitu Ma’ruf bin Hasan). Imam Nuruddin Ali bin Abubakar Al-Haitsami juga
mengetengahkan riwayat ini dalam Majma’uz-Zawaid Wa Manba’ul-Fuwa’id jilid X/132.

Utbah bin Ghazwan mengatakan, ia pernah mendengar Rasulallah saw. bersabda: “Jika seorang
dari kalian kehilangan sesuatu atau ia membutuhkan bantuan, saat ia berada didaerah dimana ia
tidak mempunyai kenalan, ucapkanlah; ’Hai para hamba Allah, tolonglah aku’, karena
sesungguhnya Allah mempunyai hamba-hamba (makhluk-makhluk ciptaan-Nya selain manusia)
yang tidak kita lihat”. Dan Utbah sendiri telah mencoba melaksanakan anjuran Rasulallah Saw.
ini! Riwayat ini, di ketengahkan oleh At-Thabarani dengan para perawi yang dapat dipercaya,
kecuali Yazid bin Ali, oleh At-Thabarani di pandang lemah, karena Yazid ini tidak hidup
sezaman dengan Utbah. Hadis-hadis diatas ini, membuktikan permintaan tolong kepada hamba
Allah yang tidak kelihatan (gaib) juga mustahab.

Begitu pula, bila tawasul, tabaruk dilarang dalam syariat Islam dan sebagai perbuatan
syirik ,versi Wahabi-Salafi, akan berlawawan banyak hadis yeng melegalkan praktik tawasul dan
tabaruk, sebagaimana yang telah kami tulis dalam site ini.

Bagi mayoritas ulama Sunni,  penghormatan, pemuliaan, tawasul dan tabaruk terhadap para
Nabi, Waliyullah serta orang-orang saleh lainnya merupakan hal yang mustahab (dibolehkan).
Para nabi, wali dan orang-orang saleh adalah kelompok yang selalu mendekatkan diri kepada
Allah. Mereka berzikir siang malam.

Dalam surah Yunus : 62-63 Allah Swt. berfirman  :

ْ ْ‫اَآل اِ َّن اَوْ لِيَا َء هللا آل َخو‬


  َ‫فُ َعلَ ْي ِه ْم َوالهُ ْم يَحْ زَ نُوْ نَ الَّ ِذ ْينَ آ َمنُوْ ا َوكاَنُوْ ا يَتَّقُون‬

 "Ketahuilah, sesungguhnya para wali Allah itu tidak khawatir terhadap mereka dan tidak pula
mereka itu bersedih hati. Mereka adalah orang orang beriman dan senantiasa bertakwa”.

Rasulallah Saw. menyebutkan kemuliaan dan keistemewaan para wali Allah (salihin) dari hadis
yang berasal dari Mu’az bin Jabal r.a., dimana Rasulallah Saw. bersabda,

َ َ‫ص َدقَةٌ َو ِذ ْك ُر القَب ِْر يُقَرِّ بُ ُك ْم ِمن‬


‫الجنَّ ِة‬ َ َّ‫ َو ِذ ْك ُر الصَّالِ ِح ْينَ َكف‬, ‫ ِذ ْك ُر األ ْنبِيَا ِء ِمنَ ال ِعبَا َد ِة‬.                                
ِ ْ‫ارةٌ َو ِذ ْك ُر ال َمو‬
َ ‫ت‬

 “Ingat kepada para nabi adalah bagian dari ibadah; ingat kepada orang-orang saleh adalah
kafarah (menebus dosa); ingat mati adalah sedekah dan ingat kuburan mendekatkan kalian
kepada surga” (HR Ad-Dailimi).

 
Ibnu Babuwaih dalam kitab Al-Mujalasah dan Ibnu ‘Uqdah didalam Masnad-nya meriwayatkan
sebuat hadits dari ‘Aisyah ra. yang menuturkan bahwa Rasulallah saw. pernah bersabda:       

‫ ِذ ْك ُر َعلِ ِّي ( ْب ِن أبِي طَالِبْ ) ِعبَادَة‬                                      

“Ingat kepada ‘Ali (bin Abi Thalib) adalah ibadah”.

Mengingat mereka saja sudah termasuk ‘ibadah apalagi sering mendekati mereka itu adalah
amalan yang baik.Sebagaimana firman Allah Swt.:       ‫ َو ُكونُوا َم َع الصَّا ِدقِي ِن‬        ...          

“....Dan bergabunglah kamu sekalian dengan orang-orang yang tulus (Rasulallah, para salehin).
(QS. At-Taubah : 119)

Agaknya, sulit bagi golongan pengingkar untuk menerima kedudukan khusus para nabi, wali dan
orang-orang saleh. Dipastikan juga, bahwa golongan ini sulit menerima kenyataan tawasul
kepada para nabi, wali dan orang-orang saleh yang gerak-geriknya selalu dalam bimbingan Allah
Swt.. Karena jika melibatkan para nabi, wali dan orang-orang saleh dalam berdoa kepada Allah,
bagi golongan ini berarti menempatkan para nabi, wali dan orang-orang saleh sebagai
berhala.Wallahua'lam

Silahkan ikuti kajian berikutnya

Hukum Berdo’a dengan Tawassul


Hukum Berdo’a dengan Tawassul
Di antara yang sering dtuduhkan kepada umat adalah syirik bertawasul, ini yang sering di lontarkan
wahabi/salafi, benarkah tuduhan itu? Untuk menjawabnya, maka kami mengulasnya di bawah ini,
sebagai bantahan atas tuduhan tak berdasar dari mereka.

Pengertian Tawassul Pemahaman tawassul sebagaimana yang dipahami oleh umat islam selama ini
adalah bahwa Tawassul adalah berdoa kepada Allah melalui suatu perantara, baik perantara tersebut
berupa amal baik kita ataupun melalui orang sholeh yang kita anggap mempunyai posisi lebih dekat
kepada Allah. Jadi tawassul merupakan pintu dan perantara doa untuk menuju Allah SWT.

• Orang yang bertawassul dalam berdoa kepada Allah menjadikan perantaraan berupa sesuatu yang
dicintainya dan dengan berkeyakinan bahwa Allah SWT juga mencintai perantaraan tersebut.

• Orang yang bertawassul tidak boleh berkeyakinan bahwa perantaranya kepada Allah bisa memberi
manfaat dan madlorot kepadanya dan. Jika ia berkeyakinan bahwa sesuatu yang dijadikan perantaraan
menuju Allah SWT itu bisa memberi manfaat dan madlorot, maka dia telah melakukan perbuatan syirik,
karena yang bisa memberi manfaat dan madlorot sesungguhnya hanyalah Allah semata.

• Tawassul merupakan salah satu cara dalam berdoa. Banyak sekali cara untuk berdo’a agar dikabulkan
Allah, seperti berdoa di sepertiga malam terakhir, berdoa di Maqam Multazam, berdoa dengan
mendahuluinya dengan bacaan alhamdulillah dan sholawat dan meminta doa kepada orang sholeh.
Demikian juga tawassul adalah salah satu usaha agar do’a yang kita panjatkan diterima dan dikabulkan
Allah s.w.t. Dengan demikian, tawasul adalah alternatif dalam berdoa dan bukan merupakan keharusan.

Tawassul dengan amal sholeh kita

Para ulama sepakat memperbolehkan tawassul terhadap Allah SWT dengan perantaraan perbuatan
amal sholeh, sebagaimana orang yang sholat, puasa, membaca al-Qur’an, kemudian mereka bertawassul
terhadap amalannya tadi. Seperti hadis yang sangat populer diriwayatkan dalam kitab-kitab sahih yang
menceritakan tentang tiga orang yang terperangkap di dalam goa, yang pertama bertawassul kepada
Allah SWT atas amal baiknya terhadap kedua orang tuanya, yang kedua bertawassul kepada Allah SWT
atas perbuatannya yang selalu menjahui perbuatan tercela walaupun ada kesempatan untuk
melakukannya dan yang ketiga bertawassul kepada Allah SWT atas perbuatannya yang mampu menjaga
amanat terhadap harta orang lain dan mengembalikannya dengan utuh, maka Allah SWT memberikan
jalan keluar bagi mereka bertiga.. (Ibnu Taimiyah mengupas masalah ini secara mendetail dalam
kitabnya Qoidah Jalilah Fii Attawasul Wal wasilah hal: 160)
Tawassul dengan orang sholeh

Adapun yang menjadi perbedaan dikalangan ulama’ adalah bagaimana hukumnya tawassul tidak dengan
amalnya sendiri melainkan dengan seseorang yang dianggap sholeh dan mempunyai martabat dan
derajat tinggi di depan Allah SWT. sebagaimana ketika seseorang mengatakan : “Ya Allah aku
bertawassul kepada-Mu melalui Nabi-Mu Muhammmad atau Abu bakar atau Umar dll”.

Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini. Pendapat mayoritas ulama mengatakan boleh,
namun beberapa ulama mengatakan tidak boleh. Akan tetapi kalau dikaji secara lebih detail dan
mendalam, perbedaan tersebut hanyalah sebatas perbedaan lahiriyah bukan perbedaan yang mendasar
karena pada dasarnya tawassul kepada dzat (entitas seseorang), pada intinya adalah tawassul pada amal
perbuatannnya, sehingga masuk dalam kategori tawassul yang diperbolehkan oleh ulama’.

Dalil-Dalil Tentang Tawassul

Dalam setiap permasalahan apapun suatu pendapat tanpa didukung dengan adanya dalil yang dapat
memperkuat pendapatnya, maka pendapat tersebut tidak dapat dijadikan sebagai pegangan. Dan secara
otomatis pendapat tersebut tidak mempunyai nilai yang berarti, demikian juga dengan permasalahan
ini, maka para ulama yang mengatakan bahwa tawassul diperbolehkan menjelaskan dalil-dalil tentang
diperbolehkannya tawassul baik dari nash al-Qur’an maupun hadis, sebagai berikut:

A. Dalil dari al-Qur’an.

1. Allah SWT berfirman dalam surat Almaidah : 35

‫ياأيها الذين آمنوااتقواهللا وابتغوا إليه الوسيلة‬


“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri
kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.”

2. Suat Al-Isra [17] : 57

ً‫ان َمحْ ُذورا‬


َ ‫ك َك‬ َ ‫ون َع َذا َب ُه ِإنَّ َع َذ‬
َ ‫اب َر ِّب‬ َ ‫ون ِإلَى َرب ِِّه ُم ْال َوسِ يلَ َة َأ ُّي ُه ْم َأ ْق َربُ َو َيرْ ج‬
َ ُ‫ُون َرحْ َم َت ُه َو َي َخاف‬ َ ‫ُون َي ْب َت ُغ‬
َ ‫ِين َي ْدع‬ َ َ‫ُأول‬
َ ‫ـِئك الَّذ‬

“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka, siapa di antara
mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya,
sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti”

Maksudnya: Nabi Isa a.s., para malaikat dan ‘Uzair yang mereka sembah itu menyeru dan mencari jalan
mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Lafadl Alwasilah dalam ayat ini adalah umum, yang berarti mencakup tawassul terhadap dzat para nabi
dan orang-orang sholeh baik yang masih hidup maupun yang sudah mati, ataupun tawassul terhadap
amal perbuatan yang baik-baik.

Wasilah dalam berdoa sebetulnya sudah diperintahkan sejak jaman sebelum Nabi Muhammad SAW. QS
12 : 97-98 mengkisahkan saudara-saudara Nabi Yusuf AS yang memohon ampunan kepada Allah SWT
melalui perantara ayahandanya yang juga Nabi dan Rasul, yakni Nabi Ya’qub AS. Dan beliau sebagai Nabi
sekaligus ayah ternyata tidak menolak permintaan ini, bahkan menyanggupi untuk memintakan
ampunan untuk putera-puteranya QS Yusuf [12] : 97-98

‫ف َأسْ َت ْغفِ ُر َل ُك ْم َرب َِّي ِإ َّن ُه ه َُو ْال َغفُو ُر الرَّ حِي ُم‬ َ ِ‫ َيا َأ َبا َنا اسْ َت ْغفِرْ لَ َنا ُذ ُنو َب َنا ِإ َّنا ُك َّنا َخاط‬. ‫َقالُو ْا‬
َ ‫ َقا َل َس ْو‬.‫ِئين‬

“Mereka berkata: “Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami,
sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa)”. Nabi Ya’qub berkata: “Aku akan
memohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”.

Di sini nampak jelas bahwa sudah sangat lumrah memohon sesuatu kepada Allah SWT dengan
menggunakan perantara orang yang mulia kedudukannya di sisi Allah SWT. Bahkan QS 17:57 dengan
jelas mengistilahkan “ayyuhum aqrabu”, yakni memilih orang yang lebih dekat (kepada Allah SWT)
ketika berwasilah.

3. Ummat Nabi Musa AS berdoa menginginkan selamat dari adzab Allah SWT dengan meminta bantuan
Nabi Musa AS agar berdoa kepada Allah SWT untuk mereka. Bahkan secara eksplisit menyebutkan
kedudukan Nabi Musa AS (sebagai Nabi dan Utusan Allah SWT) sebagai wasilah terkabulnya doa mereka.
Hal ini ditegaskan QS 7:134 dengan istilah ‫ندَك‬
َ ِ‫ ِب َما َع ِهدَ ع‬Dengan (perantaraan) sesuatu yang diketahui
Allah SWT. ada pada sisimu (kenabian)
Demikian pula hal yang dialami oleh Nabi Adam AS, sebagaimana QS 2:37

‫اب َعلَ ْي ِه ِإ َّن ُه ه َُو ال َّت َّوابُ الرَّ حِي ُم‬ ٍ ‫َف َتلَ َّقى آ َد ُم مِن رَّ ِّب ِه َكلِ َما‬
َ ‫ت َف َت‬

“Kemudian Nabi Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”.

“Kalimat yang dimaksud di atas, sebagaimana diterangkan oleh ahli tafsir berdasarkan sejumlah hadits
adalah tawassul kepada Nabi Muhammad SAW, yang sekalipun belum lahir namun sudah dikenalkan
namanya oleh Allah SWT, sebagai nabi akhir zaman.

4. Bertawassul ini juga diajarkan oleh Allah SWT di QS 4:64 bahkan dengan janji taubat mereka pasti
akan diterima. Syaratnya, yakni mereka harus datang ke hadapan Rasulullah dan memohon ampun
kepada Allah SWT di hadapan Rasulullah SAW yang juga mendoakannya.

َ ‫اع بِِإ ْذ ِن هّللا ِ َولَ ْو َأ َّن ُه ْم ِإذ َّظلَمُو ْا َأنفُ َس ُه ْم َجآُؤ‬


‫وك َفاسْ َت ْغ َفرُو ْا هّللا َ َواسْ َت ْغ َف َر لَ ُه ُم الرَّ سُو ُل َل َو َجدُو ْا هّللا َ َت َّوابًا رَّ حِيمًا‬ ٍ ‫َو َما َأرْ َس ْل َنا مِن رَّ س‬
َ ‫ُول ِإالَّ ِل ُي َط‬

“Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya
jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan
Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat
lagi Maha Penyayang.”

B. Dalil dari hadist.

1. Tawassul kepada Nabi Muhammad SAW sebelum lahir sebagaimana Nabi Adam AS pernah melakukan
tawassul kepada Nabi Muhammad SAW. Imam Hakim Annisabur meriwayatkan dari Umar berkata,
bahwa Nabi bersabda:

‫ يا آدم كيف‬: ‫ يا ربى ! إنى أسألك بحق محمد لما غفرتنى فقال هللا‬: ‫ لما اقترف آدم الخطيئة قال‬: ‫قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬
‫ يا ربى ألنك لما خلقتنى بيدك ونفخت فيّ من روحك رفعت رأسى فرأيت على قوائم العرش مكتوبا الإله إال‬: ‫عرفت محمدا ولم أخلقه قال‬
‫ ادعنى بحقه فقد‬،‫ صدقت يا آدم إنه ألحب الخلق إلي‬: ‫هللا محمد رسول هللا فعلمت أنك لم تضف إلى إسمك إال أحب الخلق إليك فقال هللا‬
)615 :‫ ص‬2 : ‫ ولوال محمد ما خلقتك (أخرجه الحاكم فى المستدرك وصححه ج‬،‫غفرت لك‬

“Rasulullah s.a.w. bersabda: “Ketika Adam melakukan kesalahan, lalu ia berkata Ya Tuhanku,
sesungguhnya aku memintaMu melalui Muhammad agar Kau ampuni diriku”. Lalu Allah berfirman:
“Wahai Adam, darimana engkau tahu Muhammad padahal belum aku jadikan?” Adam menjawab:”Ya
Tuhanku ketika Engkau ciptakan diriku dengan tanganMu dan Engkau hembuskan ke dalamku sebagian
dari ruh-Mu, maka aku angkat kepalaku dan aku melihat di atas tiang-tiang Arash tertulis “Laailaaha
illallaah muhamadun rasulullah” maka aku mengerti bahwa Engkau tidak akan mencantumkan sesuatu
kepada nama-Mu kecuali nama mahluk yang paling Engkau cintai”. Allah menjawab: “Benar Adam,
sesungguhnya ia adalah mahluk yang paling Aku cintai, bredoalah dengan melaluinya maka Aku telah
mengampunimu, dan andaikan tidak ada Muhammad maka tidaklah Aku menciptakanmu”
Imam Hakim berkata bahwa hadis ini adalah shohih dari segi sanadnya. Demikian juga Imam Baihaqi
dalam kitabnya Dalail An-Nubuwwah, Imam Qostholany dalam kitabnya Al-Mawahib 2/392 , Imam
Zarqoni dalam kitabnya Syarkhu Al-Mawahib Laduniyyah 1/62, Imam Subuki dalam kitabnya Shifa’ As-
Saqom dan Imam Suyuti dalam kitabnya Khosois An-Nubuwah, mereka semua mengatakan bahwa hadis
ini adalah shohih.

Dan dalam riwayat lain, Imam Hakim meriwayatkan dari Ibnu Abbas dengan redaksi:

615:‫ وص‬2 :‫فلوال محمد ما خلقت آدم وال الجنة وال النار (أخرجه الحاكم فى المستدرك ج‬

Beliau mengatakan bahwa hadis ini adalah shohih dari segi sanad, demikian juga Syekh Islam Al-bulqini
dalam fatawanya mengatakan bahwa ini adalah shohih, dan Syekh Ibnu Jauzi memaparkan dalam
permulaan kitabnya Al-wafa’ , dan dinukil oleh Ibnu Kastir dalam kitabnya Bidayah Wannihayah 1/180.
Walaupun dalam menghukumi hadis ini tidak ada kesamaan dalam pandangan ulama’, hal ini
disebabkan perbedaan mereka dalam jarkh wattta’dil (penilaian kuat dan tidak) terhadap seorang rowi,
akan tetapi dapat diambil kesimpulan bahwa tawassul terhadap Nabi Muhammad SAW adalah boleh.

2. Tawassul kepada Nabi Muhammad SAW dalam masa hidupnya. Diriwatyatkan oleh Imam Hakim:

‫ يا رسول هللا ! ليس لى‬: ‫ فقال‬،‫عن عثمان بن حنيف قال سمعت رسول هللا صلى هللا عليه وسلم وجاءه رجل ضريرفشكا إليه ذهاب بصره‬
‫ اللهم إنى أسألك وأتوجه إليك لنبيك محمد‬: ‫ائت الميضاة فتوضأ ثم صل ركعتين ثم قل‬: : ‫قائد وقد شق علي فقال رسول هللا عليه وسلم‬
‫ فوهللا ما تفرقنا وال‬: ‫ قال عثمان‬،‫ اللهم شفعه فيّ وشفعنى فى نفسى‬،‫نبي الرحمة يا محمد إنى أتوجه بك إلى ربك فيجلى لى عن بصرى‬
)‫ (أخرجه الحاكم فى المستدرك‬.‫طال بنا الحديث حتى دخل الرجل وكأنه لم يكن به ضر‬

Dari Utsman bin Hunaif: “Suatu hari seorang yang lemah dan buta datang kepada Rasulullah s.a.w.
berkata: “Wahai Rasulullah, aku tidak mempunyai orang yang menuntunku dan aku merasa berat”
Rasulullah berkata “Ambillah air wudlu, lalu beliau berwudlu dan sholat dua rakaat, dan berkata:
“bacalah doa (artinya)” Ya Allah sesungguhnya aku meminta-Mu dan menghadap kepada-Mu melalui
nabi-Mu yang penuh kasih sayang, wahai Muhammad sesungguhnya aku menghadap kepadamu dan
minta Tuhanmu melaluimu agar dibukakan mataku, Ya Allah berilah ia syafa’at untukku dan berilah aku
syafaat”. Utsman berkata: “Demi Allah kami belum lagi bubar dan belum juga lama pembicaraan kami,
orang itu telah datang kembali dengan segar bugar”. (Hadist riwayat Hakim di Mustadrak)

Beliau mengatakan bahwa hadis ini adalah shohih dari segi sanad walaupun Imam Bukhori dan Imam
Muslim tidak meriwayatkan dalam kitabnya. Imam Dzahabi mengatakatan bahwa hadis ini adalah
shohih, demikian juga Imam Turmudzi dalam kitab Sunannya bab Daa’wat mengatakan bahwa hadis ini
adalah hasan shohih ghorib.

Dan Imam Mundziri dalam kitabnya Targhib Wat-Tarhib 1/438, mengatakan bahwa hadis ini
diriwayatkan oleh Imam Nasai, Ibnu Majah dan Imam Khuzaimah dalam kitab shohihnya.

3. Tawassul kepada Nabi Muhammad SAW setelah meninggal. Diriwayatkan oleh Imam Addarimi:
‫ انظروا قبر النبي فاجعلوا منه كوا إلى‬: ‫ قحط أهل المدينة قحطا شديدا فشكوا إلى عائشة فقالت‬: ‫عن أبى الجوزاء أ وس بن عبد هللا قال‬
‫ ففعلوا فمطروا مطرا حتى نبت العشب وسمنت اإلبل حتى تفتقط من السحم فسمي عام‬: ‫السماءـ حتى ال يكون بينه وبين السماء سقف قال‬
)43 : ‫ ص‬1 : ‫الفتق ( أخرجه اإلمام الدارمى ج‬

Dari Aus bin Abdullah: “Sautu hari kota Madina mengalami kemarau panjang, lalu datanglah penduduk
Madina ke Aisyah (janda Rasulullah s.a.w.) mengadu tentang kesulitan tersebut, lalu Aisyah berkata:
“Lihatlah kubur Nabi Muhammad s.a.w. lalu bukalah sehingga tidak ada lagi atap yang menutupinya dan
langit terlihat langsung”, maka merekapun melakukan itu kemudian turunlah hujan lebat sehingga
rumput-rumput tumbuh dan onta pun gemuk, maka disebutlah itu tahun gemuk” (Riwayat Imam
Darimi)

Diriwayatkan oleh Imam Bukhori:

‫ اللهم إنا كنا نتوسل إليك بنبينا فتسقينا وإنا‬: ‫عن أنس بن مالك إن عمر بن خطاب كان إذا قطحوا استسقى بالعباس بن عبد المطلب فقال‬
) 137:‫ ص‬1 :‫ فيسقون (أخرجه اإلمام البخارى فى صحيحه ج‬: ‫ننتوسل إليك بعم نبينا فاسقنا قال‬

Riwayat Bukhari: dari Anas bin Malik bahwa Umar bin Khattab ketika menghadapi kemarau panjang,
mereka meminta hujan melalui Abbas bin Abdul Muttalib, lalu Abbas berkata: “Ya Tuhanku
sesungguhkan kami bertawassul (berperantara) kepadamu melalui Nabi kami maka turunkanlah hujan
dan kami bertawassul dengan paman Nabi kami maka turunkanlah hujan, lalu turunlah hujan.

4. Nabi Muhammad SAW melakukan tawassul.

‫ اللهم إنى أسألك بحق السائلين عليك‬: ‫ فقال‬،‫ من خرج من بيته إلى الصالة‬: ‫ رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬: ‫عن أبى سعيد الحذري قال‬
،‫ـ خرجت إتقاء شخطك وابتغاء مرضاتك فأسألك أن تعيذنى من النار‬،‫وبحق ممشاى هذا فإنى لم أخرج شرا وال بطرا وال رياءا وال سمعة‬
‫ أقبل هللا بوجهه واستغفر له سبعون ألف ملك (أخرجه بن ماجه وأحمد وبن حزيمة وأبو‬،‫ إنه ال يغفر الذنوب إال أنت‬،‫وأن تغفر لى ذنوبى‬
)‫نعيم وبن سنى‬.

Dari Abi Said al-Khudri: Rasulullah s.a.w. bersabda: “Barangsiapa keluar dari rumahnya untuk
melaksanakan sholat, lalu ia berdoa: (artinya) Ya Allah sesungguhnya aku memintamu melalui orang-
orang yang memintamu dan melalui langkahku ini, bahwa aku tidak keluar untuk kejelekan, untuk
kekerasan, untuk riya dan sombong, aku keluar karena takut murka-Mu dan karena mencari ridla-Mu,
maka aku meminta-Mu agar Kau selamatkan dari neraka, agar kau ampuni dosaku sesungguhnya tiada
yang mengampuni dosa kecuali diri-Mu”, maka Allah akan menerimanya dan seribu malaikat
memintakan ampunan untuknya”. (Riwayat Ibnu Majad dll.).

Imam Mundziri mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dengan sanad yang
ma’qool, akan tetapi Alhafidz Abu Hasan mengatakan bahwa hadis ini adalah hasan.( Targhib Wattarhib
2/ 119).Alhafidz Ibnu Hajar mengatakan bahwa hadis ini adalah hasan dan diriwayatkan oleh Imam
Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Abu Na’im dan Ibnu Sunni.(Nataaij Al-afkar 1/272). Imam Al I’roqi dalam
mentakhrij hadis ini dikitab Ikhya’ Ulumiddin mengatakan bahwa hadis ini adalah hasan, (1/323).
Imam Bushoiri mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ibnu Khuzaimah dan hadis ini
shohih, (Mishbah Alzujajah 1/98).

Pandangan Para Ulama’ Tentang Tawassul Untuk mengetahui sejauh mana pembahasan tawassul telah
dikaji para ulama, ada baiknya kita tengok pendapat para ulama terdahulu.

Kadang sebagian orang masih kurang puas, jika hanya menghadirkan dalil-dalil tanpa disertai oleh
pendapat ulama’, walaupun sebetulnya dengan dalil saja tanpa harus menyertakan pendapat ulama’
sudah bisa dijadikan landasan bagi orang meyakininya. Namun untuk lebih memperkuat pendapat
tersebut, maka tidak ada salahnya jika disini dipaparkan pandangan ulama’ mengenai hal tersebut.

Pandangan Ulama Madzhab Pada suatu hari ketika kholifah Abbasiah Al-Mansur datang ke Madinah dan
bertemu dengan Imam Malik, maka beliau bertanya:”Kalau aku berziarah ke kubur Nabi saw, apakah
menghadap kubur atau qiblat? Imam Malik menjawab: “Bagaimana engkau palingkan wajahmu dari
(Rasulullah) padahal ia perantaramu dan perantara bapakmu Adam kepada Allah, sebaiknya
menghadaplah kepadanya dan mintalah syafaat maka Allah akan memberimu syafaat”. (Al-Syifa’
karangan Qadli ‘Iyad al-Maliki jus: 2 hal: 32).

Demikian juga ketika Imam Ahmad bin Hanbal bertawassul kepada Imam Syafi’i dalam doanya, maka
anaknya yang bernama Abdullah heran seraya bertanya kepada bapaknya, maka Imam Ahmad
menjawab : “Syafii ibarat matahari bagi manusia dan ibarat sehat bagi badan kita” (Syawahid al-Haq,
Yusuf bin Ismail an-Nabhani: hal, 166)

(166:‫)شواهد الحق ليوسف بن إسماعيل النبهانى ص‬

Demikian juga perkataan imam syafi’i dalam salah satu syairnya:

‫ وهم إليه وسيلتى‬# ‫آل النبى ذريعتى‬

‫ بيدى اليمن صحيفتى‬# ‫أرجو بهم أعطى غدا‬

( 180:‫)الصواعق المحرقة ألحمد بن حجر المكى ص‬

“Keluarga Nabi adalah familiku, Mereka perantaraku kepadanya (Muhammad),

Aku berharap melalui mereka, agar aku menerima buku perhitunganku di hari kiamat nanti dengan
tangan kananku” (Ash-Shawaiq al-Muhriqah Ahmad Ibn Hajar al-Makki, hal: 180)

- Pandangan Imam Taqyuddin Assubky

Beliau memperbolehkan dan mengatakan bahwa tawassul dan isti’anah adalah sesuatu yang baik dan
dipraktekkan oleh para nabi dan rosul, salafussholeh, para ulama,’ serta kalangan umum umat islam dan
tidak ada yang mengingkari perbuatan tersebut sampai datang seorang ulama’ yang mengatakan bahwa
tawassul adalah sesuatu yang bid’ah. (Syifa’ Assaqom hal 160)

- Pandangan Ibnu Taimiyah

Syekh Ibnu Taimiyah dalam sebagian kitabnya memperbolehkan tawassul kepada Nabi Muhammad SAW
tanpa membedakan apakah Beliau masih hidup atau sudah meninggal. Beliau berkata : “Dengan
demikian, diperbolehkan tawassul kepada Nabi Muhammad SAW dalam doa, sebagaimana dalam hadis
yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi:

‫ اللهم إنى أسألك وأتوسل إليك بنبيك محمد نبي الرحمة يا محمد إنى أتوجه بك إلى ربك فيجلى حاجتى‬: ‫أن النبي علم شخصا أن يقول‬
)‫ليقضيها فشفعه فيّ (أخرجه الترميذى وصححه‬.

Rasulullah s.a.w. mengajari seseorang berdoa: (artinya) “Ya Allah sesungguhnya aku meminta kepada-
Mu dan bertwassul kepada-MU melalui Nabi-Mu Muhammad yang penuh kasih, wahai Muhammad
sesungguhnya aku bertawassul denganmu kepada Allah agar dimudahkan kebutuhanku maka berilah
aku sya’faat”. Tawassul seperti ini adalah bagus (fatawa Ibnu Taimiyah jilid 3 halaman 276)

- Pandangan Imam Syaukani

Beliau mengatakan bahwa tawassul kepada nabi Muhammad SAW ataupun kepada yang lain (orang
sholeh), baik pada masa hidupnya maupun setelah meninggal adalah merupakan ijma’ para shahabat.

- Pandangan Muhammad bin Abdul Wahab.

Beliau melihat bahwa tawassul adalah sesuatu yang makruh menurut jumhur ulama’ dan tidak sampai
menuju pada tingkatan haram ataupun bid’ah bahkan musyrik. Dalam surat yang dikirimkan oleh Syekh
Abdul Wahab kepada warga qushim bahwa beliau menghukumi kafir terhadap orang yang bertawassul
kepada orang-orang sholeh., dan menghukumi kafir terhadap Al-Bushoiri atas perkataannya “YA
AKROMAL KHOLQI” dan membakar Dalailul Khoirot. Maka beliau membantah : “Maha suci Engkau, ini
adalah kebohongan besar. Dan ini diperkuat dengan surat beliau yang dikirimkan kepada warga
majma’ah ( surat pertama dan kelima belas dari kumpulan surat-surat syekh Abdul Wahab hal 12 dan
64, atau kumpulan fatwa syekh Abdul Wahab yang diterbitkan oleh Universitas Muhammad Bin Suud
Riyad bagian ketiga hal 68)

Dalil-dalil Yang Melarang Tawassul Menurut Pandangan Wahabi/Salafy

Dalil yang dijadikan landasan oleh pendapat yang melarang tawassul adalah sebagai berikut:
1. Surat Zumar, 2:

َ ُ‫ِين ا َّت َخ ُذوا مِن دُو ِن ِه َأ ْولِ َياء َما َنعْ ُب ُد ُه ْم ِإاَّل ِل ُي َقرِّ بُو َنا ِإلَى هَّللا ِ ُز ْل َفى ِإنَّ هَّللا َ َيحْ ُك ُم َب ْي َن ُه ْم فِي َما ُه ْم فِي ِه َي ْخ َتلِف‬
‫ون ِإنَّ هَّللا َ اَل‬ َ ‫َأاَل هَّلِل ِ ال ِّدينُ ْال َخالِصُ َوالَّذ‬
‫َي ْهدِي َمنْ ه َُو َكا ِذبٌ َك َّفا ٌر‬

Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil
pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka
mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya”. Sesungguhnya Allah akan memutuskan di
antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki
orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.

Orang yang bertwassul kepada orang sholih maupun kepada para kekasih Allah, dianggap sama dengan
sikap orang kafir ketika menyembah berhala yang dianggapnya sebuah perantara kepada Allah.

Namun kalau dicermati, terdapat perbedaan antara tawassul dan ritual orang kafir seperti disebutkan
dalam ayat tersebut, tawassul semata dalam berdoa dan tidak ada unsur menyembah kepada yang
dijadikan tawassul , sedangkan orang kafir telah menyembah perantara, tawassul juga dengan sesuatu
yang dicintai Allah sedangkan orang kafir bertwassul dengan berhala yang sangat dibenci Allah.

2. Surah al-Baqarah [2] : 186

ُ ْ‫ان َف ْل َيسْ َت ِجيبُو ْا لِي َو ْليُْؤ ِم ُنو ْا ِبي لَ َعلَّ ُه ْم َير‬ ‫ُأ‬ َ َ‫َوِإ َذا َسَأل‬
‫ُون‬
َ ‫شد‬ ِ ‫َّاع ِإ َذا َد َع‬
ِ ‫ك عِ َبادِي َع ِّني َفِإ ِّني َق ِريبٌ ِجيبُ دَ عْ َو َة الد‬

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku
adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku, maka
hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar
mereka selalu berada dalam kebenaran.

Allah Maha dekat dan mengabulkan doa orang yang berdoa kepadaNya. Jika Allah maha dekat, mengapa
perlu tawassul dan mengapa memerlukan sekat antara kita dan Allah.

Namun dalil-dalil di atas menujukkan bahwa meskipun Allah maha dekat, berdoa melalui tawassul dan
perantara adalah salah satu cara untuk berdoa. Banyak jalan untuk menuju Allah SWT dan banyak cara
untuk berdoa, salah satunya adalah melalui tawassul.

3. Surat Jin [72] : 18

ً‫َوَأنَّ ْال َم َسا ِج َد هَّلِل ِ َفاَل َت ْدعُوا َم َع هَّللا ِ َأ َحدا‬

Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah
seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.
Kita dilarang ketika menyembah dan berdoa kepada Allah sambil menyekutukan dan mendampingkan
siapapun selain Allah. Seperti ayat pertama, ayat ini dalam konteks menyembah Allah dan meminta
sesuatu kepada selain Allah. Sedangkan tawassul adalah meminta kepada Allah, hanya saja melalui
perantara.

Kesimpulan

Tawassul dengan perbuatan dan amal sholeh kita yang baik diperbolehkan menurut kesepakatan
ulama’. Demikian juga tawassul kepada Rasulullah s.a.w. juga diperboleh sesuai dalil-dalil di atas. Tidak
diragukan lagi bahwa Nabi Muhammad SAW mempunyai kedudukan yang mulia disisi Allah SWT, maka
tidak ada salahnya jika kita bertawassul terhadap kekasih Allah SWT yang paling dicintai, dan begitu juga
dengan orang-orang yang sholeh.

Selama ini para ulama yang memperbolehkan tawassul dan melakukannya tidak ada yang berkeyakinan
sedikitpun bahwa mereka (yang dijadikan sebagai perantara) adalah yang mengabulkan permintaan
ataupun yang memberi madlorot. Mereka berkeyakinan bahwa hanya Allah-lah yang berhak memberi
dan menolak doa hamba-Nya.

Lagi pula berdasarkan hadis-hadis yang telah dipaparkan diatas menunjukakn bahwa perbuatan tersebut
bukan merupakan suatu yang baru dikalangan umat islam dan sudah dilakukan para ulama terdahulu.
Jadi jikalau ada umat islam yang melakukan tawassul sebaiknya kita hormati mereka karena mereka
tentu mempunyai dalil dan landasan yang cukup kuat dari Quran dan Hadist.

Tawassul adalah masalah khilafiyah di antara para ulama Islam, ada yang memperbolehkan dan ada
yang melarangnya, ada yang menganggapnya sunnah dan ada juga yang menganggapnya makruh. Kita
umat Islam harus saling menghormati dalam masalah khilafiyah dan jangan sampai saling bermusuhan.

Dalam menyikapi masalah tawassul kita juga jangan mudah terjebak oleh isu bid’ah yang telah
mencabik-cabik persatuan dan ukhuwah kita. Kita jangan dengan mudah menuduh umat Islam yang
bertawassul telah melakukan bid’ah dan sesat, apalagi sampai menganggap mereka menyekutukan
Allah, karena mereka mempunyai landasan dan dalil yang kuat.

Inilah yang sering dilontarkan para pengikut buta Muhamad Bin Abdul Wahab, Meski menurut mereka
untuk menegakkan tauhid tapi jalan yang ditempuh agak menyimpang dari jalan islam, Yaitu mencaci,
mencela, membid’ahkan, bahkan mengkafirkan sesama umat islam yang mereka anggap tidak sefaham
dengan mereka.

Tidak hanya dalam masalah tawassul, sebelum kita mengangkat isu bid’ah pada permasalahan yang
sifatnya khilafiyah, sebaiknya kita membaca dan meneliti secara baik dan komprehensif masalah
tersebut sehingga kita tidak mudah terjebak oleh hembusan teologi permusuhan yang sekarang sedang
gencar mengancam umat Islam secara umum.
Memang masih banyak kesalahan yang dilakukan oleh orang muslim awam dalam melakukan tawassul,
seperti menganggap yang dijadikan tawassul mempunyai kekuatan, atau bahkan meminta-minta kepada
orang yang dijadikan perantara tawassul, bertawassul dengan orang yang bukan sholeh tapi tokoh-tokoh
masyarakat yang telah meninggal dunia dan belum tentu beragama Islam, atau bertawassul dengan
kuburan orang-orang terdahulu, meminta-minta ke makam wali-wali Allah, bukan bertawassul kepada
para ulama dan kekasih Allah. Itu semua tantangan dakwah kita semua untuk kita luruskan sesuai
dengan konsep tawassul yang dijelaskan dalil-dalil di atas.

wahdina sabilal mubin… Wallahu a’lam bissowab

Anda mungkin juga menyukai