Anda di halaman 1dari 27

BOLEHKAH MENDIRIKAN

YAYASAN DA’WAH?
(TANGGAPAN ATAS FATWA
SYAIKH YAHYA AL-HAJURI)

Ditulis Oleh :
dr. M Faiq Sulaifi *)
Gratis – Untuk kalangan Salafiyyin sendiri

1
PENDAHULUAN
Ketika saya membaca sebuah situs yang beralamat: http://jumiyyah.wordpress.com/hukum-
mendirikan-yayasan-dan-organisasi-untuk- dakwah/, saya terperanjat dan kaget dengan sebuah tulisan
tentang fatwa Syaikh Yahya Al-Hajuri tentang:
Hukum mendirikan yayasan dan organisasi untuk dakwah
Syaikhuna Yahya bin Ali Al Hajuri ditanya …
Soal :
Apa hukum mendirikan yayasan atau organisasi untuk menyebarkan da`wah salafiyyah?
karena di negeri kami kalau yayasan atau organisasi ini tidak berdiri maka
kebanyakan orang tidak tertarik kepadanya bahkan mereka menuduhnya sebagai da`wah
yang sesat. Maka sebagian da`i mendirikannya untuk kesinambungan da`wah ini.
Jazakumullahu Khairan.
Jawab :
Saya katakan kepadamu wahai saudaraku ajarkanlah pelajaran di masjid dan tetaplah di
dalamnya walaupun sendiri. Barangsiapa yang datang kepadamu di atas kebaikan dan
sunnah dan walaupun hanya sepuluh orang bersamamu dan kamu ajari mereka kitab dan
sunnah maka engkau dianggap sebagai da`i yang beruntung dan berhasil.
Demi Allah sepuluh orang yang datang kepadamu dan kamu mengajari kitab Allah dan
sunnah Rasulullah shallallahu `alaihi wa aalihi wa sallam kepada mereka dan mereka
keluar sebagai ulama dan da`i maka sesungguhnya engkau beruntung. Tinggalkanlah
keinginan mencari pengikut yang banyak dan mengumpulkan pengikut dari sana dan sini
dengan alasan orang awwam berkata demikian mereka menginginkan demikian dan mereka
menyukai demikian.
Wahai saudaraku, orang-orang awwam sangat butuh pengarahan untuk diri mereka sendiri
bukanlah mereka yang mengarahkanmu dan menguasaimu, sebaliknya kamulah yang harus
menjelaskan kepada mereka bahwa belajar agama di masjid adalah lebih utama. Dan
bahwasanya kita salafiyyun tidak butuh terhadap organisasi, karena organisasi ini
tidaklah mendatangkan sesuatu bagi manusia kecuali percekcokan, penyakit, perpecahan
dan perselisihan serta menyempitkan dada.
Rasulullah Shallalahu `alaihi wa aalihi wa sallam bersabda:

«‫»ﻣﻦ أﺣﺪث ﰱ أﻣﺮﻧﺎ ﻫﺬا ﻣﺎ ﻟﯿﺲ ﻣﻨﻪ ﻓﻬﻮ رد‬

“Barangsiapa yang mengada-ada dalam perkara agama kami ini maka yang ia bukan bagian
darinya maka ia tertolak” (Hadist Aisyah Radiyallahu `anha Riwayat Al-Bukahri (2697)
dan Muslim (1718))

Demi Allah ketetapan dan kondisi perkara ini di zaman Rasulullah shallallahu
`alaihi wa aalihi wa sallam sudah ada. Ustman bin Affan radhiyallahu `anhu dia
adalah golongan hartawan, Abdurrahman bin `Auf radhiyallahu `anhu ia adalah golongan
hartawan dan Abu Thalhah setelah itu menjadi golongan hartawan juga dan sejumlah
hartawan dari shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di sisi mereka ada
Ashaabus Suffah. Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi shodaqoh maka beliau
mengirimkan shodaqoh itu kepada mereka sebagaimana riwayat dari Abu Hurairah
(diriwatkan Al-Bukhari 6452) dan jika beliau diberi hadiah maka beliau mengambil
sebagiannya kemudian beliau memberikan kepada mereka dan beliau tidak berkata
“Berkumpullah kalian dan buatlah kotak infaq atau organisasi untuk Ashabus Suffah
dan yang semisal dengan Ashabus Suffah“. Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam ketika didatangi tamu maka beliau mengirim tamu itu kepada keluarga-keluarga
beliau, maka beliau tidak mendapatkan sesuatu kecuali air. Setiap istri beliau
berkata, “Demi Allah kami tidak memiliki sesuatu keculai air,” maka Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Siapa yang hendak menjamu tamu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam?” maka dibawalah dia oleh salah seorang shahabat
beliau dan ia diberi makan makanan anak kecil. (Hadist tersebut di dalam As-
Shahihain dari hadist Abu Hurairah, Al-Bukhari 4889 dan Muslim 2094)

Janganlah salah satu diantara kalian merasa gentar dan takut untuk mengatakan
kebenaran. Demi Allah organisasi-organisasi ini tidaklah datang dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saya katakan ini dengan terus terang!! Ia tidaklah
datang kecuali dari orang-orang yang menganggap baik dalam agama mereka. Mereka
tidak memiliki syara’ yang benar yang mereka jalani di dalam agama mereka. Karena
itu mereka mendatangkan sesuatu dari mereka sendiri untuk mereka jalani seperti
Jam’iyyah Yunus, organisasi ini, organisasi itu. Adapun kita, maka agama kita adalah
agama rahmah dan agama kita adalah agama yang benar, memberi hak pada setiap yang
berhak mendapatkannya.

2
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

« »

“Seorang mukmin dan mukmin yang lain ibarat bangunan. Yang mana sebagiannya
mengokohkan sebagian yang lain.” (Hadits Abu Musa Al Asy’ari, Bukhari 481 dan Muslim
2585)

« »

“Perumpamaan orang-orang yang beriman di dalam menyayangi dan mencintai sesama


mereka seperti satu jasad.” (Muttafaqun ‘alaihi dari hadits Nu’man bin Basyir)

Sedangkan agama kita adalah agama yang mensyariatkan zakat, sedekah, dan berbuat
baik kepada orang tua dan memberi hak tetangga, hak persaudaraan dan memuliakan
tamu, maka kita tidak butuh terhadap organisasi semacam ini. Kita berjalan di atas
jalan salaf kita –rahimahumullah-. (Al As’ilah Al Indonisiah, 25 Jumadi Tsaniyah
1424 H)

Dengan tidak mengurangi rasa hormat saya -selaku anak- kepada Asy-Syaikh Yahya Al-Hajuri selaku
orang tua, saya katakan: Fatwa tersebut di atas (bahwa mendirikan yayasan da’wah adalah bid’ah)
adalah syaadz (ganjil) karena bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah serta keterangan salafus
shalih.

Silakan simak baris-baris tulisan saya berikut ini.

3
BAB I. PENGERTIAN
ORGANISASI DAN RAGAMNYA
Para pembaca yang budiman, kiranya saya perlu menerangkan tentang pengertian dari organisasi.
1
Di dalam buku “DASAR-DASAR ADMINISTRASI KESEHATAN MASYARAKAT” dijelaskan tentang unsur
pengertian organisasi2 yaitu:

 Organisasi merupakan wadah sekelompok orang


 Dalam wadah tersebut terdapat proses kerjasama
 Dalam wadah tersebut terdapat kedudukan dan tugas yang jelas dari para anggotanya
 Wadah tersebut dibentuk dengan suatu tujuan yang jelas dan
 Bersifat legal aspect, atau ikatan hukum/formal
Dalam perkembangannya organisasi akan mengalami berbagai macam nama seperti yayasan, majelis,
klub, perserikatan, dewan, komite, panitia, lajnah, forum dan sebagainya.

Organisasi sendiri termasuk bagian dari administrasi. Administrasi memiliki 2 unsur:


1. Unsur statis yang berupa organisasi
2.Unsur dinamis yang berupa manajemen.3

I.1. Hubungan Antara Organisasi dengan Al-Islam


Allah Azza wajalla menjelaskan tentang tujuan-tujuan yang diperbolehkan dalam mendirikan
perkumpulan atau organisasi :

“Tiada kebaikan dari najwa mereka kecuali dari orang yang memerintahkan shadaqah atau perkara
kebaikan atau memperbaiki diantara manusia. Barangsiapa yang berbuat demikian dalam rangka
mencari ridla Allah maka Kami akan memberinya pahala yang besar.” (QS. An-Nisa’: 114).

Makna “An-Najwa” menurut kesimpulan Al-Imam Ibnu Jarir adalah “Al-Mutanaajuun” (kumpulan orang
yang berbisik-bisik, pen). (Tafsir Ath-Thabari: 9/204).

Al-Imam Asy-Syaukani berkata: “An-Najwa adalah rahasia antara 2 orang atau jamaah (kumpulan
orang, pen).” (Fathul Qadir: 2/214).4

1
Tulisan dosen saya dr. Subur Prayitno, MS terbitan Airlangga University Press, tahun 1997 halaman 10
2
Merujuk kepada ahli dunia di dalam pembahasan masalah duniawi adalah sesuatu yang mubah. Untuk mengerti definisi
organisasi kita perlu merujuk kepada pakar manajemen dan administrasi. Untuk mengerti hakekat internet dan computer
kita bisa merujuk pakar informatika, untuk mengerti masakan bisa merujuk pakar kuliner. Begitu pula Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam ketika membahas perkawinan bunga kurma merujuk kepada para petani dengan menyatakan:

ْ‫أَﻧْﺘُﻢْ أَﻋْﻠَﻢُ ﺑِﺄَﻣْﺮِ دُﻧْﯿَﺎﻛُﻢ‬


“Kalian lebih mengerti urusan dunia kalian.” (HR. Muslim: 4358).

3
Ibid, hal 2
4
Pada asalnya ‘najwa’ merupakan perkumpulan rahasia yang diadakan oleh orang-orang kafir untuk membikin makar
terhadap dakwah para nabi alaihimusssalam. Di antaranya adalah Darun-Nadwah yang dibentuk oleh dedengkot kafir
Makkah untuk membendung dakwah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam di Makkah. Allah berfirman:

4
Bahkan menurut sebagian mufassirin seperti Imam Az-Zujaj bahwa An-Najwa adalah pembicaraan
jamaah (sekelompok orang) yang bersendirian atau 2 orang baik secara rahasia atau terang-terangan.
(Fathul Qadir: 2/214).5

Maka dari ayat di atas dapat diambil faedah bahwa mendirikan perkumpulan itu diperbolehkan jika
bertujuan untuk memerintahkan sadaqah, atau amar ma’ruf dan nahi munkar atau memperbaiki antara
manusia.6

I.2 Organisasi di kalangan Umat Nabi Luth ‘alaihis salam


Kaum Luth dulu juga memiliki perkumpulan atau semacam klub. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

“(Nabi Luth alaihis salam berkata:) “Adakah kalian mendatangi laki-laki (sodomi, pen), membegal dan
mendatangi kemungkaran di dalam Naadii (perkumpulan, pen) kalian? Maka tiada jawaban kaumnya

“Hati mereka dalam keadaan lalai, orang-orang zalim merahasiakan perkumpulan (seraya berkata): “Bukankah ia
(Muhammad) kecuali manusia seperti kalian? Apakah kalian mendatangi sihir dalam keadaan kalian bisa melihat.” (QS. Al-
Anbiya’: 3).

Begitu pula sebelum Firaun dan tukang sihirnya bertanding dengan Nabi Musa alaihissalam, ia membentuk semacam panitia
untuk membahas perkara tersebut. Allah berfirman:

()

“Maka mereka memusyawarahkan urusan mereka di antara mereka dan membentuk pertemuan rahasia. Mereka berkata:
“Sesungguhnya 2 orang ini (Musa dan Harun alaihimassalam) adalah 2 tukang sihir yang ingin mengusir kalian dari negeri
kalian dengan sihir dan melenyapkan agama kalian yang utama.” (QS. Thaha: 62-63).

Kemudian Allah subhanahu wata'ala membolehkan kaum mukminin untuk mendirikan perkumpulan rahasia dengan asas
ketaqwaan dan kebaikan. Allah berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman jika kalian ingin membuat pertemuan rahasia janganlah membuat pertemuan rahasia
atas dasar dosa, permusuhan dan maksiat kepada Ar-rasul akan tetapi buatlah pertemuan rahasia dengan asas kebaikan dan
taqwa dan bertaqwalah kepada Allah yang mana kalian akan dipertemukan kepada-Nya.” (QS. Al-Mujadilah: 9).
5
Pendapat ini (yaitu makna ‘Najwa’ yang meliputi organisasi rahasia dan organisasi terang-terangan) lebih pantas untuk
dipilih. Pertama, dikarenakan ikhtilaf salaf dalam tafsir Al-Quran termasuk ikhtilaf tanawwu’. Kedua, Allah telah menjelaskan
panjang lebar tentang ‘najwa’ dalam surat Al-Mujadilah dari ayat 7 sampai ayat 13. Allah membuat contoh najwa yang berarti
organisasi terang-terangan dengan majelis ta’lim. Allah subhanahu wata'ala berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman jika dikatakan kepada kalian: “Buatlah kelonggaran dalam majelis-majelis!” maka buatlah
kelonggaran niscaya Allah akan membuat kelonggaran untuk kalian. Dan jika dikatakan: “Silakan bangkit (dari tempat duduk
untuk memberi tempat kepada saudara kalian)!” maka bangkitlah kalian niscaya Allah akan mengangkat orang-orang yang
beriman di antara kalian dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat. Allah Maha Waspada terhadap perbuatan kalian.”
(QS. Al-Mujadilah: 11).
6
Termasuk dalam bab ini adalah pertemuan atau lajnah yang diadakan para Masyayikh Yaman di Ma’bar dan Hudaidah
dalam rangka meng-ishlah dan menyelesaikan konflik yang kemudian dikomentari –dengan tanpa ilmu- oleh Syaikh Yahya
dengan bid’ah atau muhdats. (Kemana Kalian akan Pergi dengan Fitnah ini: 20-21).

5
kecuali mereka berkata: “Silahkan kamu datangkan siksa Allah kalau kamu termasuk orang yang jujur.”
(QS. Al-Ankabuut: 29).

Dalam ayat di atas terdapat lafadz ‘naadii’ yang memiliki shighat lain yaitu ‘nadwah’ yang berarti
perkumpulan atau klub.

Klub mereka adalah termasuk organisasi terlarang karena didalamnya dilaksanakan kemungkaran. Klub
tersebut juga bertentangan dengan isi surat An-Nisa ayat 114 di atas.

Para mufassirin memiliki bermacam-macam pendapat tentang kemungkaran yang dilakukan dalam
perkumpulan mereka. Menurut A’isyah radliayallahu anha, kemungkaran mereka adalah saling kentut
dan saling menertawakan. Sedangkan menurut Mujahid adalah bersiul-siul, bermain merpati, dan
sebagainya. Ada yang menyatakan adu ayam. (Silahkan lihat selengkapnya pada Tafsir Ibnu Katsir:
6/276). Ini termasuk ikhtilaf tanawwu’, sehingga mungkin saja segala jenis kemungkaran dilakukan di
tempat itu.

I.3. Organisasi Ta’mir Masjid


Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga membentuk organisasi ta’mir masjid. Ada yang ditunjuk
menjadi imam rawatib, imam badal, mu’adzdzin bahkan petugas kebersihan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Adakah kalian jadikan memberi minum jamaah haji dan keta’miran masjidil haram setara dengan orang
yang beriman kepada Allah dan hari akhir dan berjihad di jalan Allah? Tidak sama di sisi Allah. Allah tidak
menujuki orang-orang zhalim.” (QS. At-Taubah: 19).

Dari ayat di atas menunjukkan bahwa kegiatan memakmurkan masjid itu adalah suatu kebaikan
meskipun tidak dapat dibandingkan dengan berjihad di jalan Allah.

Suatu ketika Utsman bin Abil Ash radliyallahu anhu berkata kepada Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam:

‫ واﺗﺨﺬ ﻣﺆذﻧﺎً ﻻ ﯾﺄﺧﺬ ﻋﻠﻰ أذاﻧﮫ‬،‫ واﻗﺘﺪ ﺑﺄﺿﻌﻔﮭﻢ‬،‫ أﻧﺖ إﻣﺎﻣﮭﻢ‬:‫ ﻓﻘﺎل‬،‫) ﯾﺎ رﺳﻮل اﷲ! اﺟﻌﻠﻨﻲ إﻣﺎم ﻗﻮﻣﻲ‬
‫ وﺻﺤﺤﮫ اﻟﺤﺎﻛﻢ‬، ‫ وﺣﺴﻨﮫ اﻟﺘﺮﻣﺬي‬،‫أﺟﺮاً ( أﺧﺮﺟﮫ اﻟﺨﻤﺴﺔ‬
“Wahai Rasulullah! Jadikan saya imam dari kaum saya!” Beliau berkata: “Kamu imam mereka, ikutilah
orang yang paling lemah diantara mereka dan angkatlah seorang mu’adzin yang tidak meminta upah
atas adzannya.” (HR. Imam Lima, dihasankan oleh At-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al-Hakim. Lihat
Bulughul Maram hadits: 211).

Organisasi ta’mir ini memiliki legal aspect karena disetujui dan ditunjuk oleh Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam sebagai pemerintah.

I.4. Organisasi Dagang


Ini disebut juga kongsi atau syirkah. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata:

: .
(420 7 : ).

6
“Asy-Syirkah dengan fathah syien dan kasrah ra’ atau kasrah syien dan sukun ra’. Kadang-kadang huruf
haa’ dibuang atau fathah syien dan membuang haa’. Ada 4 logat. Pengertiannya secara syar’I adalah
sesuatu yang terjadi dalam keadaan bebas (tidak terpaksa) antara 2 orang atau lebih yang berbentuk
percampuran untuk menghasilkan keuntungan (laba). Dan kadang-kadang tidak sengaja seperti harta
waris.” (Fathul Bari: 7/420).

)
(2306:
Dari Abi Musa radiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Bersabda Nabi shallallahu alaihi wasallam: “Sesungguhnya
orang-orang dari Kabilah Asy’ariyyin jika kehabisan bekal dalam peperangan atau stok makanan
keluarga mereka telah menipis di Madinah maka mereka mengumpulkan sisa makanan yang ada pada
mereka dalam satu baju kemudian mereka membagikannya diantara mereka dalam satu wadah dengan
sama. Mereka adalah bagian dariku dan aku bagian dari mereka.” (HR. Bukhari: 2306, Muslim: 4556,
Al-Baihaqi dalam As-Sunanul Kubra: 10/132, An-Nasa’I dalam As-Sunanul Kubra: 5/247).

Selain syirkah kita juga mengenal organisasi dagang yang disebut muzara’ah dalam pertanian.

: )
(2318
Dari Abdullah RA, ia berkata: “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyerahkan tanah Khaibar agar
digarap oleh orang-orang Yahudi dan mereka mendapat separuh dari hasil panennya.” (HR. Bukhari:
2318, Muslim: 2898, Abu Dawud: 2960, An-Nasa’i: 3868).

I.5. Organisasi Dakwah


Ketika memasuki tahun kelima dari masa kenabian, cobaan dan himpitan dari kaum musyrikin Quraisy
semakin hebat. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengambil langkah strategis.
Al-Allamah Shafiyyur Rahman Al-Mubarakfuri menyatakan:

:
. 1
(110 1 : ). 2
“Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengambil 2 langkah yang bijaksana yang memiliki
pengaruh dalam kelancaran da’wah dan pencapaian tujuan, yaitu:
1. Memilih rumah Al-Arqam bin Abil Arqam Al-Makhzumi RA sebagai markas da’wah dan tempat
pendidikan.
2. Memerintahkan kaum muslimin untuk berhijrah ke negeri Habasyah. (Ar-Rahiqul Makhtum:
1/110).

Rumah tersebut terletak pada dasar bukit Shafa yang jauh dari pengamatan para thaghut kafir Quraisy.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memilihnya untuk mengumpulkan kaum muslimin secara
rahasia7dan membacakan kepada mereka Al-Quran dan As-Sunnah. (Ar-Rahiqul Makhtum: 1/110).
Setelah memasuki periode madinah kaum muslimin sudah dapat melaksanakan agama mereka dengan
kuat tanpa gangguan maka organisasi rahasia seperti Darul Arqam sudah tidak diperlukan lagi.
Maka dibentuklah organisasi yang berupa majelis ta’lim di masjid-masjid dengan bentuk organisasi
jahriyah. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

7
Tahap ini sudah memasuki tahap da’wah jahriyyah. Maksudnya Rasulullah SAW menjahrkan da’wahnya sedangkan para
sahabat tetap menyebarkan islam kepada keluarga mereka secara sembunyi-sembunyi.

7
(1243: 4867 :‫ﻠﻢ‬ )
“Tidaklah suatu kaum berkumpul di suatu rumah dari rumah-rumah Allah ta’ala, membaca kitabullah
dan saling mempelajarinya diantara mereka kecuali turunlah ketenangan kepada mereka, rahmat
melingkupi mereka, malaikat mengelilingi mereka dan Allah menyebut mereka termasuk orang-orang
yang ada di sisi-Nya.” (HR. Muslim: 4867 dan Abu Dawud: 1243).

Asy-Syaikh Al-Faqih Ibnu Utsaimin memberi contoh hadits di atas dengan Halaqah Tahfidzil Quran.
(lihat Syarh Riyadlus Shalihin hadits 1023).
Bahkan tidak hanya tahfidzil Quran saja tetapi meliputi kajian tafsir, hadits, fiqih dan sebagainya. Dari
Anas bin Malik radliyallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Kalau kalian berjalan bertemu dengan taman-taman surga maka silahkan menggembalakan!” Mereka
bertanya: “Apakah taman-taman surga?” Beliau menjawab: “Halaqah Dzikir.” (HR. Ahmad: 12065, At-
Tirmidzi: 3432, ia nyatakan hadits hasan gharib, Ath-Thabrani dalam Al-Kabir: 9/305, dan dihasankan
oleh Al-Imam Al-Albani dalam Ash-Shahihah:2562).

Imam Atha’ berkata: “Adz-Dikr adalah majelis halal dan haram, bagaimana kamu jual beli, kamu shalat,
puasa, haji dan menikah.” (Kifayatul Akhyar: 1/8).
Lafadz ‘kaum’ pada hadits di atas adalah menunjukkan umum karena ia isim nakirah yang jatuh setelah
nafi. Sehingga meliputi perorangan atau kumpulan baik secara spontan maupun secara terorganisir.
Demikianlah bentuk organisasi da’wah di jaman Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan para sahabat
radliyallahu anhum setelah hijrah ke Madinah yang berupa majelis ta’lim. Organisasi tersebut bersifat
jahriyah (terang-terangan), menda’wahkan Al-Quran dan As-Sunnah.
Setelah jaman para sahabat radliyallahu anhum, organisasi ini semakin kompleks karena peserta majelis
ta’lim semakin membludak. Maka selain sudah ada syaikh yang menyampaikan hadits, juga dibutuhkan
al-mumli yaitu juru dikte untuk meneruskan suara Syaikh yang tidak dapat didengar oleh peserta yang
jaraknya jauh.

:
Dari Ibnu Uyainah bahwa Abu Muslim al-Mustamli berkata kepadanya: “Sesungguhnya manusia (peserta
majelis ta’lim) bertambah banyak sehingga tidak bisa mendengar.” Maka beliau berkata: “Kalau begitu
kamu yang memperdengarkan (suara saya) kepada mereka.” (Tadribur Rawi: 1/304).
Ini mirip dengan yang terjadi di jaman kita. Ada panitia daurah bertugas menyiapkan sound system,
makalah, tasjilat dan perijinan.
Kemudian muncullah organisasi-organisasi rahasia yang diikuti oleh orang-orang yang memiliki
pemikiran khawarij untuk merongrong pemerintah yang sah. Amirul Mukminin Umar bin Abdil Aziz RA
berkata:

(313: ).
“Kalau kalian melihat kaum yang merahasiakan suatu urusan tanpa diketahui orang umum maka
mereka adalah mendirikan sebuah kesesatan.” (Sunan Ad-Darimi: 313).
Sehingga sudah menjadi ciri khas organisasi dari firqah sesat seperti khawarij yang bersifat tersembunyi
atau gerakan bawah tanah.

I.6. Organisasi Jihad


Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga mengorganisasi jihad di jalan Allah. Kita kenal ghozwah dan
sariyyah. Ghozwah dipimpin langsung oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sedangkan pimpinan
sariyyah bukanlah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam secara langsung tetapi seseorang yang diangkat
oleh beliau.

8
Sebagai contoh, pada perang badar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memimpin langsung jihad.
Zubair bin Al-Awwam radliyallahu anhu dan Miqdad bin Al-Aswad Al-Kindi radliyallahu anhu ditunjuk
sebagai pasukan berkuda (kavaleri). Beliau menyerahkan bendera (al-liwa’) kepada Mush’ab bin Umair
radliyallahu anhu, menyerahkan panji (ar-rayah) yang satu kepada Ali bin Abi Thalib radliyallahu anhu
dan yang lainnya (milik Anshar) kepada Sa’d bin Mu’adz radliyallahu anhu. Beliau juga menunjuk Basbas
bin Amr Al-Juhani radliyallahu anhu dan Adi bin Abir Raghba’ radliyallahu anhu menjadi mata-mata
untuk mengintai musuh. Urusan imam shalat di Madinah diserahkan kepada Abdullah bin Ummi
Maktum radliyallahu anhu sedangkan amil Madinah diserahkan kepada Abu Lubabah bin Abdul Mundzir
radliyallahu anhum. (Lihat secara lengkap kisahnya dalam Zaadul Ma’aad: 3/153).

Dan ciri khas dari suatu organisasi (terutama dalam masalah jihad) adalah adanya musyawarah, rapat
koordinasi atau briefing.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu sudah bulatkan
tekat maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang
bertawakkal.” (QS. Ali Imran: 159).

Dan pada ghozwah-ghozwah berikutnya, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyempurnakan


organisasi ini berdasar kebutuhan. Diantaranya adalah ditambahkannya tim kesehatan. Tersebutlah
seorang perawat pertama dalam Islam yang bernama Rufaidah Al-Aslamiyah Al-Anshariyah.

: :

“Ketika kelopak mata Sa’d bin Mu’adz radliyallahu anhu terkena panah pada perang khandaq, orang-
orang berkata: “Pindahkan ia ke kemah seorang wanita yang bernama Rufaidah radliayallahu anha.
Dan adalah ia pandai merawat orang-orang yang terluka.” (Al-Ishabah fii Tamyiizis Shahabah: 3/487
dan Al-Hafizh menshahihkan sanadnya).

Organisasi jihad berkembang seiring dengan meningkatnya kebutuhan dan semakin memadainya
system pencatatan. Pada masa setelah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yaitu masa kekhalifahan,
pasukan-pasukan yang ikut berjihad dihimpun dalam suatu organisasi yang disebut dengan Diwanul
Jundi (Dinas Ketentaraan).

Ibnul Manzhur dalam Mukhtashar Tarikh Damsyiq menyatakan:

. .
(24 1 : ).

“Al-Mada’ini menuturkan bahwa gaji kota Damaskus yang diterima oleh Mu’awiyah radliyallahu anhu
adalah 400 ribu dinar. Ini setelah dibagikan kepada bagian yang berhak dalam dinas ketentaraan, para
wali (kota), gaji fuqaha, para mu’adzin dan para qadli. Ini menunjukkan banyaknya pemasukan kota
Damaskus dan besarnya barakah dalam hasil buminya.” (Mukhtashar Tarikh Damsyiq: 1/24).

Sebenarnya khalifah yang pertama kali mengorganisasi Ad-Diwan adalah Umar bin Al-Khaththab
radliyallahu anhu.8 Semua penduduk dicatat berdasarkan alamat rumahnya. Pencatatan dimulai pada
8
Sebenarnya yang mengusulkan pembentukan Ad-Diwan adalah Khalid bin Al-Walid radliyallahu anhu. Ia telah melihat raja-
raja kafir di Syam mengembangkan system Ad-Diwan ini dan mengklasifikasi tentara mereka. Ini tidak menunjukkan bahwa
Umar radliyallahu anhu bertasyabbuh dengan orang-orang kafir akan tetapi masalah ini termasuk maslahat mursalah.

9
Bani Hasyim kemudian Abu Bakar radliyallahu anhu dan kaumnya kemudian Umar radliyallahu anhu dan
kaumnya dan seterusnya. Setiap orang dari muhajirin yang ikut perang Badar mendapat uang
kesejahteraan sebesar 5 ribu dirham per tahun. Sedangkan masing-masing anshor yang ikut perang
Badar mendapat jatah 4 ribu dirham tiap tahun. (Lihat secara lengkap Al-Ahkamus Sulthaniyah karya
Abu Ya’la Al-Hanbali: 265-266).

10
BAB II. PRAKTEK SALAFUS
SHALIH & TANGGAPAN
2.1 Panitia-Panitia di Era Khulafa’ur Rasyidin
Diantaranya adalah panitia syura yang dibentuk oleh Amirul Mukminin Umar bin Khaththab radliyallahu
anhu menjelang ajalnya untuk membahas pemimpin pengganti beliau. Berkata Imam Adz-Dzahabi:

“Ketika Umar ditusuk (oleh seorang majusi yang bernama Abu Lu’lu’ah), beliau menyuruhnya (Shuhaib
bin Sinan Ar-Ruumi) untuk menggantikannya mengimami shalat kaum muslimin sampai panitia syura
berhasil mengangkat seorang pemimpin.” (Siyar A’lamin Nubala’: 2/18 tentang sirah Shuhaib bin Sinan
Ar-Ruumi radliyallahu anhu). Mereka beranggotakan 6 orang yaitu Ali bin Abi Thalib radliyallahu anhu,
Utsman bin Affan radliyallahu anhu, Sa’d bin Abi Waqqash radliyallahu anhu, Abdurrahman bin Auf
radliyallahu anhu, Zubair bin Awwam radliyallahu anhu, dan Thalhah bin Ubaidillah radliyallahu anhu.
(Al-Kamil fit Tarikh: 1/475).

Termasuk dalam bab ini adalah panitia penyeragaman mushaf Al-Quran yang dibentuk oleh Amirul
Mukminin Utsman bin Affan radliyallahu anhu yang terdiri atas beberapa orang hafizh. Dari Anas bin
Malik radliyallahu anhu:

(4604 : )

“Bahwa Hudzaifah bin Al-Yaman radliyallahu anhu mendatangi Utsman radliyallahu anhu sehabis
berperang bersama penduduk Syam pada penaklukan Armenia dan Azerbaijan bersama penduduk Iraq.
Perselisihan mereka dalam qiraat sangat mengkhawatirkan Hudzaifah. Kemudian Hudzaifah berkata
kepada Utsman: “Wahai Amirul Mukminin bertindaklah untuk umat ini sebelum mereka berselisih di
dalam Al-Kitab seperti perselisihan Yahudi dan Nashara!” Kemudian Utsman mengirim utusan kepada
Hafshah radliayallahu anha: “Mohon dikirim kepada kami lembaran-lembaran Al-Quran karena kami
akan menyalinnya ke dalam mushaf-mushaf kemudian lembaran tersebut akan kami kembalikan lagi
kepadamu!” kemudian Hafshah mengirimkan lembaran-lembaran tersebut kepada Utsman. Maka
Utsman memerintahkan Zaid bin Tsabit radliyallahu anhu, Abdullah bin Zubair radliyallahu anhu, Sa’id
bin Al-Ash radliyallahu anhu dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam radliyallahu anhu untuk menyalin
mushaf. Utsman berpesan kepada 3 orang Quraisy tersebut: “Kalau kalian berselisih dengan Zaid bin
Tsabit tentang Al-Quran maka tulislah dengan lisan Quraisy karena Al-Quran diturunkan dengan lesan
mereka!” Kemudian mereka mengerjakannya sampai ketika telah disalin menjadi beberapa mushaf,
Utsman mengembalikan lembaran tersebut kepada Hafshah dan mengirim mushaf-mushaf tersebut ke
penjuru wilayah islam. Beliau juga memerintahkan untuk membakar mushaf-mushaf yang lainnya
(selain yang disusun oleh panitia Utsman, pen).” (HR. Bukhari: 4604).9

9
Bandingkan usaha mulia khulafa’ur rasyidin radliyallahu anhum untuk menjaga persatuan kaum muslimin dengan menunjuk
panitia syura dan panitia penyeragaman Al-Quran dengan ucapan Syaikh Yahya –yang jauh dari ilmu- yaitu: .” Dan
bahwasanya kita salafiyyun tidak butuh terhadap organisasi, karena organisasi ini

11
2.2. Sistim Administrasi di Awal Islam
Kita tidak bisa membandingkan organisasi yang ada pada masa kini dengan organisasi pada tempo awal
islam dulu. Pada jaman ini telah dikenal tulis-menulis, stempel, kop surat, kuitansi yang menjadi alat-alat
administrasi sehingga organisasi pada jaman sekarang sudah memiliki sistem manajemen yang rapi.

Pada jaman itu sedikit sekali kaum muslimin yang mengenal tulis-menulis. Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda:

“Sesungguhnya kita ini adalah umat yang ummi (buta huruf, pen) tidak bisa menulis dan tidak bisa
menghitung. Sebulan itu demikian dan demikian yakni kadang-kadang 29 hari dan kadang-kadang 30
hari.” (HR. Bukhari: 1780, Muslim: 1806, Abu Dawud: 1975, An-Nasa’i: 2111, Ahmad: 4775).

Al-Hafizh Ibnu Hajar menyatakan: “Ini tidak menolak kenyataan bahwa diantara mereka ada yang bisa
menulis dan menghitung karena memang jumlah mereka itu sedikit dan jarang.” (Fathul Bari: 6/156).

Tetapi mereka tidak berpangku tangan dengan keadaan mereka yang seperti itu. Allah mendorong
mereka untuk meningkatkan system administrasi melalui kemampuan baca tulis. Allah ta’ala berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman jika kalian mengadakan utang-piutang sampai tempo tertentu maka
tulislah utang-piutang tersebut.” (QS. Al-Baqarah: 282).

Al-Imam As-Sa’di berkata: “Faedah ke-25 dari ayat ini adalah bahwa mempelajari baca tulis adalah
masyru’ bahkan fardlu kifayah karena Allah menyuruh kita menulis utang piutang dan sebagainya.”
(Taisir Karimir Rahman: 118).

Sa’ad bin Abi Waqqash radliyallahu anhu berkata:

“Adalah Nabi shallallahu alaihi wasallam mengajari kita kalimat ini -sebagaimana pelajaran baca tulis-
yaitu “Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kikir, aku berlindung kepada-Mu dari sifat
penakut, aku berlindung kepada-Mu dari kehinaan umur, aku berlindung kepada-Mu dari fitnah dunia
dan adzab kubur.” (HR. Bukhari: 5911).

Adapun pemakaian stempel maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menggunakannya ketika
berkirim surat kepada raja seperti Heraklius, Kisra dan Makaukis.

Anas bin Malik radliyallahu anhu berkata:

: 3902 : 2721: )
(12259: 5106

“Ketika Nabi shallallahu alaihi wasallam akan berkirim surat kepada raja Romawi dikatakan bahwa
mereka (orang-orang Romawi) tidak mau membaca surat kecuali yang diberi stempel. Maka Rasulullah

tidaklah mendatangkan sesuatu bagi manusia kecuali percekcokan, penyakit, perpecahan


dan perselisihan serta menyempitkan dada.”

12
shallallahu alaihi wasallam menjadikan cincin stempel dari perak.10 Seolah-olah saya melihat pada
putihnya pada tangannya dan dipahat padanya tulisan ‘Muhammad Rasul Allah’.” (HR. Bukhari: 2727,
Muslim: 3902, An-Nasa’i: 5106 dan Ahmad: 12259).

Dan Abu Bakar radliyallahu anhu memakai cincin stempel tersebut setelah Nabi shallallahu alaihi
wasallam wafat, kemudian dipakai oleh Umar radliyallahu anhu, kemudian oleh Utsman radliyallahu
anhu kemudian stempel tersebut jatuh ke dalam sumur Aris. (HR. Abu Dawud: 4218 dan dishahihkan
oleh Al-Imam Al-Albani).

2.3. Kaidah fiqih untuk organisasi


Ucapan Syaikh Yahya bahwa organisasi da’wah itu bid’ah adalah perlu ditinjau ulang.

Organisasi da’wah –dari segi kaidah fiqih- dimasukkan ke dalam al-mashalih al-mursalah11 atau
dimasukkan ke dalam wasa’il.12

Tentang mashlahat mursalah Al-Imam As-Sa’di –dalam syairnya- berkata:

10
Ini tidak menunjukkan beliau bertasyabbuh dengan orang kafir tetapi beliau memperhatikan maslahat mursalah dan
wasilah dalam berda’wah.
11
Berkata Ustadz Zakariya bin Ghulam Qadir Al-Bakistani: “Maslahat mursalah tidak dapat dianggap sebagai bid’ah. Oleh
karena dalil-dalil syar’I telah menunjukkan keabsahannya berbeda dengan bid’ah. Syari’ah datang untuk memperkuat
maslahat dan menghilangkan madlarat. Dan atas demikianlah berjalan perbuatan para sahabat RA.” (kemudian beliau
menyitir ucapan Al-Allamah Asy-Syinqithi). (Min Ushulil Fiqhi ala Manhaji Ahlil Hadits: 213). Batasan maslahat mursalah telah
diperinci oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Iqtidla’ Shirathil Mustaqim dengan menimbang adakah motivasi dari
perbuatan tersebut di jaman Nabi shallallahu alaihi wasallam kemudian adakah penghalang untuk melaksanakannya di
jaman Nabi shallallahu alaihi wasallam.
12
Telah terjadi perbedaan pendapat antara ulama’ jaman ini tentang wasilah dakwah. Apakah ia harus tauqifiyyah (sesuai
nash Al-Quran dan Al-Hadits) atau tidak harus tauqifiyyah? Di antara ulama yang menyatakan bahwa wasilah dakwah bukan
tauqifiyah adalah Al-Allamah Ibnu Utsaimin. Beliau mencontohkannya dengan pengeras suara dan kacamata. (Lihat
selengkapnya kitab Liqa’ Al-Babil Maftuh: 2/135). Sedangkan yang mengharuskan tauqifiyahnya wasilah dakwah di antaranya
adalah Syaikh Abdus Salam bin Barjis Abdul Karim –sebagaimana dalam kitab beliau Al-Hujajul Qawiyyah- dan Syaikh Shalih
Fauzan sebagaimana yang dinukil dalam kitab Usus Manhajis Salaf fid- Dakwati ilallah hal: 130-131). Pendapat yang rajih
adalah bahwa wasilah dakwah haruslah tauqifiyyah. Di antara dalilnya adalah firman Allah:

ً ِ ‫اﻹﺳﻼم‬
‫دﻳﻨﺎ‬ َ َ ْ ِ ْ ‫ﻟﻜﻢ‬ ُ ِ َ َ ‫ﻧﻌﻤﺘﻲ‬
ُ ُ َ ‫ورﺿﻴﺖ‬
ِ ِ ‫ﻋﻠﻴﻜﻢ‬ ُ ْ َ ْ َ َ ‫دﻳﻨﻜﻢ‬
َ ْ ْ ُ ْ َ َ ‫وأﲤﻤﺖ‬
ِ ُ َ ‫أﻛﻤﻠﺖ‬
ْ ُ َ ‫ﻟﻜﻢ‬
ْ ُ ْ َ ْ َ ‫اﻟﻴﻮم‬
َ َْْ

“Pada hari ini Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian dan Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian dan Aku rela al-islam
sebagai agama kalian.” (QS. Al-Ma’idah: 3).

Al-Imam As-Sa’di berkata:

. ‫ﻛﺎﻓﻴﲔ ﻛﻞ‬
“Dan oleh karena itu Al-Kitab dan As-Sunnah keduanya telah mencukupi dengan secukup-cukupnya dalam hukum-hukum ad-
dien dan cabang-cabangnya.” (Tafsir As-Sa’di: 1/219).
Termasuk dalam hal ini (hukum-hukum ad-dien dan cabang-cabangnya) adalah cara berdakwah dan wasilah-wasilahnya,
kita tidak membutuhkan kepada selain keduanya.
Hanya saja –masih menurut Penulis- wasilah dakwah itu dibagi menjadi 2:
 Al-Wasilah Al-Adiyah yaitu wasilah kebiasaan manusia yang bersifat duniawi seperti media cetak atau elektronik,
sound system, sistim administrasi baik berupa manajemen atau pun organisasi. Maka hukum asalnya adalah mubah
sampai ada dalil yang mengharamkannya.
 Al-Wasilah At-Ta’abbudiyah seperti ikhlas, uswah hasanah, berdo’a, mau’izhah. Maka hukum asalnya adalah haram
sampai ada dalil yang menyatakan masyru’nya.
Termasuk wasilah yang terlarang adalah nada dan dakwah, sinetron, demokratisme dan sebagainya.
Untuk mengerti secara detil wasilah dakwah silakan merujuk kitab ‘Usus Manhajis Salaf fid Dakwah ilallah’.

13
“Setiap hukum itu berkisar bersama illat (penyebabnya). Dan itulah yang menyebabkan
disyari’atkannya.”

Tidak dibentuknya yayasan untuk ahlus shuffah –sebagaimana penjelasan Syaikh Yahya- adalah karena
illat (alasannya) tidak ditemukan. Rumah zakat13 ketika itu berfungsi dengan optimal. Al-Mustahiqq
sudah mendapatkan haknya. Dan Ahlush shuffah berangsur-angsur hilang karena banyaknya ghanimah
dari perang. (lihat secara lengkap Al-I’tisham lisy Syathibi: 1/182).

Adapun pada masa sekarang ini meskipun Pemerintah Republik Indonesia sudah memiliki badan-badan
yang menyalurkan zakat, akan tetapi banyak para mustahiqq yang belum tersentuh terutama daerah
yang rawan kristenisasi. Maka munculnya yayasan penyalur zakat dan shadaqah adalah diperbolehkan
dalam rangka melaksanakan ayat:

“Dan tolong-menolonglah kalian di atas kebaikan dan takwa dan janganlah tolong-menolong di atas
dosa dan permusuhan.” (QS. Al-Ma’idah: 2).

Ketika Lajnah Da’imah Saudi Arabiyah ditanya tentang menyerahkan zakat kepada Jum’iyyatul Birr,
mereka menjawab:

( ):
.
: .
. -1
-2
.
. -3
.

// // ‫ ﻋﻀﻮ‬// ‫ﻋﻀﻮ‬
(265 )// // //
“Adapun mengkaji kalimat (diperbolehkan menyerahkan zakat harta benda kepada Jum’iyatul Birr
(Yayasan Kebajikan) dengan murni tanpa memandang perkara yang melingkupinya dari yang telah
terdahulu keterangannya, maka ini muncul dari pemahaman umum tentang bolehnya menyerahkan
zakat harta kepada Yayasan Kebajikan. Maka tidak seyogyanya untuk memperluas sengketa dan
penerapan. Karena wajib melihat pada pertanyaan dan keadaan penanya. Ringkasnya fatwa tentang
bolehnya menyerahkan zakat kepada organisasi ini harus diperhatikan 3 perkara berikut:

1. Zakat bukan dari harta dhahir (yang tampak).14

2. Zakat tersebut bukan yang dituntut untuk diserahkan kepada pemerintah.15 Tetapi harta yang
dibebaskan oleh pemerintah antara si pemilik dan hartanya untuk diserahkan kepada mustahiqqnya
dengan dirinya sendiri ataupun melalui orang yang menggantikannya.16
13
Rumah ini berfungsi sebagai gudang untuk menyimpan hasil pungutan zakat. Abu Hurairah radliyallahu anhu pernah
dipercaya menjadi penjaganya. (HR. Bukhari: 4624, di dalamnya ada kisah syetan yang mengajarkan ayat kursi).
14
Harta zhahir seperti pertanian dan peternakan sedangkan harta batin seperti emas, perak, uang yang disimpan. (Lihat Al-
Ahkamus Sulthaniyah lil Qadli Abi Ya’la Al-Hanbali: 129)

14
3. Penanggung jawab yayasan tersebut menyerahkan zakat sesuai aturan syar’I dalam waktu
sesegera mungkin.

Wabillahittaufiq wa shallallahu ala nabiyinaa Muhammad wa alihi wa shahbihi wasallam.

Abdullah bin Mani’ (anggota), Abdullah bin Ghudayyan (anggota), Abdul Aziz bin Baz (wakil ketua).
(Fatwa Lajnah Da’imah nomor: 265. Jilid: 11 hal: 486-7).

Dan kedudukan yayasan ini adalah sebagai mustakhlaf (orang yang diamanati zakat) antara mustahiqq
dan muzakki (si pemilik harta). Al- Allamah Ibnu Utsaimin berkata:

).
(204 9 :

“Apakah yang lebih utama atas seseorang itu menyerahkan zakat (kepada mustahiqq) ia sendiri
ataukah bisa diserahkan kepada seorang wakil untuk menyerahkannya (kepada mustahiqq)? Dan
jawabannya adalah yang lebih utama adalah menyerahkannya sendiri karena demikian ia melakukan
sebuah ibadah dari beberapa perkara ibadah dan juga lebih menentramkan hati, lebih mantap dalam

15
Kalau dituntut pemerintah maka kita harus serahkan zakat tersebut sebagaimana hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam:

“Salamah bin Yazid Al-Ju’fi bertanya kepada rasulullah shallallahu alaihi wasallam: “Wahai Nabi Allah! Bagaimana menurutmu
jika kita dipimpin oleh pemerintah yang selalu meminta kepada kami hak mereka dan menghalangi kami dari hak kami. Apa
yang engkau perintahkan?” Maka beliau berpaling kemudian ditanya lagi dan berpaling lagi (sampai 3 kali) maka beliau
ditarik oleh Asy’ats bin Qais dan beliau berkata: “Dengarkan dan ta’atilah mereka karena bagi mereka dosa mereka dan bagi
kalian dosa kalian.” (HR. Muslim: 3433, Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf: 8/615).
16
Untuk harta yang dibebaskan ini si pemilik harta mendapat pilihan sesuai hadits:

(1691 : 15299 : 1333 : )


“Berkata Ma’n bin Yazid RA: “Aku berbai’at kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, saya, bapak dan kakek saya.
Rasulullah melamarkan untukku kemudian menikahkanku dan saya pernah mengadukan perselisihan kepada beliau. Adalah
bapak saya (Yazid) mengeluarkan beberapa dinar untuk dishadaqahkan kemudian diletakkan (dititipkan) pada seseorang di
masjid. Kemudian saya datang dan mengambilnya. Kemudian saya mendatangi bapak saya dengan uang tersebut. Bapak
berkata: “Demi Allah! bukan kamu yang saya maksudkan (untuk menerimanya). Maka saya adukan perkara ini kepada
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam maka beliau menjawab: “Kamu mendapatkan apa yang kamu niatkan, wahai Yazid!
Dan kamu mendapatkan apa yang kamu ambil, wahai Ma’an!” (HR. Bukhari: 1333, Ahmad: 15299, Ad-Darimi: 1691).
Al-Hafizh berkata: “ Pada kata ‘diletakkan pada seseorang’ terdapat sesuatu yang dibuang. Taqdirnya adalah ‘ia
memberikan ijin kepadanya untuk menyerahkan shadaqah tersebut kepada orang yang membutuhkan dengan ijin secara
mutlak’.” (Fathul Bari: 5/20).
Al-Hafizh juga berkata: “(Di dalamnya terdapat pelajaran) bolehnya istikhlaf (mempercayakan kepada seseorang) dalam
sadaqah apalagi sadaqah sunnah karena di dalamnya ada nilai sirriyah (kerahasiaan).” (Fathul Bari: 5/20).

15
menyerahkan zakat. Akan tetapi jika ia tidak mengetahui para mustahiqq atau menurutnya si wakil ini
lebih tahu dan lebih faqih darinya dalam urusan zakat maka dalam keadaan ini boleh ia percayakan
kepada wakil karena ia akan lebih membawa maslahat.” (Fatawa Nur Alad Darb: 9/204).

Sampai saat ini BAZIS merupakan lembaga resmi amil zakat pemerintah. Tetapi BAZIS masih belum
memiliki kekuatan memaksa kepada kaum muslimin karena masih belum memiliki jubah atau su’ah
(petugas pemungut zakat). Sehingga BAZIS masih belum bisa disamakan dengan Walayatus Shadaqaat
ketika masa kekhalifahan. Kecuali kalau pemerintah sudah menunjuk SATPOL PP mendampingi BAZIS
dalam memungut zakat maka tidak boleh lagi mendirikan yayasan penyalur zakat sebagaimana fatwa
Lajnah Da’imah di atas.

Tentang wasa’il (wasilah /cara) Al-Imam As-Sa’di –dalam syairnya- menyatakan:

“Wasilah dari perkara adalah seperti tujuannya. Maka hukumilah dengan ini pada perkara yang lain.”

Maka ucapan Syaikh Yahya bahwa salafiyyun tidak butuh pada organisasi da’wah adalah tidak
dapat diterima. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam saja ketika masih di Makkah mendirikan
organisasi Darul Arqam.

Maka jika ditemukan illat-illat keadaan seperti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam di Makkah maka
boleh didirikan organisasi seperti Darul Arqam.

Bayangkan untuk meminjam sebuah masjid untuk kajian salafiyyin melalui perorangan akan ditolak oleh
ta’mir masjid tersebut. Dan pemerintah Indonesia pada waktu sekarang ini –dalam isu-isu sensitive
seperti terorisme- memerintahkan kita agar kajian salafiyin ini terdaftar pada catatan mereka sehingga
dapat dibedakan dengan gerakan Usamah bin Laden, Jama’ah Islamiyah dan NII yang ilegal. Sehingga
munculnya yayasan da’wah adalah diperlukan sebagai wasilah untuk mengadakan kajian tersebut.

Yang penting dari keterangan di atas bahwa yayasan da’wah yang akan dibentuk haruslah memenuhi
syarat berikut:

1. Menda’wahkan Al-Quran dan As-sunnah dengan pemahaman salaf


2. Tidak sembunyi-sembunyi tetapi terbuka
3. Memiliki legal aspek atau ikatan hukum dalam arti disetujui oleh pemerintah17
4. Tidak membawa semangat hizbiyah, ta’ashub dan perpecahan.
Dan atas demikian keluarnya fatwa Lajnah Da’imah Saudi Arabiyah di bawah ini :
:(1674)
:1
:1

}: { }:
}: {

17
Masing-masing Negara memiliki pemerintah yang saling berbeda, termasuk birokrasi perijinan yayasan, jum’iyyah dan
sebagainya. Jadi sangat tidak tepat jika mengikuti birokrasi pemerintah -sebagaimana anggapan Syaikh Yahya- dianggap
sebagai ‘sikap tunduk terhadap hawa nafsu orang awam’. Ini seperti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang
membubuhi stempel pada surat-surat beliau sesuai birokrasi pemerintah Romawi tidak dapat dan tidak boleh disimpulkan
bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tunduk kepada hawa nafsu pemerintah Romawi!!!

16
}{
» {
. .«

...

. ..

}:
.{
// //‫ ﻋﻀﻮ‬//‫ﻋﻀﻮ‬
// // //
(5-302 3 : )

Pertanyaan 1, 3 dan 4 dari fatwa nomer: 1674


Tanya: Apa hukum hizib-hizib di dalam islam? Bolehkah munculnya hizib-hizib seperti Hizib Tahrir dan
Hizib Ikhwanul Muslimin?
Jawab: Tidak boleh kaum muslimin berpecah belah dalam agama mereka menjadi bergolong-golong
dan berhizib-hizib. Masing-masing saling melaknat dan saling memerangi. Perpecahan ini termasuk yang
dilarang oleh Allah. Allah mencela pendirinya, pengikutnya dan mengancam pelakunya dengan siksa
yang besar. Allah dan rasul-Nya berlepas diri dari ini. Allah berfirman: “Dan pegangilah tali Allah
semuanya dan janganlah kalian berpecah belah……sampai….Dan janganlah kalian seperti orang yang
berpecah belah dan berselisih setelah datangnya kebenaran.” (QS. Ali Imran: 103-5). Allah berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama mereka menjadi bergolong-golong dan
engkau sama sekali tidak termasuk mereka….dst.” (QS. Al-An’am: 159,160). Dan telah shahih dari
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam: “Janganlah kalian kembali menjadi kafir sepeninggalku, masing-
masing kalian memerangi yang lainnya.” Dan ayat dan hadits yang mencela pertikaian dalam ad-dien
sangat banyak.
Adapun jika pemerintah kaum muslimin yang mengatur mereka dan membagi mereka di dalam tugas-
tugas duniawi dan ukhrawi agar masing-masing menegakkan tugasnya di berbagai bidang agama dan
dunia maka ini hukumnya boleh. Bahkan merupakan kewajiban pemerintah untuk membagi rakyatnya
dalam berbagai kewajiban agama dan dunia. Maka pemerintah mendirikan organisasi untuk melayani
ilmu hadits secara riwayat dengan membedakan shahih dan dlaifnya, organisasi untuk fiqhul hadits atau
secara dirayah baik secara kelembagaan atau pendidikan, organisasi ketiga untuk mengurusi seluk
beluk bahasa arab…., organisasi keempat untuk jihad dan pembelaan negeri kaum muslimin……, yang
lain untuk mengurusi industry, teknologi, pertanian, perdagangan,.. dst. Ini termasuk kemestian
kehidupan yang mana umat tidak akan tegak kecuali dengannya, dan Islam tidak akan terjaga dan
tersebar kecuali melalui cara ini. Ini ditempuh dengan tetap berpegangan dengan kitabullah, petunjuk
rasul-Nya dan apa yang dijalankan oleh khulafa’ur rasyidin setelahnya, para salafus shalih, penyatuan
tujuan, tolong-menolong dari segala kelompok islam untuk membela islam dan menjaganya,
merealisasikan kehidupan yang berbahagia, dan berjalannya semua di bawah naungan islam dan
benderanya di atas jalan yang lurus sambil tetap menjauhi jalan-jalan yang menyesatkan dan sekte-
sekte yang membinasakan. Allah berfirman: “Dan sesungguhnya ini adalah jalan-Ku dalam keadaan
17
yang lurus maka ikutilah ia dan jangan kalian ikuti jalan-jalan (selainnya) sehingga kalian akan tercerai
berai dari jalan tersebut. Yang demikian Allah wasiatkan kepada kalian agar kalian bertaqwa.” (QS. Al-
An’am: 153).
Ketua Lajnah// wakil ketua//anggota//anggota
Abdul Aziz bin Baz//Abdurrazaq Afifi//Abdullah bin Ghudayyan//Abdullah Qu’ud
(Fatawa Lajnah Da’imah: 3/302-5).

2.4. Contoh Yang Lain dari Wasilah Dakwah


Termasuk contoh wasilah dakwah –selain organisasi- adalah penggunaan ijazah dalam berdakwah.
Ijazah memiliki padanan kata (sinonim) yang bermacam-macam seperti syahadah18, sertifikat, lisensi
dan sebagainya. Semuanya merupakan bentuk rekomendasi (tazkiyah) atas kemampuan dan keahlian
seseorang. Rekomendasi dapat berupa rekomendasi secara lisan dan rekomendasi secara tertulis.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga pernah memberikan rekomendasi kepada beberapa sahabat
beliau radliyallahu anhum. Beliau bersabda:

"
“Umatku yang paling penyayang terhadap umat adalah Abu Bakar radliyallahu anhu, yang paling tegas
terhadap perintah Allah adalah Umar radliyallahu anhu, yang paling jujur sifat malunya adalah Utsman
radliyallahu anhu, yang paling qari’ terhadap kitabullah adalah Ubay bin Ka’ab radliyallahu anhu, yang
paling mengeri ilmu fara’idl adalah Zaid bin Tsabit radliyallahu anhu, yang paling mengerti halal dan
haram adalah Mu’adz bin Jabal radliyallahu anhu. Ingatlah! Setiap umat memiliki kepercayaan dan
kepercayaan umat ini adalah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radliyallahu anhu.” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu
Majah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim. Al-Imam Al-Albani berkata; “Perawinya semuanya tsiqat, perawi
Muslim kecuali Sufyan bin Waki’. Berkata Al-Hafizh: Ia shaduq.” Lihat Silsilah Ash-Shahihah hadits
nomer: 1224).

Ini menunjukkan bahwa mereka adalah lulusan terbaik madrasah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Yang didapati pada saat itu adalah rekomendasi secara lisan dan masih jarang ditemui rekomendasi
secara tertulis karena kemampuan baca tulis masih sedikit dikuasai kaum muslimin ketika itu.

Dan di dalam ilmu hadits juga dikenal tazkiyah terhadap perawi hadits agar haditsnya dapat diterima.
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata:

“Diterima suatu tazkiyah (rekomendasi ta’dil terhadap perawi, pen) dari seorang mengerti sebab-
sebabnya meskipun hanya satu orang menurut pendapat yang paling benar.” (Nukhbatul Fikr: 6).

18
Ini saya bahas untuk menanggapi tulisan Al-Akh Abu Sulaim Sulaiman Al-Ambony (salah seorang santri Dammaj) yang
berjudul ‘Ya Ustadz! Ad-Dienun Nashihah’. Di situ ia tidak menyetujui adanya syahadah doctoral, syahadah magister pada
lulusan sekolah dengan alasan bahwa gelar tersebut tidak dipakai di jaman salafus shalih. Tidak ada gelar Doktor Abu
Hurairah, Doktor Ahmad bin Hanbal, Doktor Abu Bakar, Doktor Ibnu Taimiyah. (Ad-Dienun Nashihah hal. 22).

Maka saya katakan: “Kenapa Anda tidak sportif dengan menyebut Ustadz Fulan, Syaikh Fulan, Al-Allamah Fulan? Padahal kita
tidak pernah mendengar pemakaian gelar tersebut pada jaman para sahabat radliyallahu anhum seperti Ustadz Umar bin
Khaththab, Syaikh Abu Hurairah, Al-Allamah Utsman bin Affan?” Ini menunjukkan bahwa Al-Akh Abu Sulaim tidak memiliki
timbangan dalam masalah ini.

18
Dan di dalam persaksian dalam persidangan juga dibutuhkan tazkiyah terhadap saksi. Al-Allamah
Badruddin Az-Zarkasyi berkata:

“Berkata Qadli Abu Bakar: “Saksi dan orang membawa berita membutuhkan kepada tazkiyah ketika
belum dikenal keadilan dan ridlanya.” (Al-Bahrul Muhith: 5/321).

Begitu pula ketika kita berdakwah pada masyarakat yang belum mengenal kita dan mereka meminta
kita rekomendasi ijazah (syahadah). Al-Imam Al-Walid Abdul Aziz bin Baz menyatakan:

(30 : )

“Barangsiapa yang ingin mendapatkan syahadah (ijazah dalam belajar ad-dien, pen) untuk memperkuat
dirinya dalam menyampaikan ilmu dan berdakwah kepada kebaikan maka dia telah berbuat baik dalam
masalah ini.” (Mas’uliyatu Thalibil Ilmi: 30).

Al-Allamah Al-Faqih Ibnu Utsaimin pernah ditanya:

: :

: :
‫ﻣﻦ‬

(4-223 : ).

Beliau ditanya: “Sesungguhnya mengikhlaskan niat di jaman sekarang ini sulit atau bahkan mustahil.
Karena para penuntut ilmu terutama di tempat akademis, mereka mencari ilmu hanya agar mendapat
syahadah (ijazah) saja?”

Beliau menjawab: “Kami katakan: “Jika kamu mencari ilmu untuk mendapatkan ijazah, maka kalau
ijazah yang kamu inginkan ini hanya agar kamu mendapatkan kenaikan status duniawi maka niatmu
telah rusak. Adapun jika kamu ingin naik ke derajat orang yang bisa memberi manfaat kepada manusia
dengan ijazah tersebut, karena kamu mengetahui pada saat ini tidak mungkin bagi seseorang untuk
mendapat kedudukan yang memberikan manfaat kepada manusia kecuali dengan ijazah, maka kalau
kamu memiliki tujuan dengan ijazah yang kamu miliki itu akan mendapatkan sesuatu yang bermanfaat
bagi manusia maka itu adalah niat yang bagus yang tidak menafikan ikhlas.” (Kitabul Ilmi: 223-224).

Adapan ucapan Syaikh Al-Albani dan Syaikh Muqbil tentang para doktor ilmu hadits yang ilmu mereka
amburadul dalam bidang hadits maka ini tidak menunjukkan bid’ahnya ijazah tetapi yang disalahkan
adalah oknumnya dan pemberi tazkiyah. Ini juga seperti maraknya kasus jual beli ijazah di Indonesia.

2.5. Tuduhan Yang Salah


Adapun tuduhan bahwa organisasi ini menyibukkan dari thalabul ilmi maka ini tidak sepenuhnya benar.
Perkara ini dikembalikan kepada individu masing-masing.

Banyak orang yang ilmunya lebih alim dan lebih mumpuni dari si penuduh yang mampu
menggabungkan semuanya. Dan ini adalah keutamaan dari Allah.

19
Sebagai contoh adalah Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alus Syaikh.19 Beliau memiliki beberapa tugas
diantaranya sebagai ketua ta’sisi Rabithah Al-Alam Al-Islami, Musyrif Aam Ri’asatul Banaat, ketua
Ri’asatul Qadla’, mufti Ad-Diyar As-Su’udiyah, ketua Ri’asatul Ma’ahid wal Kulliyat dan terakhir sebagai
Rektor Al-Jami’ah Al-Islamiyah. Meskipun demikian beliau tetap sibuk menyampaikan kajian halaqah-
halaqah beliau. (Lihat secara lengkap Siratu Samahatisy Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alis Syaikh
tulisan Syaikh Nashir bin Hamd Al-Fahd).

Juga Syaikh Al-Walid Abdul Aziz bin Baz, selain ilmunya mumpuni beliau juga aktif di berbagai organisasi
seperti gurunya (Syaikh Muhammad bin Ibrahim).

2.6. Memasang kotak amal di depan masjid


Termasuk fatwa yang ganjil adalah melarang memasang kotak infaq di depan masjid.

Memang ketika itu belum ada kegiatan menggalang dana dengan kotak infaq tetapi kegiatan yang
sejenis20 sudah pernah dilaksanakan di jaman Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

19
Bahkan pada diri beliau telah terkumpul 3 keutamaan:

 Termasuk Bani Tamim karena beliau adalah cicit Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimi. Ada
sebuah hadits:

“Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu ia berkata: “Saya selalu mencintai Bani Tamim karena 3 hal yang saya dengar
dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang bersabda tentang mereka: “Mereka adalah orang yang paling keras
atas dajjal, ketika di sisi A’isyah radliayallahu anha ada wanita tawanan dari mereka maka beliau berkata:
“Merdekakan ia karena ia termasuk anak Ismail alaihissalam dan (ketiga) jika datang sadaqah dari mereka beliau
menyatakan bahwa itu adalah sadaqah dari kaum beliau.” (HR. Bukhari: 4018, Muslim: 4587, Ahmad: 8707).

 Jagoan dalam ilmu ad-dien. Hafalan beliau meliputi Al-Quran, dan meliputi matan-matan kitab hadits, fiqih dan
nahwu-sharaf.

 Jagoan dalam berorganisasi karena banyak jabatan yang beliau emban.


20
Kata ‘jenis kegiatan, jenis perbuatan, jenis ucapan dan jenis keyakinan’ adalah termasuk qiyas yang diperbolehkan oleh
agama ini di dalam beristimbath. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga pernah menggunakan qiyas model ini. Beliau pernah
menjelaskan tentang ucapan quburiyyin: “Aku berdo’a kepada Syaikh Abdul Qadir, Al-Badawi dsb agar mereka menjadi
penolongku di sisi Allah”, beliau berkomentar:

. ِ‫ أَﻧَﺎ أَدْﻋُﻮ اﻟﺸﱠﯿْﺦَ ﻟِﯿَﻜُﻮنَ ﺷَﻔِﯿﻌًﺎ ﻟِﻲ ﻓَﮭُﻮَ ﻣِﻦْ ﺟِﻨْﺲِ دُﻋَﺎءِ اﻟﻨﱠﺼَﺎرَى ﻟِﻤَﺮْﯾَﻢَ وَاﻟْﺄَﺣْﺒَﺎرِ وَاﻟﺮﱡھْﺒَﺎن‬: ٌ‫ﻓَﺈِذَا ﻗَﺎلَ ﻗَﺎﺋِﻞ‬
“Maka jika seseorang berkata: “Aku berdo’a kepada Asy-Syaikh agar ia jadi penolongku di sisi Allah.” Maka ini adalah
termasuk jenis do’anya orang Kristen kepada Maryam, para pendeta dan para rahib.” (Majmu’ Al-Fatawa: 6/211).

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga pernah menggunakan qiyas model ini sebagaimana dalam hadits Abu Waqid Al-
Laitsi radliyallahu anhu tentang permintaan sebagian sahabat beliau agar dibuatkan pohon Dzatu Anwath (sebuah pohon
yang dikeramatkan) sebagaimana orang-orang musyrik memiliki Dzatu Anwath. Beliau menyatakan:

‫ﻗُﻠْﺘُﻢْ وَاﻟﱠﺬِي ﻧَﻔْﺴِﻲ ﺑِﯿَﺪِهِ ﻛَﻤَﺎ ﻗَﺎلَ ﻗَﻮْمُ ﻣُﻮﺳَﻰ } اﺟْﻌَﻞْ ﻟَﻨَﺎ إِﻟَﮭًﺎ ﻛَﻤَﺎ ﻟَﮭُﻢْ آﻟِﮭَﺔً ﻗَﺎلَ إِﻧﱠﻜُﻢْ ﻗَﻮْمٌ ﺗَﺠْﮭَﻠُﻮنَ { إِﻧﱠﮭَﺎ ﻟَﺴُﻨَﻦٌ ﻟَﺘَﺮْﻛَﺒُﻦﱠ‬
ً‫ﺳُﻨَﻦَ ﻣَﻦْ ﻛَﺎنَ ﻗَﺒْﻠَﻜُﻢْ ﺳُﻨﱠﺔً ﺳُﻨﱠﺔ‬
“Kalian telah berkata -demi Allah- seperti perkataan Kaumnya Musa alaihis salam “Jadikan untuk kami sesembahan
sebagimana mereka memiliki sesembahan.” Musa berkata: “ Sesungguhnya kalian adalah kaum yang bodoh.” Ini adalah
sunnah-sunnah dan pasti kalian akan mengikuti sunnah-sunnah orang-orang sebelum kalian satu sunnah demi satu sunnah.”
(HR. At-Tirmidzi: 2106 dan ia berkata hadits hasan shahih, Ahmad: 20892, dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani dalam
Zhilalil Jannah hadits: 76 dan Tahqiq Misykatil Mashabih hadits: 5408).
Al-Faqih Ibnu Utsaimin mengomentari hadits di atas:
:‫ان اﻟﺮﺳﻮل ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﻗﺎس ﻣﺎ ﻗﺎﻟﮫ اﻟﺼﺤﺎﺑﺔ رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﮭﻢ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﻗﺎﻟﮫ ﺑﻨﻮ اﺳﺮاﺋﯿﻞ ﻟﻤﻮﺳﻰ ﺣﯿﻦ ﻗﺎﻟﻮا‬
(126‫ص‬1‫ ج‬:‫اﺟﻌﻞ ﻟﻨﺎ اﻟﮭﺎ ﻛﻤﺎ ﻟﮭﻢ آﻟﮭﺔ اﻟﺦ )اﻟﻘﻮل اﻟﻤﻔﯿﺪ‬
20
Al-Bara’ bin Azib radliyallahu anhu berkata:

{ }

}
{

“Ayat ini (QS. Al-Baqarah: 267) turun kepada kami kaum anshar. Kami adalah petani kurma. Dan
seseorang dari kami membawa dari hasil panennya 1 dahan atau 2 dahan buah kurma tergantung
dari hasil panennya. Kemudian digantung di masjid. Dan adalah ahlush shuffah itu tidak memiliki
makanan dan jika salah seorang mereka merasa lapar maka ia memukul gantungan kurma tersebut
dengan tongkatnya. Sehingga jatuhlah buah kurma itu dan ia memakannya. Orang-orang yang tidak
suka kebaikan membawa dahan-dahan yang berisi kurma dari hasil panennya dengan kualitas kurma
yang jelek. Maka Allah turunkan ayat: “Wahai orang-orang yang beriman infakkan dari yang baik dari

“Sesungguhnya Ar-Rasul shallallahu alaihi wasallam mengqiyaskan ucapan para sahabat radliyallahu anhum dengan ucapan
Bani Israil kepada Musa alaihis salam ketika mereka berkata: “jadikan sesembahan untuk kami sebagaimana mereka
memiliki sesembahan.” Dst (Al-Qaulul Mufid: 1/126).
Hadits di atas juga merupakan bantahan kepada Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah yang menolak qiyas dengan menyatakan:
‫اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﻋﻠﻰ آﻟﮫ وﺳﻠﻢ ﻛﺎن ﯾﻨﺰل ﻋﻠﯿﮫ اﻟﻮﺣﻲ وﻟﻢ ﯾﻘﻞ ﺑﺮأي وﻻ ﻗﯿﺎس ﻛﻤﺎ ذﻛﺮه اﻟﺒﺨﺎري ﻓﻲ ﻛﺘﺎب‬
(556‫ ص‬:‫اﻟﺦ )اﺟﺎﺑﺔ اﻟﺴﺎﺋﻞ‬..‫اﻻﻋﺘﺼﺎم‬
“Nabi shallallahu alaihi wasallam adalah turun kepadanya wahyu dan beliau tidak berkata dengan ra’yu dan juga qiyas
sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Bukhari dalam Kitabul I’tisham..dst” (Ijabatus Sa’il: 556).
Untuk perlu diketahui bahwa ahlus sunnah tidaklah menolak qiyas secara keseluruhan, akan tetapi mereka membedakan
antara qiyas yang benar dan qiyas yang yang batil. Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab berkata:
. ‫ وﺟﮭﻠﮭﻢ ﺑﺎﻟﺠﺎﻣﻊ واﻟﻔﺎرق‬، ‫ وإﻧﻜﺎر اﻟﻘﯿﺎس اﻟﺼﺤﯿﺢ‬، ‫)اﻟﺨﺎﻣﺴﺔ ﻋﺸﺮة( اﻻﺳﺘﺪﻻل ﺑﺎﻟﻘﯿﺎس اﻟﻔﺎﺳﺪ‬
“Masalah Jahiliyah ke-15 yaitu (ahlul jahiliyah) berdalil dengan qiyas yang rusak dan mengingkari qiyas yang benar dan
bodohnya mereka terhadap al-jami’ dan al-fariq.” (Masa’ilul Jahiliyah tahqiq Al-Alusi: 65).
Sebenarnya Al-Imam Al-Bukhari tidaklah mencela qiyas secara keseluruhan –seperti penukilan Asy-Syaikh Muqbil- tetapi
hanya mencela qiyas yang takalluf (memaksakan, pen). Beliau hanya berkata:
ِ‫ﺑَﺎب ﻣَﺎ ﯾُﺬْﻛَﺮُ ﻣِﻦْ ذَمﱢ اﻟﺮﱠأْيِ وَﺗَﻜَﻠﱡﻒِ اﻟْﻘِﯿَﺎس‬
“Bab Dalil yang Disebutkan tentang Tercelanya Ra’yu dan Qiyas yang Takalluf (dipaksakan, pen).” (Shahih Bukhari: Kitabul
I’tishom (22) hal: 278).
Al-Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan maksud Imam Al-Bukhari:

‫وَﻗَﻮْﻟﮫ " وَﺗَﻜَﻠﱡﻒ اﻟْﻘِﯿَﺎس " أَيْ إِذَا ﻟَﻢْ ﯾَﺠِﺪ اﻟْﺄُﻣُﻮر اﻟﺜﱠﻠَﺎﺛَﺔ وَاﺣْﺘَﺎجَ إِﻟَﻰ اﻟْﻘِﯿَﺎس ﻓَﻠَﺎ ﯾَﺘَﻜَﻠﱠﻔﮫُ ﺑَﻞْ ﯾَﺴْﺘَﻌْﻤِﻠﮫُ ﻋَﻠَﻰ أَوْﺿَﺎﻋﮫ وَﻟَﺎ‬
ِ‫ ﺑَﻞْ إِذَا ﻟَﻢْ ﺗَﻜُﻦْ اﻟْﻌِﻠﱠﺔ اﻟْﺠَﺎﻣِﻌَﺔ وَاﺿِﺤَﺔ ﻓَﻠْﯿَﺘَﻤَﺴﱠﻚْ ﺑِﺎﻟْﺒَﺮَاءَة‬، ‫ﯾَﺘَﻌَﺴﱠﻒ ﻓِﻲ إِﺛْﺒَﺎت اﻟْﻌِﻠﱠﺔ اﻟْﺠَﺎﻣِﻌَﺔ اﻟﱠﺘِﻲ ھِﻲَ ﻣِﻦْ أَرْﻛَﺎن اﻟْﻘِﯿَﺎس‬
‫اﻟْﺄَﺻْﻠِﯿﱠﺔ‬
“Ucapan beliau “Qiyas yang Takalluf” maksudnya adalah jika ia tidak menemukan ketiga perkara (Al-Quran, As-Sunnah dan
ijma’, pen) dan ia membutuhkan qiyas maka janganlah ia memaksa akan tetapi ia menggunakannya pada tempatnya dan
tidak memaksa dalam menetapkan illat yang jami’ yang merupakan rukun qiyas. Akan tetapi jika illat jami’ tadi tidak jelas
maka ia kembali pada hukum asal.” (Fathul Bari: 20/362).

Bahkan Al-imam An-Nasa’I juga membuat bab tentang qiyas dalam Kitab Adabil Qadla’ dalam sunannya:

ٍ‫اﻟْﺤُﻜْﻢُ ﺑِﺎﻟﺘﱠﺸْﺒِﯿﮫِ وَاﻟﺘﱠﻤْﺜِﯿﻞِ وَذِﻛْﺮُ اﻟِﺎﺧْﺘِﻠَﺎفِ ﻋَﻠَﻰ اﻟْﻮَﻟِﯿﺪِ ﺑْﻦِ ﻣُﺴْﻠِﻢٍ ﻓِﻲ ﺣَﺪِﯾﺚِ اﺑْﻦِ ﻋَﺒﱠﺎس‬
“Bab Menghukumi dengan Analogi dan Permisalan …dst” (Sunan An-Nasa’I Al-Mujtaba: 16/225).

21
hasil usaha kalian dan dari apa yang Kami keluarkan untuk kalian dari hasil bumi. Dan janganlah
kalian memilih yang jelek untuk kalian infakkan dalam keadaan kalian tidak mengambilnya kecuali
dengan memicingkan mata kepadanya.” Dan seterusnya……..(HR. At-Tirmidzi: 2913, ia berkata hadits
hasan gharib shahih, An-Nasa’i: 2447, dan dihasankan oleh Al-Imam Al-Albani dalam Shahih At-
Targhib wat Tarhib hadits : 879).

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata:


"
" " "
(138 2 : ).
“Termasuk dalam bab ini juga adalah hadits lain yang dikeluarkan oleh Tsabit dalam Ad-Dala’il dengan
lafazh: “Bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam memerintahkan dari tiap kebun diserahkan satu
dahan kurma untuk digantung di masjid” yakni untuk orang-orang miskin. Dan dalam riwayat miliknya
“dan Mu’adz bin Jabal radliyallahu anhu ditugasi atasnya” maksudnya adalah “untuk menjaganya”
atau “membagikannya”.” (Fathul Bari: 2/138).
Al-Hafizh Ibnu Rajab berkata:

:
.

“Yang dimaksud dengan bab ini adalah bahwa masjid itu boleh digunakan untuk meletakkan harta fai’,
khumus ghanimah, harta sadaqah dan lain sebagainya dari harta Allah yang akan dibagikan kepada
mustahiqqnya.” (Fathul Bari libni Rajab: 3/176).

Kemudian beliau (Ibnu Rajab) menyatakan:

‫)ﻓﺘﺢ‬ (( )) :
(177 3 :

“Dan yang seharusnya dimasukkan ke dalam bab ini (menggantung tandan kurma) adalah hadits yang
dikeluarkan oleh Al-Bukhari dalam Az-Zakat dari riwayat Ma’an bin Yazid As-Sulami radliyallahu anhum
(kemudian beliau membawakan hadits tersebut sebagaimana sudah saya sampaikan dalam catatan
kaki tentang masalah zakat).” (Fathul Bari libni Rajab: 3/177).

Kemudian beliau (Ibnu Rajab) membawakan juga hadits Imam Muslim:

،- : - ‫ ﻓﻴﻬﻢ‬- - ((‫))ﺻﺤﻴﺢ ﻣﺴﻠﻢ‬


- -
(2507 : 1691 : )

“Dan dalam Shahih Muslim dari Jarir Al-Bajali radliyallahu anhu bahwa suatu kaum mendatangi Nabi
shallallahu alaihi wasallam yang pada mereka ada kefakiran kemudian Nabi shallallahu alaihi wasallam
sholat zhuhur kemudian berkhutbah dan menganjurkan untuk bershadaqah. Kemudian datanglah
seseorang dengan membawa pundi-pundi dari perak yang mana tangannya hampir tidak mampu
memegangnya (karena besarnya). Kemudian manusia berturut-turut (mengikuti dia dengan
menyerahkan shadaqah) sampai aku melihat 2 gundukan makanan dan pakaian.” (HR. Muslim: 1691
dan An-Nasa’i: 2507).

Kemudian beliau (Ibnu Rajab) menyatakan:

22
- ((‫(( ))ﺳﻨﻦ‬ ))
- - - -
(177 3 : ).

“Dan dalam Musnad dan Sunan Abi Dawud dan An-Nasa’I dari Abu Sa’id bahwa seseorang masuk masjid
dengan keadaan yang lusuh (karena miskin, pen). Sedangkan Nabi shallallahu alaihi wasallam masih
sedang berkhutbah hari Jum’at. Maka Nabi menganjurkan shadaqah. Para manusia melemparkan
baju-baju…..dan seterusnya.” (Fathul Bari libni Rajab: 3/177).

Berkata Al-Allamah Waliyuddin At-Tibrizi:

(308 2 : ) ( ) ‫ﻗﻮﻟﻪ‬

“Kata ‘dari makanan (dalam hadits di atas)’ zhahirnya di sini adalah biji-bijian. Mungkin hanya
menyebut ini (biji-bijian) tanpa menyebutkan uang kontan karena keumumunannya (tersedia banyak
makanan tapi jarang yang memiliki uang kontan, pen).” (Mir’atul Mafatih Syarh Misykatil Mashabih:
2/308).

Apa kaitan hadits-hadits di atas dengan pembahasan kotak infaq?

Dari keterangan di atas dapat ditarik pelajaran bahwa pada masjid Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
ketika itu sudah dilaksanakan kegiatan penggalangan infaq dan sadaqah yang meliputi 2 hal:

1. Penggalangan dan pengumpulan harta sadaqah dan infaq. Hasilnya dapat dikumpulkan dengan
cara ditumpuk, atau cara lainnya (seperti dimasukkan ke dalam keranjang, kotak atau karung infaq).
2. Pembagian dari harta tersebut dapat secara langsung atau melalui petugas atau panitia yang
ditunjuk untuk membagikan.21

Bahkan Lajnah Da’imah dalam salah satu fatwanya –ketika ditanya tentang kotak amal yang dibuat oleh
suatu keluarga besar- menyatakan:

:
{ }:
.

“Yang pertama: Membuat kotak amal kebaikan untuk orang-orang fakir yang shalih termasuk amal
ma’ruf dan ihsan karena didalamnya terdapat amal baik kepada orang fakir serta membantu dan
memenuhi hajat mereka. Ini termasuk keumuman firman Allah: “Dan tolong-menolonglah kalian di atas
kebaikan dan takwa.” Dan juga masuk dalam keumuman nash-nash dari Al-Kitab dan As-Sunnah yang
mendorong silaturrahim dan lainnya dari fakir miskin. (Fatwa Lajnah Da’imah nomor: 4515 jilid 11 hal:
190-192. Ditandatangani oleh Syaikh Bin Baz (ketua), Syaikh Abdurrazaq Afifi (wakil ketua) dan Syaikh
Abdullah Qu’ud (anggota)).

Cuma yang masih menjadi permasalahan sekarang adalah mengedarkan kotak infaq ketika khutbah hari
raya masih berlangsung. Ini yang menyelisihi petunjuk Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Yang
benar adalah setelah selesai khutbah hari raya. Jabir bin Abdillah radliyallahu anhu berkata:

21
Jika kegiatan menggalang dana infaq dan shadaqah dianggap sebagai tasawwul (mengemis) maka Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam dan para sahabat radliyallahu anhum jatuh pada perbuatan tasawwul. Na’udzubillahi min ihaanati salafinaa.

23
“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengadakan shalat hari raya, beliau memulai dengan shalat
kemudian berkhutbah. Setelah selesai khutbah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam turun kemudian
mendatangi para wanita sambil bersandar pada tangan Bilal radliyallahu anhu. Beliau memperingatkan
mereka (agar bershadaqah). Bilal menengadahkan bajunya dan para wanita melempar shadaqah
mereka ke baju Bilal.” (HR. Bukhari: 925).

Alhamdulillah, sampai disini semoga para pembaca sekalian jelas tentang masalah Yayasan, Organisasi
ini. Silakan simak bab III, kesimpulan.

24
BAB III. KESIMPULAN
Pendirian organisasi dakwah, kotak infaq adalah termasuk masalah wasilah dan mashalih mursalah.22
Maka sangat tidak tepat fatwa yang membid’ahkan yayasan dakwah dan kotak infak apalagi
menjatuhkan vonis hizbi kepada orang yang mendirikan yayasan dakwah.23

Berita tentang ‘najwa’ didapati dalam banyak ayat Al-Quran. Begitu pula berbagai macam organisasi24 –
dengan segala bentuk kesederhanaannya- didapati pada masa salafush shalih dengan jalan penukilan
yang melebihi mutawatir. Sehingga orang yang mengingkari berita ini terancam untuk tidak bisa diambil
ilmunya.25 Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata:

“Pendapat yang dapat dijadikan sandaran adalah bahwa orang yang ditolak periwayatannya adalah
orang yang mengingkari atsar yang mutawatir dari syari’at yang diketahui dari ad-dien ini secara pasti,
begitu pula orang yang meyakini sebaliknya.” (Nukhbatul Fikr: 4).

Kiranya jelas bagi para pembaca sekalian, semoga menjadikan pencerahan bagi kita semua. Semoga
Allah Ta’ala selalu memberikan bimbingan, hidayah, taufiq, pada kita sekalian, sehingga selalu menetapi
kebenaran dan menjauhi kesesatan. Semoga Allah Ta’ala memberkahi kita semuanya.

Wallahu a’lam bish shawab.

22
Pendapat ini –yaitu menjadikan organisasi sebagai wasilah dakwah- adalah pegangan ahlus sunnah wal jama’ah al-firqatun
najiyah di dalam berdakwah kepada Allah. Perlu untuk diketahui bahwa sikap kaum muslimin terhadap organisasi dakwah
terbagi menjadi 3, yaitu:

 Kelompok yang menjadikan organisasi dakwah sebagai hizib, mengajak manusia berloyal kepada organisasi tersebut
dan memusuhi orang yang memusuhinya seperti Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin dan sebagainya. Ini adalah
keumuman firqah yang menyelisihi jalan yang lurus.

 Kelompok yang menjadikan organisasi dakwah sebagai wasilah dakwah. Kalau diperlukan maka didirikan organisasi
dakwah dan kalau tidak diperlukan maka dibubarkan. Ini adalah jalan pertengahan, jalan ahlus sunnah wal jama’ah.

 Kelompok yang mengharamkan organisasi dakwah secara muthlak. Mereka adalah madzhab hajuriyah.
23
Termasuk hal ini adalah apa yang ditulis oleh Al-Akh Abu Sulaim Sulaiman Al-Amboni –yang jauh dari tahqiq ilmiah- dalam
bukunya Ya Ustadz Ad-Dienun Nashihah: 8-9. Ia menjelaskan bahwa yayasan dakwah itu bid’ah dengan alasan: menyelisihi
dakwah para rasul, bukan jalan salaf, menimbulkan semacam syirik kecil karena bernaung dengan yayasan dakwah dan
adanya tasawwul dan mengambil harta manusia. Untuk membantah tulisan yang tidak berbobot ini saya serahkan kepada
pembaca yang budiman.
24
Meskipun lafazh ‘panitia, yayasan, jum’iyyah’ tidak didapati pada masa salafush shalih akan tetapi hakekat dan makna
perkumpulan dan najwa di jaman itu sama dengan organisasi di jaman ini. Asy-Syaikh Al-Walid Shalih Fauzan berkata:

“Maka wal hasil, sesungguhnya ini (hadits tentang Dzatu Anwath, pen) di dalamnya terdapat dalil atas kaidah: ‘Yang
dianggap adalah makna (dari sesuatu yang dibicarakan, pen) bukan lafazhnya’.” (I’anatul Mustafid: 162). Jadi najwa di
jaman Nabi shallallahu alaihi wasallam memiliki kesamaan makna dan hakekat dengan organisasi di jaman ini meskipun
lafazhnya berbeda.
25
Selain madzhab ini jatuh pada penolakan terhadap atsar mutawatir, madzhab ini juga terjatuh pada tajhil wa tadlil as-
salafish shalih (menganggap salafus shalih itu bodoh dan sesat). Jika mereka mengatakan bahwa organisasi dakwah itu
menyelisihi dakwah para rasul alaihimus salam maka organisasi darul arqam yang didirikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam itu juga menyelisihi dakwah para rasul, maha suci Allah dari ucapan mereka. Jika mereka mengatakan bahwa
organisasi dakwah bukan jalan salaf maka Amirul Mukminin Utsman bin Affan radliyallahu anhu yang memilih panitia
penyeragaman Al-Quran telah menyelisihi jalan salaf, maha suci Allah dari ucapan mereka. Akhirnya salafush shalih –
menurut mereka- jatuh pada syirik kecil dan tasawwul (mengemis). Subhanallah.

25
*) Tentang penulis26

Penulis dilahirkan di Mojokerto, 19 Februari 1977 (29 Shafar 1397 H) sebagai anak ke-2 dari delapan
bersaudara dari pasangan Fachrur Razi dan Dewi Masyithoh.

Pendidikan Umum:

1. SD Negeri Miji V Mojokerto 6 tahun


2. SMPN 2 Mojokerto 3 tahun
3. SMA Negeri Sooko 3 tahun
4. Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga lulus tahun 2003.
5. Juga beberapa kali mengikuti symposium, Continuing Education dan seminar ilmu kedokteran.

Pendidikan Agama:

Ada 2 fase:

1. Masih menganut sufi

 Sejak kecil mengaji Al-Quran di bawah bimbingan kakek yaitu KH. Syamsu Madyan sampai
khatam.
 Kemudian ketika kelas 1 SMP membaca Al-Quran secara tartil riwayat Hafsh an Ashim kepada KH.
Ali Hafizh (ahli qiraat tujuh) selama 6 tahun sambil diselingi pelajaran tajwid kitab Hidayatush Shibyan,
Tuhfatul Athfal, Nadzam Jazariyah. Ini dilakukan setiap ba’da Maghrib sampai Isya’.
 Mengikuti Madrasah Diniyah Awwaliyah setiap selesai pulang sekolah selama 3 tahun.
 Mengikuti Madrasah Diniyah Wustha setiap ba’da isya’ selama 2 tahun.
 Mengikuti pengajian ba’da shubuh kitab Fathul Mu’in (fiqih syafi’iyah) kepada KH Abdul
Muhaimin dan kitab Minhajul Abidin (tasawwuf) karya Al-Ghazali kepada KH. Muthahharun Afif, Lc.
(tetapi tidak sampai selesai)
 Mengikuti kilatan (Pesantren Kilat) yang diadakan setiap bulan Ramadlan dan libur panjang
sekolah dengan kitab Riyadlus Shalihin, Bulughul Maram, Mukhtarul Ahadits, Jawahirul Bukhari, Syarh
Lubabul Hadits (karya As-Suyuthi), Kasyifatus Saja syarh Safinatin Naja (fiqih Syafi’iyah). Semuanya
sampai selesai.
 Belajar ilmu falak tentang arah kiblat dengan segitiga bola kepada Drs. Musta’in.

2. Sebagai salafi

Penulis mengenal manhaj salaf ketika duduk di semester 3 FK Unair

 Mengikuti daurah sehari Al-Irsyad sekitar tahun 1997 dengan kitab Ashlus Sunnah wa I’tiqadud
Dien karya Al-Imam Ibnu Abi Hatim, disampaikan oleh Yazid Jawwas sampai selesai. (ini permulaan
Penulis mengenal manhaj salaf).
 Mengikuti kajian Tafsir Juz Amma (dari Tafsir Ibnu Katsir) kepada Ust. Hannan Bahannan di
Mushalla FK UNAIR, tetapi tidak selesai.
 Belajar aqidah dengan Qashidah Haa’iyah karya Ibnu Abi Dawud dan nazham Ibnu Taimiyah “Ya
Saa’ilii an Madzhabii wa Aqidati” kepada Ust. Afifuddin ketika masih di Ambon.
 Mengikuti Daurah Di ITS tentang “Pentingnya Ilmu” oleh Ust. Usamah Mahri, Lc.
 Belajar kitab Masa’il Jahiliyah, Kitabut Tauhid, Al-Arba’in An-Nawawiyah dan Minhajul Firqatin
Najiyah kepada Ust. Zainul Arifin, tetapi yang ke-3 terakhir tidak selesai.

26
Sebenarnya Penulis tidak ingin menyebutkan otobiografi ini. Akan tetapi karena sekarang ini banyak orang-orang yang
melecehkan orang yang membawa hujah maka Penulis memberanikan diri untuk menulisnya juga karena ingin meniru para
nabi seperti Nabi Isa alaihissalam. Beliau memaparkan otobiografi beliau untuk menghadapi pelecehan Bani Israil dalam QS
Maryam: 30-33).

26
 Belajar kepada Ust. Agus Su’aidi di Mushalla FK UNAIR kitab Lum’atul I’tiqad karya Ibnu
Qudamah sampai selesai dan Shahih Bukhari tapi hanya sempat sampai Kitabul Ilmi saja.

Menikah dengan dr. Win Khozainul Muna ketika masih menjalani Dokter Muda 2. Sampai sekarang
sudah dikaruniai 3 anak putri: Faqihah, Fauzanah dan Furoi’ah. Sekarang bekerja di sebuah sumah sakit
swasta di Babat Lamongan.

Al-hamdulillah sampai sekarang –di tengah kesibukan sebagai dokter- Penulis sudah hafal Al-Quran 30
juz (2 tahun lalu) dengan muraja’ah istri tercinta, Bulughul Maram 300 hadits, Alfiyah Ibnu Malik
(nahwu-sharaf) 350 bait, hafal matan Ushulus Tsalatsah, Al-Arbain Nawawi, matan Nukhbatul Fikr
(mushtalah hadits), dan matan nazham Qawaidul Fiqhiyyah karya al-Imam As-Sa’di.

Semoga Allah menjaga ilmu Penulis dan menjadikannya istiqamah. Amien.

Ditulis di Babat tanggal 19 Shafar 1430 bertepatan dengan 15 Februari 2009. Direvisi ulang tanggal 26
Shafar 1430 (21 Februari 2009). Direvisi kedua tanggal 23 Rabi’ul Awwal 1430 (20 Maret 2009). Direvisi
ketiga tanggal 22 Rabi’uts Tsani 1430 (18 April 2009).

27

Anda mungkin juga menyukai