Anda di halaman 1dari 5

Dakwah Berjamaah Merupakan Kewajiban

Apa seruan berjamaah? Allah yang mewajibkan kita untuk dakwah secara

Allah swt berfirman;


Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. [TQS Ali Imron (3):104] Imam Ibnu Katsir menyatakan;

: : " " ". : "


Maksud ayat ini adalah, hendaknya ada kelompok (firqah) dari umat ini (umat Islam) yang siap sedia menjalankan tugas tersebut (dakwah menuju Islam dan amar makruf nahi anil mungkar), walaupun (dakwah menuju Islam dan amar makruf nahi anil mungkar) juga kewajiban setiap individu umat ini; sebagaimana telah ditetapkan di dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah ra, bahwasanya ia berkata, Rasulullah saw bersabda,

" . "". : "


Siapa saja diantara kalian yang menyaksikan kemungkaran, hendaknya ia ubah dengan tangannya. Jika ia tidak mampu (mengubah dengan tangan) hendaknya dengan lisannya. Dan jika ia tidak mampu (mengubah dengan lisannya), hendaknya dengan hatinya. Di dalam riwayat lain dituturkan, Setelah itu tidak ada keimanan seberat biji gandum pun. [HR. Imam Muslim dari Abu Musa al-Asyariy]1 Di dalam Tafsir al-Thabariy disebutkan, Abu Jafar menyatakan, ..yakni adanya jamaaah (kelompok) yang menyeru manusia menuju kebaikan, yakni Islam dan syariat Islam yang telah disyariatkan Allah atas hambaNya; dan melakukan amar maruf nahi anil mungkar; yakni memerintahkan manusia untuk mengikuti Nabi Muhammad saw, dan agamanya yang berasal dari sisi Allah swt; dan mencegah kemungkaran; yakni mereka mencegah dari ingkar kepada Allah, serta (mencegah) mendustakan Nabi Muhammad saw dan ajaran yang dibawanya dari sisi Allah....2 Imam Ali Al-Shabuniy menyatakan, Maksudnya, hendaknya dirikanlah kelompok (thaaifah) dari kalian (umat Islam) untuk berdakwah menuju Allah, dan untuk mengajak kepada setiap kebajikan dan mencegah dari setiap kemungkaran.3 Dengan demikian, ayat di atas menunjukkan dengan sangat jelas bahwa, Allah swt telah memerintahkan kaum Muslim untuk mendirikan serta bergabung jamaah, thaifah, hizb, atau kelompok dari kalangan kaum Muslim yang bertugas menyeru kepada Islam dan melakukan amar makruf nahi anil mungkar Alasan lain yang mengharuskan seorang Muslim melibatkan diri dalam kelompok, jamaaah, atau partai yang berdiri di atas sunnah Nabi saw, dan yang bertujuan menegakkan hukum-hukum Allah secara kaaffah adalah; kenyataan bahwa, perjuangan menegakkan hukum-hukum Allah swt secara menyeluruh tidak mungkin dilakukan
1

2 3

Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, surat Ali Imron (3):104; lihat juga Imam Qurthubiy, Tafsir alQurthubiy, surat Ali Imron (3):104; Imam Suyuthiy, Tafsir Jalalain, dan kitab-kitab tafsir lainnya. Imam al-Thabariy, Tafsir al-Thabariy, surat Ali Imron (3):104 Imam Ali al-Shabuniy, Shafwat al-Tafaasiir, juz 1, hal. 221

seorang diri, atau melalui amal fardiy (kerja individual). Tujuan semacam ini hanya bisa diwujudkan melalui perjuangan yang bersifat kolektif (amal jamaaiy). Selain itu, perjuangan menegakkan kembali hukum-hukum Allah swt secara kaaffah merupakan perjuangan yang sangat berat dan membutuhkan andil banyak orang; dan tidak mungkin dipikul oleh seorang individu saja. Kaedah syariyyah menyatakan;


Tidak tersempurnanya suatu kewajiban kecuali dengan sesuatu maka sesuatu itu menjadi wajib

Apakah bergabung perpecahan?

dengan

sebuah

jamaah

akan

menimbulkan

Adapun pernyataan yang menyatakan bahwa, keberadaan kelompok-kelompok tersebut telah menyebabkan kaum Muslim terpecah belah, sehingga kelompok itu harus dijauhi; sesungguhnya alasan semacam ini tidaklah benar. Harus ditegaskan; banyaknya kelompok, partai, atau jamaah yang berdiri di atas Islam bukan sesuatu yang terlarang. Sebab, kata ummah dalam Surat Ali Imron:104 berbentuk ism al-jins sehingga tidak membatasi hanya satu. Pada dasarnya, salah satu faktor yang menyebabkan kaum Muslim terpecah belah adalah, adanya fanatisme kelompok dan madzhab yang berlebih-lebihan. Sikap inilah, sesungguhnya yang menyebabkan kaum Muslim terpecah belah, bukan banyaknya kelompok, partai, maupun madzhab. Di dalam lintasan sejarahnya, kaum Muslim telah terbiasa dengan banyak madzhab dan kelompok, akan tetapi mereka tetap bisa bersatu dan tidak terpecah belah. Faktor lain yang menyebabkan kaum Muslim terpecah belah adalah ketiadaan seorang Imam (Khalifah). Adapun alasan ketiga untuk menolak keberadaan kelompok, partai, dan jamaah Islam adalah, masing-masing kelompok tersebut fanatik dengan kelompoknya sendiri dan berbangga-bangga dengan apa yang ada pada diri mereka. Mereka mengetengahkan firman Allah swt;


yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.[TQS al-Ruum (30): 32], dan masih banyak ayat-ayat yang memiliki pengertian senada, misalnya Al-Maidah (5):53; al-Mu`minuun (23):54], dan sebagainya. Berdasarkan ayat ini, mereka menyatakan bahwa kelompok, partai, atau jamaaah yang ada sekarang ini telah menyebabkan munculnya sikap fanatisme kelompok dan berbangga-bangga dengan kelompoknya sendiri, sehingga mereka harus dijauhi. Oleh karena itu, semua hizb (kelompok) adalah haram. Lantas, benarkah pendapat semacam ini? Untuk menjawab pertanyaan ini ada baiknya kita simak penjelasan para ulama tafsir tentang ayat ini. Imam Ibnu Katsir di dalam Tafsir Ibnu Katsir menyatakan;

: } { : : . : " " : : } { ]: 951[


2

Adapun firman Allah swt: (min al-ladziina farraquu diinahum wa kaanuu syiyaan kullu hizb bimaa ladaihim farihuun), maksudnya adalah, janganlah kalian menjadi bagian orang-orang musyrik yang telah memecahbelah agama mereka; yakni mengganti dan mengubah agamanya, iman terhadap sebagian dan kafir (ingkar) terhadap sebagian yang lain. Sebagian ulama membaca dengan : (faaraquu diinahum), yang maknanya adalah taarakuuhu wara`a dzahrihi (meninggalkan agamanya di belakang punggung mereka). Mereka itu seperti orang-orang Yahudi, Nashraniy, Majusiy, penyembah berhala, dan semua pemilik agama bathil; selain penganut agama Islam; sebagaimana firman Allah swt, artinya Sesungguhnya, orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggungjawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya, urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.[TQS Al Anaam (6):159] Penganut agama sebelum kita telah berselisih di antara mereka mengenai pemikiran-pemikiran dan syariat-syariat agama yang bathil. Setiap kelompok mengaku berada di atas kebenaran. Umat ini (umat Islam) juga akan berselisih dalam urusan agama, dan seluruhnya, kecuali satu kelompok, yakni ahlu al-sunnah wa al-jamaaah yang senantiasa berpegang teguh kepada Kitabullah dan Sunnah NabiNya, dan apa yang telah ditempuh oleh generasi awal Islam dari kalangan shahabat ra dan tabiuun dan para ulama kaum Muslim baik salaf maupun khalaf; sebagaimana dituturkan oleh Imam alHakim di dalam al-Mustadrak, bahwasanya Nabi saw ditanya tentang firqah al-naajiyah (kelompok yang selamat) dari kalangan mereka. Nabi saw menjawab, Kelompok yang berada di atas jalan yang aku tempuh saat ini dan juga para shahabat.4 Berdasarkan penjelasan di atas dapatlah disimpulkan bahwa kelompok (firqah) yang dicela dan berbangga-bangga dengan apa yang ada pada diri mereka, adalah kelompok yang berbangga-bangga dengan keyakinan dan pendirian mereka yang sesat dan kufur. Kelompok ini telah mengganti dan mengubah sendi keyakinan dan syariat agama mereka, lalu mereka berbangga-bangga dengan keyakinan dan syariat agama yang telah menyimpang dan sesat itu. Kebanggaan yang dilarang di dalam ayat tersebut adalah kebanggaan dalam kesesatan dan kekufuran. Sedangkan kebanggaan dalam Islam atau pada perkara yang wajib dibanggakan bukanlah kebanggaan yang dilarang. Misalnya, seorang Muslim harus berbangga dengan dan menunjukkan keislamannya. Sebab, secara bahasa kata al-farh berarti naqiidl al-huzn (lawan dari sedih)5. Menurut ulama tafsir, frase (farihuun) pada ayat di atas bermakna masruurun, mujibuun, dan raadluun (senang, kagum, dan ridla)6. Dengan demikian, seorang Muslim wajib ridlo, senang, dan kagum dengan agama Allah dan para perkara yang boleh dibanggakan. Allah swt berfirman;

: " . "][


Katakanlah: "Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira (yafrahuu). Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan". [TQS Yunus (10):58]
4 5

Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, juz 6, hal. 317 Ibnu Mandzur, Lisaan al-Arab, juz 2, hal. 541; Ibnu Sayyidih, al-Muhkam wa al-Muhiith al-Adzam, juz 2, hal. 23 6 Imam An Nasaafiy, Madaarik al-Tanziil, juz 2, hal. 138 menafsirkan frase farihuun dengan masruurun; Imam Zuhailiy, al-Tafsiir al-Muniir, juz 17, hal. 56 menafsirkannya dengan masruurun mujibuun; alKhaazin, Lubaab al-Tawiil, juz 3, hal. 273; dan Samarqandiy, Bahr al-Uluum, juz 2, hal.410, menafsirkannya dengan mujibuun raadluun; Imam Qurthubiy, Tafsir Qurthubiy, juz 6, hal. 86, Imam Baidlawiy, Tafsir al-Baidlawiy, juz 2, hl. 106; dan Imam Syaukaniy, Fath al-Qadiir, juz 2, hal. 604, mengartikannya dengan mujibuun. Al-Wahidiy, al-Wasiith, juz 3, hal. 292, menafsirkannya dengan raadluun.

Berbangga dan bergembira dengan kurnia dan rahmat Allah sesuatu yang dibenarkan, dan tidak dilarang. Sedangkan berbangga dengan sesuatu yang seharusnya tidak boleh dibanggakan adalah terlarang. Misalnya, Allah swt berfirman;


dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri. [TQS Al Hadiid (57):23] Oleh karena itu, berbangga-bangga yang dilarang dalam konteks ayat di atas (surat Ruum: 32) adalah berbangga-bangga dalam kesesatan dan kekufuran. Sedangkan berbangga-bangga dalam kebenaran dan keIslaman bukanlah sesuatu yang dilarang. Berdasarkan uraian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa, ayat ini tidak bisa ditujukan kepada kelompok-kelompok Islam yang masih tegak di atas sunnah Nabi saw, dan tidak mengganti sendi-sendi dan syariat agama Islam. Semampang, aqidah mereka tetap Islam, dan mereka masih berjalan di atas jalan yang lurus, dan berjuang untuk menegakkan Islam, maka kelompok seperti ini bukanlah firqah yang disinggung oleh ayat ini. Oleh karena itu, kelompok Islam, baik yang berbentuk jamaaah, partai, atau hizb yang ada di dunia Islam saat ini, yang didirikan untuk memenuhi seruan Allah swt dalam surat Ali Imron ayat 104, dan yang tetap berdiri di atas jalan lurus (sunnah Nabi saw), bukanlah kelompok yang diharamkan. Kelompok-kelompok seperti ini tidak boleh dijauhi, bahkan seorang Muslim wajib membantu perjuangan mereka dengan harta dan jiwa. Sedangkan kelompok, partai, atau jamaaah yang didirikan di atas aqidah kufur, semacam sekulerisme, demokrasi, sosialisme, nasionalisme, dan sebagainya; serta bertujuan untuk menerapkan dan melanggengkan sistem kufur, maka kelompok-kelompok seperti ini adalah kelompok yang harus dijauhi; dan kaum Muslim dilarang membantu atau melibatkan diri di dalamnya. Pasalnya, kelompok ini tidak berada di atas jalan yang lurus (sunnah Nabi saw), alias telah menyimpang dari jalan Islam. Kelompok-kelompok seperti inilah yang dimaksud oleh nash-nash al-Quran dan hadits riwayat Hudzaifah al-Yamaniy di atas, sebagai firqah yang sesat dan harus dijauhi kaum Muslim. Bukan hizb atau firqah yang tetap berjalan di atas sunnah Nabi saw. Di samping itu, Rasulullah saw juga secara tegas menyebutkan dan memuji keberadaan firqah naajiyyah (kelompok yang selamat). Nabi saw juga memuji dan menyebut thaaifah al-zhaahirah (kelompok yang menang). Kewajiban Mendirikan Jama'ah atau Partai Politik Berbasis Islam Al-Quran telah menyatakan dengan sangat jelas adanya kewajiban atas kaum Muslim untuk mendirikan jama'ah, partai politik, hakarah, atau hizb. Allah swt berfirman:


"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. [TQS Ali Imran (3) : 104] Menurut Ibnu Katsir, maksud ayat ini adalah hendaknya ada firqah (kelompok) dari umat ini (umat Islam) yang melaksanakan kewajiban tersebut (yad'una ila al-khair wa ya'muruuna bi al-ma'ruf wa yanhauna 'an al-mungkar), meskipun kewajiban tersebut juga berlaku bagi setiap individu umat ini; seperti yang telah ditetapkan di dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah, "Siapa saja diantara kalian yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya; jika tidak mampu hendaklah ia mengubahnya dengan lisannya, dan jika tidak mampu, maka ubahlah dengan hatinya, dan ini adalah selemah-lemah iman."[HR. Muslim] [Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, surat Ali Imron:104]

Beberapa ahli tafsir lain memaknai kata (ummah) di dalam ayat itu dengan jamaaah7. Ulama tafsir lain memaknainya dengan thaaifah.8 Sedangkan kata aljamaaah, firqah, dan thaaifah memiliki pengertian yang sama, yakni sekumpulan manusia9. Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa, meskipun di satu sisi, Allah swt memerintahkan kaum Muslim untuk hidup di dalam satu kesatuan ummat, yakni jamaaat al-muslimiin (seluruh kaum Muslim yang dipimpin seorang khalifah), akan tetapi, di sisi lain, Allah juga memerintahkan kaum Muslim untuk mendirikan "firqah, thaaifah, atau jamaaah (kelompok)" dari kalangan kaum Muslim, yang bertujuan melaksanakan dakwah menuju Islam (yaduuna ila al-khair) dan amar makruf nahi anil mungkar; meskipun hal ini juga merupakan kewajiban setiap individu kaum Muslim. Kesimpulan seperti ini bisa dimengerti karena, huruf "min" pada frase (minkum) pada surat Ali Imron : 104 tersebut berfungsi untuk "tab'idl" (membatasi) bukan untuk "bayan" (menjelaskan). Atas dasar itu, kewajiban mendirikan jamaaah yang bertugas melakukan dakwah menuju Islam (yaduuna ila al-khair) dan amar makruf nahi anil mungkar, adalah fardlu kifayah. Adapun sebagian mufassir yang berpendapat bahwa huruf "min" pada surat Ali Imron 104 ini bermakna lil bayan, sesungguhnya pendapat semacam ini telah dilemahkan oleh Imam Thabariy, Ibnu Katsir, Al-Hafidz Suyuthiy, Imam Qurthubiy, dan lain-lain10. Menurut Imam Qurthubiy, makna li tab'iidl lebih shahih. Adapun makna dari kata al-khair yang tercantum dalam frase [yaduuna ila alkhair: menyeru kepada kebajikan] adalah Islam beserta syariah yang disyariatkan Allah kepada hambaNya. Ini adalah penafsiran Imam Thabariy11. Ada pula yang mengartikan al-khair dengan al-diin secara keseluruhan, baik yang menyangkut ushul, furu, dan syariatnya. Penafsiran semacam ini diketengahkan oleh Imam al-Sadiy12. Sedangkan mufassir lain menafsirkan al-khair dengan Islam itu sendiri13. Sedangkan makna kata al-makruf dalam frase [amar makruuf] adalah semua hal yang sejalan dengan al-Kitab dan Sunnah. Sedangkan al-mungkar adalah semua hal yang bertentangan dengan al-Kitab dan Sunnah14. Dengan demikian, surat Ali Imron ayat 104 merupakan dalil sharih wajibnya kaum Muslim untuk mendirikan sebuah partai politik yang bertujuan menyeru kepada Islam dan melakukan amar ma'ruf nahi 'anil mungkar. Hanya saja, hukum mendirikan jama'ah atau partai politik berasaskan Islam adalah fardlu kifayah, bukan fardlu 'ain. Artinya, jika ada sebagian kaum Muslim yang telah menunaikan kewajiban tersebut, dan mereka berhasil menuntaskan kewajiban tersebut, maka gugurlah kewajiban itu bagi kaum Muslim lainnya.

Al-Alusi, Ruuh al-Maaaniy, juz 2, hal. 237; al-Samarqandiy, Bahr al-Uluum, juz 1, hal. 289; Al-Baqaiy, Nadzm al-Durar, juz 2, hal. 132; Ali al-Shabuniy, Shafwat al-Tafaasiir, juz 1, hal. 201. 8 Al-Jazairiy, Aysar al-Tafaasiir,juz 1, hal. 357-358 9 Imam Ibnu Mandzur, Lisaan al-Arab, juz 8, hal. 53; al-Muhkaam wa al-Muhiith al-Adzam, juz 1, hal. 120121; Imam al-Raziy, Mukhtaar al-Shihaah, hal. 501 10 Imam Qurthubiy, al-Jaami li Ahkaam al-Quran, juz 4, hal. 106; Abu Hayyan, al-Bahr al-Muhiith, juz 2, hal. 23; al-Zamakhsyariy, al-Kasysyaaf, juz 1, hal. 288; Imam Nasaafiy, Madaarik al-Tanziil wa Haqaaiq alTa`wiil, juz 1, hal. 94; Imam al-Syaukaniy, Fath al-Qadiir, juz 1, hal. 465; Imam Baidlawiy, Anwaar alTanziil wa Asraar al-Ta`wiil, juz 1, hal. 173; dan lain-lain. 11 Imam Thabariy, Tafsir al-Thabariy, juz 3, hal. 385 12 Abd al-Rahman al-Sadiy, Taysiir al-Kariim al-Rahmaan, juz 1, hal. 288. 13 Imam al-Naisaburiy, Tafsiir Gharaaib al-Quran, juz 1, hal. 474-475; Imam Suyuthiy, al-Durr al-Mantsuur, juz 2, hal. 110; Abu Hayyan al-Andalusiy, Tafsiir al-Bahr al-Muhiith, juz 2, hal. 23; dan lain sebagainya. 14 Imam al-Nasafiy, Tafsir al-Nasafiy, juz 1, hal. 94.

Anda mungkin juga menyukai