Anda di halaman 1dari 15

Dasar Hukum

Al-Imran : 104

104. Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang
yang beruntung.

Salah satu upaya memahami keagungan ayat al-Quran adalah dengan menyingkap
kandungan dalam ayat-ayat al-Quran. Dalam QS. li Imrn [3]: 104, setidaknya bisa kita
ulas sebagai berikut:

) ,
Pertama, dalam kalimat ( yakni terkumpulnya dua
kata dan dua kalimat yang berkebalikan (dalam satu ayat); antara menyuruh dan melarang,
antara yang maruf dan yang mungkar yakni menyuruh kepada yang maruf dan melarang
dari kemungkaran dalam satu ayat.

Kedua, menyebutkan perbuatan menyuruh kepada yang maruf dan melarang dari
)
kemungkaran ( setelah menyebutkan kata al-khayr (yakni al-
Islam), dimana al-khayr ini umum dan menyuruh kepada yang maruf dan melarang
dari kemungkaran adalah khusus bagian dari keumuman al-khayr dalam ayat tersebut.
Ini menunjukkan keutamaan yang khusus, penekanan atas pentingnya kedudukan perkara
yang khusus tersebut atau dengan kata lain ayat ini menunjukkan keutamaan menyuruh
kepada yang maruf dan melarang dari yang mungkar atas segala bentuk kebaikan.

Melalui ayat di atas Allah SWT memerintahkan umat islam agar diantara mereka ada
sekelompok orang yang bergerak dalam bidang dakwah yang selalu memberi peringatan
apabila nampak gejala-gejala perpecahan dan pelanggaran terhadap ajaran agama, dengan
jalan mengajak dan menyeru manusia untuk melakukan kebajikan, menyuruh kepada maruf
dan mencegah yang mungkar.
Cara yang ditempuh dengan cara menyadarkan manusia bahwa perbuatan-
perbuatan yang baik itu akan mendatangkan keuntungan dan kebahagiaan baik di
dunia maupun di akhirat. Begitu juga sebaliknya, bahwa kemungkaran dan kejahatan
itu akan selalu menimbulkan kerugian dan kemudhorotan, baik bagi pelakunya
maupun orang lain. Tujuan dakwah tidak dapat tercapai hanya dengan anjuran melakukan
kebaikan saja tanpa dibarengi dengan sifat-sifat keutamaan dan menghilangkan sifat-sifat
buruk dan jahat. Agar tujuan dakwah dapat tercapai dengan baik maka umat Islam harus
mengetahui persyaratan dan taktik perjuangan untuk mencapainya.

Kemenangan tidak dapat tercapai tanpa kekuatan, kekuatan tidak akan terwujud tanpa
persatuan. Persatuan dan kesatuan tidak dapat diraih kecuali diimbangi dengan sifat-sifat
utama. Sifat inipun tidak akan terpelihara tanpa terjaganya agama. Akhirnya, agama tidak
mungkin terjaga tanpa adanya dakwah. Dari sinilah dapat dimengerti apabila Allah
mewajibkan umat Islam untuk melakukan dan menggiatkan dakwah agar agama yang mereka
anut dapat berkembang dengan baik dan sempurna, sehingga misi agama memberikan
rahmat bagi seluruh alam dapat tercapai. Tanpa adanya dakwah, agama tidak mungkin dapat
berkembang.

Abu Jafar al-Baqir berkata, Rasulullah pernah membaca ayat:

(Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan.) Lalu beliau bersabda: ). , (Kebajikan itu adalah
mengikuti al-Quran dan Sunnahku. (HR. Ibnu Mar-dawaih).

Maksud ayat ini, hendaklah ada segolongan dari umat yang siap memegang
peran ini, meskipun hal itu merupakan kewajiban bagi setiap individu umat sesuai
dengan kapasitasnya, sebagaimana ditegaskan dalam kitab Shahih Muslim

)
(
Daripada Abu Said al-Khudri ( r.a ), beliau mendengar Rasulullah
bersabda: Barangsiapa di kalangan kamu melihat kemungkaran hendaklah mengubah
dengan tangannya, jika tidak mampu, maka dengan lidahnya dan jika tidak mampu, maka
dengan hatinya dan demikian itu adalah selemah-lemahnya iman.

Asbabun Nuzul
Seorang Yahudi bernama Syas bin Qais yang sangat benci dan memusuhi kaum
Muslimin, pada suatu hari lewat dihadapan kelompok sahabat Ansar yang sedang berbicara
dengan penuh rasa persaudaraan. Iini menyebabkan rasa dengki di hatinya terhadap sahabat-
sahabat Ansar yang hidup rukun dan damai. Dia berkata dalam hatinya, "Jika kaum
Muslimin hidup rukun dan bersatu padu, niscaya golongan Yahudi tidak akan mendapat
kedudukan lagi di Madinah."

Karena itu ia menyuruh seorang pemuda Yahudi menghampiri sahabat- sahabat


Ansar yang sedang berkumpul, dan meniupkan api pertentangan di kalangan mereka dengan
membangkit-bangkitkan kembali suasana perang saudara yang sering terjadi kabilah Aus dan
Khazraj terutama waktu Perang Buas, di mana kabilah Aus dapat mengalahkan kabilah
Khazraj. Pemuda itu berhasil menimbulkan permusuhan, dengan menyebut-nyebut kejadian
waktu Perang Buas sehingga permusuhan yang sudah terkikis habis di kalangan Aus dan
kabilah Khazraj, timbul kembali, dan dengan segera mereka masing-masing menghunus
pedang untuk bertempur.

Berita itu sampai kepada Nabi Muhammad saw lalu beliau segera datang ke tempat
itu bersama kaum Muhajirin dan Ansar. Dengan penuh kebijaksanaan beliau menasihati
kaum Aus dan Khazraj agar jangan tergoda oleh hasutan pihak lawan dan mengajak mereka
kembali kepada suasana damai dan memperkuat persaudaraan yang sudah dibina oleh
Rasulullah saw Madinah. Beliau bersabda, "Mengapa kamu masih mengajak kepada suasana
jahiliah lagi, padahal aku berada di tengah-tengah kamu? Allah telah memuliakan kamu
dengan agama lslam dan mempersatukan hati kamu dalam satu persaudaraan. Maka sadarlah
golongan Aus dan Khazraj, bahwa mereka telah tertipu oleh godaan setan dan tipu muslihat
musuh. Lalu mereka meletakkan senjata dan berangkulan sambil mencucurkan air mata dan
kembali bersama Rasulullah saw maka turunlah ayat ini.

A. Pendapat Ahli Tafsir dan Ulama


a. Tafsir Al-Azhar
Setengah ahli tafsir mengatakan, bahwasanya yang dimaksud dengan Al Khairi yang
berarti kebaikan di dalam ayat ini ialah Islam; yaitu memupuk kepercayaan dan iman kepada
Tuhan, termasuk at Tauhid dan Marifat, dan itulah hakekat kesadaran beragama yang
menimbulkan tahu membedakan yang baik dengan yang buruk yang ma'ruf dengan yang
munkar. Selanjutnya ialah timbul dan tumbuh rasa kebaikan dalam jiwa yang menyebabkan
tahu pula dan berani menegakkan mana yang ma'ruf dan menentang mana yang munkar.
Kalau kesadaran beragama belum tumbuh, menjadi sia-sia sajalah menyebut yang ma'ruf dan
menentang yang munkar. Sebab untuk membedakan yang maruf dengan yang munkar tidak
lain dari ajaran dakwah,hendaklah kesadaran beragama ini wajib ditimbulkan terlebih dahulu.
Suatu dakwah yang mendahulukan hukum halal dan hukum haram, sebelum orang yang
menyadari agama, adalah perbuatan yang percuma, sama saja seperti seseorang yang
menjatuhkan talak kepada istri orang lain.

Disini kita bertemu dengan dua kata penting, yaitu pertama yang berarti Umatun,
yang berarti umat. Hendaklah antara kamu ada suatu umat. Yang kedua kata Yad'unna,
yaitu melancarkan dan menjalankan seruan, tegasnya dakwah. Dari ayat ini dapat dipahami
bahwa di kalangan umat islam yang besar jumlahnya ini, dewasa ini tidak kurang dari 900
juta umat. Hendaklah ada lagi segolongan umat yang menjadi inti; yang kerjanya khusus
mengadakan dakwah. Atau hendaklah seluruh umat itu sendiri sadar akan kewajibannya
mengadakan dakwah. Sebab kehidupan agama, kemajuan atau kemundurannya sangat
bergantung kepada dakwah.

Ayat yang mengatakan : Hendaklah ada antara kamu segolongan umat menyeru
kepada kebaikan. Jelaslah, bahwa bidang yang akan dihadapi oleh umat pemegang dakwah
itu ada dua. Pertama dakwah kedalam kalangan umatnya sendiri dan kedua dakwah keluar
kalangan Islam.

Pada zaman hidup Rasulullah s.a.w. dan beberapa waktu kemudian setelah beliau
meninggal dunia, orang-orang yang telah beragama Islam sendiri, masih menerima dakwah
langsung dari Muhammad s.a.w. dan para sahabat beliau. Maka hukum-hukum yang belum
diketahui, mereka minta penjelasannya kepada Rasul. Kalau tidak tahu mereka bertanya.
Setelah zaman Rasul dan zaman sahabat berlalu, datanglah Ulama-ulama, sejak Tabi'in,
sampai kepada Tabi' -Tabi'in sampai kepada ulama Mutaqaddimin, sampai kepada ulama
Mutaakhirin, melanjutkan dakwah dalam kalangan islam sendiri, supaya muslim itu sadar
terus akan agamanya.
Dalam pada itu diadakan pula dakwah keluar, memberikan pengertian tentang
hakekat kebenaran Islam kepada orang-orang yang belum memeluknya.

Yang ma'ruf, sebagaimana kita katakan tadi, ialah perbuatan ajaran baik yang
diterima oleh masyarakat yang baik. Dengan demikian nyatalah kewajiban seorang yang jadi
ahli dakwah atau umat dakwah membentuk pendapat umum yang sehat, atau public opini.

Dan yang munkar adalah segala perbuatan atau gejala-gejala yang buruk yang ditolak
oleh masyarakat. Dengan selalu adanya dakwah, maka terdapatlah masyarakat yang sehat.
Dan itulah tujuan hidup manusia, sebab manusia itu pada hekekatnya tidaklah ada yang
menyukai yang munkar dan menolak yang maruf. Maka apabila amar maruf nahi munkar
terhenti, itulah tanda bahwa bahwa masyarakat tadi mulai ditimpa penyakit. Kemenangan dan
kejayaan hidup manusia ialah pada adanya kesadaran akan kebaikan dan maruf dan tolakan
yang mutlakatas yang munkar. Itulah sebabnya maka ujung ayat menegaskan : Dan mereka
itu, ialah orang-orang yang beroleh kemenangan. (ujung ayat 104).

b. Tafsir dari Departemen Agama Pemerintah Indonesia

Maksud dari ali imran 104 ini ialah perlu adanya segolongan umat lslam yang
bergerak dalam bidang dakwah yang selalu memberi peringatan. Bilamana tampak gejala-
gejala perpecahan dan penyelewengan. Karena itu pada ayat ini diperintahkan agar di antara
umat Islam ada segolongan umat yang terlatih di bidang dakwah yang dengan tegas
menyerukan kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf (baik) dan mencegah dari
yang mungkar (maksiat). Dengan demikian umat Islam akan terpelihara dari perpecahan dan
infiltrasi pihak manapun.

Menganjurkan berbuat kebaikan saja tidaklah cukup tetapi harus dibarengi dengan
menghilangkan sifat-sifat yang buruk. Siapa saja yang ingin mencapai kemenangan, maka ia
terlebih dahulu harus mengetahui persyaratan dan taktik perjuangan untuk mencapainya,
yaitu kemenangan tidak akan tercapai melainkan dengan kekuatan, dan kekuatan tidak akan
terwujud melainkan dengan persatuan. Persatuan yang kukuh dan kuat tidak akan tercapai
kecuali dengan sifat-sifat keutamaan. Tidak terpelihara keutamaan itu melainkan dengan
terpeliharanya agama dan akhimya tidak mungkin agama terpelihara melainkan dengan
adanya dakwah. Maka kewajiban pertama umat Islam itu ialah menggiatkan dakwah agar
agama dapat berkembang baik dan sempurna sehingga banyak pemeluknya.
Dengan dorongan agama akan tercapailah bermacam-macam kebajikan sehingga
terwujud persatuan yang kukuh kuat. Yang tersebut akan timbullah kemampuan yang besar
untuk mencapai kemenangan dalam setiap perjuangan. Mereka yang memenuhi syarat-syarat
perjuangan itulah orang-orang yang sukses dan beruntung.

c. Tafsir Ibn Katsir

Allah swt. berfirman: wal takum minkum ummatuy yaduuna ilal khairi wa
yamuruuna bil maruufi wa yanHauna anil munkari wa ulaa-ika Humul muflihuun (Dan
hendaklah di antara kamu ada segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyeru
kepada yang maruf dan mencegah kemunkaran. Mereka itulah orang-orang yang
beruntung.)

Adh-Dhahhak berkata: Mereka itu adalah khusus para Sahabat, khusus para
Mujahidin dan ulama.

Abu Jafar al-Sair berkata, Rasulullah pernah membaca ayat: wal takum minkum
ummatuy yaduuna ilal khairi (Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang
menyeru kepada kebajikan.) Lalu beliau bersabda: Kebajikan itu adalah mengikuti al-
Quran dan Sunnahku. (HR. Ibnu Mar-dawaih).

Maksud ayat ini, hendaklah ada segolongan dari umat yang siap memegang peran ini,
meskipun hal itu merupakan kewajiban bagi setiap individu umat sesuai dengan kapasitasnya,
sebagaimana ditegaskan dalam kitab Shahih Muslim, dari Abu Hurairah, ia berkata,
Rasulullah bersabda: Barangsiapa melihat kemunkaran, maka hendaklah ia merubah dengan
tangannya, jika tidak mampu, maka hendaklah ia merubah dengan lisannya dan jika tidak
mampu juga, maka hendaklah ia merubah dengan hatinya dan yang demikian itu merupakan
selemah-lemah iman. (HR. Muslim)

Dalam riwayat lain disebutkan: Dan setelah ketiganya (tangan, lisan, dan hati) itu,
maka tidak ada lagi iman meskipun hanya sebesar biji sawi.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Hudzaifah bin al-Yaman, bahwa Nabi pernah
bersabda: Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, hendaklah kalian menyuruh
kepada yang maruf dan mencegah kemunkaran, atau Allah akan menyegerakan penurunan
adzab untuk kalian dari sisi-Nya, lalu kalian berdoa memohon kepada-Nya dan Dia tidak
mengabulkannya untuk kalian. (HR. At-Tirmidzidan Ibnu Majah. At-Tirmidzi berkata,
hadits ini hasan).

d. Tafsir Al-Maraghi

Al-Khairu artinya sesuatu yang di dalamnya terkandung kebajikan bagi umat manusia
dalam masalah agama dan duniawi.

Hendaklah ada di antara kalian suatu golongan yang membeda, bekerja untuk
dakwah, amar ma ruf dan nahi munkar, orang yang diajak bicara dalam ayat ini ialah kaum
Mu'minin seluruhnya. Mereka terkena taklif agar memilih suatu golongan yang melaksanakan
kewajiban ini. Realisasinya adalah hendak nya masing-masing anggota kelompok tersebut
mempunyai dorongan dan mau bekerja untuk mewujudkan hal ini, mengawasi
perkembangannya dengan kemampuan optimal. Sehingga, bila mereka melihat kekeliruan
atau penyimpangan dalam hal ini (amar ma'ruf nahi munkar), segera mereka
mengembalikan nya ke jalan yang benar.

Kaum Mu'minin di masa permulaan Islam berjalan pada sistem ini, yaitu melakukan
pengawasan terhadap orang-orang yang melaksanakan pekerjaan-pekerjaan umum. Khalifah
Umar ra. pernah berkhutbah di atas mimbar, dan di antara ucapannya ialah, "Jika kalian
melihat dalam diriku suatu penyimpangan, maka luruskanlah oleh kalian." Lalu, salah
seorang penggembala berdiri seraya berkata, "Seandainya kami melihat penyimpangan dalam
dirimu, maka akan kami luruskan dengan pedang kami.

Para sahabat sendiri saling membantu dalam melaksanakan kewajiban ini. Masing-
masing merasakan betapa pentingnya penyebaran panji islam, pelestariannya dan melawan
orang yang coba-coba berani menjamah salah satu di antara kaidah Islam dan akhlaknya,
termasuk hukum dan kemaslahatan pemeluknya. Dan, kaum Muslimin lainnya mengikuti
jejak mereka pula.

Syarat Amar Ma'ruf Nahi Munkar.

Wajib bagi orang yang melaksanakan dakwah memenuhi syarat-syarat agar ia dapat
melaksanakan kewajibannya dengan sebaik-baiknya, dan bisa menjadi contoh saleh yang
menjadi panutan dalam ilmu dan amalnya:
1. Hendaknya pandai dalam bidang al-Qur'an, sunnah, dan sirah Nabi Muhammad saw. dan
Khulafau'r-Rasyidin ra.

2. Hendaknya pandai membaca situasi orang-orang yang sedang menerima dakwahnya, baik
dalam urusan, bakat, watak dan akhlak mereka. Atau singkatnya, mengetahui kehidupan
sosial mereka.

3. Hendaknya ia mengetahui bahasa umat yang dituju oleh dakwahnya. Rasulullah saw.
sendiri memerintahkan kepada para sahabat agar mempelajari bahasa Ibrani, karena beliau
perlu berdialog dengan orang-orang Yahudi yang menjadi tetangga beliau, dan untuk
mengetahui hakikat mereka.

4. Mengetahui agama, aliran, sekte-sekte masyarakat agar juru dakwah bisa mengetahui
kebatilan-kebatilan yang terkandung padanya. Sebab, bila seseorang tidak jelas kebatilan
yang dipeluknya, maka sulit baginya memenuhi ajakan kebenaran yang didengungkan oleh
orang lain, sekalipun orang tersebut telah mengajaknya.

Dapat ditarik kesimpulan, bahwa yang bisa melaksanakan dakwah hanyalah kalangan
khusus dari umat Islam, yaitu yang mengetahui rahasia-rahasia hukum, hikmah tasyri' dan
fiqhnya Mereka adalah orang-orang yang diisyaratkan oleh Al-Qur'an dalam firman-Nya:

122. tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak
pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila
mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.( At taubah
9:122)

Mereka adalah orang-orang yang melaksanakan hukum-hukum Allah swt. terhadap


kemaslahatan hamba-Nya di setiap zaman dan tempat, sesuai dengan kadar pengetahuan
mereka, baik di masjid-masjid, tempat-tempat ibadah, kelompok masyarakat atau di
perayaan-perayaan, bila kesempatan mengizinkan.

Jika mereka hendak mengerjakan hal ini, akan banyaklah kebaikan dalam umat, dan
jarang terjadi kejahatan, serta rukun lah hati penduduk. Mereka saling menasihati dalam
kebenaran dan kesabaran, dan mereka merasa berbahagia di dunia dan di akhirat.

Suatu umat yang keadaannya seperti itu, akan dapat menguasai umat lainnya dengan
cara menyatukan kalimat dan kecenderungan mereka. Yang terlintas dalam pikiran mereka
hanyalah meluhurkan agamanya, kejayaan umat, dan disegani di seantero dunia.

Hal itu tidak akan bisa terwujud tanpa mereka terlebih dulu membenahi persiapannya,
membekali diri dengan ilmu pengetahuan yang dibutuhkan untuk mencapai kebahagiaan dan
kemajuan; menghiasi diri dengan akhlak utama dan sifat-sifat terpuji sehingga mereka
menjadi contoh yang baik untuk diturut, dan menjadi perhatian umat lainnya. Sesungguhnya,
yang tersimpan dalam agama kami, dari semua itu dan apa yang ditinggalkan (diwariskan)
oleh Salafu's Shalih kepada kita, yaitu perbendaharaan dan kekayaan ilmiah, merupakan
kecukupan bagi orang yang menghendaki kebaikan dan kebahagiaan.

e. Tafsir Al Mishbah

Pada ayat 104 ini, Allah memerintahkan orang yang beriman untuk menempuh jalan
yang berbeda, yaitu menempuh jalan luas dan lurus serta mengajak orang lain menempuh
jalan kebaikan dan makruf.

Tidak dapat disangkal bahwa pengetahuan yang dimiliki seseorang, bahkan


kemampuannya mengamalkan sesuatu akan berkurang, bahkan terlupakan dan hilang, jika
tidak ada yang mengingatkannya atau tidak dia ulang-ulangi mengerjakannya. Disisi lain,
pengetahuan dan pengamalan saling berkaitan erat, pengetahuan mendorong kepada
pengamalan dan meningkatkan kualitas amal sedang pengamalan yang terlihat dalam
kenyataan hidup merupakan guru yang mengajar individu dan masyarakat sehingga
merekapun belajar mengamalkannya.

Kalau lah demikian tidak semua anggota masyarakat dapat melaksanakan fungsi
dakwah, hendaklah ada diantara kamu, wahai-wahai orang-orang yang beriman segolongan
umat, yakni kelompok yang pandangan mengarah kepadanya untuk diteladani dan didengar
nasehatnya yang mengajak orang lain secara terus-menerus tampa bosan dan telah kepada
kebijakan, yakni petunjuk-petunjuk ilahi, menyuruh masyarakat kepada yang makruf, yakni
nilai-nilai luhur serta adat istiadat yang diakui baik oleh masyarakat mereka selama hal itu
tidak bertentangan dengan nilai-nilai ilahiyah, dan mencegah mereka dari munkar, yakni
yang dinilai buruk lagi diingkari oleh akal sehat masyarakat. Mereka yang menendahkan
tuntunan ini dan yang sungguh tinggi lagi jauh martabat sungguh tinggi lagi jauh martabat
kedudukannya itulah orang-orang yang beruntung, mendapatkan apa yang mereka dembakan
dalam kehidupan dunia dan akhirat.

Kata ( minkum) pada ayat diatas, ada ulama yang memahami dalam arti sebagian,
dengan demikian perintah berdakwah yang dipesankan oleh ayat ini tidak tertuju kepada
setiap orang. Bagi yang memahaminya demikian, ayat ini buat mereka mengandung dua
macam perintah, yang pertama kepada seluruh umat islam agar membentuk dan menyiapkan
satu kelompok khusus yang bertugas melaksanakan dakwah, sedang perinrtah yang kedua
adalah kepada kelompok khusus itu untuk melaksanakan dakwah kepada kebajikan dan
makruf serta mencegah kemungkaran.

Ada juga ulama yang menfungsikan ( minkum) dalam arti penjelasan sehingga
ayat ini merupakan perintah kepada setiap orang muslim untuk melaksanakan tugas dakwah,
masing-masing sesuai kemampuannya. Memang, jika dakwah yang dimaksud adalah dakwah
yang sempurna tentu saja tidak semua orang melakukannya. Disisi lain, kebutuhan
masyarakat dewasa ini menyangkut informasi yang benar ditengah arus informasi, bahkan
perang informasi yang demikian pesat dengan sajian nilai-nilai baru yang sering kali
membinggungkan, semua itu menuntut adanya kelompok khusus yang menangani dakwah
dan membendung informasi yang menyesatkan karena itu, adalah lebih tepat memahami kata
pada ayat diatas dalam arti sebagian kamu tampa menutup kewajiban setiap muslim
untuk saling mengingatkan bukan berdasarkan ayat ini tetapi antara lain berdasarkan firman
Allah dalam surah Al-Ashr yang menilai semua manusia dalam kerugian, kecuali mereka
yang beriman dan beramal shaleh serta saling mengingatkan tentang kebenaran dan
ketabahan.

Selanjutnya, ditemukan bahwa ayat diatas menggunakan dua kata yang berbeda dalam
rangka perintah berdakwah. Pertama adalah kata ) )yaduna, yakni mengajak, yang
kedua adalah ) )yamuruna, yakni memerintahkan.

Syayyid Qudhub dalam tafsirnya mengemukakan bahwa penggunaan dua kata yang
berbeda itu menunjukkan keharusan adanya dua kelompok dalam masyarakat islam.
Kelompok pertama yang bertugas mengajak, dan kelompok kedua yang bertugas memerintah
dan melarang. Kelompok kedua ini tentulah memiliki kekuasaan di bumi. Ajaran Ilahi di
bumi ini bukan sekedar nasihat, petunjuk dan penjelasan. Ini adalah salah satu sisi, sedang
sisi yang kedua adalah melaksanakan kekuasaan memerintah dan melarang, agar makruf
dapat wujud dan kemungkaran dapat sirna. Demikian antara lain tutur Syayyid Qudhub.

Perlu dicatat bahwa apa yang diperintahkan ayat diatas-sebagaimana terbaca-


berkaitan pula dengan dua hal, mengajak dikaitkan dengan Al-Khair, sedang memerintah jika
berkaitan dengan perintah melakukan dikaitkan dengan AL-Maruf sedang perintah untuk
tidak melakukan, yakni melarang dikaiitkan dengan Al-Munkar.

Ini berarti musafir tersebut mempersamakan kandungan Al-Khair dengan Al-Maruf


dan bahwa lawan dari Al-Khair adalah Al-Munkar. Padahal, hemat penulis, tidak ada dua kata
yang berbeda-walau sama akarnya-akar katanya kecuali mengantung pula perbedaan makna.
Tanpa mendiskusikan perlu tidaknya ada kekuasaan yang menyuruh kepada kebaikan dan
mencegah kemunkaran, penulis mempunyai tinjauan lain.

Semua kita tahu bahwa al-Quran dan Sunnah melalui dakwahnya mengamanahkan
nilai-nilai. Nilai-Nilai itu ada yang bersifat mendasar, universal, dan abadi, serta ada juga
yang bersifat praktis, lokal, dan temporal sehingga dapat berbeda antara satu tempat/waktu
dan tempat/waktu yang lain. Perbedaan, perubahan, perkembangan nilai itu dapat diterima
oleh Islam selama tidak bergantung dengan dengan nilai-nilai universal.

Al-Quran mengisyaratkan kedua nilai diatas dalam firman-Nya ini dengan kata ()
Al-khair /kebijakan dan al-maruf. Al-khair adalah nilai universal yang diajarkan oleh al-
Quran dan Sunnah. Al-khair menurut Rasul saw. Sebagaimana dikemukakan oleh Ibn Katsir
dalam tafsirnya adalah : ( ( ) Mengikuti al-Qur;an dan Sunnahku). Sedang
( )al-maruf adalah sesuatu yang baik menurut pandangan umum satu masyarakat
selama sejalan dengan al-khair. Adapun al-munkar. Ia adalah suatu yang dinilai buruk oleh
suatu masyarakat serta bertentangan dengan nilai-nilai Ilahi. Karena itu, ayat di atas
menekankan perlunya mengajak kepada al-khair/kebaikan, memerintahkan yang makruf
kepada mencegah yang munkar. jelas terlihat betapa mengajak kepada kepada al-Khair
didahulukan, kemudian memerintahkan kepada makruf dan melarang melakukan yang
munkar.
Paling tidak,ada dua hal yang perlu digaris bawahi berkaitan dengan ayat di atas.
Pertama, nilai-nilai Ilahi tidak boleh dipaksakan, tetapi disampaikan secara persuasif dalam
bentuk ajaran yang baik. Sekedar mengajak yang dicerminkan antara oleh kata mengajak dan
oleh firman-Nya: Ajaklah ke jalan Tuhanmu dengan cara yang bijaksana, nasihat (yang
menyentuh hati) serta diskusikan lah dengan mereka dengan cara yang lebih baik. QS.an-
Nahl [16]: 125. Perhatikan ( ) bi allati hiya ahsan/dengan cara yang lebih baik
bukan sekedar baik. Selanjutnya, setelah mengajak, siapa yang akan beriman silahkan
beriman, dan siapa yang akan beriman mempertanggungjawabkan pilihannya.

Hal kedua yang perlu digarisbawahi adalah al-Maruf, yang merupakan kesepakatan
umum masyarakat. Ini sewajarnya diperintahkan, demikian juga al-Munkar seharusnya
dicegah. Baik yang memeritahkan dan hal mencegah itu pemilik kekuasaan maupun bukan.

Di sisi lain, karena keduanya merupakan kesepakatan suatu masyarakat, kesepakatan


itu bisa berbeda antara satu masyarakat muslim dan masyarakat muslim yang lain, bahkan
antara satu waktu dan waktu lain dalam satu masyarat tertentu. Dalam konteks ini, dapat
dipahami ungkapan Ibn al-Muqaffa yang berkata :

apabila muruf telah kurang diamalkan maka ia menjadi munkar dan apabila munkar telah
tersebar maka ia menjadi maruf.

Pandangan Ibn al-Muqaffa ini dapat diterima dalam konteks budaya, tetapi permintaan atau
penolakannya atas nama agama harus dikaitkan dengan al-khair.

Dengan konsep maruf, al-Quran membuka pintu yang cukup lebar guna penopang
perubahan nilai-nilai akibat perkembangan positif masyarakat. Hal ini agaknya ditempuh al-
Quran karena ide/nilai yang dipaksakan atau tidak sejalan dengan perkembangan budaya
masyarakat tidak akan dapat diterapkan. Karena itu, al-Quran, di samping memperkenalkan
dirinya sebagai pembawa ajaran yang sesuai dengan fitrah manusia, ia juga melarang
pemaksaan nilai-nilainya walau merupakan nilai yang amat mendasar, seperti keyakinan akan
keesaan Allah swt.

Perlu dicatat bahwa konsep maruf yang membuka pintu bagi perkembangan positif
masyarakat, bukan perkembangan negatifnya. Dari sini, filtas al-khair harus benar-benar
difungsikan. Demikian juga halnya dengan munkar yang pada gilirannya dapat
mempengaruhi pandangan tentang muruah, identitas dan integritas seseorang. Karena itu,
sungguh tepat-khususnya pada era yang ditandai oleh pesatnya informasi serta tawaran nilai-
nilai-berpegang teguh pada kaidah :

Mempertahankan nilai lama yang baik dan mengambil nilai baru yang lebih baik.

B. Pendapat Ahli Filosof

Pengertian Etika Dalam Islam

Adapun menurut Burhanuddin Salam, istilah etika berasal dari kata latin, yakni
ethic, sedangkan dalam bahasa Greek, ethikos yaitu a body of moral principle or values.
Ethic, arti sebenarnya ialah kebiasaan/habit. Jadi, dalam pengertian aslinya, apa yang
disebutkan baik itu adalah yang sesuai dengan kebiasaan masyarakat (pada saat itu). Lambat
laun pengertian etika itu berubah dan berkembang sesuai dengan perkembangan dan
kebutuhan manusia. Perkembangan pengertian etika tidak lepas dari substansinya bahwa
etika adalah suatu ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia,
mana yang dinilai baik dan mana yang jahat.
Etika dalam bahasa Arab disebut akhlaq, merupakan jamak dari kata khuluq yang
berarti adat, kebiasaan, perangai, tabiat, watak, adab, dan agama. Pengertian akhlak menurut
Imam Al-Qurthubi: "Akhlaq adalah sifat-sifat seseorang, sehingga dia dapat berhubungan
dengan orang lain. Secara umum makna akhlak yang terpuji adalah engkau berhias dengan
aklak yang terpuji ketika berhubungan dengan sesama, dimana engkau bersikap adil dengan
sifat-sifat terpuji dan tidak dzalim karenanya. Sedangkan secara rinci adalah memaafkan,
berlapang dada, dermawan, sabar, menahan penderitaan, berkasih sayang, memenuhi
kebutuhan hidup orang lain, mencintai, bersikap lemah lembut dan sejenis itu.
Sedangkan menurut Al Kindi, seorang filsuf muslim pertama di dunia Islam, tujuan
terakhir filsafat terletak pada moralitas, sedangkan tujuan etika adalah untuk mengetahui
kebenaran kemudian berbuat sesuai dengan kebenaran tersebut.
Plato berpendapat bahwa kebahagiaan hanya mungkin bagi orang yang memiliki
keutamaan-keutamaan. Diantaranya, kebijaksanaan, keberanian, sikap tahu diri, dan keadilan.
Karena keutamaan adalah tatanan dan keselarasan dalam jiwa. Ia pun meyakini akan adanya
idea-idea dan alam idea itu mengarah pada idea tertinggi atau dengan sebutan Sang Baik atau
Yang Ilahi. Menurutnya, manusia mencapai puncak eksistensinya apabila ia terarah kepada
yang Ilahi.
Adapun Ibn Miskawaih, membagi kebaikan-kebaikan; dan kebaikan yang paling
substansial, yaitu kebaikan kepada Allah, disebut sebagai kebaikan pertama. Kebaikan yang
berkenaan dengan kuantitas adalah angka bilangan dan jumlah; sedangkan kebaikan yang
berkenaan dengan kualitas adalah kenikmatan. Bagi Ibn Miskawaih, logika sangat penting
sebagai sarana untuk meluruskan pemahaman akal dan naluri. Dengan logika, manusia akan
mengetahui seluruh makhluk alam semesta beserta karakternya, dan pada tingkatan lebih
tinggi, dapat memperoleh pengetahuan Ilahi maka anugerah dan rahmat-Nya akan
menghampiri. Firman Allah SWT.:

Etika pada umumnya diidentikkan dengan moral (moralitas). Meskipun sama terkait
dengan baik-buruk tindakan manusia, etika dan moral memiliki perbedaan pengertian. Secara
singkat, jika moral lebih cenderung pada pengertian nilai baik dan buruk dari setiap
perbuatan manusia, etika mempelajari tentang baik dan buruk. Jadi, bisa dikatakan etika
berfungsi sebagai teori dari perbuatan baik dan buruk (ethics atau ilm al akhlaq) dan moral
(akhlak) adalah praktiknya. Sering pula yang dimaksud dengan etika adalah semua perbuatan
yang lahir atas dorongan jiwa berupa perbuatan baik maupun buruk.

C. Penerapan Al-Khair
A. Syarat dan Etika Melakukan Amar Makruf Nahi Munkar
1. Lemah lembut dalam menyampaikan Amar Makruf Nahi Munkar.
2. Bijaksana dalam melakukan Amar Makruf Nahi Munkar
3. Pelaku Amar Makruf Nahi Munkar harus memahami karakteristik manusia
yang di dakwahi
4. Memiliki kepribadian yang baik.
B. Etika dalam Melakukan Amar Makruf Nahi Munkar
1. Satu kata dengan perbuatan
2. Tidak kompromomi masalah akidah
3. Tidak membedakan status sosial/ menghindari diskriminasi sosial
4. Menjauhi pelaku maksiat
5. Tidak menghina sesembahan non muslim
6. Tidak menyampaikan hal-hal yang belom jelas dan diluar kemampuan
7. Tidak menetapkan imbalan dan tarif honor.
C. Cara Melakukan Amar Makruf
1. Berkata dan bersifat lemah lembut
2. Menggunakan metode yang tepat
a. Qaul layyin (perkataan yang lemah lembut)
b. Qaul balig (perkataan yang membakas di jiwa )
c. Qaul Karim (perkataan yang baik)
d. Qaul Maruf
e. Qaul maisur
f. Qaul sadid (Perkataan yang benar )
g. Qaul zur (menjauhi perkataan yang dusta)
3. Mulai dari diri sendiri
4. Niat yang lurus
5. Istiqomah dalam kebaikan
6. Gemar menolong sesama
7. Gemar bersedekah
8. Peduli terhadap sosial dan lingkungan

Anda mungkin juga menyukai