Anda di halaman 1dari 26

Kelompok 2

1. Novi Dwi Putriana (21207001)


2. Naura Ramadhani (21207009)
3. Eva Eviana (21207012)
4. Nurul Hidayah (21207029)

KHAWARIJ

1. Sejarah
Nama khawarij berasal dari kata kharaja yang berarti keluar. Nama tersebut
diberikan kepada mereka karena mereka menyatakan diri keluar dari barisan Ali bin Abi
Thalib dalam persengketaannya dengan Muawiyyah. Ada pula pendapat lain yang
menyatakan, bahwa pemberian nama Khawarij tersebut didasarkan pada ayat 100 dari
surat An-Nisaa, yang artinya berbunyi :“Dan barang siapa keluar dari rumahnya dengan
maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya,kemudian kematian menimpanya, maka
sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang”.
Islam dibawa oleh Nabi Muhammad sebagai agama kemanusiaan. Manusia yang
mempunyai dua unsur pokok dalam dirinya, membutuhkan adanya suatu petunjuk agar
bisa mencapai tujuan dari diciptakannya sebagai makhluk Tuhan. Unsur phisik yang
penuh dengan kekotoran shahwatiyah sering mendominasi diri manusia. Unsur spiritual
sering dikalahkan oleh dorongan nafsu shahwatiyah yang cenderung ingin selalu
memenuhi kesenangan materi. Agar manusia tidak terjerumus dalam lembah kehinaan
karena terlalu menuruti kesenangan materi, Tuhan lewat para RasulNya mengirimkan
petunjuk yang terhimpun dalam satu kitab agar disampaikan kepada umat manusia.
Kitab-kitab itu diberikan kepada Rasul berupa himpunan wahyu yang mengandung ajaran
agama agar bisa dijadikan pedoman bagi manusia untuk mengatur dan mengontrol
hidupnya yang penuh dengan kekotoran. Kitab Zabur diberikan kepada Nabi Dawud,
Kitab Taurat diberikan kepada Nabi Musa, Kitab Injil diberikan kepada Nabi Isa dan
Kitab alQur’an diberikan kepada Nabi Muhammad. Kitab al-Qur’an sebagai kitab
petunjuk berisi himpunan prinsip-prinsip ajaran Islam.
Karena sifatnya sebagai sebuah pedoman hidup bagi manusia dalam mencari
kebahagiaan hakiki dan abadi di akhirat, maka al-Qur’an dimodifikasi secara singkat dan
padat. Karena itulah al-Qur’an hanya mengandung prinsip dasar yang bisa dijabarkan
sesuai dengan kebutuhan hidup manusia. Al-Qur’an yang hanya terdiri dari 30 juz tidak
mungkin bisa menjabarkan secara rinci seluruh aspek kehidupan manusia. Oleh karena
itulah, ayat-ayat yang dikandung dalam al-Qur’an berbentuk universal yang bisa
ditafsirkan sesuai dengan kondisi masyarakat dan zaman yang senantisa berkembang.
Kedinamisan masyarakat dan zaman menghasilkan penafsiran al-Qur’an yang bermacam-
macam Hasil dari penafsiran yang bermacam-macam ini akibat dari terdapatnya
perbedaan pandangan dan tinjauan dari masing-masing penafsir. Di dalam teologi Islam
saja misalnya berkembang berbagai macam pemikiran mengenai satu masalah. Dengan
mengacu pada ayat yang sama sering terjadi perbedaan penafsiran dari masing-masing
pengamat. Namun demikian, meskipun semua aliran mengacu pada nas} yang sama,
tetapi hasil pemikirannya sering berbeda antara satu dan lainnya. Jangankan antara
beberapa aliran yang jelas mempunyai prinsip yang berbeda, dalam satu aliranpun antara
satu sekte dan lainnya terdapat perbedaan yang jauh berbeda. Meskipun mereka
mempunyai prinsip dan ajaran pokok yang satu, dalam mengembangkan ajaran pokok
tersebut, antara satu sekte dan lainnya terdapat perbedaan yang menyolok.
Khawarij merupakan aliran teologi tertua dalam Islam. Berawal dari peristiwa
al-tahkim (arbitrase) yang diadakan antara ‘Ali bin Abi Talib dan Mu’awiyah bin Abi
Sufyan, situasi politik makin memanas. Peperangan yang terjadi antara pasukan ‘Ali bin
Abi Talib dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang hampir dimenangkan oleh pihak ‘Ali bin
Abi Talib, tiba-tiba berhenti, karena dari pihak Mu’awiyah bin Abi Sufyan, hampir
semua pasukan mengibarkan selembar kitab suci al-Qur’an di atas ujung tombak. Hal itu
ditafsirkan pasukan ‘Ali bin Abi Talib sebagai permintaan damai. Ketika kemudian ‘Ali
bin Abi Talib dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan sepakat mengadakan altahkim, pendukung
‘Ali bin Abi Talib terpecah menjadi dua kelompok. Kelompok pertam, mereka menolak
diadakannya altahkim, karena mereka menganggap bahwa hal itu hanya merupakan
tipu muslihat Mu’awiyahbin Abi Sufyan yang dimotori oleh ‘Amr bin ‘As. Mereka
inilah yang akan menjadi embryo aliran Khawarij. Kelompok kedua: Dipelopori
oleh mayoritas para qurra’, mereka menyetujui bahkan terkesan mendesak ‘Ali bin
Abi Talib agar menerima ajakan Mu’awiyah untuk mengadakan altahkim.
Pada hakikatnya ‘Ali bin Abi Talib sendiri kurang setuju diadakannya al-tahkim,
karena sebagai seorang ahli politik, ‘Ali bin Abi Talib sadar bahwa permintaan pihak
Mu’awiyah. Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang dimotori oleh ‘Amr bin ‘As untuk
mengajak berdamai ini hanyalah sekedar tipu muslihat untuk mengelabui pendukung
‘Ali bin Abi Talib. Namun karena berdasarkan voting, pihak yang menyetujui al-tahkim
dari pendukung ‘Ali bin Abi Talib ini jauh lebih banyak dari pihak yang tidak
menyetujuinya, sebagai pemimpin yang menjunjung tinggi nilai demokrasi, maka
dengan terpaksa akhirnya ‘Ali bin Abi Talib menyetujuinya juga.
Keputusan yang dihasilkan oleh al-tahkim mengecewakan pihak ‘Ali bin Abi
Talib, terutama pihak yang sejak semula menolak diadakannya al-tahkim. Perlu
diketahui bahwa hakim (pengantara) yang mewakili ‘Ali bin Abi Talib yakni Abu
Musa al-Ash’ari adalah seorang yang salih dan tidak ahli dalam diplomasi dan tidak ahli
masalah politik. Ia terlalu percaya terhadap pihak musuh, sehingga ia mudah dikecoh dan
diperdayakan oleh pengantara dari pihak Mu’awiyah bin Abi Sufyan yaitu ‘Amr bin
‘As. Hasil dari perundingan ini adalah bahwa ‘Ali bin Abi Talib dima’zulkan dari
kekhalifahan dan sebagai penggantinya diangkat Mu’awiyah bin Abi Sufyan sebagai
khalifah kaum muslimin. Tentu saja keputusan sumbang ini memicu kemarahan para
pendukung ‘Ali bin Abi Talib. Mereka beramairamai menolak hasil al-tahkim, dan
menolak penetapan Mu'awiyah bin Abi Sufyan sebagai khalifah. Para pendukung ‘Ali
bin Abi Talib terpecah menjadi dua, sebagian ada yang masih setia dan selalu
menjadi pendukung ‘Ali bin Abi Talib apapun yang terjadi. Mereka inilah yang
kemudian disebut dengan kaum Shi’ah. Sebagian lainnya, sekitar dua belas ribu orang
memisahkan diri dari barisan ‘Ali bin Abi Talib lalu meninggalkannya menuju
sebuah tempat dekat Kufah namanya Harura’ di bawah komando ‘Abd Allah bin
Kuwwa’ dan Shabt bin Rib’i ‘Al bin Abi Talib mendatangi mereka dan menjelaskan
permasalahannya, dan akhirnya ‘Abd Allah bin Kuwwa’ bersama delapan ribu orang
perajurit mau kembali menjadi pendukung ‘Ali bin Abi Talib, tetapi selebihnya yakni
berjumlah empat ribu orang tidak menghiraukannya dan mereka pergi ke suatu tempat
bernama Nahrawan dan mengangkat amir (pemimpin) bernama ‘Abd Allah bin
Wahab al‐Rasibi dan Khurqus bin Zuhair al‐Bajli al‐‘Urafi. Mereka berbondong bondong
meninggalkan ‘Ali bin Abi Talib dan meneruskan perjuangannya untuk melawan ‘Ali bin
Abi Talib.

2. Tokoh dan Ajaran


a. Al-Muhakkimah
Al-Muhakkimah adalah golongan Khawarij asli, bekas para pengikut Ali,
yang kemudian memisahkan diri, dan menantang Ali. Menurut golongan ini, Ali
dan Mu’awiyah serta kedua pengantaranya atau juru bicaranya, yaitu Amru Ibn
al-Ash dan Abu Musa al-Asy’ari, serta semua orang yang telah menyetujui
arbitrase, mereka itu telah melakukan perbuatan salah, karena menyimpang dari
ajaran Islam, dan perbuatan mereka itu telah membuat mereka menjadi kafir.
b. Al-Azariqah
Golongan ini muncul setelah hancurnya golongan AlMuhakkimah, dan
golongan ini kemudian menjadi lebih besar dan lebih kuat dibandingkan dengan
golongan Al-Muhakkimah sendiri. Daerah-daerah kekuasaan mereka terletak di
perbatasan antara Iran dan Irak. Nama Al-Azariqah diambil dari nama seorang
pemuka golongan ini, yaitu Naf’i Ibn al-Azraq.
Dalam kitab Al-Farqu Baina al-Firaq, Al-Bagdadi menyebutkan bahwa
jumlah pengikut Al-Azariqah itu mencapai 20.000 orang. Sebagai khalifah yang
pertama mereka memilih Nafi Ibn Al-Azraq, dan kepadanya diberikan gelar Amir
alMu’min. Nafi meninggal dunia dalam pertempuran di Irak pada tahun 686 M.
Golongan ini mempunyai sikap yang lebih radikal dibandingkan dengan golongan
Al-Muhakkimah. Orang yang melakukan perbuatan dosa besar tidak lagi mereka
sebut sebagai orang yang kafir, seperti dalam golongan alMuhakkimah, tetapi
mereka sebut sebagai orang yang musyrik (politeist). Padahal di dalam Islam,
musyrik itu merupakan dosa yang paling besar. Musyrik lebih besar dosanya
daripada kafir.
Menurut golongan ini, termasuk musyrik juga orang-orang Islam yang
tidak sepaham dengan ajaran-ajaran Al-Azariqah. Bahkan orang-orang Islam yang
sepaham dengan Al-Azariqah, tetapi mereka tidak berhijrah ke dalam lingkungan
mereka, juga dipandang sebagai orang yang musyrik. Dengan kata lain, orang-
orang dari golongan Al-Azariqah sendiri, apabila tidak mau pindah ke daerah
kekuasaan mereka, juga dianggap orang yang musyrik .
Selanjutnya al-Bagdadi menyebutkan bahwa barang siapa yang datang ke
daerah mereka, dan mengaku sebagai pengikut Al-Azariqah, maka mereka tidak
dapat diterima begitu saja, sebelum mereka lulus dalam menjalani suatu ujian,
yaitu mau membunuh seorang tawanan. Kalau ia telah berhasil membunuh
tawanan, maka ia diterima sebagai pengikut AlAzariqah yang baik, tetapi apabila
ia tidak berhasil membunuh tawanan tersebut, maka ia sendirilah yang harus
dihukum bunuh. Keengganannya membunuh tawanan itu dianggap sebagai bukti
bahwa ia berdusta dan sebenarnya ia bukan penganut paham Al-Azariqah. Bahkan
anak-anak dan istri-istri orang-orang yang demikian pun boleh ditawan, dijadikan
budak bahkan dibunuh.
Menurut Harun Nasution, golongan Al-Azariqah ini jelas mempunyai
paham yang sangat ekstrim, sebab menurut paham mereka, hanya mereka sajalah
yang sebenarnya Islam. Orang Islam yang berdomisili di luar lingkungan mereka
adalah musyrik yang harus diperangi. Oleh karena itu kaum Al-Azariqah,
sebagaimana disebutkan oleh Ibn al-Hazm, selalu mengadakan isti’radh, yaitu
bertanya tentang pendapat atau keyakinan seseorang yang mereka jumpai. Kalau
orang tersebut mengaku sebagai orang Islam, tetapi tidak termasuk dalam
golongan Al-Azariqah, maka mereka pun membunuhnya.
c. Al-Najdat
Nama golongan ini diambil dari nama seorang pemuka dari golongan ini,
yaitu: Najdah Ibn Amir al Hanafi. Ia berasal dari daerah Yamamah. Menurut Al-
Bagdadi, pada mulanya golongan ini ingin menggabungkan diri dengan golongan
Al Azariqah, tetapi karena dalam kalangan Al-Azariqah ini timbul perpecahan,
maka mereka jadi menggabungkan diri dengan AlAzariqah. Perpecahan dalam
kalangan Al-Azariqah itu disebabkan oleh sebagian dari pengikut-pengikutnya
Nafi’ Ibn al-Azraq, di antaranya ialah Abu Fudaik, Rasyid al-Tawil dan ‘Atiah al-
Hanafi, mereka tidak dapat menyetujui faham bahwa pengikut-pengikut Al-
Azariqah yang tidak mau berhijrah ke daerah lingkungan mereka, dipandang
sebagai golongan musyrik. Mereka juga tidak setuju dengan paham dalam
golongan Al-Azariqah, bahwa anak-anak dan istri-istri orang yang tidak sefaham
dengan golongan Al-Azariqah itu boleh dibunuh.
Setelah memisahkan diri dari Nafi’, Abu Fudaik dan kawan-kawannya
pergi ke Yamamah. Di sinilah mereka dapat membujuk Nadjah bergabung dengan
mereka dalam menentang Nafi’, sehingga Nadjah dan pengikut-pengikutnya
membatalkan rencana untuk berhijrah ke daerah kekuasaan Al Azariqah.
Selanjutnya Abu Fudaik dan pengikut-pengikut Nadjah bersatu, dan memilih
Nadjah Ibn Amir al-Hanafi sebagai Imam mereka. Mereka tidak mau lagi
mengakui Nafi’ Ibn al-Azraq sebagai Imam. Bahkan mereka telah menganggap
Nafi’ menjadi kafir, dan orang-orang yang masih mengikutinya pun mereka
pandang sebagai orang-orang yang kafir juga.
Berbeda dengan faham golongan Al-Muhakkimah dan AlAzariqah,
golongan ini mempunyai paham bahwa orang yang berbuat dosa besar itu akan
dimasukkan dalam neraka kekal selama-lamanya, hanyalah orang-orang Islam
yang tidak sepaham dengan mereka. Adapun bagi pengikut-pengikut golongan
Al-Najdat sendiri apabila mereka mengerjakan dosa besar, betul mereka itu akan
mendapat siksaan, tetapi bukan siksaan di neraka, di suatu tempat dan setelah
mendapat siksaan mereka akan dimasukkan dalam surga. Menurut paham mereka
perbuatan dosa kecil apabila dikerjakan terus menerus akan menjadi dosa besar,
dan orang yang mengerjakannya dipandang sebagai orang yang musyrik.
Dalam kitab Al-Milal wa al-Nihal ditambahkan, bahwa aliran Al-Najdat
ini juga mempunyai paham, bahwa tiap-tiap muslim itu wajib mengetahui Allah
dan Rasul-rasul-Nya, wajib mengetahui bahwa membunuh orang Islam itu haram
hukumnya (yang dimaksud orang Islam bagi mereka ialah pengikut-pengikut Al-
Najdat), dan wajib bagi setiap orang Islam percaya pada seluruh apa yang
diwajibkan Allah dan Rasul-Nya. Selain dari hal-hal tersebut di atas orang Islam
tidak diwajibkan mengetahuinya. Kalau orang Islam mengerja-kan sesuatu yang
haram, sedangkan ia tidak mengetahuinya, maka perbuatannya itu akan
dimaafkan oleh Tuhan.
Menurut Harun Nasution, dalam kalangan Khawarij, golongan Al-Najdat
inilah kelihatannya yang pertama kali membawa paham taqiyah, yaitu paham
bahwa seseorang boleh saja merahasiakan atau menyembunyikan keyakinannya
atau keimanannya, demi untuk menjaga keamanan dirinya dari musuhnya.
Taqiyah menurut pendapat mereka, bukan hanya dalam bentuk ucapan, tetapi
boleh juga dalam bentuk perbuatan. Jadi seseorang boleh mengucapkan kata-kata
dan boleh melakukan perbuatan-perbuatan yang mungkin menunjukkan bahwa
pada lahirnya ia bukan orang Islam, tetapi pada hakekatnya ia tetap penganut
agama Islam.
Di kemudian hari terjadilah perpecahan di antara pengikut-pengikut Al-
Najdat. Perpecahan itu disebabkan oleh sebagian pengikut Al-Najdat itu tidak
menerima bahwa orang yang melakukan dosa kecil itu bisa menjadi dosa besar.
Tetapi menurut Al-Bagdadi, perpecahan di kalangan mereka itu terutama
disebabkan oleh pembagian ghanimah (harta rampasan perang), dan sikap lunak
yang dilakukan oleh Najdah terhadap Khalifah Abd al-Malik Ibn Marwan dari
Bani Umayah.
Dalam masalah ghanimah, pernah mereka memper-oleh harta rampasan
dalam peperangan, tetapi mereka tidak mengeluarkan seperlima lebih dahulu,
mereka langsung membaginya untuk orang-orang yang turut dalam peperangan.
Hal ini dianggapnya bertentangan dengan ketentuan dalam AlQur’an. Dan sikap
lunak yang ditunjukkan oleh Najdah kepada khalifah Abd al-Malik ialah bahwa
dalam serangan terhadap kota Madinah, mereka dapat menawan seorang anak
perempuan. Khalifah Abd al-Malik meminta kembali tawanan itu, ternyata
permintaan itu dikabulkan oleh Najdah. Sikap seperti itu tentu saja tak dapat
diterima oleh sebagian pengikut-pengikut mereka, karena khalifah Abd al-Malik
adalah musuh mereka. Dalam perpecahan itu, Abu Fudaik, Rasyid alTawil, dan
Atiah al-Hanafi memisahkan diri dari Najdah. Atiah mengasingkan diri ke Sijistan
di Iran, sedangkan Abu Fudaik dan Rasyid al-Tawil mengadakan perlawanan
terhadap Najdah. Akhirnya Najdah dapat mereka tangkap dan mereka potong
lehernya.
d. Al-Ajaridah
Golongan ini dinamakan Al-Ajaridah, karena mereka itu adalah pengikut
dari ’Abd Karim Ibn ‘Ajrad, yang menurut alSyahrastani, termasuk salah seorang
teman dari Atiah alHanafi. Menurut Al-Bagdadi, paham Al-Ajaridah ini lebih
lunak dibandingkan dengan golongan-golongan lain dalam kalangan Khawarij.
Menurut paham mereka, berhijrah bukanlah merupakan kewajiban bagi
setiap orang Islam, sebagimana diajarkan dalam paham Al-Azariqah dan paham
Al-Najdat. Bagi mereka berhijrah itu hanyalah merupakan kebajikan saja. Dengan
demikian kaum Al-Ajaridah bebas tinggal di mana saja di luar daerah kekuasaan
mereka, dan mereka tidak dianggap sebagai orang kafir. Mengenai harta yang
boleh dijadikan sebagai harta rampasan perang, menurut mereka hanyalah harta
yang telah mati terbunuh .
Menurut Harun Nasution, kaum ‘Ajaridah ini mempunyai paham
puritanisme. Surat Yusuf dalam Al-Qur’an membawa cerita tentang cinta.
Menurut mereka Al-Qur’an sebagai kitab suci, tidak mungkin mengandung cerita
tentang cinta. Oleh karena itu mereka tidak mengakui surat Yusuf sebagai bagian
dari Al-Qur’an.
e. Al-Sufriyah
Golongan ini dinamakan demikian, karena pemimpin golongan ini ialah
Ziad Ibn al-Asfar. Menurut Harun Nasution, golongan Al-Sufriyah ini
mempunyai paham yang agak ekstrim dibandingkan dengan yang lain. Di antara
pendapat-pendapat mereka yang tidak terlalu ekstrim ialah orang Sufriyah yang
tidak berhijrah tidak dianggap menjadi kafir, mereka tidak sependapat bahwa
anak-anak orang yang musyrik itu boleh dibunuh, tidak semua orang Sufriyah
sependapat bahwa orang yang melakukan dosa besar itu telah menjadi musyrik,
menurut mereka kufur itu ada dua macam yaitu kufr bi Inkar al ni’mah dan kufr bi
inkar al-rububiyah, dan yang terakhir menurut mereka, taqiyah hanya dibolehkan
dalam bentuk perkataan saja, dan tidak boleh dalam bentuk perbuatan. Tetapi
sungguhpun demikian, untuk menjaga keamanan dirinya, seorang wanita Islam
boleh kawin dengan laki-laki kafir, apabila dia berada di daerah bukan Islam.
f. Al-Ibadiyah
Nama golongan ini diambil dari nama seorang pemuka mereka, yaitu
Abdullah Ibn Ibad. Pada mulanya dia adalah pengikut golongan Al-Azariqah ,
tetapi pada tahun 686 M, ia memisahkan diri dari golongan Al-Azariqah .
Menurut Harun Nasution, golongan Al-Ibadiyah ini merupakan golongan yang
paling moderat dibandingkan dengan golongan-golongan Khawarij lainnya.
Paham Moderat mereka itu dapat dilihat dari ajaran-ajaran mereka, yaitu pertama
orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka, mereka itu bukan mukmin dan
bukan musyrik, mereka itu adalah kafir. Kedua orang Islam yang berbuat dosa
besar, mereka sebut orang muwahhid, yaitu orang yang meng-Esakan Tuhan,
tetapi ia bukan orang mukmin. Ketiga harta yang boleh dijadikan ghanimah (harta
rampasan), hanyalah kuda dan senjata saja.

3. Studi Empiris
Sebagai golongan, kaum khawarij memang sudah lama punah namun sebagai
sebuah gerakan pemikiran khawarij masih tetap hidup sampai sekarang. Khawarij
memang tidak pernah masuk ke Indonesia karena keburu punah. Tetapi ideologi
puritannya sering dijadikan inspirasi bagi sebagian ormas-ormas di Indonesia. Dengan
demikian yang merupakan ciri-ciri dari aliran khawarij.
a. Mudah mengkafirkan orang yang tidak segolongan dengan mereka, walau pun
sama-sama menganut Islam
b. Menurut mereka, Islam yang benar adalah yang diamalkan kelompoknya. Islam
lainnya dianggap tidak benar
c. Orang-orang Islam yang tersesat dan kafir perlu dikembalikan ke jalan yang
benar, namun yang sesuai pemikiran kaum khawrij
d. Karena tidak sepaham dengan lingkungan sekitar, kaum khawarij mengangkat
imam dari golongannya sendiri
MURJI’AH

1. Sejarah
Aliran Murji’ah muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat
dalam upaya kafir mengkafirkan terhadap orang yang melakukan dosa besar,
sebagaimana hal yang dilakukan oleh aliran Khawarij. Aliran ini menangguhkan
penilaian terhadap orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim di hadapan Tuhan,
karena hanya Tuhanlah yang mengetahui keadaan iman seseorang. Demikian pula orang
mukmin yang melakukan dosa besar masih dianggap mukmin di hadapan mereka. Ada
beberapa teori yang berkembang mengenai asal-usul Murji’ah. Teori pertama
mengatakan bahwa gagasan irja atau arja’a dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan
tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat Islam ketika terjadi pertikaian politik dan
juga bertujuan untuk menghindari sektarianisme (terikat pada satu aliran saja), baik
sebagai kelompok politik maupun teologis. Awal mula timbulnya Murji’ah adalah
sebagai akibat dari gejolak dan ketegangan pertentangan politik yaitu soal khilafah
(kekhalifahan) yang kemudian mengarah ke bidang teologi.
Pertentangan politik ini terjadi sejak meninggalnya Khalifah Usman yang
berlanjut sepanjang masa Khalifah Ali dengan puncak ketegangannya terjadi pada waktu
perang Jamal dan perang Shiffin. Setelah terbunuhnya Khalifah Utsman Ibn Affan, umat
Islam terbagi menjadi dua golongan yaitu kelompok Ali dan Muawiyah. Kelompok Ali
lalu terpecah menjadi dua yaitu Syi’ah (golongan yang tetap setia membela Ali) Khawarij
(golongan yang keluar dari barisan Ali). Setelah wafatnya Ali, Muawiyah mendirikan
Dinasti Bani Umayyah (110 M). Kaum Khawarij dan Syi’ah yang saling bermusuhan,
mereka sama-sama menentang kekuasaan Bani Umayyah itu. Syi’ah menganggap bahwa
Muawiyah telah merampas kekuasaan dari tangan Ali dan keturunannya. Sementara itu,
Khawarij tidak mendukung Muawiyah karena ia dinilai telah menyimpang dari ajaran
Islam. Di antara ke tiga golongan itu terjadi saling mengkafirkan. Dalam suasana
pertentangan ini, timbul satu golongan baru yaitu Murji’ah yang ingin bersikap netral,
tidak mau turut dalam praktek kafir mengkafirkan yang terjadi antara golongan yang
bertentangan itu.
Bagi mereka, sahabat-sahabat yang bertentangan itu merupakan orang-orang yang
dapat dipercayai dan tidak keluar dari jalan yang benar. Mereka tidak mengeluarkan
pendapat tentang siapa yang sebenarnya salah dan memandang lebih baik menunda
penyelesaian persoalan ini ke hari perhitungan di hadapan Tuhan. Dari persoalan politik,
mereka tidak dapat melepaskan diri dari persoalan teologis yang muncul di zamannya.
Waktu itu terjadi perdebatan mengenai hukum orang yang berdosa besar. Persoalan dosa
besar yang ditimbulkan kaum Khawarij mau tidak mau menjadi bahan perhatian dan
pembahasan bagi mereka. Terhadap orang yang berbuat dosa besar, kaum Khawarij
menjatuhkan hukum kafir sedangkan kaum Murji’ah menjatuhkan hukum mukmin.
Argumentasi yang mereka ajukan dalam hal ini bahwa orang Islam yang berdosa besar
itu tetap mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah Rasul-
Nya. Dengan kata lain, orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat menjadi dasar
utama dari iman. Oleh karena itu, orang berdosa besar menurut pendapat golongan ini,
tetap mukmin dan bukan kafir. Pendapat itu dapat membawa kepada pendapat bahwa
yang penting serta yang diutamakan sebenarnya iman sedangkan perbuatan hanya
merupakan soal kedua. Ini merupakan kesimpulan logis dari pendirian bahwa yang
menentukan mukmin atau kafirnya seseorang hanyalah kepercayaan atau imannya dan
bukan perbuatan atau amalnya.
Perbuatan di sini mendapat kedudukan setelah iman.Aliran Murji’ah ini
berkembang sangat subur pada masa pemerintahan Dinasti bani Umayyah. Aliran ini
tidak memberontak terhadap pemerintah, karena bersifat netral dan tidak memusuhi
pemerintahan yang sah. Dalam perkembangan berikutnya, lambat laun aliran ini tak
mempunyai bentuk lagi, bahkan beberapa ajarannya diakui oleh aliran kalam berikutnya.
Sebagai aliran yang berdiri sendiri, golongan Murji’ah moderat telah hilang dalam
sejarah dan ajaran-ajaran mereka mengenai iman, kufr, dan dosa besar masuk ke dalam
aliran Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Sementara itu, golongan Murji’ah ekstrim pun sudah
hilang dan tidak bisa ditemui lagi sekarang. Namun, ajaran-ajarannya yang ekstrim itu
masih didapati pada sebagian umat Islam yang menjalankan ajaran-ajarannya.
Kemungkinan mereka tidak sadar bahwa mereka sebenarnya mengikuti ajaran-ajaran
golongan Murji’ah ekstrim.
Menurut Harun Nasution, bahwa timbulnya kaum Murji’ah itu sebagaimana
halnya dengan kaum Khawarij, pada mulanya juga ditimbulkan karena persoalan politik,
tegasnya persoalan khalifah, yang kemudian membawa perpecahan di kalangan umat
Islam setelah terbunuhnya Utsman bin Affan. Kaum Khawarij yang pada mulanya adalah
penyokong Ali, tetapi kemudian hari berbalik menjadi musuhnya. Karena adanya
perlawanan dari golongan Khawarij ini, maka penyokong-penyokong yang tetap setia
kepada Ali bertambah keras dan fanatik dalam membela Ali, sehingga akhirnya
muncullah golongan pendukung Ali yang dikenal dengan nama golongan Syi’ah.
Kefanatikan golongan ini terhadap Ali bertambah keras, terutama setelah Ali dibunuh
oleh Ibn Muljam dari golongan Khawarij.Kaum Khawarij dan Syi'ah, walaupun
merupakan dua golongan yang bermusuhan, namun mereka sama-sama menen-tang
kekuasaan Bani Umayah, walaupun motifnya berlainan.
Kalau golongan Khawarij menentang kekuasaan Bani Umayyah, karena mereka
menganggap bahwa Bani Umayah telah menyeleweng dari ajaran Islam, maka golongan
Syi'ah menentang Bani Umayah karenamereka menganggap Bani Umayah telah
merampas kekuasaan dari tangan Ali dan keturunannya. Dalam suasana pertentangan
inilah maka timbul suatu golongan baru yang ingin bersikap netral, tidak mau turut dalam
praktik kafir mengafirkan, seperti yang dilakukan oleh kaum Khawarij dan Syi'ah.
Golongan inilah yang kemudian dikenal dengan nama golongan Murji’ah. Bagi mereka
sahabat-sahabat yang terlibat dalam pertentangan karena peristiwa tahkim itu tetap
mereka anggap sebagai sahabat-sahabat Nabi yang dapat dipercaya keimanannya. Oleh
karena itu mereka tidak menyatakan siapa yang sebenarnya salah, tetapi mereka lebih
baik menunda persoalan tersebut, dan menyerahkannya kepada Tuhan pada hari
perhitungan di hari kiamat nanti, apakah mereka menjadi kafir atau tidak.

2. Ajaran dan Tokoh


Secara umum, pokok ajaran dari Murji ̳ah dapat dilihat dari beberapa
pendapatnya, sebagai berikut:
a. Rukun iman ada dua, yaitu: iman kepada Allah dan iman kepada utusan Allah.
b. Orang yang berbuat dosa besar tetap mukmin selama ia telah beriman, dan bila
meninggal dunia dalam keadaan berdosa, maka segala ketentuannya tergantung
Allah di akhirat kelak.
c. Perbuatan kemaksiatan tidak berdampak apa pun terhadap orang bila telah
beriman.
d. Perbuatan kebajikan tidak berarti apa pun apabila dilakukan di saat kafir. Ini
berarti perbuatan-perbuatan baik tidak dapat menghapuskan kekafirannya dan bila
telah muslim tidak juga bermanfaat, karena melakukannya sebelum masuk Islam.
e. Golongan Murji ̳ah tidak mau mengkafirkan orang yang telah masuk Islam,
sekalipun orang tersebut zalim, berbuat maksiat dan lain-lain, sebab mereka
mempunyai keyakinan bahwa dosa sebesar apa pun tidak dapat memengaruhi
keimanan seseorang selama orang tersebut masih muslim.
f. Aliran Murji ̳ah juga menganggap bahwa orang yang lahirnya terlihat atau
menampakkan kekufuran, namun bila batinnya tidak, maka orang tersebut tidak
dapat dihukum kafir, sebab penilaian kafir atau tidaknya seseorang itu tidak
dilihat dari segi lahirnya namun tergantung batinnya. Sebab ketentuan ada pada
i ̳tiqad seseorang dan bukan segi lahiriahnya.

Sedangkan ajaran pokok Murjiah yang akan dikemukakan di bawah ini terutama
menyangkut bidang teologi, sedangkan bidang politik akan disinggung sepintas, karena
sebagaimana dinyatakan Harun Nasution bahwa literature mengenai pertumbuhan dan
perkembangan pemikiran kaum Murjiah yang dapat diketahui sedikit sekali. Dengan
demikian uraian tentang perkembangan pemikiran maupun perpecahan yang terjadi tidak
dapat diberikan dengan mendetail.

Pertama, dalam bidang teologi andang pokok Murjiah dalam bidang teologi
adalah bahwa iman hanya dibatasi dengan tashdiq (pembenaran) sedang perbuatan (amal)
sama sekali tidak masuk dalam pengertian iman. Hal ini mengandung konsekwensi
bahwa semua orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya hanya sebatas
membenarkan disebut mukmin walaupun berbuat dosa besar. Argumentasi yang
dikemukakan dalam hal ini adalah bahwa orang Islam yang berdosa itu tetap mengakui
bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Nabi Muhammad adalah Rasul-Nya. Dengan
kata lain orang serupa itu tetap mengucapkan dua kalimat syahadat yang menjadi dasar
utama dari iman. Oleh karena itu, orang yang berdosa besar menurut golongan ini tetap
mukmin bukan kafir. Pendapat di atas membawa konsekwensi yang logis bahwa yang
penting dan diutamakan adalah iman, sedangkan berbuat (beramal) sebenarnya soal
kedua dalam arti yang menentukan kafir atau tidaknya seseorang adalah imannya
(pengakuannya), bukan pada amal atau perbuatannya. Dari pandangan di atas Murjiah
mencoba merumuskan struktur esensial mengenai konsep iman dan batasan-batasannya
sebagai reaksi sekaligus menindaklanjuti pemikiran yang dimunculkan oleh kaum
Khawarij yang hanya menekankan pada akhirat dan langsung terhadap pelaku dosa besar
(murtakib al-kabair) sebagai keluar dari iman (kafir). Penekanan pembahasannya adalah
siapa yang termasuk kategori mukmin berbeda dengan Khawarij yang banyak
memperbincangkan siapa yang kafir. Pandangan seperti ini mengandung bahaya, karena
dapat memperlemah ikatan-ikatan moral atau masyarakat yang bersifat permissive,
masyarakat yang dapat mentolerir penyimpangan-penyimpangan dari norma-norma
akhlak yang berlaku. Karena yang dipentingkan hanyalah iman, norma- norma akhlak
bisa dipandang kurang penting dan cenderung diabaikan. Dalam perkembangan aliran ini,
memang mencerminkan sikap yang demikian (melecehkan amal), golongan inilah yang
masuk kategori Murjiah ekstrim. Sedangkan bagi mereka yang hanya bersifat pasif
terhadap pelaku dosa besar dalam arti tidak menjatuhkan hukum kafir dan mereka tetap
memandang pentingnya amal (perbuatan) tergolong Murji’ah moderat.

Kedua, bidang Politik kaum Murjiah berpendapat bahwa semua orang Islam yang
pantas berhak untuk menjadi Khalifah. Berbeda dengan Syi’ah yang berpendapat bahwa
yang berhak menjadi Khalifah adalah Ali dan keturunannya. Dari pandangan ini dapat
difahami bahwa golongan Murjiah dapat menerima kekhalifahan Mu’awiyah. Penjahat
dapat dihukum sesuai dengan ketentuan tanpa dikucilkan dari masyarakat. Secara politis
ini berarti bahwa penguasa dari bani Umayyah tidak putus hubungannya sebagai anggota
masyarakat karena mereka melakukan sesuatu yang oleh sebagian kaum muslim disebut
dosa. Konsekwensinya bahwa pemberontakan terhadap bani Umayyah tidak sah menurut
hukum. Dengan demikian kaum Murjiah merupakan golongan pertama yang mendukung
bani Umayyah atas dasar agama, meskipun mereka juga tidak terlalu menyukai bani
Umayyah.

Tokoh utama aliran murji'ah ialah Hasan Bin Bilal Muzni, Abu Sallat Samman
dan Dirar Bin Umar. Dalam perkembangan selanjutnya, golongan ini terbagi menjadi
kelompok moderat dipelopori Hasan Bin Muhammad Bin Ali Bin Abi Thalib, Abu
Hanifah, Abu Yusuf dan beberapa para ahli hadits sementara kelompok ekstrem
dipelopori Jahm Bin Shafwan. Golongan moderat berpendapat bahwa orang yang berdosa
besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan dihukum dalam neraka
sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya, dan ada kemungkinan bahwa Tuhan
akan mengampuni dosanya dan oleh karena itu tidak akan masuk neraka selamanya.
Dalam golongan ini termasuk banyak dari kalangan ahli fiqih dan hadis di antaranya al-
Hasan ibn Muhammad ibn Ali ibn Abi Thalib, Abu
Hanifa, Abu Yusuf, Thalq ibn Hubaib, Said ibn Jubir, Amr ibn Murrah, Maharib Ibn
Ziyad, Muqotil Ibn Sulaiman, Amr ibn Zar, Hamad ibn Sulaiman, Muhammad ibn Hasan
Qodidi ibn Ja’far. Jadi bagi golongan ini, orang Islam yang berdosa besar masih tetap
mukmin. Adapun sekte-sekte yang tergolong ekstrim diantaranya:

a. Jahmiyah
Tokohnya adalah Jahm ibn Safwan, ajaran pokoknya antara lain adalah
Orang Islam yang percaya pada Tuhan dan kemudian menyatakan kekufuran
secara lisan tidaklah menjadi kafir, karena iman dan kufur tempatnya
hanyalah di hati bukan dalam bagian lain dari tubuh manusia. Bahkan
orang tersebut tidak menjadi kafir sungguhpun ia menyembah berhala,
menjalankan agama Yahudi atau agama Kristen dengan menyembah salib,
menyatakan percaya pada trinitas kemudian mati. Orang demikian bagi
Allah tetap merupakan seorang mukmin yang sempurna imannya.
b. Yunusiyah
Tokohnya adalah Yunus Ibn Aun al-Namiry, ajaran pokonya antara
lain pertama, iman adalah berarti ma’rifat (mengenal) Allah, tunduk kepadanya,
tidak menunjukkan kesombongan kepadanya serta cinta kepada- Nya. Kedua,
etaatan bukan merupakan bagian dari iman dan meninggalkan ketaatan tidak
merusak hakekat iman dan mereka tidak mendapat hukuman apabila mereka
benar-benar beriman. Ketiga, iblis termasuk makhluk yang ma’rifat kepada Allah,
hanya iamenjadi kafir karena kesombongannya. Keempat, orang mukmin masuk
surga karena keikhlasannya dan cintanya kepada Allah bukan karena amal atau
perbuatannya. Kelima, iman ada dalam hati dan lisan serta tidak bisa bertambah,
berkurang ataupun berkurang.
c. Ghasssaniyah
Tokohnya adalah Ghassaniya al Kufy, ajaran pokoknya antara lain Iman
adalah ikrar cinta kepada Allah, iman tidak dapat bertambah dan berkurang, dan
jika seorang mengatakan bahwa, “saya tahu Tuhan melarang makan babi, tetapi
saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah kambing ini”, orang yang
demikian tetap mukmin bukan kafir. Dan jika seseorang mengatakan, “saya tahu
Tuhan mewajibkan haji ke Ka’bah tetapi saya tidak tahu apakah Ka’bah itu di
India atau di tempat lain”, orang yang demikian juga tetap mukmin.
d. Tuminiyah
Tokohnya Abu Muaz al-Tuminy, pokok ajarannya antara lain iman adalah
sesuatu yang dapat menghindarkan diri dari ke- kufuran, kafirnya orang yang
membunuh Nabi bukan karena menikam dan membunuhnya, tetapi karena adanya
rasa benci, memusuhi dan meremehkan haknya, serta rang yang meninggalkan
ibadah fardu karena keingkaran dan penolakannya menjadi kafir
e. Tsaubaniyah
Tokohnya adalah Abu Tsauban, ajaran pokoknya antara lain iman adalah
pengenalan dan pengakuan adanya Allah dan ke- rasulan Muhammad, mengetahui
setiap apa yang wajib dikerjakan menurut akal dan apa yang tidak boleh
dikerjakan bukanlah iman, dan akal mengetahui kewajiban sebelum adanya
kewajiban syara’.
f. Marisiyah
Tokohnya adalah Basyar al-Marisy, ajaran pokoknya antara lain Al-
Qur’an adalah makhluk, iman adalah tashdiq, iman ada dalam hati dan lisan,
orang yang sujud pada matahari tidaklah kafir melainkan tanda- tanda kekufuran,
dan mustahil bagi Allah untuk mengekalkan masuknya orang mukmin durhaka di
dalam mereka.
g. Ubaidiyah
Tokohnya Ubaid al-Muktaib, ajaran pokonya antara lain semua dosa selain
syirik diampuni oleh Allah dan seorang yang meninggal asal ia bertauhid, ia akan
bebas siksa meskipun ia berdosa.
3. Studi Empiris
Menurut Harun Nasution, dari kelima aliran teologi dalam Islam yang
berkembang dari proses dialektika atas dinamika sejarah sosial keagamaan di masa
awal Islam hampir semuanya telah musnah. Aliran-aliran Khawarij, Murji'ah dan
Mu'tazilah sudah hilang dan tinggal nama saja yang tersisa dalam sejarah. Dewasa ini
aliran dalam teologi Islam yang kita kenal ada Asy'ariyah dan Maturidyah.
Keduanya menyatu dalam aliran Ahlus Sunnah wa'l-Jama'ah. Dengan kata lain, aliran-
aliran teologi di atas telah mengalami proses evolusi, sehingga tinggal aliran yang
disebut terakhir itu saja yang bertahan di kalangan umat Islam hingga dewasa ini.
Aliran ini bertahan bertahan mengikuti madzhab Fiqih y ang dianut oleh
kalangan Sunni. Sebagai contoh, seperti disebutkan oleh Nasution, Penganut mazdhab
Hanafi lebih banyak mengikuti aliran Maturidiyah. Sementara itu Penganut madzhab
yang lain (Syafi'i Maliki dan Hanbali) cenderung mengikuti faham Asy'ari ah.
JABARIYAH

1. Sejarah
Nama Jabariyah berasal dari kata Jabara yang artinya memaksa atau
mengharuskan mengerjakan sesuatu. Imam Al-Syahrastani memaknai al-jabr dengan-
nafy al-fil haqiqatan an al-abdi wa idhafatihi ila al-Rabb‖ yaitu (Menolak adanya
perbuatan manusia dan menyandarkan semua perbuatannya kepada Allah SWT). Paham
Jabariyah dalam sejarah teologi Islam pertama kali dikemukakan oleh al-Ja‘d bin Dirham.
Tetapi yang menyebarkannya adalah Jahm bin Safwan. Jahm bin Safwan adalah tokoh
yang paling terkenal sebagai pelopor atau pendiri paham Jabariyah. Paham ini juga
identik dengan paham Jahmiyah dalam kalangan Murji‘ah sesuai dengan namanya. Jahm
bin Safwan terkenal pandai berbicara dan berpidato menyeru manusia ke jalan Allah dan
berbakti kepada-Nya sehingga banyak sekali orang yang tertarik kepadanya. Adapun
corak pemikiran paham Jabariyah menganggap bahwa perbuatan manusia dilakukan oleh
Tuhan dan manusia hanya menerima. Hal ini juga dikenal dengan istilah kasb yang secara
literal berarti usaha. Tetapi kasb di sini mengandung pengertian bahwa pelaku perbuatan
manusia adalah Tuhan sendiri dan usaha manusia tidaklah efektif. Manusia hanya
menerima perbuatan bagaikan gerak tak sadar yang dialaminya. Menurut paham ini
bahwa perbuatan manusia mesti ada pelakunya secara hakikat, zahirnya manusia namun
sesungguhnya adalah perbuatan Tuhan.
Jabariyah menempatkan akal pada porsi yang rendah karena semua tindakan dan
ketentuan alam di bawah kekuasaan atau kehendak Tuhan. Sehingga membuat pemikiran
dalam segala aspek kehidupan tidak berkembang, bahkan terhenti. Pemikiran diikat oleh
dogma, tidak berkembang dan mempersempit wawasan yang mengakibatkan tidak
adanya pemikiran yang mendalam seperti yang dikehendaki oleh filsafat. Salah satu
argumen yang memperkuat paham Jabariyah adalah QS. Ash-Shaffat: 96.
Artinya: "Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu".
(QS. Ash-Shafaat : 96).
Harun Nasution menetapkan beberapa ciri paham Jabariyah antara lain,
kedudukan akal rendah, ketidakbiasaan manusia dalam kemauan dan perbuatan,
kebebasan berpikir yang diikat oleh dogma, ketidakpercayaan kepada sunnatullah dan
kausalitas, terikat pada arti tekstual al-Qur‘an dan hadis, dan statis dalam sikap dan
perbuatan. Dalam perkembangannya, aliran Jabariyah terbagi menjadi dua golongan yang
yang sangat memiliki perbedaan pemahaman yang cukup signifikan. Satu golongan yang
sangat terkesan sanga keras dan fanatic sehingga banyak menumpahkan darah orang lain
yang tidak sepaham dengannya. Satu golongan lagi lebih luwes atau tidak kaku dan
mudah menerima pendapat golongan lain bahkan terkesan mengkombinasikan paham-
paham yang ada saat itu.

2. Tokoh dan Ajaran


Jabariyah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, ekstrim dan moderat. Di
antara doktrin Jabariyah ekstrim ialah pendapat yang menyatakan bahwa segala
perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri,
tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya. Contohnya: seseorang mencuri, maka
perbuatannya itu bukanlah terjadi atas kehendaknya sendiri, tetapi timbul karena qadha
dan qadar Tuhan yang menghendaki demikian. Dengan kata kasarnya, ia mencuri
bukanlah atas kehendaknya, tetapi Tuhanlah yang memaksanya mencuri. Manusia dalam
faham ini, hanya merupakan wayang yang digerakan dalang, demikian pula manusia
bergerak dan berbuat karena digerakkan Tuhan. Tanpa gerak dari Tuhan manusia tidak
bisa berbuat apa-apa.
a. Jahm bin Shofwan
Nama lengkapnya adalah Abu Mahrus Jaham bin Shafwan. Ia berasal dari
Khurasan, bertempat tinggal di Khuffah; Ia seorang da’i yang fasih dan lincah
(orator); Ia menjabat sebagai sekretaris Harits bin Surais, seorang mawali yang
menentang pemerintah Bani Umayah di Khurasan. Ia ditawan kemudian dibunuh
secara politis tanpa ada kaitannya dengan agama.47 Ia berjasa menyebarkan
faham Jabariyah ke berbagai tempat, seperti Tirmidz dan Balk. Pendapat Jahm
yang berkaitan dengan persoalan Teologi adalah pertama, manusia tidak mampu
untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak
mempunyai pilihan. Pendapat Jahm tentang keterpaksaan ini lebih dikenal dengan
pendapatnya tentang surga dan neraka, konsep iman, kalam Tuhan, meniadakan
sifat Tuhan (nahyu as-sifat), dan melihat Tuhan di akhirat. Kedua, surga dan
neraka tidak kekal, tidak ada yang kekal selain Tuhan. Ketiga, iman adalah
ma’rifat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini, pendapatnya sama dengan
konsep iman yang dimajukan kaum Murji’ah. Keempat, kalam Tuhan adalah
makhluk. Allah Mahasuci dari segala sifat dan keserupaan dengan manusia seperti
berbicara, mendengar dan melihat. Begitu pula Tuhan tidak dapat dilihat dengan
indera mata di akhirat kelak. Dengan demikian, dalam beberapa hal, pendapat
Jahm hampir sama dengan Murji’ah, Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Itulah sebabnya
pengkritik dan sejarawan menyebutnya dengan al-Mu’tazili, al-Murji’i dan al-
Asy’ari’i.
b. Ja’d bin Dirham
Al-Ja’d adalah seorang Maulana Bani Hakim, tinggal di Damaskus. Ia
dibesarkan di dalam lingkungan orang Kristen yang membicarakan teologi.
Semula ia dipercaya untuk mengajar di lingkungan Bani Umayah, tetapi setelah
tampak pikiranpikiran yang kontroversial, Bani Umayah menolaknya. Kemudian
al-Ja’d lari ke Kuffah dan di sana bertemu dengan Jahm, serta mentransfer
pikirannya kepada Jahm untuk dikembangkan dan disebarluaskan.Doktrin pokok
al-Ja’d secara umum sama dengan pikiran Jahm. Al-Ghuraby menjelaskan sebagai
berikut, pertama Al-Quran itu adalah makhluk. Oleh karena itu, dia baru. Sesuatu
yang baru itu tidak dapat disifatkan kepada Allah. Kedua, Allah tidak mempunyai
sifat yang serupa dengan makhluk seperti berbicara, melihat dan mendengar.
Ketiga, manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya.Lain halnya dengan
Jabariyah ekstrim, Jabariyah moderat mengatakan bahwa Tuhan memang
menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik,
tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam
diri manusia mempunyai efek mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud
dengan kasab (acquistion). Menurut faham kasab yang dibawa al-Najjar dan
Dirar, manusia tidaklah majbur (dipaksa oleh Tuhan), tidak seperti wayang yang
dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi
manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan Tuhan. Menurut faham ini,
Tuhan dan manusia bekerja sama dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan
manusia. Manusia tidak semata-mata dipaksa dalam melakukan perbuatan-
perbuatannya. Jabariyah Moderat mengakui bahwa manusia memiliki kekuatan
untuk berbuat, tetapi berpendirian bahwa hal ini merupakan suatu kekuatan yang
tidak efektif (tanpa kekuatan dari Allah).
c. An-Najjar
Nama lengkapnya adalah Husain bin Muhmmad an-Najjar (wafat 230 H).
Para pengikutnya disebut an-Najjariyah atau al- Husainiyah. Di antara pendapat
pendapatnya adalah pertama, Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia,
tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan
perbuatan itu. Itulah yang disebut kasab dalam teori al-Asy’ary. Dengan
demikian, manusia dalam pandangan an-Najjar tidak lagi seperti wayang yang
gerakannya bergantung pada dalang, sebab tenaga yang diciptakan Tuhan dalam
diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Kedua, Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat. Akan tetapi, an-Najjar menyatakan
bahwa Tuhan dapat saja memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata hati
sehingga manusia dapat melihat Tuhan.
d. Adh-Dhirrar
Nama lengkapnya Dhirar bin Amr. Pendapatnya tentang perbuatan
manusia sama dengan Hussein An-Najjar, yakni bahwa manusia tidak hanya
merupakan wayang yang digerakkan dalang. Manusia mempunyai bagian dalam
perwujudan perbuatannya dan tidak semata-mata dipaksa dalam melakukan
perbuatannya. Secara tegas, Dhirar mengatakan bahwa satu perbuatan dapat
ditimbulkan oleh dua pelaku secara bersamaan, artinya perbuatan manusia tidak
hanya ditimbulkan Tuhan, tetapi juga oleh manusia itu sendiri. Manusia turut
berperan dalam mewujudkan perbuatan- perbuatannya.Mengenai Ru’yat Tuhan di
akhirat, Dhirar mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat melalui indera
keenam. Ia juga berpendapat bahwa hujjah yang dapat diterima setelah Nabi
adalah Ijtihad. Hadist ahad tidak dapat dijadikan sumber dalam menetapkan
hukum.

3. Studi Empiris
Sebagai golongan, kaum Jabariyah memang sudah tidak ada apalagi pada zaman
ini. Tetapi pemikiran paham Jabariyah masih ada hingga saat ini. Hal ini di buktikan
dengan Banyak pengaruh negatif yang dihasilkan oleh aliran ini. Paham bahwa manusia
tidak mempunyai kebebasan dan kekuasaan apa pun menyebabkan manusia menjadi
apatis. Menjalani hidup dengan rasa pesimis, karena menganggap semuanya telah
ditakdirkan sejak jaman azali. Tidak ada gunanya berusaha karena manusia hanya
terpaksa melakukan sesuatu.Manusia beraliran ini menjadi malas, tidak kreatif, menyerah
sebelum bertanding dan pasrah terhadap apa pun juga. Selain itu yang lebih berbahaya
adalah selalu menyalahkan Tuhan untuk semua perbuatan buruk yang mereka lakukan.
Selain itu mereka selalu mencari kambing hitam dari setiap kegagalan dan kesalahan
yang mereka lakukan. Semua kekeliruan ini berasal dari pemikiran bahwa manusia
diibaratkan benda mati. Sebagai benda mati tentu saja tidak mampu melakukan apa pun.
Padahal jelas manusia adalah benda hidup yang memiliki akal dan kebebasan serta
kemampuan untuk memilih, melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Pendapat aliran
Jabariyah ini ditentang oleh Muhammad Abduh, (Harun Nasution : 67-68) menurutnya
kekuatan-kekuatan alam yang membatasi kemauan dan kekuasaan manusia, membuat
manusia sadar bahwa di alam wujud ini terdapat suatu kekuatan lebih tinggi, yang tak
dapat dijangkau oleh kekuatan manusia dan dibalik usahanya masih ada kekuasaan yang
tak dapat ditandingi oleh kekuasaan manusia.
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai