Anda di halaman 1dari 6

Bagaimana Syiah Menafsirkan Al-Qur’an?

Oleh: Adib Fattah

Beberapa kalangan masih ada yang beranggapan bahwa Syiah adalah Islam, tidak
jauh berbeda dengan Ahlussunnah. Mereka berpandangan Syiah hanyalah sebuah
mazhab, sebagaimana mazhab-mazhab fikih yang masyhur yaitu malikiyah, syafi’iyah,
hanabilah dan hanafiyah. Menurut mereka perbedaan antara Syiah dan Ahussunnah
hanya perbedaan dalam ranah furu’ (cabang) semata. Tidak jarang kemudian mereka
mengupayakan taqrib (rekonsiliasi) antara Ahlussunnah dan Syiah di berbagai negara.

Padahal apabila ditelaah lebih dalam, terdapat perbedaan substansial antara


Ahlussunnah dan Syiah. Perbedaan antara keduanya tidak hanya dalam ranah furu’
(cabang) semata, namun juga dalam ranah ushul (pokok). Sehingga mustahil
menyamakan keduanya. Di antara perbedaan fundamental antara keduanya adalah dalam
rukun Islam, rukun Iman, pandangan terhadap sahabat Nabi, ahlu bait dan al-Qur’an.
Sehingga dengan banyaknya perbedaan ini, banyak ulama yang telah mengeluarkan
kelompok Syiah dari Islam. Bahkan MUI sudah mengeluarkan himbauan akan bahaya
paham Syiah sejak 1984. Malahan MUI Jawa Timur sudah memberikan fatwa tentang
kesesatan ajaran Syiah pada 2012.

Jika berbicara tentang kelompok Syiah, tentu tidak bisa dilepaskan dari doktrin
ajaran paling fundamental mereka, yaitu konsep Imamah. Imamah menurut Syiah adalah
keyakinan bahwa setelah Nabi Muhammad wafat, maka Ali dan keturunannyalah yang
berhak menggantikan beliau. Bagi Syiah imamah adalah perkara besar, bahkan
kedudukannya sama atau lebih tinggi dari nubuwah (kenabian). Beberapa hadis al-
Kulaini dalam al-Kafi menyebutkan bahwa kedudukan imamah lebih tinggi dari nubuwah
dan ini dinyatakan terang-terangan oleh sekelompok tokoh agama mereka. salah seorang
tokoh agama mereka bernama Ni’matullah al-Jazairi mengatakan,” Imamah keseluruhan
adalah imamah yang kedudukannya lebih tinggi dari derajat nubuwah (kenabian)dan
risalah (kerasulan).” (Zahrur Rabi’, hlm. 12) Maka tanpa imamah, tidak akan ada Syiah,
atau dalam ungkapan lain karena imamahlah Syiah ada.

Namun doktrin imamah ini menjadi dilema bagi mereka, karena tidak adanya
bukti yang nyata tentang ajaran ini di dalam al-Qur’an. Padahal mereka beranggapan
bahwa imamah adalah ajaran pokok. Tentu sangat rancu apabila ajaran yang begitu
penting ini tidak disebutkan di dalam al-Qur’an. Oleh karena itulah, mereka memiliki
cara pandang sendiri terhadap al-Qur’an. Bahkan mereka memiliki metode tersendiri
dalam menafsirkan al-Qur’an. Seperti apakah pandangan Syiah terhadap al-Qur’an dan
bagaimana mereka menafsirkan al-Qur’an? Pertanyaan inilah yang akan dijawab dalam
artikel ini.

Al-Qur’an dalam pandangan Syiah

Bagi kaum muslimin, keaslian dan autentisitas al-Qur’an sudah tidak diragukan
lagi. Kaum muslimin telah ber-ijma’ (bersepakat bulat) bahwa al-Qur’an yang ada
ditengah-tengah umat ini adalah al-Qur’an yang asli sebagaimana diturunkan Allah
kepada Rasul-Nya. Tidak ada yang menyelisihi ijma’ ini kecuali Syiah. Padalah para
ulama juga telah bersepakat bahwa barangsiapa yang meyakini adanya perubahan dalam
al-Qur’an sepeninggal Rasulullah, maka ia telah kafir. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
berkata dalam kitabnya, ash-Sharim al-Maslul, “Barangsiapa mengklaim bahwa al-
Qur’an telah dikurangi sebagian ayat-ayatnya, atau disembunyikan...maka tidak ada lagi
perselisihan tentang kekafirannya.” (ash-Sharim al-Maslul ‘ala Syatim ar-Rasul, 460)

Dalam pandangan Syiah, al-Qur’an telah dipalsukan dan sebagian surahnya ada
yang dibuang. Menurut mereka dalam al-Qur’an yang asli banyak ayat yang diturunkan
berkaitan dengan keutamaan Ahlulbait, kewajiban untuk mengikuti mereka, larangan
menentang mereka dan celaan terhadap para penentang Ahlulbait. Namun menurut Syiah
para sahabat telah membuang ayat-ayat tersebut dari al-Qur’an. Misalnya dalam al-Kafi
(kitab induk Syiah) dinyatakan bahwa al-Qur’an yang sekarang ini banyak menghapus
nama ‘Ali. Di antaranya adalah dalam QS al-Ahzab, yang tertulis: Wa man yuṭi’illâh wa
rasûlahu faqad fâza. Namun menurut kitab itu yang benar Wa man yuṭi’illâh wa
rasûlahu fî wilâyati ‘Aly wa al-a’immah ba’dahu faqad fâza. (Ushul Kafi, jilid I, hlm.
262)
Syiah meyakini bahwa tidak ada yang mengumpulkan al-Qur’an dengan lengkap
selain ‘Ali bin Abi Thalib dan para imam sesudahnya. Mereka meyakini adanya mushaf
(kitab suci) yang disebut Mushaf Fathimah. Mushaf ini adalah al-Qur’an yang asli
menurut mereka. Tebal mushaf ini tiga kali dari pada al-Qur’an yang ada sekarang.
Disebutkan dalam kitab Syiah berjudul Ushul Kafi bahwa al-Qur’an yang dibawa Jibril
kepada Nabi Muhammad ada 17 ribu ayat, namun sekarang tinggal tersisa 6660 ayat.
Bahkan Syiah meyakini bahwa mushaf Fathimah ini akan dihadirkan kembali oleh Imam
Mahdi (Imam yang ke-12) ketika ia datang kelak di akhir zaman. Begitulah keterangan
dari al-Kulaini dalam kitabnya al-Kafi.

Tafsir al-Qur’an ala Syiah

Selain meyakini kekurangan al-Qur’an Mushaf Utsmani, Syiah juga memiliki cara
menafsirkan dan menakwilkan al-Qur’an sesuai dengan teologi yang mereka yakini.
Tafsir Syiah bukan tafsir dengan metodologi ilmiah, tapi tafsir bathini yang sangat bebas
dan sering kali tidak ada kaitannya dengan lafal dan konteks ayatnya. Tafsir atau takwil
bathini itu diarahkan untuk mendukung imamah Ali bin Abi Thalib.

Prof. Dr. Muhammad Ibrahim al-‘Asal menulis dalam disertasi beliau berjudul
asy-Syiah Itsna Asyariyah wa Manhajuhum fi Tafsir al-Qur’an al-Karim bahwa di antara
prinsip penafsiran yang dipegang oleh Kaum Syiah adalah mereka berkeyakinan bahwa
Al-Quran mempunyai makna tersirat (batin) dan makna tersurat (zahir). Bahkan mereka
meyakini bahwa setiap ayat memiliki tujuh hingga tujuh puluh tujuh makna tersirat
(bahtin). Mereka bersepakat bahwa siapa yang mengingkari makna tersirat ini, maka
hukumnya kafir sebagaimana orang yang mengingkari makna tersurat (zahir) dari al-
Qur’an.

Akar metode tafsir makna batin ini dapat ditelusuri jejaknya dari upaya Abdullah
bin Saba untuk mencari sandaran Al-Quran dalam mendukung kepercayaannya tentang
raj’ah (reingkarnasi) dengan melakukan penafsiran kebatinan. Yaitu perkataannya bahwa
sungguh mengherankan orang percaya Isa akan kembali ke dunia tapi tidak percaya
Muhammad akan kembali. Ia menyitir firman Allah dalam surah al-Qasas: 85, padahal
yang dimaksud dalam tersebut dengan kembali adalah kembali menguasai Makkah.

Kemudian para tokoh Syiah setelah itu, banyak yang membuat tafsiran Al-Quran
dengan metode takwil bathini ini. Seperti menakwilkan makna Allah menjadi makna
imam, dalam firman Allah,

ِ ‫َّخ ُذوا ِإلَهي ِن ا ْثني ِن ِإنَّما هو ِإلَهٌ و‬


ِ ‫اح ٌد فَِإ يَّاي فَار َهب‬
‫ون‬ ِ ‫اَل َتت‬
ُ ْ َ َ َُ َ َْ َْ
"Janganlah kamu menyembah dua tuhan; sesungguhnya Dialah Tuhan Yang
Maha Esa, maka hendaklah kepada-Ku saja kamu takut". (QS. An-Nahl: 51). Ditafsirkan
oleh mufasir Syiah, Abu Abdillah bahwa yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah
jangan angkat dua imam karena imam itu hanya satu saja. (Tafsir al-Burhan, 2/373)

Selain itu al-Qummi, mufasir Syiah, mengarahkan makna “orang kafir” dalam
surah al-Furqan 55 kepada Umar bin al-Khathab. Ayat tersebut berbunyi:

‫ض ُّر ُه ْم َو َك ا َن الْ َك افِ ُر َعلَى َربِِّه‬ ِ ‫وي ْعب ُدو َن ِمن ُد‬
ُ َ‫ون اللَّ ِه َم ا اَل َي ْن َفعُ ُه ْم َواَل ي‬ ْ ُ ََ

‫ظَ ِه ًيرا‬

“Mereka menyembah selain Allah apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula)
memberi mudharat kepada mereka. Orang kafir itu penolong (setan untuk berbuat
durhaka) terhadap Tuhannya.”

Lafal “orang kafir” dalam ayat ini menurut al-Qummi adalah “si orang kedua’ yaitu
Khalifah Umar bin al-Khathab yang dahulu dianggap pernah menolong orang untuk
berbuat durhaka kepada Amiru Mukminin Ali bin Abi Thalib. Masih banyak lagi ayat-
ayat yang maknanya diselewengkan oleh Syiah untuk tujuan menguatkan doktrin
imamah.

Mengkritisi metode takwil bathini ala Syiah


Definisi takwil yang paling luas, yang diterima oleh Ahlusunnah adalah yang
dikemukakan oleh Tajuddin Ibn al-Subki (w 771 H) dalam kitabnya Jami’ul Jawami’
bahwa,” Takwil adalah mengalihkan makna lafal zahir; bila kepada makna yang
dimungkinkan yang lemah tapi berdasarkan dalil maka itulah takwil yang benar, namun
bila berdasarkan anggapan belaka, maka itu adalah takwil yang salah, dan bila tidak
berlandaskan apa-apa maka itu adalah main-main, bukan takwil.

Oleh karena itu, pemaknaan zahir dari setiap lafal adalah wajib, sebab ia adalah
argumentasi kuat karna maknanya bersifat aksiomatik. Menjadikan ungkapan sebagai
majaz sementara menjadikannya hakikat masih mungkin, adalah membuang semua
aturan pembicaraan dan makna perkataan secara keseluruhan. Bila demikian maka fungsi
bahasa bisa hancur dan bahasa tidak lagi bisa menunjukkan makna apa-apa.

Antara takwil batini dan tafsir isyari

Tafsir isyari, sebagaimana telah dijelaskan ulama ahli tafsir, Syaikh Muhammad
Khidhir Husain (Grand Syaikh al-Azhar) bahwa tafsir ishari berbeda dengan takwil
batini. Menurut beliau kelompok batiniah memalingkan ayat dari makna tekstualnya atau
makna logisnya kepada makna yang mencocoki tujuannya dengan alasan bahwa itu
adalah maksud Allah, bukan makna yang lain. Sementara tafsir ishari adalah seperti
dikatakan Abu Bakr ibnu al-Arabi (568-543 H) dalam kitabnya al-Awashim minal
Qawashim adalah membawa lafal-lafal syariah melalui prosedurnya dan mendudukannya
sesuai porsinya, namun mereka meyakini bahwa di balik itu semua terdapat makna-
makna yang tersimpan dan samar yang dapat dijangkau melalui isyarat dari berbagai
lafal-lafal zahir. Artinya, mereka menyeberang menuju isyarat itu dengan merenung dan
menganggapnya sebagai jalan berzikir.

Muhammad Abdul Azim al-Zarqani dalam Manahil al-‘Irfan fi Ulum al-Qur’an


menetapkan beberapa kaidah dan ketentuan (dhawabit) pada metode takwil isyari, yaitu:
(1) Tidak bertentangan (ta’arudh) dengan makna zahir (tekstual) al-Qur’an, (2) tidak
membatasi makna isyari saja yang benar, (3) penafsiran diperkuat oleh dalil syara’ yang
lain, (4) penafsiran tidak bertentangan dengan dalil syara’ atau rasio, (5) tidak
mengandung penyimpangan dari susunan kalimat (lafal-lafal) al-Qur’an, dan (6) tidak
bertentangan dengan apa-apa yang sudah dipahami (ma’lum) oleh khalayak manusia.
Dari pemaparan di atas, dapat diketahui bahwa pemahaman Syiah terkait al-Qur’an
berbeda dari pemahaman Ahlussunnah. Syiah berkeyakinan bahwa al-Qur’an yang ada
sekarang tidak lengkap, karena tidak menyebutkan keimaman Ali bin Abi Thalib. Maka
mereka kemudian merumuskan metode interpretasi (tafsir) yang mengada-ada. Yaitu
yang disebut sebagai takwil bathini. Dalam metode ini, terlihat begitu jelas pemaksaan
interpretasi makna. Yang pada intinya hanya pembenaran dari doktrin imamah mereka
semata.

Selain itu, takwil bathini Syiah ini berbeda dengan takwil isyari. Di mana takwil
isyari memiliki syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi. Salah satunya, tidak boleh
bertentangan dengan makna zahirnya. Sedangkan takwil bathini, justru sangat
bertentangan dengan makna zahir ayat. Dengan demikian, takwil bathini ala Syiah ini
tidak bisa diterima.[]

Anda mungkin juga menyukai