Anda di halaman 1dari 5

METODE MEMAHAMI NASH SIFAT ALLAH

Bagian. 1

( Vonis Musyabbihah Kepada Ahlus Sunnah )

Pembaca Ibunda, kali ini kita akan membahas masalah Aqidah, khususnya tentang
manhaj atau metode memahami nash atau dalil-dalil yang ada dalam Al Qur’an dan Al
Hadits yang mengabarkan sifat Allah. Harapannya, setelah pembahasan ini, kita dapat
memahami metode yang diajarkan para ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dari kalangan
Salaf dan Kholaf mengenai sifat Allah. Dan kita pun akan mengetahui beberapa
perbedaan pendapat di dalamnya.

Ikhwati fillah. Akhir-akhir ini yang paling menonjol di negri kita adalah paham
Asy’ariyyah Maturidiyah. Faham ini adalah ajaran yang diakuisasi secara resmi oleh
saudara-saudara kita di Nahdlatul Ulama atau NU. Bahwa metode memahami yang
dipakai dalam memahami sifat Allah adalah dengan Takwil. Dengan alasan bahwa hal itu
adalah ajaran para Salaf, dan dengan Takwil akan terhindar dari menyerupakan Allah
terhadap makhluk. Oleh karenanya, saudara-saudara kita itu mengatakan kaum Muslimin
yang tidak mentakwil sifat Allah adalah Musyabbihah (orang yang menyerupakan Allah
dengan makhluk) dan Mujassimah (orang yang mengatakan Allah berbentuk tubuh
seperti makhluk). Pembaca bisa menanyakan langsung kepada saudara kita Asy’ariyyah
tersebut. Bahwa yang tidak mentakwil sifat Allah adalah Musyabbihah Mujassimah.
Padahal kita sepakat, bahwa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya adalah
kafir.!

Kita sampaikan; Pertama, bahwa Asy’ariyyah dalam hal ini memang


mengkafirkan kaum Muslimin karena vonis Musyabbihah Mujassimah kepada kaum
Muslimin yang lain. Wallahu a’lam bagaimana bisa mereka berkilah dari faham takfiri
ini, karena tuduhan yang mereka lemparkan adalah tuduhan yang membuat orang Islam
keluar dari agamanya, yaitu menyerupakan Allah dengan makhluk. Asy’ariyyah yang
sebenarnya menganut faham Ahlul Kalam dalam mengenal Aqidahnya, pernah
disinggung oleh Imam Al Qurthubi (w. 671 H) di Tafsirnya yang menyatakan bahwa
sebagian Ahlul Kalam ada yang berpaham Takfiri (mengkafirkan kaum Muslimin). Kata
beliau,

‫تي‬88‫اث ال‬88‫ا واألبح‬88‫ذهب بعض المتأخرين والمتقدمين من المتكلمين إلى أن من لم يعرف هللا تعالى بالطرق التي طرقوه‬
‫ فيلزم على هذا تكفير أكثر المسلمين‬،‫حرروها لم يصح إيمانه وهو كافر‬
“Sebagian kalangan kontemporer dan terdahulu kelompok Ahlul Kalam berpendapat
bahwa; siapa yang tidak mengenal Allah Ta’ala dengan metode yang mereka tempuh dan
dengan pembahasan-pembahasan yang mereka tuliskan, maka tidak sah imannya dan dia
adalah kafir. Akibat dari itu terjadilah pengkafiran terhadap kebanyakan kaum
Muslimin.” (Tafsir Al Qurthubi, surat Al A’rof: 184)

Ahlul Kalam adalah Asy’ariyyah. Dan Ulama Asy’ariyyah yang taubat dari
paham ilmu Kalam dan kembali kepada madzhab Salaf adalah Imamul Haromain Abul
Ma’ali Al Juwaini Asy Syafi’i (w. 478 H). Ilmu Kalam yang beliau pelajari
mengantarkannya kepada paham yang mengharuskan Takwil sifat Allah. Alhamdulillah,
beliau taubat darinya dan menyatakan imam-imam Salaf tidak Takwil terhadap sifat
Allah dalam kitabnya Ar Risalah An Nizhamiyah. Beliau bahkan mencela ilmu Kalam
yang mengajarkan Takwil sifat Allah. Semua ini diceritakan Imam Adz Dzahabi (w. 748
H) dalam Siyar A’lamin Nubala’ di biografinya (no. 240). Dan tidak menutup
kemungkinan ada lagi saudara-saudara kita yang mengikuti Asy’ariyyah terdahulu ini,
yang semula berpaham ilmu Kalam akhirnya meninggalkannya dan tidak lagi
mengkafirkan kaum Muslimin yang tidak sependapat dengannya.

Kedua, bahwa yang gemar memvonis Musyabbihah Mujassimah adalah tanda


bahwa ia adalah pelaku bid’ah Jahmiyah. Imam Ibnu Abdil Barr (w. 463 H) dalam
kitabnya At Tamhid Syarh Muwatho’ menjelaskan,

‫ة ال على‬88‫ا على الحقيق‬88‫أهل السنة مجموعون على اإلقرار بالصفات الواردة كلها في القرآن والسنة واإليمان بها وحمله‬
‫ا‬88‫ة كله‬88‫ة والمعتزل‬88‫دع والجهمي‬88‫ل الب‬88‫ا أه‬88‫ورة وأم‬88‫فة محص‬88‫ه ص‬88‫دون في‬88‫المجاز إال أنهم ال يكيفون شيئا من ذلك وال يح‬
‫والخوارج فكلهم ينكرها وال يحمل شيئا منها على الحقيقة ويزعمون أن من أقر بها مشبه‬

“Ahlus Sunnah sepakat dalam menetapkan seluruh Sifat-sifat Allah yang ada dalam Al
Qur’an dan As Sunnah. Juga mengimaninya dan membawanya kepada Hakikatnya bukan
kepada Majaz. Mereka tidak mengatakan bagaimana cara (sifat) itu. Mereka pun tidak
membatasi dalam sifat tersebut dengan sifat yang khusus. Sebaliknya, adapun Ahlul
Bid’ah dan kelompok Jamhiyah dan Mu’tazilah seluruhnya, serta kelompok Khowarij,
seluruh mereka mengingkarinya dan tidak membawanya kepada Hakikatnya. Mereka pun
mengira bahwa yang menetapkan (dengan Hakikatnya tanpa Takwil-pent) adalah
Musyabbih.” (At Tamhid, 7/144)

Imam Al Lalkai (w. 418 H) dalam kitabnya Syarh Ushul I’tiqod Ahlis Sunnah
Wal Jama’ah Minal Kitab Was Sunnah Wa Ijma’is Shohabah (no. 939) menyatakan,

‫ذدكره عبد الرحمن قال سمعت ابي يقول عالمة الجهمية تسميتهم أهل السنة مشبهة‬

“Abdurrahman menyebutkan, ia berkata, ‘Aku mendengar ayaku mengatakan, ‘Tanda


kelompok Jamhiyah adalah penyebutan mereka kepada Ahlus Sunnah dengan
Musyabbihah’.”
Hal senada disampaikan imam Al Izz Al Hanafi (w. 792 H) dalam Syarh
Thohawiyah dari ucapannya imam Ishaq bin Rohawaih (w. 238 H).

:‫ال‬88‫ وق‬،‫افر باهلل العظيم‬88‫و ك‬88‫ق هللا فه‬88‫د من خل‬88‫فات أح‬88‫فاته بص‬88‫ من وصف هللا بشيء فشبه ص‬:‫وقال إسحاق بن راهويه‬
.‫ة‬8‫ل هم المعطل‬8‫ ب‬،‫بهة‬8‫ أنهم مش‬:- ‫ذب‬8‫ه من الك‬8‫وا ب‬8‫ا أولع‬8‫ة م‬8‫نة والجماع‬8‫ل الس‬8‫عالمة جهم وأصحابه دعواهم على أه‬
‫ عالمة الجهمية تسميتهم أهل السنة مشبهة‬:‫وكذلك قال خلق كثير من أئمة السلف‬

“Berkata Ishaq bin Rohawaih, ‘Siapa yang mensifati Allah dengan sesuatu kemudian
menyerupakan sifat-sifat-Nya dengan sifat-sifat salah satu makhluk Allah, maka dia kafir
kepada Allah Yang Maha Agung’. Beliaupun pernah berkata, ‘Tandanya Jahm (pencetus
Jahmiyah) dan sahabat-sahabatnya -hal mana berdusta sangat disukai mereka- adalah
mereka menyebut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah sebagai Musyabbihah. Padahal mereka
sendiri adalah Mu’aththilah (yang meniadakan sifat Allah)’. Demikian pula kebanyakan
para imam-imam Salaf mengatakan, ‘Tanda Jahmiyah adalah mereka menyebut Ahlus
Sunnah dengan Musyabbihah’.” (Syarh Thohawiyah, matan : Wa la yusybihuhul anam)

Kasus ini pernah menimpa kepada imam Ibnu Qutaibah (w. 276 H). Imam Adz
Dzahabi dalam kitabnya Siyar A’lamin Nubala’ menuliskan pada biografinya (no. 138),

،‫ح‬88‫ هذا لم يص‬:‫ قلت‬.‫ كان ابن قتيبة يميل إلى التشبيه‬:‫ أنه قال‬،‫ بال إسناد عن الدارقطني‬،" ‫ونقل صاحب " مرآة الزمان‬
‫ فسحقا له‬،‫وإن صح عنه‬

“Penulis kitab Mir-atuz Zaman (Abul Muzhofar Sibthu Ibnil Jauzi, w. 654 H -pent)
meriwayatkan tanpa sanad dari Ad Daruquthni bahwa beliau mengatakan, ‘Ibnu Qutaibah
cenderung kepada tasybih (paham Musyabbihah)’. Aku (Adz Dzahabi) katakan, ‘Ini tidak
benar. Kalaupun itu benar, fasuhqon lahu -semoga Allah menjauhkan dari rahmat-Nya-’.”

Pernah pula dialami imam Ishaq bin Rohawaih (w. 238 H). Beliau divonis kafir
karena meyakini Allah mempunyai sifat nuzul (turun ke langit dunia) sebagaimana yang
ada di dalam hadits Shahih. Imam Adz Dzahabi menuliskan kejadian ini di biografi imam
Ibnu Rohawaih (no. 79) dalam Siyar A’lamin Nubala’,

.‫اء‬8‫ا يش‬8‫ آمنت برب يفعل م‬:‫ فقال‬.‫ كفرت برب ينزل من سماء إلى سماء‬:‫ أن بعض المتكلمين قال له‬:‫وورد عن إسحاق‬
‫وا‬88‫ ولم يتعرض‬،‫لف‬88‫ ونقلها الخلف عن الس‬،‫ قد صحت بها النصوص‬،‫ هذه الصفات من االستواء واإلتيان والنزول‬:‫قلت‬
‫ه‬88‫ وأن هللا ليس كمثل‬،‫وقين‬88‫وت المخل‬88‫به نع‬88‫ا ال تش‬88‫فاقهم على أنه‬88‫ع إص‬88‫ا م‬88‫ بل أنكروا على من تأوله‬،‫لها برد وال تأويل‬
‫ييف أو‬88‫ا على التك‬88‫ أو حوم‬،‫وله‬88‫رد على هللا ورس‬88‫ة لل‬88‫ك محاول‬88‫ فإن في ذل‬،‫ وال التنازع فيها‬،‫ وال تنبغي المناظرة‬،‫شيء‬
.‫التعطيل‬

“Diriwayatkan dari Ishaq, bahwa sebagian Ahlul Kalam berkata kepadanya, ‘Engkau
kafir dengan -meyakini- Rabb turun dari langit ke langit’. Beliau pun mengatakan, ‘Aku
beriman kepada Rabb yang melakukan apa saja yang Dia kehendaki’. Aku (Adz Dzahabi)
katakan, ‘Sifat-sifat ini; istiwa’, datang, dan turun, nash-nashnya adalah Shahih. Para
Salaf dan Kholaf telah meriwayatkannya dan tidak menentangnya dengan cara menolak
dan tidak pula mentakwil. Bahkan mereka mengingkari kepada siapa saja yang
mentakwilnya. Bersamaan dengan itu mereka menetapkan bahwa sifat-sifat tersebut tidak
serupa dengan sifat makhluk, dan Allah tidak ada yang menyerupai-Nya sesuatu apapun.
Tidak pula dituntut berdebat tentangnya. Tidak pula bertengkar mengenainya. Karena
dalam hal itu adanya upaya menolak Allah dan Rasul-Nya, atau membawa kepada
pernyataan takyif (tatacara sifat Allah) atau kepada ta’thil (meniadakan)nya.”

Pesan imam Adz Dzahabi, sekalipun dikafirkan oleh mereka yang mengatakan
Musyabbihah kepada kita, tidak ada keharusan untuk mendebat mereka, dan tidak pula
bertengkar dengan mereka. Tapi berbeda kalau hanya mencari tahu alasan mengapa yang
tidak mentakwil sifat Allah divonis Musyabbihah?

Sampai saat ini kita baru mengetahui bahwa alasan Asy’ariyyah memvonis
Musyabbihah kaum Muslimin yang tidak Takwil adalah karena sifat-sifat Allah yang
dikabarkan dalam Al Qur’an dan Al Hadits secara Zhahir sama dengan sifat makhluk.
Sedangkan Allah menyatakan, “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan
Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy Syuro: 11). Seperti Yad
(tangan), atau Istiwa’ (melakukan istiwa’) di Arsy, atau Nuzul (turun) ke langit dunia
setiap sepertiga malam terakhir, dan lain-lain. Maka asumsi mereka, semuanya harus
ditakwilkan untuk terhindar dari tasybih (menyerupakan) Allah dengan makhluk. Alasan
ini pernah dijelaskan panjang lebar oleh ulama berpaham Asy’ariyyah mengapa bisa jadi
Musyabbihah. Yaitu Ar Rozi di dalam tafsirnya.

Sekali lagi, ini hanya sekedar asumsi yang tidak tepat. Karena metode Ahlus
Sunnah yang tidak mentakwil sifat-sifat Allah bukan berarti itu adalah tasybih,
menyerupakan Allah dengan makhluk. Imam Tirmidzi (w. 279 H) dalam Sunan-nya
menuliskan riwayat imam Ishaq bin Ibrahim An Naisaburi (w. 275 H).

: ‫ال‬8‫إذا ق‬8‫ ف‬، ‫مع‬8‫ل س‬8‫ أو مث‬، ‫مع‬8‫ أو سمع كس‬، ‫ أو مثل يد‬، ‫ يد كيد‬: ‫ إنما يكون التشبيه إذا قال‬: ‫وقال إسحاق بن إبراهيم‬
‫ وال‬، ‫ف‬8‫ول كي‬8‫ وال يق‬، ‫ر‬8‫ وبص‬، ‫مع‬8‫ وس‬، ‫د‬8‫ وأما إذا قال كما قال هللا تعالى ي‬.‫ فهذا التشبيه‬، ‫ أو مثل سمع‬، ‫سمع كسمع‬
‫ فهذا ال يكون تشبيها‬، ‫ وال كسمع‬، ‫يقول مثل سمع‬

“Ishaq bin Ibrahim mengatakan, ‘Tasybih itu adalah ketika seseorang mengatakan,
‘Tangan (Allah) seperti tangan ini, atau serupa tangan itu. Atau pendengaran (Allah)
seperti pendengaran ini atau serupa pendengaran itu’. Inilah yang dinamakan tasybih
(penyerupaan). Adapun jika seseorang mengatakan apa adanya seperti firman Allah,
‘Tangan, pendengaran, penglihatan’, kemudian ia tidak menyatakan ‘bagaimana’ dan
tidak pula menyatakan ‘permisalannya’, maka itu tidak termasuk tasybih’.” (Sunan
Tirmidzi, no. 662)

Kesimpulannya, metode Ahlus Sunnah yang menetapkan sifat-sifat Allah


sebagaimana Zhahir yang ada dalam Al Qur’an dan Al Hadits bukanlah perbuatan
tasybih. Ahlus Sunnah bukanlah Musyabbihah yang dituduhkan para Ahlul Kalam
Asy’ariyyah. Ahlus Sunnah jauh dari perbuatan yang mengkafirkan.

Nasehat kita adalah seharusnya yang ditunjukkan Asy’ariyyah kepada Ahlus


Sunnah pemegang madzhab Jumhur Salaf yang tidak mentakwil nash sifat Allah. Yaitu,
tidak menuduh Ahlus Sunnah dengan Musyabbihah. Karena tuduhan tersebut adalah
vonis kafir kepada kaum Muslimin Ahlus Sunnah. Bersikaplah sebagaimana yang
ditunjukkan ulama Asy’ariyyah terdahulu. Mereka menampilkan pendapat Jumhur Salaf
dan mengakuinya berbeda dengan metode Takwil, bahkan mengatakan pendapatnya tetap
dengan metode Takwil.

Ibnu Hajar Al Asqolani, Ibnul Arobi dan imam Al Qurthubi adalah ulama
Asy’ariyyah yang mengakui perbedaan antara madzhab Jumhur Salaf dan Asy’ariyyah.
Insya Allah kami akan sampaikan catatan-catatan mereka di bagian kedua. Mereka
Asy’ariyyah memang mengakui hal ini. Namun, lihatlah, mereka tidak memvonis
pemegang Jumhur Salaf dengan Musyabbihah Mujassimah seperti yang biasa kita
saksikan di berbagai media social atau diskusi-diskusi aqidah. Maka sangat miris, jika
kita telah mengaku berpegang pada madzhab Jumhur Salaf, tapi dipaksakan kita
berpegang pada madzhab Musyabbihah.

Insya Allah akan bersambung di bagian dua, mengenai metode Ahlus Sunnah dan
Asy’ariyyah, mana yang sebenarnya mengikuti manhaj para Imam dan Jumhur Salaf.
Kita akan membuktikan bahwa metode Takwil tidak tepat untuk memahami nash-nash
sifat Allah. Kita akan membawakan catatan dari ulama seperti Ibnu Hajar Asy Syafi’i
yang notabennya beliau berdua adalah Asy’ariyyah, bahwa ada enam pendapat dalam
masalah ini, dan mentakwil bukanlah Jumhur Salaf. Imam Al Qurthubi Al Maliki yang
Asy’ariyyah juga turut menuliskan perbedaan keduanya. Begitu juga dari Ibnu Rojab Al
Hambali yang menuliskan ada tiga pendapat dalam masalah ini, dan mentakwil juga
bukanlah pendapat para imam ulama Salaf. Selain itu, kita pun insya Allah akan
menampilkan ketegasan ulama Salaf Ahlus Sunnah yang menyatakan nash-nash sifat
Allah tidak ditakwilkan, sebagaimana yang telah kita cantumkan beberapa sebelumnya.
Wallahu a’lam.

Washallallahu ‘ala Muhammad Wa ‘ala Alihi Wa Ash-habihi Wasallam.

Kota Santri, 21 Shofar, 1435 H

M. Anshorullah al Asahany

Anda mungkin juga menyukai