Anda di halaman 1dari 158

NGALAP BAROKAH

KISAH SYEIKH IBNU SA’DI DAN SYEIKH ‘ALAWI

 Sadd Dzaraai’, Menutup Wasilah Kesyirikan


 Ngalap Barokah Air Hujan Dan Saluran Air Ka’bah
 Ngalap Barokah Dari Benda Yang Berbarokah

NGALAP BAROKAH KEPADA PARA SESEPUH

 Fatwa An Nawawi
 Mentarjih Pendapat Ulama
 Menyatakan Kebarokahan Sesepuh Alim, Tanpa Ngalap Yang bukan-bukan

NGALAP BAROKAH DENGAN ZIARAH MAKAM WALI

 Tujuan Ziarah Makam


 Hadits Makam Nabi Musa
 Hadits Al Bazzar ‘Nabi melihat dosa ummatnya dan memohonkan ampun’
 Penisbatan Terhadap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
 Kisah Laki-laki (Bilal bin Al Harits) ke Makam Rasulullah Shallallahu
‘alaihi Wasallam

DALIL-DALIL ROMLI DI LUAR BPBDW

 Membawa Tanah Makam Untuk Tabarruk Dalam Kitab Al Wansyarisi Al


Maliki
 ‘Ngalap Barokah’ Tanah Dari Ibnul Qoyyim
 Abu Ayyub Al Anshari Meletakkan Wajahnya Ke Makam Nabi?
 Ibnu Umar Meletakkan Tangan Ke Makam Nabi?
 Ibnu Al Munkadir Meletakkan Pipinya ke Makam Nabi?
 Mengusap Batu Kerikil Dari Rumah Fathimah Yang Menempel Makam
Nabi
 Imam Ahmad Menyentuh dan Mencium Makam Nabi Untuk Ngalap
Barokah?
 Cerita Tanpa Sanad Al Hafizh Abdul Ghani Al Maqdisi Al Hanbali
 Orang-Orang Yang Ngalap Barokah Dengan Tanah Kubur Ulama Hambali

HUJJAH MASYHUR LAIN BAGI KAUM NGALAP


 Al Baidhowi; Boleh Membangun Masjid Dekat Kubur Orang Sholeh Karena
Tabarruk
KISAH SYEIKH IBNU SA’DI DAN SYEIKH ‘ALAWI

Romli menuliskan,

Suatu ketika, al-Imam al-Sayyid ‘Alwi bin Abbas al-Maliki al-Hasani (ayahanda
al-Sayyid Muhammad bin ‘Alwi al-Maliki) sedang duduk-duduk di serambi Masjidil
Haram bersama murid-muridnya dalam halaqah pengajiannya. Di bagian lain serambi
Masjidil Haram tersebut, Syaikh Ibnu Sa’di juga duduk-duduk bersama anak buahnya.
Sementara orang-orang di Masjidil Haram sedang larut dalam ibadah. Ada yang shalat
dan ada pula yang thawaf. Pada saat itu, langit di atas Masjidil Haram diselimuti
mendung tebal yang menggelantung. Sepertinya sebentar lagi hujan lebat akan segera
mengguyur tanah suci umat Islam itu.

Tiba-tiba air hujan itu pun turun dengan lebatnya. Akibatnya, saluran air di atas
Ka’bah mengalirkan air hujan itu dengan derasnya. Melihat air begitu deras dari saluran
air di atas kiblat kaum Muslimin yang berbentuk kubus itu, orang-orang Hijaz seperti
kebiasaan mereka, segera berhamburan menuju saluran itu dan mengambil air tersebut.
Air itu mereka tuangkan ke baju dan tubuh mereka, dengan harapan mendapatkan berkah
dari air itu.

Melihat kejadian tersebut, para polisi pamong praja Kerajaan Saudi Arabia, yang
sebagian besar berasal dari orang Baduwi daerah Najd itu, menjadi terkejut dan mengira
bahwa orang-orang Hijaz tersebut telah terjerumus dalam lumpur kesyirikan dan
menyembah selain Allah subhanahu wa ta’ala dengan ngalap barokah dari air itu.
Akhirnya para polisi pamong praja itu menghampiri kerumunan orang-orang Hijaz dan
berkata kepada mereka yang sedang mengambil berkah air hujan yang mengalir dari
saluran air Ka’bah itu, “Hai orang-orang musyrik, jangan lakukan itu. Itu perbuatan
syirik. Itu perbuatan syirik. Hentikan!” Demikian teguran keras para polisi pamong praja
kerajaan Wahhabi itu.

Mendengar teguran para polisi pamong praja itu, orang-orang Hijaz itu pun segera
membubarkan diri dan pergi menuju Sayyid ‘Alwi yang sedang mengajar murid-
muridnya di halaqah tempat beliau mengajar secara rutin. Kepada beliau, mereka
menanyakan perihal hukum mengambil berkah dari air hujan yang mengalir dari saluran
air di Ka’bah itu. Ternyata Sayyid ‘Alwi membolehkan dan bahkan mendorong mereka
untuk terus melakukannya.

Menerima fatwa Sayyid ‘Alwi yang melegitimasi perbuatan mereka, akhirnya


untuk yang kedua kalinya, orang-orang Hijaz itu punberhamburan lagi menuju saluran air
di Ka’bah itu, dengan tujuan mengambil berkah air hujan yang jatuh darinya, tanpa
mengindahkan teguran para polisi Baduwi tersebut. Bahkan ketika para polisi Baduwi itu
menegur mereka untuk yang kedua kalinya, orang-orang Hijaz itu menjawab, “Kami
tidak peduli teguran Anda, setelah Sayyid ‘Alwi berfatwa kepada kami tentang kebolehan
mengambil berkah dari air ini.”

Akhirnya, melihat orang-orang Hijaz itu tidak mengindahkan teguran, para polisi
Baduwi itu pun segera mendatangi halaqah Syaikh Ibnu Sa’di, guru mereka. Mereka
mengadukan perihal fatwa Sayyid ‘Alwi yang menganggap bahwa air hujan itu ada
berkahnya. Akhirnya, setelah mendengar laporan para polisi Baduwi, yang merupakan
anak buahnya itu, Syaikh Ibnu Sa’di segera mengambil selendangnya dan bangkit
berjalan menghampiri halaqah Sayyid ‘Alwi. Kemudian dengan perlahan Syaikh Ibn
Sa’di itu duduk di sebelah Sayyid ‘Alwi. Sementara orang-orang dari berbagai golongan,
berkumpul mengelilingi kedua ulama besar itu. Mereka menunggu-nunggu, apa yang
akan dibicarakan oleh dua ulama besar itu.

Dengan penuh sopan santun dan etika layaknya seorang ulama besar, Syaikh Ibnu
Sa’di bertanya kepada Sayyid ‘Alwi: “Wahai Sayyid, benarkah Anda berkata kepada
orang-orang itu bahwa air hujan yang turun dari saluran air di Ka’bah itu ada
berkahnya?”

Mendengar pertanyaan Syaikh Ibn Sa’di, Sayyid ‘Alwi menjawab: “Benar.


Bahkan air tersebut memiliki dua berkah.”

Mendengar jawaban tersebut, Syaikh Ibnu Sa’di terkejut dan berkata: “Bagaimana
hal itu bisa terjadi?”

Sayyid ‘Alwi menjawab: “Karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam


Kitab-Nya tentang air hujan:

‫َو َنَّز ْلَنا ِم َن الَّسَم اِء َم اًء ُمَباَر ًك ا‬

“Dan Kami turunkan dari langit air yang mengandung berkah.” (QS. 50 : 9).

Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman mengenai Ka’bah:

‫ِإَّن َأَّوَل َبْيٍت ُوِضَع ِللَّناِس َلَّلِذ ي ِبَبَّك َة ُمَباَر ًك ا‬

“Sesungguhnya rumah yang pertama kali diletakkan bagi umat manusia adalah
rumah yang ada di Bekkah (Makkah), yang diberkahi (oleh Allah).” (QS. 3 : 96).

Dengan demikian air hujan yang turun dari saluran air di atas Ka’bah itu memiliki
dua berkah, yaitu berkah yang turun dari langit dan berkah yang terdapat pada Baitullah
ini.”

Mendengar jawaban tersebut, Syaikh Ibnu Sa’di merasa heran dan kagum kepada
Sayyid ‘Alwi. Kemudian dengan penuh kesadaran, mulut Syaikh Ibnu Sa’di itu
melontarkan perkataan yang sangat mulia, sebagai pengakuannya akan kebenaran ucapan
Sayyid ‘Alwi: “Subhanallah (Maha Suci Allah), bagaimana kami bisa lalai dari kedua
ayat ini.”

Kemudian Syaikh Ibnu Sa’di mengucapkan terima kasih kepada Sayyid ‘Alwi dan
meminta izin untuk meninggalkan halaqah tersebut. Namun Sayyid ‘Alwi berkata kepada
Syaikh Ibnu Sa’di: “Tenang dulu wahai SyaikhIbnu Sa’di. Aku melihat para polisi
baduwi itu mengira bahwa apa yang dilakukan oleh kaum Muslimin dengan mengambil
berkah air hujan yang mengalir dari saluran air di Ka’bah itu sebagai perbuatan syirik.
Mereka tidak akan berhenti mengkafirkan dan mensyirikkan orang dalam masalah ini
sebelum mereka melihat orang seperti Anda melarang mereka. Oleh karena itu, sekarang
bangkitlah Anda menuju saluran air di Ka’bah itu. Lalu ambillah air di situ di depan para
polisi Baduwi itu, sehingga mereka akan berhenti mensyirikkan orang lain.”

Akhirnya mendengar saran Sayyid ‘Alwi, Syaikh Ibnu Sa’di segera bangkit
menuju saluran air di Ka’bah. Ia basahi pakaiannya dengan air itu, dan ia pun mengambil
air itu untuk diminumnya dengan tujuan mengambil berkahnya. Melihat tindakan Syaikh
Ibnu Sa’di ini, para polisi Baduwi itu pun akhirnya pergi meninggalkan Masjidil Haram
dengan perasaan malu.

Kisah ini disebutkan oleh Syaikh Abdul Fattah Rawwah, dalam kitab Tsabat
(kumpulan sanad-sanad keilmuannya). Beliau murid Sayyid ‘Alwi al-Maliki dan
termasuk salah seorang saksi mata kejadian itu.

Syaikh Ibn Sa’di sebenarnya seorang yang sangat alim. Ia pakar dalam bidang
tafsir. Apabila berbicara tafsir, ia mampu menguraikan makna dan maksud ayat al-Qur’an
dari berbagai aspeknya di luar kepala dengan bahasa yang sangat bagus dan mudah
dimengerti. Akan tetapi sayang, ideologi Wahhabi yang diikutinya berpengaruh terhadap
paradigma pemikiran beliau. Aroma Wahhabi sangat kental dengan tafsir yang ditulisnya.

-----***-----

Kisah yang diambil Romli ini tentunya menjadi penguat statemen-statemen Romli
dalam berhujjah, yang dia sampaikan dalam tulisannya “Buku Pintar Berdebat Dengan
Wahabi”, yang Kami sebut seterusnya dengan BPBDW.

Kisah yang terkesan sebagai dalilnya Romli dalam berhujjah ini tentunya
mengandung syubhat yang harus diberikan tanggapan yang adil dalam timbangan syar’i
sesuai kajian yang Kami perhatikan.

Pertama. Romli ternyata menyangka Ahlus Sunnah yang dia beri sebutan
Wahhabi telah memvonis secara serampangan kepada para pelaku ngalap. Romli
menyatakan bahwa Ahlus Sunnah memvonis para pelaku ngalap : menyembah selain
Allah subhanahu wa ta’ala dengan ngalap barokah. Begitu tulisnya.

Padahal Ahlus Sunnah mengatakan para pelaku ngalap tidak sedang menyembah
selain Allah Ta’ala dengan cara ngalap barokah. Di dalam pertimbangan Ahlus Sunnah,
para pelaku ngalap adalah pelaku bid’ah. Tentunya bid’ah yang bukan hasanah seperti
yang ada dalam kaca mata pelaku ngalap. Bid’ah mereka ini tergolong bid’ah dholalah.
Dengan alasan, ngalap barokah adalah tindakan yang harus dituntun dengan dalil-dalil
syar’i yang shahih dan sharih. Artinya, jika ngalap barokah berdasarkan tuntunan syar’i
yang shahih dan sharih maka diterima dan bukan bid’ah dholalah. Sebaliknya, jika tidak
dengan dalil yang disebutkan, maka bisa menjadi bagian bid’ah dholalah. Sekalipun,
Ahlus Sunnah tidak menafikan adanya ikhtilaf di kalangan ulama dalam hal ini.

Merujuk kepada pembagian bid’ah menjadi bid’ah kufriyah (bid’ah yang kufur)
dan ghoir kufriyah (bid’ah yang tidak kufur), maka ngalap barokah yang tidak syar’i bisa
tergolong kepada bid’ah kufriyah.

Bid’ah kufriyah yang dilakukan pelaku ngalap tidak serta-merta dianggap sedang
menyembah selain Allah. Terbukti, banyak bid’ah kufriyah yang tidak tergolong
menyembah makhluk selain Allah. Di antaranya, bid’ah kufriyah yang dilakoni kaum
Syi’ah. Mereka menyatakan bahwa Abu Bakar, Umar, beserta kedua putri mereka dan
begitu juga sahabat-sahabat lainnya adalah kafir murtad dan wajib mendapatkan neraka.
Keyakinan seperti ini adalah keyakinan atau ucapan yang bid’ah kufriyah. Kebiasaan
mereka dalam mengucapkan kata-kata pujaan berlebihan kepada sahabat Ali dan Ahlul
Bait juga termasuk bid’ah kufriyah.

Ngalap barokah tentunya bid’ah yang bisa tergolong kufriyah dengan tidak
disebabkan menyembah selain Allah Ta’ala. Dugaan Romli di atas keliru jika dia
meyakini Ahlus Sunnah menyatakan pelaku ngalap sedang atau telah menyembah selain
Allah Ta’ala dengan ngalap barokah. Tidak jauh berbeda atas kelirunya orang yang
menyatakan Syi’ah menyembah selain Allah dengan mengucapkan Aisyah dan Hafshah
kafir murtad.

Statemen Ahlus Sunnah tetap seperti yang Kami sebutkan jika memang pelaku
ngalap tidak meyakini dalam perbuatannya tersebut sedang menyembah makhluk-
makhluk yang diambil barokahnya. Tapi jika memang meyakini makhluk-makhluk yang
diambil barokahnya disembah untuk mendatangkan apa yang mereka harapkan, maka
mereka memang kaum yang murtad karena telah menyembah selain Allah Ta’ala.

Selanjutnya, jika pelaku ngalap meyakini dalam perbuatannya tersebut


mendatangkan kebaikan dan manfaat yang berasal dari selain Allah Ta’ala, maka pelaku
ngalap memang telah mensekutukan Allah dalam mendatangkan manfaat dan madhorot
yang sejatinya tidak ada hak selain Dia ‘Azza wa Jalla. Ini lah penyebab hukum bid’ah
kufriyah dilekatkan kepada mereka. Mereka tidak serta-merta divonis sedang menyembah
makhluk yang diambil barokahnya, tapi masih disebut melakukan bid’ah, karena
modusnya yang berawal dari dugaan melakukan ajaran agama. Ditambah lagi, bahwa
pelaku ngalap yang dimaksud juga tidak meyakini sedang menyembah selain Allah atau
menyembah makhluk-makhluk yang mereka ambil barokahnya.

Di sini lah letak perbedaan pendapat antara Ahlus Sunnah dan pelaku ngalap yang
diwakili Romli dalam tulisannya di BPBDW. Romli berpendapat bahwa ngalap barokah
yang mereka lakukan adalah ajaran agama bahkan ajaran yang punya dalil shahih dan
sharih. Ditambah lagi mereka meyakini tidak sedang menyembah makhluk-makhluk yang
mereka cari barokahnya. Sedangkan di sisi Ahlus Sunnah, pelaku ngalap telah melakukan
bid’ah karena ngalap barokah yang tidak sesuai dalil yang shahih dan sharih. Pelaku
ngalap meyakini perbuatannya bagian dari amal ibadah yang sholeh karena berdalil,
sehingga hukum bid’ah lah yang dinyatakan Ahlus Sunnah.

Kemudian, bid’ah pelaku ngalap tersebut masuk bagian dari ranah ketauhidan
pada Allah yang melenceng. Tauhid pada Allah yang mewajibkan yakin seratus persen
tanpa ragu bahwa Allah yang punya hak tunggal mendatangkan manfaat dan madhorot,
akan cacat jika berbuat ngalap barokah yang tidak syar’i. Minimal Ahlus Sunnah
mengkhawatirkan hal tersebut adalah rawan terpeleset kepada jurang kesyirikan jika para
pelaku ngalap mengelak sembari menyatakan tetap meyakini Allah yang mendatangkan
manfaat dan madhorot, bukan makhluk-makhluk yang diambil barokahnya.

Sadd Dzaraai’, Menutup Wasilah Kesyirikan

Kesimpulannya, Ahlus Sunnah sangat ketat dalam menjaga Tauhidnya kepada


Allah dengan memerhatikan baik-baik dan sungguh-sungguh dari praktek amal
ibadahnya. Mereka sangat perhatian kepada perantara-perantara yang mengakibatkan
cacatnya Tauhid mereka. Untuk itulah mereka selalu mengajarkan dan mendakwahkan
untuk menutup celah kepada kesyirikan dan kekufuran. Sekalipun tidak langsung syirik
kepada Allah, yang mengantarkannya saja sudah mereka waspadai. Ini lah yang dikenal
dengan Sadd Adz Dzaraai’. Kaedah syar’i yang dikenal baik kalangan ulama klasik
ataupun kontemporer. Baik kalangan madzhab ulama Syafi’iyah yang dianut jamaknya
pelaku ngalap di nusantara, atau ulama madzhab Ahlus Sunnah lainnya.

Di antara ulama Syafi’iyah yang menyinggung soal sadd dzaraai’ adalah An


Nawawi (w. 676 H) yang menyatakan,

‫بل الن الذريعة تعطى حكم الشئ المتوصل بها إليه‬

“Dzari’ah (perantara) memberikan hukum sesuatu yang mengantarkan kepadanya.”


Beliau juga menyebutkan setelahnya,

‫ووسيلة الحرام حرام والذريعة هي الوسيلة‬

“Wasilah kepada keharaman adalah haram. Dan Dzari’ah itu adalah wasilah.”

Terakhir, setelah menyebutkan tiga hukum perkara sadd dzaraai’ ini dari Al
Qorofi Al Maliki, An Nawawi menyatakan lagi,

‫فالذرائع هي الوسائل وهى مضطربة اضطرابا شديدا قد تكون واجبة وقد تكون حراما وق||د تكون مكروه||ة ومندوبة‬
‫ومباحة وتختلف أيضا مع مقاصدها بحسب قوة المصالح والمفاسد وضعفها‬

“Ad Dzaraai’ adalah wasilah-wasilah. Dan ia selalu berganti-ganti. Terkadang menjadi


wajib, haram, makruh, sunnah dan mubah. Ia juga berubah-ubah bersamaan dengan
tujuannya sesuai kekuatan dan kelemahan maslahat dan mafsadat.”1

Sedangkan dalam literature kontemporer Syafi’iyah ada dalam kitab Al Fiqhul


Manhaji ‘Ala Madzhab Al Imam As Syafi’i yang ditulis oleh DR. Musthafa Khan dan
DR. Musthafa Al Bugha. Disebutkan,

. ‫وقد أمر الدين بسد الذرائع التي قد يفضي الولوج منها إلي محرم‬

“Agama telah memerintahkan untuk sadd dzaraai’ (menutup perantara) yang terkadang
menggiring masuk kepada keharaman.”2

Demikianlah perintah syari’at dalam menganjurkan untuk melakukan sadd


dzaraai’, menutup serapat mungkin celah yang mengantarkan kepada keharaman dan
tentunya kesyirikan. Ngalap barokah yang tidak sesuai syar’i tentunya justru akan
membuka lebar pintu kesyirikan. Untuk itu lah para sahabat radhiyallahu ‘anhum di
antara alasan tidak melakukannya adalah karena ingin menutup dzaraai’ kesyirikan ini.

Asy Syathibi (w. 790 H) menjelaskan hal tersebut dalam kitab fonomenal nya, Al
I’tisham. Sebuah kitab yang nantinya akan dijadikan hujjah oleh Romli dalam tulisannya
di BPBDW ini mengenai tanda-tanda aliran sesat, untuk menyesatkan siapa yang
dianggap sesat oleh Romli. Dalam kitab tersebut dijelaskan, bahwa di antara alasan
sahabat tidak melakukan ngalap barokah lagi kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
Wasallam yang telah wafat adalah unsur sadd dzaraai’.

‫ كما تق||دم ذكره في‬- ‫الثاني أن ال يعتقدوا االختصاص ولكنهم تركوا ذلك من باب الذرائع خوفا من أن يجعل ذلك سنة‬
‫ والنهى عن ذلك أو الن العامة ال تقتص|ر في ذل|ك على ح|د بل تتج|اوز فيه الح|دود وتبالغ بجهله|ا في‬- ‫اتباع اآلثار‬
‫التماس البركة حتى يداخلها المتبرك به تعظيم يخرج به عن الحد فربما اعتقد في المبترك به ما ليس فيه وه||ذا الت||برك‬
‫هو أصل العبادة وألجله قطع عمر رضى هللا عنه الشجرة التى بويع تحتها رسول هللا ( صلى هللا عليه وس|لم ) بل ه||و‬
‫ فخاف عمر رضى هللا عنه أن يتمادى الح||ال في‬- ‫ حسبما ذكره أهل السير‬- ‫كان اصل عبادة األوثان في األمم الخالية‬
1
Al Majmu’ (10/159-160)
2
Sub Bab : Al Hadiyyatu Ila Al Qadhi. Hal. 169
‫ فكذلك يتفق عند التوغل في التعظيم ولقد حكى الفرغ||انى مذيل ت||اريخ‬.‫الصالة إلى تلك الشجرة حتى تعبد من دون هللا‬
‫الطبرى عن الحالج أن أصحابه بالغوا في التبرك به حتى كانوا يتمسحون ببول||ه ويتبخ||رون بعذرت||ه ح||تى أدع||وا فيه‬
‫اإللهية تعالى هللا عما يقولون علوا كبيرا‬

“Kedua, -buatlah- mereka tidak meyakini tabarruk khusus kepada Beliau. Akan
tetapi mereka meninggalkannya adalah karena permasalahan dzaraai’ (perantara syirik)
yang mereka takutkan tradisi tersebut dijadikan sunnah -sebagaimana yang telah kita
sebutkan mengenai keharusan mengikuti hadits- dan larangan tabarruk tidak syar’i. Atau
karena orang-orang awam tidak lagi memberikan batasan cara ngalap barokah dan
melewati batasan-batasan itu dengan kejahilan mereka terhadap praktek ngalap barokah.
Sehingga yang ditabarruki menempati kedudukan yang diagungkan. Ia dikeluarkan dari
batasannya, mungkin karena ia diyakini sebagai sesuatu yang tidak ada padanya. Praktek
ngalap barokah ini menjadi pondasi ibadah –mereka-. Dan karena itu lah Umar
radhiyallahu ‘anhu memotong pohon yang di bawahnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
Wasallam diba’iat (bai’at ridwan). Bahkan ngalap barokah tersebut menjadi pondasi
ibadah kepada berhala oleh ummat-ummat terdahulu –sebagaimana yang disebutkan ahli
sejarah-. Sehingga Umar radhiyallahu ‘anhu takut perihal sholat ke arah pohon tersebut
terus berlangsung sampai si pohon menjadi disembah selain Allah. Demikian yang terjadi
ketika berlebihan dalam mengagungkan sesuatu. Al Farghani menceritakan dari Tarikh
Thobari mengenai Al Hallaj, bahwa orang-orangnya berlebihan dalam ngalap barokah
kepadanya. Sampai-sampai mereka mandi dengan air seninya dan berminyak-wangi
dengan kotorannya, sampai pula mereka mengklaimnya memiliki sifat ketuhanan Allah
Ta’ala. Mereka mengucapkan kata-kata yang sombong dan keterlaluan.”

Syaikh Ibnu ‘Alisy (w. 1299 H), setelah menyebutkan tulisan Asy Syathibi ini,
beliau pun menambahkan dalam kitabnya, ‘Fath Al ‘Aliyil Maalik Fi Al Fatwa ‘Ala
Madzhab Al Imam Malik’,

‫قلت ومث||ل ما حكى الفرغ||اني حكى الخطيب العالمة المحق||ق الرح||ال أبو عبد هللا بن محمد بن أحمد بن مرزوق‬
‫التلمساني في شرحه لعمدة األحكام قال شاهدت بمصر بعض جهلة الع|وام األغبياء ينتف|ون ش|عر حمار ش|يخنا الفقيه‬
. ‫العالمة شمس الدين بن البهارس أيام تجرده للوعظ والتذكير وتركه اإلفادة والتعليم انتهى‬

“Aku sampaikan, yang serupa dengan cerita Al Farghani di atas adalah yang telah
diceritakan Al Khotib Al ‘Allamah Al Muhaqqiq Ar Rihal Abu Abdillah bin Muhammad
bin Ahmad bin Marzuq At Tilmisani dalam syarh-nya terhadap kitab Umdah Al Ahkam
beliau menyatakan, ‘Aku menyaksikan di Mesir ada sebagian orang awam yang bodoh
lagi tolol, mencabut bulu keledainya Syeikh kami Al Faqih Al ‘Allamah Syamsuddin bin
Al Baharis di hari-hari yang membuat beliau meliburkan majlis nasehat dan ta’lim.”

Untuk menghindari dari perilaku pengalap barokah terhadap orang yang diklaim
sholeh seperti Al Hallaj di atas, dan dari ngalap barokahnya orang-orang di masanya
Syeikh Ibnu Al Baharis sebelumnya, maka tepat sekali jika Ahlus Sunnah sangat ketat
dalam mengimplikasikan sadd dzaraai’. Para sahabat radhiyallahu ‘anhum dan para
ulama empat madzhab (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah) sangat
memerhatikan dan menerapkan teori sadd dzari’ah ini.

An Nawawi Asy Syafi’i (w. 676 H) menyatakan dalam Syarh Muslim,

‫قال العلماء انما نهى النبي صلى هللا عليه و س||لم عن اتخ||اذ ق||بره وق||بر غ||يره مسجدا خوف||ا من المبالغ||ة في تعظيمه‬
‫واالفتتان به فربما أدى ذلك إلى الكفر كما ج|رى لكث|ير من االمم الخالية ولما احت|اجت الص|حابة رضوان هللا عليهم‬
‫أجمعين والتابعون إلى الزيادة في مسجد رسول هللا صلى هللا عليه و سلم حين كثر المسلمون وامت||دت الزي||ادة إلى أن‬
‫دخلت بيوت أمهات المؤمنين فيه ومنها حجرة عائشة رضي هللا عنها مدفن رسول هللا صلى هللا عليه و سلم وص||احبيه‬
‫أبي بكر وعمر رضي هللا عنهما بنوا على القبر حيطانا مرتفع||ة مستديرة حول||ه لئال يظه||ر في المسجد فيص||لي إليه‬
‫العوام ويؤدي المحذور ثم بنوا جدارين من ركني القبر الشماليين وحرفوهما حتى التقيا حتى ال يتمكن أحد من اس||تقبال‬
‫القبر ولهذا قال في الحديث ولوال ذلك ألبرز قبره غير أنه خشي أن يتخذ مسجدا وهللا تعالى أعلم بالصواب‬

“Ulama berkata, ‘Hanyasaja Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam melarang menjadikan


kuburnya dan kubur selain Beliau sebagai masjid adalah karena takut terjadinya sikap
berlebihan dalam mengagungkan Beliau, serta terjadinya fitnah –pengkultusan- terhadap
diri Beliau yang dapat menjerumuskan kepada kekafiran. Sebagaimana yang terjadi pada
kebanyakan ummat-ummat terdahulu. Maka, tatkala para sahabat radhiyallahu ‘anhum
dan para tabi’in merasa membutuhkan adanya penambahan bangunan masjid Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi Wasallam karena semakin banyaknya kaum Muslimin, dan
penambahan itu melebar sampai rumah-rumah Ummahatul Mukminin masuk ke
dalamnya, termasuk kamar ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha letak makamnya Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi Wasallam dan dua orang sahabatnya; Abu Bakar dan Umar
radhiyallahu ‘anhuma, maka mereka pun membuat bangunan di atas kubur tersebut
dinding yang tinggi dan membentuk bundar di sekelilingnya. Agar kubur itu tidak jelas
ada dalam masjid, yang kemudian orang-orang awam sholat menghadapnya dan
melakukan yang dilarang. Kemudian mereka –para sahabat- pun membangun lagi dua
dinding dari dua sudut kubur (utara dan timur laut) dan merubahnya sampai bertemunya
di antara dua sudut tersebut. Sampai tidak ada satu orang pun yang menghadap kubur
Beliau. Atas dasar ini pula disebutkan dalam hadits (Aisyah berkata), ‘Kalau bukan
karena sabda Beliau (yahudi menjadikan kubur Nabi sebagai masjid), tentu aku akan
menampakan kuburan Beliau, namun aku takut dijadikan sebagai masjid’. 3 Wallahu
Ta’ala a’lam bis showab.”

Kita dapat menyaksikan bahwa An Nawawi sangat memerhatikan kaedah sadd


dzaraai’ ini. Karena ditakutkan terjadinya sikap berlebihan dan fitnah syirik menimpa
kaum ngalap barokah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam melarang menjadikan
kubur Nabi sebagai masjid. Ini lah sadd dzaraai’ yang dicontohkan Rasulullah lewat
3
Aisyah radhiyallahu anha berkata, “Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam sakit -yang Beliau tidak bisa
bangun dari tidurnya-, Beliau bersabda, ‘Allah melaknat orang-orang Yahudi, mereka menjadikan kuburan
Nabi -Nabi mereka sebagai masjid’. Aisyah berkata, ‘Kalau bukan karena sabda Beliau, tentu aku akan
menampakkan kuburan Beliau, namun aku takut dijadikan sebagai masjid.” (HR. Bukhori)
keterangan An Nawawi. Kemungkaran yang dicegah dari sadd dzaraai’ memang belum
mencapai tingkat syirik. Namun karena kemungkaran itu mengantarkan kepada
kesyirikan, maka ditutuplah wasilah kepadanya. Ini lah sadd dzaraai’.

Bahkan bukan contoh Rasulullah saja yang disampaikan An Nawawi dalam


aplikasi sadd dzaraai’. Contoh dari Aisyah dan para sahabat pun beliau sebutkan. Sadd
dzaraai’ para sahabat adalah dengan mengubah bangunan kubur Nabi agar tidak terlihat
jelas ia ada dalam masjid dan tidak jelas pula ia berada di depan orang yang sholat di
masjid. Karena itu mereka membuat dinding yang tinggi berbentuk segitiga.

Ibnu Bathol (w. 449 H), seorang ulama kenamaan yang keterangannya banyak
disadur oleh Ibnu Hajar, menceritakan pula tentang sadd dzaraai’ yang dicontohkan Umar
bin Khottob radhiyallahu ‘anhu.

‫ وإنما‬: ‫ قال المهلب‬. ‫ وعن فعل التصاوير‬، ‫ فيه نهى عن اتخاذ القبور مساجد‬، ) ‫ ( فأولئك شرار الخلق عند هللا‬: ‫وقوله‬
‫ ولذلك نهى عمر أنسا‬، ‫ قطعا للذريعة ولقرب عبادتهم األصنام واتخاذ القبور والصورة آلهة‬، ‫ وهللا أعلم‬، ‫نهى عن ذلك‬
‫ ولما لم ي||أمره بإع||ادة‬، ‫ وكان له مندوحة عن استقباله وكان يمكنه االنحراف عنه يمنة أو يسرة‬، ‫عن الصالة إلى القبر‬
. ‫الصالة علم أن صالته جائزة‬

“Sabda Beliau (Mereka seburuk-buruk makhluk di sisi Allah). Di dalamnya ada pelajaran
tentang larangan menjadikan kubur sebagai masjid dan menggambar. Berkata Al Mihlab,
‘Hanyasaja hal itu dilarang –wallahu a’lam- karena memutuskan dzaraai’ (wasilah
kesyirikan) dan praktek ibadah yang mirip dengan ibadah mereka kepada berhala dan
menjadikan kubur dan patung sebagai tuhan. Sebab itulah Umar melarang Anas sholat
menghadap kubur. Yang saat itu Anas memiliki pilihan untuk menghadap kubur dan
memungkinkan pula untuk melenceng darinya baik ke arah kanan atau kirinya. Namun,
ketika Umar tidak memerintahkan Anas mengulangi sholatnya, maka diketahuilah bahwa
sholatnya Anas sah.”4

Ittikhoz kubur masjidan (menjadikan kubur sebagai masjid) menurut beliau


bahkan dalam pengertian sholat menghadapnya. Sebagaimana yang dilakukan Umar saat
melarang Anas sholat menghadap kubur, padahal dia punya pilihan untuk bergeser ke kiri
atau ke kanan dengan tetap menghadap kiblat asalkan di depannya tidak ada kubur. Dan
Anda jangan salah dan mengira bahwa para sahabat berselisih pendapat antara Umar dan
Anas. Karena Anas memang saat itu tidak tahu bahwa di depannya ada kubur. Dan beliau
salah mendengar apa yang dilarang Umar, Qobr disangka Qomar. Sebagaimana
penjelasan Ibnu Rojab,

‫ فجعل يشير إلي‬،‫ رأني عمر وأنا اصلي إلى قبر‬: ‫ قال‬،‫ عن أنس‬،‫ عن حميد‬،‫ فمن رواية سفيان‬،‫وأما ما ذكره عن عمر‬
: ‫ فناداه عمر‬،‫ حدثه أنه قام يص|لي إلى ق|بر ال يش|عر به‬،‫ عن أنس‬،‫ورواه إسماعيل بن جعفر عن حميد‬. ‫ القبر القبر‬:
. ‫ فتنحيت‬، ‫ القبر‬: ‫ أنه يقول‬: ‫ فقال رجل‬،‫ فرفعت راسي‬،‫ القمر‬: ‫ فظننت أنه يقول‬: ‫ قال‬.‫القبر القبر‬

4
Syarh Shahih Bukhori.
“Adapun –larangan- yang disebutkan dari Umar adalah riwayat Sufyan dari Humaid dan
Anas, ia berkata, ‘Umar melihatku waktu aku sedang sholat menghadap kubur. Beliau
pun mengisyaratkan kepadaku –dan berkata-, ‘Itu kuburan, itu kuburan!’. Isma’il bin
Ja’far meriwayatkan dari Hamid, dari Anas, ia menceritakan bahwa dia (Anas) pernah
sholat menghadap kubur namun tidak menyadarinya. Lantas Umar memanggilnya, ‘Qobr,
qobr (kuburan, kuburan!)’. Beliau (Anas) mengatakan lagi, ‘Tapi aku mengira bahwa
yang dikatakan Umar, ‘Qomar, qomar (bulan, bulan!). Setelah aku mengangkat kepalaku,
ada seseorang yang mengatakan, ‘Yang Umar katakan tadi Qobr (kuburan) –bukan
qomar-.’ Aku pun gelo (erangan dan sedih)’.”5

Kemudian, ulama yang menekankan soal sadd dzaraai’ ini adalah Al Qurthubi Al
Maliki (w. 671 H). Beliau telah menjelaskan dalam tafsirnya yang terkenal,

.‫ لف||ظ مسلم‬.‫ ال تصلوا الى القبور وال تجلسوا عليه||ا‬:‫ سمعت رسول هللا يقول‬:‫وروى األئمة عن أبي مرثد الغنوي قال‬
،‫أي ال تتخذوها قبلة فتصلوا عليها أو إليها كما فعل اليهود والنصارى؛ فحذر النبي صلى هللا عليه وس|لم عن مث|ل ذل|ك‬
‫ وروى‬.‫ اش||تد غض||ب هللا على ق||وم اتخ||ذوا قبور أنبيائهم وص||الحيهم مساجد‬:‫وس||د ال||ذرائع المؤدي||ة إلى ذل||ك فق||ال‬
‫ لما نزل برسول هللا صلى هللا عليه وسلم طفق يط||رح خميص||ة ل||ه على‬:‫الصحيحان عن عائشة وعبدهللا بن عباس قاال‬
‫ لعنة هللا على اليه||ود والنص||ارى اتخ||ذوا قبور أنبيائهم مساجد‬:‫وجهه فإذا اغتم بها كشفها عن وجهه فقال وهو كذلك‬
.‫يحذر ما صنعوا‬

“Para imam meriwayatkan dari Abu Martsad Al Ghonawi ia berkata, ‘Aku mendengar
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda, ‘Janganlah kalian sholat ke arah
kubur, dan jangan pula duduk di atasnya’. Lafaz dari Muslim. Maknanya, janganlah
kalian menjadikan kubur sebagai kiblat yang kalian sholat di atasnya atau menghadapnya,
sebagaimana yang dilakukan Yahudi dan Nashrani. Sehingga Nabi Shallallahu ‘alaihi
Wasallam mencegah dari perbuatan seperti itu. Dan Beliau menutup perantara (sadd
dzaraai’) yang mengantarkan kepadanya dengan mengatakan, ‘Sangat keras murka Allah
terhadap suatu kaum yang menjadikan kubur para Nabi mereka dan orang-orang sholeh
mereka sebagai masjid’. Dua kitab Shahih –Bukhori dan Muslim- meriwayatkan dari
Aisyah dan Abdullah bin Abbas yang mengatakan, ‘Ketika sakit Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam semakin parah, Beliau memegang bajunya dan ditutupkan pada
mukanya. Bila telah terasa sesak, beliau lepaskan dari mukanya. Ketika keadaannya
seperti itu Beliau bersabda, ‘Semoga laknat Allah kepada orang-orang Yahudi dan
Nashrani, mereka menjadikan kuburan para Nabi mereka sebagai masjid’. Beliau
memberi peringatan atas apa yang mereka lakukan’.”6

Sadd dzaraai’ yang disampaikan ulama adalah sadd dzaraai’ yang dulunya pernah
dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Dan kebanyakan berhubungan
dengan interaksi terhadap para Nabi dan orang sholeh yang telah wafat. Baik dengan
membangun masjid di sebelah kuburnya, di depannya, atau di atasnya. Semua praktek
5
Fath Bari Ibnu Rojab (2/400 kemungkinkan)?????????????????
6
Al Jami’ Li Ahkam Al Qur’an (10/380)
tersebut adalah bagian dari yang ittikhodz kubur masjidan yang telah dilarang. Atau
dengan membuat patung atau sekadar menggambar mereka. Sebagaimana kebiasaan
orang-orang yang menyimpan gambar-gambar orang yang mereka anggap sholeh. Ibnu
Hajar Al Asqolani menyatakan,

‫وإنما فعل ذلك اوائلهم ليتأنسوا برؤية تلك الصور ويتذكروا أحوالهم الصالحة فيجتهدوا كاجتهادهم ثم خلف من بع||دهم‬
‫خلوف جهلوا مرادهم ووسوس لهم الشيطان أن اسالفكم كانوا يعبدون ه||ذه الص||ور ويعظمونه||ا فعبدوها فح||ذر النبي‬
‫صلى هللا عليه و سلم عن مثل ذلك سدا للذريعة المؤدية إلى ذلك‬

“Hanyasaja para pendahulu mereka membuat gambar/patung agar merasa senang dan
tenang dengan melihat gambar tersebut. Mereka pun akhirnya bisa mengingat keadaan
mereka dahulu yang sholeh. Sehingga mereka bersungguh-sungguh sebagaimana mereka
bersungguh-sungguh melakukannya. Kemudian datanglah generasi setelah mereka yang
tidak mengerti niat para pendahulunya. Setan pun menggoda bahwa pendahulu mereka
menyembah patung/gambar tersebut. Akhirnya mereka pun mengagungkannya dan
menyembahnya. Sebab itu Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam memperingatkan dari
perbuatan yang semisal dengannya. Dan itu adalah sebagai bentuk sadd dzari’ah
(menutup wasilah) yang bisa mengantarkan kepadanya.”7

Begitu tegasnya para ulama menyatakan bahwa Rasullah Shallallahu ‘alaihi


Wasallam sendiri melakukan sadd dzaraai’ kepada ummatnya dari terjatuh pada
kesyirikan. Para sahabat seperti Aisyah, Umar dan lainnya juga melakukan hal sama. Dan
semuanya berkaitan tentang para Nabi dan orang sholeh, serta kepada benda yang
dianggap sakti dan barokah.

Tapi apa yang dikesankan oleh Romli dan ulamanya Syeikh ‘Alwi atau ulama
selain beliau, justru sebaliknya. Mereka masih jauh dari praktek sadd dzaraai’ ini. Bahkan
cenderung membuka wasilahnya dengan melegalkan ngalap barokah sekenanya.
Bagaimana tidak sekenanya, kalau ternyata wasilah yang ditutup oleh Nabi di atas dibuka
lebar dengan membangun masjid di atas kubur, atau sengaja menghadap kubur seperti
jamaknya sekarang ini. Ditambah lagi praktek ngalap lain yang akan disampaikan Romli
nantinya.

Kami berharap dari tulisan ini, kita semua memahami betul pentingnya
mengaplikasikan sadd dzaraai’ ini. Karena saking urgennya memahami masalah ini,
sampai-sampai DR. Abdullah Syakir Muhammad Al Junaidi, seorang ketua bagian
Dirosat Islamiyah di Kulliyatul Mu’allimin Qunfuz, menuliskan satu kitab yang beliau
beri judul “Sadd Adz Dzaraai’ Fi Masail Al ‘Aqidah”. Sekalipun kita belum sempat
membaca tulisan beliau, maka nasehat ulama-ulama yang telah kami sampaikan di atas,
insya Allah lebih bisa memahamkannya.

---***---
7
Fath Al Bari (1/525)
Point kedua, kembali ke cerita Syaikh Sa’di dan Syaikh ‘Alwi. Romli menyatakan
dalam ceritanya bahwa para Syurthi yang mengamankan Masjidil Haram adalah : para
polisi pamong praja Kerajaan Saudi Arabia, yang sebagian besar berasal dari orang
Baduwi daerah Najd. Mereka juga adalah : para polisi Baduwi, yang merupakan anak
buahnya Syaikh Ibnu Sa’di. Begitu papar Romli.

Romli begitu semangatnya menceritakan keadaan rivalnya dengan sebutan yang


tidak seharusnya diucapkan menurut Kami. Kemungkinan Romli menerjemahkan yang
sesuai dengan sumber aslinya, atau mungkin juga sebaliknya, atau mungkin juga
terjemahan yang berlebihan namun tetap pada kalimat aslinya. Romli yang tahu itu,
walaupun Kami tidak butuh jawaban darinya. Karena yang jelas, para polisi yang
dimaksud menjalankan apa yang menjadi tugasnya bukan sebagai anak buah Syaikh Ibnu
Sa’di. Romli pun belum tentu telah memastikan tulisannya itu dengan konfirmasi kepada
mereka bahwa para polisi itu adalah anak buah Syaikh Ibnu Sa’di. Romli pun belum
pernah Kami temui telah menuliskan bahwa para Salafus Sholeh dan ulama Islam lainnya
sebagai anak buah tatkala mereka gencar dalam melakukan perintah ulama
pendahulunya.

Dalam kitab fikih madzhab Hambali, Al Furu’, menyebutkan larangan bangunan


seperti kemah di atas kuburan sebagai berikut,

‫وحرم أبو حفص الحجرة قال بل تهدم وحرم الفسطاط وكره أحمد الفسطاط والخيمة وأمر ابن عمر بإزال||ة الفسطاط‬
‫وقال إنما يظله عمله‬

“Abu Hafesh mengharamkan adanya bangunan seperti kamar. Dia mengatakan, ‘Bahkan
dirobohkan dan diharamkan tenda’. Ahmad memakruhkan tenda dan kemah. Ibnu Umar
juga memerintahkan untuk menghilangkan tenda. Beliau mengatakan, ‘Hanyasaja yang
menaunginya adalah amalnya -bukan tenda kuburnya-‘.”8

Ketika ada sekumpulan orang yang merobohkan tenda yang sengaja dibuat dan
diletakkan di atas kubur dengan berhujjah dengan pendapat Abu Hafesh dan Ibnu Umar
di atas, maka mereka tidak pula disebut sebagai anak buah Abu Hafesh dan Ibnu Umar
radhiyallahu ‘anhu. Begitu pula dengan para polisi tersebut bukanlah anak buah Syaikh
Ibnu Sa’di sepanjang yang Kami tahu. Kami pun belum pernah mengetahui bahwa
Syaikh Ibnu Sa’di memerintahkan kepada para polisi yang dimaksud dan wajib
mematuhinya sebagai bawahan Syaikh untuk mencegah sambil berkata bahwa itu
perbuatan musyrik.

Entah atas dasar apa Romli menuliskan dengan gaya bahasa seperti itu. Yang
pastinya Romli turut menuliskan bahwa para polisi tersebut adalah muridnya Syaikh Ibnu
Sa’di. Dalam tulisannya : Akhirnya, melihat orang-orang Hijaz itu tidak mengindahkan

8
Al Furu, Ibnu Muflih Al Maqdisi, 2/213
teguran, para polisi Baduwi itu pun segera mendatangi halaqah Syaikh Ibnu Sa’di, guru
mereka.

Bisa jadi para polisi yang mencegah amal ibadah ngalap yang dilegitimasi Romli
tersebut adalah anak buah –menurut Romli- sekaligus murid Syaikh Ibnu Sa’di. Dan
boleh jadi pula mereka adalah hanya muridnya Syaikh Ibnu Sa’di yang mengamalkan
ilmu yang mereka peroleh dan bukan sebagai anak buah, karena murid bukan anak buah.

Kesimpulannya, Romli menganggap anak buah serta muridnya ulama kepada para
polisi yang mengamankan Masjidil Haram dari perbuatan yang dilarang menurut
penelitian para ulamanya. Bahkan yang bukan polisi pun dianggap anak buah Syaikh
Ibnu Sa’di. Tidak tahu, apa karena saking kesalnya Romli menulis seperti itu. Mereka
yang sejatinya para murid Syaikh yang mengikuti halaqah beliau, pun turut dikatain
Romli sebagai anak buah Syaikh Ibnu Sa’di. Romli menuliskan : Di bagian lain serambi
Masjidil Haram tersebut, Syaikh Ibnu Sa’di juga duduk-duduk bersama anak buahnya.

Dalam hal ini Romli terkesan merendahkan para murid Syaikh Ibnu Sa’di dengan
sebutannya ‘anak buah’ tersebut. Dengan perbandingan sebutan yang Romli tuliskan
untuk murid-murid Syaikh ‘Alwi Al Maliki yang Romli elu-elukan. Untuk mereka,
Romli menuliskan : Suatu ketika, al-Imam al-Sayyid ‘Alwi bin Abbas al-Maliki al-
Hasani (ayahanda al-Sayyid Muhammad bin ‘Alwi al-Maliki) sedang duduk-duduk di
serambi Masjidil Haram bersama murid-muridnya dalam halaqah pengajiannya.

Romli enggan menggunakan kata yang sama. Yang bermajlis dengan ulama
panutannya disebut murid, tapi kalau yang bermajlis dengan ulama rivalnya, disebut anak
buah ulama tersebut. Menurut kami, pemilihan bahasa untuk membedakan anak buah dan
murid yang dialamatkan kepada mereka yang menekuni halaqah ulama merupakan satu
hal yang harus diperhatikan oleh setiap penulis. Jika seandainya Romli sangat membenci
para Ahlus Sunnah yang belajar agama dengan Syaikh Ibnu Sa’di saat itu, memang
kalimat ‘anak buah’ sangat dimaklumi diberikan Romli. Tapi kalau Romli tidak seperti
itu, maka menyamakan dengan menggunakan kalimat ‘murid’ untuk peserta halaqah
Syaikh Ibnu Sa’di dan peserta halaqah Syaikh ‘Alwi Al Maliki adalah pilihan yang tepat
pula.

Ngalap Barokah Air Hujan Dan Saluran Air Ka’bah

Tampaknya, selain mengenai sadd dzaraai’, komentar pada point pertama dan
kedua Kami ini tidak begitu urgen dibahas. Karena masih menyangkut penggunaan
bahasa Romli yang tentunya punya maksud mendebat Ahlus Sunnah yang dia sebut
sebagai Wahhabi. Dia berusaha memakai kata-kata yang meninggalkan kesan
merendahkan kepada Ahlus Sunnah yang dia anggap sebagai rivalnya.
Adapun point berikutnya, yang ketiga adalah tanggapan atas fatwa Syaikh ‘Alwi
di dalam cerita Romli. Romli menceritakan fatwa Syaikh ‘Alwi : Kepada beliau, mereka
menanyakan perihal hukum mengambil berkah dari air hujan yang mengalir dari saluran
air di Ka’bah itu. Ternyata Sayyid ‘Alwi membolehkan dan bahkan mendorong mereka
untuk terus melakukannya.

Alasan Syaikh ‘Alwi adalah : “Karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman


dalam Kitab-Nya tentang air hujan:

‫َو َنَّز ْلَنا ِم َن الَّسَم اِء َم اًء ُمَباَر ًك ا‬

“Dan Kami turunkan dari langit air yang mengandung berkah.” (QS. 50 : 9).

Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman mengenai Ka’bah:

‫ِإَّن َأَّوَل َبْيٍت ُوِضَع ِللَّناِس َلَّلِذ ي ِبَبَّك َة ُمَباَر ًك ا‬

“Sesungguhnya rumah yang pertama kali diletakkan bagi umat manusia adalah
rumah yang ada di Bekkah (Makkah), yang diberkahi (oleh Allah).” (QS. 3 : 96).

Dengan demikian air hujan yang turun dari saluran air di atas Ka’bah itu memiliki
dua berkah, yaitu berkah yang turun dari langit dan berkah yang terdapat pada Baitullah
ini.”

Demikian gamblangnya syubhat yang difatwakan Syaikh ‘Alwi. Makhluk-


makhluk Allah yang memiliki barokah sesuai firman dan sabda Rasul-Nya dijadikan dalil
ngalap barokah sesuka hati. Asumsi mereka bahwa yang penting ada barokahnya. Cara
ngalapnya, terserah bagaimana saja.

Begitulah cara berpikir pelaku ngalap yang dilegitimasi oleh Syaikh ‘Alwi dan
tentunya Romli. Kemungkinan mereka akan melakukan hal serupa pada makhluk-
makhluk Allah lainnya yang punya barokah. Misalnya makanan, sebagaimana yang
dinyatakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam dalam sabdanya,

‫ِإَذ ا َو َقَع ْت ُلْقَم ُة َأَحِد ُك ْم َفْلَيْأُخ ْذ َها َفْلُيِم ْط َم ا َك اَن ِبَها ِم ْن َأًذ ى َو ْلَيْأُك ْلَها َو اَل َيَد ْع َها ِللَّشْيَطاِن َو اَل َيْمَس ْح َيَد ُه ِباْلِم ْنِد يِل َح َّتى َيْلَع َق‬
‫َأَص اِبَع ُه َفِإَّنُه اَل َيْد ِر ي ِفي َأِّي َطَع اِمِه اْلَبَر َك ُة‬

“Apabila suapan makanan salah seorang di antara kalian jatuh, maka ambilah kembali
lalu buang bagian yang kotor dan makanlah bagian yang bersih. Jangan dibiarkan ia
dimakan setan. Dan janganlah dia sapu tangannya dengan serbet sebelum dia menjilati
jarinya. Karena dia tidak tahu makanan mana yang terdapat barokah.” (HR. Muslim)

Ketika air hujan dan Ka’bah yang memiliki barokah sesuai firman Allah Ta’ala,
kemudian mengalap double barokahnya dengan cara orang-orang Hijaz dalam cerita
Romli, tentunya makanan seperti korma, roti, susu, bahkan nasi, bisa saja mereka
perlakukan sama. Mereka ngalap double barokah bisa dengan mengusap rotinya ke
dinding Ka’bah dahulu, kemudian dibersihkan sejenak, baru memakannya. Niatnya
ngalap barokah secara ganda.

Bisa jadi pula hal itu diperlakukan terhadap buah zaitun yang mengandung
barokah dalam firman Allah Ta’ala,

‫اْلِم ْص َباُح ِفي ُز َج اَجٍة الُّز َج اَج ُة َك َأَّنَها َك ْو َك ٌب ُد ِّر ٌّي ُيوَقُد ِم ْن َش َج َرٍة ُمَباَر َك ٍة َزْيُتوَنٍة اَل َشْر ِقَّيٍة َو اَل َغْر ِبَّيٍة‬

“…Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti
mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak barokahnya, (yaitu)
pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah
barat (nya)…” (QS. An Nuur: 35)

Dengan buah zaitun yang barokah, pelaku ngalap pun menempelkannya di


dinding Ka’bah, kemudian membersihkannya kalau ada debu biar tidak terkena kuman
penyakit. Setelah itu berniat untuk ngalap barokah secara ganda pula. Asumsinya, yang
penting keduanya barokah. Jadi cara ngalapnya sesuka hati, yang penting tidak merusak
kesehatan. Mungkin begitu maunya.

Pelaku ngalap pun mungkin akan melakukan hal sama terhadap air zamzam.
Karena zamzam adalah air yang penuh barokah lewat sabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi Wasallam kepada Abu Dzar,

‫ِإَّنَها ُمَباَر َك ٌة ِإَّنَها َطَع اُم ُطْع ٍم‬

“Air zamzam penuh dengan barokah dan lebih banyak mengandung protein daripada
makanan biasa.” (HR. Muslim)

Berbeda dengan Ahlus Sunnah, mereka akan berhati-hati terhadap praktek ngalap
barokah. Terhadap air zamzam yang penuh barokah, Ahlus Sunnah ngalap barokah
darinya cukup dengan meminumnya sembari memohon kepada Allah dengan doa yang
baik-baik. Sebagaimana yang dilakukan Al Hakim pemilik Mustadrok bermadzhab
Syafi’i. Abu Hazim Umar bin Ahmad Al Hafizh mengatakan,

‫ وسألت هللا أن يرزقني حسن التصنيف‬،‫شربت ماء زمزم‬: ‫سمعت الحاكم أبا عبد هللا إمام أهل الحديث في عصره يقول‬

“Aku mendengar Al Hakim Abu Abdillah, imam Ahlul Hadits di masanya berkata, ‘Aku
minum air zamzam. Dan aku memohon kepada Allah untuk memberiku karunia karya
tulis yang bagus.”9

Ngalap barokah kepada zamzam dengan cara yang lazim ini berdasarkan sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam,

9
Siyar A’lam An Nubalaa’, no. 100
‫َم اُء َز ْم َز َم ِلَم ا ُش ِر َب َلُه‬

“Air zamzam mempunyai khasiat tergantung niat yang meminumnya.” (HR. Ibnu Majah
dan Ahmad)10

Termasuk pula berwudhu dengan air zamzam, insya Allah akan mendapat
barokah darinya. Ali bin Abi Tolib radhiyallahu ‘anhu menceritakan,
‫ُثَّم َأَفاَض َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َفَدَعا ِبَس ْج ٍل ِم ْن َم اِء َز ْم َز َم َفَش ِر َب ِم ْنُه َو َتَو َّض َأ‬

“...Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam melaksanakan thawaf ifadhah.


Lalu Beliau meminta segayung air zamzam dan meminumnya kemudian berwudhu.”
(HR. Ahmad) 11

Barokahnya air zamzam pun sangat tampak seperti yang dialami oleh sahabat
Abu Dzar Al Ghifari radhiyallahu ‘anhu. Beliau bercerita,

‫َفَأَتْيُت َز ْم َز َم َفَغ َس ْلُت َع ِّني الِّد َم اَء َو َش ِرْبُت ِم ْن َم اِئَها َو َلَقْد َلِبْثُت َيا اْبَن َأِخ ي َثاَل ِثيَن َبْيَن َلْيَلٍة َو َيْو ٍم َم ا َك اَن ِلي َطَع اٌم ِإاَّل َم اُء‬
‫َز ْم َز َم َفَسِم ْنُت َح َّتى َتَكَّس َر ْت ُعَكُن َبْطِني َو َم ا َو َج ْدُت َع َلى َك ِبِد ي ُس ْخ َفَة ُجوٍع‬
“Aku pun mendatangi sumur zamzam untuk membersihkan darah akibat luka-luka
lemparan tanah liat dan tulang tersebut. Setelah itu, barulah aku meminum air zamzam.
Ketahuilah hai kemenakanku, bahwasanya aku tinggal di sana selama tiga puluh hari,
siang malam tanpa adanya makanan kecuali air zamzam. OIeh karena itu, tidaklah
mengherankan jika kala itu tubuhku menjadi gemuk dan perutku agak gendut tanpa
adanya rasa lapar.” (HR. Muslim)

Kesimpulannya, selagi air zamzam dapat digunakan kepada hal-hal yang baik,
seperti diminum, dibuat masak, mencuci, berwudhu dan sebagainya, maka selama itu
pula mengharapkan barokah darinya. Karena air zamzam digunakan sesuai kegunaannya,
bukan yang keluar dari kegunaannya dengan ngalap di luar kelazimannya.

Sebab itulah Ka’bah yang barokah tidak dapat dingalap barokahnya dengan cara
menyentuhnya dengan benda apa saja. Karena kegunaannya tidak lazim, tidak pada
umumnya. Sama halnya jika pelaku ngalap mencari barokah air hujan dengan mandi
hujan. Pelaku ngalap boleh jadi akan serius memerintahkan anak-anak kecil mereka
mandi hujan di luar rumahnya untuk melatih mereka ngalap barokah. Yang penting air
hujan sesuai firman Allah adalah barokah, begitu asumsinya. Hasilnya, setelah beberapa
waktu setelahnya, si anak pun sakit demam dan atau mengidap penyakit lainnya.

Di saat itu pula, banyak pelaku ngalap tidak sependapat dengan pelaku ngalap
yang membiarkan anaknya mandi hujan untuk ngalap barokahnya. Sekalipun tidak beda
10
An Nawawi mendho’ifkannya. Al Hakim dan Ibnu ‘Uyainah menshahihkannya. Ibnul Qoyim
menyatakannya Hasan. (Asnal Matholib, no. 1221).
11
Hadits Hasan (Irwaa Al Ghalil, no. 1124)
jauh dengan kasus orang Hijaz pada cerita Romli sebelumnya. Bedanya, orang Hijaz itu
cari barokah secara ganda, mandi hujan barokah dan ia mengalir dari saluran air Ka’bah
barokah, sedangkan si anak, satu barokah saja, yaitu air hujan. Permasalahannya, karena
si anak tidak baik untuk mandi hujan karena suatu keadaan, maka pelaku ngalap pertama
layak untuk menolak pendapat dan pola pelaku ngalap kedua. Alasannya, ngalap barokah
harus lihat kondisi dan pakai cara yang lazim. “Masak anak kecil ngalap barokah dengan
mandi hujan sepuasnya”. Begitu mungkin cetusnya.

Ngalap Barokah Dari Benda Yang Berbarokah

Dari cerita dua pelaku ngalap yang Kami gambarkan barusan di atas, hakikatnya
ia menunjukkan bahwa ngalap barokah sejatinya tidak sesuka hati. Bukan yang penting
benda ini dan itu adalah barokah kemudian cara ngalapnya dengan semaunya. Tapi harus
melihat kegunaan dan akibat buruk dari benda-benda yang ada barokahnya.

Mari kita perhatikan ngalap barokah dari riwayat-riwayat berikut ini;

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda,

‫اْقَر ُء وا اْلُقْر آَن َفِإَّنُه َيْأِتي َيْو َم اْلِقَياَم ِة َش ِفيًعا َأِلْص َح اِبِه اْق َر ُء وا الَّز ْه َر اَو ْيِن اْلَبَق َر َة َو ُس وَر َة آِل ِعْم َر اَن َفِإَّنُهَم ا َتْأِتَي اِن َي ْو َم‬
‫اْلِقَياَم ِة َك َأَّنُهَم ا َغ َم اَم َتاِن َأْو َك َأَّنُهَم ا َغ َياَيَت اِن َأْو َك َأَّنُهَم ا ِفْر َق اِن ِم ْن َطْي ٍر َص َو اَّف ُتَح اَّج اِن َع ْن َأْص َح اِبِهَم ا اْق َر ُء وا ُس وَر َة‬
‫اْلَبَقَرِة َفِإَّن َأْخ َذ َها َبَر َك ٌة َو َتْر َك َها َح ْس َر ٌة َو اَل َتْسَتِط يُع َها اْلَبَطَلُة‬

“Bacalah Al Qur’an, karena ia akan datang memberi syafa’at kepada para pembacanya
pada hari Kiamat nanti memberikan syafa’at kepada pembacanya. Bacalah Zahrawain,
yakni surat Al Baqarah dan Ali Imran, karena keduanya akan datang pada hari Kiamat
nanti, seperti dua tumpuk awan menaungi pembacanya, atau seperti dua kelompok
burung yang sedang terbang dalam formasi hendak membela pembacanya. Bacalah Al
Baqarah, karena dengan membacanya akan memperoleh barokah, dan dengan tidak
membacanya akan menyebabkan penyesalan, dan pembacanya tidak dapat dikuasai
(dikalahkan) oleh tukang-tukang sihir.” (HR. Muslim)

Membaca surat Al Baqarah adalah salah satu cara ngalap barokah yang syar’i.
Dan tentunya hal itu adalah cara yang lazim pada umumnya. Bukan ngalap barokah
sebatas meletakkan Al Qur’an di rumah, di mobil, di toko dan lainnya untuk menuai
keberkahan yang banyak. Allah Ta’ala menegaskan kembali,

‫َو َهَذ ا ِكَتاٌب َأْنَز ْلَناُه ُمَباَر ٌك َفاَّتِبُعوُه َو اَّتُقوا َلَع َّلُك ْم ُتْر َحُم وَن‬

“Dan Al Qur’an itu adalah Kitab yang Kami turunkan yang penuh barokah, maka
ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat.” (QS. Al An’am: 155)

Ibnu Katsir (w. 774 H) menjelaskan ayat ini,


.‫فيه الدعوة إلى اتباع القرآن ووصفه بالبركة لمن اتبعه وعمل به في الدنيا واآلخرة‬

“Pada ayat itu ada ajakan untuk mengikuti Al Qur’an dan memberikannya sifat barokah
kepada siapa yang mengikutinya dan mengamalkannya, barokah dunia dan akhirat.”12

Asumsi para pelaku ngalap akan semakin rancu ketika mendengar fatwa Syaikh
‘Alwi sebelumnya dan pendapat Romli tentunya. Yaitu tatkala mengetahui bahwa Al
Qura’an adalah kitab yang barokah, ia pun dijadikan obyek ngalap barokah sesukanya.
Boleh jadi kaum ngalap menampung air hujan yang barokah, kemudian Al Qur’an
diletakkan atau direndam dengannya, lalu di minum. Niatnya, ngalap barokah secara
ganda meniru orang-orang Hijaz sesuai fatwa Syaikh ‘Alwi.

Sekali lagi, ngalap barokah Al Qur’an adalah dengan membaca dan mengamalkan
ajarannya. Bukan ngalap semaunya. Dan seperti itulah Ahlus Sunnah yang dijelaskan
oleh Ibnu Katsir sebelumnya.

Al Hafizh Abul Abbas Al Anshari Al Qurthubi (w. 656 H), salah seorang guru
dari pemilik tafsir Al Qurthubi pernah menuliskan kisah sahabat ‘Auf dan Abu Wajrah
berikut ini,

‫ ف||إن هللا‬، ‫ ائتوني بماء‬: ‫ أال نعالجك ؟ فقال‬: ‫ فقيل له‬، ‫ أن عوف بن مالك األشجعي ـ رضى هللا عنه ـ مرض‬: ‫وروي‬
} ‫ { فيه شفاء للناس‬: ‫ فإن هللا تعالى يقول‬، ‫ { ائتوني بعسل‬: ‫ ثم قال‬، } ‫ { وأنزلنا من السماء ماء مباركا‬: ‫تعالى يقول‬
‫ ثم‬، ‫ فجاؤوه بذلك كله فخلط||ه جميع||ا‬، } ‫ { من شجرة مباركة زيتونة‬: ‫ فإن هللا تعالى يقول‬، ‫ ائتوني بزيت‬: ‫ ثم قال‬،
: ‫ فه|ذا كله‬، ‫ ويت|داوى بالعسل‬، ‫ ويستمشي بالعسل‬. ‫ وحكى النقاش عن أبي وجرة أنه كان يكتحل بالعسل‬. ‫شربه فبرأ‬
. ‫ وصحة اإليمان‬، ‫ وأصله صدق النية‬، ‫عمل بمطلق القرآن الكريم‬

“Diriwayatkan bahwa ‘Auf bin Malik Al Asyja’i radhiyallahu ‘anhu menderita


sakit. Dikatakan kepadanya, ‘Apa kamu mau kami mengobatimu?’

Beliau menjawab, ‘Ambilkan aku air. Sungguh Allah Ta’ala berfirman, ‘Dan
Kami turunkan dari langit air yang mengandung berkah’. (QS. 50: 9). Kemudian beliau
mengatakan, ‘Ambilkan juga aku madu. Sungguh Allah Ta’ala berfirman, ‘..di dalamnya
terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia’. (QS. 16: 69). Kemudian beliau
mengatakan lagi, ‘Ambilkan aku zaitun. Sungguh Allah Ta’ala berfirman, ‘..yang
dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun..’
(QS. 24: 35).

Mereka pun membawakan semuanya kepada beliau. Kemudian mencampurkan


seluruhnya, dan kemudian meminumnya. Beliau pun akhirnya sembuh.

An Nuqasy menceritakan dari Abu Wajrah bahwa beliau bercelak dengan madu,
membersihkan isi perut juga dengan madu, dan berobat dengan madu.

12
Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, surat Al An’am: 155
Semua ini adalah pengamalan dengan keumuman Al Qur’anul Karim. Dasarnya
adalah niat yang jujur dan iman yang benar.”13

Demikian salaf dalam ngalap barokah terhadap benda-benda yang mengandung


barokah sesuai yang dikabarkan dalam firman Allah dan sabda Rasul-Nya. Cara ngalap
yang mereka tempuh adalah cara-cara yang lazim pada umumnya. Atau paling tidak
dengan cara yang memungkinkan bisa bermanfaat secara medis sekalipun jarang
ditemukan ada orang yang melakukannya. Syarat melakukannya adalah dengan niat yang
jujur dan keimanan yang benar kepada Allah Ta’ala. Tanpa adanya hal-hal yang
menjerumuskan kepada kesyirikan.

13
Al Mufhim Lima Usykila Min Talkhis Kitab Muslim
NGALAP BAROKAH KEPADA PARA SESEPUH

Romli dalam BPBDW menuliskan,

“Masyarakat kita seringkali mendatangi orang-orang saleh dan para ulama sepuh
dengan tujuan tabarruk. Para ulama dan orang saleh memang ada barokahnya. Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

. ‫ اْلَبَر َك ُة َم َع َأَك اِبِرُك ْم‬: ‫َع ِن اْبِن َعَّباٍس َرِض َي ُهَّللا َع ْنُهَم ا َقاَل َقاَل َر ُسوُل ِهللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم‬

“Dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Berkah Allah bersama orang-orang besar di antara kamu.” (HR. Ibn Hibban (1912), Abu
Nu’aim dalam al-Hilyah (8/172), al-Hakim dalam al-Mustadrak (1/62) dan al-Dhiya’
dalam al-Mukhtarah (64/35/2). Al-Hakim berkata, hadits ini shahih sesuai kriteria al-
Bukhari, dan al-Dzahabi menyetujuinya.)

Al-Imam al-Munawi menjelaskan dalam Faidh al-Qadir, bahwa hadits tersebut


mendorong kita mencari berkah Allah subhanahu wa ta’ala dari orang-orang besar
dengan memuliakan dan mengagungkan mereka. Orang besar di sini bisa dalam artian
besar ilmunya seperti para ulama, atau kesalehannya seperti orang-orang saleh. Bisa pula,
besar dalam segi usia, seperti orang-orang yang lebih tua.

Dalam tulisannya ini, Romli meninggalkan kesan bahwa tabarruk atau ngalap
barokah kepada para ulama adalah dengan : mendatangi orang-orang saleh dan para
ulama sepuh. Romli tidak menjelaskan bagaimana ngalap barokah dari para orangtua
tersebut. Romli hanya mencukupkan keterangannya ngalap barokah para sesepuh dengan
‘mendatangi’ mereka, tidak lebih.

Tentunya kesan ini sangat membahayakan bagi masyarakat Muslimin dan


Muslimat. Romli terkesan mengajarkan bahwa ngalap barokah adalah mendatangi para
sesepuh yang alim. Selanjutnya, setelah tiba di tempat sesepuh yang alim tersebut, cara
ngalap setelahnya diserahkan kepada para pelaku ngalap. Terserah mau diapakan sesepuh
tersebut, maka dia termasuk ngalap barokah kepadanya yang dikesankan dari tulisan
Romli.

Padahal Romli telah mengutip keterangan hadits tersebut dari Al Munawi dalam
Faidh Al Qadir, yang di dalam kitab yang sama Al Munawi menjelaskan bagaimana cara
ngalap barokah para sesepuh alim tersebut. Tapi mengapa Romli tidak menampilkannya
dan membuat kesan ‘membebaskan’ cara ngalap barokah dengan semaunya selagi tidak
melanggar hak asasinya?!.
Romli seharusnya menuliskan keterangan selanjutnya mengenai cara ngalap
barokah kepada sesepuh alim dari Al Munawi. Dengan harapan tidak membebaskan cara
ngalap barokah dengan kalimatnya di atas : mendatangi orang-orang saleh dan para
ulama sepuh. Karena Romli pun kemungkinan telah mendapatkan keterangan Al Munawi
ini,

‫ المجربين لألمور المح|افظين على تكث|ير األج|ور فجالسوهم لتقت|دوا برأيهم وتهت|دوا به|ديهم أو‬:‫البركة مع أكابركم‬
‫المراد من له منصب العلم وإن صغر سنه فيجب إجاللهم حفظا لحرمة ما منحهم الح||ق س||بحانه وتع||الى وق||ال ش||ارح‬
‫ هذا حث على طلب البركة في األمور والتبحبح في الحاجات بمراجعة األكابر لما خصوا به من سبق الوجود‬: ‫الشهاب‬
‫وتجربة األمور وسالف عبادة المعبود‬

“(Berkah Allah bersama orang-orang besar di antara kamu) : Yaitu mereka yang memiliki
pengalaman terhadap perkara-perkara yang bisa menjaga dalam memperbanyak pahala,
sebab itu hendaklah kalian mengikuti pandangan dan arahan mereka. Atau maksudnya
adalah bagi dia yang memiliki ilmu sekalipun usianya yang muda, maka wajib
memuliakan mereka dalam rangka menjaga kemuliaan al-haq yang diberikan Allah
Ta’ala kepadanya.

Berkata pensyarah Syihab, ‘Hadits ini menganjurkan untuk mencari barokah pada setiap
urusan dan menunaikan kebutuhan dengan merujuk kepada sesepuh yang kapabel dan
yang telah mendahului mencobanya dan mengamalkan ibadah kepada Allah.”14

Setelahnya -dalam keterangan hadits ini pula-, Al Munawi melanjutkan


keterangan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam,

‫ كبر‬: ‫وكان في يد المصطفى صلى هللا عليه و سلم سواك فأراد أن يعطيه بعض من حضر فق|ال جبري|ل عليه السالم‬
‫كبر فأعطاه األكبر وقد يكون الكبير في العلم أو الدين فيقدم على من هو أسن منه‬

“Di tangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam ada siwak. Beliau hendak
memberikannya kepada sebagian yang hadir saat itu. Berkatalah Jibril ‘alaihis salam,
‘Yang tua, yang tua’. Beliau pun memberikan kepada yang lebih tua. Terkadang yang tua
itu maksudnya adalah dalam masalah keilmuan dan agama. Sehingga didahulukanlah ia
daripada yang lebih muda darinya.”15

Demikianlah yang seharusnya dipraktekkan oleh pelaku ngalap. Tidak asal ngalap
barokah dari para sesepuh alim, dan tidak pula melegalkan segala caranya. Tapi harus
memerhatikan contoh dari keterangan yang ada. Yaitu ngalap barokah dari para sesepuh
alim dengan mendahulukan mereka memberikan hadiah yang baik-baik. Atau –dan ini
yang sangat dianjurkan sebagaimana keterangan Al Munawi sebelumnya- adalah dengan
meminta solusi yang baik-baik kepada mereka, kemudian mengikuti pandangan dan
arahan mereka yang baik pula.

14
Al Faidh Al Qadir, no. 3205
15
Ibid
Kesimpulannya, Kami perlu menambahkan apa yang ditiadakan Romli dalam
tulisannya mengenai cara ngalap barokah kepada para sesepuh alim. Agar tidak terkesan
bahwa para sesepuh yang dimaksud boleh dingalap barokahnya dengan mendatanginya
dan sesuka hati memperlakukannya. Dan semoga kesan tersebut semakin hilang ketika
Kami telah menyampaikan bahwa Al Munawi sendiri menjelaskan hadits barokahnya
para sesepuh alim dengan membawakan praktek dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
Wasallam.

Pertanyaannya, apa Beliau Shallallahu ‘alaihi Wasallam bertabarruk atau ngalap


barokah kepada sahabatnya yang sepuh tadi dengan mendahulukan memberikan
siwaknya? Atau Al Munawi yang keliru memberikan contoh? Atau Romli yang ngawur –
jika benar- menjadikannya hujjah ngalap barokah kepada sesepuh alim dengan tidak
membatasinya?

Fatwa An Nawawi

Mengenai bahasan ngalap barokah dengan sesepuh alim, tidak mungkin rasanya
tanpa mengutip fatwa An Nawawi. Romli –dalam salah satu akun jejaring sosialnya- pun
telah menampilkan fatwa ini. Dalam Syarh Shahih Muslim An Nawawi menyatakan,

‫فيه التبرك بآثار الصالحين واستعمال فضل طهورهم وطعامهم وشرابهم ولباسهم‬

“Hadits tersebut mengandung anjuran bertabarruk dengan peningggalan orang shaleh,


memakai sisa air suci mereka, makanan, minuman dan pakaian mereka.”16

An Nawawi menyatakan fatwa seperti itu berangkat dari hadits Muslim yang
beliau syarh,

‫َفَجَعَل الَّناُس َيْأُخ ُذ وَن ِم ْن َفْض ِل َو ُضوِئِه‬

“Lalu orang-orang mulai mengambil air sisa wudhunya –Nabi-.”

Menanggapi hal ini, ulama Ahlus Sunnah menyatakan; Pertama, bahwa


keutamaan Nabi dan keutamaan orang sholeh yang ditabarruki tidaklah sama.

Kedua, menetapkan seseorang itu sholeh tidak memiliki jaminan. Bahkan yang
telah memiliki jaminan saja tidak diperlakukan untuk ditabarruki. Jaminan sholeh
tentunya adalah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam yang menyatakan para
sahabatnya dengan kabar gembira surga. Begitupula kesepakatan ulama tentang sifat
‘adalah yang tentunya sholeh dari para seluruh ulama untuk para sahabat Nabi
Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Maka, selain tidak adanya jaminan kesholehan seseorang

16
Syarh Shahih Muslim,
dari nash syar’i, tidak terjaminnya kesholehan seseorang adalah disebabkan
ketidaktahuan akan akhir hidupnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda,
“Amal itu tergantung dengan penutup hidupnya (khotimah).” Kesholehan sementara
tentunya bukan orang yang mutlak layak ditabarruki.

Ketiga, para sahabat yang bertabarruk kepada Nabi saat masih hidup, mereka
tidak melakukannya kepada orang sholeh lainnya baik saat Nabi masih hidup atau setelah
Beliau Shallallahu ‘alaihi Wasallam wafat.

Dari ketiga persoalan ini tentunya menjadikan hadits yang diriwayatkan Muslim
yang disyarh oleh An Nawawi lebih tepat dimaknai sebagai Khosoish (kekhususan)
hanya bagi Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Dengan ketetapan Khosoish ini
menyebabkan timbulnya pernyataan bahwa pendapat ulama seperti An Nawawi, Ibnu
Hajar, As Syaukani dan lain-lain yang membolehkan tabarruk dengan bekas orang sholeh
karena mengqiyaskan terhadap praktek sahabat yang bertabarruk kepada Nabi saat masih
hidup adalah ‘Qiyas ma’al fariq’.

Ditambah lagi, bahwa qiyas memperlakukan orang selain Rasulullah Shallallahu


‘alaihi Wasallam untuk ditabarruki yang dia tidak aman dari fitnah terjerumus kepada
‘ujub, maka qiyas tersebut semakin tertolak. Karena memang orang yang ditabarruki
tidak aman dari timbulnya sifat ‘ujub kepada dirinya sendiri. Berbeda dengan Rasulullah
Shallalahu ‘alaihi Wasallam yang terjaga dari hal itu. Sebab itulah tidakterjaganya dari
sifat ‘ujub, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam memerintahkan untuk menegur
dengan lemparan pasir dan sejenisnya kepada orang yang gemar memuji. Hammam bin
Al Harits mengatakan,

‫َأَّن َر ُج اًل َجَعَل َيْم َدُح ُع ْثَم اَن َفَعِم َد اْلِم ْقَد اُد َفَج َثا َع َلى ُر ْك َبَتْيِه َو َك اَن َر ُج اًل َض ْخ ًم ا َفَجَعَل َيْح ُثو ِفي َو ْج ِهِه اْلَح ْص َباَء َفَق اَل َل ُه‬
‫ُع ْثَم اُن َم ا َش ْأُنَك َفَقاَل ِإَّن َر ُسوَل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َقاَل ِإَذ ا َر َأْيُتْم اْلَم َّد اِح يَن َفاْح ُثوا ِفي ُو ُجوِهِهْم الُّتَر اَب‬

“Bahwa seseorang memuji Utsman. Maka Al Miqdad marah dan menghampirinya. Dia
berlutut di atas kedua lututnya karena berbadan gemuk, dan setelah itu menaburkan pasir
di wajahnya. Utsman berkata padanya, ‘Kamu kenapa?’ Al Miqdad berkata, ‘Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda, ‘Bila kalian melihat orang-orang memuji,
taburkan tanah di wajahnya’.” (HR. Muslim)

‫َع ْن َع ْبِد الَّرْح َمِن ْبِن َأِبي َبْك َر َة َع ْن َأِبيِه َقاَل َأْثَنى َر ُجٌل َع َلى َر ُج ٍل ِع ْنَد الَّنِبِّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َفَقاَل َو ْيَلَك َقَطْعَت ُع ُنَق‬
‫َص اِح ِبَك َقَطْعَت ُع ُنَق َص اِح ِبَك ِمَر اًرا ُثَّم َقاَل َم ْن َك اَن ِم ْنُك ْم َم اِد ًحا َأَخ اُه اَل َم َح اَلَة َفْلَيُقْل َأْح ِس ُب ُفاَل ًنا َو ُهَّللا َحِس يُبُه َو اَل ُأَز ِّك ي‬
‫َع َلى ِهَّللا َأَح ًدا َأْح ِس ُبُه َك َذ ا َو َك َذ ا ِإْن َك اَن َيْع َلُم َذ ِلَك ِم ْنُه‬

“Dari Abdurrahman bin Abu Bakrah dari bapaknya berkata, ‘Ada seseorang menyanjung
orang lain di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam, maka Beliau berkata, ‘Celaka
kamu, kamu telah memenggal leher sahabatmu, kamu telah memenggal leher
sahabatmu’. Kalimat ini diucapkan oleh Beliau berulang kali, kemudian Beliau bersabda,
‘Siapa di antara kalian yang merasa harus memuji saudaranya hendaklah ia
mengucapkan, ‘Aku mengira si fulan, dan Allah yang mengetahui dia, aku tidak
menganggap suci seorangpun terhadap Allah, aku mengira dia begini dan begini’.
Sekalipun dia mengetahui tentang diri saudaranya itu’.” (HR. Bukhori)

Muhammad bin ‘Amru bin ‘Atha berkata,

‫َسَّم ْيُت اْبَنِتي َبَّرَة َفَقاَلْت ِلي َزْيَنُب ِبْنُت َأِبي َس َلَم َة ِإَّن َر ُسوَل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َنَهى َع ْن َه َذ ا ااِل ْس ِم َو ُس ِّم يُت َب َّرَة‬
‫َفَقاَل َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم اَل ُتَز ُّك وا َأْنُفَس ُك ْم ُهَّللا َأْعَلُم ِبَأْهِل اْلِبِّر ِم ْنُك ْم َفَقاُلوا ِبَم ُنَسِّم يَها َقاَل َسُّم وَها َزْيَنَب‬

“Aku menamai anak perempuanku ‘Barrah’. Maka Zainab binti Abu Salamah berkata
kepadaku, ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam telah melarang memberi nama anak
dengan nama ini. Dahulu namaku pun Barrah, lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
Wasallam bersabda, ‘Janganlah kamu menganggap dirimu telah suci, Allah Ta’ala yang
lebih tahu siapa saja sesungguhnya orang yang baik atau suci di antara kamu’. Para
sahabat bertanya, ‘Lalu nama apakah yang harus kami berikan kepadanya?’ Beliau
menjawab, ‘Namai dia Zainab’.” (HR. Muslim)

Ibnu Katsir banyak mengutip riwayat di atas dalam menjelaskan firman Allah
Ta’ala,

‫ُهَو َأْعَلُم ِبُك ْم ِإْذ َأْنَش َأُك ْم ِم َن األْر ِض َو ِإْذ َأْنُتْم َأِج َّنٌة ِفي ُبُطوِن ُأَّمَهاِتُك ْم َفال ُتَز ُّك وا َأْنُفَس ُك ْم ُهَو َأْعَلُم ِبَمِن اَّتَقى‬

“Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan) mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah
dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu, maka janganlah kamu mengatakan
dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS. An
Najm: 32)

Artinya, larangan tazkiyah (menyatakan suci) di atas adalah untuk diri sendiri atau
orang lain. Karena hadits penguat yang dipakai ulama saat menjelaskan firman Allah ini
di antaranya mengenai memuji orang lain. Hal ini menandakan bahwa mengagumi diri
sendiri saja terlarang apalagi kepada orang lain yang hanya Allah lebih tahu tentang
semuanya. Sehingga tampaklah, bahwa hikmahnya adalah tidak terjatuh kepada sifat
‘ujub pada diri sendiri atau orang lain.

Dan buatlah bahwa pendapat Ahlus Sunnah yang menyatakan tabarruk para
sahabat kepada Nabi adalah kekhususan untuk Nabi, ditentang oleh pihak lain, maka di
tubuh Ahlus Sunnah sudah memberikan penjelasannya lewat pernyataan Asy Syathibi
(w. 790 H) yang lalu. Kata beliau,

‫ كما تق||دم ذكره في‬- ‫الثاني أن ال يعتقدوا االختصاص ولكنهم تركوا ذلك من باب الذرائع خوفا من أن يجعل ذلك سنة‬
‫ والنهى عن ذلك أو الن العامة ال تقتص|ر في ذل|ك على ح|د بل تتج|اوز فيه الح|دود وتبالغ بجهله|ا في‬- ‫اتباع اآلثار‬
‫التماس البركة حتى يداخلها المتبرك به تعظيم يخرج به عن الحد فربما اعتقد في المبترك به ما ليس فيه وه||ذا الت||برك‬
‫هو أصل العبادة وألجله قطع عمر رضى هللا عنه الشجرة التى بويع تحتها رسول هللا ( صلى هللا عليه وس|لم ) بل ه||و‬
‫ فخاف عمر رضى هللا عنه أن يتمادى الح||ال في‬- ‫ حسبما ذكره أهل السير‬- ‫كان اصل عبادة األوثان في األمم الخالية‬
‫ فكذلك يتفق عند التوغل في التعظيم ولقد حكى الفرغ||انى مذيل ت||اريخ‬.‫الصالة إلى تلك الشجرة حتى تعبد من دون هللا‬
‫الطبرى عن الحالج أن أصحابه بالغوا في التبرك به حتى كانوا يتمسحون ببول||ه ويتبخ||رون بعذرت||ه ح||تى أدع||وا فيه‬
‫اإللهية تعالى هللا عما يقولون علوا كبيرا‬

“Kedua, buatlah mereka tidak meyakini tabarruk khusus kepada Beliau. Akan
tetapi mereka meninggalkannya adalah karena permasalahan dzaraai’ (perantara syirik)
yang mereka takutkan tradisi tersebut dijadikan sunnah -sebagaimana yang telah kita
sebutkan mengenai keharusan mengikuti hadits- dan larangan tabarruk tidak syar’i. Atau
karena orang-orang awam tidak lagi memberikan batasan cara ngalap barokah dan
melewati batasan-batasan itu dengan kejahilan mereka terhadap praktek ngalap barokah.
Sehingga yang ditabarruki menempati kedudukan yang diagungkan. Ia dikeluarkan dari
batasannya, mungkin karena ia diyakini sebagai sesuatu yang tidak ada padanya. Praktek
ngalap barokah ini menjadi pondasi ibadah –mereka-. Dan karena itu lah Umar
radhiyallahu ‘anhu memotong pohon yang di bawahnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
Wasallam diba’iat (bai’at ridwan). Bahkan ngalap barokah tersebut menjadi pondasi
ibadah kepada berhala oleh ummat-ummat terdahulu –sebagaimana yang disebutkan ahli
sejarah-. Sehingga Umar radhiyallahu ‘anhu takut perihal sholat ke arah pohon tersebut
terus berlangsung sampai si pohon menjadi disembah selain Allah. Demikian yang terjadi
ketika berlebihan dalam mengagungkan sesuatu. Al Farghani menceritakan dari Tarikh
Thobari mengenai Al Hallaj, bahwa orang-orangnya berlebihan dalam ngalap barokah
kepadanya. Sampai-sampai mereka mandi dengan air seninya dan berminyak-wangi
dengan kotorannya, sampai pula mereka mengklaimnya memiliki sifat ketuhanan Allah
Ta’ala. Mereka mengucapkan kata-kata yang sombong dan keterlaluan.”17

Syeikh Ibnu ‘Alisy (w. 1299 H), setelah menyebutkan tulisan Asy Syathibi ini,
beliau pun menambahkan dalam kitabnya, ‘Fath Al ‘Aliyil Maalik Fi Al Fatwa ‘Ala
Madzhab Al Imam Malik’,

‫قلت ومث||ل ما حكى الفرغ||اني حكى الخطيب العالمة المحق||ق الرح||ال أبو عبد هللا بن محمد بن أحمد بن مرزوق‬
‫التلمساني في شرحه لعمدة األحكام قال شاهدت بمصر بعض جهلة الع|وام األغبياء ينتف|ون ش|عر حمار ش|يخنا الفقيه‬
. ‫العالمة شمس الدين بن البهارس أيام تجرده للوعظ والتذكير وتركه اإلفادة والتعليم انتهى‬

“Aku sampaikan, yang serupa dengan cerita Al Farghani di atas adalah yang telah
diceritakan Al Khotib Al ‘Allamah Al Muhaqqiq Ar Rihal Abu Abdillah bin Muhammad
bin Ahmad bin Marzuq At Tilmisani dalam syarh-nya terhadap kitab Umdah Al Ahkam
beliau menyatakan, ‘Aku menyaksikan di Mesir ada sebagian orang awam yang bodoh
lagi tolol, mencabut bulu keledainya Syeikh kami Al Faqih Al ‘Allamah Syamsuddin bin
Al Baharis di hari-hari yang membuat beliau meliburkan majlis nasehat dan ta’lim.”

17
Al I’tishom
Demikianlah kronologis dari Qiyas ma’al fariq pada fatwa bolehnya ngalap
barokah dengan cara yang persis dengan cara ngalap barokah kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Ditambah lagi bahwa An Nawawi yang mengeluarkan
fatwa tersebut pernah menyatakan,

‫(فرع) ال يجوز أن يطاف بقبره ص|لى هللا عليه وس|لم ويكره الص|اق الظه|ر والبطن بج|دار الق|بر قال|ه أبو عبيد هللا‬
‫الحليمي وغيره قالوا ويكره مسحه باليد وتقبيله بل االدب أن يبعد منه كما يبعد منه لو حضره في حياته صلى هللا عليه‬
‫ ف||ان االقت||داء‬.‫وسلم هذا هو الصواب الذي قاله العلماء وأطبقوا عليه وال يغتر بمخالفة كث||يرين من الع||وام وفعلهم ذل||ك‬
‫ وق||د ثبت في‬.‫والعمل انما يكون باالحاديث الصحيحة وأقوال العلماء وال يلتفت إلى محدثات العوام وغيرهم وجهاالتهم‬
‫الصحيحين عن عائشة رضى هللا عنها أن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم ق||ال (من أح||دث في ديننا ما ليس منه فه||و‬
‫رد) وفي رواية لمسلم )من عمل عمال ليس عليه عملنا فهو رد) وعن أبي هريرة رضي هللا عنه ق||ال ق||ال رس||ول هللا‬
‫صلى هللا عليه وسلم (ال تجعلوا ق||بري عبدا وص||لوا علي ف||ان ص||التكم تبلغ||ني حيث ما كنتم) رواه أبو داود باس||ناد‬
‫ وقال الفضل ابن عياض رحمه هللا ما معناه اتبع طرق الهدى وال يضرك قلة السالكين وإياك وط||رق الض||اللة‬.‫صحيح‬
‫وال تغتر بكثرة الهالكين ومن خطر بباله أن المسح باليد ونحوه أبلغ في البركة فهو من جهالته وغفلته الن البركة إنما‬
‫هي فيما وافق الشرع وكيف ينبغي الفضل في مخالفة الصواب‬

“Tidak boleh thowaf di makam Beliau Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Dimakruhkan pula
menempelkan punggung dan perut ke dinding makam. Abu Ubaidillah Al Halimi dan
yang lainnya telah mengatakannya. Mereka juga mengatakan, ‘Dimakruhkan pula
mengusapnya dengan tangan dan menciumnya. Akan tetapi adabnya adalah menjauh
darinya sebagaimana dijauhi pula –kamar- itu ketika seseorang mendatangi Beliau
Shallallahu ‘alaihi Wasallam saat masih hidup. Dan inilah pendapat yang benar yang
telah dinyatakan oleh para ulama dan mereka telah menyepakatinya. Maka janganlah
tertipu dari banyaknya orang awam yang menyelisihinya. Karena sesungguhnya
meneladani dan mengamalkan hanya dengan hadits-hadits yang shahih dan dengan
keterangan-keterangan ulama. Janganlah menoleh kepada hal-hal baru (bid’ah) yang
dibuat orang awam dan orang selain mereka serta orang bodoh mereka. Telah ditetapkan
dalam shahihain (Bukhori Muslim) dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda, ‘Siapa yang mengadakan hal baru dalam perkara
agama kita yang tidak ada dalilnya maka ia tertolak’. Dan dalam riwayat Muslim, ‘Siapa
yang melakukan suatu amalan tanpa ada dalilnya dari perbuatan kami, maka ia
tertolak’. Dan dari Abu Hurairoh radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
Wasallam bersabda, ‘Jangan kalian jadikan kuburku sebagai ‘ied, dan bersholawatlah
untukku, karena sholawat kalian akan sampai kepadaku di manapun kalian berada’.
Diriwayatkan oleh Abu Daud dengan sanad yang shahih. Fudhail bin Iyadh rohimahullah
berkata mengenai makna hadits tersebut, ‘Ikutilah jalan-jalan petunjuk, dan tidak akan
membuatmu celaka dengan sedikitnya orang yang mengikuti langkah itu. Dan jauhilah
jalan-jalan kesesatan, dan jangan gentar dengan banyaknya orang yang menyimpang.
Siapa saja yang terbetik dalam benaknya bahwa mengusap dengan tangan dan semisalnya
lebih mendatangkan barokah, maka keyakinan itu tidak lain bersumber dari kebodohan
dan kelalaiannya. Sebab barokah itu hanya bisa didapat dengan melaksanakan syari’at.
Bagaimana mungkin keutamaan diupayakan dengan perbuatan yang bertolakbelakang
dengan kebenaran!’.”18

Kata beliau juga,

‫قال أبو موسى وقال االمام أبو الحسن محمد بن مرزوق الزعف||راني وكان من الفقه||اء المحققين في كتابه في الجنائز‬
‫وال يستلم القبر بيده وال يقبله قال وعلي هذا مضت السنة قال أبو الحسن واستالم القبور وتقبيلها الذى يفعله العوام اآلن‬
‫من المبتدعات المنكرة شرعا ينبغي تجنب فعله وينهي فاعله قال فمن قصد السالم على ميت سلم عليه من قبل وجه||ه‬
‫وإذا أراد الدعاء تحول عن موضعه واستقبل القبلة قال أبو موسى وقال الفقهاء المتبحرون الخراس||انيون المستحب في‬
‫زيارة القبور أن يق|ف مستدبر القبلة مستقبال وج|ه الميت يسلم وال يمسح الق|بر وال يقبله وال يمسه ف|ان ذل|ك ع|ادة‬
‫النصارى (قال) وما ذكروه صحيح النه قد صح النهى عن تعظيم القبور والنه إذا لم يستحب استالم الركنين الش||اميين‬
‫من اركان الكعبة لكونه لم يسن مع استحباب استالم الركنين اآلخرين فالن ال يستحب مس القبور أولي وهللا أعلم‬

“Berkata Abu Musa, dan begitu juga Abu Al Hasan Muhammad bin Marzuq Az
Za’faroni, salah seorang Fuqoha’ Muhaqqiq, berkata dalam kitabnya Al Janaiz,
‘Mengusap kubur dan menciumnya sebagaimana yang dilakukan orang-orang awam
adalah bagian dari bid’ah mungkaroh secara istilah syar’i. Diharuskan menjauhi
perbuatan tersebut dan hendaklah mencegah pelakunya’. Dia pun berkata, ‘Siapa yang
bermaksud salam kepada mayit, maka salamlah dari bagian depan wajahnya. Tapi jika
ingin mendoakannya, maka hendaklah dia berpindah dari tempatnya dan menghadap
kiblat’. Berkata Abu Musa, ‘Para Fuqoha’ Khurosan yang luas ilmunya menyatakan,
‘Yang dianjurkan dalam berziarah kubur adalah berdiri membelakangi kiblat dan
menghadap wajah mayit, mengucapkan salam, dan tidak mengusap kubur, tidak pula
menciumnya dan tidak menyentuhnya. Karena perbuatan itu adalah kebiasaan kaum
Nashrani’.

Apa yang telah mereka nyatakan adalah shahih. Karena telah shahih adanya larangan
mengagungkan kubur. Dan dengan tidak dianjurkannya mengusap dua rukun syamiyain
dari –empat- rukun Ka’bah, dan keduanya tidak dianjurkan padahal dianjurkannya
kepada dua rukun –yamani-, maka tidak dianjurkannya menyentuh kubur adalah lebih
utama.”19

Perhatikanlah. Terhadap kubur orang sholeh saja An Nawawi –bahkan


kesepakatan ulama- melarang untuk tidak mengusap dan mencium kuburnya. Memang
orang sholeh yang sudah di alam kubur tidak perlu dibahas lagi kalau mereka ‘ujub di
sana. Namun masalah selanjutnya adalah pada para pelakunya. Mereka tidak aman dari
fitnah pengkultusan yang terlarang. Lantas, apa bedanya antara larangan menyentuh dan
mencium kubur dengan ngalap barokah kepada bekas wudhu atau benda-bendanya orang
sholeh yang telah meninggal atau bahkan yang masih hidup?

18
Al Majmu’ (8/275)
19
Al Majmu’ (5/311)
Melihat dampak dari dua fatwa An Nawawi yang berbeda ini, maka sejatinya
tidak ada perbedaan antara dampak dari larangan ngalap barokah dengan sentuh dan cium
kubur dengan dampak dari kebolehan ngalap barokah dengan bekas-bekas orang sholeh
yang keduanya dari An Nawawi. Keduanya sama-sama memiliki dampak yang
seharusnya dicegah dan dihindari. Keduanya termasuk bagian dari dzaraai’ yang harus
ditutup serapat mungkin. Sebagaimana yang telah disampaikan Asy Syathibi sebelumnya.

Kesimpulannya, fatwa An Nawawi yang membolehkan ngalap barokah dengan


bekas-bekas orang sholeh tertolak dengan alasan yang telah kami sampaikan. Yaitu
qiyasnya qiyas ma’al fariq dan akan membuka dzaraai’ kepada pengkultusan yang
terlarang. Adapun fatwa larangan beliau mengenai ngalap barokah dengan sentuh dan
cium kubur adalah diterima. Ia sepadan jika diqiaskan kepada nasehat para ulama empat
madzhab dan Ahlus Sunnah lainnya mengenai larangan yang berkaitan dengan kubur
para Nabi dan orang sholeh, dan tentunya sangat mengaplikasikan sadd dzaraai’.

Mentarjih Pendapat Ulama

Tidak menutup kemungkinan pernyataan kami sebelumnya akan dianggap


saudara kami Romli sebagai tindakan tidak profesional, curang, dan lain sebagainya.
Asumsinya, fatwa An Nawawi yang sesuai selera diambil, dan fatwanya yang tidak
disuka, dibuang.

Kami teringat kepada catatan Romli (30 Desember 2013) berikut ini,

CATATAN TERHADAP DEBAT TERBUKA DENGAN WAHABI. Di KEMENAG


Kota Batam, 28 Desember 2013

“Zaenal dan Firanda menggunakan standar ganda dalam menilai pendapat para ulama.
Ketika pendapat mereka sesuai dengan semangatnya, mereka mati-matian menyerang
tradisi NU, seperti dalam kasus tradisi kenduri kematian selama 7 hari, yang dihukumi
makruh dalam kitab-kitab Syafi’iyah. Seakan-akan mereka lebih Syafi’iyah dari pada
warga NU. Akan tetapi ketika pendapat para ulama tidak sesuai dengan hawa nafsu
mereka, Firanda dan Zaenal menganggap pendapat tersebut tidak ada apa-apanya. Seperti
dalam bahasan bid’ah hasanah. Sikap mendua seperti ini, mirip sekali dengan kebiasaan
orang Syiah. Ketika hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim sesuai dengan keinginan
Syiah, mereka jadikan hujjah. Akan tetapi ketika hadits-hadits tersebut berbeda dengan
hawa nafsu Syiah, mereka tolak dan mereka dustakan.”

Mengomentari pernyataan Romli ini tidak mudah bagi kami. Karena akan sangat
menohok jantungnya dan juga pengikutnya. Bagaimana tidak, fatwa An Nawawi tentang
larangan menyentuh dan mencium kubur apakah diterima Romli? Fatwa sholat malam
nisfu Sya’ban yang bid’ah qobihah (buruk) dari An Nawawi apakah diterima oleh Romli?

Kalau jawabannya ‘tidak’, berarti Romli juga masuk dalam catatannya sendiri :
Sikap mendua seperti ini, mirip sekali dengan kebiasaan orang Syiah. Ketika hadits
riwayat al-Bukhari dan Muslim sesuai dengan keinginan Syiah, mereka jadikan hujjah.
Akan tetapi ketika hadits-hadits tersebut berbeda dengan hawa nafsu Syiah, mereka tolak
dan mereka dustakan.

Untuk mengobati luka Romli ini, perlu kiranya kita sampaikan nasehat berharga
dari Asy Syathibi,

‫كذلك ال يجوز للعامي اتباع المفتيين معا وال أحدهما من غير اجتهاد وال ترجيح وقول من قال إذا تعارضا عليه تخ||ير‬
‫غير صحيح من وجهين‬

“Demikian pula tidak boleh bagi orang awam mengikuti dua mufti sekaligus, atau salah
satunya, tanpa dia bersungguh-sungguh berijtihad dan tanpa dia melakukan tarjih
(memilih mana yang lebih kuat secara riwayat dan diroyat). Adapun pendapat yang
mengatakan, jika ada dua ulama yang berselisih maka pilih salah satunya saja, maka
pendapat ini tidak benar –dengan pertimbangan- dari dua sisi…”20

Ahlus Sunnah idealnya adalah melakukan pernyataan Asy Syathibi di atas.


Terbukti, untuk Qoul Jadid-nya imam As Syafi’i saja ada yang tidak dipakai dan justru
memakai yang Qoul Qodim beliau. Apalagi alasannya kalau bukan karena mentarjih
pendapat-pendapat beliau selaku ulama panutan.

Menetapkan Sesepuh Alim Penuh Barokah, Tanpa Ngalap Yang bukan-bukan

Obat lainnya dari kami untuk saudara Romli adalah mempersilakan menyatakan
barokah kepada orang tertentu dari para alim sesepuh. Seperti mengucapkan, “Ini
merupakan keberkahanmu wahai Ustadz, Mbah Yai, Tuan Guru, Buya..” Namun tidak
usah ngalap barokah dengan praktek tanpa bimbingan ulama Ahlus Sunnah.

Selain baginda Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam telah menyatakan adanya


barokah pada diri para alim, seseorang juga boleh menyatakan keberkahannya fulan dan
fulan. Ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan,

‫َخ َر ْج َنا َم َع َر ُسوِل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم ِفي َبْع ِض َأْس َفاِر ِه َح َّتى ِإَذ ا ُكَّنا ِباْلَبْيَداِء َأْو ِب َذ اِت اْلَج ْيِش اْنَقَط َع ِع ْق ٌد ِلي َفَأَق اَم‬
‫َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َع َلى اْلِتَم اِس ِه َو َأَقاَم الَّناُس َم َع ُه َو َلْيُسوا َع َلى َم اٍء َفَأَتى الَّناُس ِإَلى َأِبي َبْك ٍر الِّص ِّديِق َفَق اُلوا‬
‫َأاَل َتَر ى َم ا َص َنَع ْت َعاِئَش ُة َأَقاَم ْت ِبَر ُسوِل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َو الَّناِس َو َلْيُسوا َع َلى َم اٍء َو َلْيَس َم َع ُهْم َم اٌء َفَج اَء َأُب و‬
‫َبْك ٍر َو َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َو اِض ٌع َر ْأَس ُه َع َلى َفِخ ِذ ي َق ْد َن اَم َفَق اَل َحَبْس ِت َر ُس وَل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْي ِه َو َس َّلَم‬
20
Al Muwafaqot
‫َو الَّناَس َو َلْيُسوا َع َلى َم اٍء َو َلْيَس َم َع ُهْم َم اٌء َفَقاَلْت َعاِئَش ُة َفَع اَتَبِني َأُبو َبْك ٍر َو َقاَل َم ا َش اَء ُهَّللا َأْن َيُق وَل َو َجَع َل َيْطُع ُنِني ِبَي ِدِه‬
‫ِفي َخ اِص َرِتي َفاَل َيْم َنُع ِني ِم ْن الَّتَح ُّر ِك ِإاَّل َم َكاُن َر ُسوِل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْي ِه َو َس َّلَم َع َلى َفِخ ِذ ي َفَق اَم َر ُس وُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا‬
‫َع َلْيِه َو َس َّلَم ِح يَن َأْص َبَح َع َلى َغْيِر َم اٍء َفَأْنَز َل ُهَّللا آَيَة الَّتَيُّم ِم َفَتَيَّمُم وا َفَقاَل ُأَس ْيُد ْبُن اْلُح َض ْيِر َم ا ِهَي ِبَأَّو ِل َب َر َك ِتُك ْم َي ا آَل َأِبي‬
‫َبْك ٍر َقاَلْت َفَبَع ْثَنا اْلَبِع يَر اَّلِذ ي ُكْنُت َع َلْيِه َفَأَص ْبَنا اْلِع ْقَد َتْح َتُه‬

“Kami keluar bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam dalam salah satu
perjalanan yang dilakukannya. Hingga ketika kami sampai di Baida’, atau tempat
peristirahatan pasukan, aku kehilangan kalungku. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi
Wasallam dan para sahabatnya mencarinya, sementara mereka tidak berada di dekat air.
Orang-orang lalu datang kepada Abu Bakar Ash Shidiq seraya berkata, ‘Tidakkah kamu
perhatikan apa yang telah diperbuat oleh Aisyah? Dia telah membuat Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi Wasallam dan orang-orang tertahan (dari melanjutkan perjalanan),
padahal mereka tidak sedang berada di dekat air, dan mereka juga tidak memiliki air!’
Lalu Abu Bakar datang sedangkan saat itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam
meletakkan kepalanya di pahaku. Abu Bakar lalu memarahiku dan mengatakan
sebagaimana yang dikehendaki Allah ia mengatakannya. Ia menusuk lambungku, dan
tidak ada yang menghalangiku untuk bergerak (karena rasa sakit) kecuali karena
keberadaan Rasulullah yang di pahaku. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
Wasallam bangun di waktu subuh dalam keadaan tidak memiliki air. Allah Ta’ala
kemudian menurunkan ayat tayamum, maka orang-orang pun bertayamum. Usaid bin Al
Hudhair lalu berkata, ‘Tidaklah Aisyah kecuali awal dari keberkahan keluarga kamu
wahai wahai Abu Bakar!’ (Aisyah berkata), ‘Kemudian unta yang aku tunggangi berdiri
yang ternyata kami temukan kalungku berada di bawahnya’.” (HR. Bukhori)

Maksudnya, Aisyah memang tampak barokah sekali. Sebab, karena ulahnya


syari’at tayammum diturunkan. Ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan lagi,

‫َو َقَع ْت ُج َو ْيِرَيُة ِبْنُت اْلَح اِر ِث ْبِن اْلُم ْص َطِلِق ِفي َس ْهِم َثاِبِت ْبِن َقْيِس ْبِن َش َّم اٍس َأْو اْبِن َع ٍّم َل ُه َفَك اَتَبْت َع َلى َنْفِس َها َو َك اَنْت‬
‫اْمَر َأًة َم اَّل َح ًة َتْأُخ ُذ َها اْلَع ْيُن َقاَلْت َعاِئَش ُة َر ِض َي ُهَّللا َع ْنَها َفَج اَء ْت َتْس َأُل َر ُسوَل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْي ِه َو َس َّلَم ِفي ِكَتاَبِتَه ا َفَلَّم ا‬
‫َقاَم ْت َع َلى اْلَباِب َفَر َأْيُتَها َك ِرْهُت َم َكاَنَها َو َع َر ْفُت َأَّن َر ُسوَل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َسَيَر ى ِم ْنَها ِم ْثَل اَّل ِذ ي َر َأْيُت َفَق اَلْت‬
‫َيا َر ُسوَل ِهَّللا َأَنا ُج َو ْيِرَيُة ِبْنُت اْلَح اِر ِث َو ِإَّنَم ا َك اَن ِم ْن َأْم ِر ي َم ا اَل َيْخ َفى َع َلْي َك َوِإِّني َو َقْع ُت ِفي َس ْهِم َث اِبِت ْبِن َقْيِس ْبِن‬
‫َش َّم اٍس َو ِإِّني َكاَتْبُت َع َلى َنْفِس ي َفِج ْئُتَك َأْس َأُلَك ِفي ِكَتاَبِتي َفَقاَل َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َفَهْل َل ِك ِإَلى َم ا ُه َو َخْي ٌر‬
‫ِم ْنُه َقاَلْت َو َم ا ُهَو َيا َر ُسوَل ِهَّللا َقاَل ُأَؤِّدي َع ْنِك ِكَتاَبَتِك َو َأَتَزَّوُج ِك َقاَلْت َقْد َفَع ْلُت َقاَلْت َفَتَس اَم َع َتْع ِني الَّن اَس َأَّن َر ُس وَل ِهَّللا‬
‫َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َقْد َتَز َّوَج ُج َو ْيِر َيَة َفَأْر َس ُلوا َم ا ِفي َأْيِد يِهْم ِم ْن الَّسْبِي َف َأْعَتُقوُهْم َو َق اُلوا َأْص َهاُر َر ُس وِل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا‬
‫َع َلْيِه َو َس َّلَم َفَم ا َر َأْيَنا اْمَر َأًة َكاَنْت َأْع َظَم َبَر َك ًة َع َلى َقْو ِمَها ِم ْنَها ُأْع ِتَق ِفي َسَبِبَها ِم اَئُة َأْهِل َبْيٍت ِم ْن َبِني اْلُم ْص َطِلِق‬
“Juwairiyah binti Al Harits bin Al Mushthaliq menjadi milik Tsabit bin Qais bin
Syammas saat pembagian ghanimah, atau pada anak pamannya. Kemudian Juwairiyah
mengadakan perjanjian pembebasan dirinya. Ia adalah wanita menawan yang selalu
menarik perhatian orang yang memandangnya. (Aisyah berkata), ‘Kemudian ia datang
memohon bantuan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam dalam hal perjanjian
pembebasannya. Ketika ia berdiri di depan pintu dan aku melihatnya, maka aku tidak
menyukai posisinya dan aku mengetahui bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam
akan melihat dirinya seperti yang aku lihat. Kemudian Juwairiyah berkata, ‘Wahai
Rasulullah, aku adalah Juwairiyah binti Al Harits, permasalahanku sudah tuan ketahui.
Sungguh, aku telah menjadi milik Tsabit bin Qais bin Syammas dalam pembagian, dan
aku telah mengadakan perjanjian pembebasan diriku. Maka aku datang kepadamu
memohon pertolongan dalam perjanjian pembebasanku’. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
Wasallam kemudian bersabda, ‘Apakah engkau mau mengambil sesuatu yang lebih baik
dari hal itu?’ Juwairiyah bertanya, ‘Hal apakah itu wahai Rasulullah?’ Beliau bersabda,
‘Aku bayarkan perjanjian pembebasanmu dan aku akan menikahimu!’ Juwairiyah
menjawab, ‘Aku telah melakukannya (siap)’. (Aisyah berkata), ‘Kemudian orang-orang
mendengar bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam telah menikahi Juwairiyah,
mereka pun melepaskan tawanan yang ada di tangan mereka dan membebaskan mereka.
kemudian mereka berkata, ‘Para tawanan itu adalah kerabat (besan) Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Kami tidak melihat seorang wanita yang lebih besar
barokahnya bagi kaumnya dari pada dirinya, sebab karenanya seratus keluarga Bani
Mushthaliq dibebaskan’.” (HR. Abu Daud)21

21
Hadits Hasan (Shahih wa Dho’if Sunan Abi Daud, no. 3931)
NGALAP BAROKAH DENGAN ZIARAH MAKAM WALI

Selanjutnya, setelah Romli membawakan riwayat barokahnya para sesepuh alim,


Romli pun menuliskan pengalaman diskusi di Masjid At-Taqwa, Denpasar Bali. Katanya
ada seseorang yang bertanya, “Bagaimana Islam menanggapi orang-orang yang
melakukan ziarah ke makam para wali dengan tujuan mencari berkah?”

Kami tidak mengerti mengapa Romli tiba-tiba membawa masalah ziarah makam
wali -yang berarti mereka sudah meninggal dunia- tepat setelah membawakan riwayat
barokah para sesepuh yang jelas dan nyata bahwa hal itu adalah untuk para sesepuh alim
yang masih hidup. Dan itu sesuai keterangan dari para ulama dan contoh dari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi Wasallam.

Romli kembali meninggalkan kesan yang membahayakan bagi keyakinan


masyarakat Muslim dan Muslimat. Dalil barokah sesepuh alim yang masih hidup
dijadikan satu dengan dalil barokah mereka setelah meninggal dunia. Mungkin asumsi
Romli, sesuai sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bahwa para sesepuh alim
ada barokahnya, maka dianjurkan untuk ngalap barokahnya baik saat hidup ataupun
setelah meninggal dunia. Caranya, sesuka hati, asal tidak menyembah mereka. Mungkin
begitu maunya. Yang padahal, caranya adalah sebagaimana praktek Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi Wasallam dan keterangan ulama, bahwa mereka ngalap barokahnya
dengan mengambil manfaat ilmu dan pengalamannya serta tidak lupa memuliakan
mereka. Yang jelas, sejatinya dalam riwayat barokahnya para sesepuh alim adalah
diperlakukan saat mereka masih hidup yang bisa memberikan manfaatnya dengan izin
Allah Ta’ala.

Tujuan Ziarah Makam

Kembali ke cerita Romli di Bali di atas, Romli menjawab pertanyaan tersebut : Di


antara amal yang dapat mendekatkan seseorang kepada Allah subhanahu wa ta’ala adalah
ziarah makam para Nabi atau para wali. Baik ziarah tersebut dilakukan dengan tujuan
mengucapkan salam kepada mereka atau karena tujuan tabarruk (ngalap barokah) dengan
berziarah ke makam mereka. Maksud tabarruk di sini adalah mencari barokah dari Allah
subhanahu wa ta’ala dengan cara berziarah ke makam para wali.

Sebelum melanjutkan jawaban Romli ini, Kami perlu lagi menambahkan


keterangan Romli mengenai tujuan ziarah. Romli hanya menyebutkan ada dua tujuan;
tujuan mengucapkan salam kepada mereka atau karena tujuan tabarruk (ngalap barokah)
dengan berziarah ke makam mereka.
Mengucapkan salam kepada ahlul kubur adalah anjuran syar’i yang sifatnya
sunnah ketika berziarah ke makam kaum Muslimin. Dan sunnah-sunnah ziarah tentunya
bukan tujuan ziarah. Sama halnya jika masuk masjid, ada sunnah-sunnahnya dan ada pula
tujuannya. Tujuan masuk masjid bisa jadi ingin berjama’ah shalat wajib, adapun sunnah
masuk masjid dengan berdoa ketika memasukinya. Jadi, berbeda antara sunnah-sunnah
suatu amalan dengan tujuan amalan. Sekalipun kami masih memaklumi pernyataan ini.
Karena mengucapkan salam adalah bagian mendoakan penghuni kubur, dan mendoakan
mereka adalah bagian dari tujuan ziarah kubur.

Adapun tujuan ziarah kedua yang disampaikan Romli adalah untuk bertabarruk,
ngalap barokahnya mereka. Romli telah menambahkan tujuan dasar ziarah makam dari
yang pernah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam sabdakan. Pertama, tujuan ziarah
adalah untuk mengingat akhirat. Beliau bersabda,

‫ِإِّني ُكْنُت َنَهْيُتُك ْم َع ْن ِز َياَر ِة اْلُقُبوِر َفُز وُروَها َفِإَّنَها ُتَذِّك ُر ُك ْم اآْل ِخَر َة‬

“Saya pernah melarang kalian melakukan ziarah kubur, sekarang ziarahlah karena hal
itu bisa mengingatkan akhirat.” (HR. Ahmad)22

Al Munawi dalam kitabnya yang pernah dijadikan rujukan Romli pun turut
memberikan penjelasan yang sama,

‫فزيارتها مندوبة للرجال بهذا القصد‬

“Menziarahi makam adalah sunnah bagi laki-laki dengan tujuan ini (mengingat
akhirat).”23

Tujuan kedua adalah untuk mengingat kematian. Hal ini berdasarkan riwayat Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu sewaktu menceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
Wasallam menziarahi kubur ibunya, lalu Beliau menangis, sehingga orang yang berada di
sekelilingnya pun ikut menangis, baru kemudian Beliau bersabda,

‫اْسَتْأَذْنُت َر ِّبي ِفي َأْن َأْسَتْغ ِفَر َلَها َفَلْم ُيْؤ َذْن ِلي َو اْسَتْأَذْنُتُه ِفي َأْن َأُز وَر َقْبَر َها َفُأِذ َن ِلي َفُز وُروا اْلُقُبوَر َفِإَّنَها ُتَذِّك ُر اْلَم ْو َت‬

“Aku memohon izin kepada Rabb-ku untuk memintakan ampunan baginya, namun aku
tidak diizinkan. Dan aku meminta izin untuk menziarahi kuburnya lalu aku diizinkan.
Karena itu berziarahlah ke kubur, karena ia akan mengingatkan kalian akan kematian.”
(HR. Muslim)

Al Hafizh Abul Abbas Al Anshari Al Qurthubi (w. 656 H) menyatakan,

‫ فإنها تذكر الموت‬، ‫ فزوروا القبور‬: ‫ويدل مقصده قوله آخر الحديث‬

22
Hadits Hasan (Silsilah As Shahihah, no. 886)
23
Faidh Al Qadir, no. 4572
“Dan yang menunjukkan tujuannya –ziarah- Beliau adalah sabdanya pada akhir hadits :
“…berziarahlah kubur, karena ia akan mengingatkan kalian akan kematian.”24

An Nawawi menyatakan,

‫قال القاضي عياض رحمه هللا سبب زيارته صلى هللا عليه و س||لم قبره||ا أنه قص||د ق||وة الموعظ||ة وال||ذكرى بمش||اهدة‬
‫قبرها ويؤيده قوله صلى هللا عليه و سلم في آخر الحديث فزوروا القبور فانها تذكركم الموت‬

“Al Qodhi ‘Iyadh rahimahullah berkata, ‘Sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam
berziarah ke kuburan ibunya ialah karena Beliau menginginkan kuatnya mau’izhoh
(nasehat) dan peringatan dengan melihat kuburan ibunya. Hal ini dikuatkan dengan sabda
Beliau di akhir hadits, ‘Maka berziarahlah ke kubur, karena hal itu mengingatkan kalian
pada kematian’.”25

Tujuan ketiga adalah mendoakan penghuni kubur. Sebagaimana yang ditunjukkan


dalam pesan Jibril kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam,

‫َيا َر ُسوَل ِهَّللا َقاَل ُقوِلي الَّساَل ُم َع َلى َأْهِل الِّد َياِر‬ ‫ِإَّن َر َّبَك َيْأُم ُرَك َأْن َتْأِتَي َأْهَل اْلَبِقيِع َفَتْسَتْغ ِفَر َلُهْم َقاَلْت ُقْلُت َكْيَف َأُقوُل َلُهْم‬
‫َش اَء ُهَّللا ِبُك ْم َلاَل ِح ُقوَن‬ ‫ِم ْن اْلُم ْؤ ِمِنيَن َو اْلُم ْس ِلِم يَن َو َيْر َح ُم ُهَّللا اْلُم ْسَتْقِدِم يَن ِم َّنا َو اْلُم ْسَتْأِخ ِر يَن َو ِإَّنا ِإْن‬

“Allah memerintahkan agar kamu datang ke penghuni –kubur- Baqi’ dan memohonkan
ampunan bagi mereka’. Aku (Nabi) berkata, ‘Lalu apa yang kubaca sesampai di sana
wahai utusan Allah?’. Jibril menjawab, ‘Bacalah, As salaamu ‘ala ahlid diyaar minal
mukminiin wal muslimiin wa yarhamullahul mustaqdimiin minnaa wal musta’khiriin wa
innaa insya-allahu bikum laahiquun (Semoga keselamatan tercurah bagi penduduk
kampung orang-orang mukmin dan muslim ini. Dan semoga Allah memberi rahmat
kepada orang-orang yang telah mendahului kami dan orang-orang kemudian, dan kami
insya Allah akan menyusul kalian semua)’.” (HR. Muslim)

Oleh sebab itu, dari hadits-hadits dan keterangan di atas, petunjuk dasar yang
menerangkan tujuan dibolehkannya berziarah ke makam adalah mengingat akhirat,
mengingat kematian, dan mendoakan mayit. Dan para ulama sejak dahulunya sudah
mengingatkan bahwa tujuan ziarah makam adalah untuk tiga hal ini. Namun sayangnya,
Romli dkk merasa kurang dengannya sehingga menambahkan dua tujuan lagi; tujuan
mengucapkan salam dan tujuan ngalap barokah. Kami mengira bahwa Romli
menambahkannya, bukan meniadakan tiga tujuan utama yang Kami sebutkan, sekalipun
Romli tidak menuliskannya di BPBDW miliknya yang entah apa tujuannya.

Yang jelas, menurut asumsi Romli, makam wali atau orang sholeh saja diziarahi
dengan maksud ngalap barokah. Apalagi makamnya Nabi di Madinah, tentu merupakan
makam yang paling harus diziarahi untuk ngalap barokah darinya. Begitulah kaum

24
Al Mufhim Lima Usykila Min Talkhis Kitab Muslim, no. 977
25
Syarh Shahih Muslim (7/45)
ngalap. Adapun Ahlus Sunnah, mereka membenarkan fatwa imam Malik, imamnya
Madinah, kota tempat makamnya Nabi. Disebutkan,

‫ َو َناٌس َيُقوُلوَن ُز ْر َنا َقْبَر الَّنِبِّي َع َلْيِه‬: ‫ َقاَل َو َقاَل َم اِلٌك‬، ‫ َو َك اَن َم اِلٌك َيْك َرُه َأْن َيُقوَل الَّرُجُل َطَو اَف الِّز َياَر ِة‬: ‫َقاَل اْبُن اْلَقاِس ِم‬
. ‫ َفَك اَن َم اِلٌك َيْك َر ُه َهَذ ا َو ُيَع ِّظُم ُه َأْن ُيَقاَل إَّن الَّنِبَّي ُيَز اُر‬: ‫ َقاَل‬، ‫الَّساَل ُم‬

“Berkata Ibnul Qosim, ‘Adalah Malik membenci seseorang mengatakan -adanya- thowaf
ziyaroh (tradisi keliling ziaroh). Kata imam Malik, ‘Orang-orang mengatakan, ‘Kami
telah menziarahi kubur Nabi ‘alaihis salam’. Adalah Malik juga membenci ini dan
mengagungkannya sembari mengatakan bahwa Nabi itu diziarahi.”26

Imam Malik memakruhkan bahwa Nabi itu yuzaar (diziarahi).27 Tapi Romli
mensunnahkan bahwa Nabi itu yuzaar, sambil menyampaikan hadits-hadits dho’ifnya.28
Bahkan untuk tujuan ngalap barokah. Seperti inilah perbedaan Ahlus Sunnah dan kaum
ngalap barokah Romli.

Oleh sebab itu, Kami tekankan lagi bahwa sebagian makhluk-makhluk Allah baik
dari benda-benda yang tak bernyawa ataupun manusia yang bernyawa adalah
mengandung barokah yang baik untuk dicari barokahnya. Dengan catatan, semua cara
ngalapnya sesuai bagaimana lazimnya dan diterima secara medis dan logika. Untuk itulah
tujuan ziarah ke makam terbatas kepada mengingat kematian, mengingat akhirat, dan
mendokan penghuni kubur. Dan tidak ada tujuan ngalap barokah. Baik ngalap barokah
tanah kuburnya, nisannya, ataupun penghuninya para sesepuh alim.

Al ‘Allamah As Shon’ani (w. 1182 H) menegaskan,

‫َو َم ْقُص وُد ِزَياَرِة اْلُقُبوِر الُّد َعاُء َلُهْم َو اِإْل ْح َس اُن إَلْيِه ْم َو َتَذُّك ُر اآْل ِخ َرِة َو الُّز ْهُد ِفي الُّد ْنَيا َو َأَّم ا َم ا َأْح َد َثُه اْلَع اَّم ُة ِم ْن ِخ اَل ِف َه َذ ا‬
‫َك ُدَعاِئِه ْم اْلَم ِّيَت َو ااِل ْس ِتْص َر اِخ ِب ِه َو ااِل ْس ِتَغاَثِة ِب ِه َو ُس َؤ اِل ِهَّللا ِبَح ِّق ِه َو َطَلِب اْلَح اَج اِت إَلْي ِه َتَع اَلى ِب ِه َفَه َذ ا ِم ْن اْلِب َد ِع‬
.‫َو اْلَجَهااَل ِت َو َتَقَّد َم َش ْي ٌء ِم ْن َهَذ ا‬

“Tujuan melakukan ziarah kubur adalah mendoakan mereka –penghuni kubur-, dan
berbuat baik kepada mereka, serta untuk mengingat akhirat dan zuhud pada dunia.
Adapun bid’ah yang diada-adakan oleh orang-orang awam yang menyelisihi hal ini,
seperti berdoa kepada mayit, berteriak meminta pertolongan kepada mayit, beristighotsah
kepadanya, meminta kepada Allah dengan hak mayit, dan meminta dipenuhi hajat kepada
26
Al Mudawanah
27
Karena yang diziarahi seharusnya adalah masjidnya untuk sholat dan mendapatkan pahala yang berlipat
di sana. Sabda Nabi, “Sholat di masjidku lebih baik seribu kali dibanding di masjid lainnya kecuali Masjidil
Haram.”
28
Seperti, “Siapa yang haji kemudian setelah itu ziarah setelah aku wafat, maka seolah-olah dia
menziarahiku saat aku masih hidup.” Dan “Siapa yang berziarah ke makamu maka wajib mendapat
syafa’atku.” Dan lainnya. Ibnu Abdul Hadi Al Hambali (w. 744 H) telah menjelaskan ketidakabsahan
semua riwayat-riwayat terserbut sebagai hujjah. Di antaranya beliau mengatakan, “Hadits mungkarul
matan, saqithul isnad, tidak seorangpun Hafizh yang menshahihkannya dan berhujjah dengannya.” (As
Shorim Al Munki Fi Rodd ‘Ala As Subki)
Allah dengan -wasilah- mayit, maka ini adalah bid’ah dan kebodohan. Dan telah berlalu
pembahasan ini.”29

Hadits Makam Nabi Musa

Romli pun akhirnya menampilkan hujjah-hujjahnya untuk menambahkan bahwa


ziarah makam bertujuan untuk ngalap barokah. Bukan sebatas mengingatkan kematian
dan akhirat. Romli menuliskan :

Al-Hafizh Waliyyuddin al-’Iraqi berkata ketika menguraikan maksud hadits:

‫ َوِهَّللَا َلْو‬: ‫ وأن النبي َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم قال‬. ‫ َر ِّب ُاْدُنِني ِم ْن اَأْلْر ِض اْلُم َقَّد َسِة َرْمَيًة ِبَح َج ٍر‬: ‫أن موسى عليه السالم قال‬
‫َأِّني ِع ْنَد ُه َأَلَر ْيُتُك ْم َقْبَرُه إَلى َج ْنِب الَّطِريِق ِع ْنَد اْلَك ِثيِب اَأْلْح َم ِر‬
“Sesungguhnya Nabi Musa ‘alaihis salam berkata, “Ya Allah, dekatkanlah aku kepada
tanah suci sejauh satu lemparan dengan batu.” Nabi shallallahu alaihi wa sallam
bersabda: “Demi Allah, seandainya aku ada disampingnya, tentu aku beritahu kalian letak
makam Musa, yaitu di tepi jalan di sebelah bukit pasir merah.”

Ketika menjelaskan maksud hadits tersebut, al-Hafizh al-’Iraqi berkata:

‫ َو َقْد َذ َك َر الَّنِبُّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم ِلَقْب ِر الَّس ِّيِد ُم وَس ى‬، ‫َوِفيِه اْس ِتْح َباُب َم ْع ِر َفِة ُقُبوِر الَّصاِلِح يَن ِلِز َياَرِتَها َو اْلِقَياِم ِبَح ِّقَها‬
‫َع َلْيِه الَّساَل ُم َع اَل َم ًة هي َم ْو ُجوَدة ِفي َقْبٍر َم ْش ُهوٍر ِع ْنَد الَّناِس اآْل َن ِبَأَّنُه َقْبُر ُه َو الَّظاِهُر َأَّن اْلَم ْو ِضَع اْلَم ْذ ُك وَر ُهَو اَّلِذ ي َأَش اَر‬
‫إَلْيِه الَّنِبُّي َع َلْيِه الَّص اَل ُة َو الَّس اَل ُم‬

“Hadits tersebut menjelaskan anjuran mengetahui makam orang-orang saleh untuk


dizarahi dan dipenuhi haknya. Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah menyebutkan
tanda-tanda makam Nabi Musa ‘alaihis salam yaitu pada makam yang sekarang dikenal
masyarakat sebagai makam beliau. Yang jelas, tempat tersebut adalah makam yang
ditunjukkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam.” (Tharh al-Tatsrib, [3/303]).

Kami akan menjelaskan hujjah Romli dengan riwayat di atas dengan beberapa
point. Kami akan menjelaskan bahwa statemen Romli tetap lemah sekalipun berdalil
dengan kitab-kitab yang ia bawakan. Sehingga ziarah ke makam bukan bertujuan untuk
ngalap barokah.

Pertama, maksud Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam dalam riwayat makam


Nabi Musa di atas adalah ingin menunjukkan kepada para sahabatnya letak makam Nabi
Musa, dan itu merupakan kelayakan bagi mereka. Karena para sahabat sangat menjaga
ketauhidan mereka kepada Allah dari segala macam bentuk yang mengantarkan kepada
kesyirikan. Sedangkan bagi yang tidak kuat dalam menjaganya, tentunya makam Nabi

29
Subu As Salam (2/337)
Musa sangat dijauhkan dari mereka. Hal ini tergambar dari penjelasan An Nawawi (w.
676 H),

‫قال بعض العلماء وإنما سأل االدناء ولم يسأل نفس بيت المقدس النه خ||اف ان يكون ق||بره مش||هورا عندهم فيفتتن به‬
‫الناس وفي هذا استحباب الدفن في المواضع الفاضلة والمواطن المباركة والقرب من مدافن الصالحين وهللا اعلم‬

“Sebagian ulama mengatakan bahwa Musa meminta didekatkan dan tidak meminta tepat
di Baitul Maqdis. Karena beliau khawatir kuburnya akan popular bagi orang-orang dan
membuat mereka terfitnah (jatuh pada kesyirikan). Dalam hadits ini pula dianjurkan
menguburkan di tempat-tempat yang utama dan di negeri-negeri yang barokah, kemudian
mendekat dengan pemakamaman orang-orang shaleh. Wallahu a’lam.”30

Kedua, memakamkan atau minta dimakamkan dekat dengan makamnya orang


sholeh adalah dianjurkan sebagaimana pernyataan An Nawawi sebelumnya, juga dari
para ulama lainnya. Hal ini pula yang tergambar dari permintaan Abu Bakar dan Umar
bin Khattab radhiyallahu ‘anhuma untuk didekatkan dengan makam Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Umar radhiyallahu ‘anhu pun pernah meminta syahid di
bumi Madinah adalah karena Madinah merupakan negri yang barokah. Dan penjelasan
para ulama mengenai hadits Musa di atas memang menunjukkan hal seperti itu.

Oleh sebab itu, perlu diperhatikan bahwa ngalap barokah para orang sholeh tidak
dilakukan oleh mereka yang masih hidup. Namun bagi mereka yang telah meninggal
dunia, yaitu dengan kebaikan yang Insya Allah akan mereka dapat ketika berdekatan
dengan makam orang sholeh. Sebab itu pula diharamkan mayit orang kafir dimakamkan
di pemakaman kaum Muslimin.

Pemahaman seperti ini menguatkan statemen An Nawawi di atas, bahwa


kuburnya Nabi Musa tidak diketahui secara pasti agar tidak populer dan dikunjungi untuk
ditabarruki yang hal itu akan mengundang fitnah syirik pada kaum Muslimin. Untuk itu,
yang lebih benar dari keterangan Al Hafizh Al Iraqi seharusnya adalah : Dianjurkan
mengetahui makamnya orang sholeh untuk bisa berdekatan makam dengannya. Bukan
mengetahuinya untuk ziarah tabarruk kepadanya.

Kelemahan statemen Al Hafizh Al Iraqi itu bisa kita lihat pula kepada
penjelasannya yang menyatakan : Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah menyebutkan
tanda-tanda makam Nabi Musa ‘alaihis salam yaitu pada makam yang sekarang dikenal
masyarakat sebagai makam beliau. Yang jelas, tempat tersebut adalah makam yang
ditunjukkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Hal ini semakin membuktikan bahwa statemen beliau lemah dari sisi letak makam
Nabi Musa yang menurut beliau adalah jelas dan dikenal masyarakat di zamannya.
Padahal yang tampak oleh kita, bahwa makam Nabi Musa tidak ada yang bisa
30
Syarh Shahih Muslim, no. 4374
menjelaskan letaknya secara pasti. Penjelasan An Nawawi sebelumnya sudah
menyatakan bahwa makam beliau tidak dikenal. Bahkan maksudnya agar tidak ada yang
terkena fitnah syirik yang bermula dari menziarahinya. Dan ini berbeda dengan Al Hafizh
Al Iraqi yang menyatakan makam Nabi Musa dikenal masyarakat di zamannya, dan
dianjurkan mengetahuinya untuk berziarah kepadanya. An Nawawi dan Al Iraqi saling
berbeda pendapat dalam masalah ini. Dan tentunya, Ahlus Sunnah lebih memilih
pendapat An Nawawi dalam statemennya kali ini.

Statemen Al Iraqi di atas barusan pun semakin lemah karena pada catatan
setelahnya, tepatnya setelah Al Iraqi menceritakan kisah orang yang ziarah ke makam
Nabi Musa -padahal tidak jelas mana kuburnya-, kemudian doanya cepat terkabul saat
tidur di kuburnya Nabi Musa, Al Iraqi sendiri mengatakan,

‫َو َلْيَس ِفي ُقُبوِر اَأْلْنِبَياِء َم ا ُهَو ُمَح َّقٌق ِسَو ى َقْبِر َنِبِّيَنا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َو َأَّم ا َقْب ُر ُم وَس ى َفَم ْظُن وٌن ِباْلَع اَل َم ِة اَّلِتي ِفي‬
. ‫اْلَحِد يِث َو َقْبُر إْبَر اِهيَم اْلَخ ِليِل َو َم ْن َم َع ُه َع َلْيِهْم الَّساَل ُم َأْيًضا َم ْظُنوٌن ِبَم َناَم اٍت َو َنْح ِو َها‬

“Tidak ada kubur para Nabi yang tentu benar selain kuburnya Nabi kita Shallallahu
‘alaihi Wasallam. Dan adapun kuburnya Musa, ia hanya baru dugaan dengan adanya
tanda-tanda yang ada pada hadits. Kuburnya Ibrahim Al Khalil dan yang bersama beliau
‘alaihis salam juga baru dugaan dengan dalil mimpi dan sejenisnya.”31

Tampaknya ucapan Al Hafizh Al Iraqi pertama bersebarangan dengan


pernyataannya yang terakhir ini. Awalnya beliau menyampaikan bahwa masyarakat di
zamannya tahu letak makam Nabi Musa. Namun terakhir beliau menyatakan kuburnya
Nabi Musa sebatas dugaan yang tidak bisa ditentukan kepastiannya. Sangat
memungkinkan hal itu adalah karena kesimpulan beliau yang menganjurkan
mengetahuinya untuk diziarahi. Jadi, beliau mengatakan bahwa masyarakat di zamannya
mengetahui letak makam Nabi Musa. Berita yang tampak tidak valid.

Berbeda halnya jika beliau menyatakan makam Nabi Musa tidak ada yang
mengetahui secara pasti. Seyogyanya kesimpulannya pun sama dengan kesimpulan para
ulama seperti An Nawawi, Ibnu Hajar dan Ibnu Bathol, juga yang lainnya. Hal mana
ketika sepakat tidak ada yang tahu pasti letak makam Nabi Musa, mereka pun memiliki
kesimpulan bahwa hal itu dikarenakan kekhawatiran munculnya fitnah syirik yang
bermula dari populernya makam beliau. Dan itu adalah keinginan Nabi Musa yang
terkabulkan.

Statemen An Nawawi sepakat dengan kesimpulan Ibnu Hajar dan Ibnu Bathol.
Karena kebenaran dan kuatnya statemen para ulama ini, Ibnu Hajar kembali menukil dari
kitabnya Ibnu Bathol ‘Syarh Bukhori’ dan menuliskannnya di Fathul Bari beliau,

‫حكى ابن بطال عن غيره أن الحكمة في أنه لم يطلب دخولها ليعمى قبره لئال تعبده الجهال من ملته‬
31
Tharh At Tatsrib (3/303)
“Ibnu Bathol menceritakan dari ulama selain beliau, bahwa hikmah yang terkandung di
dalamnya adalah bahwa Nabi Musa tidak meminta untuk dimasukkan makamnya -ke
Baitul Maqdis-, agar makamnya tidak terlihat dan tidak disembah oleh orang-orang
bodoh dari kaumnya –Bani Israil-.”

Bahkan dalam kitab Ibnu Bathol yang dimaksud, beliau tidak lupa membawakan
riwayat terlaknatnya kaum Yahudi yang menjadikan kubur Nabi-nabi mereka sebagai
masjid. Kata beliau,

‫ ( ص|لى‬، ‫ ألن النبى‬، ‫ وهللا أعلم‬، ‫ ويقص|دونه بالتعظيم‬، ‫ لئال يعبد قبره جهال أهل ملت|ه‬، ‫( رمية بحجر ) ليعمى قبره‬
) ‫ ( لعن هللا اليهود اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد‬: ‫ أخبر أن اليهود تفعل ذلك بقوله‬، ) ‫هللا عليه وسلم‬

“(Sejauh lemparan batu) artinya agar makamnya tidak terlihat dan tidak disembah oleh
orang-orang bodoh dari kaumnya, dan merekapun mengagungkannya, wallahu a’lam.
Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam pun mengabarkan bahwa Yahudi berbuat
demikian lewat sabdanya, ‘Allah melaknat yahudi, mereka menjadikan kubur Nabi-nabi
mereka sebagai masjid’.”

Pelajaran yang diambil dari makam Nabi Musa seharusnya dijadikan contoh
untuk tidak mengetahui makam para Nabi atau orang sholeh karena adanya fitnah syirik.
Tapi tidak sebaliknya, Al Iraqi dan Romli justru menjadikannya pelajaran untuk
mengetahui makam para Nabi dan orang sholeh untuk ditabarruki. Ini, jelas perbedaan
yang amat nyata.

Hadits laknat Yahudi yang disebutkan Ibnu Bathol sudah barang tentu adalah
penjelasan masalah kubur para Nabi yang seharusnya tidak diketahui oleh kaum
Muslimin, apalagi yang punya asumsi ‘yang penting ada barokah gak peduli cara
ngalapnya bagaimana’. Juga penjelasan yang harus diperhatikan oleh Romli dan lainnya,
agar membawa riwayat makam Nabi Musa kepada menghindari tingkah laku Yahudi
yang terlaknat. Dengan harapan, Romli dan kawan-kawan tidak terjerumus kepada pola
Yahudi yang mengagungkan kubur para Nabi .

Kalau tidak demikian, Kami sangat mengkhawatirkan Romli dan ummat yang ia
pengaruhi, ketika mereka menduga-duga di sekitar Baitul Maqdis ada makam Nabi Musa,
mereka pun akan menempuh perjalanan jauh ke Baitul Maqdis untuk ngalap barokah di
sana. Sungguh, pola yang dikecam oleh An Nawawi dan Ibnu Hajar selaku ulama
Syafi’iyah dan Asy’ariyyah mereka.

Hujjah selanjutnya yang menguatkan statemen para ulama yang diikuti Ahlus
Sunnah yaitu adanya bukti para sahabat radhiyallahu ‘anhum tidak ngalap barokah pada
saat mereka tahu letak makam Nabi selain Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi
Wasallam. Yaitu makamnya Nabi Danil ‘alaihis salam.
Ibnu Katsir (w. 774 H) menceritakan dalam kitabnya Al Bidayah wa An Nihayah,
mengenai sikap para sahabat Rasulullah radhiyallahu ‘anhum terhadap makamnya Nabi
Danil.

‫وقال يونس بن بكير عن محمد بن إسحق عن أبي خلد بن دينار حدثنا أبو العالية قال لما افتتحنا تستر وج||دنا في مال‬
‫بيت الهرمزان سريرا عليه رجل ميت عند رأسه مصحف فأخذنا المصحف فحملناه إلى عمر بن الخطاب فدعا له كعبا‬
‫فنسخه بالعربية فأنا أول رجل من العرب قرأه قرأته مثل ما أقرأ القرآن هذا فقلت ألبي العالية ما كان فيه ق||ال س||يركم‬
‫وأموركم ولحون كالمكم وما هو كائن بعد قلت فما صنعتم بالرجل قال حفرنا بالنهار ثالثة عشر قبرا متفرقة فلما كان‬
‫بالليل دفناه وسوينا القبور كلها لنعميه على الناس فال ينبشونه قلت فما يرجون منه ق|ال كانت السماء إذا حبست عنهم‬
‫برزوا بسريره فيمطرون قلت من كنتم تظنون الرجل قال رجل يقال له دانيال قلت منذ كم وج|دتموه ق|د مات ق|ال منذ‬
‫ثلثمائة سنة قلت ما تغير منه شيء قال ال االشعرات من قفاه إن لحوم األنبياء ال تبليها االرض وال تأكلها السباع وه||ذا‬
‫إسناد صحيح إلى أبي العالية‬

“Berkata Yunus bin Bakir dari Muhammad bin Ishaq dari Abu Khuld bin Dinar,
‘Telah mengabarkan kepada kami Abul ‘Aliyah, beliau mengatakan, ‘Tatkala kami telah
melakukan sebuah penaklukan kota, kami mendapatkan sebuah tempat tidur di baitul mal
Hirmizan yang di dalamnya ada mayit laki-laki. Di sisi kepalanya ada mush-haf. Kami
pun mengambil mush-haf tersebut dan membawanya kepada Umar radhiyallahu ‘anhu.
Beliau kemudian memerintahkan Ka’ab untuk menuliskannya dengan bahasa Arab. Aku
(Abul Aliyah) adalah orang Arab pertama yang membacanya layaknya aku membaca Al
Qur’an ini’.

Aku (Abu Khuld) bertanya kepada Abul Aliyah, ‘Apa isinya?’

Beliau menjawab, ‘Perjalanan kalian, dialeg bahasa kalian dan urusan-urusan


kalian yang akan terjadi nanti.’

Aku (Abu Khuld) bertanya lagi, ‘Apa yang kalian perbuat dengan mayit laki-laki
tadi?’

Beliau menjawab, ‘Kami menggali tiga belas kubur yang berbeda untuknya di
waktu siang. Ketika malamnya tiba, kami menguburkannya, dan meratakan seluruh kubur
tersebut. Tujuan kami adalah membuat orang-orang tidak mengenal letaknya dan tidak
pula membongkarnya.’

Aku (Abu Khuld) bertanya lagi, ‘Memangnya apa yang orang-orang harapkan
darinya?’

Beliau menjawab, ‘Apabila langit menahan hujan untuk mereka, mereka


mengeluarkan tempat tidurnya kemudian hujan.’

Aku (Abu Khuld) bertanya lagi, ‘Menurut kalian, siapa sosok mayit laki-laki itu?’

Beliau menjawab, ‘Dia adalah seorang laki-laki yang disebut Danil.’


Aku (Abu Khuld) bertanya lagi, ‘Sejak kapan kalian mendapatinya dalam kondisi
telah meninggal dunia?’

Beliau menjawab, ‘Sejak tiga ratus tahun.’

Aku (Abu Khuld) bertanya lagi, ‘Apa ada yang berubah darinya?’

Kata beliau, ‘Tidak, kecuali hanya bulu tengkuknya. Sungguh daging para Nabi
tidak dirusak tanah, dan tidak pula dimakan binatang buas.’.”

Riwayat kisah ini sanadnya shahih kepada Abul ‘Aliyah.”32

---***---

Para sahabat radhiyallahu ‘anhum tentunya lebih utama diikuti daripada para
ulama yang terkesan berbeda pendapat dengan mereka. Para sahabat yang jelas-jelas
mengerti kuburannya Nabi saja tidak menjadikannya sebagai lapak ngalap barokah.
Mereka pun membuat banyak kuburan Nabi Danil tersebut dengan harapan orang-orang
tidak mengerti dan akhirnya tidak terkena fitnah kesyirikan menyangkut kubur para Nabi.

Inilah yang membuat lemahnya statemen Al Hafizh Al Iraqi yang disampaikan


Romli dalam hujjahnya membenarkan tradisi ngalap barokah di kubur para Nabi . Al
Hafizh Al Iraqi menyatakan dianjurkan ‘mengetahui’ kuburnya orang-orang sholeh untuk
diziarahi, sedangkan para sahabat menganjurkan untuk tidak mengetahui kuburnya
mereka untuk diziarahi.

Sikap yang ditunjukkan Abul ‘Aliyah tentunya mewakili pendapatnya para


sahabat radhiyallahu ‘anhum. Beliau dikategorikan Ibnu Hajar Al Asqolani (w. 852 H)
dan masuk bagian daftar Shohabah dalam kitabnya Al Ishobah Fi Tamyiz As Shohabah.
Sekalipun di dalamnya disebutkan bahwa Abul ‘Aliyah mengaku masuk Islam dua tahun
setelah wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Sebagaimana yang
disampaikan Abu Khuld sendiri, periwayat kisah Abul ‘Aliyah dengan makam Nabi
Danil sebelumnya. Artinya beliau adalah Kibar Tabi’in merujuk pernyataannya Al ‘Ajali
dalam kitab yang sama.33

Ketika lemahnya statemen Al Hafizh Al Iraqi yang menganjurkan mengetahui


makam orang-orang sholeh untuk diziarahi, statemen beliau pun semakin lemah ketika
mengetahui Romli menjadikannya hujjah ngalap barokah. Entah itu asumsi Romli semata
atas tulisan Al Iraqi, atau Al Iraqi juga menghendaki demikian. Al Iraqi hanya
menyebutkan : “Hadits tersebut menjelaskan anjuran mengetahui makam orang-orang
saleh untuk dizarahi dan dipenuhi haknya. Ziarah ke makam mereka adalah untuk ngalap
barokah menurut Romli.
32
Al Bidayah wa An Niahayah (2/40)
33
Al Ishobah Fi Tamyiz As Shohabah, no. 10322
Menurut Ahlus Sunnah, hadits makam Nabi Musa saja harus dibawa kepada
pemahaman para salaf dan bukan pemahaman Al Iraqi yang menyatakan dianjurkan
mengetahui dan menziarahi makam orang sholeh, malah Romli menafsirkan apa yang
tidak disebut Al Iraqi secara eksplisit. Ziarah diartikan Romli untuk ngalap barokah.

Hadits Al Bazzar ‘Nabi melihat dosa ummatnya dan memohonkan ampun’

Untuk menguatkan asumsinya di atas, Romli menuliskan lebih lanjut,

Di sini mungkin ada yang bertanya, adakah dalil yang menunjukkan bolehnya
ziarah kubur dengan tujuan tabarruk dan tawassul? Sebagaimana dimaklumi, tabarruk itu
punya makna keinginan mendapat berkah dari Allah subhanahu wa ta’ala dengan
berziarah ke makam Nabi atau wali. Kemudian para Nabi itu meskipun telah pindah ke
alam baka, namun pada hakekatnya mereka masih hidup. Dengan demikian, tidak
mustahil apabila mereka merasakan datangnya orang yang ziarah, maka mereka akan
mendoakan peziarah itu kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam bersabda:

‫اَأْلْنِبَياُء َأْح َياٌء ِفي ُقُبوِر ِهْم ُيَص ُّلوَن‬

“Para Nabi itu hidup di alam kubur mereka seraya menunaikan shalat.” (HR. al-Baihaqi
dalam Hayat al-Anbiya’).

Sebagai penegasan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang telah wafat,
dapat mendoakan orang yang masih hidup, adalah hadits berikut ini:

‫حياتي خير لكم ووفاتي لكم خير تحدثون فيحدث لكم فإذا أنا مت عرضت علي أعمالكم فإن رأيت خيرا حمدت هللا وإن‬
‫رأيت شرا استغفرت هللا لكم‬

“Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda: “Hidupku lebih baik bagi kalian. Kalian berbuat sesuatu, aku dapat
menjelaskan hukumnya. Wafatku juga lebih baik bagi kalian. Apabila aku wafat, maka
amal perbuatan kalian ditampakkan kepadaku. Apabila aku melihat amal baik kalian, aku
akan memuji kepada Allah. Dan apabila aku melihat sebaliknya, maka aku memintakan
ampun kalian kepadaAllah.” (HR. al-Bazzar, [1925]).

---***---

Romli menjadikan riwayat hidupnya para Nabi di alam kuburnya sebagai dalil
bahwa para Nabi atau orang sholeh yang diziarahi akan mendoakan para peziarahnya.
Doa atau istighfar para Nabi dan orang sholeh yang diklaim tetap hidup dalam kuburnya
itu memiliki sebab yang tiada lain ialah karena mereka diziarahi. Terlihat dalam tulisan
Romli : Dengan demikian, tidak mustahil apabila mereka merasakan datangnya orang
yang ziarah, maka mereka akan mendoakan peziarah itu kepada Allah subhanahu wa
ta’ala.

Karena sebab menziarahi makamnya para Nabi , maka para Nabi pun mendoakan
peziarah. Begitu kesan tulisan Romli. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam
sendiri bersabda dalam amalan sholawat, tidak perlu bersholawat dengan ziarah ke
makam Nabi. Karena sholawat ummat Islam insya Allah akan sampai kepada Beliau
Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Beliau bersabda,

‫َو اَل َتْج َع ُلوا َقْبِر ي ِع يًدا َو َص ُّلوا َع َلَّي َفِإَّن َص اَل َتُك ْم َتْبُلُغ ِني َح ْيُث ُكْنُتْم‬

“Dan jangan kalian jadikan kuburanku sebagai ‘ied (hari raya, yakni tempat yang selalu
dikunjungi), dan bershalawatlah kepadaku, sesungguhnya shalawat kalian akan sampai
kepadaku di manapun kalian berada.” (HR. Abu Daud)34

Setelah baginda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam melarang kuburnya


dijadikan tempat yang dirayakan yang selalu dikunjungi, Beliau pun menyampaikan tepat
setelahnya bahwa sholawat yang disampaikan ummatnya kepada Beliau, insya Allah
akan sampai sekalipun tidak berada di sisi makam Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
Wasallam. Pesannya adalah Rasulullah memberikan solusi jitu kepada ummatnya agar
tidak menjadikan kuburnya sebagai tempat yang selalu dikunjungi dengan cara
bersholawat di rumah atau di mana saja. Karena menjadikan kubur Beliau sebagai ‘ied,
seringnya bermula untuk bersholawat kepada Beliau dan lain-lain. Maka agar kubur
Beliau tidak menjadi ‘ied dengan banyaknya orang yang datang yang bersholawat dan
amalan lainnya, Beliau pun menyatakan, bahwa sholawat di tempat selain di makam
Beliau pun akan sampai dengan izin Allah.

An Nawawi (w. 676 H) –sebagaimana yang lalu- pernah menjadikan dalil yang
telah kami singgung barusan dalam membantah pernyataan Romli. Kata beliau,

‫وعن أبي هريرة رضي هللا عنه ق|ال ق|ال رس|ول هللا ص|لى هللا عليه وس|لم (ال تجعلوا ق|بري عبدا وص|لوا علي ف|ان‬
‫ وقال الفضل ابن عياض رحمه هللا ما معناه اتبع ط||رق‬.‫صالتكم تبلغني حيث ما كنتم) رواه أبو داود باسناد صحيح‬
‫الهدى وال يضرك قلة السالكين وإياك وطرق الضاللة وال تغتر بكثرة الهالكين ومن خطر بباله أن المسح باليد ونح||وه‬
‫أبلغ في البركة فهو من جهالته وغفلته الن البركة إنما هي فيما وافق الشرع وكيف ينبغي الفضل في مخالفة الصواب‬

“Dan dari Abu Hurairoh radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam
bersabda, ‘Jangan kalian jadikan kuburku sebagai ‘ied, dan bersholawatlah untukku,
karena sholawat kalian akan sampai kepadaku di manapun kalian berada’. Diriwayatkan
oleh Abu Daud dengan sanad yang shahih. Fudhail bin Iyadh rohimahullah berkata
mengenai makna hadits tersebut, ‘Ikutilah jalan-jalan petunjuk, dan tidak akan
membuatmu celaka dengan sedikitnya orang yang mengikuti langkah itu. Dan jauhilah
jalan-jalan kesesatan, dan jangan gentar dengan banyaknya orang yang menyimpang.
34
Hadits Shahih (Fathul Bari,
Siapa saja yang terbetik dalam benaknya bahwa mengusap dengan tangan dan semisalnya
lebih mendatangkan barokah, maka keyakinan itu tidak lain bersumber dari kebodohan
dan kelalaiannya. Sebab barokah itu hanya bisa didapat dengan melaksanakan syari’at.
Bagaimana mungkin keutamaan diupayakan dengan perbuatan yang bertolakbelakang
dengan kebenaran!’.”35

Statemen An Nawawi yang dimentahkan Romli ini, membuat dia menguatkan


hujjahnya dengan menampilkan dalil bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam
berdoa ketika telah wafat. Haditsnya yaitu : “..Wafatku juga lebih baik bagi kalian.
Apabila aku wafat, maka amal perbuatan kalian ditampakkan kepadaku. Apabila aku
melihat amal baik kalian, aku akan memuji kepada Allah. Dan apabila aku melihat
sebaliknya, maka aku memintakan ampun kalian kepada Allah.” (HR. al-Bazzar)

Dari segi keilmuwan tahqiq hadits, riwayat yang bersumber dari Musnad Al
Bazzar (no. 1925) ini, ia termasuk hadits dho’if yang tidak bisa dijadikan sebagai hujjah
dalam masalah akidah. Jika kita perhatikan, riwayat di atas memiliki dua jalur sejauh
yang kami pahami. Jalur pertama dari seorang tabi’in, Bakar bin Abdullah Al Muzni.
Jalur kedua dari sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Dan keduanya sama-
sama bermasalah sesuai studi hadits yang kami ketahui. Hanyasaja, Romli lebih memilih
dalam tulisan di BPBDW dengan menisbatkannya kepada sahabat Abdullah bin Mas’ud
yang meriwayatkannya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam.

Jalur pertama dari seorang tabi’in Bakar bin Abdullah Al Muzni sudah barang
tentu menjadikan hadits tersebut sebagi hadits mursal. Karena tidak bisa dinisbatkan
kepada sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam kecuali dari seorang sahabat.
Tabi’in tentunya tidak mendengar secara langsung dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
Wasallam.36

Ibnu Abdul Hadi Al Hambali (w. 744 H) dalam kitab bantahannya terhadap
tulisan As Subki,37 yaitu As Sharim Al Munki menyatakan,

‫ عن‬،‫ هذا خبر مرسل رواه القاضي إسماعيل بن إسحاق في كتاب فضل الصالة على النبي صلى هللا عليه وس||لم‬: ‫قلت‬
، ‫ وهذا إسناد ص||حيح إلى بكر المزني‬، ‫ عن غالب القطان عن بكر بن عبد هللا‬، ‫ عن حماد بن زيد‬، ‫سليمان بن حرب‬
‫وبكر من ثقات التابعين وأثمتهم‬

“Aku katakan bahwa riwayat ini adalah mursal. Ia diriwayatkan oleh Al Qodhi Isma’il
bin Ishaq dalam kitabnya Fadhlu As Sholah ‘Ala An Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam,
35
Al Majmu’ (8/275)
36
Mursal ialah bagian dari hadits dho’if yang diriwayatkan oleh seorang perawi langsung disandarkan
kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam, tanpa menyebutkan nama orang (sahabat) yang menceritakan
kepadanya.
37
Kitab As Subki berjudul: Syifaa’u As Saqom Fi Ziaroh Khoiri Al Anaam (Obat sakit dalam ziarah kepada –
kubur- sebaik-baik manusia). Yang sebelumnya beliau beri judul Syannu Al Ghoroh ‘Ala Man Ankaro Safar
Az Ziyaroh (Menyerang siapa yang mengingkari safar ziarah kubur –Nabi-)
dari Sulaiman bin Harb dari Hammad bin Zaid dari Ghalib Al Qatthan dari Bakar bin
Abdullah. Sanad ini shahih kepada Bakar Al Muzni. Dan Bakar sendiri termasuk perowi
tabi’in yang tsiqqah.”38

Jika memang yang tepat bahwa riwayat ini adalah dari Bakar bin Al Muzni, sudah
tentu tidak dapat dijadikan hujjah karena ia adalah mursal, dan mursal adalah bagian dari
hadits dho’if yang tidak bisa dijadikan hujjah dalam masalah akidah. Ibnu Katsir (w. 774
H) menyatakan,

‫ وق||د ذكر‬. " ‫ وق||د أش||بعنا الكالم في ذل||ك في كتابنا " المق||دمات‬،‫ فذلك يتعلق بعلم األصول‬،‫وأما كونه حجة في الدين‬
‫مسلم في مقدمة كتابه " أن المرسل في أصل قولنا وقول أهل العلم باألخبار ليس بحجة " وكذا حكاه ابن عبد ال||بر عن‬
‫ هو الذي استقر‬،‫ وما ذكرناه من سقوط االحتجاج بالمرسل والحكم بضعفه‬:‫ وقال ابن الصالح‬.‫جماهة أصحاب الحديث‬
‫ واالحتج||اج به مذهب مال||ك وأبي حنيف||ة‬:‫ ق||ال‬.‫ وت||داولوه في تص||انيفهم‬،‫عليه آراء جماعة حفاظ الحديث ونقاد األث||ر‬
.‫ وهللا أعلم‬.‫وأصحابهما في طائفة‬

“Adapun keabsahannya menjadi hujjah dalam syari’at, maka hal itu berkaitan dengan
ilmu ushul. Dan sudah banyak kami sampaikan di dalam kitab kami Al Muqoddimat.
Muslim juga telah menyatakan dalam muqoddimah kitabnya, ‘Sesungguhnya mursal
pada dasarnya menurut pendapat kami dan pendapat ulama adalah bagian dari hadits-
hadits yang tidak dapat dijadikan hujjah’. Begitupula yang telah diceritakan oleh Ibnu
Abdil Barr dari jama’ah ulama hadits. Berkata Ibnu Sholah, ‘Dan apa yang telah kami
sampaikan dari ketidak-absahannya berhujjah dengan mursal dan hukumnya yang dho’if
adalah ditetapkan dari pendapat jama’ah para Hafizh hadits dan para Naqid (pengkritis)
atsar, dan mereka sering menuliskannya di buku-buku tulisan mereka’. Beliau berkata
juga, ‘Yang berhujjah dengannya adalah madzhab Malik dan Abu Hanifah dan para
sahabat mereka berdua dalam suatu kelompok’.”39

Al Khotib Al Baghdadi juga telah menyebutkan beberapa pendapat ulama


kemudian menyimpulkan,

‫والذي نختاره من هذه الجملة سقوط فرض العمل بالمراسيل وان المرسل غير مقبول والذي ي||دل على ذل||ك ان إرس||ال‬
‫الحديث يؤدي الى الجهل بعين راويه ويستحيل العلم بعدالته مع الجهل بعينه وقد بينا من قبل انه ال يج||وز قبول الخ||بر‬
‫اال ممن عرفت عدالته فوجب لذلك كونه غير مقبول‬

“Dan yang kami pilih dari pembahasan ini adalah menolak wajibnya mengamalkan hadits
mursal. Karena sesungguhnya hadits mursal tidak diterima. Dan yang menunjukkan hal
itu adalah bahwa meriwayatkan hadits dengan mursal berarti tidak tahu terhadap identitas
perowinya, sehingga mustahil diketahui sifat ‘adalah-nya karena tidak diketahui
identitasnya. Kami telah menjelaskan barusan bahwa tidak boleh menerima hadits kecuali

38
As Sharim Al Munki Fi Radd ‘Ala As Subki, hal. 204
39
Al Ba’its Al Hatsis, hal. 6. Disebutkan pula oleh Al Hafizh Al Iraqi dalam At Taqyid wa Al Idhoh.
dari orang yang diketahui sifat ‘adalah-nya, sehingga mengharuskan dinyatakan bahwa
hadits tersebut -mursal- tidak diterima.”40

Adapun jika disangka bahwa riwayat Bakar Al Muzni yang mursal ini dianggap
sebagai hadits yang naik menjadi hasan karena dikuatkan oleh riwayat Abdullah bin
Mas’ud, maka sama saja tidak bisa diterima. Karena riwayat mursal bisa naik menjadi
hadits hasan apabila dikuatkan tidak dengan hadits yang syadz dan mu’allal. Seperti ini
yang dinyatakan ahli hadits Tirmidzi dan kebanyakan ulama lainnya. Dan jika kita
melihat riwayat Abdullah bin Mas’ud sebelumnya, maka ia bagian dari riwayat yang
syadz. Karena adanya periwayat bernama Abdul Majid bin Abdul Aziz bin Abu Rawwad.
Dari periwayatannya lah muncul tambahan hadits lemah ini. Sedangkan yang sama-sama
dari Abdullah bin Mas’ud dalam riwayat An Nasai, tidak ditemukan tambahan ini dan
tidak ada pula Abdul Majid bin Abdul Aziz bin Abu Rawwad.

Abdul Majid bin Abdul Aziz bin Abu Rawwad meriwayatkan hadits yang
dimaksud dari Sufyan. Sekalipun Abdul Majid bin Abdul Aziz bin Abu Rawwad perowi
yang tsiqqah menurut sebagian, dalam hadits ini dia menyelisihi dari riwayat perowi lain
yang sama-sama mengambil dari Sufyan. Dalam riwayat An Nasaai, hadits ini
diriwayatkan oleh Abdullah bin Mubarok dari Sufyan Ats Tsauri. Juga dari Waki’ dan
Abdurrazzaq serta Mu’adz bin Mu’adz. Semuanya tanpa tambahan yang diriwayatkan
Abdul Majid. Oleh sebab itu, dalam riwayat ini Abdul Majid tafarrud (sendiri) dalam
riwayatnya karena menyelisihi riwayat lain yang sama-sama mengambilnya dari Sufyan.

Dari kesimpulan di atas, riwayat tambahan dari Abdul Majid adalah tidak benar
dinisbatkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Tambahan itu hanya berasal
dari Abdul Majid saja. Karena Al Bazzar yang meriwayatkannya pun mengatakan,
“Hadits ini, kalimat terakhir tidak kami ketahui diriwayatkan dari Abdullah kecuali dari
jalur sanad ini.”41 Artinya, riwayat ini dinisbatkan dari Abdullah bin Mas’ud bahwa
beliau mendapatkannya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam hanya berasal dari
riwayat ini yang di dalamnya ada Abdul Majid bin Abdul Aziz bin Abu Rawwad.

Ketika Al Bazzar menyatakan bahwa kalimat yang akhir adalah dari Abdullah bin
Mas’ud hanya dari jalur yang ada Abdul Majid bin Abdul Aziz bin Abu Rawwad ini, itu
menandakan kalimat yang di awalnya adalah dari Abdullah bin Mas’ud memiliki banyak
jalur. Dan terbukti –sebagaimana yang kami sampaikan sebelumnya- dalam riwayat An
Nasaai, kalimat awal memang dari Abdullah bin Mas’ud dengan banyak periwayat. Tapi
kalau riwayat yang diangkat Romli dalam BPBDW-nya, itu hanya dari Abdul Majid bin
Abdul Aziz bin Abu Rawwad. Sehingga tepatlah jika Abdul Majid menyelisihi (tafarrud)
dalam hal ini.

40
Al Kifayah Fi ‘Ilmi Ar Riwayah, hal. 387
41
Musnad Al Bazzar, no. 1925
Mengapa Abdul Majid menyelisihi? Karena riwayat yang diangkat Romli ini
bukan dua hadits yang berbeda. Melainkan satu hadits yang sama. Kelengkapannya akan
kami cantumkan saja dari Musnad Al Bazzar sebelumnya,

، ‫ َع ْن َع ْبِد ِهللا ْبِن الَّس اِئِب‬، ‫ َع ْن ُس ْفَياَن‬، ‫ َح َّد َثَنا َع ْبُد اْلَمِج يِد ْبُن َع ْبِد اْلَع ِز يِز ْبِن َأِبي َر َّواَد‬: ‫ َقاَل‬، ‫َح َّد َثَنا ُيوُس ُف ْبُن ُم وَس ى‬
: ‫ ِإَّن ِهَّلِل َم َالِئَك ًة َس َّياِح يَن ُيَبِّلُغ وِني َع ْن ُأَّمِتي الَّس َالَم َق اَل‬: ‫ َع ِن الَّنِبِّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َقاَل‬، ‫ َع ْن َع ْبِد ِهللا‬، ‫َع ْن َز اَذ اَن‬
، ‫ َو َو َفاِتي َخْيٌر َلُك ْم ُتْع َر ُض َع َلَّي َأْع َم اُلُك ْم‬، ‫ َحَياِتي َخْيٌر َلُك ْم ُتَح ِّد ُثوَن َو ُنَح ِّد ُث َلُك ْم‬: ‫َو َقاَل َر ُسوُل ِهللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم‬
‫ َو َهَذ ا اْلَحِد يُث آِخ ُر ُه َال َنْع َلُم ُه ُي ْر َو ى َع ْن َع ْب ِد‬. ‫ َو َم ا َر َأْيُت ِم َن َش ٍّر اْسَتْغ َفْر ُت َهَّللا َلُك ْم‬، ‫َفَم ا َر َأْيُت ِم َن َخْيٍر َحِم ْدُت َهَّللا َع َلْيِه‬
. ‫ِهللا ِإَّال ِم ْن َهَذ ا اْلَو ْج ِه ِبَهَذ ا اِإل ْسَناِد‬

“Telah mengabarkan kepada kami Yusuf bin Musa. Ia berkata, ‘Telah mengabarkan
kepada kami Abdul Majid bin Abdul Aziz bin Abu Rawwad dari Sufyan dari Abdullah
bin As Saib dari Zadzan dari Abdullah bin Mas’ud dari Nabi Shallallahu ‘alaihi
Wasallam, Beliau bersabda, ‘Sesungguhnya Allah memiliki Malaikat Sayyahiin (yang
berkeliling) di bumi. Mereka menyampaikan salam dari umatku kepadaku.’ Dia
(Abdullah) berkata, ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda, ‘Hidupku lebih
baik bagi kalian. Kalian berbuat sesuatu, aku dapat menjelaskan hukumnya.Wafatku
juga lebih baik bagi kalian. Apabila aku wafat, maka amal perbuatan kalian
ditampakkan kepadaku. Apabila aku melihat amal baik kalian, aku akan memuji kepada
Allah. Dan apabila aku melihat sebaliknya, maka aku memintakan ampun kalian kepada
Allah’.” Hadits ini, kalimat yang akhir tidak kami ketahui diriwayatkan dari Abdullah
kecuali dari jalur sanad ini.”42

Ibnu Katsir juga menegaskan kembali dalam kitabnya Al Bidayah wa An


Nihayah,

‫وقد قال الحافظ أبو بكر البزار حدثنا يوسف ابن موسى ثنا عبد الحميد بن عبد العزيز بن أبي رواد عن سفيان عن عبد‬
‫هللا بن السائب عن زاذان عن عبد هللا ه||و ابن مسعود عن النبي ص||لى هللا عليه و س||لم ق||ال إن هلل مالئكة س||ياحين‬
‫يبلغوني عن أمتي السالم قال وقال رسول هللا صلى هللا عليه و سلم حياتي خير لكم تحدثون ويح||دث لكم ووف||اتي خ||ير‬
‫لكم تعرض علي أعمالكم فما رأيت من خ|ير حمدت هللا عليه وما رأيت من ش|ر اس|تغفرت هللا لكم ثم ق|ال ال|بزار لم‬
‫قلت وأما أوله وهو قوله عليه السالم إن هلل مالئكة سياحين يبلغ||وني‬. ‫نعرف آخره يروى عن عبد هللا إال من هذا الوجه‬
‫عن أمتي السالم فقد رواه النسائي من طرق متعددة عن سفيان الث|وري وعن االعمش كالهما عن عبد هللا بن السائب‬
‫عن أبيه‬

“Berkata Al Hafizh Abu Bakar Al Bazzar, ‘Telah mengabarkan kepada kami Yusuf bin
Musa… (sampai akhir ucapan Al Bazzar dalam musnadnya seperti di atas).

Aku (Ibnu Katsir) mengatakan, ‘Adapun kalimat yang pertama adalah sabda Nabi ‘alaihis
salam: ‘Sesungguhnya Allah memiliki Malaikat Sayyahiin (yang berkeliling) di bumi.
Mereka menyampaikan salam dari umatku kepadaku.’ An Nasaai telah meriwayatkannya

42
Musnad Al Bazzar, no. 1925
dari jalur yang berbeda-beda yang semuanya dari Sufyan dan dari Al A’masy. Dan
keduanya pun dari Abdullah bin As Saib dari ayahnya.”43

Keterangan ini menyampaikan bahwa riwayat Abdul Majid bin Abdul Aziz bin
Abu Rawwad yang menambahkan kalimat yang dijadikan hujjah Romli dalam bukunya
BPBDW, sejatinya adalah satu hadits dengan riwayat yang dikeluarkan oleh An Nasaai.
Sebab itulah statemen As Saqaf (guru kaum ngalap barokah di Hadhromaut) yang
menyatakan bahwa riwayat An Nasaai berbeda dengan riwayat Al Bazzar, terbantahkan
dari penjelasan Ibnu Katsir dan Al Bazzar sendiri. As Saqaf melakukannya karena ia juga
seperti Romli yang menjadikan dalil bahwa Rasulullah mendoakan para peziarah
kuburnya. As Saqaf yang mungkin juga diikuti oleh Romli, menyangka bahwa riwayat di
atas adalah berbeda. Sehingga riwayat Abdul Majid bin Abdul Aziz bin Abu Rawwad
yang ada tambahannya harus diterima. Karena Abdul Majid adalah perowi Muslim.
Romli dan As Saqaf sama-sama tidak menampilkan kalimat pertama yang diriwayatkan
An Nasaai, boleh jadi karena menganggap hadits itu adalah dua yang berbeda.44

Oleh sebab itu pula kami mengatakan bahwa Al Hafizh Al Bazzar pun melakukan
tafarrud. Beliau menampilkan riwayat tambahan ini dalam musnadnya yang jelas berbeda
dengan riwayat lain, padahal satu hadits. Sekalipun beliau menyatakan bahwa tambahan
tersebut hanya ada pada sanad yang di dalamnya ada Abdul Majid bin Abdul Aziz bin
Abu Rawwad saja, tentunya sikap ini membahayakan dalam keilmuan hadits. Karena
dikhawatirkan tambahannya akan diyakini sebagai hadits yang dapat diterima.

Al Hafizh Al Bazzar, sekalipun beliau seorang Al Hafizh dalam kesarjanaan ilmu


hadits, namun tidak semua yang beliau nyatakan adalah sebuah kebenaran. Terbukti, saat
beliau meriwayatkan hadits dalam musnadnya sewaktu di Mesir dengan hafalannya,
terdapat banyak kesalahan hadits.

Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqolani (w. 852 H) menyebutkan tentang Al Bazzar


dalam Lisan Al Mizan-nya, “Ahmad bin ‘Amru bin Abdul Khaliq Al Hafizh Abu Bakar
Al Bazzar, pemilik musnad yang tebal, shoduq lagi masyhur. Berkata Abu Ahmad Al
Hakim, ‘Dia keliru dalam masalah sanad dan matan’. Al Hakim mengatakan, ‘Aku
bertanya kepada Ad Daruquthni mengenainya, ia pun mengatakan, ‘Dia keliru dalam
sanad dan matan, dia meriwayatkan hadits di Mesir dengan hafalannya, juga dengan
melihat kitab-kitab yang ada pada orang-orang kemudian mengeluarkannya sebagai
hadits dengan hafalannya tanpa ada kitab bersamanya. Sehingga ia pun keliru dalam
banyak hadits. An Nasaai juga men-jarh-nya, bahwa ia tsiqqah tapi sering keliru.”45

43
Al Bidayah wa An Nihayah,
44
Lihat karya As Saqof, ‘Al Ighotsah Bi Adillah Al Istighotsah’ (Pertolongan dengan dalil-dalil Istighotsah),
hal. 11
45
Lisan Al Mizan, no. 750
Terakhir, Romli atau siapa saja yang mau menguatkan riwayat Al Bazzar ini akan
menyatakannya sebagai hadits shahih dengan komentar Al Haitsami dalam Majma’-nya,
“Ia diriwayatkan oleh Al Bazzar, dan para perowinya adalah perowi shahih.” 46 Atau As
Suyuthi dalam Al Khashaish Al Kubro (2/281) yang menyatakan sanadnya shahih. Atau
juga dari Al Iraqi dalam Tharhu At Tatsrib (3/297) yang menyatakan sanadnya jayyid.

Seperti yang dilakukan Sayyid Muhammad bin ‘Alwi Al Maliki dalam bukunya
Mafahim Yajibu An Tushohhah. Hal mana buku ini adalah buku yang menjadi rujukan
penting para pelaku ngalap, termasuk Romli. Dalam bukunya yang sudah diterjemahkan
menjadi ‘Paham-paham Yang Harus Diluruskan’ tesebut, Ibnu ‘Alwi pun menampilkan
riwayat tambahan ini sebagai dalilnya dalam masalah ngalap barokah. Ibnu ‘Alwi tidak
lupa membawakan komentar Al Haitsami kemudian mengatakan, “Dia (Al Haitsami)
menshahihkannya. Dan ini begitu jelas, bahwa Rasulullah memintakan ampun untuk
ummatnya di alam barzakh, istighfar tersebut adalah bagian dari doa, dan ummat
mendapatkan manfaat dengannya.”47

Sebab itu kami sampaikan bahwa pernyataan Al Haitsami ‘Perowinya adalah


perowi shahih’ dan yang lainnya, bukan serta-merta mengandung makna bahwa hadits
tersebut shahih. Sehingga tidak bisa mengatakan bahwa Al Haitsami menshahihkannya.
Karena beliau dengan pernyataannya tersebut hanya mengabarkan derajat para periwayat
yang tsiqqah. Mereka, sekalipun periwayat dalam kitab Shahih tidak pula dihukumi
haditsnya shahih. Karena keshahihan hadits dengan shahihnya sanad membutuhkan
pengetahuan terhadap ittishal (bersambung)nya periwayat atau terputus. Tidak pula di
dalam sanad ada perowi yang mudallis (pemalsu) hadits yang ia riwayatkan dengan
‘an’anah (pakai kalimat ‘an atau dari fulan dari fulan).

Sebagai bukti bahwa Al Haitsami hanya menyatakan para perowinya tsiqqah dan
bukan menghukumi haditsnya shahih adalah komentar gurunya Al Haitsami sendiri yaitu
Abul Fadhl Al Iraqi (w. 806 H) tentang salah satu periwayatnya yang dho’if. Dan ini
menunjukkan penilaian beliau setelah sebelumnya menyatakan, ‘Sanadnya jayyid’. 48 Kata
beliau,

‫البزار من حديث عبد هللا بن مسعود ورجاله رجال الصحيح إال أن عبد المجيد بن عبد العزيز بن أبي رواد وإن أخرج‬
‫له مسلم ووثقه ابن معين والنسائي فقد ضعفه كثيرون ورواه الحارث بن أبي أس||امة في مسنده من ح||ديث أنس بنح||وه‬
‫بإسناد ضعيف‬

“Hadits Al Bazzar dari hadits Abdullh bin Mas’ud. Perowinya memang perowi shahih.
Kecuali Abdul Majid bin Abu Rowaad, sekalipun ia dikeluarkan oleh Muslim dan
ditsiqqahkan oleh Ibnu Ma’in dan An Nasaai, namun kebanyakan mereka -ulama hadits-

46
Majma’ Zawaid, no. 14250
47
Mafahim Yajjibu An Tushohhah, hal. 57
48
Thorh At Tatsrib (3/297)
mendho’ifkannya. Al Harits bin Abu Usamah juga meriwayatkan darinya dalam
musnadnya dari hadits Anas dengan sanad yang dho’if pula.”49

Bahkan Abdul Majid bin Abdul Aziz bin Abu Rawwad ini adalah seorang yang
pernah memalsukan riwayat atas pembelaannya terhadap Murjiah. Ibnu Hibban dalam
kitabnya Al Majruuhin (daftar periwayat yang majruh/cacat kredibilitasnya) menuliskan,

‫ ي||روى وه||و ال||ذي روى عن ابن ج||ريج عن‬، ‫ كنيته أبو عبد الحميد‬: ‫عبد المجيد بن عبد العزيز بن أبي رواد المكى‬
‫ روى عنه ه||ذه‬.‫ القدرية كفر والشيعة هلكة والحرورية بدعة َو َم ا نعلم الحق إال في المرجئة‬: ‫عطاء عن ابن عباس قال‬
‫ وهذا شيء موضوع ما قاله ابن عباس وال عطاء رواه وال ابن جريج حدث به‬، ‫الحكاية عصام بن يوسف البلخى‬

“Abdul Majid bin Abdul Aziz bin Abu Rawwad Al Makki : Kun-yahnya Abu Abdul
Hamid. Diceritakan bahwa dia lah yang meriwayatkan yang katanya dari Ibnu Juraij dari
Atho’ dari Ibnu Abbas yang berkata, ‘Qodariyah itu kafir, Syi’ah itu sesat, Haruriyah itu
bid’ah, dan kami tidak tahu kebenaran kecuali ada pada Murjiah’. ‘Isham bin Yusuf Al
Balkhi meriwayatkan cerita ini darinya. Dan ini tentunya adalah riwayat palsu yang tidak
pernah diucapkan Ibnu Abbas. Atho’ juga tidak meriwayatkannya, dan tidak pula
diriwayatkan Ibnu Juraij.”

Perhatikanlah, Abdul Majid Al Murji-i yang didho’ifkan banyak ulama hadits


tentunya akan memengaruhi hadits-hadits yang ia bawakan, apalagi mengandung ‘illah
(cacat) seperti riwayat yang kita bahas ini. Sehingga yang tepat, hadits yang dimaksud
adalah dho’if yang tidak bisa dijadikan hujjah dalam masalah akidah ini, wallahu a’lam.
Adapun ketika ia diriwayatkan oleh imam Muslim, maka sudah barang tentu riwayat dia
pada saat itu tidak memiliki ‘illah yang berselisih redaksi haditsnya antara riwayat dia
dan riwayat para perowi lainnya. Adapun dalam riwayat ini, redaksi haditsnya bertambah.
Padahal para perowi di atas yang diterima oleh Abdul Majid sendiri tidak menyebutkan
redaksi yang kita maksud dalam riwayat An Nasaai. Hanya ketika ada Abdul Majid saja
tambahan itu ada. Itulah kecacatan riwayat ini.

Dan kesimpulannya, hadits dengan tambahan yang disampaikan Romli dalam


BPBDW adalah dho’if. Al ‘Ajaluni50 dan Ibnu Al Qisrani51 dengan tegas menyatakan
kedho’ifannya. Sehingga ia tidak bisa dijadikan hujjah bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi Wasallam mendoakan para peziarahnya ketika Beliau telah wafat di alam
kuburnya. Kelemahannya pun semakin tampak ketika kita membandingkannya dengan
hadits yang shahih, yang diriwayatkan oleh Al Bukhori dalam Shahihnya, bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam mendoakan ummatnya saat Beliau masih hidup
saja.

Al Qasim bin Muhammad mengatakan,


49
Al Mughni ‘An Haml Al Isfar, no. 3810
50
Kasyf Al Khifa’, no. 1178
51
Ma’rifah At Tadzkiroh, no. 2694
‫َقاَلْت َعاِئَش ُة َرِض َي ُهَّللا َع ْنَها َو اَر ْأَس اْه َفَقاَل َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َذ اِك َلْو َك اَن َو َأَنا َح ٌّي َفَأْسَتْغ ِفُر َلِك َو َأْدُع و َل ِك‬
.. ‫َفَقاَلْت َعاِئَش ُة َو ا ُثْك ِلَياْه َوِهَّللا ِإِّني َأَلُظُّنَك ُتِح ُّب َم ْو ِتي َو َلْو َك اَن َذ اَك َلَظَلْلَت آِخَر َيْو ِم َك ُمَع ِّرًسا ِبَبْع ِض َأْز َو اِج َك‬

“Aisyah radhiyallahu ‘anha mengeluh, ‘Aduh (sakitnya) kepalaku!’ Rasulullah


Shallallahu ‘alaihi Wasallam pun berujar, ‘Kalaulah aku masih hidup, niscaya aku
memintakan ampun untukmu dan mendoakan bagimu!’ Lantas Aisyah mengatakan,
‘Duhai malangnya, demi Allah, aku berprasangka engkau menyukai kematianku. 52 Kalau
begitu, lebih baik akhir-akhir harimu menjadi pengantin di rumah salah satu istrimu’…”
(HR. Bukhori)

Pelajaran dari hadits shahih ini jelas bertolakbelakang dengan riwayat dho’if yang
dijadikan dalil oleh Romli. Yang benar, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam
mendoakan ummatnya ketika Beliau masih hidup saja, dan tidak bisa setelah Beliau
wafat. Hadits shahih Bukhori di atas tentu lebih diunggulkan daripada hadits dho’if yang
bertentangan dengannya.

Bahkan bukan hadits shahih Bukhori di atas yang menentang isi kandungan hadits
dho’if dalilnya Romli. Ada hadits shahih lainnya bahkan Al Qur’an (Al Maidah: 117-
118) yang menetang isi kandungan hadits dho’if tersebut. Jika hadits shahih Bukhori
sebelumnya menentang isinya tentang doanya Rasulullah yang hanya bisa dilakukan saat
masih hidup, maka hadits shahih Bukhori dan Muslim kali ini menentang isi yang
dikandung dalil dho’if Romli tentang ketidakmampuan Beliau mendokan ummatnya yang
berbuat penyimpangan setelah Beliau wafat. Rasulullah tidak mengerti keadaan
ummatnya yang melakukan kesalahan.

‫َع ْن اْبِن اْلُمَس َّيِب َأَّنُه َك اَن ُيَح ِّد ُث َع ْن َأْص َح اِب الَّنِبِّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َأَّن الَّنِبَّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْي ِه َو َس َّلَم َق اَل َي ِرُد َع َلى‬
‫اْلَح ْو ِض ِر َج اٌل ِم ْن َأْص َح اِبي َفُيَح َّلُئوَن َع ْنُه َفَأُقوُل َيا َر ِّب َأْص َح اِبي َفَيُقوُل ِإَّنَك اَل ِع ْلَم َل َك ِبَم ا َأْح َد ُثوا َبْع َدَك ِإَّنُهْم اْر َت ُّد وا‬
‫َع َلى َأْد َباِر ِهْم اْلَقْهَقَر ى‬

“Dari Ibnul Musayyab bahwa ia menceritakan tentang beberapa nasib sahabat Nabi
Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda, ‘Beberapa
orang sahabatku mendatangi telaga. Lalu mereka dijauhkan dari telaga. Maka aku
berkata, ‘Ya Allah, mereka itu para sahabatku’. Lantas Allah menjawab, ‘Sungguh
engkau tidak mengerti tentang apa yang mereka kerjakan sepeninggalmu. Mereka
berbalik ke belakang, murtad kembali’. (HR. Bukhori)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam juga bersabda dengan membawakan


firman Allah (Al Maidah: 117-118) yang turut menguatkan penolakan isi hadits dho’if
hujjahnya Romli. Sabda Beliau,

52
Mengikuti riwayat lain bahwa Nabi mengatakan, ‘Jika engkau mati dahulu sebelum aku’ sebagai ganti
‘Kalaulah aku masih hidup.” (Fathul Bari Ibnu Hajar)
‫َأاَل َو ِإَّن َأَّوَل اْلَخاَل ِئِق ُيْك َس ى َيْو َم اْلِقَياَم ِة ِإْبَر اِهيُم َأاَل َوِإَّنُه ُيَج اُء ِبِر َج اٍل ِم ْن ُأَّمِتي َفُيْؤ َخ ُذ ِبِهْم َذ اَت الِّش َم اِل َف َأُقوُل َي ا َر ِّب‬
‫ُأَص ْيَح اِبي َفُيَقاُل ِإَّنَك اَل َتْد ِر ي َم ا َأْح َد ُثوا َبْع َدَك َف َأُقوُل َك َم ا َق اَل اْلَع ْب ُد الَّص اِلُح { َو ُكْنُت َع َلْيِهْم َش ِهيًدا َم ا ُد ْم ُت ِفيِهْم َفَلَّم ا‬
‫َتَو َّفْيَتِني ُكْنَت َأْنَت ال|َّر ِقيَب َع َلْيِهْم َو َأْنَت َع َلى ُك ِّل َش ْي ٍء َش ِهيٌد } َفُيَق اُل ِإَّن َه ُؤاَل ِء َلْم َيَزاُل وا ُم ْر َت ِّد يَن َع َلى َأْعَق اِبِه ْم ُم ْن ُذ‬
‫َفاَر ْقَتُهْم‬

“Ketahuilah, sesungguhnya makhluk pertama yang diberi pakaian pada hari kiamat
adalah Ibrahim ‘alaihis salam. Ketahuilah, sesungguhnya beberapa orang dari ummatku
akan didatangkan lalu mereka diambil ke golongan kiri. Aku berkata, ‘Wahai Rabbi,
sahabat-sahabatku’. Dijawablah, ‘Sesungguhnya engkau tidak tahu apa yang mereka
perbuat sepeninggalmu’. Lalu aku mengucapkan seperti perkataan seorang hamba shalih
(Nabi Isa), ‘Aku menjadi saksi atas mereka selagi aku bersama mereka namun tatkala
Engkau wafatkan aku, Engkaulah yang mengawasi mereka dan Engkau Maha
menyaksikan terhadap segala sesuatu’. (Al Maidah: 117-118), lalu dijawab, ‘Mereka
senantiasa kembali ke belakang (murtad) sejak kau tinggalkan mereka’.” (HR. Bukhori)

Perhatikanlah, di dalam cerita, mereka dahulunya adalah sahabat atau ummatnya


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Sebagai sahabat dan ummat Beliau, tentunya ia
akan dimintakan doa ampunan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam.
Sebagaimana dalil dho’if Romli sebelumnya : Wafatku juga lebih baik bagi kalian.
Apabila aku wafat, maka amal perbuatan kalian ditampakkan kepadaku. Apabila aku
melihat amal baik kalian, aku akan memuji kepada Allah. Dan apabila aku melihat
sebaliknya, maka aku memintakan ampun kalian kepadaAllah. (HR. Al Bazzar)

Hadits shahih menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam tidak


mengerti amal keburukan yang dilakukan orang setelahnya, tapi hadits dho’if Al Bazzar
menentangnya. Hadits shahih juga menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
Wasallam tidak memintakan ampun kepada sahabatnya yang berbuat penyimpangan, tapi
hadits dho’if hujjahnya Romli adalah sebaliknya.

Semoga Kita adalah bagian dari orang yang berusaha untuk menetapi keyakinan
dan ibadah yang sesuai dengan peninggalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam.
Tidak mengada-ngada sepeninggal Beliau. Kita pun berdoa kepada Allah agar
memantapkan keimanan dan ibadah kita dari syirik dan bid’ah. Banyak berdoa keteguhan
iman dan kebajikan, bukan keteguhan banyak ngalap barokah dengan ziarah agar dosa-
dosa kita diampunkan lewat istighfarnya Nabi di kuburnya. Karena hal itu tidak terjadi
sesuai dalil yang shahih dan rajih.

Sebagai Ahlus Sunnah, kita memperbanyak istighfar dengan sendirinya, tidak


seperti kaum ngalap barokah yang berharap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam
memintakan ampun mereka dengan ziarah ke makamnya. Ahlus Sunnah juga selalu
berdoa seperti doa Ibnu Abi Mulaikah dalam riwayat Shahih Bukhori berikut,
“Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda, ‘Aku adalah manusia yang lebih
dahulu menuju telaga hingga aku bisa melihat siapa saja di antara kalian yang menuju
telagaku. Dan ada beberapa orang selainku ditahan sehingga aku mengatakan, ‘Wahai
Rabbi, ia adalah bagian dari diriku dan di antara umatku!’ Maka dijawab, ‘Apakah
kamu sadar apa yang mereka lakukan sepeninggalmu. Demi Allah, mereka tak henti-
hentinya berbalik ke belakang (murtad).” Ibnu Abi Mulaikah selalu memanjatkan do’a,
‘Allaahumma innaa na’uudzu bika an narji’a ‘alaa a’qaabinaa aw nuftana ‘an diininaa.’
(Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu dari berbalik ke arah belakang (murtad) atau
terkena musibah dalam agama kami, sebagaimana kutipan firman Allah, ‘A’qaabikum
tankishuuna’, kalian berbalik ke arah belakang, murtad. (QS. Almukminun: 66).”

Ketetapan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam tidak mengetahui nasib


ummatnya berbuat keburukan sepeninggalnya dan tidak memintakan ampun bagi mereka,
para salaf dan yang diikuit Ahlus Sunnah justru berdoa sendiri sebagaimana Ibnu Abi
Mulaikah di atas. Berbeda dengan kaum ngalap barokah Romli. Riwayat shahih ini
digeser dengan riwayat lemah bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi Wasallam mengetahui
nasib ummatnya dan memintakan ampun, kemudian ziarah ke makamnya untuk
mendapatkan doa ampunan Beliau dari kuburnya.

Penisbatan Terhadap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah

Sikap yang diambil para pelaku ngalap sebelumnya semakin dikuatkan oleh
Romli dengan tulisannya : Karena keyakinan bahwa para Nabi itu masih hidup di alam
kubur mereka, kaum salaf sejak generasi sahabat melakukan tabarruk dengan Nabi
shallallahu alaihi wa sallam setelah beliau wafat. Hakekat bahwa para Nabi dan orang
saleh itu masih hidup di alam kubur, sehingga para peziarah dapat bertabarruk dan
bertawassul dengan mereka, telah disebutkan oleh Syaikh Ibn Taimiyah berikut ini:

‫وال يدخل في هذا الباب ما يروى من أن قوما سمعوا رد السالم من قبر النبي صلى هللا عليه و س|لم أو قبور غ||يره من‬
‫الصالحين وأن سعيد بن المسيب كان يسمع األذان من القبر ليالي الحرة ونح||و ذل||ك فه||ذا كله ح||ق ليس مما نحن فيه‬
‫واألمر أجل من ذلك وأعظم وكذلك أيضا ما يروى أن رجال جاء إلى قبر النبي صلى هللا عليه و سلم فشكا إليه الج||دب‬
‫عام الرمادة فرآه وهو يأمره أن يأتي عمر فيأمره أن يخرج فيستسقي الناس فإن هذا ليس من هذا الباب ومث||ل ه||ذا يق||ع‬
‫كثيرا لمن هو دون النبي صلى هللا عليه و سلم وأعرف من هذه الوقائع كثيرا‬

“Tidak masuk dalam bagian ini (kemungkaran menurut ulama salaf) adalah apa yang
diriwayatkan bahwa sebagian kaum mendengar jawaban salam dari makam Nabi
shallallahu alaihi wa sallam atau makam orang-orang saleh, juga Sa’id bin al-Musayyab
mendengar adzan dari makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada malam-malam
peristiwa al-Harrah dan sesamanya. Ini semuanya benar, dan bukan yang kami
persoalkan. Persoalannya lebih besar dan lebih serius dari hal tersebut. Demikian pula
bukan termasuk kemungkaran, adalah apa yang diriwayatkan bahwa seorang laki-laki
datang ke makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam lalu mengadukan musim kemarau
kepada beliau pada tahun ramadah (paceklik). Lalu orang tersebut bermimpi Nabi
shallallahu alaihi wa sallam dan menyuruhnya untuk mendatangi Umar bin al-Khaththab
agar keluar melakukan istisqa’ dengan masyarakat. Ini bukan termasuk kemungkaran.
Hal semacam ini banyak sekali terjadi dengan orang-orang yang kedudukannya di bawah
Nabi shallallahu alaihi wa sallam, dan aku sendiri banyak mengetahui peristiwa-peristiwa
seperti ini.”(Syaikh Ibn Taimiyah, Iqtidha’ al-Shirath al-Mustaqim, juz. 1, hal. 373).

Mengenai catatan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ini, kami perlu menambahkan,
bahwa kisah-kisah karomah dari para orang sholeh kemungkinan besar adalah benar
adanya. Sebagaimana persaksian Syaikhul Islam di atas. Sekalipun tidak mengapa jika
ada yang mengkritisi penilaian terhadap hadits, atsar atau cerita jika memang terdapat
kedho’ifannya. Termasuk cerita Sa’id bin Al Musayyab di atas. Kami tidak mengerti
mengapa Romli menerjemahkan bahwa Sa’id bin Al Musayyab mendengar adzan dari
makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Padahal waktu itu beliau sendiri menceritakan
orang-orang Syam berdatangan berlarian ke masjid Sa’id karena adzan tersebut.

Al Hafizh Adz Dzahabi (w. 784 H) menuliskan,

‫ سمعت سعيد بن المسيب‬،‫ عن أبي حازم‬،‫ أنبأنا عبد الحميد بن سليمان‬،‫ أنبأنا الوليد بن عطاء بن األغر المكي‬:‫ابن سعد‬
‫ انظ||روا إلى ه||ذا‬:‫ وإن أه||ل الش||ام ليدخلون زمرا يقول||ون‬،‫ وما في المسجد أحد غيري‬،‫ لقد رأيتني ليالي الحرة‬:‫يقول‬
‫ عبد‬.‫ وما في المسجد أحد غيري‬،‫ وصليت‬،‫ فأقمت‬،‫ ثم تقدمت‬،‫ وما يأتي وقت صالة إال سمعت أذانا في القبر‬.‫المجنون‬
.‫ ضعيف‬:‫الحميد هذا‬

“Ibnu Sa’ad menceritakan, ‘Al Walid bin Atho’ bin Al Aghor Al Makki mengabarkan
kepada kami, mengabarkan kepada kami Abdul Hamid bin Sulaiman, dari Abu Hazim,
aku mendengar Sa’id bin Al Musayyab berkata, ‘Telah ditampakkan kepadaku di malam
Al Harah, tidak ada seorang pun ada di dalam masjid selain aku. Sungguh penduduk
Syam masuk dengan berlarian dan mengatakan, ‘Lihat orang gila ini!’. Tidaklah tiba
waktu sholat kecuali aku mendengar adzan di kubur. Aku pun maju kedepan, aku iqomat,
dan aku sholat. Tidak ada satu orang pun di dalam masjid selain aku’. Abdul Hamid ini
periwayat dho’if.”53

Dari keterangan Adz Dzahabi (w. 784 H) ini, diketahui bahwa adzan yang
didengar Sa’id bin Al Musayyab tidak jelas dari kuburan Nabi. Karena saat itu beliau
berada di tengah-tengah penduduk Syam.

Kemudian, Adz Dzahabi menuliskan komentarnya kepada salah satu periwayat


cerita tersebut bahwa dia adalah dho’if. Itu mengisyaratkan bahwa cerita tidak serta merta
dibenarkan seratus persen. Pun kalau ingin dibenarkan sekalipun dia berasal dari perowi
yang dho’if, maka ketahuilah, berhujjah dengannya, sebagaimana Romli, adalah lucu
sekali dan sangat unik menurut kami.
53
Siyar A’lam An Nubalaa’, no. 88
Keunikannya, karena Kami memang mengakui tulisan Romli ‘Buku Pintar
Berdebat Dengan Wahhabi’ ini adalah tulisan yang begitu ‘pintar’ untuk mendebat Ahlus
Sunnah yang Romli teriakin sebagai Wahhabi. Bagaimana tidak ‘pintar’? Romli begitu
‘pintar’ menampilkan ucapan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah untuk menguatkan
hujjahnya. Dengan harapan ada kesan bahwa Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah sendiri tidak
menganggap ngalap barokah di kuburan para Nabi dan orang sholeh adalah sebuah
kemungkaran.

Kepintaran Romli ini terbukti ketika kita melihat keutuhan tulisan Syeikh yang
tidak dicantumkan Romli, padahal teks ini tepat setelah nukilan Romli di atas. Beliau
menyatakan,

‫وعليك أن تعلم أن إجابة النبي صلى هللا عليه و سلم أو غيره لهؤالء السائلين ليس مما يدل على استحباب السؤال فإنه‬
‫هو القائل صلى هللا عليه و سلم إن أحدكم ليسألني مسألة فأعطيه إياها فيخرج بها يتأبطها نارا فق|الوا ي||ا رس|ول هللا فلم‬
‫ وأكثر هؤالء السائلين الملحين لما هم فيه من الحال لو لم يجابوا‬.‫تعطيهم قال يأبون إال أن يسألوني ويأبى هللا لي البخل‬
‫ فه||ذا الق||در إذا‬.‫الضطرب إيمانهم كما أن السائلين له في الحياة كانوا كذلك وفيهم من أجيب وأمر بالخروج من المدينة‬
‫ ف||إن الخلق لم ينه||وا عن‬.‫وقع يكون كرامة لصاحب القبر أما أنه يدل على حسن حال السائل فال ف||رق بين ه||ذا وه||ذا‬
‫الصالة عند القبور واتخاذها مساجد استهانة بأهلها بل لما يخاف عليهم من الفتنة وإنما تكون الفتنة إذا انعقد سببها‬

“Kamu harus mengerti bahwa jawaban Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam –di kuburnya-
atau selain Beliau kepada orang-orang yang menyampaikannya dan mengadu kepadanya
bukan menunjukkan anjuran memohon (istighotsah) kepada Beliau. Karena Beliau
Shallallahu ‘alaihi Wasallam sendiri yang bersabda, ‘Sungguh salah seorang dari kalian
ada yang meminta, kemudian aku memberinya, tetapi kemudian mereka keluar dengan
menaruhnya di bawah ketiak, padahal itu adalah api baginya.’ Sahabat berkata, ‘Wahai
Rasulullah, kenapa engkau memberi mereka?’ Beliau bersabda, ‘Sesungguhnya mereka
enggan meminta kecuali kepadaku, sedangkan Allah telah menjauhkanku dari
kebakhilan’. Kebanyakan mereka yang istighotsah meminta dengan terus menerus
tersebut melakukannya dalam keadaan bagaimana saja, sekalipun permintaan mereka
tidak dikabulkan. Dan akhirnya iman mereka berguncang tidak menentu. Seperti mereka
yang dahulunya meminta kepada Beliau di waktu masih hidup, mereka pun demikian. Di
antara mereka ada yang dikabulkan oleh Beliau dan diperintahkan untuk keluar dari
Madinah. Semacam ini, jika memang –permintaan istighotsah mereka- terjadi, maka hal
itu adalah karomah shohibul kubur. Namun jika dikatakan itu menunjukkan baiknya
perilaku yang istighotsah, maka tidak berbeda –kemungkarannya- dengan yang
sebelumnya. Karena makhluk tidaklah dilarang untuk sholat di kubur dan menjadikannya
masjid karena ‘memandang rendah’ shohibul kubur. Melainkan karena ditakutkan mereka
akan terkena fitnah –syirik-. Dan fitnah tersebut akan menimpa jika sebabnya telah
terlaksana.”

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah melanjutkan,


‫وما في قبور األنبياء والصالحين من كرامة هللا ورحمته وما لها عند هللا من الحرمة والكرامة ف||وق ما يتوهمه أكثر‬
‫ وكل هذا ال يقتضي استحباب الصالة أو قصد ال||دعاء والنسك عندها لما في‬.‫الخلق لكن ليس هذا موضع تفصيل ذلك‬
‫قصد العبادات عندها من المفاسد التي حذر منها الشارع كما تقدم فذكرت هذه األمور ألنه||ا مما يت||وهم معارضته لما‬
.‫قدمنا وليس كذلك‬

“Adapun mengenai kuburnya para Nabi dan orang-orang sholeh yang terdapat karomah
dan rahmat dari Allah, tidak lah di sisi Allah kubur-kubur tersebut memiliki karomah dan
rahmat di atas dari dugaannya kebanyakan orang. Namun bukan di sini merincikannya.
Walhasil, seluruhnya ini tidak mengajarkan dianjurkannya sholat atau tujuan berdoa dan
beribadah di sisinya. Karena tujuan untuk ibadah-ibadah di sisi kubur merupakan
kerusakan yang dicegah oleh agama sebagaimana –pembahasan- yang telah lalu. Aku
hanya menyebutkan masalah ini karena diduga adanya saling kotradiksi apa yang telah
kami sampaikan. Padahal tidaklah saling kotradiksi.”

Catatan penting Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ini merupakan catatan yang harus
diperhatikan Romli baik-baik. Karena Romli tahu betul bahwa Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah tidak setuju dengan tingkahnya pelaku ngalap barokah di kubur para Nabi dan
orang-orang sholeh. Dengan keterangan ini, Syaikhul Islam menjelaskan kepada
semuanya, termasuk kepada Romli, bahwa yang beliau sampaikan tidaklah saling
kotradiksi. Artinya, istighotsah pelaku ngalap barokah di kubur para Nabi dan orang
sholeh tidak dibenarkan beliau. Kami jelaskan, sekalipun hidupnya para Nabi di alam
barzakhnya, dan adanya kejadian karomah serta terpenuhinya permintaan pelaku ngalap,
itu sama sekali tidak menganjurkan istighotsah dan atau ngalap barokah.

Kesimpulannya, Romli mengulangi meninggalkan kesan yang tidak selayaknya.


Kata dia : Hakekat bahwa para Nabi dan orang saleh itu masih hidup di alam kubur,
sehingga para peziarah dapat bertabarruk dan bertawassul dengan mereka, telah
disebutkan oleh Syaikh Ibn Taimiyah. Jika menurut Romli Syaikhul Islam membolehkan
ngalap barokah karena para Nabi dan orang sholeh masih hidup di alam barzakhnya dan
memohonkan ampunan bagi mereka, kesimpulannya dari buku ‘pintar’ nya ini sangat
disayangkan dan harus kita luruskan sebagaimana yang telah lalu.

Kisah Laki-laki (Bilal bin Al Harits) Ke Makam Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi


Wasallam

Selanjutnya, Romli pun menguatkan hujjahnya dengan kembali membawa-bawa


nama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Tepatnya catatan dari murid beliau Ibnu Katsir.
Kata Romli : Kisah laki-laki yang datang ke makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam di
atas, telah dijelaskan secara lengkap oleh al-Hafizh Ibn Katsir al-Dimasyqi, murid
terkemuka Syaikh Ibn Taimiyah, dalam kitabnya al-Bidayah wa al-Nihayah.
Agaknya, tulisan Romli ini sama persis dengan catatan dia mengenai Syeikh Ibnu
Sa’di dalam cerita yang diangkat Romli sebelumnya. Kata Romli : Syaikh Muhammad
bin Shalih al-‘Utsaimin–ulama Wahhabi kontemporer di Saudi Arabia yang sangat
populer dan kharismatik-, mempunyai seorang guru yang sangat alim dan kharismatik di
kalangan kaum Wahhabi, yaitu Syaikh Abdurrahman bin Nashir al-Sa’di. Ia dikenal
dengan julukan Syaikh Ibnu Sa’di. Padahal begitu jelasnya bahwa Syeikh Al Utsaimin
tidak ikut dalam cerita tersebut. Tapi mengapa beliau dibawa-bawa Romli? Mungkin
jawabannya, itu hanya sekadar informasi saja mengenai ulama-ulama rivalnya Romli.

Maka, ketika ada cerita lainnya yang disampaikan oleh ulama yang ada
hubungannya dengan ulama rivalnya Romli, dan cerita itu menguatkan hujjah Romli,
sudah barang tentu Romli bersemangat menyampaikannya. Agar terkesan, bahwa ulama
Ahlus Sunnah -yang diikuti Ahlus Sunnah sekarang yang biasa disebut Romli sebagai
Wahhabi- mereka tidak berpihak kepada Ahlus Sunnah masa kini. Tapi berpihak kepada
kaum ngalap barokahnya Romli dkk yang mengaku Ahlus Sunnah pula.

Bagaimana kisah dari Al Hafizh Ibnu Katsir tersebut?

‫ َح َّد َثَنا‬،‫ َح َّد َثَنا َأُب و َع ْم ِر و ْبُن َم َط ٍر‬: ‫ َأْخ َبَر َنا َأُبو َنْص ِر ْبُن َقَت اَد َة َو َأُب و َبْك ٍر اْلَفاِر ِس ُّي َق ااَل‬: ‫َو َقاَل اْلَح اِفُظ َأُبو َبْك ٍر اْلَبْيَهِقُّي‬
‫ َأَص اَب‬: ‫ َع ْن َم اِلٍك َقاَل‬،‫ َع ْن َأِبي َص اِلٍح‬،‫ َع ِن اَأْلْع َمِش‬،‫ َح َّد َثَنا َأُبو ُمَع اِوَيَة‬،‫ َح َّد َثَنا َيْح َيى ْبُن َيْح َيى‬، ‫ِإْبَر اِهيُم ْبُن َع ِلٍّي الُّذ ْهِلُّي‬
‫ َي ا َر ُس وَل ِهَّللا اْسَتْس ِق‬: ‫ َفَقاَل‬،، ‫ َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم‬، ‫ َفَج اَء َر ُجٌل ِإَلى َقْبِر الَّنِبِّي‬،‫الَّناَس َقْح ٌط ِفي َز َم اِن ُع َم َر ْبِن اْلَخ َّطاِب‬
‫ اْئِت ُع َم َر َفَأْقِرْئُه ِم ِّني الَّس اَل َم َو َأْخ ِب ْر ُه‬: ‫ َفَقاَل‬، ‫ ِفي اْلَم َناِم‬، ‫ َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم‬،‫ َفَأَتاُه َر ُسوُل ِهَّللا‬.‫َهَّللا ُأِلَّمِتَك َفِإَّنُهْم َقْد َهَلُك وا‬
‫ َو َهَذ ا ِإْس َناٌد‬.‫ َيا َر ِّب َم ا آُلو ِإاَّل َم ا َع َج ْز ُت َع ْنُه‬: ‫ َفَأَتى الَّرُجُل َفَأْخ َبَر ُع َم َر َفَقاَل‬.‫ َو ُقْل َلُه َع َلْيَك بالكيس الكيس‬، ‫َأَّنُك ْم ُم ْس َقْو َن‬
. ‫َص ِح يٌح‬

“Al-Hafizh Abu Bakar al-Baihaqi berkata, Abu Nashr bin Qatadah dan Abu Bakar al-
Farisi mengabarkan kepada kami, Abu Umar bin Mathar mengabarkan kepada kami,
Ibrahim bin Ali al-Dzuhli mengabarkan kepada kami, Yahya bin Yahya mengabarkan
kepada kami, Abu Muawiyah mengabarkan kepada kami, dari al-A’masy, dari Abu
Shalih, dari Malik al-Dar, bendahara pangan Khalifah Umar bin al-Khaththab, bahwa
musim paceklik melanda kaum Muslimin pada masa Khalifah Umar. Maka seorang
sahabat (yaitu Bilal bin al-Harits al-Muzani) mendatangi makam Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam dan mengatakan: “Hai Rasulullah, mohonkanlah hujan kepada Allah
untuk umatmu karena sungguh mereka benar-benar telah binasa”. Kemudian orang ini
bermimpi bertemu dengan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan beliau berkata
kepadanya: “Sampaikan salamku kepada Umar dan beritahukan bahwa hujan akan turun
untuk mereka, dan katakan kepadanya “bersungguh-sungguhlah melayani umat”.
Kemudian sahabat tersebut datang kepada Umar dan memberitahukan apa yang
dilakukannya dan mimpi yang dialaminya. Lalu Umar menangis dan mengatakan: “Ya
Allah, saya akan kerahkan semua upayaku kecuali yang aku tidak mampu”. Sanad hadits
ini shahih. (Al-Hafizh Ibn Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, juz 7, hal. 92. Dalam Jami’
al-Masanid juz i, hal. 233, Ibn Katsir berkata, sanadnya jayyid (baik). Hadits ini juga
diriwayatkan oleh Ibn Abi Khaitsamah, lihat al-Ishabah juz 3, hal. 484, al-Khalili dalam
al-Irsyad, juz 1, hal. 313, Ibn Abdil Barr dalam al-Isti’ab, juz 2, hal. 464 serta
dishahihkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, juz 2, hal. 495).

Kaum Ahlus Sunnah yang disebut Romli Wahhabi menolak praktek ngalap
barokah atau istighotsah kepada para Nabi atau orang sholeh yang telah wafat
berdasarkan pada; (a) Adanya dalil-dalil shahih yang bertentangan dengannya. (b) Sadd
dzaraai’, menutup wasilah kesyirikan seperti yang telah dibahas sebelumnya.

Adapun riwayat yang dibawa Romli kali ini secara nyata betentangan dengan
riwayat yang menjelaskan sikap para sahabat yang tidak ngalap barokah atau istighotsah
kepada kuburnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam. 54 Dan dari kaedah sadd
dzaraai’ tentunya hal ini dilarang karena akan menjadi wasilah kepada pengkultusan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam di dalam mengabulkan hajat istighotsah.

Jika dua point ini belum menjawab kelemahan berdalil dengan kisah di atas, maka
mari kita perhatikan riwayatnya secara keilmuwan hadits.

Pertama. Tahqiq yang disampaikan Al Hafizh Ibnu Katsir (w. 774 H) bahwa
riwayat tersebut Isnadun Shahih (sanad hadits ini shahih) tidak menyatakan keshahihan
hadits. Romli kurang tepat menyatakan : dishahihkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam
Fath al-Bari, juz 2, hal. 495. Karena Ibnu Hajar tidak menshahihkan riwayat tersebut.
Tapi hanya menyatakan : ‘rowa ibnu abi syaibah bi isnadin shahihin’, Sama seperti Ibnu
Katsir yang dishahihkan hanya sanadnya saja.

Alasannya adalah karena hadits yang shahih harus memenuhi tersambungnya para
periwayat, juga matan yang aman dari syadz dan ‘illat. Sehingga tidak cukup hanya isnad
shahih (para perowinya yang shahih atau tsiqqah). Ibnu Katsir sendiri menyatakan,

‫ والحكم بالصحة أو الحسن على اإلس||ناد ال يلزم منه الحكم بذلك على‬:‫ قال‬.‫صحة اإلسناد ال يلزم منها صحة الحديث‬
.‫ إذ قد يكون شاذا أو معلال‬،‫المتن‬

“Shahihnya sanad tidak mengharuskan shahihnya hadits. Dia berkata, ‘Hukum shahih
atau hasan pada sanad (periwayat) tidak mengharuskan menghukuminya sama pada
matan (redaksi hadits). Karena matan terkadang dia syadz atau mu’allal.”55

Sebab itu, jika pada matannya syadz dan mu’allal dia bukan hadits shahih atau
hasan. Maka kita sampaikan bahwa dalam riwayat di atas disebutkan : dari al-A’masy,
dari Abu Shalih, dari Malik al-Dar, bendahara pangan Khalifah Umar bin al-Khaththab.

Sosok Malik Ad Daar dalam catatan para ulama hadits adalah periwayat sebagai
pembantunya Umar yang tidak dikenal tahun kelahiran dan wafatnya. Al Haitsami
54
Tawassulnya sahabat kepada paman Nabi, Al Abbas……………..
55
Al Ba’it Al Hatsis, hal. 5
menyatakan, “Dan Malik Ad Daar aku tidak mengenalnya..” 56 Al Mundziri juga
mengatakan serupa, “Diriwayatkan oleh At Thobroni dalam Al Kabir. Para periwayatnya
sampai kepada Malik Ad Daar adalah tsiqqah dan masyhur. Sedangkan Malik Ad Daar,
aku tidak mengenalnya.”57 Dari ketidaktahuan Malik ini, maka Abu Shalih diragukan
telah mendengarnya langsung dari Malik.

Jika dipastikan bahwa Abu Shalih mendengar langsung dari Malik karena
bertemu dan sezaman, maka masih diragukan pula bahwa Malik baik hafalannya. Para
ulama hadits tentu sangat berhati-hati dalam periwayatan hadits mengenai hafalan
seorang pembawa hadits. Malik hanya seorang bendahara atau pembantunya Umar.
Seorang bendahara memang orang yang diakui memegang amanah dalam masalah
keuangan dan kekayaan negara. Namun, tidak dipastikan hafalannya baik dalam masalah
hadits. Seseorang yang dipercaya sebagai bendahara belum tentu dipercaya dalam
periwayatan hadits. Karena berbeda antara dua perkara tersebut, sebagaimana adanya
perawi-perawi yang dipercaya menjadi Qadhi (hakim), namun dalam periwayatan
haditsnya tertolak.

Kedua. Jika akan menerima riwayat Abi Sholeh dan Malik, maka riwayat ini
lemah karena cerita istighotsah di kubur Nabi itu bisa dinyatakan sebagai khayalan
periwayatnya saja. Dibuktikan oleh riwayat Imam Bukhori yang hanya menuliskan pada
profil Malik Ad Daar tanpa cerita tersebut. Beliau menuliskan, “Malik bin ‘Iyadh Ad
Daar. Umar berkata saat paceklik, ‘Ya Allah, saya akan kerahkan semua upayaku kecuali
yang aku tidak mampu’. Diriwayatkan oleh Ali dari Muhammad bin Khozim dari Abu
Sholeh dari Malik Ad Daar.”58

Maka, selain ia bertentangan dari kisah yang shahih mengenai praktek para
sahabat, ia juga bertentangan karena ceritanya yang ditambah-tambah oleh periwayat dari
hadits yang telah disebutkan Bukhori di atas.

Ketiga. Penisbatan bahwa yang melakukan istighotsah itu adalah seorang sahabat
bernama Bilal bin Al Harits Al Muzani adalah diperdebatkan bahkan diingkari. Pasalnya,
Ibnu Hajar Al Asqolani (w. 852 H) menyatakan, “Dan Saif telah meriwayatkan dalam Al
Futuh bahwa orang yang melihat dalam mimpi tersebut adalah Bilal bin Al Harits Al
Muzani, salah seorang sahabat.”59

Jadi, yang menyatakan bahwa pelaku istighotsah di makam Nabi adalah seorang
sahabat mulia Bilal tidak dapat diterima, karena yang menyatakannya adalah Saif. Dan
Anda bisa melihat sendiri, bahwa Saif tidak ada dalam daftar periwayat hadits yang
dibawa Ibnu Katsir di atas. Tidak ada pula riwayat yang menyatakan sanadnya secara
56
Majma’ Az Zawaid
57
At Targhib wa At Tarhib
58
At Tarikh Al Kabir, no. 1295
59
Fath Al Bari
utuh yang sampai kepada Saif. Ibnu Hajar atau siapa saja, tidak ada yang membawakan
riwayat Saif ini sebagai orang yang menyatakan si pelaku adalah sahabat Bilal bin Al
Harits. Ditambah lagi, Saif adalah periwayat yang tidak bisa dijadikan hujjah dalam
hadits. Walhasil, sekalipun ada riwayat yang menampilkan Saif masuk dalam bagian
periwayat –dan Kami tidak menemukan ada riwayatnya- maka hal itu semakin
melemahkan hujjah hadits yang dimaksud. Karena ketika ada Saif maka jadilah hadits itu
sebagai hadits yang tidak dapat dijadikan hujjah. Apalagi jika tidak ada riwayat yang
menampilkan Saif bagian dari periwayatnya, maka sudah tentu ia semakin tertolak.

Saif -yang disampaikan Ibnu Hajar sebagai orang yang menyatakan si pelaku
adalah Bilal bin Al Harits- adalah periwayat dho’if yang ditinggalkan haditsnya. Ibnu
Hajar menjelaskan nama lengkap Saif, “Saif bin Umar At Tamimi Al Asadi Al Kuufi,
penyusun Al Futuh dan kitab Ar Riddah.”60

Al Hafizh Adz Dzahabi (w. 784 H) menyatakan, “Saif bin Umar At Tamimi Al
Asadi, ia memiliki karangan-karangan yang bermacam-macam. Ia matruk (ditinggalkan)
secara kesepakatan. Ibnu Hibban menyatakan, ‘Dia tertuduh sebagai orang yang zindiq.
Aku (Adz Dzahabi) tambahkan, ‘Dia mendapati para tabi’in, dan dia memang tertuduh’.
Ibnu Hibban berkata lagi, ‘Dia pun meriwayatkan hadits-hadits palsu’.”61

Ibnu Hajar sendiri dalam Tahdzib At Tahdzib-nya menyatakan, “Berkata Ibnu


Ma’in, ‘Dia dho’if haditsnya’. Beliau berkata lagi, ‘Tidak ada kebaikan darinya’. Abu
Hatim mengatakan, ‘Ditinggalkan haditsnya, haditsnya menyerupai haditsnya Al
Waqidi’. Abu Daud mengatakan, ‘Tidak ada apa-apanya –dalam hadits-’. An Nasai dan
Ad Daruquthni mengatakan, ‘Dia dho’if’. Ibnu ‘Adi mengatakan, ‘Sebagian hadits-
haditsnya masyhur dan umumnya adalah mungkar yang tidak ada penguatnya’. Ibnu
Hibban mengatakan, ‘Dia meriwayatkan hadits-hadits palsu dari para perowi tsiqqah. Dia
(Ibnu Hibban) menambahkan, ‘Dan mereka (perowi tsiqqah) itu mengatakan, ‘Dia
memalsukan hadits’. Aku (Ibnu Hajar) menyatakan, ‘Ucapan Ibnu Hibban lainnya adalah
bahwa dia (Saif) tertuduh sebagai orang zindiq’. Al Barqani mengatakan dari Ad
Daruquthni, ‘Haditsnya ditinggalkan’. Al Hakim menyatakan, ‘Dia tertuduh sebagai
orang zindiq, dan dalam periwayatan dia jatuh (tertolak tidak digunakan).”62

Kesimpulannya, ketika Ibnu Hajar menyatakan bahwa Saif lah orang yang
mengklaim si pelaku dalam riwayat Ibnu Katsir adalah sahabat bernama Bilal bin Al
Harits, maka kabar tersebut tertolak. Saif sama halnya dengan Al Waqidi dalam masalah
riwayat. Sama-sama tertolak dalam menyampaikan riwayat. Menjelaskan periyat matruk
seperti Saif ini, Ibnu Katsir menyatakan,

60
Lisan Al Mizan, no. 3259
61
Al Mughni fi Ad Dhu’afaa’, no. 2716
62
Tahdzib At Tahdzib, no. 517.
‫ ألن‬،‫ ال يلزم من ورود الحديث من طرق متعددة كحديث " األذنان من ال||رأس " أن يكون حسنا‬:‫قال الشيخ أبو عمر‬
‫ ومنه‬،‫ كرواية الكذابين والمتروكين‬،‫ يعني ال يؤثر كونه تابعا أو متبوعا‬،‫ فمنه ما ال يزول بالمتابعات‬،‫الضعف يتفاوت‬
‫ أو روي الح||ديث عن حض||يض الض||عف إلى أوج الحسن أو‬،‫ كما إذا كان راويه سيء الحف||ظ‬،‫ضعف يزول بالمتابعة‬
.‫ وهللا أعلم‬.‫الصحة‬

“Berkata Syaikh Abu Umar, ‘Tidak harus menjadi hadits hasan dengan adanya hadits
yang memiliki banyak jalur, seperti hadits, ‘Dua telinga adalah bagian dari kepala’.
Karena dho’if itu sifatnya berbeda-beda. Ada yang tidak berubah sekalipun adanya
penguat (mutabi’), yaitu tidak berpengaruhnya mutabi’ dan matbu’ (dho’if yang
dikuatkan). Seperti riwayat para perowi kadzzab (pendusta) dan matruk (yang
ditinggalkan). Selanjutnya ada yang berubah dengan adanya mutabi’. Sebagaimana
periwayat suul hifzhi (buruk hafalan) atau periwayat hadits dari dho’if yang rendah naik
menjadi hasan dan shahih.”63

Karena Saif adalah matruk sudah barang tentu Ahlus Sunnah tidak menerima
kabar dari Saif yang mengklaim bahwa si pelaku istighotsah di kubur Nabi adalah
seorang sahabat mulia bernama Bilal bin Al Harits.

Dan hal ini berbeda bagi kaum pengalap barokah seperti Romli dkk, mereka akan
menetapkan kabar Saif itu. Dan tetap menyatakan bahwa si pelaku adalah Bilal bin Al
Harits, seperti tulisan Romli : Maka seorang sahabat (yaitu Bilal bin al-Harits al-Muzani)
mendatangi makam Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam…

Cara yang mereka tempuh untuk menetapkan bahwa si pelaku adalah Bilal bin
Harits pun bermacam-macam. Di kalangan Romli ada sebagian mereka menjelaskan
sebagai berikut,

“Terkait dengan keraguan Syaikh Bin Baz bahwa ‘Rajul’ tersebut adalah sahabat,
maka cukup dibantah dengan ketegasan pernyataan al-Hafidz Ibnu Hajar bahwa ‘Rajul’
tersebut BENAR-BENAR Bilal bin Harits:

)441 ‫ ص‬/ 3 ‫فتح الباري البن حجر – (ج‬

‫َو َقْد َر َو ى َس ْيف ِفي اْلُفُتوح َأَّن اَّلِذ ي َر َأى اْلَم َنام اْلَم ْذ ُك ور ُهَو ِباَل ل ْبن اْلَح اِر ث اْلُم َز ِنُّي َأَح د الَّص َح اَبة‬

“Saif BENAR-BENAR meriwayatkan dalam al-Futuh bahwa laki-laki yang


melihat mimpi tersebut adalah Bilal bin Harits al-Muzani, salah satu sahabat Nabi” (Fath
al-Bari 3/441)

Jadi al-Hafidz Ibnu Hajar mengutipnya dengan Shighat Jazm (tegas) yang
menunjukkan bahwa riwayat tersebut adalah sahih. Kecuali seandainya al-Hafidz Ibnu

63
Al Ba’its Al Hatsis
hajar mengutip dengan redaksi lemah (Shighat Tamridl) seperti “Dikatakan”,
“Diriwayatkan” dan lainnya.64

Mereka para ahli agama pengampuh www.aswj-rg.com tersebut tidak lagi melihat
keadaan kedudukan perowi haditsnya. Yang penting tidak diriwayatkan dalam bentuk
shighoh tamridh, yaitu kalimat ruwiya atau qiila, maka otomatis kabar tersebut adalah
shahih. Padahal, seharusnya mereka paham bahwa pernyataan Ibnu Hajar wa qod rowa
saif fi al futuh (Saif telah meriwayatkan dalam Al Futuh) adalah hanya mengakui bahwa
Saif memang benar-benar meriwayatkan di kitabnya Al Futuh. Dan itu tidak berbeda
ketika Al Hafizh Al Iraqi misalkan, beliau mengatakan sama bahwa Al Ghozali benar-
benar meriwayatkan dalam kitabnya Ihya’ Ulum Ad Din dan seterusnya. Apa dengan
ucapan seperti itu yang tanpa sighoh tamridh tidak perlu membahas rijal sanadnya? Apa
langsung dihukumi shahih hadits yang ditulisa Al Ghozali dalam kitabnya? Apa tidak
paham bahwa itu semua hanya sekadar kabar dari Ibnu Hajar, dan Ibnu Hajar sendiri
bukan periwayatnya Saif?

Ini sungguh membuat kami harus menasehatkan saudara-saudara tersebut untuk


merujuk kembali mustholah hadits, ilmu jarh wa ta’dil dan lain-lain mengenai hadits.

Akhirnya, Kami pun memaklumi jika kalimat ‘Fa jaa-a rojulun’ diterjemahkan
Romli dengan ‘seorang sahabat (yaitu Bilal bin Al Harits Al Muzani) mendatangi’.
Padahal tidak ada kalimat ‘shohabah’ di situ. Yang ada adalah ‘rojulun’ yang bermakna
‘seorang laki-laki’. Romli menafsirkan dan menerjemahkannya dengan ‘seorang sahabat’
adalah karena bepijak pada riwayat Saif, yang jelas tertolak riwayatnya di sisi para ulama
Ahli hadits dan Ahlus Sunnah. Romli menerima riwayat Saif, padahal ulama sepakat
menolaknya. Dan Romli membenarkan riwayat Saif, padahal ulama menyatakan dia si
pemalsu hadits.!!

Tidak cukup di situ, Romli pun menuliskan bahwa setelah mendengar pesan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam lewat mimpinya, seseorang yang diklaim Romli
seorang sahabat tadi, mengabarkan kepada Umar apa yang ia perbuat dan apa pesan
Rasul kepadanya. “Kemudian sahabat tersebut datang kepada Umar dan memberitahukan
apa yang dilakukannya dan mimpi yang dialaminya.” Padahal teks riwayatnya berbunyi,
‘Fa akhbaro ‘umar faqola’ (dia pun mengabarkan kepada Umar, kemudian Umar
berkata). Jelas yang tampak adalah kabar yang disampaikan seseorang yang bermimpi
tersebut bukanlah kabar praktek istighotsahnya ke makam Nabi . Tapi dia hanya
mengabarkan pesan Rasulullah Shallalahu ‘alaihi Wasallam dalam mimpinya. Karena
Umar langsung berkata, ‘Ya Allah, aku akan kerahkan seluruh upayaku kecuali yang
tidak aku mampu’. Dari riwayat Ibnu Katsir ini, Romli mendustakan riwayat tersebut
dengan terjemahan serampangannya bahwa yang bermimpi itu mengabarkan apa yang dia
lakukan.
64
http://www.aswj-rg.com/2013/09/persamaan-syiah-dan-wahabi.html
Tidak ada pula kabar ‘Umar menangis’ setelah mendengar kabar orang yang
bermimpi dari teks riwayat Ibnu Katsir tersebut –dan Kami tidak tahu teks riwayat lain
menyebutkannya-. Romli hanya menerjemahkan di luar teks aslinya agar terkesan Umar
menyetujui perbuatannya. Padahal yang dilakukan Umar dalam hadits yang justru shahih
adalah kebalikan dari perbuatannya seseorang yang disangka si pemalsu hadits dia adalah
Bilal bin Al Harits.

Keempat. Ketika Romli membenarkan riwayat dari si pemalsu hadits, bahwa si


pelaku istighotsah di makam Nabi adalah sahabat Bilal bin Al Harits -dan Ahlus Sunnah
menolak riwayat si pemalsu hadits tersebut-, maka riwayat ini tertolak untuk diamalkan.
Karena si pelaku majhul, tidak diketahui identitasnya. Seseorang yang tidak diketahui
siapa dia, maka amalannya tidak bisa dijadikan hujjah. Kecuali hanya bagi pelaku ngalap
barokah, Romli dkk. Romli dan kaum ngalapnya tidak memerdulikan si pelakunya, entah
itu Badui (arab pedalaman) yang sering bertingkah tidak tahu malu, atau orang yang
sejenisnya yang tidak tahu ilmu dan praktek sahabat Nabi nya sendiri yang masih hidup
di zamannya. Yang penting ada sejarahnya. Begitu mungkin asumsinya.

Kelima. Kisah ini disampaikan Ibnu Hajar saat mensyarh hadits Bukhori,

‫َع ْن َأَنِس ْبِن َم اِلٍك َأَّن ُع َم َر ْبَن اْلَخ َّطاِب َرِض َي ُهَّللا َع ْنُه َك اَن ِإَذ ا َقَح ُطوا اْسَتْس َقى ِباْلَع َّب اِس ْبِن َع ْب ِد اْلُم َّطِلِب َفَق اَل الَّلُهَّم ِإَّن ا‬
‫ُكَّنا َنَتَو َّسُل ِإَلْيَك ِبَنِبِّيَنا َفَتْس ِقيَنا َو ِإَّنا َنَتَو َّسُل ِإَلْيَك ِبَعِّم َنِبِّيَنا َفاْس ِقَنا َقاَل َفُيْس َقْو ن‬

“Dari Anas bin Malik, bahwa Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu ketika mereka
tertimpa paceklik, ia meminta hujan dengan bertawassul kepada ‘Abbas bin Abdul
Muththalib seraya mengucapkan, ‘Ya Allah, kami meminta hujan kepada-Mu dengan
perantaraan Nabi kami, kemudian Engkau menurunkan hujan kepada kami. Maka
sekarang kami memohon kepada-Mu dengan perantaraan paman Nabi kami, maka
turunkanlah hujan untuk kami’. Anas berkata, ‘Mereka pun kemudian mendapatkan
hujan’.”65

Sebelum menceritakan kisah syadz hujjahnya Romli ini, Ibnu Hajar menyatakan,

‫ وه||و عند اإلس||ماعيلي من رواي||ة محمد بن‬،‫وأما حديث أنس عن عمر فأشار به أيض||ا إلى ما ورد في بعض طرق||ه‬
‫ "كانوا إذا قحطوا على عهد النبي ص||لى هللا عليه وس||لم استسقوا‬:‫المثنى عن األنصاري بإسناد البخاري إلى أنس قال‬
.‫ فيستسقى لهم فيسقون فلما كان في إمارة عمر " فذكر الحديث‬،‫به‬

“Adapun hadits Anas dari Umar ini menunjukkan kepada –maksud- yang diriwayatkan
pada sebagian jalur lain. Yaitu dari Al Isma’ili dari riwayatnya Muhammad bin Al
Mutsanna dari Al Anshari dengan sanad Bukhori sampai kepada Anas yang berkata,
‘Mereka, jika dilanda paceklik di masa Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam, mereka
meminta hujan dengan perantara Beliau Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Dan Beliau

65
Fath Al Bari, no. 1010
memintakan hujan untuk mereka. Akan tetapi, tatkala di masa pemerintahan Umar…,’
baru disebutkan hadits –Anas- tersebut.”

Keterangan Al Isma’ili ini menyatakan perbedaan praktek istisqo’ dengan


tawassul antara di masa Nabi masih hidup dan setelah Beliau wafat. Focus kepada
kalimat idza qohathu ‘ala ‘ahdinnabi (apabila mereka dilanda paceklik di masa Nabi) dan
falamma kana fi imaroti umar (adapun tatkala di masa kepemimpinan Umar). Dua
kalimat ini amat menjelaskan perbedaan keduanya. Hal ini harus benar-benar dipahami
oleh kaum ngalap barokah sekarang.

Kemudian, Ibnu Hajar selanjutnya mengatakan,

.‫فتبين بهذا أن في القصة المذكورة أن العباس كان مسئوال وأنه ينزل منزلة اإلمام إذا أمره اإلمام بذلك‬

“Dengan ini, maka menjadi jelas bahwa kisah yang disebutkan menyatakan bahwa Al
Abbas adalah orang yang dipinta –untuk memintakan hujan-, dan beliau menempati
posisi Imam ketika –Imam yaitu Umar- memerintahkannya untuk melakukannya.”

Kesimpulan beliau ini berangkat dari judul Bab yang ditulis imam Bukhori untuk
hadits Anas di atas, “Sualu An Naas Al Imam Al Istisqo’ Idza Qohathu” (orang-orang
meminta Imam untuk meminta hujan saat paceklik). Artinya, pada dasarnya orang-orang
seharusnya tidak beristighotsah, bertawassul dan ngalap barokah kepada orang sholeh
yang telah meninggaldunia. Tapi kepada pemimpin mereka untuk melakukan istisqo’. Di
saat mereka melakukan istisqo’ bersama Imam, Imam dipersilakan mencontoh Umar
yang memandatkan jalannya istisqo’ kepada orang sholeh di antara mereka. Di sinilah
interpretasi tawassul. Ia bermakna lebih dari sekadar menjadi perantara dalam
menyampaikan doa, tapi ia sebagai orang yang diberi amanah oleh Imam untuk
memimpin istisqo’ yang semula tugas itu adalah tugasnya Imam.

Dari sini, kaum ngalap barokah Romli tidak betul-betul mencontoh para sahabat.
Mereka tidak meminta kepada imam yang masih hidup, tapi ambil jalan pintas dengan
cara bid’ah yang langsung meminta kepada yang sudah meninggal dunia.

Maka pengertian dari hadits Bukhori yang disyarh Ibnu Hajar ini bermakna pada
tawassul kepada orang sholeh yang masih hidup tidak lagi kepada Nabi, karena Beliau
telah wafat. Kemudian para sahabat memintanya kepada imam mereka, dan imam mereka
meminta (tawassul) kepada orang sholeh yaitu Al Abbas. Sehingga cerita yang
disampaikan Ibnu Hajar mengenai seorang yang ke kubur Nabi untuk tawassul di zaman
Umar, tidak boleh terlepas dari pemahaman dari Al Isma’ili yang telah disampaikan Ibnu
Hajar sebelumnya. Dan jika hakikatnya para sahabat meminta imam untuk istisqo’
kemudian imam bertawassul dengan memberikan amanah kepada orang sholeh, maka –
pada cerita syadz itu- Umar tidak bertawassul kepada Nabi yang telah wafat. Umar juga
tidak memberikan amanah tawassul kepada orang yang diklaim sebagai Bilal bin Al
Harits sebagaimana beliau memberikan amanah dalam makna tawassul istisqo’ kepada Al
Abbas.

Kesimpulannya, Ibnu Hajar yang menceritakan kisah ini pun telah memberikan
penjelasan dari para ulama sebelum beliau, bahwa maknanya adalah cara istisqo’ dengan
tawassul saling berbeda. Saat ada Rasulullah maka kepada Beliau para sahabat
bertawassul, adapun saat Beliau telah wafat, para sahabat meminta kepada imam mereka
yaitu Umar. Dan Umar bertawassul kepada orang sholeh yaitu Al Abbas paman Nabi.
Bukan memerintahkan orang lain yang diklaim adalah Bilal bin Al Harits untuk
melakukan istisqo’. Karena kisah tawassulnya Umar kepada Al Abbas dan kisah dari
Malik Ad Daar ini keduanya sama-sama saat Nabi telah wafat. Sehingga, sikap seseorang
yang datang ke kubur Nabi hanya iniasiatif dia semata. Karena Umar hanya akan
memenuhi permintaan orang-orang untuk memintakan hujan (istisqo’) ketika Nabi telah
tiada dengan cara tawassul kepada orang sholeh yang masih hidup. Maka iniasitif
seseorang yang diklaim dusta dia adalah Bilal bin Al Harits tersebut bukanlah panutan.
Karena yang dicontoh seharusnya sikap Umar sebelumnya dalam riwayat Bukhori yang
disyarh Ibnu Hajar sebelumnya.

Maka sangat disayangkan jika Romli menuliskan : Apabila hadits di atas kita
cermati dengan seksama, maka akan kita pahami bahwa sahabat Bilal bin al-Harits al-
Muzani radhiyallahu ‘anhu tersebut datang ke makam Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam dengan tujuan tabarruk, bukan tujuan mengucapkan salam. Kemudian ketika laki-
laki itu melaporkan kepada Sayidina Umar radhiyallahu ‘anhu, ternyata Umar
radhiyallahu ‘anhu tidak menyalahkannya. Sayidina Umar radhiyallahu ‘anhu juga tidak
berkata kepada laki-laki itu, “Perbuatanmu ini syirik”, atau berkata, “Mengapa kamu
pergi ke makam Rasul shallallahu alaihi wa sallam untuk tujuan tabarruk, sedangkan
beliau telah wafat dan tidak bisa bermanfaat bagimu”. Hal ini menjadi bukti bahwa
bertabarruk dengan para Nabi dan wali dengan berziarah ke makam mereka, itu telah
dilakukan oleh kaum salaf sejak generasi sahabat, tabi’in dan penerusnya.

Menyedihkan jika Romli terus seperti ini, yang membenarkan kabar pendusta
bahwa yang berbuat adalah Bilal. Ditambah lagi keterangannya bahwa Umar tidak
menyalahkannya, padahal beliau tidak dipastikan telah mendengar si pelaku
mengabarkan perbuatannya. Kedustaan Romli yang begitu jelasnya karena menyatakan
generasai sahabat melakukan praktek ngalap barokah sesuai asumsinya dia.
DALIL-DALIL ROMLI DI LUAR BPBDW

Setelah membawakan dan memelintirkan riwayat di atas, Romli melanjutkan


dalam BPBDW ke bagian bab dua mengeni sifat-sifat Allah. Kaitannya dengan
madzhabnya Romli; ‘Asy’ariyyah Maturidiyyah’ yang berbeda dengan madzhabnya
jumhur ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Namun, sebelum kepada pembahasan itu,
kami merasa perlu menampilkan tulisan Romli dari selain buku ‘pintar’ BPBDW nya ini.
Bahwa Romli berusaha membela mati-matian agar semua umat Muslimin dan Muslimat
terutama kaum ngalap barokah menerima riwayat bahwa generasai salaf melakukan
praktek ngalap barokah sesuai asumsinya dia.

Membawa Tanah Makam Untuk Tabarruk Dalam Kitab Al Wansyarisi Al Maliki

Dalam akun fb Romli yang tertulis pada tanggal 7 November 2013, dia
menuliskan bantahannya terhadap Ustadz Firanda yang punya pernyataan, “Fenomena
yang sangat menyedihkan adanya sebagian orang yang mengaku bermadzhab Syafi’iyyah
berbondong-bondong untuk mengambili pasir yang ada di kuburan seseorang yang
mereka anggap wali !!, bahkan sampai-sampai kuburan tersebut dikhawatirkan ‘ambles’
karena kehabisan pasir !!” “Fenomena ngalap barokah dengan mengambili pasir dari
kuburan atau mengusap-nugsap benda-benda tertentu ternyata merupakan pola beragama
kaum syi’ah rofidhoh, sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Al-Khumaini.”

Tidak terima amalan kaum ngalap -dengan mengambil tanah atau pasir kubur
orang sholeh- disamakan oleh Ustadz Firanda dengan praktek ngalap barokahnya kaum
Syi’ah, Romli pun menuliskan,

Bertabaruk dengan tanah atau pasir makam seorang wali, dibolehkan dalam
madzhab fiqih SUNNI. Al-Imam Ahmad bin Yahya al-Wansyarisi al-Maliki (wafat tahun
914 H) berkata:

‫حمل تراب المقابر للتبرك‬

‫وسئل أحمد بن بكوت عن تراب المقابر الذي كان الناس يحملونه للتبرك هل يجوز أو يمنع؟ فأجاب ه||و ج||ائز ما زال‬
‫الناس يتبركون بقبور العلماء والشهداء والصالحين وكان الناس يحملون تراب سيدنا حمزة بن عبد المطلب في الق|ديم‬
‫من الزمان فإذا ثبت أن تراب سيدنا حمزة يحمل من قديم الزمان فكيف يتماأل أهل العلم باالمدينة على السكوت عن هذه‬
‫ قلت من هذا القبيل ما جرى عليه عمل العوام في نقل ت||راب الش||يخ أبي يع||زى‬.‫البدعة المحرمة ؟ هذا من األمر البعيد‬
‫ (اإلمام أبي العباس أحمد بن‬.‫وتراب ضريح الشيخ أبي غالب النيسابوري لالستشفاء من األمراض والقروح المعضلة‬
.)1/330 ،‫ المعيار المعرب والجامع المغرب عن فتاوى أهل أفريقية واألندلس والمغرب‬،‫يحيى الونشريسي‬

“Hukum membawa tanah makam untuk tabaruk.


Ahmad bin Bakut ditanya tentang tanah makam yang dibawa oleh orang-orang karena
tujuan tabaruk apakah boleh atau dilarang? Lalu beliau menjawab: “Hal tersebut boleh.
Orang-orang (umat Islam), selalu bertabaruk dengan makam para ulama, syuhada dan
orang shaleh. Orang-orang selalu membawa tanah/debu makam Sayyidina Hamzah bin
Abdul Mutthalib sejak masa lampau. Apabila telah tetap bahwa tanah makam Sayyidina
Hamzah selalu dibawa sejak masa silam, maka bagaimana mungkin para ulama Madinah
akan bersepakat mendiamkan bid’ah yang diharamkan ini? Ini jauh dari kemungkinan.
Aku berkata: “Termasuk bagian hukum boleh ini, adalah pengamalan orang kebanyakan
yang berlaku, berupa membawa tanah makam Syaikh Abu Yi’za dan tanah makam
Syaikh Abu Ghalib an-Naisaburi untuk kesembuhan dari banyak penyakit dan bisul yang
sulit disembuhkan.” (Al-Imam Abul-‘Abbas Ahmad bin Yahya al-Wansyarisi, al-Mi’yar
al-Mu’rib wa al-Jami’ al-Mughrib ‘an Fatawa Ahli Afriqiyah wa al-Andalus wa al-
Maghrib, juz 1 hal. 330).

Nukilan yang dikutip Romli adalah pendapat seorang ulama bernama Ahmad bin
Bakut. Ulama yang fatwanya bertentangan dengan fatwa ulama Ahlus Sunnah dalam hal
ini. Romli harus membuktikan secara valid ketika dia menisbatkan fatwa itu berasal dari
Al Wansyarisi. Sebab penulis kitab yang memuat fatwa Ahmad Bakut ini, yaitu Al
Wansyarisi, adalah ulama yang sejatinya telah menulis banyak fatwa dari hasil kajian
beliau yang sesuai dengan fatwa ulama Ahlus Sunnah. Termasuk menyoal bid’ahnya
peringatan maulud Nabi. Al Wansyarisi dengan tegas menyatakan kemungkarannya
peringatan itu karena bagian dari praktek yang dianggap ibadah. Dan faktanya tidak ada
contoh dari Nabi yang tanggal lahirnya diperingati, atau dari para salafus sholeh. Romli
tentu tidak ingin menampilkan pendapat Al Wansyarisi tersebut karena tidak sesuai
dengan selera Romli. Padahal ada dalam kitab yang sama dalam rujukan Romli di atas,
yaitu Al Mi’yar.

Dalam Al Mi’yar nya Al Wansyarisi mengatakan,

‫ والخ||ير كله في‬،‫ وال يفعلون فيها زيادة على سائر ليالي السنة‬،‫ليلة المولد لم يكن السلف الصالح يجتمعون فيها للعبادة‬
‫ بل يؤمر بتركه‬،‫ فاالجتماع في تلك الليلة ليس بمطلوب شرعا‬،‫اتباع من سلف‬

“Pada malam peringatan maulud, tidak pernah para salafus sholeh berkumpul untuk
melakukan ibadah –khusus-. Di saat itu mereka tidak juga mengerjakan praktek-ptaktek
tambahan dari seluruh malam sepanjang tahun. Yang namanya kebaikan, seluruhnya ada
pada mengikuti perbuatan para salaf. Adapun berkumpul di malam tersebut tidak
diinginkan secara syar’i, bahkan diperintahkan meninggalkannya.”66

Beliau juga menyatakan,

66
Al Mi’yar (7/99)
‫ و إن كان معظما عند المسلمين لكن و قعت فيه قضايا أخرجته إلى ارتكاب بعض البدع من كثرة اإلجتماع فيه‬: ‫قيل‬
‫أي اجتماع آالت اللهو إلى غير ذلك من البدع غير المشروعة و التعظيم له صلى هللا عليه و سلم إنما هو باتباع السنن‬
‫و اإلقتداء باآلثار ال بإحداث بدع لم تكن للسلف الصالح‬

“Dikatakan, sekalipun hari maulud dianggap besar oleh kaum Muslimin, akan tetapi ada
beberapa peristiwa yang aku kategorikan ia sebagai pelaksanaan sebagian bid’ah yang
selalu berkumpul di saat itu. Artinya, berkumpulnya alat-alat musik dan sejenisnya yang
bid’ah tidak disyari’atkan. Karena memuliakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam
hanyalah dengan mengikuti sunnah-sunnah, mencontoh hadits-hadits, dan bukan dengan
memperbaharui kebid’ahan yang tidak pernah ada pada zaman salafus sholeh.”67

Walhasil, jika Al Wansyarisi Al Maliki membenarkan fatwa Ahmad Bakut


tersebut, maka beliau adalah ulama yang memiliki fatwa yang sesuai dengan fatwa ulama
Ahlus Sunnah dalam sebagian masalah, namun sebagian lain tidak sesuai pada masalah
ngalap barokah dengan tanah kubur ini. Dan kita telah menjelaskan nasehat As Syathibi
sebelumnya,

‫كذلك ال يجوز للعامي اتباع المفتيين معا وال أحدهما من غير اجتهاد وال ترجيح وقول من قال إذا تعارضا عليه تخ||ير‬
‫غير صحيح من وجهين‬

“Demikian pula tidak boleh bagi orang awam mengikuti dua mufti sekaligus, atau salah
satunya, tanpa dia bersungguh-sungguh berijtihad dan tanpa dia melakukan tarjih
(memilih mana yang lebih kuat secara riwayat dan diroyat). Adapun pendapat yang
mengatakan, jika ada dua ulama yang berselisih maka pilih salah satunya saja, maka
pendapat ini tidak benar –dengan pertimbangan- dari dua sisi…”68

Ibnu Hajar Al Asqolani berpesan,

‫ وله||ذا ال يلتفت إلى اآلراء‬،‫ ويطلع عليه||ا آح||ادهم‬،‫وفي القصة دليل على أن السنة قد تخفى على بعض أكابر الصحابة‬
.‫ كيف خفي ذا على فالن؟ وهللا الموفق‬:‫ وال يقال‬،‫ولو قويت مع وجود سنة تخالفها‬

“Dalam kisah ini (kisah diskusi sahabat Abu Bakar dan Umar tentang memerangi orang
yang menolak zakat) adalah sebagai dalil bahwa As Sunnah itu terkadang tidak kelihatan
jelas (samar) di kalangan pembesar sahabat sekalipun. Dan bisa jadi hanya salah satu dari
mereka yang mengetahuinya. Untuk itu, janganlah menaruh perhatiannya hanya kepada
Aroo’ (pendapat-pendapat) walau pendapat itu kelihatan kuat, padahal ada As Sunnah
yang menyelisihinya. Dan tidak usah menanyakan bagaimana bisa tersamarkan di sisi
sahabat? Allah lah yang memberikan taufiq.”69

67
Al Mi’yar (8/255)
68
Al Muwafaqot
69
Fath Al Bari (1/76)
Ahlus Sunnah menganggap fatwa Ahmad Bakut tersebut bagian dari Aroo’ yang
terlihat kuat oleh Romli, namun hakikatnya menyelisihi As Sunnah sebagaimana yang
telah kita sampaikan penjelasannya.

Maka pertanyaannya buat kaum ngalap barokah adalah bahwa setelah tanah kubur
orang sholeh dibawa pulang, terus mau diapakan? Disimpan di dalam rumah? Atau
diletakkan di halaman rumah? Atau jadi tanah untuk tanaman bunga? Atau
meletakkannya di sawah agar subur dan berhasil panen? Atau yang bagaimana?

Karena memang tidak ada contohnya dari salaf, memungkinkan Romli akan
menyatakan kebolehan semua cara yang kami tanyakan. Mau disimpan di dompet biar
dapat barokahnya pun tak masalah. Mau taruh di saku, tas, mobil atau di mana saja,
menurut Romli boleh-boleh saja. Namanya juga ngalap barokah tanah. Masak mau
dimakan??

Begitulah jadinya kalau beramal tanpa tuntunan syar’i. Romli sama sekali tidak
memberikan contoh dari salaf bagaimana cara ngalap barokah dengan tanah kubur yang
dibawa pulang. Tapi, bagaimana ada contoh cara ngalapnya, ngalap barokah dengan
tanah kubur itu saja sama sekali tidak ada tuntunan dari syar’i!. Cuma kaum ngalap
Romli saja yang menambah dalil syar’i dari para kelakuan orang-orang awam. Tidak
cukup dengan Al Qur’an, Al Hadits, Ijma’, dan praktek para salaf. Mereka menambahkan
dalil baru, yaitu contoh orang dulu yang awam.

Sebab itu, kalau Romli ditanya, mana dalil tanah kubur orang sholeh itu barokah?
Romli akan kebingungan cari dalilnya. Paling mentok Romli akan menjawab pakai dalil
umum barokahnya tanah. Seperti pada point setelah ini. Hadits dari Aisyah tentang obat
luka dengan tanah campur ludah dan doa. Romli dengan cepat mengatakan, berarti semua
tanah itu barokah. Kemudian, ketika Romli tidak dapat dalil khusus bahwa tanah kubur
itu barokah, ia akan gunakan jurus pakai dalil umum tanah itu barokah, seperti yang telah
kami sebutkan barusan. Dan ini benar-benar dagelan Romli. Sudah jelas dia
mengistimewakan tanah kubur orang sholeh, tapi pakainya dalil umum semua tanah.
Artinya, sebenarnya Romli mengatakan barokahnya tanah kubur adalah karena mayit
yang dikubur itu sholeh, dan itu tak berdalil sama sekali.!

Coba kita beritahu Romli ada dalil yang amat jelas tentang kebarokahan tanah
bumi. Allah berfirman,

‫َو ِلُس َلْيَم اَن الِّريَح َعاِص َفًة َتْج ِر ي ِبَأْم ِر ِه ِإَلى األْر ِض اَّلِتي َباَر ْك َنا ِفيَها َو ُكَّنا ِبُك ِّل َش ْي ٍء َعاِلِم يَن‬

“Dan (telah Kami tundukkan) untuk Sulaiman angin yang sangat kencang tiupannya yang
berhembus dengan perintahnya ke negeri yang telah Kami berikan barokah. Dan adalah
Kami Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al Anbiya’: 81)
Ibnu Katsir menyatakan negri barokah tersebut adalah negri Syam. 70 Al Hasan Al
Bashri dan Qotadah juga menyatakan negri Syam adalah negri yang penuh barokah,
sebagaimana yang ditunjukkan dalam firman Allah,

‫َو َأْو َر ْثَنا اْلَقْو َم اَّلِذ يَن َك اُنوا ُيْسَتْض َع ُفوَن َم َش اِر َق األْر ِض َو َم َغاِرَبَها اَّلِتي َباَر ْك َنا ِفيَها‬

“Dan Kami pusakakan kepada kaum yang telah ditindas itu, negeri-negeri bahagian timur
bumi dan bahagian baratnya yang telah Kami beri barokah padanya..” (QS. Al A’rof:
137)71

Ayat-ayati ini adalah dalil yang sangat jelas akan kebarokahan negri Syam.
Apakah Romli dan kaum ngalap mau melakukan hal serupa sebagaimana ngalap barokah
dengan tanah kubur orang sholeh yang tak berdalil kebarokahannya? Tanah kubur orang
sholeh yang tak berdalil akan barokahnya saja dingalap barokahnya sampai dibawa
pulang ke rumah. Syam yang sangat jelas ada dalil kerbarokahannya, apa tanah negerinya
juga mau dibawa pulang dan disimpan di rumah wahai saudara Romli?

Romli dan kawan-kawannya yang ingin menjadi pengalap barokah sejati,


mestinya harus ke negri Syam yang di antaranya adalah Suriah. Romli seharusnya
menyarankan kaum ngalapnya untuk membawa tanah Syam pulang ke kampong
halaman, karena barokahnya Syam sangat begitu jelasnya.

Tapi kami juga paham, kemungkinan akan banyak lagi riwayat-riwayat mimpi
atau riwayat lemah yang menjerumuskan kepada bid’ah satu ini, yang dijadikan dalil oleh
kaum ngalap. Catatan apa saja yang mengenai ‘membawa tanah kubur’ langsung
dianggap ngalap barokah. Seperti riwayat tanah kubur sahabat Sa’ad bin Mu’adz yang
dipegang karena harum, dan riwayat lain sebagainya. 72 Terkadang ada ceritanya namun
salah pula memahaminya. Begitulah jika saking semangatnya ngalap barokah, ada cerita
sedikit, langsung disikat mengamalkannya. Tanpa peduli kedho’ifannya atau pemahaman
mengenainya yang sebenarnya.

Oleh sebab itu, jika semua keterangan kami ini tidak juga belum memahamkan
mengenai larangan Ahlus Sunnah membawa tanah kubur untuk ngalap barokah, maka
semoga nasehat dari catatan Ibnu ‘Asakir berikut ini mampu mendatangkan hidayah
Allah kepada kita semua. Ibnu ‘Asakir menyebutkan,

70
Tafsir Ibnu Katsir, surat Al Anbiya’: 81
71
Tafsir Ibnu Katsir, surat Al A’rof: 137
72
Muhammad bin Syarohbil salah seorang salaf yang diklaim mengambil tanah kuburnya Sa’ad bin
Mu’adz. Padahal dia kata Abu Nu’aim adalah Mahmud bin Syarohbil. Dan riwayatnya pun lemah karena
Munkadir bin Muhammad. Mereka hanya menceritakan ketika tercium wanginya kubur S’ad bin Mu’adz
lantas memegangnya. Memegangnya saja tidak untuk ngalap barokah apalagi membawanya pulang untuk
ngalap barokahnya. (Lihat riwayatnya di Al Ishobah Fi Tamyiz As Shohabah, no. 8529)
‫ فلما دخ||ل‬،‫ ( إنما كان زوجي وأبي‬:‫ وقالت‬.) ‫ ( لما دفن عمر لزمت ثيابها الدرع والخمار واإلزار‬:‫وفي رواية عنها‬
‫ وكان في الج|دار كوة‬،‫ فأمرت بج|دار فض|رب عليهم‬،‫ وكانوا يأخذون من تراب القبر‬.) ‫ لزمت ثيابي‬،‫معهما غيرهما‬
.‫ وهللا سبحانه أعلم‬،‫ فأمرت بالكوة فسدت‬،‫كانوا يأخذون منها‬

Dalam riwayat dari Aisyah juga –dia mengatakan-, ‘Ketika Umar dimakamkan, aku pun
melazami memakai dira’ (pakaian rumah wanita), jilbab, dan sarung’. Aisyah juga
berkata, ‘Hanyasaja -aku tidak mengenakannya- saat hanya suamiku (Nabi) dan ayahku
(Abu Bakar). Kemudian ketika orang selain mereka -yaitu Umar- dimakamkan bersama
mereka berdua, aku pun melazimi pakaianku’. Mereka –orang-orang- mengambil tanah
kubur tersebut. Oleh sebab itu diperintahkanlah agar dibangunkan dinding dan
dikecamlah mereka. Awalnya, dinding tersebut memiliki lubang angin. Dan orang-orang
pun mengambil lagi tanah kubur. Maka, diperintahkanlah agar lubang angin itu dirusak.
Wallahu Subhanahu a’lam.”73

‘Ngalap Barokah’ Tanah Dari Ibnul Qoyyim

Hujjah Romli lainnya dia menuliskan,

Berikut dasar-dasar umat Islam bertabaruk dengan tanah kuburan para auliya dan
orang shaleh:

(1) Hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha

‫ِم ْنُه َأْو َكاَنْت ِبِه َقْر َح ٌة َأْو َج ْر ٌح َقاَل الَّنِبُّى‬ ‫ َك اَن ِإَذ ا اْش َتَك ى اِإل ْنَس اُن الَّش ْى َء‬-‫َع ْن َعاِئَشَة َأَّن َر ُسوَل هللا صلى هللا عليه وسلم‬
‫ِهللا ُتْر َبُة َأْر ِض َنا ِبِريَقِة َبْع ِض َنا ِلُيْش َفى ِب ِه‬ ‫ ِبِإْص َبِع ِه َهَك َذ ا َو َو َضَع َس َّباَبَتُه ِباَألْر ِض ُثَّم َر َفَعَها « ِباْس ِم‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬-
.‫ متفق عليه‬.» ‫َسِقيُم َنا ِبِإْذ ِن َر ِّبَنا‬

“Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, apabila
seseorang mengeluhkan sakit kepada beliau, atau pada dirinya terdapat bisul dan luka,
maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, dengan jari-jarinya begini, dan
meletakkan telunjuknya ke tanah kemudian mengangkatnya: “Dengan nama Allah, tanah
bumi kita, dengan ludah sebagian kita, agar supaya orang kita yang sakit disembuhkan
oleh sebabnya, dengan restu Tuhan kita.” (HR Bukhari dan Muslim)

Dalam mengomentari hadits tersebut, Ibnu Qayyimil Jauziyah berkata:

‫ َفَيْمَس ُح ِب ِه‬، ‫ ُثَّم َيَض ُع َها َع َلى الُّتَر اِب َفَيْع َلُق ِبَه ا ِم ْن ُه َش ْي ٌء‬،‫ َأَّنُه َيْأُخ ُذ ِم ْن ِريِق َنْفِسِه َع َلى ُأْص ُبِع ِه الَّسَّباَبِة‬:‫َو َم ْعَنى اْلَحِد يِث‬
‫ َو َه ِل اْلُم َر اُد‬... ،‫ َو الَّتَو ُّك ِل َع َلْي ِه‬،‫ َو َتْف ِو يِض اَأْلْم ِر ِإَلْي ِه‬،‫ َو َيُقوُل َهَذ ا اْلَكاَل َم ِلَم ا ِفيِه ِم ْن َبَر َك ِة ِذ ْك ِر اْس ِم ِهللا‬،‫َع َلى اْلُجْر ِح‬
‫ َو اَل َر ْيَب َأَّن ِم َن الُّتْر َب ِة َم ا َتُك وُن ِفيِه‬، ‫ " ُتْر َب ُة َأْر ِض َنا " َجِم يُع اَأْلْر ِض َأْو َأْر ُض اْلَم ِد يَن ِة َخ اَّص ًة؟ ِفيِه َق ْو اَل ِن‬:‫ِبَقْو ِلِه‬
‫ َفَم ا الَّظُّن ِب َأْطَيِب ُتْر َب ٍة َع َلى َو ْج ِه اَأْلْر ِض‬،‫ َوِإَذ ا َك اَن َهَذ ا ِفي َهِذِه الُّتْر َب اِت‬... ،‫َخ اِّصَّيٌة َيْنَفُع ِبَخ اِّصَّيِتِه ِم ْن َأْد َو اٍء َك ِثيَر ٍة‬

73
Ittihaf Az Zair Wa Ithrof Al Muqim Lis Saair, hal. 186
‫ (ابن قيم‬،‫ َو َتْفِو يِض اَأْلْم ِر ِإَلْيِه‬،‫ َو َقاَر َنْت ُر ْقَيَتُه ِباْس ِم َر ِّبِه‬،- ‫ َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم‬- ‫ َو َقْد َخ اَلَطْت ِر يَق َر ُسوِل ِهللا‬،‫َو َأْبَرِكَها‬
.)4/187 ،‫ زاد المعاد‬،‫الجوزية‬

“Makna hadits tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengambil ludah beliau pada
jari telunjuknya, lalu meletakkannya ke tanah, sehingga ada tanah yang menempel, lalu
beliau usapkan pada luka dan mengucapkan kalimat tadi, karena isinya terdapat berkah
Nama Allah, menyerahkan urusan kepada-Nya... Apakah yang dimaksud dengan tanah
bumi kami, berlaku bagi semua bumi atau khusus tanah Madinah? Dalam hal ini ada dua
pendapat. Tidak diragukan lagi, bahwa sebagian tanah memiliki khasiat yang bermanfaat
bagi banyak penyakit... apabila hal ini berlaku dalam semua tanah ini, lalu bagaimana
dengan tanah yang paling suci di muka bumi dan tanah yang paling berkah, dan telah
bercampur dengan ludah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan ruqyah beliau
bersama Nama Tuhannya dan menyerahkan urusan kepada-Nya?” (Ibnu Qayyimil
Jauziyah, Zadul Ma’ad, juz 4 hal. 187).

Pernyataan di atas menyimpulkan, bahwa tanah itu ada barokahnya. Kalau


memang ada barokahnya, berarti bertabaruk hukumnya tidak apa-apa dan syar’i.
Bukankah begitu wahai kawan??

Romli dalam hujjahnya kali ini kembali memelintirkan nukilannya dari Ibnul
Qoyyim Al Jauziyah, selaku ulama rivalnya Romli. Romli berusaha meninggalkan kesan
agar pembaca mengetahui bahwa Ibnul Qoyim membenarkan praktek ngalap barokah
dengan tanah kuburnya Nabi dan orang sholeh.

Sudah kami sampaikan pada pembahasan yang lalu menanggapi cerita Romli
tentang Syaikh ‘Alwi dan Syaikh Sa’di. Bahwa ngalap barokah pada benda-benda yang
memang ada barokahnya adalah dengan kegunaan lazimnya. Jika pada umumnya atau
menurut medis ia berguna menyembuhkan sesuatu penyakit, maka berobat dengan tanah
itulah yang disebut dengan ngalap barokah. Barokahnya terlihat pada khasiatnya.

Begitupula dengan buah zaitun dan air zamzam yang mengandung barokah lewat
kabar dari Al Qur’an sebelumnya. Romli tidak perlu mengambilnya -sebagaimana
mereka mengambil tanah-tanah kubur para Nabi dan orang sholeh-, kemudian ngalap
barokah dari buah zaitun dan air zamzam dengan disimpan di rumah, sebagaimana
menyimpan tanah kubur para Nabi dan orang sholeh-. Atau mereka tidak perlu hanya
menyentuh buah zaitun dan zamzam tanpa mengkonsumsinya dalam mengalap
barokahnya, sebagaimana mereka menyentuh tanah kubur yang dimaksud.

Maka, jika Romli dan kaum ngalap mau jujur, buah zaitun atau zamzam yang
juga barokah, apa ngalap barokahnya dengan disimpan saja, atau dikonsumsi?
Kemungkinan kaum ngalap lainnya akan berpendapat, ngalap barokah zaitun dan
zamzam dengan mengkonsumsinya. Karena mubadzir tidak dimakan. Akhirnya, ngalap
barokahnya sesuai khasiatnya. Karena khasiat yang didapat, itu lah barokahnya. Abu
Dzar Al Ghifari radhiyallahu ‘anhu bercerita,

‫َفَأَتْيُت َز ْم َز َم َفَغ َس ْلُت َع ِّني الِّد َم اَء َو َش ِرْبُت ِم ْن َم اِئَها َو َلَقْد َلِبْثُت َيا اْبَن َأِخ ي َثاَل ِثيَن َبْيَن َلْيَلٍة َو َيْو ٍم َم ا َك اَن ِلي َطَع اٌم ِإاَّل َم اُء‬
‫َز ْم َز َم َفَسِم ْنُت َح َّتى َتَكَّس َر ْت ُعَكُن َبْطِني َو َم ا َو َج ْدُت َع َلى َك ِبِد ي ُس ْخ َفَة ُجوٍع‬
“Aku pun mendatangi sumur zamzam untuk membersihkan darah akibat luka-luka
lemparan tanah liat dan tulang tersebut. Setelah itu, barulah aku meminum air zamzam.
Ketahuilah hai kemenakanku, bahwasanya aku tinggal di sana selama tiga puluh hari,
siang malam tanpa adanya makanan kecuali air zamzam. OIeh karena itu, tidaklah
mengherankan jika kala itu tubuhku menjadi gemuk dan perutku agak gendut tanpa
adanya rasa lapar.” (HR. Muslim)

Ahlus Sunnah sejak dahulu juga telah memandang benda-benda yang dikabarkan
barokah, ngalap barokahnya dengan cara yang sesuai khasiatnya. Jika tanah memang
berkhasiat secara medis untuk membantu penyembuhan luka dan lain sebagainya, maka
hal itu di antara cara ngalap barokah kepada tanah. Oleh sebab itu, sebaiknya Romli tidak
menghilangkan catatan Ibnul Qoyim sebelum nukilan yang ia tampikan sebagai
hujjahnya. Ibnul Qoyim menyatakan,

‫ِع ّلُة اْس ِتْع َم اِل الّتَر اِب ِفي َهِذِه الّر ْقَيِة‬

‫َهَذ ا ِم ْن اْلِع اَل ِج اْلُمَيّس ِر الّناِفِع اْلُمَر ّك ِب َوِهَي ُمَع اَلَج ٌة َلِط يَف ٌة ُيَع اَلُج ِبَه ا اْلُق ُروُح َو اْلِج َر اَح اُت الّطِر ّي ُة اَل ِس ّيَم ا ِع ْن َد َع َد ِم‬
‫َغْيِرَها ِم ْن اَأْلْد ِو َيِة إْذ َكاَنْت َم ْو ُج وَد ًة ِبُك ّل َأْر ٍض َو َق ْد ُع ِلَم َأّن َطِبيَع َة الّت َر اِب اْلَخ اِلِص َب اِرَد ٌة َياِبَس ٌة ُمَج ّفَف ٌة ِلُر ُطوَب اِت‬
‫اْلُقُروِح َو اْلِج َر اَح اِت اّلِتي َتْم َنُع الّطِبيَع ُة ِم ْن َج ْو َد ِة ِفْع ِلَها َو ُسْر َع ِة اْنِد َم اِلَها‬

“Motiv menggunakan tanah pada ruqyah ini.

Praktek ini adalah pengobatan yang mudah dan memiliki banyak manfaat. Ia merupakan
pengobatan yang halus, yang mengobati penyakit kulit (bisul/cacar) dan luka-luka yang
masih basah. Terlebih ketika tidak adanya obat-obatan lainnya. Karena tanah ada di bumi
manapun. Telah diketahui pula bahwa sifat tanah yang bersih adalah dingin, kering, dan
mengeringkan basahnya penyakit kulit dan mengeringkan penyakit-penyakit yang
sifatnya tidak memerlukan sifat tanah tersebut karena memang bagus khasiatnya serta
cepat sembuhnya.”

Beliau menyatakan lagi,

‫َو َطِبيَع ُة الّتَر اِب اْلَخ اِلِص َباِرَد ٌة َياِبَس ٌة َأَشّد ِم ْن ُبُروَد ِة َجِم يِع اَأْلْد ِوَيِة اْلُم ْفَر َد ِة اْلَباِرَد ِة َفُتَقاِبُل ُبُروَد َة الّتَر اِب َح َر اَر ُة اْلَم َر ِض‬
‫اَل ِس ّيَم ا إْن َك اَن الّتَر اُب َقْد ُغ ِسَل َو ُج ّفَف‬

“Sifat tanah yang bersih adalah dingin, kering dan bahkan melebihi dinginnya semua
obat-obatan dingin. Dinginnya tanah akan meredam panasnya sakit. Apalagi jika tanah
dicuci terlebih dahulu kemudian dikeringkan…”
Dengan melihat penjelasan Ibnul Qoyim ini, sayang sekali jika Romli membawa
cara ruqyah pengobatan dengan ngalap barokah pakai tanah, dia jadikan sebagai hujjah
ngalap barokah dengan membawa tanah kubur orang-orang sholeh. ‘Illat atau motiv yang
disampaikan Ibnul Qoyim dalam menggunakan tanah adalah untuk ruqyah pengobatan,
tapi diubah Romli, motivnya bisa jadi untuk dingalap barokahnya. Lihatlah komentar
Romli : Pernyataan di atas menyimpulkan, bahwa tanah itu ada barokahnya. Kalau
memang ada barokahnya, berarti bertabaruk hukumnya tidak apa-apa dan syar’i.
Bukankah begitu wahai kawan??

Romli memang tidak paham maksud dari statemen Ahlus Sunnah mengenai
tabarruk atau ngalap barokah kepada benda-benda yang memang ada barokahnya. Sudah
kita sampaikan bahwa ngalap barokah terhadap benda yang berbarokah adalah dengan
menggunakannya sesuai khasiatnya yang terbukti secara medis dan ilmiyah. Apa kaum
ngalap menggunakan tanah kubur para wali dengan cara sesuai hadits dan penjelasan
Ibnul Qoyim? Apa kaum ngalap menyamakan khasiat tanah, antara tanah pada umumnya
dan tanah kubur orang sholeh dalam praktek mereka?

Mereka harus jujur kalau jawaban keduanya adalah ‘tidak’. Mereka tidak
menggunakan dengan cara sesuai hadits di atas (ambil ludah pakai jari telunjuk, lalu
meletakkannya ke tanah, kemudian tanah yang menempel diusapkan pada luka dan
mengucapkan kalimat ‘bismillaah turbatu ardhinaa biriiqati ba’dhinaa liyusyfa bihi
saqiimunaa bi idzni rabbinaa). Dan mereka juga tidak menyamakan khasiat semua tanah,
karena tanah kuburnya orang sholeh lebih sakti alias barokah daripada tanah selainnya,
makanya tanah mereka lah yang dibuat ngalap barokah, bukan tanah ladangnya atau
halaman rumahnya. Lantas, pantaskah Romli menguatkan hujjahnya dengan cataan Ibnul
Qoyim tersebut?!

Abu Ayyub Al Anshari Meletakkan Wajahnya Ke Makam Nabi?

Romli menuliskan lagi mengenai dalil umat Islam bertabaruk dengan tanah
kuburan para auliya dan orang shaleh menurut asumsinya,

(2) Hadits Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu ‘anhu

‫ َأْقَبَل َم ْر َو اُن َيْو ًم ا َفَو َج َد َر ُج ًال َو اِض ًعا َو ْج َهُه َعلَى اْلَقْبِر َفَقاَل َأَتْد ِر ْي َم ا َتْص َنُع َفَأْقَب َل َع َلْي ِه‬: ‫َع ْن َداُوَد ْبِن َأِبْي َص اِلٍح َقاَل‬
‫َفِإًذ ا ُهَو َأُبْو َأُّيْو َب َفَقاَل َنَعْم ِج ْئُت َر ُسْو َل ِهللا صلى هللا عليه وسلم َو َلْم َآِت اْلَح َج َر َسِم ْع ُت َر ُسْو َل ِهللا صلى هللا عليه وس||لم‬
‫ َ(رَو اُه َأْح َم ُد َو الَّطَب َر اِنُّي َو اْبُن َأِبْي َخْيَثَم َة‬.‫َيُقْو ُل َال َتْبُك ْو ا َعلَى الِّدْيِن ِإَذ ا َو ِلَيُه َأْهُلُه َو َلِكْن ِاْبُك ْو ا َع َلْي ِه ِإَذ ا َو ِلَي ُه َغْي ُر َأْهِل ِه‬
.) ‫َو َص َّح َح ُه اْلَح اِكُم َو الَّذ َهِبُّي والُّسُيْو ِطُّي‬

“Dawud bin Abi Shalih berkata: “Pada suatu hari Marwan datang, lalu menemukan
seorang laki-laki menaruh wajahnya di atas makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Marwan berkata: “Tahukan kamu, apa yang kamu perbuat?” Lalu laki-laki tersebut
menghadapnya, ternyata ia sahabat Abu Ayyub. Lalu ia menjawab: “Ya, aku mendatangi
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bukan mendatangi batu. Aku mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jangan tangisi agama apabila diurus
oleh ahlinya. Akan tetapi tangisilah agama apabila diurus oleh bukan ahlinya.”

Dalam hadits di atas, sahabat Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu ‘anhu


bertabaruk dengan mencium makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Mari kita periksa riwayat dalilnya Romli ini. Terlihat jelas bahwa yang
meriwayatkan kisah ini adalah Daud bin Abi Sholeh. Al Hafizh Adz Dzahabi (w. 784 H)
berkata mengenainya, “Orang Hijaz yang tidak dikenal. Dia memiliki riwayat dari Abu
Ayyub Al Anshari, dan hanya Walid bin Katsir saja yang meriwayatkan hadits darinya.”74

Ibnu Hajar Al Asqolani (w. 852 H) menyatakan, “Daud bin Abi Sholeh Hijazi.
Dia meriwayatkan dari Abu Ayyub Al Anshari. Dan Al Walid bin Katsir meriwayatkan
darinya. Aku (Ibnu Hajar) katakan, ‘Bahwa tidak ada yang meriwayatkan darinya selain
Al Walid bin Katsir. Aku (Ibnu Hajar) sampaikan juga, ‘Hadits yang diisyaratkan
tersebut (yang diriwayatkannya dari Abu Ayyub-pent) telah aku baca dari tulisan Adz
Dzahabi bahwa dia tidak dikenal. Beliau (Adz Dzahabi) berkata dalam Al Mizan
mengenainya, bahwa riwayat yang dimaksud dikeluarkan oleh Ahmad dan Al Hakim dari
jalur Al ‘Aqdi dari Katsir dari Daud dari Abu Ayyub. Dan aku mengira bahwa perkataan
beliau bahwa Al Walid bin Katsir yang meriwayatkannya adalah sebuah dugaan saja.
Akan tetapi –yang benar- dia adalah Katsir bin Zaid, wallahu a’lam.”75

Abu Zar’ah Ar Rozi (w. 264 H) juga menyatakan sama, bahkan haditsnya bernilai
mungkar menurut beliau. Al Bardza’i mengatakan, “Aku bertanya kepada Abu Zar’ah
mengenai Daud bin Abi Sholeh. Dia menjawab, ‘Aku tidak mengenalnya kecuali pada
satu hadits yang dia riwayatkan dari Nafi’ dari Ibnu Umar dari Nabi Shallallahu ‘alaihi
Wasallam, dan ia mungkar’.”76

Al Hafizh Al Munawi (w. 1031 H) dalam kitabnya Faidhul Qadir menyatakan,


“Dan Daud bin Abi Sholeh, berkata Ibnu Hibban, ‘Dia meriwayatkan hadits-hadits
palsu’.”77

Dari keterangan di atas, jelas sekali bahwa Daud yang meriwayatkan hujjahnya
Romli di atas tidak dapat berlaku di kalangan Ahlus Sunnah. Pasalnya, Daud adalah
seorang yang tidak dikenal dalam dunia periwayatan hadits bahkan banyak meriwayatkan
74
Mizan Al I’tidal, no. 2617
75
Tahdzib At Tahdzib, no. 360
76
Adh Dhu’afaa’ wa Ujubah Abi Zar’ah
77
No. 9728
hadits-hadits palsu. Ditambah lagi, yang meriwayatkan hadits darinya cuma satu orang
saja. Yaitu, Al Walid bin Katsir saja. Atau yang benar adalah Katsir bin Zaid. Alasan
bahwa Katsir bin Zaid yang lebih benar adalah karena hadits dari Daud yang dia
ceritakan tentang sahabat Abu Ayyub Al Anshari berasal dari Katsir bin Zaid bukan Al
Walid bin Katsir. Dalam musnad imam Ahmad dengan jelas disebutkan,

‫َح َّد َثَنا َع ْبُد اْلَم ِلِك ْبُن َع ْم ٍر و َح َّد َثَنا َك ِثيُر ْبُن َزْيٍد َع ْن َداُوَد ْبِن َأِبي َص اِلٍح َقاَل َأْقَبَل َم ْر َو اُن َيْو ًم ا َفَو َج َد َر ُج اًل َو اِض ًعا َو ْج َه ُه‬
‫َع َلى اْلَقْبِر َفَقاَل َأَتْد ِر ي َم ا َتْص َنُع َفَأْقَبَل َع َلْيِه َفِإَذ ا ُهَو َأُبو َأُّيوَب َفَق اَل َنَعْم ِج ْئُت َر ُس وَل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْي ِه َو َس َّلَم َو َلْم آِت‬
‫اْلَح َجَر َسِم ْع ُت َر ُسوَل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َيُقوُل اَل َتْبُك وا َع َلى الِّديِن ِإَذ ا َو ِلَي ُه َأْهُل ُه َو َلِكْن اْبُك وا َع َلْي ِه ِإَذ ا َو ِلَي ُه َغْي ُر‬
‫َأْهِلِه‬

“Telah menceritakan kepada kami Abdul Malik bin ‘Amru, telah menceritakan kepada
kami Katsir bin Zaid dari Daud bin Abu Shalih berkata, ‘Pada suatu hari Marwan dst…”78

Maka tepatlah statemen Ibnu Hajar bahwa yang benar adalah Katsir bin Zaid. Dan
itu membuktikan bahwa Daud memang tidak dikenal dalam dunia periwayat hadits
disebabkan yang meriwayatkan darinya cuma Katsir bin Zaid saja, dan yang dia
riwayatkan pun hanya dari sahabat Abu Ayyub Al Anshari saja –yang kami ketahui
sesuai penjelasan ulama sebelumnya-. Dan haditsnya adalah riwayat di atas, hujjahnya
Romli.

Status Katsir bin Zaid sendiri, oleh Ibnul Jauzi (w. 579 H) memasukkannya ke
dalam daftar perowi dho’if (lemah) dan matruk (ditinggalkan haditsnya) dalam salah satu
kitabnya.79 Dalam kitab tersebut dinyatakan bahwa An Nasaai menilainya dho’if. 80 Abu
Zar’ah mengatakan dia layyin (tidak tegas). Yahya bin Ma’in mengatakan dia tidak kuat -
hafalannya-, pernah pula mengatakan dia tsiqqah, dan pernah pula mengatakan dia ‘laisa
bisyai’in’ tidak ada apa-apanya -dalam periwayatan-.81

Penilaian terhadap Katsir ini diperselisihkan oleh ulama. Ada satu riwayat dari
Ahmad bahwa dia tidak mengapa.82 Yang menyatakan ketsiqqohannya adalah Yahya bin
Ma’in dalam keterangan Ibnul Jauzi di atas. Itu pun ada tiga penilaian Yahya
terhadapnya. Penilaiannya tsiqqoh dari Yahya datang lebih dulu dari penilaian rendah
darinya, sehingga Yahya tidak mentsiqqohkannya lagi. Ini dibuktikan bahwa Katsir
masuk dalam daftar Al Majruhin (daftar periwayat yang majruh/cacat kredibelitas) oleh
Ibnu Hibban (w. 354 H) dengan menyatakan, “Dia banyak keliru di dalam riwayatnya
yang sedikit. Aku tidak mau berhujjah dengannya jika dia menyendiri. Aku mendengar
78
Musnad Ahmad, no. 23585
79
Adh Dhu’afaa’ wa Al Matrukiin, no. 2786
80
An Nasaai juga memiliki kitab yang mendahuluinya dengan nama kitab yang sama Adh Dhu’afaa’ wa Al
Matruukiin. Dalam kitabnya tersebut Katsir bin Zaid adalah periwayat dho’if dalam daftar no. 505
81
Penilaian Yahya bin Ma’in ‘Laisa Bisyai’in’ bermakna, ‘Dia sedikit haditsnya’ yaitu ketika beliau
menyatakan dengan mutlak. Atau bermakna ‘Dho’if yang parah’. (At Takhrij Wa Dirosah Al Asanid, Hatim
bin 'Arif As Syarif)
82
Al ‘Ilal wa Ma’rifatu Ar Rijal, no. 2406
Al Hambali mengatakan, ‘Aku mendengar Ahmad bin Zuhair berkata, ‘Yahya bin Ma’in
ditanya tentang Katsir bin Zaid, maka dia menjawab, ‘Dia tidak kuat –hafalannya-’. Dia
pun mengatakan bahwa Katsir tidak ada apa-apanya -dalam periwayatan-. Kemudian dia
pun menyatakan dhorb ‘alaih (merendahkan penilainnya atau melarang
mendengarnya).”83

Setelah Katsir, perowi di atasnya adalah Marwan. Dalam riwayat ini, orang yang
menceritakan kisah Abu Ayyub adalah Marwan. Marwan bin Al Hakam bin Abu Al ‘Ash
adalah kholifah Bani Umayyah yang pertama kali melakukan bid’ah dengan
mendahulukan khutbah ‘ied daripada sholat. Marwan bahkan dinasehati oleh salah
seorang yang hadir, yang sikapnya itu adalah bagian dari amar ma’ruf nahi mungkar
terhadap kebid’ahannya Marwan.

Dalam Sunan Abu Daud disebutkan, “Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu
berkata, ‘Marwan pernah mengeluarkan mimbar pada waktu hari raya. Dia pun mulai
khutbah sebelum shalat. Seorang laki-laki berdiri dan berkata, ‘Wahai Marwan, kamu
telah menyelisihi sunnah, kamu telah mengeluarkan mimbar pada hari raya, padahal
mimbar belum pernah sama sekali di keluarkan. Dan kamu juga memulai khutbah
sebelum shalat’. Abu Sa’id Al Khudri berkata, ‘Siapakah laki-laki ini?’ Mereka
menjawab, ‘Fulan bin fulan’. Abu Sa'id berkata, ‘Orang ini telah melaksanakan
kewajibannya. Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda,
‘Barangsiapa melihat kemungkaran, hendaklah semampunya ia merubah dengan
tangannya, jika tidak mampu, maka dengan lisannya, dan jika tidak mampu, maka dengan
hatinya, dan yang demikian itu adalah selemah-lemah iman’.”

Hadits di atas terdapat pula dalam shahih Muslim dengan sedikit perbedaan. 84
Keduanya menjelaskan kebid’ahan Marwan yang telah dinasehati oleh seseorang saat itu.
Bukan hanya yang pertama kali melakukan bid’ah mimbar dan khutbah ‘ied, Marwan
juga selalu mencaci sahabat mulia Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu saat khutbah
Jum’at. Putra imam Ahmad meriwayatkan, “Ayahku mengatakan, berkata kepada Ismail,
berkata kepada kami Ibnu ‘Aun dari Umair bin Ishaq yang berkata, ‘Marwan pernah
berkuasa terhadap kami selama enam tahun. Dia mencaci Ali setiap fardhu Jum’at yang
kemudian dipecat –tugas Jum’at, pent-. Kemudian dia digantikan Sa’id bin Al ‘Ash

83
Al Majruhiin, no. 891
84
“Orang pertama yang berkhutbah pada hari raya sebelum shalat hari raya didirikan ialah Marwan. Lalu
seorang lelaki berdiri dan berkata kepadanya, ‘Shalat hari raya hendaklah dilakukan sebelum membaca
khutbah’. Marwan menjawab, ‘Sungguh, apa yang ada dalam khutbah sudah banyak ditinggalkan’.
Kemudian Abu Sa’id berkata, ‘Sungguh, orang ini telah melakukan sebagaimana yang pernah aku dengar
dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam, ‘Barangsiapa melihat kemungkaran, hendaklah semampunya
ia merubah dengan tangannya, jika tidak mampu, maka dengan lisannya, dan jika tidak mampu, maka
dengan hatinya, dan yang demikian itu adalah selemah-lemah iman’.”
selama dua tahun. Dia tidak mencaci Ali. Kemudian berulang lagi kepada Marwan, dan
dia pun kembali mencaci Ali.”85

Bahkan tidak hanya selalu mencaci sahabat Ali, Marwan pun membunuh salah
seorang sahabat yang dijamin masuk surga di perang Jamal, Tholhah bin Ubaidillah
radhiyallahu ‘anhu. Al Hafizh Adz Dzahabi (w. 784 H) mengatakan, “Dia punya
beberapa perbuatan dosa besar. Kita memohon kepada Allah keselamatan. Dia telah
membunuh Tholhah dengan panah. Dia menyerangnya, dan menyerangnya.”86

Imam Bukhori memang pernah mengeluarkan hadits dari Marwan. Namun


sebagian besar ulama tidak menyukai hal itu. Ibnu Hibban bahkan berlindung pada Allah
dari berhujjah dengan riwayat Marwan. Badaruddin Al ‘Aini (w. 855 H) dalam kitabnya
menyatakan, “Marwan bin Al Hakam bin Abi Al ‘Ash Umayyah: Abu Abdul Malik Al
Umawi Al Madani, bukan dari sahabat. Berkata Ibnu Hibban, ‘Ma’adzallah (semoga
Allah melindungi) dari berhujjah dengannya’.”87

Ibnu Hajar Al Asqolani (w. 852 H) juga menuliskan pernyataan ulama mengenai
sikap Bukhori yang mengeluarkan haditsnya. Kata beliau, “Al Isma’ili mencela Al
Bukhori karena mengeluarkan hadits darinya. Dosa besarnya Marwan adalah membunuh
Tholhah, salah seorang dari sepuluh sahabat yang dijamin surga.”88

Dengan keterangan ini, Marwan bin Al Hakam bin Abu Al ‘Ash memang
sepantasnya menjadi periwayat hadits dho’if. Sebagaimana Al Hafizh Adz Dzahabi (w.
784 H) yang memasukkannya dalam daftar perowi dho’if dalam salah satu kitabnya. 89
Marwan juga masuk daftar periwayat mursal dalam kitab Ibnu Abi Hatim, 90 dan Al
‘Alaai.91

Oleh sebab itu, kemajhulan Daud bin Abi Sholeh beserta status Katsir bin Zaid
yang masuk dalam daftar perowi dhoi’f dan matruk serta majruh, kemudian Marwan
yang kita berlindung dari berhujjah denganya, ditambah lagi dalam redaksinya ada
keganjilan, menjadikan riwayat ini tertolak. Akan semakin tertolak karena praktek
semacam itu akan membuka dzaraai’ (wasilah) kepada pengkultusan terhadap Nabi dan
orang sholeh yang ditutup rapat oleh syari’at.

Keganjilan redaksi hadits yang kami maksud adalah praktek Abu Ayyub
meletakkan wajah atau kepala ke kubur Nabi. Kuburnya Nabi tentu rata sebagaimana

85
Al ‘Ilal wa Ma’rifatu Ar Rijal, no. 4781
86
Mizan Al I’tidal, no. 8422
87
Maghani Al Akhyar, no. 585
88
Tahdzib At Tahdzib, no. 166
89
Al Mughni Fi Ad Dhu’afaa’, no. 6163
90
Al Marosil, no. 360
91
Jami’ At Tahshil Fi Ahkam Al Marosil, no. 748
permukaan tanah, dan itu sesuai pesan Nabi kepada ummatnya. 92 Para sahabat tentu tidak
mungkin melakukan hal itu, dikarenakan wajah yang diletakkan ke kubur yang rata
dengan tanah menggambarkan sifat sujud kepada kubur. Sedangkan Nabi sendiri
melarang ummatnya membangun masjid di kubur sebagai tempat sholat atau sujud. Tidak
mungkin ada kubur yang disujudi, sekalipun dengan niat ngalap barokah dan masih
menyembah Allah.

Al Hafizh Al Munawi (w. 1031 H) dalam kitabnya yang masyhur –dan telah
dijadikan Romli sebagai rujukannya- menyatakan,

‫( فزوروا القبور ) أي بشرط أن ال يقترن بذلك تمسح بالقبر أو تقبيل أو سجود عليه أو نحو ذلك فإنه كما ق||ال السبكي‬
‫بدعة منكرة إنما يفعلها الجهال‬

“Sabda Nabi (Maka berziarahlah), artinya dengan syarat tidak menyertainya dengan
menyentuh kubur atau menciumnya atau sujud kepadanya atau yang semisalnya. Karena
hal itu sebagaimana yang dikatakan As Subki, adalah perbuatan bid’ah mungkaroh yang
hanya dilakukan oleh orang bodoh.”93

Al Bajirumi dalam kitabnya yang juga sangat mashyur menyatakan hal senada,

‫ فإنه دأب النص|ارى ؛ قال|ه‬، ‫فزوروها بشرط أن ال يق|ترن بذلك تمسيح بق|بر أو تقبيله أو س|جود عليه أو نح|و ذل|ك‬
. ‫ فعل ذلك بدعة منكرة إنما يفعلها الجهال‬: ‫ قال السبكي‬. ‫الغزالي‬

“Maka berziarahlah dengan syarat tidak menyertainya dengan menyentuh kubur atau
menciumnya atau sujud kepadanya atau yang semisalnya. Karena perbuatan itu adalah
kebiasaan kaum nashrani, Al Ghozali mengatakan demikian. As Subki berkata,
‘Perbuataan itu adalah bid’ah mungkaroh yang hanya dilakukan oleh orang-orang
bodoh’.”94

Lihatlah fatwa As Subki (w. 756 H) yang dinukil kembali oleh Al Munawi dan Al
Bajirumi. Ketiganya adalah ulama bermadzhab Syafi’i. Hanyasaja As Subki
membolehkan tawassul kepada Nabi yang telah wafat di kuburnya, sekalipun melarang
menyentuh kubur.95

92
Tsumamah bin Syufay menceritakan, “Kami pernah berada di negeri Romawi bersama Fadhalah bin
Ubaid, tepatnya di Rudis. Lalu salah seorang dari sahabat kami meninggal dunia. Maka Fadhalah bin Ubaid
pun memerintahkan untuk menguburkannya dan meratakan kuburannya. Kemudian ia berkata, ‘Saya
telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam memerintahkan untuk meratakan kuburan’.”(HR.
Muslim).
Ali bin Abu Thalib berkata, “Maukah kamu aku utus sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam
telah mengutusku? Hendaklah kamu jangan meninggalkan patug-patung kecuali kamu hancurkan, dan
jangan pula kamu meninggalkan kuburan kecuali kamu ratakan.” (HR. Muslim)
93
Faidh Al Qadir, no. 6430
94
Tuhfah Al Habib ‘Ala Syarh Al Khotib, hal. 573
95
Dalam Fatwanya disebutkan, “Berdoa dan bertawassul dengan Beliau kepada Allah Azza wa jalla.
Namun jangan menyentuh kubur dan mendekatinya.” (Fatawa As Subki)
Oleh sebab itu, sangat ganjil sekali tambahan redaksi palsu dari Abu Ayyub yang
dibawakan Romli. Karena tidak mungkin seorang sahabat berbuat bid’ah mungkaroh.
Romli dkk saja yang dalam hal ini lebih tepat disebut Ahlul bid’ah mungkaroh sesuai
statemen ulamanya sendiri -As Subki- di atas. Dan jika Romli tidak setuju dengan
penilaian As Subki itu, kemungkinan Romli akan menolak vonis bid’ah tersebut. Atau,
untuk membantah vonis bid’ah mungkaroh As Subki tentang menyentuh kubur,
menciumnya dan sejenisnya itu, Romli membuat buku baru berjudul ‘Buku Pintar
Mendebat As Subki’, atau ‘As Shorimul Munki Fi Rodd ‘Ala As Subki’ –meniru judul
karya Ibnu Abdil Hadi Al Hambali (w.744 H) yang membela Syaikhul Islam Ibnu
Taimiah dari kritikan As Subki-. Atau bagi Romli, As Subki adalah ulamanya saat
mengkritik Ibnu Taimiyah, namun dia juga ulamanya Wahhabi karena juga doyan
membid’ahkan amalannya satu ini.

Nakaroh atau keganjilan kedua pada redaksi hadits adalah kubur Nabi yang
terletak di kamar Aisyah. Bagaimana mungkin Aisyah radhiyallahu ‘anha membiarkan
Abu Ayyub berbuat seperti itu di kamarnya yang terdapat kubur Nabi ? Padahal Aisyah
mengatakan, “Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda ketika Beliau sakit yang
membawa kepada kematiannya, ‘Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nashrani
disebabkan mereka menjadikan kuburan para Nabi mereka sebagai masjid’. Kalau bukan
karena sabda Beliau tersebut tentu sudah mereka pindahkan kubur Beliau (dari dalam
rumahnya), namun aku tetap khawatir nantinya akan dijadikan masjid.” (HR. Bukhori)

Selanjutnya, nakaroh atau keganjilan ketiga pada redaksi hadits adalah perbedaan
antara riwayat Ahmad sebelumnya dan riwayat At Thobroni sendiri, tepatnya dalam
Mu’jam Al Ausathnya. At Thobroni mengeluarkan riwayat ini dengan redaksi tanpa
cerita ganjil Abu Ayyub di kubur Nabi . Disebutkan,

‫حدثنا أحمد بن رشدين قال حدثنا سفيان بن بشير الكوفي قال حدثنا حاتم بن إسماعيل عن كثير بن زي||د عن المطلب بن‬
‫ ال تبكوا على الدين إذا وليتموه أهله ولكن ابكوا عليه‬: ‫عبد هللا بن حنطب عن أبي أيوب األنصاري قال قال رسول هللا‬
‫إذا وليتموه غير أهله ال يروى هذا الحديث عن أبي أيوب إال بهذا اإلسناد تفرد به حاتم‬

“Berkata kepada kami Ahmad bin Rusydin, berkata kepada kami Sufyan bin Basyir Al
Kufi, berkata kepada kami Hatim bin Ismail dari Katsir bin Zaid dari Al Mutholib bin
Abdullah bin Hanthob dari Abu Ayyub Al Anshari berkata, ‘Rasulullah bersabda,
‘Jangan tangisi agama apabila diurus oleh ahlinya. Akan tetapi tangisilah agama
apabila diurus oleh yang bukan ahlinya’. Tidak ada yang meriwayatkan hadits ini dari
Abu Ayyub kecuali hanya sanad ini, Hatim tafarrud (berbeda sendiri).”96

Maka bisa dipastikan, keganjilan redaksi ini membuktikan bahwa cerita Abu
Ayyub di kubur Nabi hanya bagian dari wahm (khayalan) Katsir bin Zaid saja. Katsir
mengkhayalkannya karena pesan Nabi kepada Abu Ayyub berawal larangan Nabi agar

96
Al Mu’jam Al Ausath, no. 284
jangan menangisi agama. Sehingga timbul lah cerita bahwa Abu Ayyub menangis dengan
meratap di kubur Nabi. Periwayat shahih tidak mungkin melakukan wahm dalam
meriwayatkan hadits. Hanya periwayat dho’if dan majruh seperti Katsir yang
melakukannya. Dan seharusnya, Katsir hanya meriwayatkan sebagaimana dalam Mu’jam
Al Ausath At Thobroni, tanpa ada cerita khayalan dia. Karena riwayat tersebut juga dari
Katsir. Hanyasaja, hadits ini juga membuat semakin lemahnya riwayat karena Syeikh
yang di atasnya Katsir tidak jelas siapa yang benar. Apakah Katsir mendapat riwayat ini
dari Daud atau dari Al Mutholib? Yang jelas keduanya tidak bisa saling menguatkan.
Katsir bukanlah periwayat yang haditsnya berasal dari banyak Syeikh dalam satu hadits
yang dia bawa. Hadits Daud juga berbeda dengan hadits Al Mutholib. Yang pertama
membawakan cerita Abu Ayyub di kubur Nabi, sedangkan yang kedua tidak ada cerita
itu.

Belum lagi jika ternyata riwayat yang tanpa cerita khayalan dari Al Mutholib
tersebut juga lemah. Karena Hatim bin Ismail –sesuai keterangan At Thobroni- berbeda
sendiri dari periwayat-periwayat lain. Al Mutholib bin Abdullah bin Hanthob sendiri
menurut Ibnu Abi Hatim Ar Rozi dalam pernyataannya, “Aku mendengar bapakku
mengatakan, ‘Al Mutholib bin Abdullah bin Hanthob, umumnya haditsnya dia adalah
mursal. Dia tidak bertemu sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam kecuali hanya Sahl
bin Sa’ad, Anas, Salamah bin Al Akwa’ dan yang dekat dari mereka. Dia juga tidak
mendengar dari Jabir, Yazid bin Tsabit dan Imron bin Hushain.”97

Sudah Hatim berbeda sendiri, ditambah lagi Al Mutholib periwayat hadits mursal,
jenis lain hadits dho’if. Bahkan dia tidak pernah ketemu sahabat Nabi kecuali yang
disebutkan Ibnu Abi Hatim sebelumnya. Bagaimana mungkin dia menceritakan tentang
Abu Ayyub? Oleh sebab itu, semua hadits dari beda jalur ini tidak bisa saling
menguatkan. Sehingga ia harus ditolak apalagi dalam masalah aqidah kita yang suci ini,
wallahu a’lam.

Adapun penilaian shahih dari Al Hakim dalam Mustadrok (no. 8571) adalah
bagian dari hadits-hadits yang beliau shahihkan namun hakikatnya tidak. Beliau adalah
ulama hadits yang dikenal tasahul atau bermudah-mudahan dalam menshahihkan hadits.
Dan ada beberapa hadits yang beliau shahihkan padahal sebaliknya.

Ibnu Sholah (w. 643 H) menyatakan,

‫ َو َج َم َع َذ ِل َك ِفي ِكَت اٍب‬، ‫َو اْع َتَنى اْلَح اِكُم َأُبو َع ْبِد ِهَّللا اْلَح اِفُظ ِبالِّز َياَد ِة ِفي َعَد ِد اْلَحِد يِث الَّص ِح يِح َع َلى َم ا ِفي الَّص ِح يَح ْيِن‬
‫ َق ْد َأْخ َر َج ا َع ْن ُر َو اِت ِه ِفي‬، ‫َسَّم اُه (اْلُم ْس َتْد َر َك ) َأْو َدَعُه َم ا َلْيَس ِفي َو اِح ٍد ِم َن الَّص ِح يَح ْيِن ِمَّم ا َر آُه َع َلى َش ْر ِط الَّش ْيَخْيِن‬
‫ َو َم ا َأَّد ى اْج ِتَه اُد ُه ِإَلى َتْص ِح يِحِه َو ِإْن َلْم َيُك ْن َع َلى‬، ‫ َأْو َع َلى َشْر ِط ُم ْس ِلٍم َو ْح َد ُه‬، ‫ َأْو َع َلى َشْر ِط اْلُبَخ اِر ِّي َو ْح َد ُه‬، ‫ِكَتاَبْيِهَم ا‬
: ‫ َفاَأْلْو َلى َأْن َنَتَو َّس َط ِفي َأْم ِر ِه َفَنُقوَل‬. ‫ ُم َتَس اِهٌل ِفي اْلَقَض اِء ِبِه‬، ‫َو ُهَو َو اِس ُع اْلَخ ْطِو ِفي َشْر ِط الَّص ِح يِح‬. ‫َشْر ٍط َو اِحٍد ِم ْنُهَم ا‬
‫ ُيْح َتُّج ِب ِه‬، ‫ ِإْن َلْم َيُك ْن ِم ْن َقِبيِل الَّص ِح يِح َفُه َو ِم ْن َقِبيِل اْلَحَس ِن‬، ‫ َو َلْم َنِج ْد َذ ِلَك ِفيِه ِلَغْي ِر ِه ِم َن اَأْلِئَّم ِة‬، ‫َم ا َح َك َم ِبِص َّح ِتِه‬

97
Al Marosil, no, 785
‫َو ُيَقاِرُب ُه ِفي ُح ْك ِم ِه َص ِح يُح َأِبي َح اِتِم ْبِن ِح َّب اَن اْلُبْس ِتِّي َر ِح َم ُهُم ُهَّللا‬. ‫ ِإاَّل َأْن َتْظَهَر ِفيِه ِع َّل ٌة ُت وِج ُب َض ْع َفُه‬، ‫َو ُيْع َم ُل ِبِه‬
. ‫ َو ُهَّللا َأْعَلُم‬. ‫َأْج َم ِع يَن‬

“Al Hakim Abu Abdillah Al Hafizh banyak menambahkan hadits shahih di luar
shahihain (Bukhori Muslim). Beliau mengumpulkannya dalam kitab yang beliau
namakan Al Mustadrok. Beliau menuliskannya yang bukanlah sebagai salah satu dari dua
shahih (shahihain), baik yang beliau pandang sesuai syarat dua syaikh (Bukhori Muslim)
dan telah dikeluarkan oleh dua syaikh dalam dua kitab shahihnya, atau yang sesuai syarat
Bukhori saja, atau yang sesuai syarat Muslim saja, atau yang berasal dari ijtihad beliau
dalam menshahihkannya yang tidak sesuai syarat salah satu dari dua syaikh. Beliau orang
yang luas pengetahuannya mengenai syarat shahih, dan mutasahil (memudahkan) dalam
menentukannya. Maka yang utama adalah bersikap tawassuth (pertengahan)
mengenainya. Kita katakan, bahwa apa saja yang beliau hukumi shahih dan kita tidak
menemukan para imam-imam hadits menyatakannya, maka jika tidak pula dari jalur
shahih ia adalah dari jalur hasan yang dijadikan hujjah dan boleh beramal dengannya.
Kecuali jika tampak jelas adanya ‘illat (cacat) yang mengharuskan mendho’ifkannya.
Yang dekat dengan hukum beliau ini adalah Shahih Abi Hatim, Ibnu Hibban, Al Busti
rahimahumullah ajma’in, wallahu a’lam.”98

Al Hafizh Adz Dzahabi (w. 784 H), sebelum menyatakan kitab Mustadrok Al
Hakim sebagai kitab yang telah beliau ringkas dan menyatakan bermanfaat, beliau
mengatakan,

،‫ ولعل مجموع ذلك ثلث الكتاب بل أقل‬،‫ وشيء كثير على شرط أحدهما‬،‫بل في (المستدرك) شيء كثير على شرطهما‬
‫ وقطع|ة من‬،‫ وفي الباطن لها علل خفية مؤثرة‬،‫فإن في كثير من ذلك أحاديث في الظاهر على شرط أحدهما أو كليهما‬
‫ وفي غضون ذلك أح||اديث نح||و‬،‫ وباقي الكتاب مناكير وعجائب‬،‫ وذلك نحو ربعه‬،‫الكتاب إسنادها صالح وحسن وجيد‬
‫المائة يشهد القلب ببطالنها‬

“Bahkan dalam Al Mustadrok, banyak riwayat yang sesuai syarat kedua syaikh
(Bukhori dan Muslim). Banyak pula sesuai syarat salah satu dari kedua syaikh. Namun
semuanya terkumpul di sepertiga kitab tersebut bahkan lebih sedikit lagi. Karena
memang secara zahir banyak dalam kitab itu hadits-hadits yang sesuai syarat salah satu
syaikh atau keduanya. Namun secara batin, ia memiliki ‘illat yang samar namun
berpengaruh. Maka, sebagian di dalam kitab tersebut ada yang sanadnya sholih, hasan
dan jayyid. Semuanya tergabung di seperempatnya saja. Dan sisanya (3/4) yang ada di
kitab tersebut adalah riwayat mungkar dan mengherankan. Daripadanya ada sekitar
seratus hadits yang disaksikan oleh hati akan kebatilannya.”99

Oleh sebab itu, penilaian shahih Al Hakim terhadap hadits dalam bahasan ini
harus disikapi sebagaimana pengecualian yang dinyatakan Ibnu Sholah di atas. Ketika

98
Al Ba’its wa Al Hatsis
99
Siyar A’lam An Nubala’, no. 100
para imam hadits tidak menshahihkan dan Al Hakim menshahihkan bisa jadi itu hadits
hasan yang boleh berhujjah dengannya. Tapi ketika adanya ‘illat, dan itu telah kita
sampaikan sebelumnya, maka harus menyatakannya dho’if dan tidak dapat berhujjah
dengannya dalam pengamalan yang seharusnya dilakukan sadd dzaraai’ terhadapnya.

Ibnu Umar Meletakkan Tangan Ke Makam Nabi?

Romli menuliskan dalil lainnya,

(3) Sahabat Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma meletakkan tangan


kanannya ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setiap datang dari perjalanan.

‫ ُثَّم َيْأِتي الَّنِبَّي صلى هللا عليه وسلم َفَيَض ُع َي َد ُه‬، ‫ َك اَن ِإَذ ا َقِد َم ِم ْن َس َفٍر َص َّلى َس ْج َد َتْيِن ِفي اْلَم ْس ِج ِد‬، ‫ َأَّن اْبَن ُع َم َر‬،‫َع ْن َناِفٍع‬
‫اْلَيِم يَن َع َلى َقْبِر الَّنِبِّي صلى هللا عليه وس|لم َو َيْس َتْد ِبُر اْلِقْبَل َة ُثَّم ُيَس ِّلُم َع َلى الَّنِبِّي ص|لى هللا عليه وس|لم ُثَّم َع َلى َأِبي َبْك ٍر‬
.) ‫ (َر َو اُه اْلَقاِض ْي ِفْي َفْض ِل الَّص َالِة َعلَى الَّنِبِّي صلى هللا عليه وسلم ِبِإْسَناٍد َح َس ٍن‬. ‫َو ُع َم َر‬

“Dari Nafi’, bahwa apabila Ibnu Umar datang dari suatu perjalanan, ia menunaikan shalat
dua raka’at di Masjid, lalu mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu meletakkan
tangan kanannya ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan membelakangi kiblat,
kemudian mengucapkan salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian
kepada Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma”. (Al-Qadhi Ismail al-Baghdadi,
Fadhl al-Shalat ‘ala al-Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, hal. 84.)

Sumber riwayat ini diambil Romli dari kitabnya Al Qodhi Ismail, Fadhlu As
Sholah ‘Ala An Nabi. Kitab ini pernah ditahqiq oleh Syaikh Al Albani dan
menyatakannya dho’if.100 Namun, tahqiq Al Albani ini tentu tidak diterima Romli. Selain
karena Al Albani adalah ulama yang dilabeli Romli sebagai ulama Wahhabi, Romli juga
kemungkinan memiliki alasan menyatakannya hasan bukan dho’if, sehingga tidak
menyetujui tahqiq Al Albani. Dan kami belum mengerti apa alasan dan kronologinya
Romli menyatakannya hasan.

Yang jelas bahwa salah satu periwayatnya adalah Ishaq bin Muhammad Al
101
Farwi. Mengenai periwayat ini, Abu Ja’far Al ‘Uqaili (w. 322 H) memasukkan dalam
daftar perowi dho’if.102 Ibnul Jauzi juga menyatakannya masuk dalam Ad Dhu’afaa’ wa
Al Matrukin.103 An Nasaai juga melakukan hal sama dalam nama kitab yang juga sama
seperti Ibnul Jauzi, dan menyatakkan dia tidak tsiqqah.104

100
No. 101
101
Sebagaimana disebutkan Syaikhul Islam dalam Ar Radd ‘Ala Al Akhnai
102
Ad Dhu’afaa’, no. 125
103
Ad Dhu’afaa’ wa Al Matrukin Ibnul Jauzi, no. 330
104
Ad Dhu’afaa’ wa Al Matrukin An Nasaai, no. 49
Penilaian ulama di atas sangat tepat sekalipun Bukhori pernah mengeluarkan
hadits darinya. Dalam Sualaat Hamzah As Sahmi disebutkan, “Aku bertanya kepadanya
(Ad Daruquthni) tentang Ishaq bin Muhammad Al Farwi temannya Malik. Ia menjawab,
‘Dia dho’if. Bukhori telah meriwayatkan darinya. Sehingga mereka (ulama hadits)
menjelekkan beliau dalam masalah riwayat ini’.”105

Al Farawi adalah seorang tuna netra. Kondisi seperti itulah yang membuat ulama
mendho’ifkannya. Makanya Ibnu Hajar menyatakan, “Kemungkinan diriwayatkan
Bukhori melalui perantara.”106

Adapun jika memang tidak mempermasalahkan sanadnya, maka lihatlah matan


(redaksi)nya. Dalam kitab yang sama, satu hadits dari sebelum riwayat ini, disebutkan,

‫ الَّس َالُم َع َلْيَك َيا َر ُسوَل ِهَّللا الَّسَالُم َع َلْيَك َي ا‬: ‫ َأَّن اْبَن ُع َم َر َك اَن ِإَذ ا َقِد َم ِم ْن َس َفٍر َد َخ َل اْلَم ْس ِج َد ُثَّم َأَتى اْلَقْبَر َفَقاَل‬: ‫َع ْن َناِفٍع‬
.‫َأَبا َبْك ٍر الَّس َالُم َع َلْيَك َيا َأَبَتاُه‬

“Dari Nafi’, bahwa apabila Ibnu Umar datang dari suatu perjalanan, ia masuk masjid
kemudian mendatangi kubur, dan berkata, ‘Assalamu’alaika ya Rasulallah,
assalamu’alaika ya Aba Bakr, assalamu’alaika ya abtaah’.”

Hadits kedua ini dinyatakan shahih oleh Al Albani dalam tahqiqnya dan
kemungkinan Romli juga menyatakannya demikian. Oleh sebab itu, riwayat pertama
tertolak karena bertentangan dengan riwayat kedua barusan ini. Alasannya, riwayat kedua
di atas sama-sama dalam kitab Al Qodhi Isma’il dan secara redaksi riwayat pertama ada
pertentangan dari riwayat lain mengenai sikapnya Ibnu Umar di kubur Nabi. Riwayat
kedua yang menolak riwayat pertama juga dikeluarkan dalam redaksi yang sama oleh Al
Baihaqi dalam Sunan Kubro-nya.107 Al Baihaqi menuliskan dua riwayat Ibnu Umar ini,
dan yang satunya hanya menyatakan beliau berdiri di hadapan kubur Nabi, kemudian
mengucapkan salam dan berdo’a untuk mereka bertiga.108

Kami tekankan, dalam riwayat Al Baihaqi terserbut, Ibnu Umar hanya berdoa
untuk mereka bertiga (Nabi, Abu Bakar, Umar), dan bukan sebaliknya meminta mereka
bertiga mendoakan beliau di kubur mereka. Karena hal itu adalah tawassul bil amwat.
Dan jika memang beliau hanya mengucapkan salam kepada Nabi dan dua sahabatnya
maka ucapkan di arah wajah Beliau dan berdoalah untuknya.109
105
Sualaat Hamzah, no. 190
106
Fathul Bari, no. 2767
107
No. 10570
108
No. 10571
109
Berkata Abu Musa, “Siapa yang bermaksud salam kepada mayit, maka salamlah dari bagian depan
wajahnya. Tapi jika ingin mendoakannya, maka hendaklah dia berpindah dari tempatnya dan menghadap
kiblat.” (Al Majmu’, 5/311). Imam Al Qorofi menyatakan, “Dan sifat salam, berkata imam Malik, ‘Dia
datang ke kubur dari arah kiblat, dan ketika telah dekat ia ucapkan salam, bersholawat dan berdo’a -untuk
Beliau-, dan pergi. Dia sebutkan pula Abu Bakar dan Umar jika mau. Salam kepada Rasulullah di kuburnya
seperti salam saat tasyahhud sholat, ‘Assalamu'alaika ayyuhan nabiy warahmatullah wabarakatuh.
Kemudian, riwayat pertama tertolak juga karena bertentangan dengan sikap Ibnu
Umar yang sebenarnya. Ibnu Qudamah Al Hambali menuliskan apa yang sebenarnya
dilakukan Ibnu Umar di sisi kubur Nabi,

: ‫ ق||ال األث||رم‬. ‫ ما أعرف هذا‬: ‫ قال أحمد‬، ‫ وال يستحب التمسح بحائط قبر النبي صلى هللا عليه وسلم وال تقبيله‬: ‫فصل‬
‫ ق||ال أبو عبد‬. ‫رأيت أهل العلم من أهل المدينة ال يمسون قبر النبي صلى هللا عليه وسلم يقومون من ناحية فيسلمون‬
، ‫ يعني ما رواه إبراهيم بن عبد الرحمن بن عبد الق|ارئ‬. ‫ أما المنبر فقد جاء فيه‬: ‫ قال‬. ‫ وهكذا كان ابن عمر يفعل‬: ‫هللا‬
. ‫ وهو يضع يده على مقعد النبي صلى هللا عليه وسلم من المنبر ثم يضعها على وجهه‬، ‫أنه نظر إلى ابن عمر‬

“Pasal : Tidak dianjurkan mengusap dan mencium dinding kubur Nabi Shallallahu ‘alaihi
Wasallam. Berkata Ahmad, ‘Saya tidak mengenal perilaku ini’. Al Atsrom berkata, ‘Saya
telah menyaksikan ulama kota Madinah tidak melakukan menyentuh kubur Nabi
Shallallahu ‘alaihi Wasallam, mereka hanya berdiri di samping kubur dan mengucapkan
salam’. Abu Abdillah berkata, ‘Seperti inilah Ibnu Umar melakukannya’. Beliau
mengatakan juga, ‘Adapun –menyentuh- mimbar, ada keterangan yang menjelaskan hal
itu, yaitu yang di riwayatkan oleh Ibrahim bin Abdurrahman Bin Al Qori’, beliau melihat
Ibnu Umar meletakkan tangannya di atas tempat duduk di bagian mimbar Nabi
Shallallahu ‘alaihi Wasallam, dan meletakkan wajahnya’.”110

Al Hafizh Adz Dzahabi (w. 784 H) pernah pula menuliskan riwayat dari
Muhammad bin ‘Ashim bin Abdullah Abu Ja’far Ats Tsaqafi (w. 262 H). Dalam
profilnya, Adz Dzahabi menampilkan riwayatnya Ats Tsaqafi menceritakan perihal Ibnu
Umar radhiyallahu ‘anhu,

‫ أخبرنا أبو‬،‫ أخبرنا أبو علي الح||داد حض||ورا‬،‫ عن أبي جعفر محمد بن أحمد‬،‫قرأت على أحمد بن عبد المنعم المعمر‬
‫ أنه كان‬،‫ عن ابن عمر‬،‫ عن نافع‬،‫ عن عبيد هللا‬،‫ حدثنا أبو أسامة‬،‫ حدثنا محمد بن عاصم‬،‫ حدثنا عبد هللا بن جعفر‬،‫نعيم‬
‫سمعنا جزء محمد بن عاصم باالتصال‬. ‫يكره مس قبر النبي صلى هللا عليه وسلم‬

“Aku (Adz Dzahabi) telah membacakan di depan Ahmad bin Abdul Mun’im Al
Mu’ammari, dari Abu Ja'far Muhammad bin Ahmad, telah mengabarkan kepada kami
Abu Ali Al Haddad, mengabarkan kepada kami Abu Nu’aim, berkata kepada kami
Abdullah bin Ja’far, berkata kepada kami Muhammad bin Ashin, berkata kepada kami
Abu Usamah dari Ubaidullah dari Nafi’ dari Ibnu Umar, bahwa beliau membenci
menyentuh kubur Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Kami pun telah mendengar
beberapa bagian riwayat Muhammad bin ‘Ashim secara bersambung.”111

Ibnu Al Hajj Al Maliki (w. 737 H) turut menuliskan,

Sholawat kepada Beliau juga seperti sholawat saat sholat, hanyasaja -saat di kubur- memakai kata ganti
lawan bicara (Allahumma sholli ‘alaika). Adapun makna ‘as sholatu ‘alaih’ adalah mendoakan Beliau –
bukan berdoa untuk sendiri-.” (Adz Dzakhiroh, 13/294)
110
Al Mughni
111
Siyar A’lam An Nubalaa’, no. 161
‫وقال نافع كان ابن عمر يسلم على القبر رأيته مائة مرة وأكثر ما يفعل يجيء إلى القبر فيقول السالم على النبي ص||لى‬
‫هللا عليه وسلم السالم على أبي بكر السالم على أبي حفص ثم ينصرف‬

“Berkata Nafi’, ‘Ibnu Umar mengucapkan salam kepada –ahlul- kubur. Aku melihat
beliau seratus kali, dan kebanyakan yang beliau lakukan, beliau datang ke kubur dan
mengucapkan ‘Assalamu ‘alanNabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam, ‘ala Abi Bakr, ‘ala Abi
Hafsh’, kemudian beliau pergi’.”112

Al Ghozali dengan kitab fenomenalnya ‘Ihyaa’ Ulum Ad Din’ menegaskan


kembali kebid’ahan menyentuh kubur Nabi. Sebagai penguat statemennya, Al Ghozali
pun membawakan riwayat yang dibawakan Ibnu Al Hajj di atas. Kata beliau,

‫والمستحب في زيارة القبور أن يقف مستدبر القبلة مستقبال بوجهه الميت وأن يسلم وال يمسح القبر وال يمسه وال يقبله‬
‫فإن ذلك من عادة النصارى قال نافع كان ابن عمر رأيته مائة مرة أو أكثر يجيء إلى الق||بر فيق||ول السالم على النبي‬
‫السالم على أبي بكر السالم على أبي وينصرف‬

“Yang dianjurkan dalam ziarah kubur adalah berdiri membelakangi kiblat dan
mengahadap wajah mayit dan mengucapkan salam. Hendaklah tidak mengusap kubur,
tidak menyentuhnya, dan tidak menciumnya. Karena perbuatan itu adalah kebiasaan
orang Nashrani. Berkata Nafi’, ‘Aku melihat Ibnu Umar seratus kali bahkan lebih, datang
ke kubur Nabi, beliau mengucapkan Assalamu ‘alannabi, ‘ala Abi Bakr, ‘ala abi.
Kemudian beliau pergi.”113

Bahkan mengkhususkan mendatangi kubur Nabi sebelum dan sesudah safar,


sekalipun hanya salam kepada Nabi dan tidak menyentuh kubur, adalah perbuatan yang
tidak dianjurkan salaf. Karena hanya Ibnu Umar saja yang melakukannya, sedangkan
para sahabat lainnya tidak. Abdurrozzaq meriwayatkan dalam Mushonnafnya,

‫عبد الرزاق عن معمر عن أيوب عن نافع قال كان بن عمر إذا قدم من سفر أتى قبر النبي صلى هللا عليه و س||لم فق||ال‬
‫السالم عليك يا رسول هللا السالم عليك يا أبا بكر السالم عليك يا أبتاه وأخبرناه عبد هللا بن عمر عن نافع عن بن عمر‬
‫قال معمر فذكرت ذلك لعبيد هللا بن عمر فقال ما نعلم أحدا من أصحاب النبي ص||لى هللا عليه و س||لم فع||ل ذل||ك إال بن‬
‫عمر‬

“Dari Mu’ammar dari Ayyub dari Nafi’ berkata, ‘Adalah Ibnu Umar apabila tiba dari
safar beliau mendatangi kubur Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam sembari mengucapkan,
‘Assalamu ‘alaika ya Rasulallah, assalamu’alaika ya Aba Bakr, assalamu’alaika ya
Abtah’. Abdullah bin Umar mengabarkannya kepada kami dari Nafi’ dari Ibnu Umar.
Mu’ammar berkata, ‘Maka aku sebutkan riwayat ini kepada Ubaidillah bin Umar, dan
beliau pun mengatakan, ‘Kami tidak mengetahui ada satu orang pun dari sahabat-sahabat
Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam yang melakukannya kecuali Ibnu Umar’.”114

112
Al Madkhol Ibnu Al Hajj Al Maliki
113
Ihyaa’ Ulum Ad Diin. Bab: Ziyaroh Al Kubur wa Ad Du’aa’.
114
Mushonnaf Abdurrozzaq, no. 6724
Dari keterangan-keterangan ini, maka yang benar Ibnu Umar tidak melakukan
seperti yang ada pada tambahan redaksi dalam riwayat Al Qodhi Ismail hujjahnya Romli.
Tambahan tersebut dianggap palsu karena bertentangan dengan riwayat lain yang lebih
banyak dan lebih shahih. Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma tidak melakukan praktek
kaum ngalap barokah seperti Romli. Beliau tidak mengusap atau menyentuh kubur Nabi.
Bahkan beliau membenci praktek kaum ngalap tersebut.

Para salaf dan Ahlus Sunnah yang mengikuti mereka, tentu menolak praktek
kaum ngalap yang dimaksud terlebih karena hal itu adalah kebiasaannya orang kafir
Nashrani. Ahlus Sunnah berlindung pada Allah dari praktek kaum ngalap barokah Romli
yang menyerupai kebiasaannya kaum Nashrani.

Di sisi lain, setelah Romli dan kaum ngalapnya menuduh Ibnu Umar berbuat
seperti perbuatan mereka, dan kemudian terbongkar kesalahannya, mungkin mereka akan
mencari penguat statemennya dari ketetapan bahwa Ibnu Umar menyentuh mimbar Nabi
Shallallahu ‘alaihi Wasallam, sebagaimana yang dinyatakan Ibnu Qudamah sebelumnya.
Akan tetapi, Ibnu Umar menyentuhnya bukan dalam pengertian ngalap barokah seperti
asumsi Romli. Karena yang benar adalah Ibnu Umar melakukannya disebabkan memang
dalam posisi dan keadaan yang membutuhkan berpegangan kepada mimbar. Baik saat
pulang dari safar atau akan berangkat safar. Syaikh imam Malik bernama Yahya bin
Sa’id Al Anshori yang menyatakannya dalam catatan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.115

Karena ketidakbenaran riwayat ini, maka tertolaklah hujjah Romli dengan riwayat
Ibnu Umar yang dimaksud. Karena beliau radhiyallahu ‘anhu justru mendoakan si
penghuni kubur, bukan tawassul minta didoakan. Beliau juga terbukti hanya berdiri di
luar kubur dan mengucapkan salam saja, bukan ngalap barokah di dalam dan di tanah
kubur. Bahkan, beliau membenci bid’ahnya menyentuh kubur Nabi, tradisi kaum
Nashrani dan tradisi kaum ngalap barokah.!

Saudara Romli sudah seharusnya untuk meninggalkan tradisi kaum kafir tersebut.
Tidak usah ngalap barokah ke makam Beliau dengan mengusap-usapkan tangan atau pipi
atau apa saja ke makam Beliau Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Ibnu Umar tidak pernah
melakukannya dan malah membencinya. Sudah saatnya Romli untuk tidak tertipu dengan
riwayat lemah. Karena ulama salaf dan para imam kaum Muslimin sepakat terlarangnya
mengusap dan mencium kubur. Disebutkan dalam kitab madzhab Hambali, ketika
mengomentari mengusap kubur untuk ngalap barokah,

115
“Mereka juga meriwayatkan dari Yahya bin Sa’id Al Anshori, gurunya imam Malik, dan diriwayatkan
dari yang lainnya, bahwa beliau -Ibnu Umar- ketika ingin keluar ke Iraq, beliau mendatangi mimbar Nabi
dan menyentuhnya, beliau berdo’a dan aku (Yahya) melihat beliau menganggap hal itu baik. Kemudian dia
(Yahya) berkata, ‘Hal itu beliau lakukan karena suatu keadaan mendesak dan karena sesuatu’.” (Iqtidho’
As Shirot Al Mustaqim, hal. 244)
‫اتفق السلف واألئمة على أن من سلم على النبي صلى هللا عليه وسلم أو غ||يره من األنبياء الص||الحين فإنه ال يتمسح‬
‫بالقبر وال يقبله بل اتفقوا على أنه ال يستلم وال يقبل إال الحجر األسود والركن اليماني يستلم وال يقبل على الصحيح‬

“Salaf dan para imam telah bersepakat bahwasannya siapa saja yang mengucapkan salam
kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi Wasallam atau selainnya dari kalangan para Nabi yang
shalih, maka jangan mengusap kubur dan menciumnya. Bahkan mereka juga sepakat tdak
menyentuh dan mencium kecuali hanya Hajarul Aswad. Namun rukun yamani hanya
disentuh tanpa dicium menurut pendapat yang shahih.”116

Bahkan tak usah lagi selalu melewati kubur Beliau dengan sengaja saat
berkunjung untuk sholat di masjidnya. Mari kita lihat fatwa imam Darul Hijrah, Madinah
Munawwaroh. Kota tempat kuburnya Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Dalam salah
satu literature madzhab Maliki disebutkan,

. ‫ ولكن إذا أراد الخ||روج‬، ‫ ما هذا من األمر‬: ‫ فقال‬، ‫ كل يوم‬- ‫ صلى هللا عليه وسلم‬- ‫وسئل عن الغريب يأتي قبر النبي‬
‫ المعنى في هذا أنه إنما يلزمه أن يسلم عليه كلما مر به وليس عليه أن يمر به ليسلم عليه إال‬: ‫قال محمد بن رشد‬
‫ لئال يجع|ل الق|بر بفعله ذل|ك‬، ‫ ويكره له أن يكثر المرور به والسالم عليه واالتيان كل ي|وم إليه‬، ‫للوداع عند الخروج‬
‫ اللهم ال تجع||ل‬: ‫ عن ذل||ك بقول||ه‬- ‫ صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ وقد نهى رسول هللا‬. ‫كالمسجد الذي يؤتى كل يوم للصالة فيه‬
‫ وباهلل التوفيق‬. ‫ اشتد غضب هللا على قوم اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد‬. ‫قبري وثنا يعبد‬

“Imam Malik ditanya mengenai orang asing yang datang ke kubur Nabi Shallallahu alaihi
Wasallam setiap hari. Beliau menjawab, ‘Ini tidak ada perintahnya, kalau dia mau maka
keluarlah’. Berkata Muhammad bin Rusydi, ‘Makna dari jawaban beliau adalah yang
boleh adalah mengucapkan salam kepada Nabi setiap melewati kubur Nabi. Dan tidaklah
dia melewati kubur Nabi untuk salam kepada Beliau kecuali hanya saat akan perpisahan
keluar darinya. Dimakruhkan baginya selalu melewati kubur Nabi dan salam kepada
Beliau serta mendatanginya setiap hari. Supaya perbuatannya itu tidak menjadikan kubur
Nabi bagaikan masjid yang didatangi setiap hari untuk sholawat di dalamnya. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi Wasallam telah melarang hal itu dengan sabdanya, ‘Ya Allah, jangan
jadikan kuburku sebagai berhala yang disembah. Allah sangat keras kemurkaannya
kepada kaum yang menjadikan kubur para Nabi meeka sebagai masjid’. Wabillahit
Taufiq.”117

Ibnu Al Munkadir Meletakkan Pipinya ke Makam Nabi?

Dalil selanjutnya, Romli menuliskan,

116
Kassyaf Al Qona’ (4/439), Manshur Al Buhuti (w. 1051 H). Matholib Uli An Nuha, Mushthofa As Suyuthi
Ar Rohibani (w. 1243 H)
117
Al Bayan wa At Tahshil wa Asy Syarh wa At Taujih wa At Ta’lil Limasail Al Mustakhrojah, Abul Walid
Muhmmad bin Ahmad bin Rusydi Al Qurthubi (w. 450 H), hal. 444
(4) Muhammad bin al-Munkadir, ulama terkemuka generasi tabi’in meletakkan
pipinya ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika tidak bisa berkata-kata. Al-
Hafizh Ibnu Asakir dan al-Dzahabi meriwayatkan:

‫َع ْن ِإْس َم اِع ْيَل ْبِن َيْع ُقْو َب الَّتْيِمِّي َقاَل َك اَن ُمَحَّم ُد ْبِن اْلُم ْنَك ِد ِر َيْج ِلُس َم َع َأْص َح اِبِه َقاَل َفكَاَن ُيِص ْيُبُه ُص َم اٌت َفَك ان َيُق ْو ُم َك َم ا‬
‫ُهَو َح َّتى َيَض َع َخَّد ُه َعلَى َقْبِر الَّنِبِّي صلى هللا عليه وسلم ُثَّم َيْر ِج ُع َفُعْو ِتَب ِفْي َذ ِلَك َفَقاَل ِإَّنُه ُيِص ْيُبِنْي َخ ْط َر ٌة َف ِإَذ ا َو َج ْدُت‬
‫َذ ِلَك ِاْسَتَغ ْثُت ِبَقْبِر الَّنِبِّي صلى هللا عليه وسلم َو َك اَن َيْأِتْي َم ْو ِض ًعا ِم َن اْلَم ْس ِج ِد ِفي الَّس َح ِر َيَتَم َّر ُغ ِفْي ِه َو َيْض َطِج ُع َفِقْي َل َل ُه‬
. ‫ِفْي َذ ِلَك َفَقاَل ِإِّنْي َر َأْيُت َر ُسْو َل ِهللا صلى هللا عليه وسلم ِفْي َهَذ ا اْلَم ْو ِض ِع ُأَر اُه َقاَل ِفي الَّنْو ِم‬

“Ismail bin Ya’qub al-Taimi berkata: “Muhammad bin al-Munkadir duduk bersama
murid-muridnya. Lalu ia tidak bisa berbicara. Lalu ia berdiri, sehingga menaruh pipinya
ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu ia kembali. Lalu ia ditegur karena
perbuatannya itu. Ia berkata: “Aku terkena penyakit yang berbahaya. Apabila aku rasakan
hal itu, aku beristighatsah dengan makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam”. Ia sering
mendatangi suatu tempat di Masjid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada waktu sahur,
berguling-guling dan tidur miring di situ. Lalu ditanya tentang hal tersebut. Ia menjawab:
“Aku pernah melihat Rasulullah di tempat ini.” Aku mengira, ia melihatnya dalam
mimpi”. (Ibnu Asakir, Tarikh Dimasyq (56/50-51) dan al-Dzahabi, Siyar A’lam al-
Nubala’ (5/358-359).

Hujjah Romli berikut ini juga diambil dari Siyar A’lam An Nubalaa’. Kitab Adz
Dzahabi yang telah menceritakan kebencian Ibnu Umar menyentuh kubur Nabi. Namun
kisah ini telah dinyatakan Adz Dzahabi berasal dari Isma’il bin Ya’kub At Taimi. Selain
dia adalah orang yang antara dia dan syaikh yang dia ambil riwayatnya ada seseorang
yang tak dikenal, At Taimi juga seorang yang dikenal memiliki cerita yang mungkar. Dan
boleh jadi ini adalah cerita yang sama mungkarnya.

Adz Dzahabi (w. 784 H) menyatakan, “Ismail bin Ya’kub At Taimi, dari Hisyam
bin Urwah. Abu Hatim mendho’ifkannya. Dan dia memiliki cerita yang mungkar dari
Malik, Al Khotib telah menyebutkannya. Disebutkan, bahwa antara dia dan Hisyam ada
seseorang.”118

Dalam Lisan Al Mizan, Ibnu Hajar juga menyampaikan keterangan Adz Dzahabi
di atas. Kemudian menyampaikan pula tautsiq (penilaian tsiqqah) dari Ibnu Hibban. 120
119

Namun penilaian tsiqqah Ibnu Hibban tentunya tidak menjadikan riwayat At Taimi
diterima begitu saja. Bahkan seharusnya adalah sebaliknya. Karena At Taimi telah
menceritakan kisah mungkar yang tidak layak untuk dia ceritakan. Aibnya ini sangat
memengaruhi setiap riwayat yang dia bawa. Terlebih jika riwayat yang menceritakan
sebuah kisah. Kita harus ‘curiga’ bahwa kisah yang dia angkat ini juga sama

118
Mizan Al I’tidal, no. 969
119
Lisan Al Mizan, no. 1380
120
Ats Tiqaat Ibnu Hibban, no. 12394
mungkarnya. Karena cerita tersebut tidak sejalan dengan sikap ulama dari kalangan
sahabat Nabi.

Jika kisah ini masuk dalam daftar cerita-cerita mungkar At Taimi, maka Ibnu Al
Munkadir selamat dari bid’ah yang dibenci Ibnu Umar ini. Adapun jika benar cerita yang
dibawa At Taimi ini, maka kita harus bergumam dalam hati, bahwa apalah Ibnu Al
Munkadir yang meletakkan pipinya atau menyentuh kubur Nabi dibandingkan Ibnu Umar
yang membenci perbuatan itu! Lagi pula dengan jelas disebutkan : Muhammad bin al-
Munkadir duduk bersama murid-muridnya. Lalu ia tidak bisa berbicara. Lalu ia berdiri,
sehingga menaruh pipinya ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu ia kembali.
Lalu ia ditegur karena perbuatannya itu.”

Romli dengan sadar menuliskan bahwa perbuatan Ibnu Al Munkadir ditegur


karena perbuatan itu salah. Tapi sayangnya, Romli tetap menjadikan dalil ibadah ngalap
barokahnya.! Romli lebih memilih sikap Ibnu Al Munkadir daripada para sahabat atau
murid yang menegurnya. Jika tidak cukup kebencian Ibnu Umar mematahkan cerita ini,
apa karena murid yang menegurnya tidak diketahui identitasnya lantas kemudian lebih
mengunggulkan Ibnu Al Munkadir? Ini pertanyaan yang terlintas di benak kami. Karena
kemungkinan Romli juga berasumsi seperti itu. Tapi, bagaimana kalau yang menegur
perbuatan ini dari ulama yang diakui dalam madzhab Syafi’i! Sungguh, An Nawawi
pernah menyatakan dalam pembahasan kita yang lalu,

‫قال أبو موسى وقال االمام أبو الحسن محمد بن مرزوق الزعف||راني وكان من الفقه||اء المحققين في كتابه في الجنائز‬
‫وال يستلم القبر بيده وال يقبله قال وعلي هذا مضت السنة قال أبو الحسن واستالم القبور وتقبيلها الذى يفعله العوام اآلن‬
‫من المبتدعات المنكرة شرعا ينبغي تجنب فعله وينهي فاعله‬

“Berkata Abu Musa, dan begitu juga Abu Al Hasan Muhammad bin Marzuq Az
Za’faroni, salah seorang Fuqoha’ Muhaqqiq, berkata dalam kitabnya Al Janaiz,
‘Mengusap kubur dan menciumnya sebagaimana yang dilakukan orang-orang awam
adalah bagian dari bid’ah mungkaroh secara istilah syar’i. Diharuskan menjauhi
perbuatan tersebut dan hendaklah mencegah pelakunya’.”121

Beliau juga menasehatkan,

‫(فرع) ال يجوز أن يطاف بقبره ص|لى هللا عليه وس|لم ويكره الص|اق الظه|ر والبطن بج|دار الق|بر قال|ه أبو عبيد هللا‬
‫الحليمي وغيره قالوا ويكره مسحه باليد وتقبيله بل االدب أن يبعد منه كما يبعد منه لو حضره في حياته صلى هللا عليه‬
‫ ف||ان االقت||داء‬.‫وسلم هذا هو الصواب الذي قاله العلماء وأطبقوا عليه وال يغتر بمخالفة كث||يرين من الع||وام وفعلهم ذل||ك‬
.‫والعمل انما يكون باالحاديث الصحيحة وأقوال العلماء وال يلتفت إلى محدثات العوام وغيرهم وجهاالتهم‬

“Tidak boleh thowaf di makam Beliau Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Dimakruhkan pula
menempelkan punggung dan perut ke dinding makam. Abu Ubaidillah Al Halimi dan
yang lainnya telah mengatakannya. Mereka juga mengatakan, ‘Dimakruhkan pula
121
Al Majmu’ (5/311)
mengusapnya dengan tangan dan menciumnya. Akan tetapi adabnya adalah menjauh
darinya sebagaimana dijauhi pula –kamar- itu ketika seseorang mendatangi Beliau
Shallallahu ‘alaihi Wasallam saat masih hidup. Dan inilah pendapat yang benar yang
telah dinyatakan oleh para ulama dan mereka telah menyepakatinya. Maka janganlah
tertipu dari banyaknya orang awam yang menyelisihinya. Karena sesungguhnya
meneladani dan mengamalkan hanya dengan hadits-hadits yang shahih dan dengan
keterangan-keterangan ulama. Janganlah menoleh kepada hal-hal baru (bid’ah) yang
dibuat orang awam dan orang selain mereka serta orang bodoh mereka.”

Kata beliau juga,

‫وقال الفضل ابن عياض رحمه هللا ما معناه اتبع طرق الهدى وال يضرك قلة السالكين وإياك وطرق الضاللة وال تغ||تر‬
‫بكثرة الهالكين ومن خطر بباله أن المسح باليد ونحوه أبلغ في البركة فهو من جهالته وغفلته الن البركة إنما هي فيما‬
‫وافق الشرع وكيف ينبغي الفضل في مخالفة الصواب‬

“Fudhail bin Iyadh rohimahullah berkata mengenai makna hadits (jangan jadikan
kuburku sebagai 'ied), ‘Ikutilah jalan-jalan petunjuk, dan tidak akan membuatmu celaka
dengan sedikitnya orang yang mengikuti langkah itu. Dan jauhilah jalan-jalan kesesatan,
dan jangan gentar dengan banyaknya orang yang menyimpang. Siapa saja yang terbetik
dalam benaknya bahwa mengusap dengan tangan dan semisalnya lebih mendatangkan
barokah, maka keyakinan itu tidak lain bersumber dari kebodohan dan kelalaiannya.
Sebab barokah itu hanya bisa didapat dengan melaksanakan syari’at. Bagaimana
mungkin keutamaan diupayakan dengan perbuatan yang bertolakbelakang dengan
kebenaran!’.”122

Mengusap Batu Kerikil Dari Rumah Fathimah Yang Menempel Makam Nabi

Dalil selanjutnya, Romli menuliskan,

(5) Al-Husain bin Abdullah bin Abdullah bin al-Husain, tokoh ahlul-bait dari
generasi Salaf. Al-Hafizh al-Sakhawi al-Syafi’i meriwayatkan:

:‫ َك اَن ِإَذ ا اْش َتَك ى َش ْيئًا ِم ْن َج َس ِدِه‬،‫َقاَل َيْح َيى ْبُن اْلَحَس ِن ْبِن َج ْع َفٍر ِفْي ِكَتاِبِه َأْخ َباِر اْلَم ِد ْيَنِة َو َلْم َأَر ِفْيَنا َر ُج ًال َأْفَض َل ِم ْن ُه‬
.‫ َفَيْمَس ُح ِبِه‬، ‫َكَش َف اْلَحَص ى َع ِن اْلَح َج ِر اَّلِذ ْي َك اَن ِبَبْيِت َفاِط َم َة الَّز ْهَر اِء ُيَالِص ُق ِج َداَر اْلَقْبِر الَّش ِر ْيِف‬

“Yahya bin al-Hasan bin Ja’far berkata dalam kitabnya Akhbar al-Madinah: “Aku belum
pernah melihat orang yang lebih utama dari al-Husain bin Abdullah di antara kami ahlul-
bait. Kebiasaannya, apabila ia merasakan sakit pada sebagian tubuhnya, ia membuka
kerikil dari batu yang di rumah Fathimah al-Zahra yang menempel ke makam Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam yang mulia. Lalu ia mengusapkannya.” (Al-Hafizh al-
Sakhawi, al-Tuhfah al-Lathifah fi Tarikh al-Madinah al-Syarifah (1/292).
122
Al Majmu’ (8/275)
Yahya bin Al Hasan bin Ja’far memiliki kitab berjudul Akhbar Al Madinah.
Dalam kitabnya tersebut Yahya menampilkan riwayat-riwayat yang menjelaskan
fadhilah-fadhilah Madinah. Sayangnya, untuk menjelaskannya beliau terkesan berlebihan
karena berhujjah dengan riwayat-riwayat lemah bahkan palsu. Misalnya ia menuliskan,

‫حدثنا محمد بن الفضل المديني سنة ست‬، ‫ حدثنا النعمان بن شبل‬، ‫ حدثني أبو أحمد الهمداني‬، ‫حدثنا محمد بن إسماعيل‬
‫ من زار‬: ‫ قال رس||ول هللا ص||لى هللا عليه وس||لم‬: ‫ عن علي رضي هللا عنه قال‬، ‫وسبعين عن جابر عن محمد بن علي‬
. ‫قبري بعد موتي فكأنما زارني في حياتي ولم يزرني فقد جفاني‬

“Berkata kepada kami Muhammad bin Ismail, berkata kepadaku Abu Ahmad Al
Hamdani, berkata kepada kami An Nu’man bin Syibli, berkata kepada kami Muhammad
bin Al Fadhl Al Madini di usianya ke tujuh puluh enam, dari Jabir dari Muhammad bin
Ali dari Ali radhiyallahu ‘anhu dia berkata, ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam
bersabda, ‘Siapa yang berziarah ke kuburku setelah kematianku, maka pahalanya sama
dengan berziarah kepadaku saat masih hidup. Dan siapa yang tidak berziarah ke kuburku
maka dia berpaling dariku’.”

Hadits ini adalah munqothi’, karena Muhammad bin Ali atau Abu Ja’far Al Baqir
tidak bertemu dengan Ali bin Abi Tholib. Ditambah lagi periwayatnya sangat bermasalah
seperti An Nu’man bin Syibli, Muhammad bin Al Fadhl dan Jabir.

Kita memang mengakui banyaknya kitab-kitab yang berlebihan dalam membawa


pembaca agar hanyut dalam kabar yang diagungkan dengan riwayat-riwayat lemah dan
bahkan palsu. Atau dengan kisah yang shahih namun berasal dari kaum yang berlebihan
kepada sesuatu hal.

Yahya bin Al Hasan bin Ja’far yang menceritakan kisahnya di atas adalah tokoh
yang aktiv dalam menulis dari kalangan ‘Alawi (keturunan Ali/ahlul bait/habib). Artinya,
Al Husain bin Abdullah bin Abdullah bin Al Husain yang dia ceritakan dalam Akhbar Al
Madinah-nya di atas adalah kakeknya sendiri. Sehingga dimaklumi sekali jika ia
berlebihan dalam menceritkan keluarga ‘Alawi.

Yahya juga memiliki cucu bernama Al Hasan bin Muhammad bin Yahya bin Al
Hasan bin Ja’far Al ‘Alawi. Cucunya ini adalah seorang yang dikenal sebagai ‘Alawi
yang lebih parah ekstremnya. Dia tentu masuk dalam daftar periwayat hadits dho’if.
Karena ekstremnya dia dianggap orang Rofidhoh yang sangat mengelu-elukan Ali.

Ibnu Hajar Al Asqolani menyatakan,

‫روى بقلة حياء عن الدبري عن عبد الرزاق بإسناد كالشمس علي خير البشر وعن الدبري عن عبد الرزاق عن معمر‬
‫عن محمد عن عبد هللا بن الصامت عن أبي ذر رضي هللا عنه مرفوعا ق||ال علي وذريت||ه يختمون األوص||ياء الى ي||وم‬
‫الدين فهذان داالن على كذبه وعلى رفضه عفا هللا عنه روى عنه بن زرقوي||ه وأبو علي بن ش|اذان وليس العجب من‬
‫افتراء هذا العلوي‬
“Al Hasan bin Muhammad bin Yahya bin Al Hasan bin Ja’far meriwayatkan dengan
sedikit rasa malu dari Ad Daburi dari Abdurrazaq dengan sanad seperti matahari, ‘Ali
adalah sebaik-baik manusia’. Dari Ad Daburi juga dan dari Abdurrazaq dari Mu’ammar
dari Muhammad dari Abdullah bin Shomit dari Abu Dzar secara marfu’ berkata, ‘Ali dan
cucu keturunannya menyelesaikan wasiat-wasiat sampai hari kiamat’.” Dua hadits ini
adalah bukti kedustaannya dan pemahaman rofidhohnya. Semoga Allah memaafkannya.
Yang meriwayatkan darinya adalah Ibnu Zarqowih dan Abu Ali bin Syadzan. Dan
tidaklah mengherankan kebohongan Al ‘Alawi satu ini.”123

Bahkan Ibnu Hajar dan Adz Dzahabi menyampaikan ada yang lebih
mengherankan lagi dari riwayatnya Al Hasan Al ‘Alawi ini. Ia meriwayatkan bahwa Jabir
berkata, “Ali sebaik-baik manusia, siapa yang menolak maka dia kafir.”

Ibnu Hajar dan Adz Dzahabi menyatakan, “Tidak ada yang meriwayatkannya
kecuali Al ‘Alawi dengan sanad ini, dan itu tidak ditetapkan.”124

Si kakek, yaitu Yahya bin Al Hasan bin Ja’far juga telah kedapatan menampilkan
riwayat untuk mendukung catatannya mengeni keutamaan Madinah dari riwayat lemah
dan tidak bersambung kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam sebagaimana yang lalu.
Hal ini mengingatkan bahwa tidak menutup kemungkinan ada banyak riwayat lemah
bahkan palsu yang ada dalam kitab Akbar Al Madinah. Termasuk perbuatan ‘Alawi
bernama Al Husain bin Abdullah bin Abdullah bin Al Husain yang mengusap batu kerikil
dari rumah Fathimah yang menempel ke makam Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Bisa
jadi riwayat ini adalah palsu karena tidak ada periwayat yang ditunjukkan. Yahya dalam
hal ini menceritakan perihal kakeknya sendiri. Sehingga memungkinkan apa yang dia
lakukan adalah sebagaimana yang diteruskan cucunya Al Hasan sebagai penerus
keturunan ‘Alawi -atau yang biasa disebut sekarang dengan Habib- yang gemar
menggunakan riwayat palsu untuk mengagungkan moyang mereka, dan dia pun akhirnya
diagungkan pula.

Berbeda dengan ‘Alawi sebelum mereka yang lebih alim dan lebih mulia dari
mereka, Ali bin Al Husain. Ibnu Abi Syaibah menceritakan dalam Mushonnafnya, yang
juga diriwayatkan oleh Ad Dhiya’ Al Maqdisi (w. 643 H) dan imam Bukhori (w. 256 H),
disebutkan,

‫حدثنا أبو بكر ثنا زيد بن حباب ثنا جعفر من ولد ذي الجناحين قال حدثني علي بن عمر عن أبيه عن علي بن الحسين‬
‫أنه رأى رجال يجئ إلى فرجة كانت عند قبر النبي ص|لى هللا عليه وس|لم فيدخل فيه|ا فيدعو فق|ال أال أح|دثك بح|ديث‬
‫ ال تتخذوا قبري عيدا وال بيوتكم قبورا وص||لوا علي‬: ‫سمعته من أبي عن جدي عن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم قال‬
.‫فإن صالتكم تبلغني حيثما كنتم‬

123
Lisan Al Mizan, no. 1055
124
Mizan Al Itidal, no. 1943. Lisan Al Mizan, no, 1055. Lihat pula; Tarikh Baghdad Al Khotib Al Baghdadi, no.
3984.
“Abu Bakar berkata kepada kami, berkata kepada kami Habbab, berkata kepada kami
Ja’far anak dari Dzul Janahain ia berkata, berkata kepadaku Ali bin Umar dari ayahnya
dari Ali bin Al Husain. Bahwa beliau melihat seseorang mendatangi sela-sela yang ada di
kubur Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam. beliau pun msuk ke dalam dan memanggil,
“Apa engkau mau aku kabarkan satu hadits yang aku dengar dari ayahku (Al Husain) dari
kakekku (Ali) dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam? Beliau bersabda, ‘Janganlah
kalian jadikan kuburku sebagai ‘ied, juga rumah kalian seperti kuburan. Akan tetapi
bersholawatlah untukku, sesungguhnya sholawat kalian sampai kepadaku di manapun
kalian berada’.”125

Seperti inilah ‘Alawi Ahlul Bait. Putranya Al Husain, cucunya Ali bin Abi Tholib
dan Fathimah radhiyallahu ‘anhum, yang dikenal dengan Zainal Abidin (w. 93 H), Ahlul
bait yang utama di kalangan tabi’in.

Bahkan demikian pula putranya Al Hasan yang juga bernama Al Hasan (w. 97 H).
Al-Qadhi Ismail Al Baghdadi dalam kitabnya Fadhlu As Shalat ‘Ala An Nabi Shallallahu
‘alaihi Wasallam, sebagai kitab yang juga telah dijadikan hujjah oleh Romli mengenai
klaim palsu Ibnu Umar meletakkan tangan ke makam Nabi, telah menyebutkan satu
riwayat dari Al Hasan putra Al Hasan bin Ali bin Abu Tholib. Disebutkan,

‫ جئت أسلم على النبي صلى هللا عليه وسلم وحسن ابن حسن يتعشى في بيت عند النبي ص||لى هللا عليه‬: ‫عن سهيل قال‬
‫ قلت ال أريده قال مالي رأيت||ك وقفت ق||ال وقفت أس||لم على النبي ص||لى هللا‬: ‫ ادن فتعش قال‬: ‫وسلم فدعاني فجئته فقال‬
‫ ص|لوا في بيوتكم وال‬: ‫عليه وسلم قال إذا دخلت المسجد فسلم عليه ثم ق|ال إن رس|ول هللا ص|لى هللا عليه وس|لم ق|ال‬
‫تجعلوا بيوتكم مقابر لعن هللا يهود اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد وصلوا علي فإن صالتكم تبلغني حيثما كنتم‬

“Dari Suhail ia berkata, ‘Aku pernah mendatangi –kubur Nabi- dan mengucapkan salah
kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Sedangkan Hasan bin Hasan sedang makan
malam di rumah –dekat kubur- Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Maka beliau
memanggilku, dan aku pun mendatanginya. Beliau berkata, ‘Mendekatlah, mari makan
malam’. Aku (Suhail) menjawab, ‘Aku lagi tidak mau makan’. Beliau berkata, ‘Aku
melihatmu berdiri, beritahu aku kenapa’. ‘Aku (Suhail) berdiri dan mengucapkan salam
kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam’. Beliau berkata, ‘Kalau kamu masuk masjid
ucapkan salam kepada Nabi. Sungguh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda,
‘Sholatlah di rumah kalian, dan jangan jadikan rumah kalian seperti kuburan. Allah
melaknat Yahudi dan Nashrani, mereka menjadikan kubur para Nabi mereka sebagai
masjid, dan bersholawatlah kepadaku, sesungguhnya sholawat kalian akan sampai
padaku di manapun kamu berada’.”126

125
Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah, no. 7542. Ad Dhiya’ Al Maqdisi dalam Al Ahadits Al Mukhtaroh, no. 428.
Beliau mengatakan dalam sanadnya ada perowi Layyin. DIriwayatkan pula oleh Bukhori dalam At Tarikh Al
Kabir, no. 2140.
126
Fadhlu As Sholat ‘Ala An Nabi, no. 30. Dishahihkan Al Albani dalam tahqiq kitab tersebut.
Dalam kitab Al Qodhi Ismail ini, riwayat yang shahih adalah riwayat Al Hasan
bin Al Hasan di atas. Dan ini menurut penelitian Al Albani. Dan bukan riwayat Ibnu
Umar yang meletakkan tangannya ke kubur Nabi. Berbeda menurut Romli, dia lebih
menerima riwayat lemah Ibnu Umar yang sama-sama ada dalam kitab Al Qodhi Ismail,
sehingga Romli menjadikannya sebagai hujjah. Akhirnya, riwayat Al Hasan bin Al Hasan
‘Alawi ini, memungkinkan Romli tidak sepakat dengan penilaian shahih dari Al Albani.
Selain karena Al Albani dianggap rivalnya yang Wahhabi, Romli akan dilema kalau
menshahihkannya. Karena cucunya Ali bin Tholib tersebut mengkategorikan orang yang
ngalap barokah di kubur Nabi sebagai orang yang telah menjadikan kubur Nabi sebagai
ied dan melarangnya.

Kalau Romli tidak terima penilaian shahih Al Albani, mari kita simak lagi riwayat
yang menguatkannya. Bahkan dari ulama hadits yang tasyayyu’ (kesyi’ah-syi’ahan) yang
tidak berlebihan terhadap Ahlul bait dalam masalah ngalap barokah. Yaitu Al Hafizh
Abdurrazzaq bin Hammam As Shon’ani (w. 211 H).127 Dalam Mushonnafnya beliau
meriwayatkan,

‫عن الثوري عن بن عجالن عن رجل يقال له سهيل عن الحسن بن الحسن بن علي ق||ال رأى قوما عند الق||بر فنه||اهم‬
‫وقال إن النبي صلى هللا عليه و سلم قال ال تتخذوا قبري عيدا وال تتخذوا بيوتكم قبورا وص||لوا علي حيث ما كنتم ف||إن‬
‫صالتكم تبلغني‬

“Dari Ats Tsauri dari Ibnu ‘Ajlan dari seseorang yang disebut Suhail, dari Al Hasan bin
Al Hasan bin Ali. Ia berkata bahwa beliau (Al Hasan) melihat satu kaum berada di sisi
kubur –Nabi-. Maka beliau pun melarang mereka dan berkata, ‘Sesungguhnya Nabi
Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda, ‘Jangan kalian jadikan kuburanku sebagai ‘ied,
dan jangan jadikan rumah kalian seperti kubur, dan bersholawatlah kalian kepadaku di
manapun kalian berada, karena sholawat kalian akan sampai padaku’.”128

Dalam Sunan Sa’id bin Manshur (w. 227 H) disebutkan,

‫ َر آِني اْلَحَس ُن ْبُن اْلَحَس ِن ْبِن َع ِلِّي ْبِن َأِبي َطاِلٍب َرِض َي ُهَّللا‬: ‫َح َّد َثَنا َع ْبُد اْلَع ِز يِز ْبُن ُمَحَّمٍد َأْخ َبَرِني ُس َهْيُل ْبُن َأِبي َص اِلٍح َقاَل‬
‫ َم ا ِلي‬: ‫ َفَق اَل‬،‫ اَل ُأِري||ُد ُه‬: ‫ َهُلَّم ِإَلى اْلَع َش اِء َفُقْلُت‬: ‫ َفَناَداِني َو ُهَو ِفي َبْيِت َفاِط َم َة َر ِض َي ُهَّللا َع ْنَها َيَتَع َّش ى َفَقاَل‬،‫َع ْنُه ِع ْنَد اْلَقْبِر‬
- ‫ ِإَّن َر ُس وَل ِهَّللا‬: ‫ ُثَّم َق اَل‬. ‫ ِإَذ ا َد َخ ْلَت اْلَم ْس ِج َد َفَس ِّلْم‬: ‫ َس َّلْم ُت َع َلى الَّنِبِّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َفَقاَل‬: ‫َر َأْيُتَك ِع ْنَد اْلَقْبِر ؟ َفُقْلُت‬
‫ َو َص ُّلوا َع َلَّي َف ِإَّن َص اَل َتُك ْم َتْبُلُغ ِني َح ْيُث‬، ‫ َو اَل َتَّتِخ ُذ وا ُبُي وَتُك ْم َم َق اِبَر‬،‫ اَل َتَّتِخ ُذ وا َقْبِر ي ِع يًدا‬: ‫ َقاَل‬- ‫َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم‬
‫ َم ا َأْنُتْم َو َم ْن ِباَأْلْنَد ُلِس ِإاَّل َس َو اء‬، ‫ اَّتَخ ُذ وا ُقُبوَر َأْنِبَياِئِهْم َم َس اِج َد‬، ‫ َلَع َن ُهَّللا اْلَيُهوَد َو الَّنَص اَر ى‬, ‫ُكْنُتْم‬

“Telah mengabarkan kepada kami Abdul Aziz bin Muhammad, mengabarkan kepadaku
Suhail bin Abi Sholeh, ‘Al Hasan bin Al Hasan bin Ali bin Abu Tholib radhiyallahu
‘anhu melihatku di kubur –Nabi-. Beliau memanggilku yang saat itu berada di rumah
Fathimah radhiyallahu ‘anha sedang makan malam. Beliau mengatakan, ‘Mari makan
malam’. Aku (Suhail) menjawab, ‘Aku lagi tidak mau makan’. Beliau berkata, ‘Aku
127
Siyar A’lam An Nubala’, no. 220
128
Mushonnaf Abdurrozaq, no. 6726
melihatmu berdiri, beritahu aku kenapa’. ‘Aku (Suhail) berdiri dan mengucapkan salam
kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam’. Beliau berkata, ‘Kalau kamu masuk masjid
ucapkan salam kepada Nabi. Sungguh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda,
‘Jangan kalian jadikan kuburanku sebagai ‘ied, dan jangan jadikan rumah kalian seperti
kubur, dan bersholawatlah kalian kepadaku di manapun kalian berada, karena sholawat
kalian akan sampai padaku. Allah melaknat Yahudi dn Nashrani, mereka menjadikan
kubur para Nabi mereka sebagai masjid’. (Al Hasan melanjutkan), ‘Kalian dan orang-
orang yang di Andalusia adalah sama’.”

Demikianlah contoh dari ‘Alawi atau Ahlul bait terdahulu yang sekarang dikenal
dengan Habib. Al Hasan putranya Al Hasan bin Ali bin Abu Tholib, dan Ali Zainal
Abidin putranya Al Husain bin Ali bin Abo Tholib mencegah Suhail yang dikira sedang
ngalap barokah di sisi kubur Nabi. Apa jadinya kalau mereka melihat keluarga mereka
yaitu Al Husain bin Abdullah bin Abdullah bin Al Husain atau para ‘Alawi dan Habib-
habib melakukannya?

Minimal, kita berhusnuzon bahwa para ‘Alawi termasuk Al Husain bin Abdullah
bin Abdullah bin Al Husain tidak melakukannya. Sehingga riwayat yang dibawakan
Romli adalah palsu. Adapun kalau tidak palsu, maka, apalah Al Husain bin Abdullah bin
Abdullah bin Al Husain dibandingkan Zainal Abidin saudara kandung kakeknya sendiri
dan Al Hasan cucu dari moyangnya Ali bin Abu Tholib?

Bahkan jika memang benar Al Husain bin Abdullah bin Abdullah bin Al Husain
melakukannya, maka hal itu bukanlah sesuatu yang mengherankan. Karena ada banyak
orang -termasuk keluarga ‘Alawi sendiri- yang sangat mengagungkan Fathimah dan Ali,
bahkan kerikil rumah dan apa yang mereka miliki. Sehingga perbuatan mereka tidak bisa
menjadi hujjah. Kecuali jika Romli dkk tetap mau menjadikan para pengagung Ahlul Bait
yang ekstrem sebagai hujjah.

Apalah artinya batu kerikil rumah Fathimah yang menempel kubur Nabi
dibandingkan batu yang mulia Hajarul Aswad? Imam Bukhori meriwayatkan,

‫َع ْن ُع َم َر َر ِض َي ُهَّللا َع ْنُه َأَّنُه َج اَء ِإَلى اْلَح َج ِر اَأْلْس َوِد َفَقَّبَلُه َفَقاَل ِإِّني َأْعَلُم َأَّنَك َح َج ٌر اَل َتُض ُّر َو اَل َتْنَف ُع َو َل ْو اَل َأِّني َر َأْيُت‬
‫الَّنِبَّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم ُيَقِّبُلَك َم ا َقَّبْلُتَك‬

“Dari Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa dia mendatangi Hajar Al Aswad lalu menciumnya
kemudian berkata, ‘Sungguh aku mengetahui bahwa kamu hanyalah batu yang tidak bisa
mendatangkan madharat maupun manfaat. Namun kalau bukan karena aku telah melihat
Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam menciummu tentu aku tidak akan menciummu’.” (HR.
Bukhori)

Ibnu Hajar Al Asqolani menjelaskan maksud Umar mengatakan ucapan di atas,


‫ فخش||ي عمر أن يظن الجه||ال أن اس||تالم‬،‫ إنما قال ذلك عمر ألن الناس كانوا حديثي عهد بعبادة األصنام‬:‫قال الطبري‬
‫ فأراد عمر أن يعلم الناس أن استالمه اتباع‬،‫الحجر من باب تعظيم بعض األحجار كما كانت العرب تفعل في الجاهلية‬
‫ ال ألن الحجر ينفع ويضر بذاته كما كانت الجاهلية تعتقده في األوثان‬- ‫ صلى هللا عليه وسلم‬- ‫لفعل رسول هللا‬

“Berkata At Thobari, ‘Hanyasaja Umar berkata demikian karena orang-orang saat itu
pernah hidup di masa penyembahan berhala. Umar khawatir orang-orang bodoh akan
mengira bahwa mencium batu Hajarul Aswad merupakan bab –yang mengajarkan–
pengagungan kepada sebagian batu-batu lain. Sebagaimana yang telah dilakukan bangsa
Arab di masa jahiliyah. Sebab itu Umar hendak memberitahu orang-orang bahwa
tindakannya mencium Hajarul Aswad adalah atas dasar mengikuti perbuatan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Bukan karena batu tersebut dari zatnya mendatangkan
manfaat sebagaimana yang diyakini kaum jahiliyah terhadap berhala-berhala.” 129

Oleh sebab itu, jika memang benar Al Husain bin Abdullah bin Abdullah bin Al
Husain melakukannya, maka sama saja dia meyakini batu kerikil yang disentuh-
sentuhnya itu adalah bagian dari ‘ba’dh al ahjar’ (sebagian batu-batu selain Hajarul
Aswad) dalam keterangan Ibnu Hajar di atas. Kepada Hajarul Aswad yang jelas lebih
mulia dari batu kerikil rumah Fathimah saja hanya dicium Umar atas dasar ittiba’,
mengikuti dalil yang ada dari Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Lantas, apa mungkin
batu kerikil rumah Fathimah akan disentuh Umar atas dasar ngalap barokah?! Sedangkan
telah jelas bahwa Umar khawatir orang-orang bodoh akan mengira bahwa mencium batu
Hajarul Aswad merupakan bab –yang mengajarkan–pengagungan kepada sebagian batu-
batu lain termasuk batu kerikil rumah Fathimah.

Seluruh umat Islam Ahlus Sunnah sepakat bahwa Umar lebih mulia dari Al
Husain bin Abdullah bin Abdullah bin Al Husain. Bahkan lebih mulia dari yang mereka
agungkan, kakeknya sendiri, yaitu Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu. Apalah artinya
Al Husain bin Abdullah bin Abdullah bin Al Husain dibandingkan Umar? Sehingga
Romli dan kaum ngalap lebih mencontoh orang yang tidak lebih mulia dari seorang
sahabat mulia Umar bin Khottob radhiyallahu ‘anhu.!

Sudah saatnya Ahlus Sunnah harus lebih hati-hati dalam bertindak baik dalam
mengamalkan atau meninggalkan sesuatu. Jika ada dalilnya, silahkan diamalkan. Tapi
jika tidak, maka tinggalkan. Karena selalunya ia akan membuka celah kepada kesyirikan.
Ibnu Hajar Al Asqonali mengenai hadits perintah mencium Hajarul Aswad, 130 beliau
menyatakan,

129
Fath Al Bari
130
“Ada seseorang bertanya kepada Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma tentang mengusap Hajarul Aswad.
Maka beliau menjawab, ‘Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam mengusap dan menciumnya’.
Seseorang tadi berkata, ‘Aku bertanya lagi, ‘Bagaimana kalau berdesakan atau aku gagal menggapainya?’.
Beliau menjawab, ‘Tetap cobalah’. -Dia bertanya lagi-, ‘Bagaimana kalau aku berada di Yaman?’. -Beliau
mengulangi jawabannya-, ‘Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam mengusap dan
menciumnya’.” (HR. Bukhori)
‫وأمره إذا سمع الحديث أن يأخذ به ويتقي الرأي‬

“Beliau –Ibnu Umar- memerintahkan jika mendengar hadits maka laksanakanlah dan
jauhi pendapat akal.”131

Seseorang yang bertanya kepada Ibnu Umar dalam hadits Bukhori –yang
dijelaskan Ibnu Hajar ini- seolah-olah ia akan meninggalkan menyentuh dan mencium
Hajarul Aswad. Tapi karena ini adalah syari’at, maka untuk meninggalkan sesuatu
amalan, juga harus berdasarkan dalil. Tidak pakai alasan-alasan yang tidak syar’i.
Sebaliknya, jika ingin mengamalkan sesuatu, termasuk masalah mencium dan menyentuh
rukun Baitullah juga harus ada dalilnya. Ibnu Hajar Al Asqolani menjelaskan kembali,

‫وقال بعض أهل العلم اختصاص الركنين مبين بالسنة ومستند التعميم القياس وأج||اب الش||افعي عن ق||ول من ق||ال ليس‬
‫شيء من البيت مهجورا بأنا لم ندع استالمهما هجرا للبيت وكيف يهجره وهو يطوف به ولكنا نتبع السنة فعال أو تركا‬

“Berkata sebagaian ulama akan kekhususan dua rukun -saja yang dicium dan disentuh-
berdasarkan penjelasan dari Sunnah dan bersandarkan kepada keumuman qiyas. As
Syafi’i pernah menjawab pendapat orang yang menyatakan tidak ada di Baitullah yang
ditiadakan -untuk dicium dan disentuh-. -Jawab beliau- Sesungguhnya kami tidak
meninggalkan menyentuh keduanya karena meniadakannya dari Baitullah. Karena
bagaimana mungkin ada yang meniadakannya padahal dia thowaf mengelilinginya. Akan
tetapi, sungguh –karena- kami mengikuti As Sunnah baik dalam mengamalkan sesuatu
atau meninggalkan’.”132

Sungguh luarbiasa jawaban tegas Imam Asy Syafi’i ini. Ada empat rukun di
Baitullah yang jelas pada tempat barokah dan benda yang penuh barokah pula. Namun
dari keempatnya, tidak semua yang disentuh dan dicium. Hanya dua rukun saja yang
disentuh dan dicium.133 Dan dua lainnya tidak diperlakukan sama karena berdasarkan
ittiba’ as sunnah fi’lan au tarkan (mengikuti As Sunnah secara perbuatan atau
meninggalkan). Ditinggalkan dua rukun Baitullah untuk tidak dicium dan disentuh karena
berdasarkan As Sunnah. Yaitu dalil yang shahih dan sharih. Adapun dua lainnya, karena
ada dalilnya, maka dilaksanakan atas dasar ittiba’. Lantas, bagaimana dengan mencium
dan menyentuh batu rumah Fatimah, atau kubur pada Nabi dan orang sholeh?!!

Sungguh kaum ngalap yang melakukannya jauh dari kaedah dan motto yang
mulia dari imam Asy Syafi’i, ‘ittiba’ as sunnah fi’lan au tarkan’. Dan jika kaedah ini
menohok jantung kaum ngalap untuk tidak bisa asal berbuat bid’ah, maka
131
Fath Al Bari, no. 1533
132
Fath Al Bari, no. 1530
133
Berkata Ibnu Hajar, “Di Baitullah ada empat rukun. Pertama, dia memiliki dua keutamaan karena
adanya Hajarul Aswad dan qowaid (maqom) Ibrahim. Kedua, adalah yang kedua -rukun yamani atau
maqom Ibrahim- saja. Dan tidak ada fadhilah dari rukun lainnya. Sebab itu, rukun pertama dicium dan
rukun kedua dipegang saja. Sedangkan dua rukun lainnya tidak dicium dan tidak pula dipegang. Ini
pendapat Jumhur.”
berbesarhatilah. Nasehat ini sungguh indah sebagaimana yang telah dirasakan indah oleh
Ahlus Sunnah, baik dari kalangan yang disebut Wahhabi atau Ahlus Sunnah selain
mereka. Kembalilah saudara kami Romli. Dan tapakilah nasehat imam As Syafi’i di atas,
hadakumullah wa iyyana ajma’in.

Imam Ahmad Menyentuh dan Mencium Makam Nabi Untuk Ngalap Barokah?

Hujjah Romlis selanjutnya, dia menuliskan,

(6) Al-Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri madzhab Hanbali yang diakui oleh
Salafi-Wahabi sebagai madzhab mereka dan madzhab Ibnu Taimiyah, telah berfatwa
bolehnya bertabaruk dengan cara menyentuh dan mencium mimbar atau makam Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam dengan tujuan taqarub kepada Allah. Abdullah, putra al-
Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan:

‫َس َأْلُتُه َع ِن الَّرُج ِل َيَم ُّس ِم ْنَبَر الَّنِبَّي صلى هللا عليه وسلم َو َيَتَبَّرُك ِبَم ِّس ِه َو ُيَقِّبُلُه َو َيْفَع ُل ِب اْلَقْبِر ِم ْث َل َذ ِل َك َأْو َنْح َو َه َذ ا ُيِر ْي ُد‬
‫ِبَذ ِلَك الَّتَقُّر َب ِإَلى ِهللا َج َّل َو َع َّز َفَقاَل اَل َبْأَس ِبَذ ِلَك‬

“Aku bertanya kepada ayahku tentang laki-laki yang menyentuh mimbar Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam, ia bertabaruk dengan menyentuhnya dan menciumnya, dan ia
melakukan hal yang sama ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam atau yang
sesamanya, ia bertujuan mendekatkan diri kepada Allah dengan hal tersebut. Beliau
menjawab: “Tidak apa-apa”. (Abdullah bin al-Imam Ahmad, al-‘Ilal wa Ma’rifah al-Rijal
(2/492).

Romli melakukan kekeliruan berhujjah untuk kesekian kalinya. Menanggapi


kutipannya sendiri dari catatan putra imam Ahmad dalam ‘Al ‘Ilal wa Ma’rifah Ar Rijal’,
Romli memvonis kalangan Ahlus Sunnah Hanabilah tidak mengikuti imamnya, imam
Ahmad. Romli keliru karena tidak melihat komentar para ulama mengenai tulisan
putranya imam Ahmad tersebut. Perhatikan komentar Ibnu Hajar Al Asqolani berikut ini,

‫ فأما‬، ‫ استنبط بعضهم من مشروعية تقبيل األركان جواز تقبيل كل من يستحق التعظيم من آدمي وغ||يره‬: ‫فائدة أخرى‬
‫ وأما غيره فنقل عن اإلمام أحمد أنه سئل عن تقبيل منبر النبي ص||لى هللا عليه‬، ‫تقبيل يد اآلدمي فيأتي في كتاب األدب‬
‫ ونق||ل عن ابن أبي الص||يف اليماني أح||د علماء‬، ‫ واستبعد بعض اتباعه صحة ذل||ك‬، ‫وسلم وتقبيل قبره فلم ير به بأسا‬
‫مكة من الشافعية جواز تقبيل المصحف وأجزاء الحديث وقبور الصالحين وباهلل التوفيق‬

“Faedah lainnya : Sebagian mereka menyimpulkan bahwa dalil disyari’atkannya


mencium rukun-rukun -Ka’bah- menunjukkan bolehnya mencium setiap yang berhak
dimuliakan baik dari kalangan manusia atau selainnya. Mengenai mencium tangan
manusia akan datang di Kitab adab. Adapun selain –tangan manusia- diriwayatkan dari
imam Ahmad, bahwa beliau pernah ditanya mengenai mencium mimbar Nabi Shallallahu
‘alaihi Wasallam dan mencium kuburnya, dan beliau berpendapat tidak masalah. Namun
sebagian pengikut-pengikut beliau menganggap mustahil akan keshahihan riwayat
tersebut. Diriwayatkan pula dari Ibnu Abi As Shaif Al Yamani, salah seorang ulama
Makkah dari kalangan Syafi’iyyah akan kebolehan mencium mush-haf dan kumpulan
juz-juz hadits dan juga kubur orang-orang sholeh. Hanya kepada Allah memohon
petunjuk.”134

Dari keterangan Ibnu Hajar di atas, Romli keliru jika menyatakan bahwa imam
Ahmad : telah berfatwa bolehnya bertabaruk dengan cara menyentuh dan mencium
mimbar atau makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan tujuan taqarub kepada
Allah. Karena pendapat tersebut adalah sepihak dari putranya, belum dari murid imam
Ahmad yang lain. Dan yang benar beberapa ulama Syafi’iyah Makkah saja yang
membolehkan hal tersebut.

Mengapa para ulama kalangan Ahlus Sunnah Hanabilah pengikut madzhabnya


imam Ahmad menyatakan tidak mungkin imam Ahmad membolehkan mencium kubur
dan mimbar? Jawabannya adalah karena riwayat yang lebih bisa diterima adalah
sebaliknya. Riwayat sebaliknya bersumber dari orang yang tsiqqah dan hafizh, Abu
Bakar Al Atsrom, juga dari sahabat-sahabat imam Ahmad yang lebih banyak lagi, dan
juga menjadi pilihan oleh ulama-ulama madzhab Ahmad bin Hambal dalam kitab-kitab
fikih Hanabilah.

Abu Bakar Al Atsrom (w. 261 H) adalah murid imam Ahmad yang paling hafizh
di antara murid-murid beliau. Di antaranya adalah perbandingannya dengan Hambal,
Ibnu Rojab Al Hambali menyatakan, “Dan Al Atsrom lebih hafizh daripada Hambal
dengan sesuatu yang tidak bisa disifatkan.” 135 Ibrahim bin Aurumah mengatakan, “Al
Atsrom lebih hafizh dan lebih terpercaya daripada Abu Zar’ah.” 136 Al Atsrom juga pernah
mengatakan, “Aku hafal permasalahan fikih dan ikhtilaf. Tatkala aku belajar kepada
Ahmad bin Hambal, aku tinggalkan semuanya. Bahkan aku tidak menyelisihi Abu
Abdillah kecuali hanya satu perkara saja.” Berkata Al Marwadzi, “Aku katakan
kepadanya, ‘Jangan pula engkau selisihi beliau dalam satu masalah tersebut’.”137

Sebagai Al Faqih dan Al Hafizh dari murid-murid imam Ahmad yang tidak
menyelisihi pendapat imamnya, tentunya lebih didahulukan daripada riwayat-riwayat
lainnya. Terlebih hal itu dibuktikan dengan ketetapan ulama Hanabilah dalam masalah ini
dalam kitab-kitab fikih mereka. Abu Bakar Al Atsrom menyatakan,

‫ ق||ال أبو عبد‬. ‫رأيت أهل العلم من أهل المدينة ال يمسون قبر النبي صلى هللا عليه وسلم يقومون من ناحية فيسلمون‬
. ‫ وهكذا كان ابن عمر يفعل‬: ‫هللا‬

134
Fath Al Bari,
135
Al Istikhroj Li Ahkam Al Khoroj (1/134)
136
Tahdzib At Tahdzib, no. 133
137
Tahdzib Al Kamal, no. 103
“Saya telah menyaksikan ulama kota Madinah tidak melakukan menyentuh kubur Nabi
Shallallahu ‘alaihi Wasallam, mereka hanya berdiri di samping kubur dan mengucapkan
salam’. Abu Abdillah berkata, ‘Seperti inilah Ibnu Umar melakukannya’.”138

Dari riwayat Ibnu Umar dan Ahmad inilah para ulama Hanabilah menyatakan
kemustahilan adanya fatwa imam Ahmad membolehkan ngalap barokah dengan
menyentuh kubur Nabi . Dengan keterangan ini pula riwayat putra imam Ahmad tertolak.
Karena begitu jelasnya Ibnu Umar membencinya dalam riwayat yang telah lalu, dan
imam Ahmad mengikuti Ibnu Umar.

Permasalahan ini hanya ada pada praktek menyentuh mimbar Nabi Shallallahu
‘alaihi Wasallam. Dalam keterangan Al Atsrom sendiri, begitu juga dalam kitab-kitab
fikih Hanabilah lainnya menerangkan akan kebolehan menyentuh mimbar Nabi. Kata
beliau,

‫ وهو يضع ي||ده‬، ‫ أنه نظر إلى ابن عمر‬، ‫ يعني ما رواه إبراهيم بن عبد الرحمن بن عبد القارئ‬. ‫أما المنبر فقد جاء فيه‬
‫على مقعد النبي صلى هللا عليه وسلم من المنبر ثم يضعها على وجهه‬

“Adapun –menyentuh- mimbar, ada keterangan yang menjelaskan hal itu, yaitu yang di
riwayatkan oleh Ibrahim bin Abdurrahman Bin Al Qori’, beliau melihat Ibnu Umar
meletakkan tangannya di atas tempat duduk di bagian mimbar Nabi Shallallahu ‘alaihi
Wasallam, dan meletakkan wajahnya’.”139

Pertanyaannya, apakah Ibnu Umar yang perbuatannya tersebut dibenarkan Ahlus


Sunnah Hanabilah sebagai bentuk ngalap barokah? Atau sekadar menyentuh karena
kebutuhan untuk berpegangan dengannya?

Hanabilah yang mengganggap bahwa praktek tersebut ngalap barokah adalah


putra imam Ahmad dalam Al ‘Ilal-nya yang lalu, juga Ibnu Az Zaghuni dan sahabat-
sahabatnya dalam Al Inshof Al Mardawi. Al Mardawi menyebutkan,

‫قال بن الزاغوني وغيره وليأت المنبر فيتبرك به تبركا بمن كان يرتقي عليه‬

“Berkata Ibnu Az Zaghuni dan lainnya, ‘Hendaklah mendatangi mimbar dan bertabarruk
dengannya, karena –Nabi- yang telah naik ke atasnya’.”140

Menanggapi hal ini, kami sampaikan; pertama, riwayat putra imam Ahmad
adalah lemah karena redaksinya –mengenai mimbar Nabi- bercampur dengan redaksi
palsu dari imam Ahmad mengenai ngalap barokah dengan kubur Nabi –sebagaimana
penjelasan yang lalu-. Kedua, pendapat membolehkan ngalap barokah dengan mimbar
Nabi dari kalangan Hanabilah hanya Ibnu Az Zaghuni dan sahabat-sahabatnya. Adapun

138
Al Mughni
139
Al Mughni
140
Al Inshof
kebanyakan Hanabilah yang lainnya menolak pendapat tersebut. Untuk itu lah Ibnu Hajar
Al Asqolani menyatakan,

، ‫وأما غيره فنقل عن اإلمام أحمد أنه سئل عن تقبيل منبر النبي ص||لى هللا عليه وس||لم وتقبيل ق||بره فلم ي||ر به بأس||ا‬
‫واستبعد بعض اتباعه صحة ذلك‬

“Adapun selain –tangan manusia- diriwayatkan dari imam Ahmad, bahwa beliau pernah
ditanya mengenai mencium mimbar Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam dan mencium
kuburnya, dan beliau berpendapat tidak masalah. Namun sebagian pengikut-pengikut
beliau menganggap mustahil akan keshahihan riwayat tersebut.”141

Keterangan ini menjelaskan bahwa menyentuh mimbar dan kubur Nabi


hukumnya sama tidak ada perbedaan. Sehingga persaksian dari kalangan Hanabilah
bahwa Ibnu Umar memang menyentuh mimbar Nabi sewaktu akan berangkat safar atau
sepulang darinya adalah bukan untuk ngalap barokah, melainkan karena saat itu beliau
membutuhkan untuk berpegangan dengan mimbar.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan,

‫ويروون عن يحيى بن سعيد يعني األنصاري شيخ مال||ك وغ||يره أنه حيث أراد الخ||روج إلى الع||راق ج||اء إلى المنبر‬
‫فمسحه ودعا فرأيته استحسن ذلك ثم قال لعله عند الضرورة والشيء‬

“Mereka juga meriwayatkan dari Yahya bin Sa’id Al Anshori, gurunya imam Malik, dan
diriwayatkan dari yang lainnya, bahwa beliau -Ibnu Umar- ketika ingin keluar ke Iraq,
beliau mendatangi mimbar Nabi dan menyentuhnya, beliau berdo’a dan aku (Yahya)
melihat beliau menganggap hal itu baik. Kemudian dia (Yahya) berkata, ‘Hal itu beliau
lakukan karena suatu keadaan mendesak dan karena sesuatu lain’.”142

Oleh sebab itu, ulama Ahlus Sunnah Hanabilah yang menganggap mustahil akan
keshahihan riwayat imam Ahmad yang membolehkan sentuh kubur dan mimbar untuk
ngalap barokah, adalah lebih kuat dan tepat. Kedua-duanya, baik menyentuh kubur dan
mimbar untuk ngalap barokah sama-sama dilarang. Hanyasaja ada perbedaan dalam
tingkatan larangan menyentuh mimbar.

Badaruddin Al Ba’li Al Hambali (w. 777 H) dalam kitabnya menyatakan,

.‫ولكن تنازع الفقهاء في وضع اليد على منبر النبي صلى هللا عليه وسلم لما كان المنبر موج||ودا فكره||ه مال||ك وغ||يره‬
‫وأما التمسح بقبر النبي صلى هللا عليه وسلم وتقبيله فكلهم نهى عنه أشد النهي‬

“Akan tetapi para Fuqoha’ berselisih pendapat mengenai meletakkan tangan ke mimbar
Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam karena mimbar tersebut masih ada. Imam Malik dan
selainnya memakruhkannya. Adapun menyentuh kubur Nabi Shallallahu ‘alaihi

141
Fath Al Bari
142
Iqtidho’ As Shirot Al Mustaqim, hal. 244
Wasallam dan menciumnya, maka mereka seluruhnya melarang hal tersebut dengan
larangan yang lebih keras -dari menyentuh mimbar-.”143

Cerita Tanpa Sanad Al Hafizh Abdul Ghani Al Maqdisi Al Hanbali

Selanjutnya, Romli menuliskan hujjahnya,

(7) Al-Hafizh Abdul Ghani al-Maqdisi al-Hanbali, bertabaruk dengan menyentuh


makam al-Imam Ahmad bin Hanbal, ketika tangannya terkena penyakit bisul yang lama
tidak dapat sembuh.

Namun sayang, Romli tidak menuliskan sumber berita tersebut untuk bisa kami
berikan komentar mengenainya. Kendati demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa
Al Hafizh Abdul Ghani Al Maqdisi (w. 600 H) memang melakukannya. Namun, hal itu
menyelisihi cara pengobatan yang diajarkan Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam dan tidak
pula dibenarkan oleh imam Ahmad, imamnya para Hambali sendiri.

Orang-Orang Yang Ngalap Barokah Dengan Tanah Kubur Ulama Hambali

Dalam kritikannya terhadap rival diskusinya, Romli sempat menuliskan dalil


ngalap barokah lainnya yang tertanggal 24 November 2013. Kata Romli,

Ibnu Abi Ya’la al-Hanbali, ketika menulis biografi al-Imam al-Syarif Abu Ja’far,
berkata dalam Thabaqat al-Hanabilah, juz 2 hal. 240:

‫وحفر له بجنب قبر امامنا أحمد فدفن فيه وأخذ الناس من تراب قبره الكثير تبركا به ولزم الناس ق||بره ليال ونه||ارا مدة‬
.‫طويلة ويقرؤون ختمات ويكثرون الدعاء ولقد بلغني أنه ختم على قبره في مدة الوف الختمات‬

“Al-Syarif Abu Ja’far digalikan makam disamping makam Imam Ahmad, dan
dimakamkan di sana. Masyarakat banyak mengambil tanah kuburannya dengan tujuan
tabaruk. Mereka menunggui makamnya siang dan malam dalam waktu yang lama, dan
membacakan banyak khataman al-Qur’an dan memperbanyak doa. Dan benar-benar telah
sampai kepadaku, bahwa di makamnya telah dikhatamkan ribuan kali khataman al-
Qur’an.”

Informasi Ibnu Abi Ya’la di atas memberikan kesimpulan, bahwa bertabaruk


dengan tanah kuburan orang shaleh, adalah tradisi kaum madzhab Hanbali, madzhab
resmi Wahabi Saudi Arabia. Karena hal tersebut, termasuk tradisi Islam sejak masa
silam, sebelum datangnya Wahabi.

143
Mukhtshor Al Fatawa Al Mishriyah Li Ibni Taimiyah
Kami sangat menyayangkan sekali terhadap kekeliruan Romli yang bukan
pertamakalinya ini. Romli berasumsi : bertabaruk dengan tanah kuburan orang shaleh,
adalah tradisi kaum madzhab Hanbali. Romli benar-benar gegabah dalam menuliskan dan
menyimpulkan permasalahan ini. Bagaimana tidak? Kita sudah sampaikan sebelumnya
ketetapan ulama Hanabilah dalam menolak ngalap barokah dengan tanah kubur. Romli
ngawur menyatakan ngalap barokah adalah tradisi Hanabilah. Kengawurannya adalah
karena perbuatan orang-orang yang ngalap barokah diklaim sebagai masyarakat
Hanabilah. Seharusnya, Romli melek ketika sudah kita sampaikan bahwa Hanabilah
menolak ngalap barokah dengan tanah kubur, Romli harusnya menyatakan orang-orang
yang melakukannya berarti bukan kalangan Hanabilah yang alim dalam ajaran
madzhabnya.

Romli mungkin juga akan berdalil dengan kisah jenazah para ulama Hanabilah
yang ditabarruki oleh orang-orang sebagai hujjahnya mengklaim kaum Hanabilah punya
tradisi ngalap barokah dengan jenazah ulamanya. Di antaranya kisah masyhur
tabarruknya orang-orang dengan air mandi jenazahnya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. 144
Romli kemungkinan akan menjadikannya dalil bahwa Hanabilah ternyata ngalap barokah
kepada ulamanya, Ibnu Taimiyah. Dan ini jelas sekali dugaan serampangan saja.

Ada juga ulama Hambali bernama Ibrahim bin Abdul Wahid bin Ali bin Surur Al
Maqdisi Ad Dimasyqi yang biasa dikenal Syaikh Imaduddin (w. 614 H). Dalam Dzail
Thobaqot Al Hanabilah milik Ibnu Rojab Al Hambali, beliau menyatakan,

‫ وت||ركت‬.‫ فما رأيت الجامع إال كأنه يوم الجمعة من كثرة الخلق‬.‫ ولما خرجت جنازته إلى الجامع اجتمع خلق كثير‬:‫قال‬
‫ وإال كانوا من كثرة من‬،‫ وكان المعتمد يطرد الناس عنه‬.‫جنازته في قبلة الجامع وصلى عليه اإلمام موفق الدين شيخنا‬
‫ وازدحم الناس على جنازته بين يديها وخفها حتى كاد بعض الناس يهلك‬.‫يتبرك به يخرقون الكفن‬

“(Al Hafizh Ad Dhiya’) berkata, ‘Tatkala jenazah beliau dibawa ke –masjid- Al Jami’,
berkumpullah orang-orang yang sangat banyak jumlahnya. Tidaklah aku melihat Al
Jami’ melainkan saat itu seperti hari Jum’at karena banyaknya manusia. Jenazah beliau
diletakkan di bagian kiblat Al Jami’. Kemudian syaikh kami imam Muwafiquddin
mensholatinya. Adalah –pendapat- yang mu’tamad (dipegang) orang-orang harus
menyingkir dari jenazah beliau. Karena kalau tidak, banyak dari mereka yang akan
ngalap barokah dengannya, mereka akan merobek kafan beliau. Orang-orang berdesakan
membawa jenazah beliau dengan cepatnya, sampai sebagian mereka ada yang celaka.” 145

Romli mungkin juga akan menyangka bahwa orang-orang yang ngalap baokah
dengan jenazah ulama Hambali ini adalah kaum Hanabilah. Namun semoga saja tidak.
Karena apa baiknya jika asyik mengklaim perbuatan orang kemudian dinisbatkan kepada
kaum Hanabilah yang setia pada ajarannya. Bagaimana jadinya dengan kasus orang-

144
Al Bidayah wa An Nihayah
145
Dzai Thobaqot Al Hanabilah
orang di atas. Apakah kaum Hanabilah akan dituduh Romli seperti kaum Syi’ah? Apakah
Romli tega menuduh Hanabilah seperti Syi’ah yang merobek kafannya jenazah
Khomeini?

Semoga Romli segera menyadari kesalahannya mengenai permasalahan yang


urgen ini. Karena sangat tidak layak bagi orang seperti Romli menyampaikan bahwa
kaum madzhab Hanabilah punya tradisi sesuatu yang mereka sendiri menganganggapnya
sebuah larangan. Romli bisa dikatakan ‘tertipu’ dengan pemahaman sendiri karena
mendapatkan cerita dari kitab profil para ulama Hanabilah. Mentang-mentang yang
menceritakannya adalah ulama Hambali dengan Thobaqot Al Hanabilah-nya, Romli
langsung picik terhadap keterangannya bahwa yang melakukannya adalah orang-orang,
bukan ulama atau masyarakat yang komit dengan madzhab Hambali-nya.

Karena Romli mengambil cerita dari Thobaqot Al Hanabilah, maka cobalah


memperhatikan kitab yang sama. Abu Al Hasan bin Abu Ya’la (w. 526 H) menuliskan,

‫ أنفذ الخليفة المطيع هلل بمال عظيم ليبني على قبر أحمد بن حنبل قبة فقال له جدي وأبو بكر عبد‬:‫قال أبو محمد التميمي‬
‫ تص||دقوا‬:‫ إن مذهبه أن ال يبنى عليه ش||يء فق||ال‬:‫ بلى فقاال له‬:‫ أليس تريد أن تتقرب إلى هللا تعالى بذلك؟ فقال‬:‫العزيز‬
. ‫ بل تصدق به على من تريد أنت فتصدق به‬:‫بالمال على من ترونه فقاال له‬

“Abu Muhammad At Tamimi berkata, ‘Kholifah Al Muthi’ Lillah ingin


melakukan proyek pembangunan kubah di atas kubur imam Ahmad bin Hambal dengan
dana yang besar. Karenanya, kakekku dan Abu Bakar Abdul Aziz berkata kepadanya,
‘Bukankah maksud Anda untuk taqarrub kepada Allah dengan cara itu?’

Dia (kholifah) menjawab, ‘Ya’.

Kemudian mereka berdua (kakekku dan Abu Bakar Abdul Aziz) berkata lagi,
‘Sesungguhnya madzhab beliau (Ahmad bin Hambal) hendaklah tidak membangun
sesuatu apapun di atas kubur’.

Kholifah mengatakan, ‘Kalau begitu kalian sedekahkan saja harta tersebut kepada
orang yang kalian anggap pantas’.

Mereka berdua mengatakan kepadanya, ‘Tidak, Anda sedekahkan saja kepada


orang yang Anda mau’.”146

Kesimpulannya, untuk taqarrub kepada Allah, dalam madzhab Hambali dan itulah
tradisi kaum Hanabilah, mereka tidak mengada-ngada. Tidak melanggar pelajaran dari
madzhabnya demi melakukan taqarrub kepada Allah Ta’ala. Membangunkan kubah di
atas kubur imam Ahmad yang diniatkan untuk sarana taqarrub pada Allah adalah

146
Thobaqot Al Hanabilah, profil: Abu Al Faroj Abdul Wahid bin Muhammad Asy Syairozi yang dikenal
dengan Al Maqdisi
terlarang dalam madzhab Ahlus Sunnah termasuk Hanabilah. Apalagi ngalap barokah
dengan tanah kubur, tentunya lebih terlarang.
HUJJAH MASYHUR LAIN BAGI KAUM NGALAP

Al Baidhowi; Boleh membangun masjid dekat kubur orang sholeh karena tabarruk

Riwayat ini berasal dari kutipan Ibnu Hajar Al Asqolani dalam Fath Al Bari
sebagai berikut,

‫ لما كانت اليهود والنص|ارى يسجدون لقبور األنبياء تعظيما لش|أنهم ويجعلونه||ا قبلة يتوجه||ون في‬:‫وقال البيضاوي‬
‫ فأما من اتخذ مسجدا في جوار صالح وقصد التبرك‬،‫الصالة نحوها واتخذوها أوثانا لعنهم ومنع المسلمين عن مثل ذلك‬
‫بالقرب منه ال التعظيم له وال التوجه نحوه فال يدخل في ذلك الوعيد‬

“Al Baidhowi berkata, ‘Tatkala Yahudi dan Nashrani sujud kepada kubur para Nabi
sebagai bentuk pengagungan atas kedudukan mereka, dan menjadikannya kiblat yang
mereka menghadap kepadanya saat sembahyang, dan menjadikannya sebagai
sesembahan, mereka pun dilaknat. Kaum Muslimin juga dilarang dari berbuat seperti itu.
Adapun siapa yang membangun masjid di samping –kubur- orang sholeh dan bertujuan
untuk ngalap barokah dengan berdekatan dengannya, bukan bertujuan mengagungkannya
juga menghadap kepadanya, maka tidak masuk ke dalam ancaman –yang terlarang-.”147

Kutipan ini sering kali disampaikan para pelaku ngalap barokah. Terutama di
media social saat mereka mendebat Ahlus Sunnah yang menolak ngalap barokah dengan
cara membangun masjid dekat kuburan orang sholeh. Dan pada prakteknya, memang
terbukti kaum ngalap mengaplikasikan statemen Al Baidhowi di atas. Ada banyak masjid
yang dibangun di sebelah pemakaman kaum Muslimin yang diyakini ada atau banyak
orang sholeh yang dimakamkan di sana. Baik di sebelah timur makam atau selatannya,
atau arah lainnya. Yang penting bersampingan dengan kuburan orang sholeh. Jika di
sebelah timur makam -dan ini kebanyakan- maka arah kiblat masjid adalah makam itu
sendiri.

Mengomentari statemen Al Baidhowi di atas, sebaiknya kami sampaikan terlebih


dahulu komentar ulama terhadap statemennya ini dalam sebagian kitab mereka.

Syaikh Al ‘Allamah As Shon’ani (w. 1182 H), setelah menyebutkan kutipan dari
Al Baidhowi di atas, beliau pun membantahnya dengan mengatakan,

‫ ُثَّم َأَح اِد يُث الَّنْهِي ُم ْطَلَقٌة َو اَل َد ِليَل َع َلى‬، ‫ اِّتَخ اُذ اْلَم َس اِج ِد ِبُقْر ِبِه َو َقْص ُد الَّتَبُّر ِك ِبِه َتْع ِظ يٌم َلُه‬: ‫ َقْو ُلُه اَل ِلَتْع ِظ يٍم َلُه ُيَقاُل‬: ‫ُقْلت‬
‫ َو الَّظاِهُر َأَّن اْلِع َّلَة َس ُّد الَّذ ِريَعِة‬، ‫الَّتْع ِليِل ِبَم ا َذ َك َر‬

“Aku katakan, bahwa statemennya –Al Baidhowi- ‘la lita’zhimi lahu’ (tidak untuk
mengagungkannya), maka dijawab; bahwa mendirikan masjid dekat dengannya dan
bertujuan ngalap barokah dengannya itu adalah ta’zhim lahu (mengagungkannya).
147
Fath Al Bari
Hadits-hadits yang melarang –membangun masjid di atas kubur- adalah umum dan tidak
ada yang menunjukkan penjelasan sebab –larangan- seperti yang disebutkan –yaitu
karena kubur disembah-. Yang jelas bahwa sebab larangannya adalah sadd dzari’ah
(menutup wasilah syirik).”148

Dari keterangan ini menunjukkan dilema kaum ngalap yang menjadikan statemen
Al Baidhowi sebagai hujjahnya. Satu sisi beliau membolehkan ngalap barokah dengan
bangun masjid di sebelah makam orang sholeh, namun satu sisi beliau memberikan
ketentuan, yaitu tidak mengagungkannya. Hal ini justru menimbulkan dilema dan bahkan
statemen yang membingungkan. Karena ngalap barokah dengan praktek semacam ini
tentu karena mengagungkan atau memuliakan orang sholeh yang ditabarruki.

Kemungkinan kaum ngalap akan cari alasan bahwa maksud dari ‘syarat tanpa
mengagungkannya’ maknanya adalah tanpa mengkultuskannya sebagai orang yang
disembah. Itu makna ta’zhim, asumsi mereka. Namun ini juga sama kelirunya, karena
ta’zhim adalah kalimat yang sangat popular digunakan. Allah memang Maha ‘Azhiim
(Yang Mulia) tapi boleh menggunakan kata ‘Azhiim untuk manusia, seperti ‘Azhiim Ar
Ruum (Penguasa Romawi) yang ada dalam surat Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam
kepada Heraclius.149

Oleh sebab itu, bentuk penta’zhiman memang dibenarkan dilakukan antara


manusia dengan manusia. Tepatnya oleh pihak yang lebih muda kepada yang lebih tua.
Atau oleh yang muta’allim kepada yang lebih alim. Hal ini sama halnya dengan pesan
Jibril kepada Nabi, ‘kabbir, kabbir’.150 Maknanya mendahulukan orang yang lebih tua
dan tentunya menghormati mereka karena mereka lebih tua. Bukan memaha-besarkan,
sekalipun Allah yang punya nama Al Kabiir. Maka, tidak selamanya penta’zhiman
dilakukan hanya dari makhluk kepada Allah semata. Karena yang membedakannya
adalah pada prakteknya.

Atas dasar itu, kalimat Al Baidhowi ‘la lita’zhim’ (tanpa menta’zhimkannya)


adalah mengagungkan orang sholeh yang ada dalam kubur. Sekalipun pengagungan
tersebut lebih dari sekadar memuliakan mayit yang telah mati. Karena mayit kaum
Muslimin tetap harus dimuliakan. Namun –dalam kalimat Al Baidhowi- tidak sampai
kepada tingkatan pengagungan dalam artian menyembah kepadanya.

Oleh sebab itu, perkara ini memang sebuah dilema bagi kaum ngalap yang
berhujjah dengan statemennya Al Baidhowi. Karena beliau memberikan ketentuan syarat
148
Subul As Salam
149
“Bismillahir rahmanir rahim. Dari Muhammad, hamba Allah dan Rasul-Nya untuk Heraclius. Penguasa
Romawi, Keselamatan bagi siapa yang mengikuti petunjuk. Kemudian daripada itu, aku mengajakmu
dengan seruan Islam; masuk Islamlah kamu, maka kamu akan selamat, Allah akan memberi pahala
kepadamu dua kali. Namun jika kamu berpaling, maka kamu menanggung dosa rakyat kamu..” (HR.
Bukhori)
150
Al Faidh Al Qadir, no. 3205
yang itu tidak mungkin bisa dipisahkan dari praktek yang beliau bolehkan tadi. Ngalap
barokah dengan mendirikan masjid di sebelah, baik samping, depan atau belakang dari
makamnya orang sholeh itu dilakukan karena ta’zhim kepada mereka. Kalau mereka
tidak dita’zhimkan, tidak mungkin akan ditabarruki.

Maka tepat sekali kritikan Al ‘Allamah As Shon’ani yang telah kami sebutkan
sebelumnya. Bahwa mendirikan masjid dekat bersebelahan dengan kubur orang sholeh
dan bertujuan ngalap barokah dengannya itu adalah ta’zhim lahu (mengagungkannya). Ini
syarat pertama yang tidak dapat dielakkan dari Al Baidhowi, ulama yang
membolehkannya sendiri.

Adapun syarat kedua dari beliau adalah ‘la at tawajjuh nahwahu’ (tidak
menghadap ke arahnya). Ketentuan ini tentunya juga dilanggar oleh kebanyakan pelaku
ngalap. Amat banyak masjid yang dibangun dengan tujuan tabarruk menghadap makam-
makam yang di dalamnya terdapat banyak kuburan orang sholeh. Namun, boleh jadi
mereka punya alasan sendiri dan mengatakan, bahwa yang terlarang adalah menghadap
kubur secara langsung. Adapun masjid yang tentunya ada dinding atau pembatas di arah
kiblatnya, maka tak masalah.

Dan ini pun tetap bertentangan dengan yang tampak jelas dari penjelasan Al
Baidhowi sendiri. Karena Al Baidhowi menentukan syarat tersebut dalam konteks
pembolehan mendirikan masjid di sebelah kubur orang sholeh. Bangunan masjid,
tentunya –sebagaimana umumnya baik sejak dahulu hingga sekarang- memiliki dinding-
dinding. Baik dinding bagian kiri dan kanan, juga depan dan belakang. Jadi, ketika beliau
membolehkan membangun masjid bersebelahan dengan kubur orang sholeh tanpa
menghadapnya, itu artinya masjid yang memiliki dinding pembatas depan juga tidak
boleh jika di depannya ada kubur orang yang ditabarruki. Dipertegas, bahwa yang beliau
nyatakan boleh adalah membangun masjid di ‘sebelah’ kuburnya. Bukan di depan.
Sehingga, tidak menghadap kubur yang menjadi syarat dibolehkannya membangun
masjid bersebelahan dengan kubur orang sholeh, memang di arah depan atau arah kiblat
masjid. Baik tertutup apalagi tidak.

Ibnu Rojab Al Hambali menyatakan,

‫ المسجد‬: ‫ فقيل ل|ه‬. ‫ يسال عن الصالة في المقبرة ؟ فكره الصالة في المقبرة‬- ‫ أحمد‬: ‫ يعني‬- ‫ سمعت أبا عبد هللا‬: ‫وقال‬
‫ أنه مسجد وبينه وبين القبور ح|اجز ؟ فكره أن يص|لي فيه‬: ‫ قيل َل ُه‬. ‫ أيص|لي فيه ؟ فكره َذ ِل َك‬، ‫يكون بين القبور‬
. ‫ ورخص أن يصلي فيه على الجنائز‬، ‫الفرض‬

“Dan berkata dia (Al Atsrom), ‘Aku mendengar Abu Abdillah, yaitu imam Ahmad
ditanya mengenai sholat di kubur? Beliau pun memakruhkan –makruh tahrim- sholat di
pemakaman. Beliau ditanya juga, ‘Kalau masjidnya ada di antara kuburan-kuburan,
apakah boleh sholat di dalamnya?’ Beliau pun memakruhkannya -makruh tahrim-. Beliau
ditanya lagi, ‘Kalau antara masjid dan kubur ada pembatas atau dinding?’ Beliau juga
menjawab sama -makruh tahrim- untuk sholat fardhu di dalamnya. Namun beliau
memberikan rukhsoh (keringanan yaitu boleh) untuk sholat jenazah di dalamnya’.”151

Kami perlu menyampaikan persoalan di kalangan ulama Syafi’iyah yang sempat


terjadi perbedaan pendapat mengenai sholat di kuburan para Nabi. Ar Romli Asy Syafi’i
As Shoghir (w. 1004 H) menyatakan,

‫واعتراض الزركشي كالم التوشيح بأن تجويز الصالة في مقبرة األنبياء ذريعة إلى اتخاذها مسجدا وقد ورد النهي عن‬
‫اتخاذ مقابرهم مسجدا وسد الذرائع مطلوب ال سيما مع تحريم استقبال رأس قبورهم غير معول عليه ألنه يعتبر هنا أي‬
‫يشترط في تحقق الحرمة قصد استقبالها لتبرك أو نحو‬

“Penentangan Az Zarkasyi terhadap pendapat At Tausyih bahwa bolehnya sholat di


pemakaman para Nabi adalah wasilah kepada ‘menjadikannya sebagai masjid’.
Sebagaimana yang telah diriwayatkan akan larangan menjadikan kubur para Nabi sebagai
masjid. Sadd dzaraai’ dituntut dalam hal ini apalagi haramnya menghadap ke bagian
kepala kubur mereka. Namun –pendapat Az Zarkasyi- ini bukan pegangan. Karena yang
diperkirakan di sini, yaitu yang disyaratkan dalam menetapkan keharaman adalah tujuan
menghadap kubur untuk ngalap barokah dan semisalnya.”152

Al Bajirumi As Syafi’i, ulama Syafi’iyah yang wafat di bulan mulia Romadhon


tahun 1221 Hijriyah ini menyatakan kembali pernyataan Ar Romli di atas,

‫َو اْعَتَر َض َج َو اُز الَّص اَل ِة ِفي َم ْقَب َرِة اَأْلْنِبَي اِء ِبَأَّن ُه ُي َؤِّدي إَلى اِّتَخ اِذ َه ا َم ْس ِج ًدا َو َق ْد َنَهى َع ْنَه ا ِبَقْو ِل ِه { َلَع َن ُهَّللا اْلَيُه وَد‬
. ‫ َو ُأِج يَب َع ْنُه ِبَأَّن اْلَم ْنِهَّي َع ْنُه َقْص ُد اْس ِتْقَباِلَها ِلَتَبُّر ٍك َأْو َنْح ِو ِه‬.} ‫َو الَّنَص اَر ى اَّتَخ ُذ وا ُقُبوَر َأْنِبَياِئِه ْم َم َس اِج َد‬

“Telah ditentang akan kebolehan sholat di pemakaman para Nabi dengan alasan bahwa
hal itu akan mengantarkan kepada ‘menjadikan kubur sebagai masjid’ yang telah dilarang
dalam sabda Nabi ‘Alaihissholatu Wasallam, ‘Allah melaknat Yahudi dan Nashrani,
mereka menjadikan kubur para Nabi mereka sebagai masjid’. Maka jawaban darinya,
bahwa larangan tersebut adalah jika diniatkan -sholat- menghadapnya untuk ngalap
barokah atau sejenisnya.”153

Kita semua bisa menyaksikan bahwa sholat menghadap kubur para Nabi dengan
tujuan ngalap barokah adalah bagian dari larangan ‘menjadikan kubur sebagai masjid’.
Bagaimana jika menghadap kubur selain kubur Nabi untuk ditabarruki? Tentu lebih keras
lagi ancamannya. Dan ini artinya ulama Syafi’iyah sebenarnya berpendapat seperti di
atas. Hanyasaja Ar Romli yang menerangkan hal itu lebih memilih pendapat dibolehkan
sholat di kuburan para Nabi dan tidak selain para Nabi dan syuhadaa’. Adapun yang
menentang pendapat beliau tersebut karena berdasarkan hadits laknat Yahudi dan
Nashrani adalah Az Zarkasyi. Az Zarkasyi As Syafi’i lebih memilih pendapat
151
Fath Al Bari, 2/400
152
Nihayah Al Muhtaj Ila Syarh Al Minhaj Ar Romli dan Hasyiyah Al Jamal ‘Ala Al Manhaj Li Syaikhil Islam
Zakariya Al Anshari
153
Hasyiyah Al Bajirumi, Tuhfah Al Habib ‘Ala Syarh Al Khotib (2/263)
sebagaimana pendapatnya ulama Ahlus Sunnah lainnya dari madzhab-madzhab Ahlus
Sunnah. Beliau mendahulukan kaedah syar’i sadd dzaraai’ yang telah kita bahas lalu.

Kesimpulannya, ulama Syafi’iyah sepakat dilarangnya ngalap barokah dengan


sholat menghadap ke arah kubur. Inilah kesimpulan dari pernyataan para ulama
Syafi’iyah termasuk Ar Romli Asy Syafi’i As Shoghir. Kami tidak tahu kalau Romli
penulis BPBDW masa kini. Mereka hanya berselisih mengenai sholat di atas kubur para
Nabi. Bukan membangun masjid di atas kubur. Dan ulama Ahlus Sunnah lainnya, tentu
lebih memilih pendapat ulama Syafi’iyah yang diwakili Az Zarkasyi. Karena sadd
dzaraai’ sebagaimana yang telah kita bahas sebelumnya, lebih diutamakan. Dan seperti
itu yang terkesan dalam nasehat Imam Sayfi’i dalam masalah ini.

Kemudian, selain syarat tanpa menta’zhimkan mayit orang sholeh dan menghadap
kuburnya, syarat lainnya dari Al Baidhowi adalah bahwa boleh membangun masjid jika
di ‘sebelah’ kubur orang sholeh. Ini menunjukkan beliau melarang sholat menghadap
kuburan dan di atasnya. Dalam persyaratan ini, ada beberapa masjid yang mencontohnya.
Pemakaman yang di dalamnya terdapat kubur orang sholeh berada di samping kanan atau
kiri masjid. Dan mereka melakukannya –kemungkinan besar- karena ngalap barokah atas
fatwa Al Baidhowi.

Namun ada pula yang tidak sependapat dengan beliau. Sebagian kaum ngalap
bahkan nekad membangun masjid di atas kuburan orang sholeh mereka. Maka perlu
diketahui, bahwa statemen Al Baidhowi ini sebenarnya cukup untuk mengkritik pendapat
bolehnya membangun di atas masjid. Karena Al Baidhowi hanya menyebutkan
kebolehannya jika ‘bijiwaari sholih’ di sebelah kuburan orang sholeh. Jadi, bukan di atas
kubur.

Sebab itu pula bagi kaum ngalap yang tidak menerima fatwa terlarangnya sholat
menghadap kubur dan di atasnya tentu akan semakin jatuh dalam kubang kebid’ahan
lainnya. Mereka ambil fatwa Al Baidhowi atas kebolehan bangun masjid bersebelahan
kubur orang sholeh dengan niat ngalap barokah, tapi mereka menolak fatwa larangan
menghadap kubur dan di atasnya. Yang jelas –jika Al Baidhowi berpendapat
sebagaimana ulama Ahlus Sunnah dalam masalah larangan sholat menghadap dan di atas
kubur- dalil atas larangan sholat menghadap kubur amat kuat sekali.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda,

‫اَل َتْج ِلُسوا َع َلى اْلُقُبوِر َو اَل ُتَص ُّلوا ِإَلْيَها‬

“Janganlah kalian duduk di atas kuburan, dan jangan pula kalian shalat dengan
menghadap ke arahnya.” (HR. Muslim)

Setelah membawakan hadits ini, Al Qurthubi (w. 671 H) menyatakan,


،‫أي ال تتخذوها قبلة فتصلوا عليها أو إليها كما فعل اليهود والنصارى؛ فحذر النبي صلى هللا عليه وس|لم عن مث|ل ذل|ك‬
.‫ اشتد غضب هللا على قوم اتخذوا قبور أنبيائهم وصالحيهم مساجد‬:‫وسد الذرائع المؤدية إلى ذلك فقال‬

“Maknanya, janganlah kalian menjadikan kubur sebagai kiblat yang kalian sholat di
atasnya atau menghadapnya, sebagaimana yang dilakukan Yahudi dan Nashrani.
Sehingga Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam mencegah dari perbuatan seperti itu. Dan
Beliau menutup perantara (sadd dzaraai’) yang mengantarkan kepadanya dengan
mengatakan, ‘Sangatlah keras murka Allah terhadap suatu kaum yang menjadikan kubur
para Nabi mereka dan orang-orang sholeh mereka sebagai masjid’.”154

An Nawawi menjelaskan hadits di atas,

‫ وأكره أن يعظم مخلوق حتى يجعل قبره مسجدا‬: - ‫ رحمه هللا‬- ‫ قال الشافعي‬. ‫فيه تصريح بالنهي عن الصالة إلى قبر‬
. ‫مخافة الفتنة عليه وعلى من بعده من الناس‬

“Kandungan di dalam hadits tersebut adalah penjelasan larangan sholat menghadap ke


arah kubur. Berkata As Syafi’i rahimahullah, ‘Aku membenci diagungkannya makhluk
sampai kuburnya dibuat masjid, karena dikhawatirkan munculnya fitnah (syirik) terhadap
yang melakukannya dan orang-orang setelahnya.”155

Perhatikan baik-baik keterangan Al Qurthubi dan An Nawawi di atas. Hadits yang


menyatakan larangan duduk di atas kubur dan sholat menghadapnya dijelaskan oleh
beliau berdua dengan membawakan keterangan tentang penta’zhiman orang sholeh
dengan membangun masjid di atas kuburnya. Dan perhatikan pula, bahwa haditsnya
adalah mengenai larangan duduk di atas kubur dan sholat menghadapnya, tapi beliau
memasukkannya dalam pembahasan menjadikan masjid sebagai kubur. Artinya, hadits
larangan menjadikan kubur sebagai masjid bermakna larangan duduk di atasnya, sholat
menghadapnya, dan sholat di atasnya.

Ini pula yang mengesankan bahwa imam As Syafi’i menasehatkan agar


melakukan sadd dzaraai’ dari fitnah kepada ummat Muslimin dan generasi seterusnya
dengan tidak duduk di atas kubur, sholat menghadap kubur orang sholeh, dan
membangun masjid di atas kuburnya.

Nasehat imam As Syafi’i ini pula yang membantah statemen Al Baidhowi atas
bolehnya membangun masjid di samping kubur orang sholeh dengan tujuan ngalap
barokah. Karena, sekalipun bukan menghadap kubur atau di atasnya tapi hanya di
sampingnya, maka melakukan sadd dzaraai’ lebih diutamakan. Fitnah syirik akan muncul
baik membangun masjidnya mengarah ke kubur, atau di sampingnya, atau di atasnya.

Dalam Al Umm Imam As Syafi’i disebutkan,

154
Al Jami’ Li Ahkam Al Quran (10/380)
155
Syarh Shahih Muslim, no. 1613
‫( قال ) َوِإْن صلى إَلْيِه َأْج َز َأُه وقد َأَس اَء أخبرنا َم اِلٌك َأَّن َر ُسوَل ِهَّللا صلى ُهَّللا عليه وسلم قال َقاَتَل ُهَّللا اْلَيُه وَد َو الَّنَص اَر ى‬
‫اَّتَخ ُذ وا ُقُبوَر َأْنِبَياِئِه ْم َم َس اِج َد‬

“(Imam As Syafi’i berkata) : Jika sholat ke arah kubur maka sholatnya sah namun telah
berbuat kesalahan (dosa). Malik mengabarkan kepada kami bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi Wasallam bersabda, ‘Semoga Allah memusnahkan Yahudi dan Nashrani, mereka
menjadikan kubur para Nabi sebagai masjid…’.”156

Kesimpulannya, fatwa Al Baidhowi tidak dapat diterima sekalipun ngalap


barokah dengan membangun masjid di sebelah kubur orang sholeh.

---***---

Demikian yang kami dapatkan hujjah-hujjah Romli dalam melegalkan ngalap


barokah kepada benda-benda yang ada barokahnya atau tidak, dengan cara tanpa
perhatian terhadap kaedah syar’i. Kaedah syar’i yang mengajarkan agar menjaga wasilah
kepada kesyirikan dan pengkultusan, justru akan terbuka dengan praktek-praktek ngalap
barokah yang banyak ragamnya. Sakingkan banyaknya, sangat memungkinkan ada
puluhan hujjah lagi dari pengagum ngalap barokah ini. Baik dari hadits-hadits dho’if
ataupun dari cerita-cerita mimpi peziarah makam wali.

156
Al Umm
ISTIGHATSAH DAN TAWASSUL

Berbicara tentang istighotsah dan tawassul, tidak terlepas dari pembahasan


sebelumnya, yaitu tabarruk atau ngalap barokah. Kami sengaja mendahulukan masalah
ini pada bab ke II, karena pembahasannya yang sejurus. Sekalipun Romli dalam bukunya
BPBDW menuliskan materi ini pada bab ke VII.

Hakekat Istighatsah dan Tawassul

Romli memulai pembahasannya dengan merincikan makna dan hakikat dari


istighotsah dan tawassul. Kata Romli : Para ulama seperti al-Imam al-Hafizh
Taqiyyuddin al-Subki menegaskan bahwa tawassul, istisyfa’, istighatsah, isti’anah,
tajawwuh dan tawajjuh, memiliki makna dan hakekat yang sama. Mereka mendefinisikan
tawassul -dan istilah-istilah lain yang sama- dengan definisi sebagai berikut: “Memohon
datangnya manfaat (kebaikan) atau terhindarnya bahaya (keburukan) kepada Allah
dengan menyebut nama seorang nabi atau wali untuk memuliakan (ikram) keduanya”.
(Al-Hafizh al-’Abdari, al-Syarh al-Qawim, hal. 378).

Oleh karena pembahasannya adalah istighotsah dan tawassul kepada para Nabi
dan orang sholeh yang telah meninggaldunia, tentunya kami sangat menghargai Romli
dalam menyadur defenisi amal ibadahnya sendiri. Yang jelas dari defenisi yang dipilih
Romli, kami merasakan adanya polemik terhadap deskripsi istighotsah dan tawassul.
Pasalnya, istighotsah yang jelas-jelas ia bermakna tholab al ghauts (meminta
pertolongan) dan tawassul yang bermakna menjadikan wasilah, kurang tepat jika memilih
defenisi dari kutipan Romli. Secara praktek, istighotsah dan tawassul memang sudah
terjelaskan dalam defenisi. Namun secara tujuan, defenisi kurang memahamkan maksud
dari istighotsah dan tawassul.

Dengan jelas disebutkan bahwa tujuan istighotsah dan tawassul adalah :


Memohon datangnya manfaat (kebaikan) atau terhindarnya bahaya (keburukan) kepada
Allah. Namun, karena caranya menggunakan biro jasa pihak ketiga dari para Nabi dan
orang sholeh yang telah meninggaldunia, yaitu : dengan menyebut nama seorang nabi
atau wali, akhirnya ada tujuan istighotsah dan tawassul yang baru. Yaitu : untuk
memuliakan (ikram) keduanya.

Di sinilah letak ketidakjelasan defenisi yang dikutip Romli. Amalan istighotsah


dan tawassul mereka bertujuan untuk memuliakan para Nabi dan orang sholeh yang
ditawassuli. Tidak sekadar menjadikan mereka sebagai wasilah memberikan jasa
mendoakan di alam kubur, namun bertujuan memuliakan mereka dengan mentawassuli
mereka. Pertanyaannya, apa Ahlus Sunnah yang tidak mentawassuli mereka itu berarti
kurang memuliakan para Nabi dan orang sholeh? Atau, apa Ahlus Sunnah kurang
memahami nash-nash dari tuisan para ulama Ahlus Sunnah baik generasi salaf ataupun
kholaf, bahwa ada rujukan yang mengajarkan bahwa cara memuliakan para Nabi dan
orang sholeh adalah beristighotsah dan mentawassuli mereka. Di manakah itu?!

Sampai saat ini, Ahlus Sunnah tidak mengajarkan cara memuliakan para Nabi dan
orang sholeh yang telah wafat dengan cara Romli dan ulama istighotsahnya. Maksimal,
mereka hanya berselisih pendapat mengenai hukum tawassul kepada Nabi dan orang
sholeh yang telah wafat. Yang tentunya Romli lebih menyetujuinya pendapat boleh atau
bahkan mensunnahkan tawassul mereka yang telah wafat. Adapun Ahlus Sunnah yang
sibuk dicap Romli sebagai Wahhabi atau aliran sesat atau apalah, mereka lebih
mengunggulkan pendapat tidak boleh.

Alhamdulillah-nya, Ahlus Sunnah dan kaum istighotsah tawassul Romli sepakat


terhadap apa yang disampaikan Romli ini : Sebagian kalangan memiliki persepsi bahwa
tawassul adalah memohon kepada seorang nabi atau wali untuk mendatangkan manfaat
dan menjauhkan bahaya dengan keyakinan bahwa nabi atau wali itulah yang
mendatangkan manfaat dan menjauhkan bahaya secara hakiki. Persepsi yang keliru
tentang tawassul ini kemudian membuat mereka menuduh orang yang ber-tawassul kafir
dan musyrik. Padahal hakekat tawassul di kalangan para pelakunya adalah memohon
datangnya manfaat (kebaikan) atau terhindarnya bahaya (keburukan) kepada Allah
subhanahu wa ta’ala dengan menyebut nama seorang nabi atau wali untuk memuliakan
keduanya.

Keterangan Romli ini mewakili nasehat Ahlus Sunnah lainnya bahwa praktek
istighotsah dan tawassul Romli dkk, bukanlah perbuatan syirik karena mereka meminta
kepada selain Allah dari para Nabi atau orang sholeh yang ditawassuli, secara langsung.
Kaum istighotsah tawassul ini hanya menggunakan biro jasa dari para Nabi dan orang
sholeh untuk menyampaikan doa mereka kepada Allah. Mereka tetap meyakini bahwa
Allah yang memberikan segala permintaan.

Gambaran mudahnya seperti ini. Ketika si A ingin mengajukan proposal kepada si


B, si A menyangka bahwa ada orang ketiga, yaitu si C, yang bisa digunakan jasanya
untuk terkabulnya permohonan proposal. Si A menghubungi si C untuk bisa memberikan
tanda tangan persetujuan dan penguatan permohonan proposal. Dengan harapan si B akan
menggelontorkan dananya sesuai yang diharapkan si A dalam proposalnya, disebabkan ia
telah melihat ada persetujuan dan bahkan penguatan dari si C. Si C orang yang
berpengaruh besar di mata si B.

Anda tentunya sudah paham permisalan dalam gambaran di atas, siapa dia yang
dimaksud dari si A, B dan C. Dan tentunya dalam konteks seperti ini, tampaknya tidak
ada masalah yang signifikan yang menjadikan si A sebagai pelaku syirik. Karena sama
halnya dengan tawassul kepada Nabi dan orang sholeh saat masih hidup. Model tawassul
yang dibolehkan Ahlus Sunnah ini -yaitu saat Nabi dan orang sholeh masih hidup-,
tentunya juga punya gambaran yang sama dari permisalan si A, B dan C. Si A adalah
Umar bin Khottob radhiyallahu ‘anhu, sedangkan si B adalah Allah Ta’ala, dan si C
adalah pamannya Nabi, Al Abbas radhiyallahu ‘anhu. Umar tidak berbuat syirik dengan
meminta kepada Al Abbas, tapi hanya sekadar menjadikan wasilah agar permohonan
Umar dan umat Islam tatkala itu, bisa dikabulkan oleh Allah.

Maka tepat sekali jika amalan tawassul tidak boleh sertamerta divonis syirik.
Karena sampai di sini, dua model tawassul –baik wasilahnya masih hidup atau sudah
wafat- keduanya sama-sama berpotensi syirik dan berpotensi pula sesuai dalil syar’i.
Bayangkan ketika wasilahnya telah meninggaldunia tapi yang bertawassul kepadanya
meyakini wasilah itu yang mengabulkan permohonan. Ini jelas syirik. Dan bayangkan
pula ketika wasilahnya masih hidup tapi yang bertawassul kepadanya meyakini si wasilah
yang mengabulkan permintaan. Ini juga jelas syirik.

Lantas, permasalahannya di mana? Ini lah yang akan dibahas dalam hujjah-hujjah
yang dikutip oleh Romli dan Ahlus Sunnah. Romli punya hujjah dari ulamanya para
imam istighotsah dan tawassul, begitupula Ahlus Sunnah juga punya hujjah dari ulama
salaf Ahlus Sunnah. Keduanya menggunakan pendekatan kajian riwayat dan diroyat.

Namun sebelum itu, ada hal menarik yang perlu diketahui para kaum istighotsah
tawassul dan kaum Ahlus Sunnah. Romli menuliskan : Ide dasar dari tawassul ini adalah
sebagai berikut. Allah subhanahu wa ta’ala telah menetapkan bahwa biasanya urusan-
urusan di dunia ini terjadi berdasarkan hukum kausalitas; sebab akibat. Kemudian Romli
menuliskan salah satu dalilnya,

‫َو اْبَتُغ وا ِإَلْيِه اْلَو ِس يَلَة‬

“Dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya(Allah)”. (QS. al-Ma’idah : 35).

Ayat ini memerintahkan untuk mencari segala cara yang dapat mendekatkan diri
kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Artinya, carilah sebab-sebab tersebut, kerjakanlah
sebab-sebab itu, maka Allah subhanahu wa ta’ala akan mewujudkan akibatnya. Allah
subhanahu wa ta’ala telah menjadikan tawassul dengan para nabi dan wali sebagai salah
satu sebab dipenuhinya permohonan hamba. Padahal Allah subhanahu wa ta’ala Maha
Kuasa untuk mewujudkan akibat tanpa sebab-sebab tersebut. Oleh karena itu, kita
diperkenankan ber-tawassul dengan para nabi dan wali dengan harapan agar permohonan
kita dikabulkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala.

Di sinilah para Ahlus Sunnah mengkritik ajaran istighotsah tawassul dengan


menetapkannya sebagai bid’ah yang buruk. Mengapa bid’ah? Tentu karena istighotsah
dan tawassul kepada para Nabi dan orang sholeh setelah wafat dijadikan sebagai salah
satu jalan yang mendekatkan diri kepada Allah. Padahal, jalan mendekatkan diri kepada
Allah wajib memiliki dasar dari syar’i. Lihatlah ucapan Romli yang menurut kami
keterlaluan ini : Ayat ini memerintahkan untuk mencari segala cara yang dapat
mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Artinya, carilah sebab-sebab
tersebut, kerjakanlah sebab-sebab itu, maka Allah subhanahu wa ta’ala akan mewujudkan
akibatnya.

Bagaimana tidak keterlaluan. Romli menuduh Allah memerintahkan hamba-Nya


mencari “segala cara” yang dapat mendekatkan diri kepada-Nya. Hal ini jelas sekali
ditentang oleh semua ulama Ahlus Sunnah baik kalangan salaf ataupun kholaf. Karena
mendekatkan diri kepada Allah adalah ibadah, dan ibadah tidak boleh terlepas dari
tuntunan yang dilegalkan oleh Allah. Apalah Romli dibandingkan para ulama yang
dengan tegas mengajak kepada beramal dengan tuntunan syar’i, tidak segala cara.

Ibnu Katsir (w. 774 H) menasehatkan,

‫ فمتى‬،‫ واآلخر أن يكون صوابا موافق||ا للش||ريعة‬،‫ أحدهما أن يكون صوابا خالصا هلل وحده‬:‫فإن للعمل المتقبل شرطين‬
‫ من عمل عمال ليس عليه أمرنا فه|و‬:‫ ولهذا قال رسول هللا صلى هللا عليه وس|لم‬،‫كان خالصا ولم يكن صوابا لم يتقبل‬
‫ وإن ف||رض أنهم مخلص||ون‬،‫ فعمل الرهبان ومن ش||ابههم‬،‫ رواه مسلم من حديث عائشة عنه عليه الصالة والسالم‬،‫رد‬
‫ وفيهم‬،‫ المبعوث إليهم وإلى الناس كافة‬،‫ حتى يكون ذلك متابعا للرسول صلى هللا عليه وسلم‬،‫ فإنه ال يتقبل منهم‬،‫فيه هلل‬
}‫ {وقدمنا إلى ما عملوا من عمل فجعلناه هباء منثورا‬:‫وأمثالهم قال هللا تعالى‬

“Sesungguhnya ada dua syarat untuk diterimanya amal: Pertama, benar-benar ikhlas
hanya untuk Allah semata. Kedua, showab (benar) yang sesuai dengan syari’at. Jika
hanya ikhlas tanpa showab, maka tidak diterima. Untuk itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda, ‘Siapa yang beramal tidak sesuai dengan perintah kami, maka
amalnya tertolak.’ Diriwayatkan Muslim dari hadits Aisyah yang meriwayatkan dari
Nabi ‘alaihis sholatu wassalam. Adapun amalnya para rahib (ahli ibadah) dan yang
menyerupai mereka, jika saja dikira bahwa mereka ikhlas beramal untuk Allah, maka
tetap saja amal mereka tidak akan diterima, sampai amal yang mereka kerjakan
mutaba’ah (sesuai) dengan contoh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, seorang yang
diutus kepada mereka dan kepada seluruh manusia. Untuk mereka itu dan semisalnya,
Allah Ta’ala berfirman, ‘Dan Kami hadapkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu
Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.’ (QS. Al-Furqon : 23).”157

Dalam kesempatan lain, beliau juga menegaskan,

‫ والص||واب أن يكون‬،‫ أي يكون خالصا ص||وابا والخ||الص أن يكون هلل‬،‫وهذان الشرطان ال يصح عمل عامل بدونهما‬
‫ فمتى فق|د‬،‫ فمتى فق|د العمل أح|د ه|ذين الش|رطين فسد‬،‫ وباطنه باإلخالص‬،‫متابعا للشريعة فيصح ظاهره بالمتابعة‬
‫ ومتى جمعهما كان عمل المؤمنين‬،‫ ومن فقد المتابعة كان ضاال جاهال‬،‫اإلخالص كان منافقا وهم الذين يراءون الناس‬
‫ اآلية‬،‫الذين يتقبل عنهم أحسن ما عملوا ونتجاوز عن سيئاتهم‬
157
Tafsir Qur’anil ‘Azhim surat Al Baqoroh : 113
“Inilah dua syarat yang tidak sah suatu amalan yang dikerjakan seseorang tanpa
keduanya. Yaitu harus kholis dan showab. Kholis –mempersembahkan- untuk Allah,
adapun showab adalah mengikuti syari’at. Zhohirnya dengan mutaba’ah dan batinnya
dengan ikhlas. Maka, siapa saja yang kehilangan salah satu dari dua syarat ini, amalnya
akan rusak. Siapa yang tidak ikhlas dia munafik. Dan siapa yang tidak mutaba’ah (sesuai
sunnah) dia sesat lagi jahil. Dan yang menggabungkan keduanya (ikhlas dan mutaba’ah)
itulah amalannya orang mukmin, ‘Mereka itulah orang-orang yang Kami terima dari
mereka amal yang baik yang telah mereka kerjakan dan Kami ampuni kesalahan-
kesalahan mereka’ (QS. Al-Ahqof : 16).”158

Dari keterangan ulama, maka tidak ada istilah bagi Ahlus Sunnah : mencari segala
cara yang dapat mendekatkan diri kepada Allah. Hanya Romli dan kaum istighotsah
tawassul saja yang punya istilah itu. Oleh sebab itu, Ahlus Sunnah yang berhusnuzhon
kepada Romli dkk bahwa mereka juga pengennya berbuat showab sesuai tuntunan syar’i,
maka mereka mengajak Romli dkk untuk memilih jalannya dengan mengkaji dalil
syar’inya. Sekalipun Romli telah membawakan nash-nash yang dianggap sebagai
dalilnya, kaum Ahlus Sunnah tetap mengingatkan agar barhati-hati dalam berinovasi
ibadah. Mencari ‘segala cara’ untuk beribadah sangat kuat dalam tulisan-tulisan Romli.
Terlebih saat membahas Bid’ah Hasanah.

Sampai kapanpun Ahlus Sunnah akan mengajak saudaranya seagama –termasuk


Romli- untuk bersama-sama menjadi orang yang difirmankan Allah dalam surat Al
Ahqof: 16, yang dibawakan Ibnu Katsir di atas. Dan berlindung kepada Allah dengan
menjauh dari orang yang beramal tapi habaa’an mantsuro (hasilnya seperti debu yang
berterbangan - QS. Al-Furqon : 23-). Ajakan Ahlus Sunnah adalah beramal yang benar
lewat mengkaji lebih dalam lagi untuk menentukan pendapat yang kuat dan dipilih.
Tentunya kholishon dan showaban.

Kisah Syaikh Majdi Ghassan Ma’ruf Al Husaini

Selanjutnya, pada perkara yang diperselisihkan ini –istighotsah tawassul dengan


orang sholeh yang sudah wafat- Romli membawakan pengalaman dari seorang Syaikh
kepada salah seorang Muslim mengenai permisalan tawassul yang mereka lakukan.
Dalam BPBDW-nya, Romli menuliskan :

Syaikh Majdi Ghassan Ma’ruf al-Husaini, seorang ulama Ahlussunnah Wal-


Jama’ah dari Lebanon bercerita, “Suatu ketika seorang Wahhabi dengan beraninya
berkata kepada saya, “Mengapa kalian selalu ber-istighatsah dengan mengucapkan “Ya
Muhammad”. Ucapkan saja “Ya Allah”,tanpa perantara!” Saya bertanya, “Kalau Anda
terserang sakit kepala, apa yang Anda lakukan?” Ia menjawab: “Saya minum dua tablet
158
Tafsir Qur’anil ‘Azhim Surat Al Baqoroh : 113
obat sakit kepala”. Saya berkata: “Mengapa Anda melakukan itu? Bukankah Allah itu
Maha Penyembuh? Mengapa Anda tidak langsung saja berdoa kepada Allah, “Ya Allah,
ya Syafi isyfini (Ya Allah, Dzat Yang Maha Penyembuh, sembuhkanlah aku)”. Mengapa
Anda membuat perantara dan sebab musabab untuk kesembuhan antara anda dengan
Allah? Kalau anda minum dua tablet obat tersebut sebagai perantara kesembuhan Anda,
maka kami Ahlussunnah Wal-Jama’ah menjadikan Muhammad shallallahu alaihi
wasallam sebagai perantara kami, dan beliaulah perantara yang paling agung.” Akhirnya,
Wahhabi tersebut tidak dapat menjawab.

Romli dengan entengnya membawakan cerita ini untuk mendebat Ahlus Sunnah -
yang dia cap dengan Wahhabi- yang berpendapat terlarangnya tawassul dengan ucapan
Ya Muhammad. Romli atau si Syaikh dalam cerita tidak menemukan alasan Ahlus
Sunnah menolak istighotsah dengan tawassul kepada Rasulullah yang sudah wafat.
Karena jika Romli atau Syaikh Majdi Ghassan Ma’ruf al-Husaini dari Lebanon itu paham
betul alasannya, niscaya diskusi tidak sampai pada diamnya seorang Wahhabi dalam
cerita di atas. Karena Ahlus Sunnah akan menyampaikan –misalkan-,

“Kita sepakat bahwa minum obat itu memang wasilah untuk datangnya
kesembuhan dari Allah. Dan wasilah harus pula mencobanya. Tapi sayang, kaum
istighotsah tawassul akan mencoba segala cara seperti kata Romli. Sedangkan Ahlus
Sunnah cukup mencoba wasilah yang terbukti punya aturan pakainya. Coba –maaf- Anda
wahai saudara kami Romli dan Syaikh Majdi. Anda berdua sakit dan kemudian mencari
kesembuhan dari Allah dengan wasilah –sama seperti saya- membeli obat dan akan
meminumnya. Saat itu sakit yang Anda derita juga sakit kepala. Tapi sayang, karena
bentuk mencari wasilah yang dianut oleh Anda adalah ‘segala cara’, akhirnya obat yang
Anda pilih adalah obat salep gatal-gatal, kemudian Anda oleskan ke kepala Anda.
Pertanyaannya, apa ada masalah dengan cara wasilah yang saya gunakan, saya sakit
kepala, terus minum dua tablet obat sakit kepala, sedangkan Anda juga berwasilah tapi
pakai wasilah minum obat yang bukan obatnya?”

Mungkin Anda akan menjawab, “Oh tidak. Ketika kami sakit kepala, kami tidak
mungkin mencari wasilah datangnya kesembuhan dari Allah dengan pakai obat yang
bukan obat sakit kepala. Kami tidak mungkin sengawur itu. Karena sudah jelas,
semuanya ada petunjuknya. Sakit kepala ya berobat dengan obatnya, bukan dengan obat
sakit gatal-gatal, maag, diare atau yang lainnya.”

Ahlus Sunnah pun akan menambahkan, “Nah, Anda sudah mulai paham, dan
Anda katakan tadi, ‘semuanya ada petunjuknya’. Kalau begitu pakailah yang sesuai
tuntunan, jangan ‘segala cara’. Wasilah itu memang ada. Dan Anda keliru wahai saudara
kami Romli dan Syaikh Majdi, kalau Anda menganggap kami meniadakan wasilah. Jadi,
cerita kami dengan Syaikh Majdi itu, tidak perlu Anda sampaikan untuk mengelabui
saudara kami Ahlus Sunnah, dan meninggalkan kesan bahwa kami meniadakan wasilah.”
Kalau Romli dan Syaikh Majdi –misalnya- bertanya lagi, “Masalahnya, Anda
wahai Wahabi mengatakan kepada kami saat itu : “Mengapa kalian selalu ber-istighatsah
dengan mengucapkan “Ya Muhammad”. Ucapkan saja “Ya Allah”,tanpa perantara!”
Bukankah itu meniadakan wasilah yang diberikan Allah, dan akhirnya menyalahkan
amalan kami, membid’ah-bid’ahkan ibadah kami, mensyirik-syirikkan ritual kami?”

Maka kami Ahlus Sunnah akan menjawab, “Sekali lagi, kami tidak meniadakan
wasilah yang diberikan Allah agar permohonan kita dikabulkan oleh-Nya. Kami
meyakini sesuai aturan yang ada. Misalnya bahwa orang sholeh yang masih hidup adalah
wasilah. Umar bin Khottob radhiyallahu ‘anhu pernah melakukannya kepada Al Abbas,
dan para sahabat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Kami juga meyakini
adanya wasilah pada nama-nama Allah. Kami bertawassul dengan mengucapkan itu saat
kami berdoa. Dan Allah yang memerintahkan hal itu, “Hanya milik Allah Asma-ulhusna,
maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaaulhusna itu..” (QS. Al A’rof:
180). Dan kami juga meyakini wasilah dengan menyebut kebaikan-kebaikan kami.
Sebagaimana kisah terkabulnya doa orang yang terkurung di goa. Perlu diingat, kisah ini
dari hadits yang shahih bukan dalil mimpi dan tidak pula membuka dzaraai’ kepada
kesyirikan.159 Adapun asumsi Anda bahwa kami tidak setuju dengan cara pakai wasilah
Anda karena meniadakan wasilah, maka ini salah kaprah. Dan sudah kami jelaskan.
Karena kami tidak setuju dengan cara pakai wasilah Anda yang dengan ‘segala cara’.”

Kalau Anda wahai saudara Romli dan Syaikh Majdi berkata lagi, “Kami pakai
cara berwasilah yang terbukti mujarrab. Dan banyak diceritakan dalam buku-buku
sejarah Islam. Jadi, cara berwasilahnya tidak usah dibahas jauh-jauh?”

Maka Ahlus Sunnah akan menjawab, “Maaf, kami umpamakan, bahwa kami tidak
akan berobat dengan wasilah para dukun yang menggunakan jasa jin jahat, sekalipun dia
mujarrab. Kami memang yakin, An Nafasaat Fil ‘Uqod (wanita-wanita penyihir dengan
menghembuskan ke buhul) itu ada. Dan dengan bantun makhluk Allah bernama jin itu
bisa saja mujarrab keinginan si wanita penyihir. Sehingga, sekalipun mujarrabnya berobat
dengan si mbah dukun, kami tidak akan melakukannya. Akhirnya, mujarrabnya wasilah
Anda, tidak membuat kami Ahlus Sunnah tergoda. Bahkan, sekalipun Anda sekalian
sepakat kesaktian dan kemujarrabannya. Seperti kesepakatan Anda-anda sekalian akan
saktinya beristighotsah tawassul di kubur Ma’ruf Al Karkhi (w. 200 H). Disebutkan,
“Kuburnya Ma’ruf Al Karkhi mujarrab (berdoa di sana akan dikabulkan).” 160 Adapun
karena kesaksian kalian yang disebabkan mujarrabnya suatu kuburan tertentu, sehingga
tidak membahas cara berwasilahnya, dan menyerahkan kepada siapa saja bagaimana
maunya cara berwasilah, maka kami Ahlus Sunnah sangat menolaknya. Kami Ahlus
Sunnah cukup mencoba wasilah yang terbukti punya aturan pakainya. Bukan yang
159
Jangan lupa Haditsnya …………
160
Dari Ibrahim Al Harbi. Dalam Siyar A’lam An Nubala Adz Dzahabi. Profil Ma’ruf Al Karkhi Abu Mahfuzh
Al Baghdadi, no. 111
terbukti ampuh dan sakti tanpa aturan. Sekali lagi, kami permisalkan, ketika –maaf- Anda
wahai saudara kami Romli dan Syaikh Majdi suatu ketika ditimpa sakit. Kemudian
mencari kesembuhan dari Allah dengan wasilah pergi ke rumah sakit. Di sana Anda
berdua didiagnosa. Dan setelah ketahuan sebab sakit dan keluhan Anda, dokter pun
memberikan obat dan tentunya menjelaskan pemakaiannya, termasuk apa saja yang harus
dilakukan dan apa saja pantangan yang wajib dijauhi. Nah, menurut Ahlus Sunnah Anda
berdua keliru ketika pakai ‘segala cara’ berwasilah yaitu mengkonsumsi obat yang
diberikan dokter tadi. Wasilah yang sudah tampak jelas cara pemakaiannya, Anda
perlakukan dengan ‘segala cara’ yang akibatnya Anda berdua oper dosis.”

Selanjutnya, jika Anda wahai saudara Romli tetap akan mengajak ummat Islam di
nusantara ini agar menggunakan wasilah dengan ‘segala cara’, dan memojokkan Ahlus
Sunnah karena salah sangka kalau mereka meniadakan wasilah –sebagaimana cerita-,
maka sia-sia lah keterangan kami barusan. Dan Anda tetap tidak paham dari ucapan kami
–dalam cerita- : “Mengapa kalian selalu ber-istighatsah dengan mengucapkan “Ya
Muhammad”. Ucapkan saja “Ya Allah”,tanpa perantara!” Padahal sudah cukup jelas
bahwa itu bukan berarti meniadakan wasilah. Tapi meniadakan ketetapan cara pemakaian
wasilah yang tidak shahih dan sharih cara pemakaiannya dalam syari’at Islam yang mulia
ini. Jadi, jangan disamakan antara nasehat kami kepada kalian di atas, dengan balasan
kalian yang diwakili Syaikh Majdi : “Mengapa Anda melakukan (minum dua tablet obat)
itu? Bukankah Allah itu Maha Penyembuh? Mengapa Anda tidak langsung saja berdoa
kepada Allah, “Ya Allah, ya Syafi isyfini (Ya Allah, Dzat Yang Maha Penyembuh,
sembuhkanlah aku)”. Mengapa Anda membuat perantara dan sebab musabab untuk
kesembuhan antara anda dengan Allah? Kalau anda minum dua tablet obat tersebut
sebagai perantara kesembuhan Anda, maka kami Ahlussunnah Wal-Jama’ah menjadikan
Muhammad shallallahu alaihi wasallam sebagai perantara kami, dan beliaulah perantara
yang paling agung.” Maaf, Anda wahai Syaikh dan Romli, kurang tepat dalam menebak
pendapat Ahlus Sunnah, sehingga permisalan Anda pun salah kaprah.

Debat Publik di Melbourne Australia

Dalam BPBDW nya, Romli memang banyak memuat kisah-kisah debat antara
kaumnya dan kaum yang boleh jadi dialah Ahlus Sunnah sebenarnya. Namun karena
kisah bersumber dari kalangan Romli, cerita pun dibuat sehebat mungkin, dan
memanfaatkan kekurangan rivalnya. Baik itu karena kurang pemahaman ilmu Ahlus
Sunnah-nya, atau kekurang hafalan dan sumber. Akhirnya, hal itu menjadi peluru Romli
dan si pemuat berita untuk menyatakan salahnya ajaran Ahlus Sunnah yang dia sebut
Wahhabi.
Di antaranya tentang perdebatan di Melbourne Australia. Dari kalangan rivalnya
Romli bernama Abdurrahman Dimasyqiyat. Penjelasan Romli, bahwa dia adalah salah
Satu tokoh Wahhabi kelahiran Lebanon. Nama lengkapnya Abdurrahman Muhammad
Sa’id Dimasyqiyat. Masa lalunya penuh dengan skandal. Di setiap tempat yang pernah
disinggahinya, ia selalu bikin ulah. Di antaranya telah melakukan perbuatan asusila, yaitu
melakukan homo sex, yang dituduhkan kepadanya. Akibatnya, ia pun dikeluarkan dari
Azhar Lebanon pada tahun 1972.

Bagi Ahlus Sunnah, dosa besar yang pernah dilakukan oleh seseorang yang
mengajak kepada kebenaran atau sebaliknya, tidak memengaruhi ajaran Ahlus Sunnah.
Tapi mungkin berbeda bagi Romli, ini adalah kesempatan untuk menjatuhkan Ahlus
Sunnah. Romli tidak sadar bahwa ajaran Ahlus Sunnah bukan dicabut karena red record
seseorang yang pernah mendakwahkannya. Seperti, jika Abdurrahman Dimasyqiyat
pernah menyerukan tauhid dengan ajaran Ahlus Sunnah, maka kami sebagai Ahlus
Sunnah menerimanya. Sama halnya ketika dia mengajak umat non Islam untuk memeluk
agama Islam dengan meyakini 100% tanpa ragu bahwa yang berhak disembah hanya
Allah, maka kami rasa, Romli pun tidak mungkin menyalahkan ajakan yang dia lakukan.
Sekalipun Romli tahu betul skandal Abdurrahman Dimasyqiyat.

Untuk itu, kami sebagai Ahlus Sunnah tidak merasa diuntungkan dengan dakwah
yang diajarkan Abdurrahman Dimasyqiyat kalau memang itu adalah ajaran Ahlus
Sunnah. Sebaliknya, kami Ahlus Sunnah tidak merasa dirugikan ketika dia berbuat
kemaksiatan. Karena hal itu bukan berarti telah memburukkan citra Ahlus Sunnah. Dan
ini pun sama halnya dengan kasus anggota Nahdlatul Ulama yang berpaham liberal (JIL)
bahkan mendakwahkannya, seperti Ulil Abshor. Apa NU merasa dirugikan dan
meragukan ajaran di NU sampai sempat punya orang seperti dia?

Kami rasa Romli sebagai warga NU yang setia, tentunya tidak menganggap
cacatnya NU karena cacatnya ajaran Ulil Abshor. Bahkan Romli sendiri dan teman-
temannya telah mengajak Ulil untuk dialog bersama untuk membantah ajarannya.
Akhirnya semua sepakat bahwa tidak ada yang bisa mengubah eksistensi Ahlus Sunnah
karena penyimpangan sebagian pendakwahnya. Suatu dosa ketika ada yang mengira
bahwa ajaran Ahlus Sunnah mengajak kepada perbuatan maksiat yang pernah dilakukan
salah satu pendakwahnya. Apalagi –dalam hal ini- tentang skandal Abdurrahman
Dimasyqiyat adalah masa lalunya.

Kami Ahlus Sunnah menganggap beliau telah taubat dari perbuatannya. Begitulah
husnuzzhon kami kepada orang yang kami tidak ketahui. Walaupun sekiranya belum, dan
itu hanya Allah yang Maha tahu. Ahlus Sunnah tidak sibuk menceritakan aib saudaranya,
apalagi memungkinkan dia taubat darinya. Dan kalau Romli lebih memilih gemar
menceritakan aibnya yang Romli sendiri tidak tahu taubatnya Abdurrahman Dimasyqiyat,
kemudian terus menyalahkan apa saja yang diucapkan Abdurrahman Dimasyqiyat , maka
itu haknya Romli. Tapi kami Ahlus Sunnah, kami tahu betul bagaimana sejarah kelam
dan skandal para salaf yang mulia. Ada Fudhail bin ‘Iyadh, perampok kelas kakap. Ada
juga Abdullah bin Mubarok, dan lain-lain, bahkan para sahabat Rasulullah Shallallahu
‘alaihi Wasallam. Skandal mereka dahulunya bejat sekali. Tapi, kami tidak sibuk
menceritakannya, karena mereka sudah taubat darinya.

Romli pun punya akhlak yang kami anggap ‘hebat’. Katanya tentang
Abdurrahman Dimasyqiyat : Akhirnya, apa boleh dikata, Abdurrahman Dimasyqiyat
menjulur-julurkan lidahnya di belakang uang logam dan dolar sebagai penulis bayaran
kaum Wahhabi. Ia memulung sisa-sisa makanan di bawah meja orang-orang gendut
berperut besar dan berhati keras sekeras batu. Yaitu kaum Musyabbihah (kaum yang
menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya) dan kaum anti tawassul. Seperti inilah akhlak
Romli kepada rivalnya. Saudara kami Romli mungkin terlalu semangat yang menggebu-
gebu menuliskannya. Tidak tahu apakah Romli akan tetap semangat
mempertanggungjawabkan tuduhannya kepada batin seseorang itu, kalau sekiranya tidak
benar.

Selanjutnya Romli menceritakan terjadinya perdebatan yang dimaksud, tepatnya


di aula Universitas Melbourne pada tanggal 9 November 1994. Kata Romli : Di aula itu
telah disiapkan meja untuk Syaikh Salim Alwan dan Syaikh Abdurrahman al-Harari. Di
depannya ada meja yang disiapkan untuk Abdurrahman Dimasyqiyat dan dua orang
temannya. Di tengah meja itu ada mimbar untuk moderator. Yang menarik perhatian,
pada waktu itu Abdurrahman Dimasyqiyat membawa komputer yang sering
digunakannya untuk mengeluarkan dalil-dalilnya yang lemah. Sepertinya ia memang
tidak hapal teks dan tidak menguasai banyak persoalan. Kemampuannya hanya
mengulang-ulang pernyataan orang yang menjadi sutradara di belakangnya, yaitu kaum
Wahhabi.

Kami Ahlus Sunnah jadi teringat dengan apa yang kami lihat dari rekaman video
Romli yang berdiskusi dengan pihak yang dianggap rivalnya di Kemenag kota Batam, 28
Desember 2013 lalu. Saat itu Romli terlihat membawa laptop. Namun, kami Ahlus
Sunnah tidak perlu mengatakan seperti Romli yang mengomentari Abdurrahman
Dimasyqiyat. Cukuplah itu akhlaknya Romli yang kami yakin dapat berubah dengan
sebaik-baik penyesalan dan taubat. Karena yang lebih urgen dari tulisannya adalah
mengetahui diskusi yang terjadi dalam cerita Romli ini. Romli menuliskan :

Perdebatan dimulai. Syaikh Salim melontarkan pertanyaan kepada Abdurrahman


Dimasyqiyat: “Kalian kaum Wahhabi menghukumi bahwa memanggil orang yang tidak
ada di depannya atau memanggil orang mati (nida’ al-ghaib aw al-mayyit), seperti
berkata “Ya Muhammad, atau ya Rasulallah (wahai Muhammad atau wahai Rasulullah)”,
itu syirik akbar (besar) sebagaimana ditetapkan oleh Ibn Abdil Wahhab al-Najdi dalam
kitab al-Ushul al-Tsalatsah. Sekarang, ini al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam al-
Adab al-Mufrad, bahwa Abdullah bin Umar pada suatu hari kakinya mengalami mati
rasa. Lalu ada orang berkata kepada beliau, “Sebutkan orang yang paling Anda cintai.”
Lalu Ibn Umar berkata, “Ya Muhammad (Wahai Muhammad)”. Maka seketika itu
kakinya sembuh. Apakah kalian kaum Wahhabi akan mencabut pendapat kalian. Dan ini
yang kami kehendaki. Atau kalian akan memutuskan bahwa Abdullah bin Umar, al-Imam
al-Bukhari, para perawi al-Bukhari, dan bahkan Ibn Taimiyah yang kalian sebut Syaikhul
Islam, dan al-Albani pemimpin kalian, mereka semuanya kafir. Coba renungkan
inkonsistensi Wahhabi ini. Pendapat mereka dapat mengkafirkan pemimpin-pemimpin
mereka sendiri, yaitu Ibn Taimiyah dan al-Albani, bahkan mengkafirkan seluruh umat
Islam, antara lain sahabat Abdullah bin Umar, dan sahabat-sahabat lainnya.”

Kami Ahlus Sunnah melihat Syaikh Salim di atas juga terlalu menggebu dalam
mendebat rivalnya. Sampai-sampai mengatakan bahwa Al Albani itu pemimpinnya tokoh
yang dia debat, Abdurrahman Dimasyqiyat. Entah data apa yang dijadikan alasan Syaikh
Salim menyatakan Al Albani adalah seorang pemimpin. Bahkan, organisasi apa yang
dipimpin Al Albani juga antahberantah. Tapi kemungkinan besar, organisasi Wahhabi
atau Wahhabiyah. Mungkin ibarat Jahm bin Shofwan pencetus ide Jahmiyah, maka
Wahhabi dicetuskan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab. Ketika Jahm sudah tidak ada,
tokoh-tokoh pendakwah ajarannya akan disebut pemimpin Jahmiyah modern. Begitu pula
tokoh-tokoh seperti Al Albani dan lain-lain, bahkan kami Ahlus Sunnah yang menuliskan
ini, setelah wafatnya Muhammad bin Abdul Wahhab, kemungkinan juga akan dikatakan
pemimpin atau gembongnya, atau apalah, dari golongan Wahhabi. Begitulah sifat
rivalnya diskusi Ahlus Sunnah, salah satunya Syaikh Salim.

“Ibn Taimiyah yang kalian sebut Syaikhul Islam, dan al-Albani pemimpin
kalian..” Ini ucapannya teladannya Romli, Syaikh Salim, yang ternyata sangat sensitive
juga. Sepertinya tidak terima kalau Ibnu Taimiyah disebut Syaikhul Islam. Dan dalam hal
ini, Romli ternyata juga pernah meniru gaya Syaikh Salim ini yang tak terima Ibnu
Taimiyah seorang Syaikhul Islam. Kata Romli saat dia membuat catatan bergaya dialog
antara dia dan Wahhabi, Romli mengada-ngada dan membuat omongan palsu bahwa
Wahhabi mengatakan : Bagaimana, Apakah Anda dapat menerima penjelasan Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah, satu-satunya Syaikhul Islam di dunia Islam yang tiada taranya?”
Terus dijawab Romli sendiri : “Kalau saya bisa menyimpulkan dari pernyataan Ibnu
Taimiyah (maaf, kami keberatan menyebut beliau Syaikhul Islam) di atas dalam
mengomentari Ibnu Umar...”

Lucu sekali tingkah Romli kali ini. Dia yang buat jawaban pribadinya, dia pula
yang buat pertanyaannya yang terus dibilang dari Wahhabi. Anehnya, asumsi Romli
bahwa Wahhabi berpendapat Ibnu Taimiyah adalah satu-satunya Syaikhul Islam di dunia
Islam yang tiada taranya. Tidak ada lagi Syaikhul Islam selain beliau. Akhirnya, mungkin
karena semakin gerah dengan Ahlus Sunnah, Romli pun semakin berbuat lucu dan
menggelikan ketika dengan lugunya menyatakan, “Maaf, kami keberatan menyebut
beliau Syaikhul Islam.” Padahal tak perlu Romli meminta maaf, karena kami Ahlus
Sunnah tidak merasa dizholimi.

Yang jelas Ibnu Katsir (w. 774 H) dalam Al Bidayah-nya menyebut Ibnu
Taimiyah dengan Syaikhul Islam. Bahkan di antara Imam Ahlus Sunnah. Gelar Syaikhul
Islam saja Romli dan Syaikh Salim tak setuju, apalagi Imam Ahlus Sunnah!

Imam Ahlus Sunnah disebutkan Ibnu Katsir saat menceritakan jenazah beliau
yang disaksikan dengan kehebohan orang-orang saat itu. Katanya, ‘Hakadza takunu
janaiz Aimmah As Sunnah’ (seperti inilah jadinya kalau ada jenazah imam-imam
Sunnah).161 Adapun menyebut gurunya itu dengan Syaikhul Islam, bahkan tidak hanya
sekali dua kali. Lebih dari itu atau sampai sekitar sembilan kali di sembilan tempat dalam
Al Bidayah-nya. Di antaranya saat menceritakan kematian seorang tokoh atau ulama
bermadzhab Syafi’i, bernama Az Zamlakani. Dia meninggaldunia dalam keadaan berniat
untuk menyakiti Syaikhul Islam kalau permintaannya dipenuhi menjadi pengurus di
Syam. Kata Ibnu Katsir saat itu, niat Az Zamlakani adalah niat yang khobitsah (jahat).162

Nah, apalah Romli dan Syaikh Salim dibandingkan Ibnu Katsir sebagai ulama ahli
tafsir, ahli hadits, dan bermadzhab Syafi’i itu! Romli sendiri, selain mengakui beliau
adalah murid Ibnu Taimiyah, Romli juga pernah mengakui bahwa Ibnu Katsir adalah
salah satu ulama Ahlus Sunnah dalam catatannya. Jadi, di antara ulama Ahlus Sunnah
memang menggelari Ibnu Taimiyah dengan Syaikhul Islam. Masalah buat Romli?!

Kalau memang masalah, kami Ahlus Sunnah memberikan nasehat kepada Romli
agar tidak gegabah dalam menyifati rival diskusinya, sekalipun dicontohkan ulama
panutannya, Syaikh Salim. Romli kami harap tidak lagi mengikuti kegegabahan dalam
mendebat rival diskusinya. Termasuk tidak mengulangi menuliskan : Bahkan para ustadz
Wahabi memposisikan Ibnu Taimiyah layaknya seorang imam yang ma’shum, tidak
punya salah dan lupa, atau mungkin juga dosa. Dengan demikian, Wahabi hampir sama
dengan Syiah dalam hal mengkultuskan para imamnya. Ini yang ada di akun jejaring
sosialnya, tepatnya saat menuliskan dengan judul “Istighatsah dan Kebodohan Wahabi”
tertanggal 21 mei 2013 lalu.

Semoga Romli menyesali perbuatannya. Karena tidak layak bagi seorang Muslim,
apalagi kalangan akademisnya, serampangan menisbatkan kepada yang bukan faktanya.
Apa ada Wahabi yang menganggap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ma’shum? Apakah
ada orang selain Nabi yang ma’shum di pelajarannya Wahabi?

Yang jelas, kami Ahlus Sunnah tidak menyatakan itu. Ibnu Taimiyah adalah
manusia yang tentunya ada salahnya. Ibnu Katsir selaku murid beliau pernah
mengatakan,
161
Al Bidayah wa An Nihayah
162
Al Bidayah wa An Nihayah
‫وعملت له ختمات كثيرة ورؤيت له منامات صالحة عجيبة ورثى بأشعار كثيرة وقص||ائد مطول||ة ج||دا وق||د أف||ردت ل||ه‬
‫تراجم كثيرة وصنف في ذلك جماعة من الفضالء وغيرهم وسألخص من مجموع ذلك ترجمة وج||يزة في ذكر مناقبه‬
‫وفضائله وشجاعته وكرمه ونصحه وزهادته وعبادته وعلومه المتنوعة الكثيرة المجودة وصفاته الكبار والصغار التي‬
‫احتوت على غالب العلوم ومفرداته في االختيارات التي نصرها بالكتاب والسنة وأفتى بها وبالجملة كان رحمه هللا من‬
‫كبار العلماء وممن يخطيء ويصيب ولكن خطؤه بالنسبة إلى صوابه كنقطة في بحر لجي وخطؤه أيضا مغفور له كما‬
‫في صحيح البخاري إذا اجتهد الحاكم فأصاب فله َأْج َر اِن وإذا اجتهد فأخطأ فله أجر فهو مأجور‬

“Aku telah banyak membaca tulisan-tulisan beliau sampai tamat. Aku pun pernah
bermimpi beliau dengan mimpi-mimpi yang baik dan menakjubkan. Beliau telah
mewariskan banyak sya’ir dan kasidah yang panjang sekali. Aku juga telah membuat satu
tulisan khusus tentang beliau dari banyak buku profil –ulama-. Beberapa kelompok ulama
juga telah menuliskan mengenai profil beliau dan yang lainnya. Aku akan meringkaskan
semua yang terkumpul dalam buku-buku profil tentang beliau dengan seringkas-
ringkasnya yang menyebutkan manaqib (karakter terpuji) beliau, keutamaannya,
keberaniannya, nasehatnya, zuhudnya, ibadahnya, ilmunya yang banyak macamnya lagi
baik nilainya, sifat yang besar dan kecil, yang semuanya aku himpun dari yang dominan
pada ilmu dan kepribadian beliau dalam -kitabnya- Al Ikhtiyarot, buku yang dikuatkan
beliau dengan dalil Al Qur’an dan As Sunnah dan yang beliau fatwakan dengannya.
Kesimpulannya, adalah beliau rohimahullah termasuk kibar (pembesar) ulama, dan
termasuk mereka yang salah dan benar. Namun kesalahan beliau dibandingkan dengan
kebenarannya, bagaikan satu tetes air di laut yang luas serta dalam. Kesalahan beliau juga
dimaafkan (diampuni). Sebagaimana dalam shahih Bukhori disebutkan, ‘Jika seorang
hakim berijtihad dan benar, maka baginya dua pahala. Dan jika dia berijtihad dan salah,
maka baginya satu pahala’. Dan beliau mendapatkan pahala.”163

Kami Ahlus Sunnah sekali lagi mengajak Romli untuk tidak menggebu yang tak
menentu dalam menyifati rival diskusinya. Tidak usah terkecohkan dengan ucapan-
ucapan para ulamanya jika hal itu tidak baik diucapkan. Teladan Anda wahai saudara
Romli, yaitu Syaikh Salim, menurut kami memang sangat gegabah dalam masalah ini.
Terlihat ketika dia menyatakan bahwa pendapat Ahlus Sunnah dapat mengkafirkan
seluruh umat Islam, termasuk kepada generasi salaf dahulu. Kata Syaikh Salim : Coba
renungkan inkonsistensi Wahhabi ini. Pendapat mereka dapat mengkafirkan pemimpin-
pemimpin mereka sendiri, yaitu Ibn Taimiyah dan al-Albani, bahkan mengkafirkan
seluruh umat Islam, antara lain sahabat Abdullah bin Umar, dan sahabat-sahabat lainnya.

Syaikh Salim keliru jika pendapat Ahlus Sunnah adalah inkonsisten. Dia tidak
paham kalau inkonsisten itu ialah ketika riwayat yang dia bawakan diterima dan
dibenarkan kejadiannya oleh Ahlus Sunnah, baru kemudian mengkafirkan si pelaku yaitu
sahabat Abdullah bin Umar sendiri yang tidak mungkin berbuat kesyirikan. Coba saja
kalau Syaikh Salim dan Romli paham makna inkonsisten dengan benar ini. Insya Allah

163
Al Bidayah Wa An Nihayah
tidak akan seperti itu ucapannya. Dia tidak mengetahui bahwa Ahlus Sunnah menolak
riwayat tersebut, atau menolak pemahaman riwayat tersebut adalah untuk istighotsah jika
memang ditetapkan.

Parahnya juga, bahwa Syaikh Salim atau Romli menuduh Ahlus Sunnah punya
pendapat yang akan mengkafirkan ummat Islam termasuk penulis riwayat Ibnu Umar
yang dimaksud. Imam Bukhori, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Al Albani atau siapa saja,
baik dari kalangan Ahlus Sunnah atau tidak, ketika mereka menuliskan riwayat Ibnu
Umar ini, tidak mungkin Ahlus Sunnah memvonis mereka musyrik. Musyrik disebabkan
menuliskan riwayat. Ada-ada saja! Akhirnya, Ibnu Asakir, Adz Dzahabi, Ibnu Katsir,
Ibnu Hajar dan lain-lain yang pernah menuliskan riwayat-riwayat yang ditolak Ahlus
Sunnah karena status kevalidannya dan studi diroyatnya, juga akan diklaim Syaikh Salim
dan Romli telah dikafirkan oleh Ahlus Sunnah. Sungguh, sikap yang keterlaluan
sekalipun bisa berbenah diri dengan izin Allah Ta’ala.

Riwayat ‘Ya Muhammad’, Istighotsah Ibnu Umar

Berikut ini riwayat Ibnu Umar yang disampaikan Syaikh Salim saat mendebat
Abdurrahman Dimasyqiyat di Australi pada cerita sebelumnya. Romli pun pernah
menuliskan di luar BPBDW ini secara ilmiah, sebagai kritikannya terhadap beberapa
ikhwah yang mendho’ifkan riwayat Ibnu Umar ini. Dalam keterangannya Romli
menuliskan sebagai berikut :

Al-Bukhari meriwayatkan sebagai berikut:

. ‫ َفَك َأَّنَم ا ُنِش َط ِم ْن ِع َقاٍل‬،‫ َيا ُمَحَّم ُد‬: ‫ َفَقاَل‬، ‫ ُاْذ ُك ْر َأَح َّب الَّناِس ِإَلْيَك‬:‫َع ِن اْبِن ُع َم َر رضي هللا عنه َأَّنُه َخ ِدَر ْت ِر ْج ُلُه َفِقْيَل َلُه‬

“Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar RA, bahwa suatu ketika kaki beliau terkena mati
rasa, maka salah seorang yang hadir mengatakan kepada beliau: “Sebutkanlah orang yang
paling Anda cintai!” Lalu Ibnu Umar berkata: “Ya Muhammad”. Maka seketika itu kaki
beliau sembuh.”

Hadits di atas diriwayatkan melalui lima jalur dari Abi Ishaq al-Sabi’i.

Pertama, diriwayatkan oleh Sufyan al-Tsauri dari Abi Ishaq, dari Abdurrahman
bin Sa’ad. Jalur ini diriwayatkan oleh al-Bukhari (al-Adab al-Mufrad, [964, h. 346]).

Kedua, diriwayatkan oleh Zuhair bin Muawiyah dari Abi Ishaq, dari Abdurrhman
bin Sa’ad. Jalur ini diriwayatkan oleh Ali bin al-Ja’d (al-Musnad, [2539, h. 369]), Ibnu
Sa’ad (al-Thabaqat, [IV/154]), Ibrahim al-Harbi (Gharib al-Hadits [II/674]), Ibnu al-
Sunni (‘Amal al-Yaum wa al-Lailah, [172, h. 115]), Ibnu Asakir (Tarikh Madinah
Dimasyq, [XXXI/177]), dan al-Mizzi (Tahdzib al-Kamal, [XVII/142]).
Ketiga, diriwayatkan oleh Israil dari Abi Ishaq dari al-Haitsam bin Hanasy. Jalur
ini diriwayatkan oleh Ibnu al-Sunni (‘Amal al-Yaum wa al-Lailah, [170, h. 115]).

Keempat, diriwayatkan oleh Abu Bakar bin ‘Ayyasy dari Abi Ishaq, dari Abi
Syu’bah. Jalur ini diriwayatkan oleh Ibnu al-Sunni (‘Amal al-Yaum wa al-Lailah, [168, h.
114]).

Kelima, diriwayatkan oleh Syu’bah dari Abi Ishaq, dari laki-laki yang mendengar
Ibnu Umar. Jalur ini diriwayatkan oleh Ibrahim al-Harbi (Gharib al-Hadits, [h. 674]).

Derajat Hadits : Al-Bukhari meriwayatkan hadits Ibnu Umar di atas (al-Adab al-
Mufrad, [964, h. 346]), dari Abu Nu’aim al-Fadhl bin Dukain, dari Sufyan al-Tsauri, dari
Abu Ishaq al-Sabi’i, dari Abdurrahman bin Sa’ad al-Qurasyi al-‘Adawi. Semua perawi
hadits ini tsiqah, dipercaya. Sufyan al-Tsauri mendengar hadits tersebut dari Abu Ishaq
sebelum Abu Ishaq mengalami ikhtilath (berubah hafalannya). Sedangkan Abdurrahman
bin Sa’ad, dinilai tsiqah oleh al-Nasa’i (Taqrib al-Tahdzib, [3877]) dan Ibnu Hibban (al-
Tsiqat, [4026, V/99]). Dengan demikian hadits di atas bernilai shahih tanpa keraguan.
Bahkan Ibnu Taimiyah (al-Kalim al-Thayyib, [h. 173]) dan Ibnu Qayyim al-Jauziyah (al-
Wabil al-Shayyib, [h. 302]) menganggap istighatsah “Ya Muhammad”, sebagai ucapan
yang baik (kalimah thayyibah). Beliau juga menganjurkan agar ucapan istighatsah “Ya
Muhammad” tersebut diamalkan oleh orang yang kakinya terkena mati rasa.

Mengenai riwayat ini, dalam kritikannya, memang Romli banyak sekali


menanggapi penilaian dho’if dari rival diskusinya di dunia maya. Sedang di sini, kami
merasa sangat perlu menyampaikan kritikan berikutnya kepada Romli, sekalipun kami
bukan selaku rival diskusinya di sana.

Sebelumnya, kami ingin menjelaskan kesalahan penulisan Romli pada jalur


keempat di atas. Romli tampaknya keliru menuliskan perowi yang didengar oleh Abu
Ishaq. Romli menuliskan Abu Syu’bah. Padahal kami melihatnya adalah Abu Sa’id. Dan
itu ada di kitab yang dimaksud dengan nomor hadits yang sama (no. 168). Bahkan
halaman-nya pun juga berbeda dari yang kami ketahui. Romli menuliskan halaman 114,
padahal kami melihatnya di halaman 141. Sepertinya memang terbalik. Dan wallahu
a’lam jika Romli memang menyesuaikan dengan yang lebih benar lagi.

Namun keterbalikan kata dan kesalahan penulisan nama Romli ini –seperti
kebiasaannya para mudallis hadits- tidak begitu signifikan bagi kami karena kesalahan
kecil. Sekalipun Romli pernah menghinakan saudaranya semuslim dengan sebutan
‘wahabi majhul dan mudallis’. Bahkan sebutan ini dijadikan Romli sebagai judul dalam
bantahannya terhadap salah satu ikhwah yang berdiskusi dengannya di media social.
Padahal yang terbukti melakukan tadlis pada kalimat dan nama seperti sifatnya mudallis
hadits, adalah saudara kami Romli. Walaupun kami menduga bahwa itu tidak disengaja
Romli. Semoga menjadi nasehat bersama.
Mari kita lihat riwayat pertama dari imam Bukhori. Tentunya riwayat beliau
selain di Shahih Bukhori-nya, tidak menutup kemungkinan adanya kedho’ifan.
Sebagaimana keterangan dari Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini yang pernah menjawab
pertanyaan seseorang dan dituliskan dalam Syarah Syarth Al Bukhori wa Muslim. Beliau
ditanya, “Apabila Bukhori melazimi syaratnya di seluruh buku-bukunya, bagaimana
mungkin dipahami adanya hadits-hadits dho’if dalam At Tarikh Al Kabir dan Al Adab Al
Mufrod?”

Beliau menjawab, “Oh tidak. Bukhori mensyaratkan keshahihan tersebut untuk


keaslian adanya hadits. Akan tetapi Shahih Bukhori bukanlah Tarikh Bukhori. Bukhori
pernah mengatakan mengenai kitab shahihnya, ‘Ana altazimu fihi as shihhah’ (aku
melazimi keshahihan di dalamnya). Jadi, Bukhori tidak melaziminya kecuali hanya di
kitab shahihnya saja. Sebab itu, saat kita mengatakan, ‘Ini shahih sesuai syarath Bukhori’,
artinya -syarath- dalam kitab shahihnya. Bukan dalam kitab Tarikhnya, bukan pula dalam
Al Adab Al Mufrod-nya, dan bahkan bukan di kitab-kitab beliau yang lainnya. Akan
tetapi, jika Bukhori menshahihkan hadits maka sudah pasti itu sesuai syarath yang
dinisbatkan kepada syarath beliau. Seperti yang ada dalam kitab Al ‘Ilal Al Kabir milik
Tirmidzi. Ketika beliau bertanya, ‘Aku menanyakan kepada Muhammad mengenai hadits
Al Fulani, jika Bukhori mengatakan shahih, maka itu shahih. Tetapi mengapa beliau tidak
memasukkannya dalam As Shahih-nya?’ Kami menjawab, ‘Karena beliau tidak melazimi
dalam mengeluarkan setiap hadits-hadits shahih dalam kitabnya. Jadi, statemen ini bukan
berarti bahwa ketika didapatkan satu hadits dalam salah satu kitab beliau disebut shahih.
Tidak, karena bahkan kebanyakan hadits-hadits yang ada di Tarikh Kabir beliau ada
hadits yang cacat. Bukhori telah meriwayatkan dan telah menjelaskan ‘illahnya.” 164

Dalam riwayat Bukhori ini, Abdurrahman bin Sa’ad yang menyaksikan kejadian
Ibnu Umar, memang dinyatakan tsiqqah oleh Ibnu Hibban dan An Nasai, sebagaimana
dalam keterangan Ibnu Hajar.165 Namun sebagian lain tak mengenalnya. Ad Duri
menyatakan, “Aku mendengar Yahya berkata, ‘Hadits yang mereka riwayatkan ‘kaki
Ibnu Umar mati rasa’ periwayatnya adalah Abu Ishaq dari Abdurrahman bin Sa’ad’.
Dikatakan kepada Yahya, ‘Siapa Abdurrahman bin Sa’ad?’ Ia menjawab, ‘Aku tidak
tahu’.”166

Adapun komentar Romli : Derajat Hadits : Al-Bukhari meriwayatkan hadits Ibnu


Umar di atas (al-Adab al-Mufrad, [964, h. 346]), dari Abu Nu’aim al-Fadhl bin Dukain,
dari Sufyan al-Tsauri, dari Abu Ishaq al-Sabi’i, dari Abdurrahman bin Sa’ad al-Qurasyi
al-‘Adawi. Semua perawi hadits ini tsiqah, dipercaya. Sufyan al-Tsauri mendengar hadits
tersebut dari Abu Ishaq sebelum Abu Ishaq mengalami ikhtilath (berubah hafalannya).
Sedangkan Abdurrahman bin Sa’ad, dinilai tsiqah oleh al-Nasa’i (Taqrib al-Tahdzib,
164
Syarah Syarth Al Bukhori wa Muslim
165
Tahdzib At Tahdzib, no. 376
166
Tarikh Ibnu Ma’in, no. 2953
[3877]) dan Ibnu Hibban (al-Tsiqat, [4026, V/99]). Dengan demikian hadits di atas
bernilai shahih tanpa keraguan., maka perlu dikaji kembali pernyataannya Romli ini.

Kita akan membahas (a) Sufyan Ats Tsauri mendengar Abu Ishaq setelah atau
sebelum ikhtilathnya Abu Ishaq serta sikap Ahlus Sunnah dari ulama haditsnya terhadap
riwayat dari mukhtalath ini. Ikhtilath adalah berubahnya hafalan seorang periwayat. (b)
Mengenai Abu Ishaq yang terkenal sebagai periwayat mudallis yang dalam riwayat ini
menggunakan ‘an’anah (sekadar dari gurunya) tidak tashrih bissima’ (menjelaskan
bahwa dia mendengar langsung dari gurunya).

(a) Pendengaran Sufyan Ats Tsauri dari Abu Ishaq; setelah atau sebelum Abu
Ishaq ikhtilath

Al Hafizh Zainuddin Al Iraqi pernah menjelaskan mengenai ikhtilathnya para


perowi tsiqqah yang di antaranya adalah Abu Ishaq As Sabi’i serta yang meriwayatkan
darinya. Dinyatakan bahwa Isroil lebih kuat dibandingkan Sufyan Ats Tsauri ketika
meriwayatkan dari Abu Ishaq.167 Maka, bagaimana pula riwayatnya Sufyan Ats Tsauri
yang ia dengar dari Abu Ishaq, padahal riwayatnya di bawah levelnya riwayat Isroil?
Tentunya lebih bermasalah karena diyakini ia lebih dominan mendengar Abu Ishaq
setelah Abu Ishaq ikhtilath.

Jadi, riwayat Bukhori ini yang salah satu periwayatnya adalah Abu Ishaq dari
Sufyan Ats Tsauri, dianggap lemah. Karena Sufyan mendengarnya setelah Abu Ishaq
ikhtilath, dan Abu Ishaq sendiri periwayat yang sering meriwayatkan hadits-hadits yang
167
Al Hafizh Zainuddin Al Iraqi mengatakan,

‫أما إسرائيل فقال صالح بن أحمد ابن حنبل عن أبيه إسرائيل عن أبى إسحاق فيه لين سمع منه بآخرة وقال محمد بن موسى بن مشيش سئل‬
‫أحمد بن حنبل أيما أحب إليك شريك أو إسرائيل فقال إسرائيل هو أصح حديثا من شريك إال فى أبى إسحاق فإن شريكا اضبط عن أبى‬
‫إسحق قال وما روى يحيى عن إسرائيل شيئا فقيل لم فقال ال أدري أخبرك إال أنهم يقولون من قبل أبى إسحق ألنه خلط وروى عياش‬
‫الدورى عن يحيى بن معين قال زكريا وزهير وإسرائيل حديثهم فى أبى إسحق قريب من السواء إنما أصحاب أبى إسحق سفيان وشعبة قلت‬
‫قد خالفهما فى ذلك عبد الرحمن بن مهدى وأبو حاتم فقال ابن مهدى إسرائيل فى أبى إسحق أثبت من شعبة والثورى‬

“Adapun Isroil, berkata Sholeh bin Ahmad bin Hanbal, dari ayahnya bahwa -riwayat- Isroil dari Abu Ishaq
adalah layyin (tidak kuat), karena ia mendengar darinya di akhir usia (setelah ikhtilath). Berkata
Muhammad bin Musa bin Masyisy, Imam Ahmad bin Hanbal ditanya, ‘Mana yang lebih Anda suka antara
Syuraik atau Isroil?’ Jawab beliau, ‘Isroil, dia lebih shahih haditsnya daripada Syuraik. Kecuali pada
riwayatnya dari Abu Ishaq, maka Syuraik lebih dhobith –ketika meriwayatkan dari- Abu Ishaq’. Beliau
berkata lagi, ‘Yahya tidak meriwayatkan satu riwayatpun dari Israil’. Beliau ditanya, ‘Kenapa?’ Jawabnya,
‘Aku tidak mengerti. Aku akan memberitahukan kepadamu, mereka itu berpendapat demikian berangkat
dari permasalahan Abu Ishaq, karena dia ikhtilath. ‘Ayyasy Ad Duri meriwayatkan dari Yahya bin Ma’in
berkata, ‘Zakaria, Zuhair, dan Isroil, hadits mereka dari Abu Ishaq adalah qorib minas sawaa’ (statusnya
mirip). Hanyasaja yang menjadi ashab Abu Ishaq adalah Sufyan dan Syu’bah’. Aku (Al Iraqi) katakan,
bahwa Abdurrahman bin Mahdi dan Abu Hatim menyelisihi mereka berdua. Ibnu Mahdi berkata, ‘Isroil
dalam –meriwayatkan- Abu Ishaq lebih ditetapkan daripada Syu’bah dan Ats Tsauri’.” (At Taqyid Wa Al
Idhoh)
kacau (tadlis) yang pada riwayat ini dia meriwayatkannya dengan cara ‘an’anah pula. Ia
mengatakan ‘an fulan (dari fulan), bukan haddatsani (berkata fulan kepadaku) atau
sam’itu (aku mendengar). Dan isnya Allah akan kita bahas masalah ini setelah persoalan
ikhtilath ini.

Al Hafizh Al Iraqi memang pernah mengomentari dan membenarkan adanya para


periwayat mukhtalath dalam shahihain, yang di antaranya adalah Abu Ishaq As Sabi’i.
Dan kita semua juga membenarkannya sebagaimana yang telah kita saksikan langsung di
shahihain. Namun, Al Iraqi tidak lupa memberikan komentar mengenai Isroil, Zakaria
dan Zuhair bahwa mereka mendengar Abu Ishaq setelah ikhtilath. 168 Dan dianggap shahih
hadits mereka, manakala Abu Ishaq menggunakan dengan tashrih bissima’.

Oleh sebab itu, ketika posisi Sufyan Ats Tsauri dalam mendengarkan Abu Ishaq
adalah di bawah ketetapannya pendengaran Isroil -sebagaimana pernyataan Abdurrahman
bin Mahdi dalam catatan Al Iraqi sebelumnya-, 169 maka sangat jelas sekali, bahwa Isroil
saja mendengar Abu Ishaq di masa akhir Abu Ishaq atau setelah ikhtilath, maka
bagaimana mungkin Sufyan yang tidak lebih ditetapkan dari Isroil.! Sufyan tentunya
lebih dominan mendengarnya setelah Abu Ishaq ikhtilath. Dan perlu diingat, bahwa
riwayat mereka dari Abu Ishaq ini, termasuk Sufyan adalah yang terdapat dalam
Shahihain. Dan jika Abu Ishaq menggunakan sami’tu atau sejenisnya, maka diterimalah
riwayatnya sebagai penguat riwayat yang digunakan Abu Ishaq dengan ‘an’anah. Oleh
sebab itu, riwayat Bukhori dalam Al Adab Al Mufrod-nya yang dibawakan Romli
terindikasi dho’if. Sufyan Ats Tsauri mendengar dari Abu Ishaq setelah ikhtilath.

168
Al Iraqi menyatakan,

‫أنه قد أخرج الشيخان فى الصحيحين لجماعة من روايتهم عن إبى إسحق وهم إسرائيل بن يونس بن أبى إسحاق وزكريا ابن أبي زائدة‬
‫وزهير بن معاوية وسفيان الثورى وأبو األحوص سالم بن سليم وشعبة وعمر بن أبى زائدة ويوسف بن إبى إسحاق وأخرج البخارى من‬
‫رواية جرير بن حازم عنه وأخرج مسلم من رواية إسماعيل بن أبى خالد ورقبة بن مصقلة وسليمان بن مهران األعمش وسليمان بن معاذ‬
‫وعمار ابن رزيق ومالك بن مغول ومسعر بن كدام عنه وقد تقدم أن إسرائيل وزكريا وزهير سمعوا منه بآخرة وهللا أعلم‬

“Sesungguhnya Bukhori dan Muslim dalam shahihain telah mengeluarkan dengan para periwayat dari Abu
Ishaq. Mereka adalah Isroil bin Yunus bin Abu Ishaq (cucunya sendiri-pent), Zakaria bin Abi Zaidah, Zuhair
bin Mu’awiyah, Sufyan Ats Tsauri, Abu Al Ahwash Salam bin Salim, Syu’bah, Amru bin Abi Zaidah, dan
Yusuf bin Abu Ishaq. Bukhori juga telah mengeluarkan periwayat Jarir bin Hazim dari Abu Ishaq.
Sedangkan Muslim mengeluarkan periwayat Isma’il bin Abu Kholid, Ruqbah bin Mushqolah, Sulaiman bin
Mihron Al A’masy, Sulaiman bin Mu’adz, ‘Amir bin Rizziq, Malik bin Maghul, Mus’ir bin Kadam, semuanya
dari Abu Ishaq. Dan telah berlalu bahwa Isroil, Zakaria dan Zuhair mereka mendengarnya di masa akhir
Abu Ishaq, wallahu a’lam.” (At Taqyid Wa Al Idhoh)
169
Al Iraqi menyebutkan,

‫فقال ابن مهدى إسرائيل فى أبى إسحق أثبت من شعبة والثورى‬

“Ibnu Mahdi berkata, ‘Isroil dalam –meriwayatkan- Abu Ishaq lebih ditetapkan daripada Syu’bah dan Ats
Tsauri’.” (At Taqyid Wa Al Idhoh)
Selain Sufyan pada jalur pertama ini yang mendengar Abu Ishaq setelah dia
ikhtilath, maka jalur kedua (dari Zuhair),170 ketiga (dari Isroil),171 keempat (dari Abu
Bakar bin ‘Ayyasy),172 dan kelima (dari Syu’bah),173 semuanya juga mendengar Abu
Ishaq setelah Abu Ishaq ikhtilath.

Oleh sebab itu, hadits yang diriwayatkan dari periwayat yang mukhtalath setelah
dia ikhtilath hukumnya tidak diterima. Demikianlah yang dipegang jumhur ulama hadits.

170
Al Hafizh Zainuddin Al Iraqi berkata,

‫وتقدم قول يحيى بن معين أيضا أن حديث الثالثة عن أبى إسحق قريب من السواء وروايته عنه فى الصحيحين وأما زهير بن معاوية فقال‬
‫صالح بن أحمد بن حنبل عن أبيه فى حديثه عن أبى إسحق لين سمع منه بآخرة وقال أبو زرعة ثقة إال أنه سمع من أبى إسحق بعد االختالط‬
‫وقال أبو حاتم زهير أحب إلينا من إسرائيل فى كل شئ إال فى حديث أبى إسحق وقال أيضا زهير ثقة متقن صاحب سنة تأخر سماعه من‬
‫أبى إسحق وتقدم أيضا قول يحيى بن معين زكريا وزهير وإسرائيل حديثهم فى أبى إسحق قريب من السواء وقال الترمذى زهير فى إسحق‬
‫ليس بذاك ألن سماعه منه بآخرة وروايته عنه فى الصحيحين‬

“Telah berlalu ucapan Yahya bin Ma’in bahwa hadits tiga orang (Zakaria, Zuhair, Isroil) dari Abu Ishaq
adalah mirip, dan riwayatnya ada di shahihain. Adapun Zuhair bin Mu’awiyah, berkata Sholeh bin Ahmad
bin Hanbal dari ayahnya mengenai haditsnya dari Abu Ishaq bahwa ia mendengarnya di akhir masa Abu
Ishaq (setelah ikhtilath). Berkata pula Abu Zar’ah, bahwa Zuhair tsiqqah namun ia mendengar dari Abu
Ishaq setelah ikthilath. Berkata Abu Hatim, ‘Zuhair lebih kami sukai daripada Isroil dalam setiap
sesuatunya, kecuali dalam meriwayatkan hadits Abu Ishaq’. Abu Hatim berkata lagi, ‘Zuhair adalah
tsiqqah, mutqin, ahlus sunnah, yang mendengarkan dari Abu Ishaq di waktu akhirnya’. Telah berlalu
ucapan Yahya bin Ma’in bahwa hadits tiga orang (Zakaria, Zuhair, Isroil) dari Abu Ishaq adalah mirip.
Berkata At Tirmidzi, ‘Zuhair dalam riwayatnya dari Abu Ishaq tidak ada apa-apanya, karena ia mendengar
darinya di akhir usianya, dan riwayatnya ada dalam shahihain’.” (At Taqyid Wa Al Idhoh)
171
Al Hafizh Zainuddin Al Iraqi berkata,

‫وقد تقدم أن إسرائيل وزكريا وزهير سمعوا منه بآخرة وهللا أعلم‬

Dan telah berlalu bahwa Isroil, Zakaria dan Zuhair mereka mendengarnya di masa akhir Abu Ishaq,
wallahu a’lam.” (At Taqyid Wa Al Idhoh)
172
Abu Bakar bin ‘Ayyasy sering salah dalam meriwayatkan hadits serta hafalannya yang buruk. Abu
Ahmad Al Hakim Al Kabir (w. 378 H) menyatakan,

‫أنا أبو العباس أحمد بن محمد بن سعيد الهمداني قال شعبة ويقال محمد بن عياش أبو بكر الكوفي أنا أبو العباس الثقفي قال سمعت المهنا بن‬
‫يحيى قال سألت أحمد بن حنبل أيهما أحب إليك إسرائيل أو أبو بكر بن عياش ؟ فقال إسرائيل قلت لم ؟ قال ألن أبا بكر كثير الخطأ جدا قلت‬
. ‫كان في كتبه خطأ قال ال كان إذا حدث من حفظه‬

“Mengabarkan kepada kami Abu Al ‘Abbas Ahmad bin Muhammad bin Sa’id Al Hamdani, berkata Syu’bah,
‘Dikatakan Muhammad bin ‘Ayyasy Abu Bakar Al Kufi, mengabarkan kepada kami Abu Al ‘Abbas Ats
Tsaqofi, katanya, aku mendengar Al Mihna bin Yahya berkata, ‘Aku bertanya kepada Ahmad bin Hanbal,
mana yang lebih Anda sukai; Isroil atau Abu Bakar bin ‘Ayyasy?’ Beliau menjawab, ‘Isroil’. Aku bertanya,
‘Kenapa?’. Katanya, ‘Karena Abu Bakar banyak sekali kesalahannya’. Aku bertanya, ‘Apa kesalahan itu di
buku-bukunya?’ Katanya, ‘Bukan, tapi jika dia mengatakan sebuah hadits dari hafalannya’.” (Al Usami Wa
Al Kuni, 2/49)
Maka, Abu Bakar bin ‘Ayyasy yang hafalannya tidak lebih baik dibandingkan Isroil, sedangkan Isroil sendiri
mendengar Abu Ishaq setelah ikhtilathnya Abu Ishaq, maka Abu Bakar bin ‘Ayyasy tentu lebih parah lagi.
173
Isroil –sebagaimana yang lalu- mendengar Abu Ishaq setelah Abu Ishaq ikhtilath. Sedangkan Syu’bah di
bawah levelnya Isroil. Al Iraqi menyebutkan,
Ibnu Sholah (w. 643 H),174 dan juga yang diikuti Imam An Nawawi (w. 676 H), 175 serta
Al Hafizh Al Iraqi.176 Mereka menyatakan,

‫ َو اَل ُيْقَبُل َم ا َبْعُد َأْو ُش َّك ِفيِه‬، ‫ َفُيْقَبُل َم ا ُر ِو َي َع ْنُهْم َقْبَل ااِل ْخ َتاَل ِط‬، ‫ َأْو ِلَذ َهاِب َبَص ِر ِه َأْو ِلَغْيِر ِه‬، ‫َفِم ْنُهْم َم ْن َخ َلَط ِلَخ َرِفِه‬

“Di antara mereka -perowi tsiqqoh yang ikhtilath- adalah ikthilath karena keadaan pikun
atau tuanya, atau hilangnya penglihatan atau lainnya. Maka diterima jika diriwayatkan
dari mereka sebelum mereka ikhtilath, dan sebaliknya, tidak diterima setelah ikhtilah atau
diragukan mengenainya.”

Kami Ahlus Sunnah yang memegang hadits sesuai keilmuan hadits para imam
hadits, benar-benar akan mewaspadai riwayat mana saja yang berasal dari periwayat
mukhtalath. Sebagaimana Al Hafizh Adz Dzahabi menyatakan,

.‫ فيخالف فيه‬،‫ أو متنه‬،‫ فيحدث في حال اختالطه بما يضطرب في إسناده‬،‫وإنما المحذور أن يقع االختالط بالثقة‬

“Hanyasaja yang diwaspadai adalah perowi tsiqqah terkena ikhtilath, kemudian dia
mengeluarkan hadits pada saat kondisi dia mukhtalath dengan kekacauan pada sanad atau
matannya, sehingga dia diselisihi dalam hadits yang dia bawa.”177

Pada faktanya, memang riwayat Abu Ishaq ini terindikasi mudhthorib pada sanad
dan matannya. Pada sanadnya, Abu Ishaq meriwayatkan dari dua orang yang berbeda.
Adakalanya dia bilang meriwayatkan dari Abdurrahman bin Sa’ad, dan kadang dia bilang
dari Al Haitsam bin Hanasy yang adalah periwayat yang hanya diriwayatkan oleh Abu
Ishaq seorang dan dia tidak se-tsiqqah Abdurrahman bin Sa’ad. Matannya juga saling
berbeda. Maka, mudhthorrib atau tidaknya riwayat ini, yang jelas dia berasal dari seorang
mudallis yang terbukti sanad dan matannya saling berbeda.

Kemudian, apabila dianggap bahwa periwayat dari Abu Ishaq, yaitu; Sufyan,
Zuhair, Isroil, Abu Bakar bin ‘Ayyasy, dan Syu’bah, yang sekalipun semuanya
mendengar Abu Ishaq setelah ikhtilath, sehingga diklaim saling menguatkan satu sama
lain yang sama-sama mendengarnya setelah ikhtilathnya Abu Ishaq, maka persoalan
selanjutnya terletak pada kedudukan Abu Ishaq yang terkenal sebagai periwayat
mudallis. Dan ternyata dalam riwayat ini dia menggunakan ‘an’anah. Yang jelas, point

‫فقال ابن مهدى إسرائيل فى أبى إسحق أثبت من شعبة والثورى‬

“Ibnu Mahdi berkata, ‘Isroil dalam –meriwayatkan- Abu Ishaq lebih ditetapkan daripada Syu’bah dan Ats
Tsauri’.” (At Taqyid Wa Al Idhoh)
Maka Syu’bah yang tidak lebih ditetapkan dari Isroil tentunya lebih dominan mendengarnya setelah Abu
Ishaq ikhtilath.
174
Ulum Al Hadits, hal. 352
175
At Taqrib Wa At Taisir Lima'rifati Sunan Al Basyir An Nadzir, hal. 120
176
At Taqyid Wa Al Idhoh
177
Siyar A’lam An Nubala’, profil ‘Affan bin Muslim bin Abdullah Al Bashri As Shoffar, no. 65
ini membuktikan kekurangtepatan Romli yang menyatakan : Sufyan al-Tsauri mendengar
hadits tersebut dari Abu Ishaq sebelum Abu Ishaq mengalami ikhtilath (berubah
hafalannya). Sufyan dan empat jalur lainnya dianggap mendengarkan Abu Ishaq setelah
ikhtilath.

(b) Mashyur sebagai pentadlis meriwayatkan dengan ‘an’anah

Riwayat Ibnu Umar yang kakinya mati rasa ini disepakati telah diriwayatkan Abu
Ishaq dengan cara ‘an’anah. Padahal dia seorang periwayat yang terkenal sebagai
mudallis. Dalam lima jalur yang telah kita sebutkan sebelumnya, semuanya tanpa
terkecuali menggunakan cara ‘an’anah-nya Abu Ishaq. Semuanya riwayat Abu Ishaq
yang mu’an’an. Padahal Abu Ishaq As Sabi’i adalah mudallis kelas tiga yang harus
diwaspadai haditsnya yang mu’an’an.

Romli sendiri pernah menuliskan dalam salah satu kritikannya terhadap rival
diskusi mengenai riwayat ini. Kata Romli : Al-Hafizh Ibnu Hajar telah memasukkan Abu
Ishaq al-Sabi’i dalam perawi mudallis thabaqah (level) ketiga dengan nomor urut 91.
Perawi mudallis pada level ketiga tersebut, dalam penjelasan al-Hafizh Ibnu Hajar adalah
para perawi yang banyak melakukan tadlis, sehingga para imam tidak berhujjah dengan
hadits-hadits mereka kecuali yang dijelaskan bahwa mereka mendengarnya dari guru
yang disebutkannya. Sebagian ulama ada yang menolak riwayat mereka secara mutlak.
Dan sebagian ada yang menerima seperti Abu al-Zubari al-Makki.

Sekalipun Romli mengutipnya, namun Romli tidak menggubris ketetapan Ibnu


Hajar dalam kitabnya Ta’rif Ahli At Taqdis Bimarotib Al Maushufina Bi At Tadlis
tersebut, dan hanya mengambil pendapat ulama lain sesuai asumsinya. Abu Ishaq yang
banyak meriwayatkan secara tadlis dia terima dengan asumsinya Romli sendiri.

Pada dasarnya kita harus ingat betul-betul penjelasan Ibnu Hajar tersebut yang
menyatakan,

‫الثالثة من أكثر من التدليس فلم يحتج االئمة من أح||اديثهم اال بما ص||رحوا فيه بالسماع ومنهم من رد ح||ديثهم مطلق||ا‬
‫ومنهم من قبلهم كأبي الزبير المكي‬

“Tingkatan mudallis ketiga adalah mereka yang banyak melakukan tadlis. Para imam
tidak berhujjah dengan hadits-hadits mereka, kecuali dijelaskan bahwa mereka
mendengarnya dari syaikh mereka. Di antara imam-imam tersebut ada yang menolak
hadits mereka secara mutlak, dan sebagian mereka ada yang menerimanya, seperti –
riwayat- Abu Az Zubair Al Makki.”178

178
Muqaddimah Ta’rif Ahli At Taqdis Bimarotib Al Maushufina Bi At Tadlis
Kami akan memaparkan lagi catatan Romli mengomentari kutipan Ibnu Hajar
mengenai Abu Ishaq yang ada di level tiga ini. Kata Romli : Berdasarkan kutipan dari al-
Hafizh Ibnu Hajar tersebut, menjadi jelas, bahwa para ulama berselisih pendapat tentang
para perawi mudallis level ketiga, menjadi tiga pendapat; (1) Menolak hadits mereka,
kecuali apabila mereka menjelaskan bahwa mereka mendengarnya dari gurunya. (2)
Menolak hadits mereka secara mutlak. (3) Menerima hadits mereka.

Terkait dengan Abu Ishaq al-Sabi’i, mustahil apabila kita menerima pendapat
kedua di atas, yaitu menolak haditsnya secara mutlak. Sedangkan pendapat pertama, yang
menerima haditsnya dengan syarat ada penjelasan bahwa ia mendengar riwayatnya dari
guru yang disebutkannya, benar-benar bertentangan dengan sikap para imam ahli hadits
yang menerima riwayat Abu Ishaq al-Sabi’i, meskipun diriwayatkan secara mu’an’an,
padahal beliau mudallis level ketiga.

Sebelum membahas statemen Romli ini, kami merasakan bahwa Romli rupanya
kembali meninggalkan kesan yang salah dalam memahami teks para ulama. Yaitu
penjelasan terhadap teks Ibnu Hajar mengenai tingkatan para mudallisin. Khususnya
kesimpulan Romli bahwa ada tiga pendapat dalam menilai riwayat mudallis. Teks yang
berbunyi : wa minhum man radda haditsahum muthlaqon wa minhum man qobilahum ka
abi az zubair al makki. Romli menerjemahkan : Sebagian ulama ada yang menolak
riwayat mereka secara mutlak. Dan sebagian ada yang menerima seperti Abu al-Zubari
al-Makki.

Kami khawatir dari terjemahan Romli ini berakibat menyangka bahwa Abu Az
Zubair Al Makki itu adalah ulama yang berpendapat dan berpihak kepada Romli. Beliau
akan disangka Romli berpendapat menerima riwayat para mudallis. Apalagi Romli
menyimpulkan ada tiga pendapat ulama; pertama pendapatnya jumhur ulama hadits,
kedua menolak secara mutlak, dan ketiga menerima riwayat mudallis sekalipun yang
mu’an’an. Dan bisa-bisa di antara yang berpendapat itu adalah Abu Az Zubair Al Makki.
Padahal tidak demikian. Karena menerima hadits mudallis yang mu’an’an adalah punya
syarat dan di antara ulama ada yang mengganggap Abu Az Zubair mudallisnya tidak
berbayaha karena sudah tashrih bissima’.

Kami khawatir jangan-jangan Romli berpendapat seperti yang kami sampaikan,


bahwa Abu Az Zubair ulama yang menerima mudallis yang mu’an’an. Kalau memang
seperti itu, maka kami beritahukan kepadanya, bahwa Abu Az Zubair Al Makki itu
adalah periwayat mudallis. Dia diterima haditsnya bukan karena asal menerimanya
seperti asumsi Romli. Melainkan karena dia menggunakan tashrih bissima’. Kalau dia
‘an’anah sudah tentu ditolak. Silahkan perhatikan catatan Adz Dzahabi mengenai Abu Az
Zubair dalam Mizan Al I’tidalnya. Di sana disebutkan,
:‫ ف||إذا ق||ال‬،‫ النه عندهم ممن ي||دلس‬،‫ " عن " ج||ابر ونح||وه‬:‫وأما أبو محمد بن حزم فإنه يرد من حديثه ما يق||ول فيه‬
‫ وذلك الن سعيد‬،‫ " عن " مما رواه عنه الليث بن سعد خاصة‬::‫ ويحتج به ابن حزم إذا قال‬.‫ احتج به‬- ‫ وأخبرنا‬،‫سمعت‬
،‫ لو أننى عاودته‬:‫ ثم قلت في نفسي‬،‫ فانقلبت بهما‬،‫ جئت أبا الزبير فدفع إلى كتابين‬:‫ قال‬،‫ حدثنا الليث‬:‫بن أبى مريم قال‬
‫ أعلم لى على ما س|معت‬:‫ فقلت ل|ه‬.‫ منه ما سمعت ومنه ما ح|دثت عنه‬:‫ فقال‬،‫فسألته أسمع هذ كله من جابر ؟ فسألته‬
.‫ فأعلم لى على هذا الذى عندي‬،‫منه‬

“Adapun Abu Muhammad bin Hazm, beliau menolak haditsnya saat ia mengatakan ‘an
(dari) Jabir atau semisalnya. Karena dia menurut mereka adalah mudallis. Namun apabila
dia mengatakan sami’tu (aku mendengarkan), atau akhbarona (mengabarkan kepada
kami), maka dapat dijadikan hujjah. Ibnu Hazm ternyata juga berhujjah dengan
riwayatnya -Az Zubair- yang ia mengatakan ‘an (dari) ketika meriwayatkan dari Al Laits
bin Sa’ad secara khusus. Dan itu karena Sa’id bin Abi Maryam pernah mengatakan
haddatsana al laits (Al Laits telah menceritakan kepada kami). Ia (Sa’id) mengatakan,
‘Aku telah mendatangi Abu Az Zubair, dia mendorongkan dua kitab, dan aku membawa
keduanya. Kemudian aku berkata dalam hati, sekiranya nanti aku kembali kepadanya,
akan aku tanyakan apakah dia mendengarnya dari Jabir? Kemudian aku benar-benar
menanyainya. Dia menjawab, ‘Di antaranya ada yang aku yang dengar dan di antaranya
ada yang aku ceritakan sendiri daarinya’. Aku pun berkata, ‘Kalau begitu beritahu aku
mana yang engkau dengar darinya, dan mana yang dari pemikiran pribadi’.”179

Kasus ini justru semakin menguatkan pendapatnya jumhur ulama hadits bahwa
tadlisnya Abu Az Zubair akan dianggap aman jika memang ada tashrih bissima’ dan atau
ada yang menjamin bahwa beliau telah menyampaikan kepada muridnya mana yang
tashrih bissima’ dan mana yang tidak.

Ini masalah adanya tiga pendapat dalam asumsi Romli. Yang sebenarnya
diterimanya Abu Az Zubair adalah karena tashrih bissima’. Jadi, Abu Az Zubair bukan
ulama yang memegang pendapat ketiga. Wallahu a’lam jika Romli punya pemikiran
seperti itu.

Selain itu, bahwa yang menjadi sorotan kami adalah asumsi Romli akan
kemustahilan menerima pendapat para imam hadits terhadap mudallis level tiga ini.
Asumsi Romli, bahwa pendapat para imam hadits tersebut benar-benar bertentangan
dengan sikap ulama seperti Bukhori, Muslim dan lainnya, yang meriwayatkan Abu Ishaq
dalam shahihnya yang menggunakan cara ‘an’anah.

Oleh sebab itu kami tegaskan kepada Romli, bahwa sikap mereka tidak saling
bertentangan.! Kami akan buktikan beberapa saat lagi, apa alasan imam Bukhori
meriwayatkan hadits mu’an’an-nya Abu Ishaq dalam shahihnya. Dan sekarang,
perhatikanlah statemen imam Muslim ini yang juga Anda klaim bahwa imam-imam
hadits sangat bertentangan dengan pendapatnya. Kata beliau,

179
Mizan Al I’tidal, ni. 8169
‫ مثل أيوب السختياني وابن ع||ون‬، ‫وما علمنا أحدا من أئمة السلف ممن يستعمل األخبار ويتفقد صحة األسانيد وسقمها‬
‫ فتشوا‬، ‫ومالك بن أنس وشعبة بن الحجاج ويحي بن سعيد القطان وعبد الرحمن بن مهدي ومن بعدهم من أهل الحديث‬
‫ وإنما كان تفقد من تفقد منهم سماع رواة الحديث ممن روى عنهم إذا كان الراوي ممن‬، ‫عن موعد السماع في األسانيد‬
، ‫ كي ت|نزاح عنهم علة الت|دليس‬، ‫ فحينئذ يبحثون عن سماع في روايته ويتفقدون ذل|ك منه‬، ‫عرف بالتدليس وشهر به‬
‫فمن ابتغى ذلك من غير مدلس على الوجه الذي حكينا قوله فما سمعنا ذلك عن أحد ممن سمينا ولم نسم من األئمة‬

“Kami tidak mengetahui ada satupun dari para imam salaf yang menggunakan hadits-
hadits dan membahas keshahihan sanad dan kecacatannya, seperti Ayyub As Sikhtiyani,
Ibnu ‘Aun, Malik bin Anas, Syu’bah bin Al Hajjaj, Yahya bin Sa’id Al Qotthon,
Abdurrahman bin Mahdi dan ulama hadits setelah mereka, tidaklah mereka memeriksa
tentang tempat atau waktu mendengarnya para sanad. Akan tetapi, hanyasaja mereka
membahas sima’ (pendengaran) para periwayat hadits dari periwayat yang dikenal telah
mentadlis dan ia masyhur sebagai mudallis. Saat inilah mereka membahas mengenai
sima’-nya para periwayat. Dengan harapan terjauhnya mereka dari kecacatan tadlis.
Sehingga, bagi siapa saja yang membahas mengenai hal tersebut (mendengarnya para
periwayat) dari selain mudallis sebagaimana dalam bentuk yang telah kami jelaskan
pendapat mereka para imam hadits, maka kami tidak mendegarnya dari satu imampun
dari yang telah kami sebutkan namanya dan dari yang belum kami sebutkan.”180

Anda lihat sendiri saudara Romli, imam Muslim dan para imam hadits semua
sepakat untuk membahas pendengaran si periwayat yang terkenal mudallis kepada
syaikhnya. Semoga hal ini menyadarkan kita semua, termasuk Romli, untuk menerima
pendapat para imam hadits agar menerima hadits dari mudallis level tiga, dengan syarat
ada penjelasan bahwa ia mendengar riwayatnya dari guru yang disebutkannya. Bukan
‘an’anah. Tidak ada para imam hadits yang pendapatnya sangat bertentangan. Hanya
Romli saja yang punya asumsi ngawur tersebut. Justru asumsinyalah yang sangat
bertentangan dengan imam hadits termasuk imam Bukhori dan Muslim dan lainnya.

Lantas, apa alasan imam Bukhori atau Muslim meriwayatkan hadits mu’an’an-
nya Abu Ishaq dalam shahihnya?

Pertanyaan ini bermula dari syubhat Romli dkk yang selamanya menerima
mu’an’an Abu Ishaq yang mudallis. Maka kami sampaikan bahwa riwayat ‘an’anah-nya
Abu Ishaq dalam shahihain dan lainnya dapat diterima ketika adanya penguat dari
riwayat lain yang shahih dengan tashrih bissima’ seperti sami’tu (aku mendengar).
Disebutkan dalam salah satu hadits shahih Bukhori,

‫َح َّد َثَنا َع ْم ُرو ْبُن َخ اِلٍد َقاَل َح َّد َثَنا ُز َهْيٌر َقاَل َح َّد َثَنا َأُبو ِإْس َح اَق َع ْن اْلَبَر اِء ْبِن َع اِز ٍب َأَّن الَّنِبَّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْي ِه َو َس َّلَم َك اَن‬
‫َأَّوَل َم ا َقِد َم اْلَم ِد يَنَة َنَز َل َع َلى َأْج َداِدِه َأْو َقاَل َأْخ َو اِلِه ِم ْن اَأْلْنَص اِر َو َأَّنُه َص َّلى ِقَبَل َبْيِت اْلَم ْقِد ِس ِس َّتَة َع َش َر َش ْهًرا َأْو َس ْبَع َة‬
‫َع َش َر َش ْهًرا‬

180
Muqaddimah Shahih Muslim (1/32)
“Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin Khalid, telah menceritakan kepada kami
Zuhair, telah menceritakan kepada kami Abu Ishaq dari Al Barro’ bin ‘Azib bahwa Nabi
Shallallahu ‘alaihi Wasallam saat pertama kali datang di Madinah, Beliau singgah pada
kakek-kakeknya (‘Azib) atau paman-pamannya dari kaum Anshar. Dan saat itu Beliau
Shallallahu ‘alaihi Wasallam shalat menghadap Baitul Maqdis selama enam belas bulan
atau tujuh belas bulan..” (HR. Bukhori)

Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqolani menjelaskan sebab selamatnya riwayat Abu


Ishaq yang ‘an’anah ini. Padahal beliau adalah perowi mudallis dan ikhtilath pula di akhir
hidupnya. Kata beliau,

.‫ ( حدثنا زهير ) هو ابن معاوية أبو خيثمة الجعفي الكوفي نزيل الجزيرة وبها سمع منه عمرو بن خالد‬:‫قوله‬

‫ لكن تابع||ه عليه عند‬،‫ بع||د أن بدأ تغ||يره‬- ‫ فيما قال أحمد‬- ‫ ( حدثنا أبو إسحاق ) هو السبيعي وسماع زهير منه‬:‫قوله‬
.‫المصنف إسرائيل بن يونس حفيده وغيره‬

‫ وللمصنف في التفسير من طري||ق الث||وري عن‬.‫ صحابي ابن صحابي‬،‫ ( عن البراء ) هو ابن عازب األنصاري‬:‫قوله‬
.‫أبي إسحاق " سمعت البراء " فأمن ما يخشى من تدليس أبي إسحاق‬

“(Telah menceritakan kepada kami Zuhair) dia adalah Ibnu Mu’awiyah Abu Khoitsamah
Al Ju’fi Al Kufi pendatang di Jazirah. Di sana Amru bin Kholid mendengar riwayatnya.

(Telah menceritakan kepada kami Abu Ishaq) dia adalah As Sabi’i. Pendengaran Zuhair
darinya adalah sebagaimana yang dikatakan Ahmad, yaitu setelah As Sabi’i berubah
hafalannya (ikhtilath). Akan tetapi menurut penulis (Bukhori) Isroil bin Yunus yang ia
adalah cucunya –Abu Ishaq- dan juga dari yang lain, mereka menjadi penguat -
penerimaan riwayat Zuhair dari As Sabi’i ini-.

(Dari Al Barro’) dia adalah Ibnu ‘Azib Al Anshori, seorang sahabat anak dari sahabat.
Menurut penulis dalam pembahasan tafsir ada riwayat dari jalur Ats Tsauri dari Abu
Ishaq yang bunyinya ‘sami’tu Al Barro’ (aku mendengar Al Barro’). Sehingga amanlah
kekhawatiran tadlis-nya Abu Ishaq.”181

Abu Ishaq yang meriwayatkan hadits di atas dengan ‘an’anah (dari Al Baroo’),
dimasukkan Bukhori dalam shahihnya adalah karena adanya hadits lain yang menjadi
mutabi’ atau penguatnya dalam bab tafsir. Yaitu dari Ats Tsauri dengan bentuk ‘sami’tu
al Barro’ (aku mendengar Al Barro’). Perlu diingat, bahwa Sufyan Ats Tsauri mendengar
Abu Ishaq pada bahasan tafsir yang dimaksud adalah selamat dan diterima, karena Abu
Ishaq tidak menggunakan ‘an’anah. Hal ini persis yang dikatakan Abu Zar’ah. Abu
Hatim Ar Rozi menuliskan,

‫سئل أبو زرعة عن مبارك بن فضالة فقال يدلس كثيرا فإذا قال حدثنا فهو ثقة‬

181
Fath Al Bari
“Abu Zar’ah ditanya mengenai Mubarok bin Fadholah. Ia menjawab, ‘Dia banyak
berbuat tadlis, namun apabila dia mengatakan haddatsana (mengabarkan kepada kami
bukan ‘an’ana) maka dia dapat dipercaya’.”182

Oleh karenanya, kurang tepat jika Romli mengatakan : Al-Imam al-Bukhari dan
Muslim, ternyata juga men-shahih kan riwayat Abu Ishaq al-Sabi’i yang ‘an’anah dalam
kedua kitab nya Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Padahal riwayat tersebut, tidak
memiliki penguat dari jalur lain. Karena dengan jelas ‘an’anahnya Abu Ishaq (dari Al
Barro’) tidak aman kecuali adanya penguat yang menggunakan sami’tu.

Mengenai permasalahan ini, kami melihat jawaban persis dari Ibnu Hajar Al
Asqolani dalam kitab An Nukat ‘Ala Kitab Ibni Sholah. 183 Beliau mengklarifikasikan
mengenai pernyataan Ibnu Sholah yang menolak menjadikan hujjah riwayat mudallis
kecuali dengan menjelaskan telah mendengar, tidak ‘an’anah. Kata Ibnu Hajar,

‫أورد المصنف هذا محتجا به على قبول رواي|ة المدلس إذا ص|رح وه|و ي|وهم أن ال|ذي في الص|حيحين وغيرهما من‬
‫ بل في الص||حيحين وغيرهما جملة كث||ير من‬،‫الكتب المعتمدة من ح||ديث المدلسين مص||رح في جميع||ه وليس كذلك‬
‫أحاديث المدلسين بالعنعنة‬

“Penulis (Ibnu Sholah) mengeluarkan statemen tersebut dan berhujjah dengannya atas
diterimanya riwayat mudallis apabila menjelaskan pendengarannya kepada gurunya. Dan
dia mengira bahwa yang ada pada shahihain dan selain keduanya dari kitab-kitab yang
mu’tamad terdapat hadits dari mudallisin yang menjelaskan pendengarannya di seluruh
isi kitab. Padahal tidak demikian. Karena di shahihain dan selainnya terdapat hadits-
hadits dari mudallis dengan ‘an’anah.”184

Dalam kitab tersebut pula disebutkan statemen Al Mizzi yang dikutip Romli. Kata
Romli : Imam al-Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahih-nya banyak meriwayatkan
riwayat-riwayat para mudallis seperti Qatadah dan Abu Ishaq, dari orang-orang yang
tidak diketahui lama menjadi guru mereka (secara mu’an’an). Demikian pula para ulama
penulis kitab-kitab Shahih, selain al-Bukhari dan Muslim. Sebagian imam seperti al-
Tirmidzi dan lainnya, juga men-shahihkan hadits-hadits seperti Qatadah dan Abu Ishaq
al-Sabi’i.

Mari kita mencoba melihat pernyataan al-Hafizh Ibnu Hajar dalam ilmu
mushthalah hadits yang ditulisnya, yaitu an-Nukat ‘ala Muqaddimah Ibn al-Shalah (juz 2
hal. 636) sebagai berikut:

182
Al Jarh Wa At Ta’dil, no. 1557
183
Point ke 7, hal. 634
184
An Nukat
‫ وس||ألته عن ما وق||ع في الص||حيحين من‬: :‫وفي أسئلة اإلمام تقي الدين السبكي رحمه هللا للحاف||ظ ابي الحج||اج المزي‬
‫ وإال‬، ‫ وما فيه إال تحسين الظن بهما‬، ‫ كذا يقولون‬: ‫فقال‬. ‫ إنهما اطلعا على اتصالها ؟‬: ‫حديث المدلس معنعنًا هل نقول‬
. ‫ففهيما أحاديث من رواية المدلسين ما توجد من غير تلك الطريق التي في الصحيح ) اهـ‬

“Dalam beberapa pertanyaan al-Imam Taqiyyuddin al-Subki rahimahullah kepada al-


Hafizh Abu al-Hajjaj al-Mizzi: “Aku bertanya kepada al-Mizzi, tentang apa yang terjadi
dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim dari hadis nya perawi mudallis secara mu’an’an,
apakah kita berkata, bahwa beliau berdua (al-Bukhari dan Muslim), telah mengetahui ke-
ittishalan riwayat-riwayat tersebut?” Beliau menjawa: “Demikianlah perkataan mereka.
Itu hanyalah berbaik sangka saja kepada keduanya. Kalau tidak demikian, sebenarnya di
dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim terdapat banyak hadits dari riwayat para mudallis,
yang tidak ditemukan dari selain jalur yang ada dalam Shahih (al-Bukhari dan Muslim)
tersebut.”

Coba Anda perhatikan pernyataan al-Hafizh al-Mizzi di atas, bahwa al-Bukhari


dan Muslim men-shahihkan riwayat-riwayat para mudallis secara mu’an’an.

Bahkan ulama Wahabi sendiri, seperti al-Mu’allimi al-Yamani, yang dijuluki


sebagai Dzahabiyyu al-‘ashr (al-Dzahabi masa sekarang) olah kaum Wahabi, benar-benar
telah menshahih kan mu’an’an nya Abu Ishaq al-Sabi’i.

Romli rupanya mencukupkan dari keterangan Al Hafizh Ibnu Hajar dan kutipan
dari Al Hafizh Al Mizzi. Padahal, dalam kitab yang sama sebelumnya telah disebutkan
ketegasan An Nawawi dan ulama hadits lainnya. Ibnu Hajar menuliskan,

‫قد جزم المصنف في موضع آخر وتبعه النووي وغيره بان ما كان في الصحيحين وغيرهما من الكتب الص|حيحة عن‬
‫المدلسين فهو محمول عل ثبوت سماعه من جهة أخرى‬

“Penulis (Ibnu Sholah) telah menetapkan di tempat lain, dan itu diikuti dan dikuatkan
oleh An Nawawi dan selain beliau, bahwa setiap hadits dari periwayat mudallis yang ada
di shahihain dan di selain keduanya dari kitab-kitab shahih, maka ia dianggap telah
mendengar gurunya dari jalur lain.”

Ketetapan Ibnu Sholah, An Nawawi dan selain mereka inilah yang tidak dikutip oleh
Romli. Termasuk sikap tawaqquf (abstain) dari sebagian mutaakhirin untuk tidak
membenarkan dan tidak menolak riwayat mudallis yang mu’an’an, yaitu oleh Shodruddin
bin Al Murhil dan Ibnu Daqiq Al ‘Ied. Kedua sikap ini tidak ditampilkan Romli. Romli
hanya mencukupkan dengan statemen Ibnu Hajar dan Al Mizzi dan dipahami sesuai
pendapatnya semata. Padahal, kalau benar-benar memahami penjelasan hadits Bukhori
dari Abu Ishaq yang ‘an’anah dari Al Barro’ bin ‘Azib sebelumnya, seharusnya Romli
paham bahwa Ibnu Hajar juga masih meyakini ketidak-amanan riwayat sang mudallis
Abu Ishaq yang mu’an’an ini, sampai datangnya penguat yang membawa tashrih
bissima’.185

Keterangan Ibnu Sholah dan An Nawawi serta Ibnu Hajar ini tidak ditampilkan
Romli menyebabkan adanya kesan seolah-olah yang benar adalah sikap membenarkan
100% kepada periwayat mudallis di shahihain dengan berbaik sangka kepada kedua
syaikh, Bukhori dan Muslim. Padahal, telah kita buktikan kebenaran pernyataan Ibnu
Sholah dan An Nawawi, bahwa Bukhori dan Muslim memasukkan periwayat mudallis
yang ‘an’anah di shahihnya adalah karena mereka juga memasukkan mutabi’nya yang
tentunya tashrih bissima’.

Jadi Anda wahai saudara Romli kami anggap kurang tepat jika menjadikan hujjah
bahwa imam Bukhori dan imam Muslim meriwayatkan ‘an’anah-nya Abu Ishaq lantas
dianggap shahih semua mu’an’an-nya Abu Ishaq ini. Justru sebaliknya, ketika Abu Ishaq
di seluruh jalur yang lima pada riwayat Ibnu Umar yang menyebut Ya Muhammad ini
dan meriwayatkankannya dengan ‘an’anah, maka seluruhnya pun menunjukkan tidak
selamat dari tadlisnya Abu Ishaq. Belum lagi, yang mendengarkan dia adalah periwayat
yang mendengarnya setelah dia ikthilath. Sehingga semakin tidak amanlah riwayat ini
dari tadlis dan dari cacatnya periwayat yang mukhtalath (berubah hafalannya).

Bagaimana dengan riwayat Syu’bah dari Abu Ishaq yang dianggap menjadikan
selamat tadlisnya Abu Ishaq?

Abu Ishaq Ibrahim Al Harbi (w. 285 H) dalam kitabnya Ghorib Al Hadits,
memang menyebutkan hadits Ibnu Umar ini dari jalur Syu’bah. 186 Perlu diketahui, bahwa
Syu’bah berkata –dan ini pernah disampaikan Romli-,

‫ األعمش وأبو إسحاق وقتادة‬:‫كفيتكم تدليس ثالثة‬

“Aku cukupkan bagi kalian tadlis dari tiga orang; al A’masy, Abu Ishaq, dan Qatadah”
[Ma’rifatu Sunan wal-Atsar lil-Baihaqiy, no. 29].”

Statemen inilah yang membuat Romli semakin mantap dengan asumsinya bahwa
hadits Ibnu Umar ini shahih. Artinya, riwayat Ibnu Umar dari Abu Ishaq telah selamat
dari tadlisnya karena diriwayatkan Syu’bah, dan Syu’bah dalam kitab Ghorib Al Hadits

185
Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan,

‫ وللمصنف في التفسير من طريق الثوري عن أبي إسحاق " سمعت‬.‫ صحابي ابن صحابي‬،‫ ( عن البراء ) هو ابن عازب األنصاري‬:‫قوله‬
.‫البراء " فأمن ما يخشى من تدليس أبي إسحاق‬

(Dari Al Barro’) dia adalah Ibnu ‘Azib Al Anshori, seorang sahabat anak dari sahabat. Menurut penulis
dalam pembahasan tafsir ada riwayat dari jalur Ats Tsauri dari Abu Ishaq yang bunyinya sami’tu Al Barro’
(aku mendengar Al Barro). Sehingga amanlah kekhawatiran tadlis-nya Abu Ishaq.” (Fath Al Bari)
186
Hadits ke, 62. Hal. 674
adalah salah satu dari lima jalur yang meriwayatkan hadits ini. Akhirnya diklaim bisa
menguatkan empat jalur yang berbeda sebelumnya.

Menjawab statemen ini, kami mulai dari penegasan kami bahwa pendapat yang
kami pilih dari masalah ini adalah menolak riwayat mudallis yang tidak tashrih bissima’
tapi ‘an’anah. Kami menganggap inilah pendapat jumhur ulama hadits. Sebagaimana
yang dinyatakan An Nawawi,

‫ والصحيح الذى عليه الجمهور أنه‬:‫قالت طائفة من أهل الحديث واالصول ان المدلس ال يحتج بروايته وان بين السماع‬
‫إذا بين السماع احتج به‬

“Berkata sekelompok ahlul hadits dan ushul, bahwa mudallis tidak dapat dijadikan hujjah
riwayatnya sekalipun dia telah menjelaskan mendengar dari gurunya. Namun yang benar
menurut jumhur adalah apabila dia telah menjelaskan mendengar dari gurunya maka
dapat dijadikan hujjah.”187

Pendapat jumhur yang kami pegang ini adalah pertengahan dari yang
beranggapan bahwa jika terdapat mudallis pernah melakukan tadlis sekali saja, maka
riwayatnya tertolak selamanya sekalipun dengan tashrih bissima’. Hal mana imam Asy
Syafi’i pernah menyatakan pendapat ini.188 Pendapat jumhur yang kami pegang ini berada
di pertengahan antara pendapat pertama dari Asy Syafi’i dan pendapat yang tidak
mengharuskan adanya tashrih bissima’. Hal mana Romli mengunggulkan pendapat ini.
Dengan alasan, bahwa imam Bukhori, Muslim dan imam hadits lainnya menshahihkan
mu’an’an para mudallis.

Kami tidak memilih pendapat pertama karena imam As Syafi’i sendiri menerima
riwayat mudallis yang pernah melakukan tadlis walaupun hanya sekali. 189 Dan kami tidak
memilih pendapat yang diunggulkan Romli karena jumhur mengharuskan tashrih
bissima’ pada mudallis agar riwayatnya diterima. Mu’an’an-nya mudallis diterima hanya
karena ada penguatnya dengan tashrih bissima’. Seperti yang ada pada kitab-kitab hadits
termasuk shahihain. Dan itu artinya sama saja si mudallis sedang tidak ‘an’anah,
sebagaimana yang telah kami jelaskan dalam Shahih Bukhori lewat penjelasan Ibnu
Hajar, Ibnu Sholah dan An Nawawi.

187
Al Majmu’ (2/157)
188
Imam As Syafi’I dalam kitabnya Ar Risalah menyebutkan,

‫ حدثني أو سمعت‬:‫ ال نقبل من مدلس حديثا حتى يقول فيه‬:‫ومن عرفناه دلس مرة فقد أبان لنا عورته في روايته… فقلنا‬

“Siapa yang kami ketahui pernah berbuat tadlis sekali saja, maka telah tampak bagi kami auratnya di
dalam riwayatnya… Kami pun mengatakan, bahwa kami tidak menerima satu hadits dari mudallis sampai
dia mengatakan, ‘telah mengatakan kepadaku’ atau ‘aku telah mendengar’.” (Ar Risalah, hal. hal. 379-380)
189
Imam As Syafi’i menyebutkan dan berhujjah dengan riwayat pentadlis bernama Ibnu Juraij yang
mu’an’an. (Ar Risalah, hal. 498, 890, 903). Juga riwayatnya Abu Az Zubair yang mu’an’an. (Ar Risalah, hal.
498, 889)
Syarat ini (mengharuskan tashrih bissima’ pada mudallis agar riwayatnya
diterima) dinyatakan pula oleh Ibnu Abdil Barr dalam catatan Al Hafizh As Sakhowi dan
pendapat ini dianggap kesepakatan ulama hadits.190 Abu Zar’ah juga menyatakan syarat
ini dalam catatan Abu Hatim Ar Rozi. 191 Dan dinyatakan pula oleh Imam Muslim dalam
Muqaddimah Shahih Muslimnya.192

Oleh sebab itu, kita seharusnya mengapresiasikan statemen Ibnu Hajar yang lalu,
yang menyatakan,

‫الثالثة من أكثر من التدليس فلم يحتج االئمة من أح||اديثهم اال بما ص||رحوا فيه بالسماع ومنهم من رد ح||ديثهم مطلق||ا‬
‫ومنهم من قبلهم كأبي الزبير المكي‬

“Tingkatan mudallis ketiga adalah mereka yang banyak melakukan tadlis. Para imam
tidak berhujjah dengan hadits-hadits mereka, kecuali dijelaskan bahwa mereka
mendengarnya dari syaikh mereka..”193

Sungguh aneh menurut kami, jika Romli nekad mengatakan pendapat para imama
hadits ini mustahil diterima karena bertentangan bahkan –kata Romli- sangat
bertentangan dengan imam Bukhori, Muslim, Tirmidzi dan lain-lain yang menuliskan
mu’an’an-nya pada mudallis. Romli belum memahami dengan baik menurut kami
mengapa diterima mu’an’an-nya para mudallis di kitab-kitab hadits. Dan barangkali dia
190
As Sakhowi menyatakan,

‫قول ابن عبد البر المدلس ال يقبل حديثه حتى يقول حدثنا أو سمعت فهذا ماال أعلم به خالفا وكأنه سلف النووي رحمه هللا في حكايته في‬
‫شرح المذهب االتفاق على أن المدلس ال يحتج بخبرة إذا عنعن‬

“Berkata Ibnu Abdil Barr bahwa mudallis tidak diterima haditsnya sampai dia mengatakan haddatsana
(berkata kepada kami) atau sami’tu (aku telah mendengar), dan aku tidak mengetahui adanya perselisihan
dalam hal ini. Sepertinya An Nawawi rahimahullah telah mendahului beliau dalam menceritakannya di
Syarh Al Muhadzzab akan kesepakatan bahwa mudallis tidak dapat dijadikan hujjah haditsnya apabila dia
‘an’anah.” (Fath Al Mughits, 1/186)
191
Abu Hatim Ar Rozi menuliskan,

‫سئل أبو زرعة عن مبارك بن فضالة فقال يدلس كثيرا فإذا قال حدثنا فهو ثقة‬

“Abu Zar’ah ditanya mengenai Mubarok bin Fadholah. Ia menjawab, ‘Dia banyak berbuat tadlis, namun
apabila dia mengatakan haddatsana (mengabarkan kepada kami) maka dia dapat dipercaya’.” (Al Jarh Wa
At Ta’dil, no. 1557)
192
Imam Muslim mengatakan,

‫ فحينئذ يبحثون عن سماع‬، ‫وإنما كان تفقد من تفقد منهم سماع رواة الحديث ممن روى عنهم إذا كان الراوي ممن عرف بالتدليس وشهر به‬
‫ كي تنزاح عنهم علة التدليس‬، ‫في روايته ويتفقدون ذلك منه‬

“Hanyasaja ulama hadits membahas sima’ (mendengarnya) para periwayat hadits dari periwayat yang
dikenal telah mentadlis dan ia masyhur sebagai mudallis. Saat itulah mereka membahas mengenai
mendengarnya para periwayat. Dengan harapan terjauhnya mereka dari kecacatan tadlis..” (Muqaddimah
Shahih Muslim, 1/32)
193
Muqaddimah Ta’rif Ahli At Taqdis Bimarotib Al Maushufina Bi At Tadlis
akan paham setelah penjelasan kami sebelumnya dengan contoh dari shahih Bukhori
yang lalu, termasuk kasus Abu Az Zubair Al Makki dalam Mizan Al I’tidal Adz Dzhabi
sebelumnya.

Kami rasa cukup pernyataan An Nawawi bahwa pendapat ini adalah pendapatnya
jumhur ulama hadits. Sehingga, sekalipun dalam masalah Abu Ishaq dia diriwayatkan
oleh Syu’bah yang menjamin selamatnya tadlis Abu Ishaq saat dia meriwayatkan darinya,
tetap saja kami tolak karena alasan syarat yang telah kami tetapi. Maksimalnya kami
menganggap bahwa pernyataan Syu’bah atas jaminan kebenaran dan keselamatan tadlis
Abu Ishaq saat dia yang meriwayatkan, itu mengandung makna saat Abu Ishaq tashrih
bissima’ dan bukan ‘an’anah.

Statemen kami berpijak pada apa yang telah disampaikan Al Hafizh Al Iraqi pada
bahasan lalu, bahwa Isroil yang mendengar Abu Ishaq saja setelah Abu Ishaq ikhtilath
(berubah hafalannya), apalagi Syu’bah yang Isroil lebih ditetapkan darinya. 194 Maka
persaksian Syu’bah atas amannya tadlis Abu Ishaq adalah saat Abu Ishaq tidak
meriwayatkan dengan ‘an’anah. Kita semua paham dari kitab-kitab ilmu hadits, bahwa
Syu’bah sangat kencang mengenai para pentadlis. Oleh karenanya, ia hanya memberikan
keamanan tadlis Abu Ishaq yang dia riwayatkan terbatas ketika Abu Ishaq tashrih
bissima’ dan tidak ‘an’anah. Hal ini dikuatkan dari kasus tadlis Abu Ishaq yang amat
nyata, yang dikeluarkan oleh Abu Ya’la dalam Musnadnya,

‫ عن النبي صلى هللا عليه و سلم بمثله‬: ‫حدثنا محمد بن بشار حدثنا عبد الرحمن حدثنا شعبة عن أبي إسحاق عن البراء‬
‫ ال‬: ‫ أسمعته من البراء ؟ قال‬: ‫ قلت ألبي إسحاق‬: ‫قال شعبة‬

“Berkata kepada kami Muhammad bin Basyar, berkata kepada kami Abdurrahman,
berkata kepada kami Syu’bah, dari Abu Ishaq, dari Al Barro’ dari Nabi Shallallahu
‘alaihi Wasallam yang semisalnya. Berkata Syu’bah, ‘Aku bertanya kepada Abu Ishaq,
apakah Anda mendengarnya dari Al Baroo’? Dia menjawab, ‘Tidak’.”195

Perhatikanlah baik-baik. Hadits mu’an’an Abu Ishaq ini tampak jelas tidak aman
dari tadlisnya. Padahal diriwayatkan oleh Syu’bah.! Makanya Syu’bah –sekalipun dia
memberikan keamanan tadlisnya dia- akan menanyakan Abu Ishaq apakah betul dia
mendengar dari gurunya yaitu Al Barro’. Dan kedapatan, Abu Ishaq tidak mendengar dari
gurunya. Makanya Syu’bah menuliskan ‘an Abi Ishaq ‘an Al Barro’ (dari Abu Ishaq dari
Al Barro’ bin ‘Azib).

194
Al Hafizh Al Iraqi menyatakan,

‫فقال ابن مهدى إسرائيل فى أبى إسحق أثبت من شعبة والثورى‬

“Ibnu Mahdi berkata, ‘Isroil dalam –meriwayatkan- Abu Ishaq lebih ditetapkan daripada Syu’bah dan Ats
Tsauri’.” (At Taqyid Wa Al Idhoh)
195
Musnad Abi Ya'la, no. 1718
Sikap Syu’bah yang bertanya tentang tashrih bissima’-nya Abu Ishaq, itu persis
yang dilakukan oleh periwayat Abu Az Zubair Al Makki yang lalu. Sehingga, tampak
jelas sudah, bahwa mudallis yang ‘an’anah bisa diterima haditsnya jika tashrih bissima’.

Mengenai Syu’bah yang memberikan keamanan tadlis Abu Ishaq saat dia yang
meriwayatkannya, memang harus dipahami bahwa itu saat Abu Ishaq tidak ‘an’anah. Ini
dibuktikan lagi dari statemennya Syu’bah sendiri mengenai salah satu dari tiga orang
yang dia katakan aman dari tadlis saat dia yang meriwayatkan.

Jika pernyataan Syu’bah sebelumnya : “Aku cukupkan bagi kalian tadlis dari tiga
orang; al A’masy, Abu Ishaq, dan Qatadah” [Ma’rifatu Sunan wal-Atsar lil-Baihaqiy, no.
29].”, dan itu ada dalam kitab Baihaqi yang disebutkan pada no. 29, maka perhatikanlah
dalam kitab yang sama, dinyatakan,

.‫ حدثنا وسمعت حفظته وإذا قال حدث فالن تركته‬: ‫ كنت أتفقد فم قتادة فإذا قال‬: ‫ وروينا عن شعبة أنه قال‬: ‫قال أحمد‬

“Imam Ahmad berkata, ‘Kami meriwayatkan dari Syu’bah bahwa dia berkata, ‘Aku
menelusuri ucapan Qotadah. Apabila dia mengatakan haddatsana (berkata kepada kami)
dan sami’tu (aku mendengar), maka aku menjaganya, dan apabila dia mengatakan ‘si
fulan berkata’ maka aku meninggalkannya’.”196

Perhatikanlah. Abu Ishaq dan Qotadah yang keduanya telah dijamin selamat
tadlisnya jika Syu’bah yang meriwayatkan, tapi faktanya Syu’bah tetap menanyakan
apakah mereka tashrih bissima’ atau tidak. Ini menunjukkan bahwa riwayat Syu’bah dari
Qotadah saja tidak aman kecuali dengan tashrih bissima’. Dan itu artinya, jika nanti
setelah Syu’bah bertanya kepada Abu Ishaq atau Qotadah dan Al A’masy tentang
pendengaran mereka bertiga dari gurunya, kemudian mereka menjawab telah
mendengarkan (sami’tu), maka otomatis Syu’bah akan menuliskan tashrih bissima’.
Syu’bah akan menuliskan misalnya, ‘haddatsana Abu Ishaq, sami’tu fulan..’ (Telah
menceritakan kepada kami Abu Ishaq, aku telah mendengar fulan..). Syu’bah tidak
mungkin menuliskan bahwa Abu Ishaq ‘an’anah jika Syu’bah telah mengecek betul Abu
Ishaq mendengar hadits dari gurunya. Sehingga, hadits dari Syu’bah yang dia sampaikan
‘an’anahnya Abu Ishaq, sudah barang tentu adalah belum aman dari tadlisnya Abu Ishaq.
Aman dari tadlis tatkala Syu’bah menyampaikan tashrih bissima’nya Abu Ishaq.

Bukit kuat ini, menjadikan kami berpegang kepada pendapat jumhur ulama hadits
yang Romli anggap sangat bertentangan dengan ulama hadits lainnya. Padahal jumhur
ulama hadits sangat bertentangan dengan Romli saja. Akhirnya, kami menolak riwayat
Abu Ishaq yang mu’an’an, karena dia seorang mudallis level tiga yang hadurs
diwaspadai. Sekalipun Ibnu Hajar punya pendapat,

. ‫ أنها إذا جاءت من طريق شعبة دلت على السماع ولو كانت معنعنة‬، ‫فهذه قاعدة جيدة في أحاديث هؤالء الثالثة‬
196
Ma’rifatu As Sunan Wa Al Atsar
“Ini kaedah yang bagus dalam hadits-hadits mereka bertiga. Bahwa jika datang dari jalur
Syu’bah maka itu menunjukkan sima’ walaupun mu’an’an.”

Kami tidak menguatkan pendapat Ibnu Hajar ini, karena ada bukti kuat bahwa
Syu’bah tetap akan meminta tashrih bissima’nya tiga orang yang dia jamin tadlisnya. Ini
alasan pertama kami menolak riwayat Abu Ishaq karena dia pentadlis dan dalam riwayat
Ibnu Umar ini dia meriwayatkan dengan ‘an’anah. Sampai dia menjelaskan mendengar
dari gurunya, baru diterimalah haditsnya. Dan penguatan Syu’bah tidak memengaruhi
tadlisnya Abu Ishaq, karena dia sendiri di bawah levelnya Isroil, juga kedapatan
meriwayatkan dari Abu Ishaq yang ditadlis, ditambah lagi dia masih memerlukan tashrih
bissima’ orang yang dia anggap aman tadlisnya. Selain itu, jika dijadikan hujjah riwayat
mudallis yang mu’an’an maka akan melanggar syarat dari jumhur ulama atas larangan
menerima pentadlis yang mu’an’an.

Alasan selanjutnya, bahwa Abu Ishaq adalah pentadlis yang banyak melakukan
tadlis. Sebagaimana pernyataan Ibnu Hajar yang lalu bahwa dia berada pada level tiga
dalam Thobaqot Mudallisin. Hal ini benar-benar membuat kami harus mengikuti syarat
dari jumhur ulama hadits untuk tidak menerima riwayatnya yang mu’an’an. Dan bagi
kami, orang yang mengatakan madzhab jumhur ulama hadits ini sangat bertentangan
dengan imam hadits yang membawakan mu’an’annya para mudallis, adalah tidak tepat
dengan alasan yang telah kami sampaikan. Yang mengatakan bertentangan itu –yaitu
Romli- akan kami kritik dengan catatan jumhur ulama hadits, juga Imam Muslim yang
lalu terhadap mudallis yang banyak bertadlis dan harus diperhatikan tashrih bissima’-nya.
Juga dari ulama lainnya, termasuk Ibnu Sholah.197

Alasan selanjutnya, Abu Ishaq yang banyak mentadliskan riwayat ini


meriwayatkan dari perowi yang diperselisihkan ketsiqqahannya. Dari lima jalur hadits
Ibnu Umar ini, Abu Ishaq meriwayatkan dari orang yang berbeda-beda. Jalur pertama dan
kedua dari Abdurrahman bin Sa’ad. Jalur ketiga dari Al Haitsam bin Hanasy. Jalur
keempat dari Abu Sa’id. Jalur kelima dari seseorang yang tidak disebutkan. Bahkan ada
yang diragukan karena ada yang satu jalur tapi gurunya Abu Ishaq berbeda. Dan ini telah
dijelaskan dalam ‘Ilal Daruquthni, yang itu juga menunjukkan hadits ini adalah
mu’allal.198
197
Ibnu Sholah dalam kitabnya menuliskan ucapan Ya’kub bin Syaibah As Sadusi,

‫سألت علي بن المديني عن الرجل يدلس أيكون حجة فيما لم يقل حدثنا قال إذا كان الغالب عليه التدليس فال حتى يقول حدثنا‬

“Aku bertanya kepada Ali bin Al Madini mengenai seseorang yang mentadlis, apakah dapat berhujjah
dengan haditsnya yang tidak dia sebutkan haddatsana (telah mengatakan kepada kami)? Beliau
menjawab, ‘Apabila dia banyak berbuat tadlis maka tidak boleh sampai dia mengatakan haddatsana (telah
mengatakan kepada kami)’.” (Al Kifayah Fi ‘Ilmi Ar Riwayah, hal. 362)
198
Disebutkan,
“Hadits itu diriwayatkan oleh Abu Ishaq As Sabi’i dan berbeda-beda di dalam -periwayatannya-.
Abu Bakar meriwayatkan dari Abu Ishaq dari Abu Sa'id dari Ibnu Umar.
Status mereka pun diragukan ketsiqqohannya. Termasuk Abdurrahman bin Sa’id
yang distiqqohkan sebagian dan dianggap tidak dikenal oleh ulama lain. 199 Adapun Al
Haitsam bin Hanasy sendiri adalah periwayat yang hanya diriwayatkan oleh Abu Ishaq
As Sabi’i saja, dan tidak ada yang lain. Sehingga dia menjadi majhul karenanya. 200 Dan
kemajhulannya tidak terangkat sampai dua orang atau lebih yang dikenal sebagai ahli
hadits meriwayatkan darinya.201 Adapun Abu Sa’id, kemungkinan dia adalah Abu Sa’id
bin Abi Karb, sebagaimana Abu Ishaq telah meriwayatkan darinya di Musnad Abu
Daud.202 Dan dia juga majhul.203

Oleh sebab itu, dalam hadits ini Abu Ishaq meriwayatkan dari guru yang berbeda-
beda yang tidak diketahui mana yang sebenarnya menyaksikan Ibnu Umar mengatakan
Ya Muhammad untuk mengobati kakinya yang mati rasa. Tidak tahu dari mereka mana
sebenarnya yang mengajari Ibnu Umar beristighotsah untuk menyebut orang yang paling
dicintai. Inilah akibat dari Abu Ishaq yang mukhtalath (berubah hafalannya). Bahkan

Ats Tsauri meriwayatkan dari Abu Ishaq dari Abdurrahman -maula Umar bin Khottob- dari Ibnu Umar.
Zuhair meriwayatkan dari Abu Ishaq dari Abdul Jabbar bin Sa'id dari Ibnu Umar.
Isroil meriwayatkan dari Abu Ishaq dari Ibnu Umar secara mursal, -karena di antaranya dengan Ibnu
Umar- adalah periwayat majhul.” (‘Ilal Ad Daruquthni, no. 3140)
199
Abdurrahman bin Sa’ad yang katanya menyaksikan kejadian Ibnu Umar, memang dinyatakan tsiqqah
oleh Ibnu Hibban dan An Nasai, sebagaimana dalam keterangan Ibnu Hajar. (Tahdzib At Tahdzib, no. 376)
Namun sebagian lain tak mengenalnya. Ad Duri menyatakan, “Aku mendengar Yahya berkata, ‘Hadits
yang mereka riwayatkan ‘kaki Ibnu Umar mati rasa’ periwayatnya adalah Abu Ishaq dari Abdurrahman bin
Sa’ad’. Dikatakan kepada Yahya, ‘Siapa Abdurrahman bin Sa’ad?’ Ia menjawab, ‘Aku tidak tahu’.” (Tarikh
Ibnu Ma’in, no. 2953)
200
Ibnu Sholah menuliskan,

‫المجهول عند أصحاب الحديث هو كل من لم يشتهر بطلب العلم في نفسه وال عرفه العلماء به ومن لم يعرف حديثه اال من جهة راو واحد‬
‫مثل عمرو ذي مر وجبار الطائي وعبد هللا بن أغر الهمداني والهيثم بن حنش ومالك بن اغر وسعيد بن ذي حدان وقيس بن كركم وخمر بن‬
‫مالك هؤالء كلهم لم يرو عنهم غير أبى إسحاق السبيعي‬

“Periwayat majhul menurut ulama hadits adalah setiap orang yang dikenal belajar ilmu hadits namun
ulama tidak mengenalnya, dan orang yang tidak diketahui haditsnya kecuali dari satu periwayat saja.
Seperti; Amru, Jabbar At Tho’i, Abdullah bin Aghor Al Hamdani, Al Haitsam bin Hanasy, Malik bin Aghor,
Sa’id bin Dzi Haddan, Qoyis bin Karkam, Khumru bin Malik. Mereka semua tidak diriwayatkan oleh orang
selain Abu Ishaq As Sabi’i.” (Al Kifayah Fi ‘Ilmi Ar Riwayah, hal. 88)
201
Ibnu Sholah mengatakan,

‫وأقل ما ترتفع به الجهالة أن يروى عن الرجل اثنان فصاعدا من المشهورين بالعلم‬

“Dan yang mengangkat kemajhulan adalah dua orang atau lebih yang dikenal sebagai ahli hadits
meriwayatkan dari seseorang. “ (Al Kifayah, hal. 88)
202
“Berkata kepada kami Salam dari Abu Ishaq dari Abu Sa’id bin Abi Karb dari Jabir berkata, aku
mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda, ‘Nerakalah bagi tumit-tumit -yang tidak kena
basuhan wudhu-‘,” (HR. Abu Daud. Musnad At Tholyalisi, no. 1797)
203
Biasa disebut tanpa Abu, dan cukup Sa’id bin Abi Karb. Periwayat ini juga terindikasi majhul. Al Hafizh
Adz Dzahabi menuliskan, “Berkata Ibnu Al Madini, ‘Dia majhul, tidak diriwayatkan selain Abu Ishaq As
Sabi’i.” Namun dikoreksi Adz Dzahabi, bahwa Sulaiman bin Kisan meriwayatkannya. Bahkan Abu Zar’ah
mentsiqqahkannya. (Mizan Al I’tidal, no. 3259)
ketidakjelasan Abu Ishaq mengatakan dari mereka mana yang lebih benar, tidak pula
menutup kemungkinan mereka terindikasi dho’if karena kemajhulannya. Ketiga guru
Abu Ishaq tersebut dinyatakan oleh sebagian ulama majhul sekalipun dua di antaranya
ditsiqqahkan sebagian ulama lain. Dan satu dari ketiganya yaitu Al Haitsam bin Hanasy,
belum kami ketahui ditsiqqahkan ulama. Sedangkan riwayat mudallis yang mentadlis
hadits tidak dari perowi tsiqqoh maka tertolak haditsnya.204

Belum lagi ditambah adanya warning dari ulama untuk tidak meriwayatkan hadits
dari salah seorang periwayat hadits Ibnu Umar ini. Yaitu Ali bin Al Ja’ad Al Jauhari.
Sekalipun termasuk perowi imam Bukhori, namun sebagian ulama menyatakannya
dho’if. Di antaranya Al ‘Aqili yang menyatakannya bagian dalam Ad Dhu’afaa’. 205 Adz
Dzahabi dalam Al Mughni Fi Adh Dhu’afaa’. 206 Juga dari Yahya bin Ma’in.207 Serta dari
imam Ahmad yang melarang menulis hadits darinya.208

Maka, dari studi ilmu hadits, kami memegang pendapat jumhur ulama hadits yang
menyatakan tertolaknya riwayat mudallis yang mu’an’an, termasuk Abu Ishaq As Sabi’i.
adapun dari studi pendekatan istimbath hukum, maka perlu diketahui, bahwa ada hadits

204
Al Hafizh As Sakhowi menuliskan,

‫وعزاه ابن عبد البر األكثر ائمة الحديث التفصيل من كان ال يدلس إال عن الثقات كان تدليسه عند أهل العلم مقبوال وإال فال‬

“Ibnu Abdil Barr menisbatkan kepada kebanyakan para imam hadits untuk merinci masalah ini. Yaitu,
siapa yang berbuat tadlis kecuali dari periwayat tsiqqah maka tadlisnya menurut ulama diterima. Tapi
kalau sebaliknya, maka tidak diterima.” (Fath Al Mughits)
205
No. 1225
206
Beliau mengatakan,

‫علي بن الجعد الجوهري حافظ ثبت ودعه مسلم فلم يخرج له في الصحيح ألنه فيه بدعة قال مرة من قال القرآن مخلوق لم أعنفه قال مسلم‬
‫ثقة ولكنه جهمي‬

“Ali bin Al Ja’d Al Jauhari, hafizh tsabat. Muslim meninggalkannya dan tidak mengeluarkan riwayatnya
dalam kitab shahih-nya. Karena padanya ada kebid’ahan, bahwa dia pernah berkata, ‘Siapa yang
mengatakan Al Qur’an itu makhluk maka aku tidak tegas memperlakukannya’. Berkata Muslim, ‘Dia
tsiqqah, akan tetapi berpaham jahmiyah.” (Al Kasyif Fi Ma’rifati Man Lahu Riwayah Fi Al Kutub As Sittah,
no. 3888)
207
Ketika ditanya mana yang lebih ditetapkan antara Abu An Nadhor atau Ali bin Al Ja’ad, Yahya bin Ma’in
menjawab,
‫خرب هللا بيت علي إن كان في الثبت مثل أبي النضر‬

“Semoga Allah merobohkan rumah Ali jika dia dalam ketsubutan (penetapan hadits) sama dengan Abu An
Nadhor.” (Al Kamil Fi Adh Dhu’afaa’, Ibnu ‘Adi, no. 1367)
208
Ibnu ‘Adi menuliskan

‫وقد كتب عنه عبد هللا بن احمد بن حنبل بأمر أبيه احمد نهاه ان يكتب عن علي بن الجعد وأمره بالكتابة عن يحيى بن عبدويه‬

“Abdullah bin Ahmad bin Hanbal diperintahkan ayahnya, bahwa beliau melarangnya menuliskan hadits
dari Ali bin Al Ja’ad, dan memerintahkan menuliskan dari Yahya bin Abdawaih.” (Al Kamil Fi Adh Dhu’afaa’,
no. 2110)
yang dinyatakan shahih tapi tidak diamalkan. Dan ini, buatlah mu’an’an-nya Abu Ishaq
kali ini diterima, maka pemahaman terhadap hadits yang mereka bawakan tidak serta
seperti yang diriwayatkan.

Kita berikan contoh dari riwayat yang dinyatakan bersih dari kecacatan -artinya
shahih atau hasan- namun memberikan pemahaman keliru. Riwayat tersebut bahkan dari
Abu Ishaq As Sabi’i juga. Dalam Sunan Abu Daud disebutkan,

‫َح َّد َثَنا ُمَحَّم ُد ْبُن َك ِثيٍر َأْخ َبَر َنا ُس ْفَياُن َع ْن َأِبي ِإْس َح َق َع ْن اَأْلْس َوِد َع ْن َعاِئَشَة َق اَلْت َك اَن َر ُس وُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْي ِه َو َس َّلَم‬
‫َيَناُم َو ُهَو ُج ُنٌب ِم ْن َغْيِر َأْن َيَم َّس َم اًء َقاَل َأُبو َداُو د َح َّد َثَنا اْلَحَس ُن ْبُن َع ِلٍّي اْلَو اِس ِطُّي َق اَل َس ِم ْع ُت َيِز ي||َد ْبَن َه اُروَن َيُق وُل‬
‫َهَذ ا اْلَحِد يُث َو ْهٌم َيْع ِني َحِد يَث َأِبي ِإْس َح َق‬

“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Katsir, telah mengabarkan kepada
kami Sufyan, dari Abu Ishaq, dari Al Aswad, dari Aisyah dia berkata, ‘Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi Wasallam pernah tidur sedang beliau dalam keadaan junub, tanpa
menyentuh air (wudhu)’. Abu Dawud berkata, ‘Telah menceritakan kepada kami Al
Hasan bin Ali Al Wasithi dia berkata, ‘Saya mendengar Yazid bin Harun mengatakan,
‘Hadits ini wahm, yakni hadits Abu Ishaq.”

Perhatikan baik-baik riwayat mu’an’an-nya Abu Ishaq ini. Statusnya adalah


shahih –karena memang ada penguatnya-. Tapi lilhatlah wahm-nya Abu Ishaq. Terserah
mau diartikan apa makna wahm itu. Yang jelas wahm adalah pertimbangan yang salah
tentang hadits di atas.

Ibnu Hajar Al Asqolani pun turut menjelaskan riwayat tersebut. Kata beliau,

‫وقال بن مفوز أجمع المحدثون على أنه خطأ من أبي إسحاق كذا قال وتساهل في نق|ل اإلجماع فق|د ص|ححه ال|بيهقي‬
‫وقال إن أبا إسحاق قد بين سماعه من األسود في رواية زهير عنه‬

“Berkata Ibnu Mafuz, ulama hadits sepakat bahwa riwayat tersebut kesahalan dari Abu
Ishaq. Seperti ini yang dia katakan, namun dia menggampangkan dalam mengutip ijma’.
Al Baihaqi saja telah menshahihkan riwayat -Abu Ishaq tersebut- dan berkata,
‘Sesungguhnya Abu Ishaq telah menjelaskan pendengarannya dari Al Aswad dalam
riwayat Zuhair darinya.”209

Dari keterangan ini tampak jelas bahwa hadits Abu Ishaq yang mu’an’an baru
bisa diterima dengan penguat. Selain itu, hadits ini tidak bisa dipahami sebagaimana
zohirnya, sekalipun dia shahih. Karena maknanya harus dipahami dengan baik dan
dikolerasikan dengan hadits yang lain.

Oleh sebab itu, hadits Ibnu Umar yang berkata ‘Ya Muhammad’ yang diklaim
meminta dengan tawassul kepada Nabi yang telah wafat, maka boleh jadi termasuk
wahm-nya Abu Ishaq. Berdasarkan pengalaman di atas, maka riwayat ‘Ya Muhammad’
209
Talkhis Al Habir Fi Ahadits Ar Rofi’i Al Kabir, no. 187
bisa dikatakan wahm-nya Abu Ishaq, bahkan gholat atau khotho’ nya Abu Ishaq. Seperti
ucapan imam Tirmidzi yang mengomentari hadits di atas, “Ulama hadits memandang
bahwa riwayat tersebut adalah gholath (kesalahan) dari Abu Ishaq.”210

Mengenai riwayat Ibnu Umar, pemahamannya pun juga tidak terlepas dari adanya
gholath, sekalipun dinilai shahih. Baik gholath karena prakteknya yang tidak jelas;
apakah itu tawassul atau tidak. An Nawawi menyebutkan dalam Al Majmu’nya,

‫وإذا خدرت رجله ذكر من يحبه‬

“Kalau kakinya mati rasa, ucapkan orang yang dia cintai.”211

Dari keterangan ini, prakteknya adalah tidak selamanya mengucapkan nama orang
yang paling dicintai yaitu Nabi. Tapi cukup menyebutkan nama orang yang dia cinta dan
sayangi. Sehingga dipahami bahwa ini hanya kebiasaan masyarakat saja yang tidak ada
hubungannya dengan tawassul istighotsah. Coba pikirkan jika cara pengobatan ini
dimaknai istighotsah. Apa jadinya kalau yang dicintai itu adalah orang yang tidak
bertakwa, atau orang orang yang masih belum mengerti ajaran Islam dengan baik.
Buatlah sang buah hati yang amat dicintai. Ketika kakinya mati rasa kemudian
menyebutkan nama anaknya yang dia cintai, apakah itu istighotsah..?

Ada kalimat yang baik menurut kami dari Syaikh Fadhlullah Al Jailani. Dan kami
tidak peduli apakah Romli akan membenarkannya. Karena Romli dkk sepertinya akan
selamanya mengatakan ‘Wahhabi si tanduk setan’ kepada para setiap alim kontemporer
yang tidak sependapat dengannya. Yang jelas kata beliau,

‫ وإنما‬،‫ وال يت||وهم أنه لالس|تعانة أو االس|تغاثة‬،‫وعلى كل ح|ال فص|ورة النداء في بعض الرواي||ات ليس على حقيقت||ه‬
‫ وذكر المحبوب يسخن القلب وينش|طه فيذهب انجماد ال|دم فيج|ري في‬،‫المقصود إظهار الشوق وإضرام نار المحبة‬
‫ والخطاب قد يكون ال على إرادة اإلسماع‬،‫ وهذا هو الفرح‬،‫العروق‬

“Bagaimanapun, bentuk panggilan di sebagian riwayat-riwayat bukanlah bermakna


hakiki. Sehingga tidak bisa disangka bahwa –panggilan Ya Muhammad- itu adalah untuk
isti’anah dan istighotsah. Karena maksudnya adalah menampakkan rasa rindu dan api
cinta yang membara. Maka disebutlah orang yang dicintai yang akan membuat hangatnya
hati dan merasakan riang gembira. Akhirnya darah yang semula membeku berangsur
lenyap dan kembali mengalir di peredaran darah. Inilah efek dari rasa gembira.
Memanggil –nama mereka yang dicintai- tidak selamanya bermaksud untuk mereka
dengar.”212

Dari keterangan Syaikh Al Jailani dan An Nawawi ini, tampak jelas bahwa hal
tersebut sekadar tips menyembuhkan kaki yang mati rasa, keram, kebas, atau yang
210
Talkhis Al Habir Fi Ahadits Ar Rofi’i Al Kabir, no. 187
211
Al Majmu’ (4/652)
212
Fadhlullah As Shomad Fi Taudhih Al Adab Al Mufrod (2/429)
semisalnya, yang sering dialami orang-orang. Dan sekali lagi, tidak ada kaitannya dengan
tawassul istighotsah.

Perhatikan sya’ir Arab yang pernah dituliskan Ibnu Jarir Ath Thobari (w. 310 H)
dalam tafsirnya, surat Al A’rof ayat ke: 5.

‫ ِبَد ْع َو اِك ِم ْن َم ْذ ٍل ِبَها َفَيُهوُن‬...‫َو ِإْن َم ِذ َلْت ِر ْج ِلي َدَعْو ُتِك َأْش َتِفي‬

“Dan jika kakiku mati rasa (kebas) akan aku sebut engkau untuk memulihkanku…
Dengan menyebutmu, yang tadinya kebas akan berubah perlahan-lahan berjalan
kembali.”213

Tampaknya sudah cukup jelas bahwa teori menghilangkan rasa kebasnya kaki
yang dilakukan Ibnu Umar dan orang-orang kala itu bukan bermakna tawassul
istighotsah. Perhatikan dhomir (kata ganti) yang ada pada sya’ir di atas ‘Da’autuki
asytafi’. Ia ditujukan kepada mukhotob (lawan bicara) Anti (kamu perempuan satu orang).
Artinya, saat itu yang disebut namanya adalah seorang wanita yang dicintai untuk
menghadirkan rasa cinta dan sayangnya hingga ia kembali bersemangat dan akhirnya
kebas atau mati rasa yang dia rasakan pun berangsur hilang.

Saudara kami Romli, sudah saatnya Anda tidak berdalil dengan hadits Ibnu Umar
ini untuk melegalkan istighotsah tawassul dengan Nabi yang telah wafat. Karena menurut
kami, Anda atau teman-teman lainnya tidak mungkin beristighotsah dengan menyebut
nama istri, anak atau keluarga yang dicintai. Dan tidak mungkin pula Anda menyangka
para salaf yang berbuat hal itu adalah sedang beristighotsah. Ini adalah kesalahan besar
yang amat nyata.

---***---

Saudara kami Romli sang penulis Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi. Kami
akui memang betapa pintarnya Anda mendebat Ahlus Sunnah yang Anda anggap sebagai
Wahhabi. Perdebatan Syaikh Salim di Melbourne Australia mengenai hadits Ibnu Umar
ini pun juga cukup pintar. Namun kami perlu balik bertanya atau anggaplah mendebat
Anda berdua mengenai riwayat Ibnu Umar ini. Jika Anda wahai saudara Romli dan
Syaikh Salim yang mendebat Abdurrahman Dimasyqiyat waktu lalu di satu kampus
ternama Australia, dan saat itu Abdurrahman tidak bisa menjawab dengan ilmiyah dan
akhirnya Anda dan Syaikh Salim menjatuhkan pendapat Ahlus Sunnah, maka bagaimana
jika kami balik mendebat.

Kami mau bertanya dengan Anda dan Syaikh Salim. “Buatlah kita anggap besama
riwayat Ibnu Umar tersebut adalah hadits hasan lighoirih atau malah shahih karena sebab-
sebab yang Anda sebutkan sesuai ilmu hadits yang Anda unggulkan. Tapi kami tidak

213
Jami' Al Bayan Fi Takwil Al Qur’an (12/304)
setuju bahwa maknanya adalah tawassul istighotsah. Kami memandang ucapan Ibnu
Umar ‘Ya Muhammad’ sampai kaki beliau sembuh, adalah pengobatan untuk
menghadirkan rasa cinta yang mendalam dan akhirnya kaki yang kebas dan mati rasa
akhirnya sembuh dengannya. Tidak ada istighotsah di situ.”

Misalnya Anda wahai saudara Romli dan Syaikh Salim menjawab, “Sudah jelas
orang yang dipanggil Ibnu Umar adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam yang
telah wafat. Panggilan itu tentu adalah memohon kepada Allah agar disembuhkan
kakinya dengan wasilah Nabi Muhammad. Dan buktinya kaki beliau sembuh. Ini jelas
sekali adalah istighotsah.”

Maka kami akan kembali bertanya, “Kami memandang bahwa yang dipanggil
bukan orang yang paling dicintai dalam arti kata Nabi kita Muhammad. Karena yang
paling dicintai adalah Allah. Sekalipun perintahnya menggunakan kata ‘udzkur man
ahabbaka’ (sebutkan siapa yang paling kau cintai). Dan untuk Allah, dalam Al Qur’an
dan Hadits juga biasa pakai kata ‘man’ (siapa) untuk Allah. Sebab itu orang yang
dipanggil tidak selamanya orang yang paling dicintai dalam arti Rasulullah Shallallahu
‘alaihi Wasallam. Sehingga, ayah dan ibu, serta anak dan istri juga boleh dipanggil dalam
menyembuhkan kaki yang mati rasa itu. Apa kamu setuju?”

Jika Anda wahai Romli dan Syaikh Salim menjawab, “Kami tidak setuju pendapat
kalian wahai Wahhabi tanduk setan. Karena ini adalah istighotsah dengan tawassul
kepada Nabi Muhammad. Tidak bisa mereka kami panggil namanya untuk istighotsah
sekalipun mereka keluarga yang kami cintai. Jadi maknanya tetap memanggil nama Nabi
Muhammad untuk ditawassuli dalam beristighotsah.”

Kami akan mengatakan lagi, “Kalau begitu, bagaimana kalau ternyata para
salafussholeh menyebutkan nama istri mereka cintai saat terkena mati rasa pada kaki
seperti Ibnu Umar?”

Kalau misalnya Romli dan Syaikh Salim menjawab, “Berarti itu bukan
istighotsah, itu memanggil istrinya untuk dibantu agar kakinya lekas sembuh.”

Maka kami akan menjawab, “Anda wahai Romli dan Syaikh Salim silahkan
perhatikan jawaban kami. Anda berdua keliru menganggap perbuatan mereka yang sama-
sama memanggil nama istri yang mereka cintai untuk menyembuhkan kaki meerka yang
mati rasa. Baiklah. Romli dan Syaikh Salim, Anda berdua telah mengutip dari kitab
hadits Ibnu As Sunni ‘Amal Al Yaum wa Al Lailah’. Bahkan dari satu kitab itu aja Anda
mendapatkan tiga jalur yang berbeda riwayat Ibnu Umar itu. Jalur kedua dari Zuhair, no.
172. Jalur ketiga dari Isroil, no. 170. Jalur keempat dari Abu Bakar bin ‘Ayyasy, no. 168.
Kami akan beritahu Anda wahai saudara Romli dan Syaikh Salim, bahwa Ibnu Sirin
rohimahullah dan para salaf lainnya, mereka menyebut ucapan wanita yang mereka
cintai; istri atau anak putri atau entah siapa dia. Kalau Anda ingin tahu, kami akan
sampaikan hadits ke 171. Hadits di urutan yang Anda loncati.

Disebutkan bahwa Ibrohim bin Al Mudzir Al Hizami berkata mengenai penduduk


Madinah yang kagum atas keindahan bait-bait sya’ir Abu Al ‘Atahiyah yang berbunyi,

‫ فإن لم يقل يا عتب لم يذهب الخدر‬... ‫وتخدر في بعض األحايين رجله‬

“Di suatu waktu, kakinya mati rasa... Dan jika ia tidak mengucapkan ‘Wahai Utbi’, tidak
hilanglah sakitnya.”

Masih dalam kitab yang sama dan di nomor yang sama, Ibnu As Sunni
menceritakan, bahwa Muhammad bin Ziyad meriwayatkan dari Shodaqoh bin Yazid Al
Juhni dari Abu Bakar Al Hudzli, ia berkata, “Aku menemui Muhammad bin Sirin
sedangkan kedua kakinya kebas mati rasa. Kami pun meletakkan kedua kakinya di air,
dan beliau pun mengucapkan,

‫ فناديت لبنى با سمها ودعوت‬... ‫إذا خدرت رجلي تذكرت قولها‬

‫ أللقيت نفسي نحوها فقضيت‬... ‫دعوت التي لو أن نفسي تطيعني‬

“Jika kakiku mati rasa, aku pun mengingat ucapan dia (istriku)... Kemudian aku panggil
dengan menyebutkan namanya, dan aku betul memanggilnya.

Aku memanggil dia yang jika nafsuku menurutiku... Niscaya aku temui nafsuku ada di
hadapannya, dan aku tunaikan keinginanku.”

Aku (Al Hudzli) pun bertanya, ‘Wahai Abu Bakar, Anda melantunkan sya'ir
seperti itu?’ Beliau menjawab,

‫يالكع وهل هو إال كالم حسنه كحسن الكالم قبيحه كقبيحه‬

“Hai bung, tidaklah itu kecuali bahwa sya’ir yang indah adalah ucapan yang baik, dan
sya’ir yang buruk adalah ucapan yang buruk pula.”

Wahai Romli dan Syaikh Salim. Apakah kalian masih meyakini bahwa menyebut
nama orang yang dicintai saat kakinya mati rasa adalah bentuk istighotsah?! Apakah
Romli dan Syaikh Salim akan tetap nekad menyangka Ibnu Sirin beristighotsah dengan
menyebut nama istrinya saat kakinya mati rasa?!”

Jika Anda berdua mulai kebingungan menjawabnya, atau akan menjawabnya


dengan banyak menelaah dulu dari kitab sakti kalian dari tulisannya Syaikh Dahlan,
Syaikh As Saqof, Syaikh Al Jufri, Syaikh Ibnu ‘Alwi Al Maliki Al Hasani dan seluruh
ulama Hadhromaut, maka tidak apa-apa. Itu baik sekali. Dan kalau begitu, sekalian kami
akan menanyakan lagi, “Riwayat Ibnu Sirin yang kami tampilkan di urutan ke 171.
Sedangkan Anda wahai Romli mengutip di urutan ke, 168. 170, 172. Kenapa Anda tidak
tampilkan riwayat ke 171 yang berada di tengahnya? Kami berhusnuzhon bahwa riwayat
Ibnu Sirin telah Anda baca. Apa karena isinya tidak mendukung riwayat yang Anda kutip
sehingga tidak diikutsertakan? Kepintaran seperti itukah cara Anda mendebat Wahhabi,
sampai-sampai Anda membuat judulnya ‘Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi’?”

Astaghfirullah. Kami meminta maaf kepada Anda berdua jika memang tidak bisa
menjawab atau enggan menjawab pertanyaan kami. Karena terusterang, kami heran
dengan pemahaman Anda berdua tentang riwayat Ibnu Umar yang menyebut Ya
Muhammad untuk kesembuhan kakinya. Sudah jelas sekali itu ada di kumpulan hadits
yang membicarakan tips dari kasus yang dialami salaf, seperti Ibnu Sirin dan Ibnu Umar
yang sama-sama kakinya mati rasa. Kami heran, pemahaman kelompok mana yang
menyatakan ini adalah istighotsah..!! Parahnya, rekaman video pengajian Romli yang
sempat kami simak, dengan menggebu-gebu riwayat Ibnu Umar ini disampaikan Romli,
dan mengatakannya adalah istighotsah. Dan tak lupa, memvonis Wahhabi si tanduk setan
mensyirikkan Ibnu Umar karena perbuatan itu.

Kami pun tak lupa atas keunikan kisah yang sudah Romli tulis di BPBDW
tentang Syaikh Salim yang berdebat di universitas Australia itu. Romli menceritakan :
Syaikh Salim memperlihatkan naskah kitab al-Kalim al-Thayyib karangan Ahmad
binTaimiyah al-Harrani, panutan kaum Wahhabi yang mereka sebut Syaikhul Islam. Di
mana dalam kitab tersebut Ibn Taimiyah menyebutkan hadits Ibn Umar di bawah judul,
“Bab yang diucapkan seseorang ketika kakinya mati rasa”. Naskah ini dicetak oleh kaum
Wahhabi dan dikoreksi oleh Nashiruddin al-Albani, pemimpin mereka yang kontradiktif,
yang menganggap perbuatan Ibn Umar itu syirik dan menentang tauhid.

Maka kami jawab sebagaimana yang telah Anda pahami dari tulisan kami di atas.
Kitab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tidak mengajarkan doa tawassul kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi Wasallam. sekalipun beliau beri judul Al Kalim At Thoyib yaitu
“Ucapan yang bagus”. Ucapan yang bagus tidak usah Anda tafsirkan sesuai selera Anda
sehingga menjadi “Wirid tawassul untuk istighotsah yang bagus”. Jadi, “Bab yang
diucapkan seseorang ketika kakinya mati rasa” adalah benar berdalil dengan hadits Ibnu
Umar itu. Tapi pemahamannya adalah seperti yang ada pada kisah Ibnu Sirin yang itu
satu pembahasan dalam kitab ‘Amal Al Yaum wa Al lailah Ibnu As Sunni. Dan memang
yang diucapkan adalah mengucapkan nama-nama orang yang kita cintai, termasuk anak
dan istri. Tidak ada hubungannya dengan tawassul istighotsah. Kecuali Syaikh Salim dan
Romli sudah kebingungan dan tetap menganggap salaf beristighotsah dengan menyebut
nama istrinya ketika kaki mereka mati rasa.

Adapun Syaikh Al Albani menganggap musyrik adalah jika menjadikan kata Ya


Muhammad untuk tawassul istighotsah yang mencacatkan aqidah. Dan bukan Ibnu
Umar-nya. Karena yang beliau maksud adalah yang beramal menggunakan ucapan beliau
‘Ya Muhammad’ namun tujuannya tidak seperti Ibnu Umar. Jadi, sama-sama
mengucapkan Ya Muhammad, tapi maksud Ibnu Umar dan maksud Romli besama
Syaikh Salim adalah saling berbeda. Ibnu Umar maksudnya tidak istighotsah, tapi Romli
dan Syaikh Salim bermaksud istighotsah.

---***---

Kembali ke perdebatan di Melbourne Australia tadi. Romli menceritkan lagi :

Mendengar pertanyaan tersebut, Dimasyqiyat menjadi gagap. Ia tidak menjawab


pertanyaan. Tetapi beralih pada tema-tema lain. Lalu Syaikh Salim mengingatkan kepada
hadirin, bahwa Dimasyqiyat menghindar dari jawaban. Kemudian Syaikh Salim
mengulangi pertanyaannya yang tadi dengan pertanyaan tambahan. Yaitu riwayat hadits
seorang tuna netra yang diajari oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam agar
berdoa,“Ya Muhammad, sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada
Tuhankudengan perantara dirimu.” Hal ini agar dilakukan bukan di hadapan Rasul
shallallahu alaihi wasallam. Hadits ini shahih, riwayat al-Thabarani dan lainnya. Al-
Thabarani dan lainnya juga menilainya shahih.

Syaikh Salim berkata: “Apakah Anda berasumsi wahai Abdurrahman, bahwa


Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah mengajarkan kesyirikan, dan bahwa sahabat
yang menjadi perawi hadits tersebut serta al-Imam al-Thabarani mengajarkan kesyirikan?
Jelas ini tidak mungkin”. Mendapat pertanyaan tersebut, tampak sekali Abdurrahman
Dimasyqiyat lemah, di mana moderator mengingatkan bahwa ia berupaya beralih dari
jawaban, dan kelemahannya jelas sekali.

Syaikh Salim mengulangi menyebut hadits laki-laki tuna netra tersebut yang
isinya, “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan menghadapkan diriku
kepada-Mu dengan perantara Nabi-Mu, Muhammad, nabi pembawa rahmat”, serta
menyebutkan para hafizh yangmenilainya shahih. Ternyata Abdurrhman Dimasyqiyat
juga mengakui bahwahadits tersebut shahih.

Lalu Syaikh Salim berkata: “Bagaimana kalian melarang manusia bertawassul


dengan Rasul shallallahu alaihi wasallam bukan di hadapannya, padahal Rasul shallallahu
alaihi wasallam telah mengajarkan laki-laki tuna netra tadi untuk bertawassul dengan
beliau bukan di hadapannya? Apakah kalian akan mencabut keyakinan kalian. Atau
kalian mengira bahwa kalian lebih pandai dari pada Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam.”

Mendengar pertanyaan tersebut, Wahhabi yang berperilaku aneh itu kebingungan.


Ia kemudian berbicara banyak, tetapi tidak berkaitan dengan topik pertanyaan.
Kemudian Syaikh Salim mengulangi pertanyaannya, serta mengingatkan hadirin
bahwa Dimasyqiyat melarikan diri dari jawaban.

Pembahasan ini insya Allah beberapa hari lagi saya kirim


yah……………… Ada kesibukan juga… tapi Alhamdulillah sudah
pernah membahasnya.. ^_^

Anda mungkin juga menyukai