Anda di halaman 1dari 6

METODE MEMAHAMI NASH SIFAT ALLAH

Bagian 2

( Madzhab Jumhur Salaf dan Madzhab Asy’ariyyah )

Setelah bagian pertama tentang Asy’ariyyah yang menyebut Ahlus Sunnah


sebagai Musyabbihah, yang memang hal itu keniscayaan yang berasal dari Jahmiyah,
maka di bagian kedua ini –sesuai yang kita sampaikan sebelumnya- akan membuktikan
bahwa metode Takwil terhadap nash sifat Allah yang diusung oleh Asy’ariyyah bukanlah
madzhabnya Ahlus Sunnah dari para Jumhur Salafus Sholeh.

Semua kita berhak mengaku mengikuti madzhab Jumhur Salafus Sholeh, karena
memang wajib mengikuti madzhab mereka. Namun, karena masalah satu ini seakan
memanas di tengah kaum Muslimin, kita akan buktikan bahwa yang mengikuti Jumhur
Salafus Sholeh adalah Ahlus Sunnah dan bukan Asy’ariyyah.

Dengan banyaknya catatan dari para ulama tentang perbedaan madzhab dalam
menyikapi nash sifat Allah ini, di bagian dua ini, kami akan focus kepada catatan
pembagian madzhab tersebut dari Ibnu Hajar Al Asqolani Asy Syafi’i yang terkenal
bahwa beliau Asy’ariyyah dalam Fathul Bari-nya, dan dari Ibnu Rojab Al Hambali yang
terkenal sebagai ulama Hambali yang pemahamannya sesuai dengan aqidahnya imam
Ahmad bin Hambal dan membela aqidah Ahlus Sunnah Hambali dari ulama Hambali
yang terwarnai paham Asy’ariyyah semacam Ibnul Jauzi Al Hambali. Dari pembagian
madzhab mengenai masalah ini, kita akan mengetahui siapa yang sebenarnya Ahlus
Sunnah Wal Jama’ah pengikut para Imam dan Jumhur Salaf.

Pertama. Ibnu Rojab Al Hambali (w. 795 H) membagi ada tiga madzhab
mengenai masalah ini. Kata beliau, “Ahli hadits dalam menyikapi sifat nuzul Allah
(turunnya Allah ke langit dunia) terbagi menjadi tiga kelompok : (1) Menjadikan sifat
nuzul itu termasuk perbuatan yang bisa dipilih Allah dan dilakukan sekehendak-Nya...
Dan Allah turun dengan Dzat-Nya... (2) Mengatakan bahwa sesungguhnya sifat nuzul
Allah yang dimaksud adalah nuzul rahmat-Nya. Di antara mereka ada yang mengatakan,
‘Itu adalah penghadapan Allah kepada hamba-Nya serta curahan rahmat dan ihsan
kepada hamba-Nya’. Akan tetapi mereka menolak pengkhususan di langit dunia saja. Ini
adalah satu macam dari Takwil terhadap ayat-ayat sifat... (3) Bahwa nuzul Allah
ditetapkan sebagaimana yang diriwayatkan. Tidak mengira-ngira apa yang diriwayatkan.
Meniadakan kaifiyah (tatacaranya). Dan memahami bahwa nuzul Allah Ta’ala bukan
seperti nuzulnya makhluk. Dan inilah pendapatnya para Imam-imam Salaf.” (Fathul Bari,
6/534-535, Daar Ibnul Jauzi)
Sangat jelas, bahwa metode Takwil bukanlah yang dipakai para imam Salaf,
karena mereka tidak mentakwilnya, tidak menyatakan caranya, dan tidak
menyerupakannya dengan makhluk. Takwil ada di madzhab kedua, dan imam Salaf di
madzhab ketiga.

Kedua. Ibnu Hajar Al Asqolani Asy Syafi’i (w. 852 H) menyatakan ada enam
madzhab. Kata beliau, “Diperselisihkan mengenai makna nuzul menjadi beberapa
pendapat: (1) Membawanya kepada Zhahirnya dan Hakikatnya, mereka adalah
Musyabbihah. Allah Maha Tinggi dan Suci dari pendapat mereka. (2) Mengingkari
hadits-hadits yang datang mengenainya secara keseluruhan, mereka adalah Khowarij dan
Mu’tazilah. Hal tersebut adalah dosa besar. Dan mengherankan lagi bahwa mereka
mentakwil yang ada dalam Al Qur’an yang semisal dengannya, tapi mengingkari yang
ada dalam Al Hadits. Baik karena bodoh, atau karena memang mengingkari. (3)
Membawanya –sesuai- kepada apa yang diriwayatkan, dan mengimaninya secara global,
serta mensucikan Allah Ta’ala dari kaifiyah (bagaimana caranya) dan dari tasybih
(menyamakan dengan makhluk). Mereka adalah Jumhur Salaf, yang disampaikan oleh
Baihaqi dan selainnya dari Imam Empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad), dari
dua Sufyan dan dua Hammad, dari Al Auza’i, Al Laits, dan dari selain mereka. (4)
Mentakwil kepada sesuatu yang pantas dan dipakai dalam ucapan Arab. (5) Berlebihan
dalam mentakwil sampai-sampai hampir keluar kepada tahrif (penyelewengan makna).
(6) Merinci antara ada yang dengan Takwil qorib (dekat) dan dipakai dalam ucapan Arab,
dan dengan Takwil ba’id (jauh) dan tidak terpakai. Sebagian ditakwil, dan sebagian lain
di-tafwidh (menyerahkan maknanya). Pendapat ini diriwayatkan dari Malik, dan
dipegang oleh mutaakhirin seperti Ibdu Daqiq al ‘Id. Berkata Baihaqi, ‘Yang lebih
selamat adalah mengimani tanpa kaif (menyatakan caranya) dan berdiam terhadap murod
(maksud/makna) kecuali yang datang dari As Shodiq (Nabi) sehingga ada maknanya.
Dalil statemen ini adalah kesepakatan para ulama bahwa takwil mu’ayyan (takwil yang
menentukan) tidaklah wajib. Sehingga tafwidh adalah lebih selamat’. Akan ada tambahan
penjelasan mengenainya di Kitab Tauhid Insya Allah Ta’ala.” (Fathul Bari, hadits
Yanzilu Rabbuna, no. 1077)

Dari catatan Ibnu Hajar terlihat jelas bahwa metode Takwil bukanlah metode
yang dipakai Jumhur Salaf. Karena manhaj Jumhur Salaf di urutan ketiga, sedangkan
para pentakwil di urutan setelahnya yaitu; ke-empat, atau bahkan kelima, dan mungkin
kebanyakan juga yang ke-enam. Beliau bahkan mengulangi pembagian madzhab ini,
tepat setelah catatan di atas. Lanjut beliau,

‫وقال بن العربي حكى عن المبتدعة رد هذه األحاديث وعن السلف امرارها وعن قوم تأويلها وبه أقول‬

“Berkata Ibnul Arobi, ‘Diceritakan dari –sikapnya- pelaku bid’ah adalah menolak hadits-
hadits ini (sifat Allah), sedangkan para Salaf adalah imror (melalui apa adanya), dan
suatu kaum mentakwilnya, dan aku berpendapat dengannya’.” (Fathul Bari, hadits
Yanzilu Rabbuna, no. 1077)

Artinya, madzhab pertama adalah pelaku bid’ah. Mereka adalah Khowarij,


Mu’tazilah dan Jahmiyah. Sedangkan madzhab kedua, mereka adalah Salaf dan tentunya
Jumhur (mayoritas) mereka. Adapun madzhab ketiga, mereka adalah pentakwil.
Asy’ariyyah madzhab ketiga ini bukan kedua.

Demikian dari Ibnu Hajar yang terkenal bahwa beliau adalah Asy’ariyyah yang
tampak mengakui bahwa Takwil bukanlah yang dipegang Jumhur Salaf. Dan ketahuilah,
ada Asy’ariyyah lainnya yang juga semacam beliau. Yaitu imam Al Qurthubi. Setelah
menerangkan pendapatnya Ahlul Kalam Asy’ariyyah dalam hal ini, beliau menyatakan
pendapat sebaliknya dari para Salaf. Kata beliau,

‫وا هم‬nn‫ل نطق‬nn‫ ب‬،‫ذلك‬nn‫ون ب‬nn‫ة وال ينطق‬nn‫ون بنفي الجه‬nn‫ي هللا عنهم ال يقول‬nn‫لف األول رض‬nn‫ان الس‬nn‫د ك‬nn‫وق‬.‫هذا قول المتكلمين‬
‫ ولم ينكر أحد من السلف الصالح أنه استوى على عرشه حقيقة‬.‫والكافة بإثباتها هلل تعالى كما نطق كتابه وأخبرت رسله‬

“(Allah suci dari arah, tempat dan bergerak) dan ini pendapatnya Ahlul Kalam. Adapun
Salaf terdahulu radhiyallahu ‘anhum, mereka tidak mengatakan tidak adanya arah bagi
Allah dan mereka tidak menyatakannya. Tapi mereka seluruhnya menyatakan
ketetapannya bagi Allah sebagaimana yang dibicarakan Kitab-Nya dan dikabarkan para
Rasul-Nya. Tidak ada salah seorang dari Salafus Sholeh mengingkari bahwa Dia ber-
istiwa’ di atas Arsy secara Hakikat.” (Tafsir Al Qurthubi, surat Al A’rof: 54)

Artinya, madzhab pertama adalah Ahlul Kalam Asy’ariyyah, sedangkan madzhab


para Salaf adalah yang kedua. Maka, -sekali lagi- keduanya memang berbeda.

Saudaraku. Kami teringat kejadian diskusi masalah ini, bahwa dari keterangan
Ibnu Hajar sebelumnya, sebagian saudara kita Asy’ariyyah semakin menguatkan
klaimnya kepada Ahlus Sunnah sebagai kelompok Musyabbihah, sebagaimana di catatan
bagian pertama. Ibnu Hajar di atas memberitahukan sifat Musyabbihah adalah dengan
metode : membawa kepada Zhahir dan Hakikat nash sifat Allah. Oleh karena Ibnu Hajar
mengatakan seperti itu, para Asy’ariyyah sekarang –dengan tuduhan Musyabbihahnya-
seakan tidak ingin kita sebagai Ahlus Sunnah yang memegang manhaj Jumhur Salaf yang
ada di urutan ketiga. Kesannya, karena Takwil bukanlah yang dipegang Jumhur Salaf,
agar sama-sama tidak bermanhaj Jumhur Salaf, maka diklaimlah bahwa Ahlus Sunnah
sekarang mengikuti manhaj di urutan pertama, yaitu Musyabbihah. Tidak sampai di situ,
mereka membuktikan bahwa manhaj kita Ahlus Sunnah memang membawa nash-nash
sifat Allah kepada Zhohirnya dan Hakikatnya tanpa ditakwil. Dan itulah metode
Musyabbihah dalam catatan Ibnu Hajar.

Pernyataan ini perlu kita luruskan dengan beberapa point; Pertama, metode atau
manhajnya Musyabbihah sebenarnya tidak sekedar yang dijelaskan Ibnu Hajar. Namun
perlu ditambahkan bahwa mereka adalah yang membawa nash sifat Allah kepada Zhahir
dan Hakikatnya ditambah bahwa mereka menyerupakannya dengan makhluk Allah. Pada
tulisan bagian pertama sudah kita sampaikan dari riwayat imam Tirmidzi (w. 279 H),
yaitu perbedaan antara membawa kepada Zhahir dan Hakikat dengan manhajnya
Musyabbihah.

: ‫ال‬n‫إذا ق‬n‫ ف‬، ‫مع‬n‫ل س‬n‫ أو مث‬، ‫مع‬n‫ أو سمع كس‬، ‫ أو مثل يد‬، ‫ يد كيد‬: ‫ إنما يكون التشبيه إذا قال‬: ‫وقال إسحاق بن إبراهيم‬
‫ وال‬، ‫ف‬n‫ول كي‬n‫ وال يق‬، ‫ر‬n‫ وبص‬، ‫مع‬n‫ وس‬، ‫د‬n‫ وأما إذا قال كما قال هللا تعالى ي‬.‫ فهذا التشبيه‬، ‫ أو مثل سمع‬، ‫سمع كسمع‬
‫ فهذا ال يكون تشبيها‬، ‫ وال كسمع‬، ‫يقول مثل سمع‬

Imam Ishaq bin Ibrahim (w. 275 H) mengatakan, “Tasybih itu adalah ketika seseorang
mengatakan, ‘Tangan (Allah) seperti tangan ini, atau serupa tangan itu. Atau pendengaran
(Allah) seperti pendengaran ini atau serupa pendengaran itu’. Inilah yang dinamakan
tasybih (penyerupaan yang dilakukan kaum Musyabbihah). Adapun jika seseorang
mengatakan apa adanya seperti firman Allah, ‘Tangan, pendengaran, penglihatan’,
kemudian ia tidak menyatakan ‘bagaimana’ dan tidak pula menyatakan ‘permisalannya’,
maka itu tidak termasuk perbuatan tasybih.” (Sunan Tirmidzi, no. 662)

Kedua, metode membawa nash sifat Allah kepada Zhahir dan Hakikatnya adalah
bagian dari pengertian manhaj Jumhur Salaf yang ada dirutan ketiga tersebut. Yaitu,
“Membawanya –sesuai- kepada apa yang diriwayatkan, dan mengimaninya secara global,
serta mensucikan Allah Ta’ala dari kaifiyah (bagaimana caranya) dan dari tasybih
(menyamakan dengan makhluk).” Alasannya, karena pengertian ‘membawa sesuai apa
yang diriwayatkan’ adalah kalimat yang sangat jelas bahwa hal itu adalah secara Zhahir
riwayat sifat Allah dan tidak Takwil.

Kita akan buktikan lagi bahwa metode Zhohir yang ia adalah kebalikan dari
Takwil adalah manhaj Jumhur Salaf. Dalam kitab Ibtholut Takwilaat (batilnya takwil
sifat) tulisan Al Qodhi Abu Ya’la Al Hambali (w. 458 H), no. 9 dan 10.

‫فقد نص أحمد على القول بظاهر األخبار من غير تشبيه وال تأويل‬

“Telah dinyatakan pendapat Imam Ahmad yaitu dengan Zhohir riwayat-riwayat (sifat
Allah) tanpa menyamakan dengan makhluk dan tanpa Takwil.”

‫لى هللا‬n‫ ص‬،‫ول هللا‬n‫رد على رس‬n‫ه وال ن‬n‫ؤمن ب‬n‫ه " ن‬n‫ع قدم‬n‫ " يض‬:‫ صلى هللا عليه وسلم‬،‫ قال النبي‬:‫وقال في رواية حنبل‬
‫عليه وسلم فقد نص على األخذ بظاهر ذلك ألنه ليس فيحمله على ظاهره ما يحيل صفاته وال يخرجها عما تستحقه‬

“Beliau imam Ahmad mengatakan dalam riwayat Hambal, ‘Bahwa Nabi Shallallahu
‘alaihi Wasallam bersabda, ‘Allah meletakkan qodam-Nya (kaki)’. Kita mengimaninya
dan tidak menolak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Sungguh nash-nya adalah
untuk mengambil secara Zhohirnya. Dengan alasan, karena hal tersebut dengan
membawanya kepada Zhohirnya bukanlah suatu yang mustahil bagi sifat Allah, dan tidak
pula mencampakkan sifat Allah dari yang semestinya.”

Demikian hujjah bahwa Jumhur Salaf adalah dengan Zhohir. Adapun hujjah
bahwa Jumhur Salaf juga dengan Hakikat adalah yang disampaikan oleh ulama
Asy’ariyyah sendiri, imam Al Qurthubi (w. 671 H),

‫ولم ينكر أحد من السلف الصالح أنه استوى على عرشه حقيقة‬

“Tidak ada salah seorang dari Salafus Sholeh mengingkari bahwa Dia ber-istiwa’ di atas
Arsy secara Hakikat.” (Tafsir Al Qurthubi, surat Al A’rof: 54)

Di catatan bagian pertama juga sudah kita cantumkan kesepakatan Ahlus Sunnah
dari ucapannya imam Ibnu Abdil Barr (w. 463 H) dalam kitabnya At Tamhid,

‫ة ال على‬nn‫ا على الحقيق‬nn‫أهل السنة مجموعون على اإلقرار بالصفات الواردة كلها في القرآن والسنة واإليمان بها وحمله‬
‫المجاز‬

“Ahlus Sunnah sepakat dalam menetapkan seluruh Sifat-sifat Allah yang ada dalam Al
Qur’an dan As Sunnah. Juga mengimaninya dan membawanya kepada Hakikatnya bukan
kepada Majaz…”

Sangat jelas sekali, bahwa setelah dengan Zhohir juga dengan membawa kepada
Hakikat sesuai nash sifat. Sebaliknya, kalau dengan Hakikat berarti bukan Majaz. Majaz
yang bermakna kiasan adalah sinonim dari mentakwil.

Demikianlah maksud dari manhaj Jumhur Salaf di urutan ketiga pada catatan Ibnu
Hajar. Bahwa manhaj mereka juga membawa nash-nash sifat Allah kepada Zhohir dan
Hakikatnya. Jadi, dua hal ini (Zhohir dan Hakikat) memang dipakai Musyabbihah, tapi
sekali lagi harus diingat perbedaannya, bahwa Musyabbihah, setelah pakai Zhohir dan
Hakikat, mereka kemudian membayangkan, “Berarti tangan Allah seperti tangan ini dan
itu. Turunnya Allah dari langit di sepertiga malam terakhir adalah seperti turunnya ini
dan itu, dan lain-lain.” Adapun Ahlus Sunnah Jumhur Salaf, setelah pakai Zhohir dan
Hakikat mereka berhenti tidak menyatakan kaif (caranya), tidak pula sual
(menanyakannya), tidak tasybih (menyamakannya dengan makhluk), tidak tahrif
(menyelewengkan maknanya), tidak ta’thil (meniadakannya), dan tentunya tidak takwil
(menafsirkannya).

Kesimpulannya, madzhab kita Ahlus Sunnah adalah sesuai dengan madzhabnya Jumhur
Salaf. Kita Ahlus Sunnah yang mengikuti madzhab Jumhur Salaf, bukan Asy’ariyyah.
Buktinya dalam catatan Ibnu Hajar, Takwil bukanlah yang dipegang Jumhur Salaf.
Jumhur Salaf di urutan ketiga, sedangkan Takwil urutan setelahnya, ke-empat, kelima,
atau ke-enam. Atau, Takwil di madzhab ketiga, sedangkan Salaf di madzhab kedua dalam
catatan beliau juga dari ucapannya Ibnul Arobi. Demikianlah dalam Fathul Bari Ibnu
Hajar. Adapun dalam Fathul Bari Ibnu Rojab, para imam Salaf di urutan ketiga, dan para
pentakwil di urutan kedua sebelumnya. Ditambah lagi oleh Al Qurthubi yang menuliskan
dua perbedaan madzhab antara Ahlul Kalam Asy’ariyyah yang mentakwil dan Jumhur
Salaf yang anati Takwil. Semua ini bukti bahwa keduanya saling berbeda yang tidak bisa
dipungkiri lagi.

Saudaraku. Madzhab Jumhur Salaf tidaklah mentakwil sifat Allah. Dan tentunya,
madzhab ini berbeda dengan madzhabnya Musyabbihah, hal mana Asy’ariyyah diliputi
kesamaran tentang perbedaan kedua madzhab tersebut. Dan seandainya mereka mengerti,
niscaya kita Ahlus Sunnah tidak akan divonis sebagai Musyabbihah.

Insya Allah bersambung ke bagian 3 (terakhir), membahas dan membuktikan


bahwa metode Takwil ditolak oleh Jumhur Salafus Sholeh dalam memahami nash sifat
Allah. Wallahu a’lam.

Washallallahu ‘ala Muhammad Wa ‘ala Alihi Wa Ash-habihi Wasallam.

Kota Santri, 21 Shofar, 1435 H

M. Anshorullah al Asahany

Anda mungkin juga menyukai