Anda di halaman 1dari 25

Kedudukan Akidah

A. Arti Ilmu Kalam.


Dari segi etimologis, perkataan ilmu Kalam terdiri atas dua perkataan: ilmu =
pengetahuan, kalam = perkataan, percakapan. Kedua perkataan itu berasal dari bahasa
Arab. Kemudjan Ilmu Kalam ini digunakan sebagai nama dari ilmu yang mambahas atau
membicarakan aqidah-aqidah dalam Islam.

Tidak begitu dapat dipastikan apakah Ilmu Kalam itu singkatan dari Ilmu Kaiamuilah
(ilmu tentang kalam atau firman Allah), atau singkatan dari ilmu Kalam al-Mutakallimin
(ilmu tentang kalam atau pembicaraan/perdebatan para mutakalliminin). Jadi tidak dapat
dipastikan mengapa ilmu yang membicarakan aqidah-aqidah dalam Islam disebut Ilmu
Kalam. Namun demikian penamaan Ilmu Kalam itu memiliki beberapa alasan sebagai
berikut:

a. Persoalan kaiamuilah (apakah firman Allah itu diciptakan atau bukan, hadits atau qadim
merupakan persoalan yang diperdebatkan dengan sengit sekali di kalangan para ulama
pada abad kedua dan ketiga Hijrah, dan persoalan itu cukup menggoncangkan umat,
karena Daulat Bani Abbasiah, yang menganut paham Mu'tazilah, pernah lebih dari
sepuluh tahun memaksa ulama-ulama supaya menganut paham bahwa kaiamuilah itu
makhluk.

b. Sebagian dari ulama-ulama dalam bidang aqidah Islam ini berusaha menjelaskan dan
membela aqidah Islam dengan menggunakan metoda ilmu logika atau mantiq, yang
lazim digunakan oleh para filosof. Para ulama itu, dalam rangka membedakan diri
mereka dengan para filosof, menyebut metoda yang mereka pakai dengan sebutan al-
kalam, sehingga mereka dapat disebut ahlul-kalam, sedang para filosof dapat disebut
ahlul-manthiq

c. .Pembicaraan dalam bentuk perdebatan pada lapangan aqidah Islam, yang pada masa
Rasulullah daifmasa Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali) tidak
pernah terjadi, ternyata sejak abad kedua Hijrah menjadi muncul dan bahkan sangat
sengit. Masalah-masalah yang didiamkan saja oleh dua atau tiga generasi pertama
umat Islam (generasi salaf), sejak abad kedua tidak didiamkan lagi, tapi dibicarakan dan
diperdebatkan.

d. Masalah-masalah yang diperdebatkan dalam lapangan aqidah itu lebih dirasakan sebagai
masalah-masalah yang terbatas pada pembicaraan, dan jauh kaitannya dengan
pengamalan.

Boleh jadi karena keempat hal di atas, atau karena sebagiannya, maka ilmu yang
berbicara dalam lapangan aqidah Islam menjadi populer dengan sebutan Ilmu Kalam,
kendati ada sebagian ulama, seperti Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi'i, dan Imam
Hanbali membenci nama Ilmu Kalam tersebut. Mereka lebih senang memakai nama Ilmu
Tauhid, Ilmu Ushuluddin, atau Ilmu 'Aqaid.

Di dunia Barat, pembicaraan tentang aqidah disebut teologi. Dengan demikian ilmu
yang membicarakan aqidah Islam, disebut oleh sarjana-sarjana Barat dengan nama
Teologi Islam, Sebutan Teologi Islam di negeri kita ini sudah menjadi populer pula, sebagai
salah satu dari sekian nama yang diberikan bagi ilmu yang membicarakan aqidah Islam.

Itulah pengertian ilmu. Kalam secara etimologis, yakni arti menurut asal katanya.

B. Perkembangan Ilmu Kalam


Ilmu Kalam termasuk salah satu cabang ilmu keislaman yang muncul semenjak
masa yang terbilang awal. Dalam konteks pemikiran islam, ilmu kalam termasuk bagian
dari proses pengalaman Islam yang mengalir dalam bangunan peradaban Islam pada
umumnya. Oleh karena itu, sebagai bagian dari pemikiran islam, ilmu kalam tidak dapat
dipisahkan dari proses sejarah peradaban islam. Ilmu kalam menjadi suatu rangkaian
kesatuan sejarah, dan telah ada di masa lampau, masa sekarang dan akan tetap ada di
masa yang akan dating. Akan tetapi, setiap langkah menuju pemikiran kalam selanjutnya,
diperlukan penguraian dan analisis yang mendalam dalam hubungannya dengan entitas
pandangan dunia islam.
Dalam pemetaan pemikiran islam, karena tidak lepas dari perkembangan sejarah
Islam, maka Harun Nasution membagi kedalam tiga periode besar:[1]
1. Periode Klasik (650-1250) merupakan zaman kemajuan yang dibagi ke dalam dua
fase: fase ekspansi, integrasi dan puncak kemajuan (650-1000 M). Zaman inilah yang
menghasilkan ulama-ulama besar seperti: Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam
Syafi’I, Imam Ibn Hambal.
2. Periode pertengahan (1250-1800 M), juga dibagi menjadi dua fase : Fase
kemunduran (1250-1500 M). Pada fase ini desentralisasi dan disintegrasi semakin
meningkat.Yang kedua fase Tiga kerajaan besar (1500-1800 M), yang dimulai dengan
zaman kemajuan (1500-1700 M) dan zaman kemunduran (1700-1800 M). Tiga kerajaan
itu adalah Kerajaan Utsmani di turki, kerajaan Safawi di Persia dan kerajaan Mughal di
India.
3. Periode Modern (1800 M-seterusnya), merupakan zaman kebangkitan umat Islam
C. Aliran dalam bidang akidah
1. Aliran Khawarij.
Aliran Khawarij merupakan Aliran teologi tertua yang merupakn Aliran pertama yang
muncul dalam teologi Islam. Menurut ibnu Abi Bakar Ahmad Al-Syahrastani, bahwa
yang disebut Khawarij adalah setiap orang yang keluar dari imam yang hak dan telah di
sepakati para jema’ah, baik ia keluar pada masa sahabat khulafaur rasyidin, atau pada
masa tabi’in secara baik-baik. Menurut bahasa nama khawarij ini berasal dari kata
“kharaja” yang berarti keluar. Nama itu diberikan kepada mereka yang keluar dari
barisan Ali.Kelompok ini juga kadang kadang menyebut dirinya Syurah yang berarti
“golongan yang mengorbankan dirinya untuk allahdi samping itu nama lain dari khawarij
ini adalah Haruriyah, istilah ini berasal dari kata harura, nama suatu tempat dekat kufah,
yang merupakan tempat mereka menumpahakn rasa penyesalannya kapada Ali bin abi
Thalib yang mau berdamai dengan Mu’awiyah.

Kelompok khawarij ini merupakan bagian dari kelompok pendukung Ali yang
memisahkan diri, dengan beralasan ketidak setujuan mereka terhadap sikap Ali bin abi
Thalib yang menerima tahkim (arbitrase) dalam upaya untuk menyelesaikan persilisihan
dan konfliknya dengan mu’awiyah bin abi sofyan, gubernur syam, pada waktu perang
siffin. Latar belakang ketidak setujuan mereka itu, beralasan bahwa tahkim itu
merupakan penyelesaian masalah yang tidak di dasarkan pada ajaran Al-Qur’an, tapi
ditentukan oleh manusia sendiri, dan orang yang tidak Memutuskan hukum dengan al-
quran adalah kafir. Dengan demikian, orang yang melakukan tahkim dan merimanya
adalah kafir.
Atas dasar ini, kemudian golongan yang semula mendukung Ali ini selanjutnya
berbalik menentang dan memusuhi Ali beserta tiga orang tokoh pelaku tahkim lainnya
yaitu Abu Musa Al-Asyari, Mu’awiyah bin Abi Sofyan dan Amr Bin Ash.Untuk itu
mereka berusaha keras agar dapat membunuh ke empat tokoh ini, dan menurut fakta
sejarah, hanya Ali yang berhasil terbunuh ditangan mereka.

Secara umum ajaran-ajaran pokok Khawarij adalah:


 Orang Islam yang melakukan Dosa besar adalah kafir; dan harus di bunuh.
 Orang-orang yang terlibat dalam perang jamal (perang antara Aisyah, Talhah, dan
zubair, dengan Ali bin abi tahAlib) dan para pelaku tahkim—termasuk yang
menerima dan mambenarkannya – di hukum kafir;
 Khalifah harus dipilih langsung oleh rakyat.
 Khalifah tidak harus keturunan Arab. Dengan demikian setiap orang muslim berhak
menjadi Khalifah apabila suda memenuhi syarat-syarat.
 Khalifah di pilih secara permanen selama yang bersangkutan bersikap adil dan
menjalankan syari’at islam, dan di jatuhi hukuman bunuh bila zhalim.
 Khalifah sebelum Ali adalah sah, tetapi setelah tahun ke tujuh dari masa
kekhalifahannya Usman r.a dianggap telah menyeleweng,
 Khalifah Ali dianggap menyelewang setelah terjadi Tahkim (Arbitrase).

2. Aliran Murji’ah
Aliran Murji’ah ini muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat
dalam upaya kafir mengkafirkan terhadap orang yang melakukan dosa besar, sebagai
mana hal itu dilakukan oleh aliran khawarij. Mereka menangguhkan penilaian terhadap
orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim itu di hadapan tuhan, karena hanya
tuhanlah yang mengetahui keadaan iman seseorang. Demikian pula orang mukmin yang
melukan dosa besar masih di anggap mukmin di hadapan mereka. Orang mukmin yang
melakukan dosa besar itu dianggap tetap mengakui bahwa tiada tuhansealin allah dan
Nabi Muhammad sebagai Rasulnya. Dengan kata lain bahwa orang mukmin sekalipun
melakukan dosa besar masih tetap mangucapkan dua kalimat syahadat yang menjadi
dasar utama dari iman. Oleh karena itu orang tersebut masih tetap mukmin, bukan kafir.

Pandangan mereka itu terlihat pada kata murji’ah yang barasal dari kata arja-a yang
berarti menangguhkan, mengakhirkan dan memberi pengharapan.

Ajaran-ajaran Murji’ah
 Iman Hanya membenarkan (pengakuan) di dalam Hati
 Orang islam yang melakukan dosa besar tidak dihukumkan kafir. Muslim tersebut
tetap mukmin selama ia mengakui dua kalimat syahadt.
 Hukum terhadap perbuatan manusia di tangguhkan hingga hari kiamat

Tokoh murji’ah Moderat antara lain adalah hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib,
Abu Hanifah, Abu Yusufdan beberapa ahli hadits, yang berpendapat, bagaimanapun
besarnya dosa seseorang, kemungkinan mendapat ampunan dari tuhan masih ada.
Sedangkan yang ekstrem antara lain ialah kelompok Jahmiyah, pengikut Jaham bin
Shafwan. Kelompok ini berpendapat, sekalipun seseorang menyatakan dirinya musyrik,
orang itu tidak dihukum kafir.

3. Aliran Qadariyah
Qadariyah berakar pada qadara yang dapat berarti memutuskan dan memiliki
kekuatan atau kemampuan.Sedangkan sebagai suatu aliran dalam ilmu kalam, qadariyah
adalah nama yang dipakai untuk suatu aliran yang memberikan penekanan terhadap
kebebasan dan kekuatan manusia dalam menghasilkan perbuatan-perbuatannya. Dalam
paham qadariyah manusia di pandang mempunyai qudrat atau kekuatan untuk
melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa
tunduk kepada qadar dan qada Tuhan.

Mazhab qadariyah muncul sekitar tahun 70 H(689 M). Ajaran-ajaran tentang


Mazhab ini banyak memiliki persamaan dengan ajaran Mu’tazilah sehingga Aliran
Qadariyah ini sering juga disebut dengan aliran Mu’tazilah, kesamaan keduanya terletak
pada kepercayaan kedunya yang menyatakan bahwa manusia mampu mewujudkan
tindakan dan perbuatannya, dan tuhan tidak campur tangan dalam perbuatan manusia ini,
dan mereka menolak segala sesuatu terjadi karena qada dan qadar Allah SWT.

Aliran ini merupakan aliran yang suka mendahulukan akal dan pikiran dari pada prinsip
ajaran Al-Qur’an dan hadits sendiri. Al-Qur’an dan Hadits mereka tafsirkan berdasarkan
logika semata-mata. Padahal kita tahu bahwa logika itu tidak bisa menjamin seluruh
kebenaran, sebab logika itu hanya jalan pikiran yang menyerap hasil tangkapan panca
indera yang serba terbatas kemampuannya. Jadi seharusnya logika dan akal pikiranlah
yang harus tunduk kepada Al-Qura’n dan Hadits, bukan sebaliknya.

Tokoh utama Qadariyah ialah Ma’bad Al-Juhani dan Ghailan al Dimasyqi. Kedua tokoh
ini yang mempersoalkan tentang Qadar.

Pokok-pokok ajaran Qadariyah


 Orang yang berdosa besar itu bukanlah kafir, dan bukanlahmukmin, tapi fasik dan
orang fasikk itu masuk neraka secara kekal.
 Allah SWT. Tidak menciptakan amal perbuatan manusia, melainkan manusia lah yang
menciptakannyadan karena itulah maka manusia akan menerima pembalasan baik (surga)
atas segala amal baiknya, dan menerima balasan buruk (siksa Neraka) atas segala amal
perbuatannya yang salah dan dosakarena itu pula, maka Allah berhak disebut adil.
 Kaum Qadariyah mengatakan bahwa Allah itu maha esa atau satu dalam ati bahwa
Allah tidak memiliki sifat-sifat azali, seprti ilmu, Kudrat, hayat, mendengar dan melihat
yang bukan dengan zat nya sendiri. Menurut mereka Allah SWT, itu mengetahui,
berkuasa, hidup, mendengar, dan meilahat dengan zatnya sendiri.
 Kaum Qadariyah berpendapat bahwa akal manusia mampu mengetahui mana yang
baik dan mana yang buruk, walaupun Allah tidak menurunkan agama. Sebab, katanya
segala sesuatu ada yang memiliki sifat yang menyebabkan baik atau buruk.

Selanjutnya terlepas apakah paham qadariyah itu di pengaruhi oleh paham luar atau tidak,
yang jelas di dalam Al-Qur’an dapat di jumpai ayat-ayat yang dapat menimbulkan paham
qadariyah .

4. Aliran Jabariyah
Nama jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa.
Sedangkan menurut al-Syahrastani bahwa Jabariyah berarti menghilangkan perbuatan
dari hamba secara hakikat dan menyandarkan perbuatan tersebutkepada Allah.[18] Dan
dalam bahasa inggris disebut dengan fatalism atau predestination, yaitu paham yang
menyatakan bahwa perbuatan manusia di tentukan sejak semula oleh qada dan qadar
tuhan.

Munculnya mazhab ini berkaitan dengan munculnya Qadariyah. Daerah


kelahirannya pun berdekatan. Qadariyah muncul di irak, jabariyah di khurasan. Aliran ini
pada mulanya di pelopori oleh al-ja’ad bin dirham. Namun, dalam perkembangannya.
Aliran ini di sebarluaskan oleh jahm bin Shafwan. Karena itu aliran ini terkadang disebut
juga dengan Jahmiah.

Pokok-pokok paham jabariyah.


Jaham bin Shafwan mempunyai pendirian bahwa manusia itu terpaksa, tidak
mempunyai pilihan dan kekuasaan. Manusia tidak bisa berbuat lain dari apa yang telah di
lakukannya. Allah SWT, telah mentakdirkan ats dirinya segala amal perbuatan yang
mesti di kerjakannya, dan segala perbuatan itu adalah ciptaan allah, sama seperti apa
yang dia ciptakan pada benda-benda yang tidak bernyawa. Oleh karena itu, jaham
menginterpretasikan bahwa pahala dan siksa merupakan paksaan dalam arti bahwa allah
telah mentakdirkan seseorang itu baik sekaligus memberi pahala dan allah telah
mentakdirkan seseorang itu berdosa sekaligus juga menyiksanya.
Sehingga, dalam realisasinya, orang yang termakan paham ini bisa menjadi apatis
dan beku hidupnya, tidak bisa berbuat apa-apa, selain berpangku tangan, menunggu
takdir Allah semata-mata dan berusahapun tidak. Karena mereka telah berkeyakinan
bahwa allah telah mentakdirkan segala sesuatu, dan manusia tidak bisa mengusahakan
sesuatu itu.

Disisi lain, aliran ini tetap berpendapat bahwa manusia tetap mendapat pahala
atau siksa karena perbuatan baik atau jahat yang dilakukannya. Paham bahwa perbuatan
yang dilakukan manusia adalah sebenarnya perbuatan tuhan tidak menafikan adanya
pahala dan siksa.

Berkenaan dengan itu perlu dipertegas bahwa Jabariyah yang di kemukakan


Jaham bin Shafwan adalah paham yang ekstrem. Sementara itu terdapat pula paham
jabariyah yang moderat, seperti yang diajarkan oleh Husain Bin Muhammad al.Najjar
dan Dirar Ibn ‘Amr.

Menurut Najjar dan Dirar, bahwa Tuhanlah yang menciptakan perbuatan


Manusia baik perbuatan itu positif maupun negatif Tetapi dalam melakukan perbuatan itu
manusia mempunyai bagian daya yang diciptakan dalam diri manusia oleh tuhan,
mempunyai efek, sehingga manusia mampu melakukan perbuatanitu.Daya yang
diperoleh untuk mewujudkan perbuatan-perbuatan inilah yang kemudian disebut Kasb
atau acquisition. Menurut paham ini manusia tidak hanya bagaikan wayang di gerakkan
oleh dalang, tetapi manusia dan Tuhan terdapat kerja sama dalam mewujudkan suatu
perbuatan, dan manusia tidak semata-mata di paksa dalam melaksanakan perbuatannya.

5. Aliran Mu’tazilah
Perkataan Mu’tazilah berasal dari kata Í’tizal” yang artinya “memisahkan diri”,
pada mulanya nama ini di berikan oleh orang dari luar mu’tazilah karena pendirinya,
Washil bin Atha’, tidak sependapat dan memisahkan diri dari gurunya, Hasan al-Bashri.
Dalam perkembangan selanjutnya, nama ini kemudian di setujui oleh pengikut
Mu’tazilah dan di gunakan sebagai nama dari bagi aliran teologi mereka.

Aliran mu’tazilah lahir kurang lebih 120 H, pada abad permulaan kedua hijrah di
kota basyrah dan mampu bertahan sampai sekarang, namun sebenarnya, aliran ini telah
muncul pada pertengahan abad pertama hijrah yakni diisitilahkan pada para sahabat yang
memisahkan diri atau besikap netral dalam peristiwa-peristiwa politik. Yakni pada
peristiwa meletusnya perang jamal dan perang siffin, yang kemudian mendasari sejumlah
sahabat yang tidak mau terlibat dalam konflik tersebut dan memilih untuk menjauhkan
diri mereka dan memilih jalan tengah.

Disisi lain, yang melatarbelakangi munculnya kedua Mu’tazilah diatas tidaklah sama dan
tidak ada hubungannya karena yang pertama lahir akibat kemelut politik, sedangkan yang
kedua muncul karena didorong oleh persoalan aqidah.
Pokok-pokok ajaran Mu’tazilah
Ada lima prinsip pokok ajaran Mu’tazilah yang mengharuskan bagi pemeluk ajaran ini
untuk memegangnya, yan dirumuskan oleh Abu Huzail al-Allaf :
 al Tauhid (keesaan Allah)
 al ‘Adl (keadlilan tuhan)
 al Wa’d wa al wa’id (janji dan ancaman)
 al Manzilah bain al Manzilatain (posisi diantara posisi)
 amar mauruf dan Nahi mungkar.

6. Ahlussunah Wal- Jamaah


Ahlussunnah berarti penganut atau pengikut sunnah Nabi Muhammad SAW, dan
jemaah berarti sahabat nabi. Jadi Ahlussunnah wal jama’ah mengandung arti “penganut
Sunnah (ittikad) nabi dan para sahabat beliau. Ahlussunnah sering juga disebut dengan
Sunni dapat di bedakan menjadi 2 pengertian, yaitu khusus dan umum, Sunni dalam
pengertian umum adalah lawan kelompok Syiah, Dalam pengertian ini, Mu’tazilah
sebagai mana juga Asy’ariyah masuk dalam barisan Sunni. Sunni dalam pengertian
khusus adalah mazhab yang berada dalambarisan Asy’ariyah dan merupakan lawan
Mu’tazilah. Aliran ini, muncul sebagai reaksi setelah munculnya aliran Asy’ariyah dan
maturidiyah, dua aliran yang menentang ajaran-ajaran Mu’tazilah.

Pokok-pokok pemikirannya :
 Sifat Tuhan. Pendapatnya sejalan dengan al Asy’ari
 Perbuatan Manusia. Menurtnya, Perbuatan manusia sebenarnya di wujudkan oleh
manusia itu sendiri, dan bukan merupakan perbuatan tuhan.
 Al Quran. Pendapatnya sejalan dengan al Asy’ari
 Kewajiban tuhan. Menurutnya, tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu.
 Muslim yang berbuat dosa. Pendapatnya sejalan dengan al Asy’ari
 Janji tuhan. Menurutnya, janji pahala dan siksa mesti terjadi, dan itu merupakan janji
tuhan yang tidak mungkin di pungkirinya.
 Antrophomorphisme.
7. Aliran Syiah
Secara bahasa Syi’ah berarti pengikut. Yang dimaksud dengan pengikut disini
ialah para pendukung Ali bin Abi Thalib. Secara istilah Syi’ah sering di maksudkan pada
kaum muslimin yang dalam bidang spritual dan keagamaannya selalu merujuk pada
keturuan Nabi Muhammad SAW, atau yang sebut sebagai ahl al-bait.selanjutnya, istilah
yiah ini untuk pertama kalinya di tujukan pada para pengikut ali (syi’ah ali), pemimpin
pertama ahl- al bait pada masa Nabi Muhammad SAW. Para pengikut ali yang disebut
syi’ah ini diantaranya adalah Abu Dzar al Ghiffari, Miqad bin Al aswad dan Ammar bin
Yasir.

Mengenai latar belakng munculnya aliran ini, terdapat dua pendapat, pertama
menurut Abu Zahrah, Syi’ah mulai muncul pada akhir dari masa jabatan Usman bin
Affankemudian tumbuh dan berkembang pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib,
Adapun menurut Watt, Syi’ah bener-bener muncul ketika berlangsung peperangan antara
Ali dan Mu’awiyah yang dikenal denganPerang siffin. Dalam peperangan ini, sebagai
respon atas penerimaan ali terhadap arbitrase yang diatwarkan Mu’awiyah, pasukan Ali
di ceritakan terpecah menjadi dua, satu kelompok mendukung sikap Ali –kelak di sebut
Syi’ah dan kelompok lain menolak sikap Ali, kelak di sebut Khawarij.

Pokok-Pokok Pikiran Syi’ah


Kaum Syi’ah memiliki lima prinsip utama yang wajib di percayai oleh penganutnya.
Kelima prinsip itu adalah :
 al Tauhid
Kaum Syi’ah mengimani sepenuhnya bahwa allah itu ada, Maha esa, tunggal, tempat
bergantung, segala makhluk, tidak beranak, tidak diperanakkan, dan tidak ada seorang
pun yang menyamainya. Dan juga mereka mempercayai adanya sifat-sifat Allah.

 al ‘adl
Kaum Syi’ah mempunyai keyakinan bahwa Allah Maha Adil. Allah tidak melakukan
perbuatan zhalim dan perbuatan buruk, ia tidak melakukan perbuatan buruk karena ia
melarang keburukan, mencela kezaliman dan orang yang berbuat zalim.
 al Nubuwwah
Kepercayaan Syi’ah terhadap para Nabi-nabi juga tidak berbeda dengan keyakinan umat
muslim yang lain. Menurut mereka, Allah mengutussejumlah nabi dan rasul ke muka
bumi untnk membimbing umat manusia.

 al imamah
Menurut Syi’ah, Imamah berarti kepemimpinan dalam urusan agama dan dunia
sekaligus, ia pengganti rasul dalam memelihara Syari’at, melaksanakan Hudud, dan
mewujudkan kebaikan dan ketentraman umat.

 al ma’ad
Ma’ad berarti tempat kembali (hari akhirat), kaum Syi’ah sangat percaya sepenuhnya
akan adanya hari akhirat, bahwa hari akhirat itu pasti terjadi.

8. Aliran Salafiyah
Secara bahasa salafiyah berasal dari kata salaf yang berarti terdahulu, yang
dimaksud terdahulu disini adalah orang-orang terdahulu yang semasa Rasul SAW, para
sahabat, para tabi’in, dan tabitt tabi’in. sedangakan salafiyah berarti orang-orang yang
mengikuti salaf. Istilah salaf mulai dikenal dan muncul beberapa abad abad sesudah
Rasul SAW wafat, yaitu sejak ada orang atau golongan yang tidak puas memahami al
Qur’an dan hadits tanpa ta’wil, terutama untuk menjelaskan maksud-maksud tersirat dari
ayat-ayat al-Qur’an sehingga tidak menimbulkan hal-hal yang tidak layak bagi Allah
SWT. Orang yang termasuk dalam kategori salaf adalah orang yang hidup sebelum tahun
300 hijriah, orang yang hidup sesudah tahun 300 H termasuk dalam kategori khalaf.

Tokoh-tokoh ulama salaf dan perkembangan Aliran salafiyah.


Tokoh terkenal ulama salaf adalah Ahmad bin Hambal. Nama lengkapnya,
Ahmad, bin Muhammad bin Hambal, beliau juga di kenal sebgai pendiri dan tokoh
mazhab Hambali. Tokoh salafiyah yang terkenal lainnya adalah Taqiyuddin Abu al
Abbas Ahmad bin Abdul Halim bin Abd al salam bin Abdullah bin Muhammad bin
Taimiyah al Hambali, atau yang lebih di kenal dengan nama Ibnu Taimiyah. Beliau
merupakan seorang teolog dan ahli Hukum yang banyak menghasilkan karya tulis.beliau
juga ahli di bidang tafsir dan hadist.

Dalam perkembangannya, ajaran yang bermula pada Imam Ahmad bin Hanbal ini,
selanjutnya di kembangkan oleh Ibnu Taimiyah, kemudian di suburkan oleh Imam
Muhammad bin Abdul Wahab.dan akhirnya berkembang di dunia Islam secara Spodaris.
Pada abad ke 20 M gerakan ini muncul dengan dimensi baru. Tokoh-tokohnya adalah
Jamaluddin al Afgani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.

Salafiyah baru al afgani ini terdiri dari 3 komponen pokok yakni :


1. Keyakinan bahwa kemajuan dan kejayaan umat Islam hanya mungkin di wujudkan
jika mereka kembali kepada ajaran Islam yang masih murni dan kembali pada ajaran
Islam yang masih murni, dan meneladani pokok hidup sahabat Nabi. Komponen
pertama ini merupakan satu unsur yang di miliki oleh salfiyah sebelumnya.
2. perlwanan terhadap kolonialisme dan mominasi barat, baik politik, ekonomi, maupun
kebudayaan.
3. pengakuan terhadap keunggulan barat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Al Afgani dapat di katakan sebagai penganut salafiyah modern karena dalam
rumusan pahamnya yang banyak meletakkan unsur-unsur moderenismesebagai
mana terlihat pada komponen 2 dan 3 diatas.

Syekh Muhammad Abduh adalah murid Al afgani dan Muhammad Rasyid Ridaha adalah
murid dari Muhammad Abduh, meskipun dalam beberapa hal antara dengan guru berbeda
dalam banyak hal mereka sama.

Pengaruh Akidah dalam Kehidupan

A. Aqidah
Aqidah adalah ialah suatu keyakinan/kepercayaan yang mengikat jiwa raga kita yang
menjadi pegangan dan pedoman hidup kita (Way of Life) dalam menempuh jalan raya hidup ini
menuju kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Aqidah itu di atas segala-galanya dan manusia
rela berkorban demi mempertahankan aqidahnya. Seorang penyair Mesir yang terkenal, Syauqi
Beik berkata :

“Berdiri teguhlah membela pendirianmu sebagai mujahid, karena sesungguhnya hidup


itu ialah aqidah dan jihad.”

Ungkapan tersebut mengingatkan kita supaya berani berjihad membela pendirian yang
benar, karena nilai hidup ini ditentukan oleh aqidah dan jihad, dengan kata lain, tidak ada arti
hidup tanpa aqidah dan tidak ada arti aqidah, jika tidak dibuktikan dengan keberanian berjihad
membela aqidah yang telah dijadikan sebagai pegangan dan pedoman hidup.

Dalam ajaran islam, aqidah memiliki kedudukan yang sangat penting, ibarat suatu
bangunan, aqidah adalah pondasinya. Aqidah dapat pula diibaratkan akar dalam sebuah pohon.
Perumpamaan yang sangat menarik dalam Al-Qur’an nahwa seseorang mukmin itu laksana
“Kalimatan thoyyibah” (Kalimat yang baik), dan laksana pohon yang baik “Syajaratun
thoyyibah” (QS.14:24-25). Kalimat yang baik itu adalah laa ilaaha illa Allah (syahadat).

Dalam Islam, aqidah yang benar merupakan pokok tegaknya agama dan kunci
diterimanya amal perbuatan manusia. Aqidah Islam yang bersendikan Tauhid atau mengesakan
Allah, menegaskan bahwa Tauhid tidak boleh tercampur dengan syirik. Oleh sebab itu para
Rasul yang diutus oleh Allah ke muka bumi ini sangat memperhatikan tegaknya aqidah. Prioritas
dakwah mereka adalah aqidah.

Di dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang menyebutkan tentang aqidah, seperti
pada surat Al-Baqarah ayat 177 :
Artinya : Bukanlah menghadapkan wajahmu kearah timur dan ke barat itu suatu kebaktian, akan
tetapi sesungguhnya kebaktian itu ialah kebaktian orang yang beriman kepada Allah, hari
kemudian malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi.

B. Pengaruh Aqidah atau Iman Islam dalam Kehidupan


Dalam Islam, antara iman dan amal shaleh terdapat hubungan yang terintegrasi.
Keimanan seseorang itu sendiri adalah bahwa dalam hati orang tersebut, telah tertanam
kepercayaan dan keyakinan tentang sesuatu, dan sejak saat itu ia tidak khawatir lagi terhadap
menyelusupnya kepercayaan lain yang bertentangan dengan kepercayaannya. Iman berorientasi
kepada rukun iman yang enam, sedangkan amal shaleh itu sendiri berorientasi kepada rukun
islam yang lima, yaitu tentang ibadah dan pengamalannya, dan muamalah dengan sesama
manusia. Meskipun hal yang paling menentukan adalah aqidah/iman, tetapi tanpa integrasi amal
dalam perilaku seorang muslim, maka keislaman seseorang menjadi tidak utuh. Amal shaleh
merupakan bukti dari keimanan seseorang, karena keimanan itu bukan hanya ungkapan yang
dilafazkan dari ujung lidah saja dan bukan pula keyakinan yang terdapat di dalam hati saja, tetapi
iman yang benar dan tepat itu merupakan keyakinan yang mantap dalam hati yang telah
mendarah daging dalam diri manusia dan bekasnya memancar dalam segala gerak-gerik dan
tindakannya memancar bagaikan cahaya yang disorotkan oleh matahari. Hal tersebut
membuktikan bahwa eksistensi perilaku luar seorang muslim merupakan cerminan dari batinnya.
Amal merupakan wujud keimanan seseorang. Orang yang beriman kepada Allah harus
menampakkan imannya dalam amal. Iman dan amal ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat
dipisahkan.

Dalam Al-Qur-an banyak sekali dijelaskan sifat atau tanda orang beriman. Implementasi
iman seseorang dapat terlihat pada sifat yang melekat pada tingkah lakunya. Orang yang
menerapkan iman maka akan muncul darinya amal dan ketinggian akhlak dalam kehidupan
sehari-harinya. Sifat orang beriman juga dipaparkan dalam berbagai surat pada Al-Qur’an,
diantaranya; QS. 3 (Ali-Imron):120; QS. 5 (Al-Maidah):12; QS. 12 (Al-Anfal):2; QS.9 (At-
Taubah):52; QS. 23 (Al-Mukminun):2-11; dll. Sebagai contoh disebutkan sifat atau tanda orang
yang beriman pada QS. 23 (Al-Maidah):2-11, antara lain khusyu’ dalam menjalankan salat,
menjauhkan diri dari perbuatan yang tidak berguna, menunaikan zakat, dan menjaga amanah dan
jani, serta menjaga salat.

Implementasi iman kepada kitab suci, dapat diwujudkan dengan memiliki kepercayaan
diri yang kuat akan kebenaran aturan Allah dalam kitab suci-Nya. Maka ia akan menata
hidupnya menyesuaikan dengan rencana Allah, sehingga memiliki harapan masa depan yang
jelas dan pasti.

Iman kepada Rasul dapat diwujudkan dengan meneladani perilaku para Rasul dalam
kehidupan kita sehari-hari. Setiap Rasul merupakan suri tauladan hidup bagi umatnya bahkan
untuk seluruh manusia, mulai dari ibadahnya para Rasul maupun muamalah, hingga tingkah laku
dan juga tutur katanya. Iman kepada Rasul dapa direalisasikan dengan berusaha untuk berlaku
jujur (Shidiq), bertanggung jawab dalam mengemban amanah, menyampaikan nasehat/misi
kebenaran (Tabligh), berlaku cerdas dan bijaksana (Fathonah). Sejarah hidup para Rasul
merupakan inspirasi bagi umat manusia untuk menjalan hidup dengan benar yang menjunjung
tinggi nilai-nilai kebaikan.

Iman kepada Hari Akhir juga akan berdampak kepada kehidupan sehari-hari kita.
Keimanan ini akan melahirkan rasa keyakinan bahwa seluruh perbuatan kita tidak ada yang sia-
sia, karena seluruh amal perbuatan kita dihitung dan dicatat. Setiap detik dalam kehidupan kita
memiliki makna yang baik yang akan berubah menjadi pahala di akhirat kelak. Contoh perilaku
yang mencerminkan iman kepada Hari Akhir antara lain, taat dan patuh beribadah, menjauhi
kemaksiatan, rajin bersedakah, suka menolong orang lain, selalu bersyukur, bersikap jujur dan
adli, selalu berusaha menjadi lebih baik dari sebelumnya, bersikal rendah hati, dan lapang dada.

Iman kepada Qada dan Qadar akan menumbuhkan kesadaran bahwa segala yang ada dan
terjadi di alam semesta ini merupakan kehendak dan kuasa Allah. Maka kita sebagai orang
beriman tidak boleh meratapi takdir atau bahkan mencela bagian/nasib yang diberikan Allah.
Allah memberikan yang terbaik berdasarkan sifat Kasih dan Syang-Nya. Iman kepada Qada dan
Qadar akan melahirkan sifat optimis, tidak mudah putus asa, dan kecewa. Orang beriman apabila
ia mendapatkan keberuntungan, ia akan bersyukur dan berbagi kepada orang lain. Namun ketika
ia mendapatkan musibah, orang beriman akan menghadapinya dengan sabar dan tabah. Sikap
positif ini akan mendapatkan hadiah berupa pahala yang luar biasa dari Allah.
Tantangan Akidah dalam Kehidupan Modern

Pengaruh budaya dan ideologi yang merasuki kaum muda daam pola berpikir atau cara
pandang kaum muda dalam menghadapi sesuatu. Ini justru lebih berbahaya dari pada apa yang
tampak jelas. Akibat goyangnya cara pandang mereka banyak diantara kaum muda yang mudah
terjebak dalam common sense (baca: pandangan umum, bukan cara berpikir sehat) yang belum
tentu kebenarannya. Di antaranya slogan “anti kemapanan,” atau selalu ingin perubahan.
Berpikir futuristik dan selalu yang baru itu bagus, tetapi apakah berarti kita dengan
meninggalkan sesuatu yang lama tapi itu bagus untuk masa depan? Bukankah kita tahu bahwa
mestinya kita menggunakan sesuatu yang baru tapi baik, serta tidak meninggalkan sesuatu yang
lama selagi itu baik. Artinya sesuatu yang lama tidak sepenuhnya buruk begitu pula sebaliknya,
tidak seluruhnya yang baru itu baik. Oleh karena itu anggapan “anti kemapanan” perlu
diredekonstruksi.

Fenomena munculnya ajaran-ajaran baru dalam Islam, sangat cocok dengan sebagian
kaum muda yang berpandangan anti kemapanan atau rindu dengan sesuatu yang baru. Tentunya
hal ini tidak dibenarkan dalam agama. Hal ini akan lebih bermanfaat jika diterapkan dalam
teknologi atau ilmu pengetahuan.

Selain pandangan anti kemapanan, cara berpikir pragmatis yang dilakukan dalam sikap
dan perilaku terhadap sesuatu hal, misalnya. Akan tidak sesuai jika diterapkan dalam Agama
Islam. Mencari sesuatu yang mudah (gampang), tidak ingin yang neko-neko atau yang tidak
praktis adalah ciri yang tampak. Sehingga dalam beribadah misalnya maunya yang enak-enak
tok. Dalam bersuci misalnya lebih praktis bertayamum dari pada berwudlu, karena malas ke
kamar mandi, lebih dekat dengan kaca jendela kamar. Atau menjamak sholat jika malas, padahal
belum memenuhi syarat-syaratnya. Demikian yang terjadi dengan aliran-aliran baru tersebut—
tanpa memperdebatkan sesat tidaknya—sholat yang lima kali hanya tiga kali, bahkan tidak wajib
hukumnya. Atau bila dalam agama Islam harus menikah dahulu jika ingin menjalin hubungan
antara laki-laki dan perempuan, namun berbeda dengan ajaran baru tersebut yang membolehkan
perzinaan. Bukankah hal ini lebih mudah, tidak banyak aturan yang cukup mengikat. Lebih
banyak kelonggaran-kelonggaran dan kebebasan. Tidak ada yang memaksa atau mengekangnya.

Merunut hal tersebut betapa pentingnya peran pondok pesantren atau lembaga-lembaga
pendidikan Islam yang memberikan pengetahuan keagamaan (Islam). Selain itu kurangnya
dakwah yang sesuai dengan ajaran Islam sangatlah sedikit. Bahkan yang terjadi adalah
penyimpangan-penyimpangan. Tayangan sinetron yang berbau Islam justru tidak menyampaikan
nilai-nilai Islam yang sebenarnya. Atau iklan baik dalam media elektonik maupun cetak tidak
memberikan cerminan terhadap ajaran Islam. Semuanya telah terbuai oleh materialistik-
kapitalisme. Bahwa pandangan untuk mencari keuntungan material atau uang yang utama dan
tidak memandang terhadap nilai-nilai yang lain termasuk agama Islam.

Menyebarnya hegemoni dan wacana-wacana barat dalam kehidupan (bangsa dan agama;
keseharian) kita perlu kita perhatikan secara seksama, sebab bila tidak pola dan tatanan
kehidupan bangsa ini akan runtuh. Oleh karena itu upaya yang harus kita lakukan pertama
dengan penguatan dan pendalaman pemahaman kita terhadap aqidah dan keimanan agama Islam
sesuai dengan yang telah disyari’atkan dalam Al-Qur’an dan Hadist Nabi.

Keyakinan ketuhanan yang Esa, yakni Allah dan nabi Muhammad SAW sebagai nabi
yang terakhir sebagaimana dalam dua kalimat Shahadat. Meyakini berarti baik dalam sikap atau
perilaku maupun batiniah kita. Jika di dunia Islam masa lalu mengalami kejumudan pemikiran,
dan pasca kolonial di Indonesia menghadapi tantangan tahayul, bid’ah, dan churafat, dan kini
Islam menghadapi masalah internnya—pemurtadan, penodaan, penyimpangan ajaran Islam—
sendiri, yakni dengan munculnya aliran-aliran yang dianggap sesat oleh kaum Islam.

Menyikapi hal ini hendaknya kita tidak terjebak dalam isu penyesatan dan penodaan agama yang
akhirnya akan menimbulkan tindakan ekstrem (kekerasan massa). Lantas bagaimana kita
bersikap? Mestinya kita berpandangan lebih objektif dan secara kritis. Seringkali pemahaman
kita yang parsial dan dangkal analisis melihat hal tersebut secara hitam putih. Dan kita jangan
sampai terjebak di dalamnya. Boleh jadi fenomena seperti ini terjadi akibat kegagalan agama-
agama besar termasuk Islam sendiri. Hal ini bisa kita lihat melalui media massa maupun metode
dakwah Islam masa kini.

Banyak model dakwah di era modern belum tentu mencerminkan nilai-nilai ajaran agama Islam
yang benar. Inti dari tauhiq dan keimanan bukan hanya sebatas kita menyembah Allah, namun
juga kita bermua’malah kepada sesama makhluk ciptaan Allah. Pada titik ini, kita dapat medasari
bahwa dalam agama Islam dua pokok keimanan, imanu nillahi (termasuk di dalamnya rukun
iman) dan imanu bi makhluqotihi (iman sosial). Ini lah yang melandasi bahwa manusia harus
bersikap baik terhadap yang lain. Oleh karena itu tindakan kekerasan itu tidak diperbolehkan
dalam agama. Jadi ketauhidan, keimanan bukan hanya sekedar kita yakini, namun juga harus
diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Demikianlah, bersikap kritis dalam artian mampu menemukan titik kerawanan dalam bersikap
negative dan kemudian merefleksikan sebagai analisa ke dalam (baca: introspeksi) bagi kita dan
agama kita.

Kekeringan Dialektika Intelektual Muda Muslim

Banyaknya kaum muda yang menjadi sasaran sebagai penganut aliran-aliran baru
tersebut mengindikasikan bahwa lemahnya intelektualitas keislaman kaum muda kita. Terbukti
mayoritas adalah mahasiswa, yang masih bisa dikatakan sebagai masa pencarian identitas dan
jati dirinya terjebak dalam pembaharuan (baca: penyimpangan) agama dengan kurangnya
pondasi dan pemahaman yang kokoh terhadap agama yang dianutnya. Oleh karena itu apakah
peran pendidikan agama (Islam) di Perguruan Tinggi masih kurang? Kita akui kondisi
pendidikan kita masih dalam kondisi yang terpuruk, tertinggal jauh dari pendidikan Barat.
Kelemahan ini hendaknya kita waspadai dan lawan. Dengan semangat yang tinggi dan sebagai
refleksi pendidikan agama serta budaya barat yang hegemonik dalam muatan modernisasi dan
globalisasi.

Melawan bukan anarkis, tapi melawan untuk maju. Dalam konteks ini kita perlu
mereformulasi paradigma kita tentang agama dan kepercayaan. Lantas dengan memperluas
dialektika pengetahuan baik agama maupun non agama. Dengan upaya meningkatkan
pengatahuan dan intelektualitas kita di berbagai bidang setidaknya mampu mengkondisikan arus
modernisasi barat menjadi modernisasi Islam dan bangsa ini yang sesuai dengan ajaran agama
dan kultur bangsa. Dengan demikian ajaran agama tetap dalam kaidah-kaidah syar’I, bukan
kaidah rasionalitas semata sebagaimana semangat modernisasi Barat. Sebab agama tanpa rasio
tidak akan bertahan lama dan akan hancur.

Oleh karena itu kaderisasi dan pendidikan agama dan bangsa hendaknya menjadi fokus
utama dalam membangun peradaban bangsa dan memperteguh keimanan kita. Karena kaum
muda kita adalah masa depan agama dan bangsa ini. Di tengah tantangan budaya kapitalistik-
modernisasi dan zaman globalisasi

Munculnya lembaga-lembaga pendidikan yang berbasis Islam dalam masyarakat


setidaknya mampu menyiapkan kaum muda muslim yang tahan akan deras globalisasi dan tetap
mempertahankan keimanannya (personal-sosial), serta melanjutkan perjuangan agama Islam.
Memperteguh ketauhidan, membawa kemaslahatan umat, dan mencegah terjadinya
kemungkaran.

Proses Pembentukan Aqidah


A. Aqidah
Aqidah secara etimologi berasal dari kata ‘aqada ya’qidu ‘aqdan, yang berarti simpul atau
ikatan dari dua utas talidalam satu buhul sehingga menjadi tersambung. Aqidah secara
terminologi merupakan perkara yang wajib di benarkan oleh hati dan jiwa menjadi tentram
karenanya, sehingga menjadi suatu kenyataan yang teguh dan kokoh, yang tidak tercampuri
oleh keraguan dan kebimbangan.
B. Akhlak
Adapun akhlak yang berarti tingkah laku seseorang yang di dorong oleh suatu keinginan
secara sadar untuk melakukan suatu perbuatan. Di mana aqidah dan akhlak selalu berkaitan
satu sama lain. Aqidah yang baik dapat membuat akhlak/tingkah laku seseorang menjadi
baik pula
C. Kedudukan Akidah Yang Benar
Akidah yang benar merupakan landasan tegaknya agama dan kunci diterimanya amalan.
Hal ini sebagaimana ditetapkan oleh Allah Ta’ala di dalam firman-Nya:
َ
‫حدًا‬ ْ ِ‫حا وَال يُشْ ر‬
َ ‫ك بِعِبَادَةِ َربِّهِ أ‬ ً ِ ‫صال‬
َ ‫مال‬
َ َ‫ل ع‬ َ ْ‫جو لِقَاءَ َربِّهِ فَلْيَع‬
ْ ‫م‬ َ ‫ن كَا‬
ُ ‫ن ي َ ْر‬ َ َ‫ف‬
ْ ‫م‬
“Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya hendaklah dia
beramal shalih dan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Nya dalam beribadah
kepada-Nya.” (QS. Al Kahfi: 110)
Allah ta’ala juga berfirman,
َ ‫ك لَئ‬ ُ
‫ين‬ ِ ‫ن الْخَا‬
َ ِ ‫سر‬ َ ‫م‬ َّ َ ‫ك وَلَتَكُون‬
ِ ‫ن‬ َ ُ ‫مل‬ َّ َ ‫حبَط‬
َ َ‫ن ع‬ ْ َ ‫ت لَي‬
َ ْ ‫ِن أشْ َرك‬
ْ َ ِ ‫ن قَبْل‬
ْ ‫م‬ َ ِ‫ك وَإِلَى الَّذ‬
ِ ‫ين‬ َ ْ ‫ِي إِلَي‬
َ ‫وَلَقَد ْ أوح‬
“Sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelummu: Sungguh,
apabila kamu berbuat syirik pasti akan terhapus seluruh amalmu dan kamu benar-benar akan
termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. Az Zumar: 65)
Ayat-ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa amalan tidak akan diterima apabila
tercampuri dengan kesyirikan. Oleh sebab itulah para Rasul sangat memperhatikan
perbaikan akidah sebagai prioritas pertama dakwah mereka. Inilah dakwah pertama yang
diserukan oleh para Rasul kepada kaum mereka; menyembah kepada Allah saja dan
meninggalkan penyembahan kepada selain-Nya.
Hal ini telah diberitakan oleh Allah di dalam firman-Nya:
َ ُ ِّ ُ ‫ولَقَد بعث ْنا في ك‬
َ ُ‫جتَنِبُوا الطَّاغ‬
‫وت‬ َ َّ ‫ن اعْبُدُوا الل‬
ْ ‫ه وَا‬ ِ ‫سوال أ‬
ُ ‫مةٍ َر‬
َّ ‫ل أ‬ ِ َ ََ ْ َ
“Dan sungguh telah Kami utus kepada setiap umat seorang Rasul yang menyerukan
‘Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut (sesembahan selain Allah)'” (QS. An Nahl: 36)

Bahkan setiap Rasul mengajak kepada kaumnya dengan seruan yang serupa yaitu,
“Wahai kaumku, sembahlah Allah. Tiada sesembahan (yang benar) bagi kalian selain Dia.”
(lihat QS. Al A’raaf: 59, 65, 73 dan 85). Inilah seruan yang diucapkan oleh Nabi Nuh, Hud,
Shalih, Syu’aib dan seluruh Nabi-Nabi kepada kaum mereka.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetap di Mekkah sesudah beliau diutus sebagai
Rasul selama 13 tahun mengajak orang-orang supaya mau bertauhid (mengesakan Allah
dalam beribadah) dan demi memperbaiki akidah. Hal itu dikarenakan akidah adalah fondasi
tegaknya bangunan agama. Para dai penyeru kebaikan telah menempuh jalan sebagaimana
jalannya para nabi dan Rasul dari jaman ke jaman. Mereka selalu memulai dakwah dengan
ajaran tauhid dan perbaikan akidah kemudian sesudah itu mereka menyampaikan berbagai
permasalahan agama yang lainnya (lihat At Tauhid Li Shaffil Awwal Al ‘Aali, hal. 9-10).
D. Unsur Pembentukan Aqidah
Unsur pembentukan aqidah menurut kaca mata Islam meliputi tiga unsur, di mana ketiga-
tiga unsure ini saling kait- mengait di antara satu sama lain. Sekiranya ada yang telah
terungkai maka di sana tidak akan wujud satu ikatan aqidah yang kukuh seperti yang
dikehendaki di dalam ajran Islam.

1. Peranan Aqal (Pemikiran)


Peranan akal dalam pembentukan aqidah ialah berfungsi untuk melihat, memikir,
mengkaji, membanding, menimbang dan seterusnya mengisbatkan kewujudan Allah. Akal
yang waras, jujur dan benar- benar bertanggungjawab akan dapat memahami kebenaran
aqidah atau dapat membuktikannya.
Contoh kebenaran aqidah yang dapat dibuktikan debgan akal dan ilmu seperti akal yang
sahih akan menerima bahawa alam ini akan musnah pada suatu hari nanti kecuali yang kekal
hanyalah Allah S.W.T :
Sebagaimana firman-Nya:
"‫ ويبقى وجه ربك ذو الجالل واإلكرام‬.‫"كل من عليها فان‬
Artinya: “ Setiap yang berada di atas muka bumi akan musnah dan kekal hanyalah wajah
Tuhan kamu yang mempunyai kebenaran dan kemulian.” ( Ar-Rahman : 26-27)
Oleh itu akal yang waras adalah penentu kepada wujudnya aqidah di dalam diri
seseorang. Seseorang yang tidak dapat membezakan antara aqidah yang sahih dan aqidah
yang palsu. Mereka juga tidak ditaklifkan dengan satu tanggungjawab yang mesti dikerjakan
kepada Allah.
2. Peranan Iradah (Daya memilih)
Unsur Iradah berkmakna kemahuan dengan penuh kerelaan hati untuk menerima dan
tunduk patuh kepada hakikat keimanan yang telah diakui oleh aqal akan kebenarannya.
Sekirannya iman itu sudah cukup mengetahui dengan aqal sahaja, sudah tentu orang
kafir Quraish dianggap sebagai beriman kerana mereka sudah mengenali Nabi Muhammad
S.A.W dan mengetahui akan kebenarannya, tetapi oleh kerana keingkaran yang ada pada diri
mereka menyebabkan mereka tidak beriman kepada Allah.
Oleh itu di dalam Islam aqidah bukan lahir dari paksaan dan kepuraan semata, tetapi ia
lahir dari kesedaran individu. Allah S.W.T menegaskan bahawa iman itu berasa daripada
kemahuan dan kerelaan hati seseorang.
Firman Allah Taala:
"‫وجحدوا بها واستيقنتها أنفسهم ظلما وعلوا‬...."
Artinya: “ Dan mereka mengingkari (ayat- ayat Allah) sedangkan mereka meyakini
kebenarannya semata- mata kerana sikap zalim dan anggkuh.” ( An- Naml : 14)

3. Peranan Wujdan (Perasaan)


Untuk membentuk aiqdag yang kukuh seperti yang disarankan dalam al-Quran maka
sangatlah perlu kepada unsure wujdan atau unsure perasaan. Kebenaran keimanan yang telah
dibuktikan oleh aqal dan ilmu perlu diserapkan di dalam hati supaya ia menjadi sebati dalam
darah daging manusia. Apabila manusia telah sampai kepada tahap ini, mereka akan
merasakan semua makhluk tidak tidak bernilai kecuali Allah S.W.T semata- mata. Keadaan
inilah yang ditunjuk oleh generasi awal Islam sehinggkan mereka dinakan Generasi Al-
Quran Yang Unit.
Cara untuk membentuk aqidah yahng berunsur wujdan perlulah melalui tiga proses
amalan:
Pertama : Penyiraman jiwa dengan ayat- ayat suci Allah, iaitu mengkaji apa yang
telah tersurat dan tersirat.
Kedua : Pembersihan hati dari sifat- sifat yang terkeji.
Ketiga : Pemupukan dengan amalan soleh.
Pengertian iman secara bahasa menurut Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin adalah
pengakuan yang melahirkan sikap menerima dan tunduk. Kata beliau makna ini cocok dengan
makna iman dalam istilah syari’at. Dan beliau mengkritik orang yang memaknai iman secara
bahasa hanya sekedar pembenaran hati (tashdiq) saja tanpa ada unsur menerima dan tunduk.
Kata ’iman’ adalah fi’il lazim (kata kerja yang tidak butuh objek), sedangkan tashdiq adalah fi’il
muta’addi.
Adapun secara istilah, dalam mendefinisikan iman manusia terbagi menjadi beragam pendapat
[dikutip dari Al Minhah Al Ilahiyah, hal. 131-132 dengan sedikit perubahan redaksional]:

Pertama
Imam Malik, Asy Syafi’i, Ahmad, Al Auza’i, Ishaq bin Rahawaih, dan segenap ulama ahli hadits
serta ahlul Madinah (ulama Madinah) –semoga Allah merahmati mereka- demikian juga para
pengikut madzhab Zhahiriyah dan sebagian ulama mutakallimin berpendapat bahwa definisi
iman itu adalah: pembenaran dengan hati, pengakuan dengan lisan, dan amal dengan anggota
badan. Para ulama salaf –semoga Allah merahmati mereka- menjadikan amal termasuk unsur
keimanan. Oleh sebab itu iman bisa bertambah dan berkurang, sebagaimana amal juga
bertambah dan berkurang (lihat Kitab Tauhid li Shaff Ats Tsaani Al ‘Aali, hal. 9).
Kedua
Banyak di antara ulama madzhab Hanafi yang mengikuti definisi sebagaimana yang disebutkan
oleh Ath Thahawi rahimahullah yang mengatakan bahwa iman itu pengakuan dengan lisan dan
pembenaran dengan hati.

Ketiga
Ada pula yang mengatakan bahwa pengakuan dengan lisan adalah rukun tambahan saja dan
bukan rukun asli. Inilah pendapat Abu Manshur Al Maturidi rahimahullah, dan Abu Hanifah pun
diriwayatkan memiliki sebuah pendapat seperti ini.

Keempat
Sekte Al Karramiyah mengatakan bahwa iman itu hanya pengakuan dengan lisan saja! Maka dari
definisi mereka ini orang-orang munafiq itu dinilai sebagai orang-orang beriman yang sempurna
keimanannya, akan tetapi menurut mereka orang-orang munafiq itu berhak mendapatkan
ancaman yang dijanjikan oleh Allah untuk mereka! Pendapat mereka ini sangat jelas
kekeliruannya.

Kelima
Jahm bin Shafwan dan Abul Hasan Ash Shalihi –salah satu dedengkot sekte Qadariyah-
berpendapat bahwa iman itu cukup dengan pengetahuan yang ada di dalam hati! [Dan inilah
yang diyakini oleh kaum Jabariyah, lihat. Syarh ‘Aqidah Wasithiyah, hal. 163]. Pendapat ini jauh
lebih jelas kerusakannya daripada pendapat sebelumnya! Sebab kalau pendapat ini dibenarkan
maka konsekuensinya Fir’aun beserta kaumnya menjadi termasuk golongan orang-orang yang
beriman, karena mereka telah mengetahui kebenaran Musa dan Harun ‘alaihimash sholatu was
salam dan mereka tidak mau beriman kepada keduanya. Karena itulah Musa mengatakan kepada
Fir’aun,”Sungguh kamu telah mengetahui dengan jelas bahwa tidaklah menurunkan itu semua
melainkan Rabb pemilik langit dan bumi.” (QS. Al Israa’ [17]: 102). Allah Ta’ala berfirman
(yang artinya),”Mereka telah menentangnya, padahal diri mereka pun meyakininya, hal itu
dikarenakan sikap zalim dan perasaan sombong. Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan
orang-orang yang melakukan kerusakan itu.” (QS. An Naml [27]: 14). Bahkan iblis pun dalam
pengertian Jahm ini juga termasuk kaum beriman yang sempurna imannya! Karena ia tidaklah
bodoh tentang Rabbnya, bahkan dia adalah sosok yang sangat mengenal Allah (yang
artinya),”Iblis berkata,’Rabbku, tundalah kematianku hingga hari mereka dibangkitkan nanti.’.”
(QS. Al Hijr [15]: 36). Dan hakekat kekufuran dalam pandangan Jahm ini adalah ketidaktahuan
tentang Allah ta’ala, padahal tidak ada yang lebih bodoh tentang Rabbnya daripada dia!!

Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata, “Iman itu meliputi perkataan dan perbuatan. Dia bisa
bertambah dan bisa berkurang. Bertambah dengan sebab ketaatan dan berkurang dengan sebab
kemaksiatan.” Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, “Iman bisa bertambah dan bisa
berkurang. Ia bertambah dengan melakukan amal, dan ia berkurang dengan sebab meninggalkan
amal.” (Perkataan dua orang imam ini bisa dilihat di Al Wajiz fii ‘Aqidati Salafish shalih, hal.
101-102) Bahkan Imam Bukhari rahimahullah mengatakan, “Aku telah bertemu dengan lebih
dari seribu orang ulama dari berbagai penjuru negeri, aku tidak pernah melihat mereka berselisih
bahwasanya iman adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan berkurang.”

Tanda Orang-Orang Beriman


َ‫) الَّ ِذينَ يُقِي ُمون‬2( َ‫إِنَّ َما ا ْل ُمؤْ ِمنُونَ الَّ ِذينَ إِ َذا ُذ ِك َر هَّللا ُ َو ِجلَتْ قُلُوبُ ُه ْم َوإِ َذا تُلِيَتْ َعلَ ْي ِه ْم آيَاتُهُ َزا َد ْت ُه ْم إِي َمانًا َو َعلَ ٰى َربِّ ِه ْم َيتَ َو َّكلُون‬
ٌ ‫) أُو ٰلَئِ َك ُه ُم ا ْل ُمؤْ ِمنُونَ َحقًّا ۚ لَّ ُه ْم َد َر َجاتٌ ِعن َد َربِّ ِه ْم َو َم ْغفِ َرةٌ َو ِر ْز‬3( َ‫صاَل ةَ َو ِم َّما َر َز ْقنَا ُه ْم يُنفِقُون‬
4( ‫ق َك ِري ٌم‬ َّ ‫ال‬

“Sesungguhnya orang beriman itu hanyalah mereka yang disebut nama Allah bergetar hatinya,
jika dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya ayat itu membuat iman mereka makin bertambah,
dan hanya Kepada Rabb mereka bertawakkal . Yaitu orang yang mendirikan shalat dan
menginfakkan sebagian (harta) yang Kami rezkikan kepada mereka. Mereka itulah orang
beriman yang hakiki, dan mereka akan memperoleh kedudukan (derajat) yang tinggi di sisi
Tuhan mereka, ampunan, serta rezki yang mulia” (terj. Qs. Al-Anfal ayat 2-4).

Iman itu bukan sekadar angan-angan, tapi keyakinan yang tertanam dalam hati dan dibuktikan
kebenarannya oleh amal perbuatan (Hasan al-Bashri rahimahullah)

Memiliki Rasa Takut di Dalam Hatinya

Allah Ta’ala berfirman

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah
gemetarlah hati mereka” (QS. Al-Anfal: 2)

Hanya orang yang beriman jika disebutkan nama Allah, muncul rasa takut dalam hatinya. Rasa
takutnya sebagai bentuk mengagungkan Allah. Sebagai contoh, jika ada seseorang yang
berkeinginan melakukan maksiat, kemudian ia teringat Allah atau ada yang mengingatkannya
dengan mengatakan, “bertakwalah anda kepada Allah”, maka dia adalah seorang yang mukmin.
Rasa takut tersebut adalah ciri-ciri orang yang beriman.

Adanya Tambahan Iman ketika Ayat Quran Dibacakan

Allah Ta’ala berfirman

“dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya)” (QS. Al-
Anfal: 2)

Hal ini menjadi bukti keimanan seseorang  ketika Al Qur’an dibaca baik oleh dirinya ataupun
orang lain, ia dapat mengambil manfaat dengan bertambahnya rasa iman.

Tawakkal Hanya kepada Allah

Allah Ta’ala berfirman

“dan hanya kepada Rabbnya mereka bertawakkal” (QS. Al-Anfal: 2).

Orang yang beriman akan menyandarkan segala urusannya hanya kepada Allah, bukan kepada
yang lain. Akan tetapi mereka juga melakukan sebab agar terwujudnya suatu hal, di samping
tetap bertawakkal kepada Allah. Karena mereka yakin bahwa tidak akan terwujud suatu hal
kecuali atas kehendak Allah.
Mendirikan Shalat

Allah Ta’ala berfirman

“(yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat” (QS. Al-Anfal: 3).

Banyak ayat yang menunjukkan shalat adalah bukti keimanan seseorang, salah satu dalam ayat
ini. Orang yang beriman akan mendirikan shalat secara sempurna, baik shalat yang hukumnya
wajib maupun yang dianjurkan.

Senang Berinfak

Allah Ta’ala berfirman

“dan yang menginfakkan rizki yang Kami berikan kepada mereka” (QS. Al-Anfal: 3).

Seorang dikatakan beriman ketika ia menginfakkan hartanya di jalan Allah. Sebagaimana yang
dilakukan oleh Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, beliau menginfakkan seluruh hartanya di jalan
Allah. Namun ada catatan penting, ketika ada yang memiliki kebutuhan mendesak, baik dari
keluarga maupun orang lain, maka tidak sepatutnya menginfakkan seluruh hartanya.

Demikianlah 5 sifat orang beriman yang Allah sebut dalam surah Al-Anfal ayat ke-2 dan ke-3.
Kemudian di awal ayat ke 4 Allah sebut mereka itulah orang yang memiliki iman dengan
sebenar benar iman. Allah mengatakan:

“Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya” (QS. Al-Anfal: 4).

Berakhlak mulia

Berasal dari bahasa arab yang berarti tabiat, perangai, tingkah laku, kebiasaan, kelakuan.
Menurut istilah, akhlak ialah sifat yang tertanam di dalam diri manusia yang bisa mengeluarkan
sesuatu dengan senang dan mudah tanpa ada paksaan dan suatu pemikiran. Adapun nilai-nilai
akhlak islam yaitu ikhlas, jujur, adil, rendah hati, sabar seperti yang ada pada diri para nabi.

Anda mungkin juga menyukai