Tidak begitu dapat dipastikan apakah Ilmu Kalam itu singkatan dari Ilmu Kaiamuilah
(ilmu tentang kalam atau firman Allah), atau singkatan dari ilmu Kalam al-Mutakallimin
(ilmu tentang kalam atau pembicaraan/perdebatan para mutakalliminin). Jadi tidak dapat
dipastikan mengapa ilmu yang membicarakan aqidah-aqidah dalam Islam disebut Ilmu
Kalam. Namun demikian penamaan Ilmu Kalam itu memiliki beberapa alasan sebagai
berikut:
a. Persoalan kaiamuilah (apakah firman Allah itu diciptakan atau bukan, hadits atau qadim
merupakan persoalan yang diperdebatkan dengan sengit sekali di kalangan para ulama
pada abad kedua dan ketiga Hijrah, dan persoalan itu cukup menggoncangkan umat,
karena Daulat Bani Abbasiah, yang menganut paham Mu'tazilah, pernah lebih dari
sepuluh tahun memaksa ulama-ulama supaya menganut paham bahwa kaiamuilah itu
makhluk.
b. Sebagian dari ulama-ulama dalam bidang aqidah Islam ini berusaha menjelaskan dan
membela aqidah Islam dengan menggunakan metoda ilmu logika atau mantiq, yang
lazim digunakan oleh para filosof. Para ulama itu, dalam rangka membedakan diri
mereka dengan para filosof, menyebut metoda yang mereka pakai dengan sebutan al-
kalam, sehingga mereka dapat disebut ahlul-kalam, sedang para filosof dapat disebut
ahlul-manthiq
c. .Pembicaraan dalam bentuk perdebatan pada lapangan aqidah Islam, yang pada masa
Rasulullah daifmasa Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali) tidak
pernah terjadi, ternyata sejak abad kedua Hijrah menjadi muncul dan bahkan sangat
sengit. Masalah-masalah yang didiamkan saja oleh dua atau tiga generasi pertama
umat Islam (generasi salaf), sejak abad kedua tidak didiamkan lagi, tapi dibicarakan dan
diperdebatkan.
d. Masalah-masalah yang diperdebatkan dalam lapangan aqidah itu lebih dirasakan sebagai
masalah-masalah yang terbatas pada pembicaraan, dan jauh kaitannya dengan
pengamalan.
Boleh jadi karena keempat hal di atas, atau karena sebagiannya, maka ilmu yang
berbicara dalam lapangan aqidah Islam menjadi populer dengan sebutan Ilmu Kalam,
kendati ada sebagian ulama, seperti Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi'i, dan Imam
Hanbali membenci nama Ilmu Kalam tersebut. Mereka lebih senang memakai nama Ilmu
Tauhid, Ilmu Ushuluddin, atau Ilmu 'Aqaid.
Di dunia Barat, pembicaraan tentang aqidah disebut teologi. Dengan demikian ilmu
yang membicarakan aqidah Islam, disebut oleh sarjana-sarjana Barat dengan nama
Teologi Islam, Sebutan Teologi Islam di negeri kita ini sudah menjadi populer pula, sebagai
salah satu dari sekian nama yang diberikan bagi ilmu yang membicarakan aqidah Islam.
Itulah pengertian ilmu. Kalam secara etimologis, yakni arti menurut asal katanya.
Kelompok khawarij ini merupakan bagian dari kelompok pendukung Ali yang
memisahkan diri, dengan beralasan ketidak setujuan mereka terhadap sikap Ali bin abi
Thalib yang menerima tahkim (arbitrase) dalam upaya untuk menyelesaikan persilisihan
dan konfliknya dengan mu’awiyah bin abi sofyan, gubernur syam, pada waktu perang
siffin. Latar belakang ketidak setujuan mereka itu, beralasan bahwa tahkim itu
merupakan penyelesaian masalah yang tidak di dasarkan pada ajaran Al-Qur’an, tapi
ditentukan oleh manusia sendiri, dan orang yang tidak Memutuskan hukum dengan al-
quran adalah kafir. Dengan demikian, orang yang melakukan tahkim dan merimanya
adalah kafir.
Atas dasar ini, kemudian golongan yang semula mendukung Ali ini selanjutnya
berbalik menentang dan memusuhi Ali beserta tiga orang tokoh pelaku tahkim lainnya
yaitu Abu Musa Al-Asyari, Mu’awiyah bin Abi Sofyan dan Amr Bin Ash.Untuk itu
mereka berusaha keras agar dapat membunuh ke empat tokoh ini, dan menurut fakta
sejarah, hanya Ali yang berhasil terbunuh ditangan mereka.
2. Aliran Murji’ah
Aliran Murji’ah ini muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat
dalam upaya kafir mengkafirkan terhadap orang yang melakukan dosa besar, sebagai
mana hal itu dilakukan oleh aliran khawarij. Mereka menangguhkan penilaian terhadap
orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim itu di hadapan tuhan, karena hanya
tuhanlah yang mengetahui keadaan iman seseorang. Demikian pula orang mukmin yang
melukan dosa besar masih di anggap mukmin di hadapan mereka. Orang mukmin yang
melakukan dosa besar itu dianggap tetap mengakui bahwa tiada tuhansealin allah dan
Nabi Muhammad sebagai Rasulnya. Dengan kata lain bahwa orang mukmin sekalipun
melakukan dosa besar masih tetap mangucapkan dua kalimat syahadat yang menjadi
dasar utama dari iman. Oleh karena itu orang tersebut masih tetap mukmin, bukan kafir.
Pandangan mereka itu terlihat pada kata murji’ah yang barasal dari kata arja-a yang
berarti menangguhkan, mengakhirkan dan memberi pengharapan.
Ajaran-ajaran Murji’ah
Iman Hanya membenarkan (pengakuan) di dalam Hati
Orang islam yang melakukan dosa besar tidak dihukumkan kafir. Muslim tersebut
tetap mukmin selama ia mengakui dua kalimat syahadt.
Hukum terhadap perbuatan manusia di tangguhkan hingga hari kiamat
Tokoh murji’ah Moderat antara lain adalah hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib,
Abu Hanifah, Abu Yusufdan beberapa ahli hadits, yang berpendapat, bagaimanapun
besarnya dosa seseorang, kemungkinan mendapat ampunan dari tuhan masih ada.
Sedangkan yang ekstrem antara lain ialah kelompok Jahmiyah, pengikut Jaham bin
Shafwan. Kelompok ini berpendapat, sekalipun seseorang menyatakan dirinya musyrik,
orang itu tidak dihukum kafir.
3. Aliran Qadariyah
Qadariyah berakar pada qadara yang dapat berarti memutuskan dan memiliki
kekuatan atau kemampuan.Sedangkan sebagai suatu aliran dalam ilmu kalam, qadariyah
adalah nama yang dipakai untuk suatu aliran yang memberikan penekanan terhadap
kebebasan dan kekuatan manusia dalam menghasilkan perbuatan-perbuatannya. Dalam
paham qadariyah manusia di pandang mempunyai qudrat atau kekuatan untuk
melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa
tunduk kepada qadar dan qada Tuhan.
Aliran ini merupakan aliran yang suka mendahulukan akal dan pikiran dari pada prinsip
ajaran Al-Qur’an dan hadits sendiri. Al-Qur’an dan Hadits mereka tafsirkan berdasarkan
logika semata-mata. Padahal kita tahu bahwa logika itu tidak bisa menjamin seluruh
kebenaran, sebab logika itu hanya jalan pikiran yang menyerap hasil tangkapan panca
indera yang serba terbatas kemampuannya. Jadi seharusnya logika dan akal pikiranlah
yang harus tunduk kepada Al-Qura’n dan Hadits, bukan sebaliknya.
Tokoh utama Qadariyah ialah Ma’bad Al-Juhani dan Ghailan al Dimasyqi. Kedua tokoh
ini yang mempersoalkan tentang Qadar.
Selanjutnya terlepas apakah paham qadariyah itu di pengaruhi oleh paham luar atau tidak,
yang jelas di dalam Al-Qur’an dapat di jumpai ayat-ayat yang dapat menimbulkan paham
qadariyah .
4. Aliran Jabariyah
Nama jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa.
Sedangkan menurut al-Syahrastani bahwa Jabariyah berarti menghilangkan perbuatan
dari hamba secara hakikat dan menyandarkan perbuatan tersebutkepada Allah.[18] Dan
dalam bahasa inggris disebut dengan fatalism atau predestination, yaitu paham yang
menyatakan bahwa perbuatan manusia di tentukan sejak semula oleh qada dan qadar
tuhan.
Disisi lain, aliran ini tetap berpendapat bahwa manusia tetap mendapat pahala
atau siksa karena perbuatan baik atau jahat yang dilakukannya. Paham bahwa perbuatan
yang dilakukan manusia adalah sebenarnya perbuatan tuhan tidak menafikan adanya
pahala dan siksa.
5. Aliran Mu’tazilah
Perkataan Mu’tazilah berasal dari kata Í’tizal” yang artinya “memisahkan diri”,
pada mulanya nama ini di berikan oleh orang dari luar mu’tazilah karena pendirinya,
Washil bin Atha’, tidak sependapat dan memisahkan diri dari gurunya, Hasan al-Bashri.
Dalam perkembangan selanjutnya, nama ini kemudian di setujui oleh pengikut
Mu’tazilah dan di gunakan sebagai nama dari bagi aliran teologi mereka.
Aliran mu’tazilah lahir kurang lebih 120 H, pada abad permulaan kedua hijrah di
kota basyrah dan mampu bertahan sampai sekarang, namun sebenarnya, aliran ini telah
muncul pada pertengahan abad pertama hijrah yakni diisitilahkan pada para sahabat yang
memisahkan diri atau besikap netral dalam peristiwa-peristiwa politik. Yakni pada
peristiwa meletusnya perang jamal dan perang siffin, yang kemudian mendasari sejumlah
sahabat yang tidak mau terlibat dalam konflik tersebut dan memilih untuk menjauhkan
diri mereka dan memilih jalan tengah.
Disisi lain, yang melatarbelakangi munculnya kedua Mu’tazilah diatas tidaklah sama dan
tidak ada hubungannya karena yang pertama lahir akibat kemelut politik, sedangkan yang
kedua muncul karena didorong oleh persoalan aqidah.
Pokok-pokok ajaran Mu’tazilah
Ada lima prinsip pokok ajaran Mu’tazilah yang mengharuskan bagi pemeluk ajaran ini
untuk memegangnya, yan dirumuskan oleh Abu Huzail al-Allaf :
al Tauhid (keesaan Allah)
al ‘Adl (keadlilan tuhan)
al Wa’d wa al wa’id (janji dan ancaman)
al Manzilah bain al Manzilatain (posisi diantara posisi)
amar mauruf dan Nahi mungkar.
Pokok-pokok pemikirannya :
Sifat Tuhan. Pendapatnya sejalan dengan al Asy’ari
Perbuatan Manusia. Menurtnya, Perbuatan manusia sebenarnya di wujudkan oleh
manusia itu sendiri, dan bukan merupakan perbuatan tuhan.
Al Quran. Pendapatnya sejalan dengan al Asy’ari
Kewajiban tuhan. Menurutnya, tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu.
Muslim yang berbuat dosa. Pendapatnya sejalan dengan al Asy’ari
Janji tuhan. Menurutnya, janji pahala dan siksa mesti terjadi, dan itu merupakan janji
tuhan yang tidak mungkin di pungkirinya.
Antrophomorphisme.
7. Aliran Syiah
Secara bahasa Syi’ah berarti pengikut. Yang dimaksud dengan pengikut disini
ialah para pendukung Ali bin Abi Thalib. Secara istilah Syi’ah sering di maksudkan pada
kaum muslimin yang dalam bidang spritual dan keagamaannya selalu merujuk pada
keturuan Nabi Muhammad SAW, atau yang sebut sebagai ahl al-bait.selanjutnya, istilah
yiah ini untuk pertama kalinya di tujukan pada para pengikut ali (syi’ah ali), pemimpin
pertama ahl- al bait pada masa Nabi Muhammad SAW. Para pengikut ali yang disebut
syi’ah ini diantaranya adalah Abu Dzar al Ghiffari, Miqad bin Al aswad dan Ammar bin
Yasir.
Mengenai latar belakng munculnya aliran ini, terdapat dua pendapat, pertama
menurut Abu Zahrah, Syi’ah mulai muncul pada akhir dari masa jabatan Usman bin
Affankemudian tumbuh dan berkembang pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib,
Adapun menurut Watt, Syi’ah bener-bener muncul ketika berlangsung peperangan antara
Ali dan Mu’awiyah yang dikenal denganPerang siffin. Dalam peperangan ini, sebagai
respon atas penerimaan ali terhadap arbitrase yang diatwarkan Mu’awiyah, pasukan Ali
di ceritakan terpecah menjadi dua, satu kelompok mendukung sikap Ali –kelak di sebut
Syi’ah dan kelompok lain menolak sikap Ali, kelak di sebut Khawarij.
al ‘adl
Kaum Syi’ah mempunyai keyakinan bahwa Allah Maha Adil. Allah tidak melakukan
perbuatan zhalim dan perbuatan buruk, ia tidak melakukan perbuatan buruk karena ia
melarang keburukan, mencela kezaliman dan orang yang berbuat zalim.
al Nubuwwah
Kepercayaan Syi’ah terhadap para Nabi-nabi juga tidak berbeda dengan keyakinan umat
muslim yang lain. Menurut mereka, Allah mengutussejumlah nabi dan rasul ke muka
bumi untnk membimbing umat manusia.
al imamah
Menurut Syi’ah, Imamah berarti kepemimpinan dalam urusan agama dan dunia
sekaligus, ia pengganti rasul dalam memelihara Syari’at, melaksanakan Hudud, dan
mewujudkan kebaikan dan ketentraman umat.
al ma’ad
Ma’ad berarti tempat kembali (hari akhirat), kaum Syi’ah sangat percaya sepenuhnya
akan adanya hari akhirat, bahwa hari akhirat itu pasti terjadi.
8. Aliran Salafiyah
Secara bahasa salafiyah berasal dari kata salaf yang berarti terdahulu, yang
dimaksud terdahulu disini adalah orang-orang terdahulu yang semasa Rasul SAW, para
sahabat, para tabi’in, dan tabitt tabi’in. sedangakan salafiyah berarti orang-orang yang
mengikuti salaf. Istilah salaf mulai dikenal dan muncul beberapa abad abad sesudah
Rasul SAW wafat, yaitu sejak ada orang atau golongan yang tidak puas memahami al
Qur’an dan hadits tanpa ta’wil, terutama untuk menjelaskan maksud-maksud tersirat dari
ayat-ayat al-Qur’an sehingga tidak menimbulkan hal-hal yang tidak layak bagi Allah
SWT. Orang yang termasuk dalam kategori salaf adalah orang yang hidup sebelum tahun
300 hijriah, orang yang hidup sesudah tahun 300 H termasuk dalam kategori khalaf.
Dalam perkembangannya, ajaran yang bermula pada Imam Ahmad bin Hanbal ini,
selanjutnya di kembangkan oleh Ibnu Taimiyah, kemudian di suburkan oleh Imam
Muhammad bin Abdul Wahab.dan akhirnya berkembang di dunia Islam secara Spodaris.
Pada abad ke 20 M gerakan ini muncul dengan dimensi baru. Tokoh-tokohnya adalah
Jamaluddin al Afgani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
Syekh Muhammad Abduh adalah murid Al afgani dan Muhammad Rasyid Ridaha adalah
murid dari Muhammad Abduh, meskipun dalam beberapa hal antara dengan guru berbeda
dalam banyak hal mereka sama.
A. Aqidah
Aqidah adalah ialah suatu keyakinan/kepercayaan yang mengikat jiwa raga kita yang
menjadi pegangan dan pedoman hidup kita (Way of Life) dalam menempuh jalan raya hidup ini
menuju kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Aqidah itu di atas segala-galanya dan manusia
rela berkorban demi mempertahankan aqidahnya. Seorang penyair Mesir yang terkenal, Syauqi
Beik berkata :
Ungkapan tersebut mengingatkan kita supaya berani berjihad membela pendirian yang
benar, karena nilai hidup ini ditentukan oleh aqidah dan jihad, dengan kata lain, tidak ada arti
hidup tanpa aqidah dan tidak ada arti aqidah, jika tidak dibuktikan dengan keberanian berjihad
membela aqidah yang telah dijadikan sebagai pegangan dan pedoman hidup.
Dalam ajaran islam, aqidah memiliki kedudukan yang sangat penting, ibarat suatu
bangunan, aqidah adalah pondasinya. Aqidah dapat pula diibaratkan akar dalam sebuah pohon.
Perumpamaan yang sangat menarik dalam Al-Qur’an nahwa seseorang mukmin itu laksana
“Kalimatan thoyyibah” (Kalimat yang baik), dan laksana pohon yang baik “Syajaratun
thoyyibah” (QS.14:24-25). Kalimat yang baik itu adalah laa ilaaha illa Allah (syahadat).
Dalam Islam, aqidah yang benar merupakan pokok tegaknya agama dan kunci
diterimanya amal perbuatan manusia. Aqidah Islam yang bersendikan Tauhid atau mengesakan
Allah, menegaskan bahwa Tauhid tidak boleh tercampur dengan syirik. Oleh sebab itu para
Rasul yang diutus oleh Allah ke muka bumi ini sangat memperhatikan tegaknya aqidah. Prioritas
dakwah mereka adalah aqidah.
Di dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang menyebutkan tentang aqidah, seperti
pada surat Al-Baqarah ayat 177 :
Artinya : Bukanlah menghadapkan wajahmu kearah timur dan ke barat itu suatu kebaktian, akan
tetapi sesungguhnya kebaktian itu ialah kebaktian orang yang beriman kepada Allah, hari
kemudian malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi.
Dalam Al-Qur-an banyak sekali dijelaskan sifat atau tanda orang beriman. Implementasi
iman seseorang dapat terlihat pada sifat yang melekat pada tingkah lakunya. Orang yang
menerapkan iman maka akan muncul darinya amal dan ketinggian akhlak dalam kehidupan
sehari-harinya. Sifat orang beriman juga dipaparkan dalam berbagai surat pada Al-Qur’an,
diantaranya; QS. 3 (Ali-Imron):120; QS. 5 (Al-Maidah):12; QS. 12 (Al-Anfal):2; QS.9 (At-
Taubah):52; QS. 23 (Al-Mukminun):2-11; dll. Sebagai contoh disebutkan sifat atau tanda orang
yang beriman pada QS. 23 (Al-Maidah):2-11, antara lain khusyu’ dalam menjalankan salat,
menjauhkan diri dari perbuatan yang tidak berguna, menunaikan zakat, dan menjaga amanah dan
jani, serta menjaga salat.
Implementasi iman kepada kitab suci, dapat diwujudkan dengan memiliki kepercayaan
diri yang kuat akan kebenaran aturan Allah dalam kitab suci-Nya. Maka ia akan menata
hidupnya menyesuaikan dengan rencana Allah, sehingga memiliki harapan masa depan yang
jelas dan pasti.
Iman kepada Rasul dapat diwujudkan dengan meneladani perilaku para Rasul dalam
kehidupan kita sehari-hari. Setiap Rasul merupakan suri tauladan hidup bagi umatnya bahkan
untuk seluruh manusia, mulai dari ibadahnya para Rasul maupun muamalah, hingga tingkah laku
dan juga tutur katanya. Iman kepada Rasul dapa direalisasikan dengan berusaha untuk berlaku
jujur (Shidiq), bertanggung jawab dalam mengemban amanah, menyampaikan nasehat/misi
kebenaran (Tabligh), berlaku cerdas dan bijaksana (Fathonah). Sejarah hidup para Rasul
merupakan inspirasi bagi umat manusia untuk menjalan hidup dengan benar yang menjunjung
tinggi nilai-nilai kebaikan.
Iman kepada Hari Akhir juga akan berdampak kepada kehidupan sehari-hari kita.
Keimanan ini akan melahirkan rasa keyakinan bahwa seluruh perbuatan kita tidak ada yang sia-
sia, karena seluruh amal perbuatan kita dihitung dan dicatat. Setiap detik dalam kehidupan kita
memiliki makna yang baik yang akan berubah menjadi pahala di akhirat kelak. Contoh perilaku
yang mencerminkan iman kepada Hari Akhir antara lain, taat dan patuh beribadah, menjauhi
kemaksiatan, rajin bersedakah, suka menolong orang lain, selalu bersyukur, bersikap jujur dan
adli, selalu berusaha menjadi lebih baik dari sebelumnya, bersikal rendah hati, dan lapang dada.
Iman kepada Qada dan Qadar akan menumbuhkan kesadaran bahwa segala yang ada dan
terjadi di alam semesta ini merupakan kehendak dan kuasa Allah. Maka kita sebagai orang
beriman tidak boleh meratapi takdir atau bahkan mencela bagian/nasib yang diberikan Allah.
Allah memberikan yang terbaik berdasarkan sifat Kasih dan Syang-Nya. Iman kepada Qada dan
Qadar akan melahirkan sifat optimis, tidak mudah putus asa, dan kecewa. Orang beriman apabila
ia mendapatkan keberuntungan, ia akan bersyukur dan berbagi kepada orang lain. Namun ketika
ia mendapatkan musibah, orang beriman akan menghadapinya dengan sabar dan tabah. Sikap
positif ini akan mendapatkan hadiah berupa pahala yang luar biasa dari Allah.
Tantangan Akidah dalam Kehidupan Modern
Pengaruh budaya dan ideologi yang merasuki kaum muda daam pola berpikir atau cara
pandang kaum muda dalam menghadapi sesuatu. Ini justru lebih berbahaya dari pada apa yang
tampak jelas. Akibat goyangnya cara pandang mereka banyak diantara kaum muda yang mudah
terjebak dalam common sense (baca: pandangan umum, bukan cara berpikir sehat) yang belum
tentu kebenarannya. Di antaranya slogan “anti kemapanan,” atau selalu ingin perubahan.
Berpikir futuristik dan selalu yang baru itu bagus, tetapi apakah berarti kita dengan
meninggalkan sesuatu yang lama tapi itu bagus untuk masa depan? Bukankah kita tahu bahwa
mestinya kita menggunakan sesuatu yang baru tapi baik, serta tidak meninggalkan sesuatu yang
lama selagi itu baik. Artinya sesuatu yang lama tidak sepenuhnya buruk begitu pula sebaliknya,
tidak seluruhnya yang baru itu baik. Oleh karena itu anggapan “anti kemapanan” perlu
diredekonstruksi.
Fenomena munculnya ajaran-ajaran baru dalam Islam, sangat cocok dengan sebagian
kaum muda yang berpandangan anti kemapanan atau rindu dengan sesuatu yang baru. Tentunya
hal ini tidak dibenarkan dalam agama. Hal ini akan lebih bermanfaat jika diterapkan dalam
teknologi atau ilmu pengetahuan.
Selain pandangan anti kemapanan, cara berpikir pragmatis yang dilakukan dalam sikap
dan perilaku terhadap sesuatu hal, misalnya. Akan tidak sesuai jika diterapkan dalam Agama
Islam. Mencari sesuatu yang mudah (gampang), tidak ingin yang neko-neko atau yang tidak
praktis adalah ciri yang tampak. Sehingga dalam beribadah misalnya maunya yang enak-enak
tok. Dalam bersuci misalnya lebih praktis bertayamum dari pada berwudlu, karena malas ke
kamar mandi, lebih dekat dengan kaca jendela kamar. Atau menjamak sholat jika malas, padahal
belum memenuhi syarat-syaratnya. Demikian yang terjadi dengan aliran-aliran baru tersebut—
tanpa memperdebatkan sesat tidaknya—sholat yang lima kali hanya tiga kali, bahkan tidak wajib
hukumnya. Atau bila dalam agama Islam harus menikah dahulu jika ingin menjalin hubungan
antara laki-laki dan perempuan, namun berbeda dengan ajaran baru tersebut yang membolehkan
perzinaan. Bukankah hal ini lebih mudah, tidak banyak aturan yang cukup mengikat. Lebih
banyak kelonggaran-kelonggaran dan kebebasan. Tidak ada yang memaksa atau mengekangnya.
Merunut hal tersebut betapa pentingnya peran pondok pesantren atau lembaga-lembaga
pendidikan Islam yang memberikan pengetahuan keagamaan (Islam). Selain itu kurangnya
dakwah yang sesuai dengan ajaran Islam sangatlah sedikit. Bahkan yang terjadi adalah
penyimpangan-penyimpangan. Tayangan sinetron yang berbau Islam justru tidak menyampaikan
nilai-nilai Islam yang sebenarnya. Atau iklan baik dalam media elektonik maupun cetak tidak
memberikan cerminan terhadap ajaran Islam. Semuanya telah terbuai oleh materialistik-
kapitalisme. Bahwa pandangan untuk mencari keuntungan material atau uang yang utama dan
tidak memandang terhadap nilai-nilai yang lain termasuk agama Islam.
Menyebarnya hegemoni dan wacana-wacana barat dalam kehidupan (bangsa dan agama;
keseharian) kita perlu kita perhatikan secara seksama, sebab bila tidak pola dan tatanan
kehidupan bangsa ini akan runtuh. Oleh karena itu upaya yang harus kita lakukan pertama
dengan penguatan dan pendalaman pemahaman kita terhadap aqidah dan keimanan agama Islam
sesuai dengan yang telah disyari’atkan dalam Al-Qur’an dan Hadist Nabi.
Keyakinan ketuhanan yang Esa, yakni Allah dan nabi Muhammad SAW sebagai nabi
yang terakhir sebagaimana dalam dua kalimat Shahadat. Meyakini berarti baik dalam sikap atau
perilaku maupun batiniah kita. Jika di dunia Islam masa lalu mengalami kejumudan pemikiran,
dan pasca kolonial di Indonesia menghadapi tantangan tahayul, bid’ah, dan churafat, dan kini
Islam menghadapi masalah internnya—pemurtadan, penodaan, penyimpangan ajaran Islam—
sendiri, yakni dengan munculnya aliran-aliran yang dianggap sesat oleh kaum Islam.
Menyikapi hal ini hendaknya kita tidak terjebak dalam isu penyesatan dan penodaan agama yang
akhirnya akan menimbulkan tindakan ekstrem (kekerasan massa). Lantas bagaimana kita
bersikap? Mestinya kita berpandangan lebih objektif dan secara kritis. Seringkali pemahaman
kita yang parsial dan dangkal analisis melihat hal tersebut secara hitam putih. Dan kita jangan
sampai terjebak di dalamnya. Boleh jadi fenomena seperti ini terjadi akibat kegagalan agama-
agama besar termasuk Islam sendiri. Hal ini bisa kita lihat melalui media massa maupun metode
dakwah Islam masa kini.
Banyak model dakwah di era modern belum tentu mencerminkan nilai-nilai ajaran agama Islam
yang benar. Inti dari tauhiq dan keimanan bukan hanya sebatas kita menyembah Allah, namun
juga kita bermua’malah kepada sesama makhluk ciptaan Allah. Pada titik ini, kita dapat medasari
bahwa dalam agama Islam dua pokok keimanan, imanu nillahi (termasuk di dalamnya rukun
iman) dan imanu bi makhluqotihi (iman sosial). Ini lah yang melandasi bahwa manusia harus
bersikap baik terhadap yang lain. Oleh karena itu tindakan kekerasan itu tidak diperbolehkan
dalam agama. Jadi ketauhidan, keimanan bukan hanya sekedar kita yakini, namun juga harus
diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Demikianlah, bersikap kritis dalam artian mampu menemukan titik kerawanan dalam bersikap
negative dan kemudian merefleksikan sebagai analisa ke dalam (baca: introspeksi) bagi kita dan
agama kita.
Banyaknya kaum muda yang menjadi sasaran sebagai penganut aliran-aliran baru
tersebut mengindikasikan bahwa lemahnya intelektualitas keislaman kaum muda kita. Terbukti
mayoritas adalah mahasiswa, yang masih bisa dikatakan sebagai masa pencarian identitas dan
jati dirinya terjebak dalam pembaharuan (baca: penyimpangan) agama dengan kurangnya
pondasi dan pemahaman yang kokoh terhadap agama yang dianutnya. Oleh karena itu apakah
peran pendidikan agama (Islam) di Perguruan Tinggi masih kurang? Kita akui kondisi
pendidikan kita masih dalam kondisi yang terpuruk, tertinggal jauh dari pendidikan Barat.
Kelemahan ini hendaknya kita waspadai dan lawan. Dengan semangat yang tinggi dan sebagai
refleksi pendidikan agama serta budaya barat yang hegemonik dalam muatan modernisasi dan
globalisasi.
Melawan bukan anarkis, tapi melawan untuk maju. Dalam konteks ini kita perlu
mereformulasi paradigma kita tentang agama dan kepercayaan. Lantas dengan memperluas
dialektika pengetahuan baik agama maupun non agama. Dengan upaya meningkatkan
pengatahuan dan intelektualitas kita di berbagai bidang setidaknya mampu mengkondisikan arus
modernisasi barat menjadi modernisasi Islam dan bangsa ini yang sesuai dengan ajaran agama
dan kultur bangsa. Dengan demikian ajaran agama tetap dalam kaidah-kaidah syar’I, bukan
kaidah rasionalitas semata sebagaimana semangat modernisasi Barat. Sebab agama tanpa rasio
tidak akan bertahan lama dan akan hancur.
Oleh karena itu kaderisasi dan pendidikan agama dan bangsa hendaknya menjadi fokus
utama dalam membangun peradaban bangsa dan memperteguh keimanan kita. Karena kaum
muda kita adalah masa depan agama dan bangsa ini. Di tengah tantangan budaya kapitalistik-
modernisasi dan zaman globalisasi
Bahkan setiap Rasul mengajak kepada kaumnya dengan seruan yang serupa yaitu,
“Wahai kaumku, sembahlah Allah. Tiada sesembahan (yang benar) bagi kalian selain Dia.”
(lihat QS. Al A’raaf: 59, 65, 73 dan 85). Inilah seruan yang diucapkan oleh Nabi Nuh, Hud,
Shalih, Syu’aib dan seluruh Nabi-Nabi kepada kaum mereka.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetap di Mekkah sesudah beliau diutus sebagai
Rasul selama 13 tahun mengajak orang-orang supaya mau bertauhid (mengesakan Allah
dalam beribadah) dan demi memperbaiki akidah. Hal itu dikarenakan akidah adalah fondasi
tegaknya bangunan agama. Para dai penyeru kebaikan telah menempuh jalan sebagaimana
jalannya para nabi dan Rasul dari jaman ke jaman. Mereka selalu memulai dakwah dengan
ajaran tauhid dan perbaikan akidah kemudian sesudah itu mereka menyampaikan berbagai
permasalahan agama yang lainnya (lihat At Tauhid Li Shaffil Awwal Al ‘Aali, hal. 9-10).
D. Unsur Pembentukan Aqidah
Unsur pembentukan aqidah menurut kaca mata Islam meliputi tiga unsur, di mana ketiga-
tiga unsure ini saling kait- mengait di antara satu sama lain. Sekiranya ada yang telah
terungkai maka di sana tidak akan wujud satu ikatan aqidah yang kukuh seperti yang
dikehendaki di dalam ajran Islam.
Pertama
Imam Malik, Asy Syafi’i, Ahmad, Al Auza’i, Ishaq bin Rahawaih, dan segenap ulama ahli hadits
serta ahlul Madinah (ulama Madinah) –semoga Allah merahmati mereka- demikian juga para
pengikut madzhab Zhahiriyah dan sebagian ulama mutakallimin berpendapat bahwa definisi
iman itu adalah: pembenaran dengan hati, pengakuan dengan lisan, dan amal dengan anggota
badan. Para ulama salaf –semoga Allah merahmati mereka- menjadikan amal termasuk unsur
keimanan. Oleh sebab itu iman bisa bertambah dan berkurang, sebagaimana amal juga
bertambah dan berkurang (lihat Kitab Tauhid li Shaff Ats Tsaani Al ‘Aali, hal. 9).
Kedua
Banyak di antara ulama madzhab Hanafi yang mengikuti definisi sebagaimana yang disebutkan
oleh Ath Thahawi rahimahullah yang mengatakan bahwa iman itu pengakuan dengan lisan dan
pembenaran dengan hati.
Ketiga
Ada pula yang mengatakan bahwa pengakuan dengan lisan adalah rukun tambahan saja dan
bukan rukun asli. Inilah pendapat Abu Manshur Al Maturidi rahimahullah, dan Abu Hanifah pun
diriwayatkan memiliki sebuah pendapat seperti ini.
Keempat
Sekte Al Karramiyah mengatakan bahwa iman itu hanya pengakuan dengan lisan saja! Maka dari
definisi mereka ini orang-orang munafiq itu dinilai sebagai orang-orang beriman yang sempurna
keimanannya, akan tetapi menurut mereka orang-orang munafiq itu berhak mendapatkan
ancaman yang dijanjikan oleh Allah untuk mereka! Pendapat mereka ini sangat jelas
kekeliruannya.
Kelima
Jahm bin Shafwan dan Abul Hasan Ash Shalihi –salah satu dedengkot sekte Qadariyah-
berpendapat bahwa iman itu cukup dengan pengetahuan yang ada di dalam hati! [Dan inilah
yang diyakini oleh kaum Jabariyah, lihat. Syarh ‘Aqidah Wasithiyah, hal. 163]. Pendapat ini jauh
lebih jelas kerusakannya daripada pendapat sebelumnya! Sebab kalau pendapat ini dibenarkan
maka konsekuensinya Fir’aun beserta kaumnya menjadi termasuk golongan orang-orang yang
beriman, karena mereka telah mengetahui kebenaran Musa dan Harun ‘alaihimash sholatu was
salam dan mereka tidak mau beriman kepada keduanya. Karena itulah Musa mengatakan kepada
Fir’aun,”Sungguh kamu telah mengetahui dengan jelas bahwa tidaklah menurunkan itu semua
melainkan Rabb pemilik langit dan bumi.” (QS. Al Israa’ [17]: 102). Allah Ta’ala berfirman
(yang artinya),”Mereka telah menentangnya, padahal diri mereka pun meyakininya, hal itu
dikarenakan sikap zalim dan perasaan sombong. Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan
orang-orang yang melakukan kerusakan itu.” (QS. An Naml [27]: 14). Bahkan iblis pun dalam
pengertian Jahm ini juga termasuk kaum beriman yang sempurna imannya! Karena ia tidaklah
bodoh tentang Rabbnya, bahkan dia adalah sosok yang sangat mengenal Allah (yang
artinya),”Iblis berkata,’Rabbku, tundalah kematianku hingga hari mereka dibangkitkan nanti.’.”
(QS. Al Hijr [15]: 36). Dan hakekat kekufuran dalam pandangan Jahm ini adalah ketidaktahuan
tentang Allah ta’ala, padahal tidak ada yang lebih bodoh tentang Rabbnya daripada dia!!
Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata, “Iman itu meliputi perkataan dan perbuatan. Dia bisa
bertambah dan bisa berkurang. Bertambah dengan sebab ketaatan dan berkurang dengan sebab
kemaksiatan.” Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, “Iman bisa bertambah dan bisa
berkurang. Ia bertambah dengan melakukan amal, dan ia berkurang dengan sebab meninggalkan
amal.” (Perkataan dua orang imam ini bisa dilihat di Al Wajiz fii ‘Aqidati Salafish shalih, hal.
101-102) Bahkan Imam Bukhari rahimahullah mengatakan, “Aku telah bertemu dengan lebih
dari seribu orang ulama dari berbagai penjuru negeri, aku tidak pernah melihat mereka berselisih
bahwasanya iman adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan berkurang.”
“Sesungguhnya orang beriman itu hanyalah mereka yang disebut nama Allah bergetar hatinya,
jika dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya ayat itu membuat iman mereka makin bertambah,
dan hanya Kepada Rabb mereka bertawakkal . Yaitu orang yang mendirikan shalat dan
menginfakkan sebagian (harta) yang Kami rezkikan kepada mereka. Mereka itulah orang
beriman yang hakiki, dan mereka akan memperoleh kedudukan (derajat) yang tinggi di sisi
Tuhan mereka, ampunan, serta rezki yang mulia” (terj. Qs. Al-Anfal ayat 2-4).
Iman itu bukan sekadar angan-angan, tapi keyakinan yang tertanam dalam hati dan dibuktikan
kebenarannya oleh amal perbuatan (Hasan al-Bashri rahimahullah)
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah
gemetarlah hati mereka” (QS. Al-Anfal: 2)
Hanya orang yang beriman jika disebutkan nama Allah, muncul rasa takut dalam hatinya. Rasa
takutnya sebagai bentuk mengagungkan Allah. Sebagai contoh, jika ada seseorang yang
berkeinginan melakukan maksiat, kemudian ia teringat Allah atau ada yang mengingatkannya
dengan mengatakan, “bertakwalah anda kepada Allah”, maka dia adalah seorang yang mukmin.
Rasa takut tersebut adalah ciri-ciri orang yang beriman.
“dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya)” (QS. Al-
Anfal: 2)
Hal ini menjadi bukti keimanan seseorang ketika Al Qur’an dibaca baik oleh dirinya ataupun
orang lain, ia dapat mengambil manfaat dengan bertambahnya rasa iman.
Orang yang beriman akan menyandarkan segala urusannya hanya kepada Allah, bukan kepada
yang lain. Akan tetapi mereka juga melakukan sebab agar terwujudnya suatu hal, di samping
tetap bertawakkal kepada Allah. Karena mereka yakin bahwa tidak akan terwujud suatu hal
kecuali atas kehendak Allah.
Mendirikan Shalat
Banyak ayat yang menunjukkan shalat adalah bukti keimanan seseorang, salah satu dalam ayat
ini. Orang yang beriman akan mendirikan shalat secara sempurna, baik shalat yang hukumnya
wajib maupun yang dianjurkan.
Senang Berinfak
“dan yang menginfakkan rizki yang Kami berikan kepada mereka” (QS. Al-Anfal: 3).
Seorang dikatakan beriman ketika ia menginfakkan hartanya di jalan Allah. Sebagaimana yang
dilakukan oleh Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, beliau menginfakkan seluruh hartanya di jalan
Allah. Namun ada catatan penting, ketika ada yang memiliki kebutuhan mendesak, baik dari
keluarga maupun orang lain, maka tidak sepatutnya menginfakkan seluruh hartanya.
Demikianlah 5 sifat orang beriman yang Allah sebut dalam surah Al-Anfal ayat ke-2 dan ke-3.
Kemudian di awal ayat ke 4 Allah sebut mereka itulah orang yang memiliki iman dengan
sebenar benar iman. Allah mengatakan:
Berakhlak mulia
Berasal dari bahasa arab yang berarti tabiat, perangai, tingkah laku, kebiasaan, kelakuan.
Menurut istilah, akhlak ialah sifat yang tertanam di dalam diri manusia yang bisa mengeluarkan
sesuatu dengan senang dan mudah tanpa ada paksaan dan suatu pemikiran. Adapun nilai-nilai
akhlak islam yaitu ikhlas, jujur, adil, rendah hati, sabar seperti yang ada pada diri para nabi.