Diantara usaha para pelaku kebatilan untuk menjauhkan manusia dari kebenaran adalah dengan
mengaburkan makna kebenaran dan memberikannya citra yang buruk. Sebaliknya, mereka akan
berusaha memodifikasi dan menghiasi kebatilan sehingga terlihat indah dan benar di mata manusia.
Maka kebenaran dan kebatilan akan terlihat terbalik, yang benar terlihat batil, dan yang batil terlihat
benar.
Diantara bentuk perusak citraan tersebut adalah label khowarij yang diberikan kepada dakwah
salafiyah. Hal ini sudah terjadi bahkan sejak zaman Imam Ahmad, yang juga dialami oleh Syaikhul
Islam dan muridnya Ibnul Qoyyim1, begitu juga dengan dakwah tauhid yang dibawa oleh Muhammad
bin Abdul Wahhab.2
Maka tidak perlu heran jika para pengusung dakwah salaf di indonesia pun mengalami hal yang
serupa. Orang orang yang mengajak kepada tauhid, dan meninggalkan penyembahan kepada
kuburan, meninggalkan bidah bidah dan khurofat di labeli sebagai khowarij yang merupakan salah
satu aliran menyimpang dalam tubuh umat islam.
Maka disinilah tentunya kita sebagai ahlul hak, selain mengetahui kebenaran itu sendiri yang
direpresentasikan oleh dakwah salafiyah, kita juga harus mengetahui kebatilan yang salah satu
bentuknya adalah paham khowarij. Dengan itu kita bisa membedakan antara manhaj salafiyah dan
manhaj khorijiyah. Kitapun menjadi lebih yakin, bahwa jalan yang kita tempuh adalah benar.
© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/26706-mengenal-khawarij-1.html
Kelompok khawarij dikenal dengan ciri khas mereka, yaitu: (1) berlebih-lebihan dalam memvonis
kafir sesama kaum muslimin; (2) keluar memberontak dari penguasa kaum muslimin yang sah; dan
(3) menghalalkan tumpahnya darah kaum muslimin yang menyelisihi aqidah mereka.
Bibit-bibit kaum khawarij sudah muncul sejak zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun,
mereka benar-benar muncul dan eksis ketika zaman khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu Ta’ala
‘anhu [1]. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengenal siapakah khawarij dan bagaimanakah
aqidah mereka yang rusak, untuk kita jauhi sejauh-jauhnya.
Dalam tulisan ini, akan kami sebutkan pokok-pokok (ushul) ‘aqidah kaum khawarij dan kami mulai
dengan menyebutkan julukan-julukan bagi kaum khawarij yang secara sekilas sudah
menggambarkan bagaimanakah ushul ‘aqidah mereka.
Khawarij
Disebut khawarij karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mensifati mereka dengan,
ِ ِين فُ ْر َق ٍة مِنَ ال َّن
اس ِ َي ْخ ُرجُونَ َعلَى ح
“Mereka keluar (khuruj) (muncul) ketika terjadi perpecahan di tengah-tengah kaum muslimin.” (HR.
Bukhari no. 3414, 5810, 6534 dan Muslim no. 1064)
Yaitu, ketika adanya perselisihan antara dua sahabat yang mulia, khalifah ‘Ali bin Abi Thalib dan
Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu Ta’ala ‘anhuma, karena adanya provokator yang sengaja ingin
menciptakan kerusuhan. Pada awalnya, kelompok khawarij memihak khalifah ‘Ali bin Abi
Thalib radhiyallahu Ta’ala ‘anhu.
Disebut khawarij karena mereka juga keluar (khuruj) dari pemimpin (pemerintah atau penguasa)
kaum muslimin yang sah dan keluar dari jamaah kaum muslimin bersama penguasanya (yaitu
khalifah ‘Albi bin Abi Thalib). Mereka keluar (memberontak) dengan pedang didorong oleh aqidah
mereka yang rusak dan batil.
Ini adalah ciri yang umum bagi siapa saja yang mengikuti jejak mereka sampai hari kiamat.
Al-Muhakkimah
Disebut al-muhakkimah karena mereka keluar dari kepemimpinan khalifah ‘Ali bin Abi
Thalib radhiyallahu Ta’ala ‘anhu dan jamaah kaum muslimin di bawah kepemimpinan ‘Ali disebabkan
karena masalah tahkim (usaha perdamaian). Ketika itu, mereka menuduh khalifah ‘Ali bin Abi
Thalib radhiyallahu Ta’ala ‘anhu menyerahkan urusan perdamaian kepada utusan (negoisator),
bukan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mereka pun meneriakkan,
الحكم اال هلل
“Laa hukma illa lillaah (Tidak ada hukum kecuali milik Allah).”
Mereka pun memvonis kafir sahabat yang mulia, khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu Ta’ala
‘anhu, dua orang negoisator dari dua belah pihak (yaitu Abu Musa Al-‘Asyari radhiyallahu Ta’ala
‘anhu dari pihak ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu Ta’ala ‘anhu dan ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu Ta’ala
‘anhu dari pihak Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu Ta’ala ‘anhu) dan memvonis kafir siapa saja
yang menyetujui keputusan ‘Ali bin Abi Thalib dan ridha dengannya.
Al-Muhakkimah adalah julukan bagi kelompok khawarij generasi awal.
Al-Haruriyyah
Disebut Haruriyyah, karena ketika mereka keluar memberontak khalifah ‘Ali bin Abi
Thalib radhiyallahu Ta’ala ‘anhu, mereka berkumpul di suatu tempat (daerah)
bernama Haruraa’, yang berada di Irak. Al-Haruriyyah juga merupakan julukan bagi
kelompok khawarij generasi awal.
Ahlu Nahrawan
Khawarij generasi awal juga disebut dengan “ahlu nahrawan”, merujuk pada suatu
tempat (Nahrawan) dimana khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu Ta’ala ‘anhu akhirnya memerangi
mereka (yaitu kaum khawarij al-muhakkimah) dalam suatu pertempuran yang sangat besar.
Asy-Syuraah
Khawarij disebut juga dengan asy-syuraah, karena mereka menganggap dan menyangka bahwa
tindakan mereka membunuh kaum muslimin mereka tukar (ش َرى َ ) dengan keridhaan Allah Ta’ala.
Mereka menyangka bahwa pembunuhan kaum muslimin tersebut bisa membeli atau mendatangkan
ridha Allah Ta’ala. Sehingga julukan ini pun menjadi julukan yang disenangi oleh kaum khawarij.
Mereka menyangka bahwa tindakan mereka itu termasuk dalam firman Allah Ta’ala,
Al-Maariqah
Ini adalah penamaan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mensifati khawarij dengan
sebutan “al-maariqah”, yaitu orang yang keluar (memberontak). Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
الر ِم َّي ِة
َّ َالس ْه ِم مِن ِ َِّي ْم ُرقُونَ مِنَ الد
َّ َين ُم ُروق
“Mereka keluar dari agama (Islam) sebagaimana keluarnya anak panah dari sasaran anak panah
tersebut.“ (HR. Bukhari no. 3414, 4771, 5811, 6532 dan Muslim no. 1063)
Rasulullah gambarkan keluarnya mereka dari agama seperti anak panah yang mampu menembus
tubuh hewan sasaran panah karena begitu kuatnya anak panah tersebut melesat.
Al-Mukaffirah
Disebut al-mukaffirah karena mereka hobi mengkafirkan (mukaffir) sesama kaum muslimin yang
terjatuh dalam dosa besar (yang bukan termasuk dosa kekafiran kufur akbar). Mereka juga
memvonis kafir kaum muslimin yang menyelisihi keyakinan dan manhaj mereka.
As-Sabaiyyah
Disebut as-sabaiyyah karena awal kemunculan mereka berasal dari fitnah (kerusakan) yang
ditimbulkan oleh ide ‘Abdullah bin Saba’ Al-Yahudi. ‘Abdullah bin Saba’ memimpin orang-orang
Kufah menuju Madinah dalam rangka membunuh khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu Ta’ala
‘anhu. Akhirnya, khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu Ta’ala ‘anhu pun meninggal dunia di tangan
kaum khawarij.
As-Sabaiyyah adalah nama (julukan) bagi generasi khawarij awal dan tokoh-tokoh pembesar mereka
di kala itu.
An-Naashibah
Karena mereka memasang (naashaba) khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu Ta’ala ‘anhu dan
keluarganya sebagai musuh yang harus diperangi, mereka terang-terangan membenci khalifah ‘Ali
bin Abi Thalib. Ucapan (perkataan) khawarij tentang “vonis kafir bagi pelaku dosa besar” adalah
ucapan mereka pertama kali yang memecah belah kaum muslimin. Ini adalah di antara pokok
(ushul) ‘aqidah kaum khawarij.
Semua ini kembali lagi ke syiar ‘aqidah kaum khawarij, yang dengannya mereka keluar
memberontak dari jamaah kaum muslimin di bawah penguasa yang sah (khalifah’Ali bin Abi Thalib),
dengan meneriakkan,
Oleh karena itu, kaum khawarij pun mengangkat pemimpin (khalifah) bagi kelompok mereka sendiri.
Karena mereka menganggap bahwa kelompok merekalah yang masih beriman, sedangkan selain
mereka (khalifah ‘Ali dan kaum muslimin yang bersamanya) adalah orang-orang kafir.
Orang yang mereka angkat dan mereka baiat sebagai khalifah adalah ‘Abdullah bin Wahb Ar-
Rasibi pada hari ke sepuluh bulan Syawwal tahun 37 hijriyah.
‘Abdullah bin Wahb Ar-Rasibi adalah tokoh pembesar kaum khawarij, dia sesat dan menyesatkan.
‘Abdullah bin Wahb Ar-Rasibi berasal dari kabilah (suku) Bani Rasib, sebuah suku yang terkenal.
‘Abdullah bin Wahb Ar-Rasibi memimpin pasukan khawarij ketika berperang melawan khalifah ‘Ali
bin Abi Thalib radhiyallahu Ta’ala ‘anhu di perang Nahrawan. Dia pun berhasil dibunuh dalam
peperangan tersebut oleh pasukan khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu Ta’ala ‘anhu.
© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/39878-mengenal-pokok-pokok-aqidah-kaum-khawarij-bag-1.html
Pertama, mereka menilai dan memvonis para pelaku dosa besar dari kaum muslimin sebagai orang
kafir, kekal di neraka, sehingga halal harta dan darahnya (hartanya boleh dirampas dan pemiliknya
boleh dibunuh).
Ke dua, memvonis kafir sahabat (khalifah) ‘Ali bin Abi Thalib, ‘Utsman bin ‘Affan, dua orang
negoisator (utusan atau juru damai) dari pihak ‘Ali bin Abi Thalib (Abu Musa Al-‘Asyari) dan
Mu’awiyah bin Abi Sufyan (‘Amr bin Al-‘Ash), orang-orang yang ridha dengan terjadinya perdamaian
(kesepakatan) antara ‘Ali dan Mu’awiyah atau membenarkan salah satu pihak. Semoga Allah Ta’ala
meridhai para sahabat Rasulullah semuanya.
Adapun kekhilafahan sebelum terjadinya tahkim (perdamaian), mereka membenarkannya. Demikian
pula khalifah Abu Bakr Ash-Shiddiqq dan ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu Ta’ala ‘anhuma tidak
mereka vonis kafir.
Ke tiga, meyakini wajibnya memberontak kepada penguasa muslim yang dzalim. [1]
Ke empat, wajibnya keluar dari jamaah kaum muslimin bersama penguasa mereka yang sah. Kaum
khawarij bermuamalah dengan kaum muslimin sebagaimana bermuamalah dengan orang kafir.
Kelompok khawarij berlepas diri dari kaum muslimin, menimpakan berbagai kesusahan dan
bencana, serta menghalalkan darah kaum muslimin.
Ke lima, mereka tidak mau mengamalkan dan menolak sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika
bertentangan dengan pokok-pokok keyakinan mereka. Mereka menolah hadits ahad [2], jika hadits
tersebut mengandung suatu hukum yang lebih dari apa yang yang terdapat dalam Al-Qur’an, seperti
hadits tentang hukum rajam dan selainnya.
Ke enam, mereka menolak hadits-hadits yang diriwayatkan melalui jalur ‘Utsman bin ‘Affan, ‘Ali bin
Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu Ta’ala ‘anhum, dan semua orang yang
mendukung ketiga sahabat tersebut.
Berkembangnya Paham dan ‘Aqidah Khawarij
Berdasarkan pokok-pokok keyakinan mereka tersebut, mereka membangun ‘aqidah dan manhaj
mereka di atasnya. Mereka pun berkumpul menuju di suatu tempat bernama Nahrawan. Di tengah
perjalanan menuju Nahrawan, mereka bertemu dengan tabi’in yang mulia, ‘Abdullah bin Khabbab
Al-Aratti Al-Madani rahimahullahu Ta’ala, dan mereka pun membunuh beliau. Lebih dari itu, mereka
pun dengan bengisnya membunuh budak perempuan [3] ‘Abdullah bin Khabbab yang ketika itu
sedang hamil. Khawarij pun membunuh dua-duanya (sang ibu dan anak yang dikandungnya).
Pembunuhan ini terjadi pada tahun 38 hijriyah.
Khawarij akhirnya sampai dan berkumpul di Nahrawan. Kabar ini diketahui oleh khalifah ‘Ali bin Abi
Thalib radhiyallahu Ta’ala ‘anhu. Khalifah Ali pun mengirim empat ribu orang pasukan menuju
Nahrawan. Ketika pasukan khalifah ‘Ali sudah berada di dekat Nahrawan, dikirimlah utusan kepada
kaum khawarij untuk menyerahkan pembunuh ‘Abdullah bin Khabbab. Kaum khawarij pun mengirim
utusan bahwa mereka semua-lah yang bertanggung jawab membunuh ‘Abdullah bin Khabbab. Ini
merupakan bentuk perlawanan kaum khawarij kepada khalifah ‘Ali bin Abi Thalib. Khalifah ‘Ali bin
Abi Thalib pun mendakwahi mereka agar mereka bertaubat. Sebagian di antara mereka bertaubat,
namun sebagian yang lainnya tetap pada pendiriannya.
Sehingga pada akhirnya, khalifah ‘Ali bin Abi Thalib memerangi mereka di suatu peperangan yang
sangat hebat di daerah Nahrawan. Tidak ada yang tersisa dari kelompok khawarij kecuali sekitar
sembilan orang saja. Sedangkan jumlah yang terbunuh dari pasukan ‘Ali kurang dari sepuluh orang
saja.
Dari kurang lebih sembilan orang yang tersisa, dua orang melarikan diri ke daerah Sijistan. Di
sanalah mereka memiliki pengikut-pengikut baru menjadi khawarij Sijistan. Dua orang lainnya
melarikan diri menuju Yaman, dan lahirlah pengikut-pengikut baru mereka dari kelompok khawarij
Ibadhiyyah Yaman. Dua orang lainnya melarikan diri ke negeri Oman, dari sana lahirlah khawarij
Oman. Dua orang lainnya melarikan diri menuju Jazirah, suatu daerah antara Dijlah dan sungai Efrat
di dekat negeri Syam. Dari sana, lahirlah khawarij Jazirah. Satu orang sisanya melarikan diri ke
suatu daerah bernama Tallu Muuzan.
Inilah di antara sebab berkembang dan meluasnya pengikut khawarij, menjadi banyak sekte dengan
berbagai macam ideologinya, hingga saat ini. Namun semua mereka tidak lepas dari tiga ciri khas
yang telah kami sebutkan sebelumnya di awal tulisan ini. [4]
© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/39883-mengenal-pokok-pokok-aqidah-kaum-khawarij-bag-2.html
Who are the Khawarij?
The Khawarij (Kharijites) are one of the deviant sects, as is proven by the texts
and by scholarly consensus. Al-Bukhari (6934) and Muslim (1068) narrated that
Yusayr ibn ‘Amr said: I said to Sahl ibn Hunayf: Did you hear the Prophet
(blessings and peace of Allah be upon him) say anything about the Khawarij? He
said: I heard him say – and he gestured with his hand towards Iraq –: “From there
will emerge people who recite the Quran, but it will not go past their collarbones.
They will pass out of Islam as an arrow passes out of the prey.”
Ibn Majah (173) narrated that Ibn Abi Awfa said: The Messenger of Allah
(blessings and peace of Allah be upon him) said: “The Khawarij are the dogs of
Hell.” (Classed as sahih by al-Albani in Sahih Ibn Majah)
“The view of ash-Shafi'i and the majority of his fellow scholars is that the
Khawarij are not to be described as disbelievers; this also applies to
the Qadariyyah and the majority of the Mu‘tazilah and other groups that follow
whims and desires.” (Sharh Muslim, 7/160)
Shaykh al-Islam Ibn Taymiyah (may Allah have mercy on him) said:
The Khawarij who deviated, whom the Prophet (blessings and peace of Allah be
upon him) enjoined us to fight, and whom Amir al-Muminin ‘Ali (may Allah be
pleased with him), one of the Rightly-Guided Caliphs fought, and whom the
leading scholars of Islam among the Sahabah, Taabi‘in and those who came after
them were unanimously agreed upon fighting, were not described as disbelievers
by ‘Ali ibn Abi Talib, Sa‘d ibn Abi Waqqas and others among the Sahabah; rather
they regarded them as Muslims even though they fought them, and ‘Ali did not
fight them until they shed blood unlawfully and raided the property of the
Muslims; then he fought them in order to ward off their wrongdoing and
aggression, not because they were disbelievers. Hence he did not take their
womenfolk captive and he did not seize their wealth as booty.” (Majmu‘ al-Fatawa,
3/282)
“Even though you may find that some scholars, within the context of debating
with the Mu‘tazilah and other groups, use the word kufr (disbelief) when refuting
their arguments, what they meant is that their (the Mu‘tazilah’s) arguments would
inevitably constitute disbelief, without implying that they themselves were
disbelievers, because what may be concluded from a view is not necessarily to
be attributed to the one who holds that view.
Moreover, they think that they have Shar‘i evidence to support their view, even
though they are wrong and are falling into error.” (Hashiyat Ibn ‘Abidin, 3/46)
Shaykh ‘Abd ar-Rahman ibn Salih al-Mahmud (may Allah preserve him) was
asked: Are the Khawarij disbelievers?
He replied:
“The scholars differed as to whether they are disbelievers, but the correct view is
that they are not to be regarded as disbelievers. ‘Ali ibn Abi Talib (may Allah be
pleased with him) was asked about them: Are they disbelievers? He said: They
fled from disbelief, but they fell into the innovation of labeling others as
disbelievers; we will not fall into the innovation of labeling others as disbelievers
and thus label them as such. This is the correct view, in sha Allah, even though
their innovations may be described as innovations that constitute kufr.” (Lam‘at
al-I‘tiqad, 7/26)