Al-Ibnah an Ushl al-Diynah. Itulah nama lengkap dari salah satu karya Mishbh al-Tawhd
Ab al-Hasan al-Asyar (260-324H), seorang Mujaddid peralihan abad ke-3 sampai ke-4
Hijriyah. Al-Ibnah adalah salah satu karyanya dengan metode Tafwdh dan membuktikan
bahwa ia telah melepaskan diri dari ideologi sekte Mutazilah kepada ajaran Salaf al-Shlih yang
dinilai steril mengikuti ajaran al-Quran dan al-Sunnah. Istilah Salaf al-Shlih telah memberi
pukauan kuat terhadap banyak kalangan terutama bagi pemerhati sejarah al-Asyariyyah dan Ahl
al-Sunnah wa al-Jamah, sehingga masing-masing mereka merasa sebagai pengikut Salaf al-
Shlih. Tak ayal, kandungan al-Ibnah yang dinilai mengikuti Salaf al-Shlih pun menjadi
rebutan beberapa kalangan.
Jika al-Asyariyyah mengaku sebagai pengikut Ab al-Hasan al-Asyar, hal ini tentunya sangat
wajar. Sebagaimana al-Hanafiyyah adalah pengikut Ab Hanifah, al-Mlikiyyah sebagai
pengikut Mlik, al-Syfiiyyah sebagai pengikut al-Syfi, al-Hanbilah sebagai pengikut Ibn
Hanbal, Radhiyallhu Anhum. Namun akan terasa janggal jika pengakuan itu muncul dari
kalangan yang mengaku sebagai pengikut Salaf al-Shlih namun pada sisi lain mereka mencerca
kalangan al-Asyariyyah. Bahkan al-Asyariyyah dianggap telah keluar dari paham al-Asyar.
Dan tentunya ini sah-sah saja karena mereka pun boleh berpendapat. Dan yang menjadi
barometer bagi kalangan ini untuk mengatakan bahwa al-Asyariyyah sebenarnya tidak
mengikuti al-Asyar adalah isu-isu yang beredar bahwa al-Ibnah merupakan bukti peralihan al-
Asyar dari paham -yang konon katanya- Kullbiyyah kepada Salaf al-Shlih. Menurut mereka
al-Asyar dalam al-Ibnahnya mengakui Allah subhnah wa tal menetap, menempati,
bersemayam atau duduk di atas arasy, sekaligus mereka beranggapan bahwa al-Asyariyyah
sebetulnya mengikuti paham Kullbiyyah, bukan al-Asyar. Lalu, ada apa dengan al-Ibnah
sehingga kalangan ini begitu yakin akan isu-isu yang beredar sehingga menjadi pegangan bagi
mereka untuk memisahkan al-Asyariyyah dengan al-Asyar? Dan siapakah Kullbiyyah yang
mereka anggap sebagai panutan al-Asyariyyah dan dinilai sebagai sekte bidah?
Proyek pengelabuan umat yang dilakukan beberapa kalangan sentak menggelitik telinga para
santri tradisional tanah air yang notabene mereka mempelajari kitab-kitab karya para ulama al-
Asyariyyah seperti al-Jawhir al-Kalmiyyah, al-Aqwl al-Mardhiyyah, Kifyah al-Awwm,
Fath al-Majd (bukan kitab Wahhb), Ummu al-Barhn, al-Dasq, Nazhm Jawhar al-Tawhd,
dan lain sebagainya. Isu-isu yang mereka angkat adalah bahwa para santri dan masyarakat yang
mengaku sebagai pengikut al-Asyar yang disebut dengan al-Asyariyyah telah menyalahi al-
Asyar sendiri, terbukti bahwa al-Asyar dengan kitab al-Ibnahnya dan beberapa kitab lain
berbeda akidah dengan orang-orang yang mengaku sebagai pengikutnya atau al-Asyariyyah. Al-
Asyar mengakui keberadaan Allah subhnah wa tal bertempat di atas Arasy sementara al-
Asyariyyah tidak. Tentunya hal ini bertolak belakang antara al-Asyar dengan pemahaman
penggikutnya. Begitulah diantara argumen mereka untuk merusak keharmonisan antara al-
Asyar dan al-Asyariyyah. Sebuah usaha yang amat buruk dan tercela. Namun apa benar seperti
itu? Kita akan mencoba membandingkan, al-Ibnah manakah kira-kira yang menjadi landasan
bagi sementara kalangan yang mengatakan bahwa al-Asyar meyakini Allah subhnah wa
tal bertempat (hull), bersemayam, menetap.
1. Dr al-Anshr Mesir edisi Doktor Fawqiyyah Husein Mahmd (al-Ibnah dengan cetakan
sama yang terdapat di Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta dengan edisi Syeikh Zhid al-Kautsar, seorang ulama pada masa Khilfah
Utsmniyyah).
2. Maktabah al-Muayyad Saudi Arabia bekerja sama dengan Maktabah Dr al-Bayn
Suriah edisi Basyr Muhammad Uyn.
3. Dr al-Kutub al-Ilmiyyah Lebanon edisi Abdullh Mahmd Muhammad Umar.
Kalimat bergaris biru pada cetakan Dr al-Anshr hal.105 dan Maktabah al-Muayyad/
Maktabah Dr al-Bayn hal.97;
tidak terdapat pada cetakan Dr al-Kutub al-Ilmiyyah hal.46. Sehingga kalangan yang disebut
oleh para ulama sebagai Antropomorphisme (Musyabbihah) akan memahami dengan artian
bahasa yaitu bersemayam, duduk, menetap, dengan kata lain yaitu menempati Arasy.
Kalimat bergaris biru pada cetakan Dr al-Anshr hal.113 dan Maktabah al-Muayyad/
Maktabah Dr al-Bayn hal.100;
tidak terdapat pada cetakan Dr al-Kutub al-Ilmiyyah, hal.48. Sehingga kalangan yang disebut
oleh para ulama sebagai Antropomorphisme (Musyabbihah) akan memahami dengan artian
bahasa yaitu bersemayam, duduk, menetap, dengan kata lain semua pemahaman ini adalah
Hull. Bahkan jika hadis Nuzl dipahami secara lahirnya yaitu Allah subhnah wa tal turun
ke langit dunia, turun dari atas ke bawah dan berpindah, maka pemahaman ini akan melahirkan
Ittihd sekaligus Hull lantaran langit ada tujuh lapis, dan Allah subhnah wa tal turun ke
langit dunia atau langit pertama sehingga langit ke dua sampai ke enam bahkan Arasy akan
berada di atas Allah subhnah wa tal, nadzu billh.
Jika konsep Bi L Kayf telah tertanam dalam keyakinan kita, maka segala karakter turunnya
makhluk yaitu pergerakan dari atas ke bawah dan berpindah pasti ternafi dari Allah subhnah
wa tal karena segala bentuk perpindahan adalah sebuah Kayf. Maka, kata nuzl, istiw
lebih layak kita katakan Nuzl-Nya Allah subhnah wa tal adalah Nuzl yang layak bagi
keagungan dan kemulian-Nya tanpa berpindah, tanpa Kayf. Begitu pun dengan Istiw, Allah
Yang Maha beristiw, tidak dapat dikatakan bagaimana (sebuah kalimat istifhm untuk
menanyakan metode, tata cara, visualisasi), karena bagaimana mungkin kita akan menanyakan
bagaimana padahal segala bentuk metode, tatacara, visualisasi (Kayfiyyt) semuanya ternafi
dari Allah subhnah wa tal.
Begitu ungkapan shahh dari Imam Malik dan dinukil oleh al-Baihaq dan Ibn Hajar. Lihat al-
Asm wa al-Shift, Dr al-Hadts, 1426H, hal.411 dan Fath al-Br, Dr al-Hadts, 1424H,
vol.13, hal.461.
Kalimat bergaris biru pada cetakan Dr al-Anshr hal.117 dan Maktabah al-Muayyad/
Maktabah Dr al-Bayn hal.102; tidak terdapat pada cetakan Dr al-Kutub al-
Ilmiyyah hal.49. Tentunya kita mengetahui arti penting dari ungkapan yang lenyap tersebut.
Sehingga dengan adanya ungkapan itu akan memberi penjelasan bahwa sifat Istiw Allah
subhnah wa tal tidak dapat diartikan dengan pemahaman bahasa kita seperti menetap,
bersemayam, bertempat. Lalu mengapa al-Quran tidak mencantumkan lafazh itu? Jawabannya
adalah karena salah satunya Allah subhnah wa tal ingin menguji hamba-hamba-Nya agar
diketahui siapa saja orang-orang yang di dalam hatinya terdapat Zaigh (kekeliruan). Oleh karena
itu ungkapan Bi L Kayf sangat berperan dalam membentengi umat muslim dari pemahaman
ala Antropomophisme. Dan di sisi lain, dengan mengimani keberadaan sifat-sifat yang Allah
subhnah wa tal tetapkan pada Zat-Nya begitupun yang ditetapkan oleh Rasulullah
shallallhu alaihi wa sallam akan menjadi sanggahan bagi sekte Jahmiyyah, Mutazilah dan
yang sepaham dengan mereka dari kalangan Muaththilah.
Ini hanyalah sekelumit dari kitab al-Ibnah khususnya bab Istiw. Dan tidak menutup
kemungkinan jika kita terus membandingkan antara beberapa cetakan akan tampak penambahan
ataupun pengurangan. Namun yang terpenting adalah manakala kita membaca karya al-Asyar
seperti al-Ibnah, perlu kiranya pembanding dan pendamping bacaan tersebut seperti karya-karya
ulama yang bersanad kepada al-Asyar seperti al-Inshf karya al-Baqilln, Musykil al-Hadts
wa Baynuh karya Ibn Fawrak, al-Jmi f Ushl al-Dn karya Ab Ishq al-Isfaryn, Ushl al-
Dn karya Abd al-Qhir al-Baghdd, al-Tabshr f al-Dn wa Tamyz al-Firqah al-Njiyah an
al-Firaq al-Hlikn karya Ab al-Muzhaffar al-Isfaryn, al-Asm wa al-Shift karya al-
Baihaq, al-Aqdah al-Nizhmiyyah f al-Arkn al-Islmiyyah karya Imam al-Haramain al-
Juwain, al-Iqtishd f al-Itiqd karya al-Ghazl, dan masih banyak lagi karena terkadang
seorang ulama menulis beberapa karya dalam satu tema akidah.
Di samping al-Ibnah, al-Asyar juga mempunyai karya di antaranya al-Luma f al-Radd Al
Ahl al-Zaigh wa al-Bida, Kasyf al-Asrr wa Hatk al-Astr. Bersama kitab-kitab inilah al-Asyar
mengumumkan peralihannya dari Mutazilah ke Ahl al-Sunnah. Pada saat itu kitab-kitab ini
dibaca dan ditelaah oleh ahli hadis dan fiqih dari kalangan Ahl al-Sunnah, lalu mereka
mengamalkan kandungannya. Sehingga mereka mengakui kelebihan al-Asyar dan
menjadikannya sebagai al-Imm, lalu mereka menisbatkan mazhab mereka kepada al-Asyar,
sehingga bernamalah al-Asyariyyah. Lihat Tabyn Kidzb al-Muftar, Al-Maktabah al-
Azhriyyah li al-Turts, cet.1, 1420H, hal.43.
Nah, jikalau benar al-Asyar melalui dua fase peralihan dalam keyakinannya, yaitu dari
Mutazilah ke Salaf al-Shlih (dan ternyata -konon kata mereka- Kullbiyyah), kemudian dari
Kullbiyyah ke Salaf al-Shlih yang sebenarnya, tentunya al-Asyar juga mengumumkan
peralihannya itu sebagaimana yang ia lakukan saat beralih dari Mutazilah mengingat ini adalah
hal yang sangat penting bagi diri al-Asyar dan masyarakatnya karena ia pernah menjadi
seorang al-Imm bagi kalangan Mutazilah dan akhirnya menjadi al-Imm bagi kalangan Ahl al-
Sunnah wa al-Jamah. Betapa beraninya Mishbh al-Tawhd ini mengumumkan keluarnya ia
dari paham Mutazilah di tengah kekuasaan Mutazilah. Tentunya akan sangat ringan dan mudah
jika ia melakukan hal yang sama jika benar ia keluar dari Kullbiyyah mengingat Kullbiyyah
bukan sekte, juga bukan pemerintahan.
Sejenak kita perhatikan lagi, adakah kalangan yang lebih baik dari ahli hadis dan fiqh yang
kesaksian mereka dapat dipercaya? Merekalah yang menyaksikan al-Asyar menanggalkan
jubah Mutazilahnya. Merekalah yang menyaksikan akan kebenaran paham yang didengungkan
oleh al-Asyar. Mereka pulalah yang menelaah karya al-Asyar sehingga menjadikannya
sebagai al-Imm untukk mazhab mereka. Jikalau paham yang dibawa oleh al-Asyar setelah
beralih dari Mutazilah masih terdapat percampuran antara yang hak dengan yang batil, tentunya
ahli hadis dan fiqh itulah yang berada di garis terdepan untuk menangkal kebatilan itu. Namun
yang terjadi adalah sebaliknya, mereka membenarkan paham yang didengungkan oleh al-Asyar
karena yang ditawarkan olehnya adalah akidah Salaf al-Shlih. Ingat, mereka adalah ahli hadis
dan fiqh. Atau barangkali di sana ada kriteria ahli hadis oleh kalangan yang mengaku pengikut
Salaf al-Shlih yang lebih baik dari kriteria yang diterapkan oleh al-Hfizh Ibn Askir?
2. Al-Hfizh al-Dzahab;
Al-Dzahab berkata, Ibn Kullb adalah seorang pemuka teolog daerah Basrah pada masanya.
Kemudian lanjut al-Dzahab sembari menukil, Ia adalah teolog yang paling dekat kepada Ahl al-
Sunnah, bahkan ia adalah juru debat mereka (terhadap Mutazilah-pen). Ia mempunyai karya di
antaranya, al-Shift, Khalq al-Afl dan al-Radd al al-Mutazilah. Lihat Siyr Alm al-
Nubal, Maktabah al-Shaf, cet.1, 1424H, vol.7, hal.453.
Al-Dzahab juga menuturkan, Suatu ketika al-Asyar mendatangi Ab Muhammad al-Barbahr
di Baghdad, lalu ia berkata, Aku telah membantah al-Jubb (ayah tirinya-pen), aku telah
membantah kaum Majsi dan Nasrani . Al-barbahr malah mengatakan, Aku tidak paham
apa yang anda ucapkan, kami (al-Barbahr dan kalangan Hanbilah-pen) tidak mengerti
melainkan apa yang dikatakan oleh Imam Ahmad. Lalu al-Asyar pergi dan menuliskan al-
Ibnah, namun pada akhirnya al-Barbahr tetap saja tidak menerimanya. Lihat Siyr Alm al-
Nubal, Maktabah al-Shaf, cet.1, 1424H, vol.9, hal.372.
3. Al-Hfizh Ibn Hajar;
Ibn Hajar berkata, Sesungguhnya al-Bukhr dalam segala hal yang berkaitan dengan teks-teks
gharb (asing-pen), ia menukil dari pakarnya seperti Ab Ubaidah, al-Nadhr ibn Syumail, al-
Farr dan lain-lain. Adapun perkara-perkara fikih, sebagian besar ia sandarkan kepada al-
Syfi, Ab Ubaid dan yang seperti keduanya. Dan adapun perkara-perkara kalm (teologi-
pen), maka sebagian besar ia ambil dari al-Karbs, Ibn Kullb, dan yang seperti keduanya.
Lihat Fath al-Br, Dr al-Hadts, 1424H, vol.1, hal.293.
Ibn Hajar juga menuturkan sembari menukil, Ibn Kullb menggunakan metode Salaf al-Shlih
dalam hal meninggalkan takwl terhadap ayat-ayat dan hadis-hadis yang berkaitan dengan sifat-
sifat Allah. Mereka (Salaf al-Shlih-pen) disebut sebagai al-Mufawwidhah. Kemudian lanjut Ibn
Hajar, Dalam menuliskan al-Ibnah, al-Asyar menggunakan metode Ibn Kullb. Lihat Lisn al-
Mzn, Dr al-Fikr, cet.1, 1408H, vol.3, hal.361.
Daftar Pustaka
https://jundumuhammad.wordpress.com