Anda di halaman 1dari 5

Kiyai Imad Gagal Faham

Oleh: Maimun Nafis


Kiyai Imad merespon surat edaran PP al-Anwar 1 yang sebenarnya ditujukan untuk santri,
alumni dan muhibbin saja. Namun sayang, tanggapan yang diberikan tak sesuai kabar-kabar
banyak orang tentang dirinya. Muter-muter di sana. Ia gagal membuktikan syarat harus
sezaman dalam penetapan nasab dan justru mendistorsi tafsir dari metodologi beberapa kitab.
Seluruh argumentasinya hanya mengulang argumen-argumen lama yang sudah terjawab
sejak lama. Dalam perkembangan pembahasan berbulan-bulan ini, ia mengalami stagnasi
pemikiran. Dan itu semakin membuktikan bahwa surat edaran tersebut benar bahwa dasar
harus sezaman itu tak pernah diucapkan oleh satupun pakar ilmu nasab.

Jadi Gini, Nasab itu bisa ditetapkan dengan adna dalil (bukti terendah) dan tidak perlu
sayarat bukti berberlit seperti yang didakwakan beberapa kalangan yang mengaku ilmiah.
Ibnu Qudamah menjelaskan dalam kitab al-Mughni:

‫ ويلزم من ذلك التشديد يف نفيه‬، ‫ ويثبت بأدن ديلل‬، ‫النسب حيتاط إلثباته‬

Maka yang seharusnya berhati-hati adalah kalangan yang berusaha menafikan satu nasab
yang sahih. Mari kita ulas bahwa sudah tersaji ‘setumpuk’ bukti kesahihan nasab Bani Alawi,
dan yang menafikan hanya berdasar pada satu buku problematik bernama Syajarah al-
Mubarokah.

1. SALAH SATU METODE YANG DITERIMA ADALAH CATATAN


NASSABAH, TANPA SYARAT SEZAMAN.

Sangat disayangkan jika satu redaksi ilmiah seorang ahli ditambah-tambahi unsur sesuai
keinginan pribadi. Dalam kitab ar-Ifadhoh fi adillati tsubutinnasab bi syuhroh wal
istifadhoh, yang menjadi syarat hanyalah catatan seorang Nassabah (pakar nasab) tidak ada
satupun kalimat yang menunjukkan bahwa ketika nassabah itu tidak sezaman lalu catatan
nassabah itu ditolak. Kesimpulannya adalah bahwa catatan seorang nassabah yang terpercaya
sudah cukup untuk jadi bukti.

Sayyid Abi Hasyim Ibrohim bin Mansur al-Hasyimi al-Amir menjelaskan:

1
ّ
‫واملؤرخون يعتمدون يف تثبيت األنساب وإحلاق الفروع باألصول وقبول دعوى انلاس يف‬ ‫وقد اكن النسابون‬
‫أنسابهم ىلع الشهرة واالستفاضة والتسامع والشهادة وسالسل النسب وأقوال النسابني املعتربين كتبهم‬
ّ
.‫املحرر يف ذلك‬ ‫واملشجرات املوثوقة وائتمان انلاس ىلع أنسابهم وفق‬

Jelas tertulis bahwa ada banyak sekali metode penetapan nasab. Salah satunya adalah kitab
para nassabah. Dalam Fiqh kita mengenal istilhaq dan syuhroh wal Istifadhoh pada
masanya. Dalam teori Ushul Fiqh ada yang disebut dengan istishhab maqlub dimana teori
ini merupakan hujjah syar’iyah. Istishhab maqlub adalah menetapkan keadaaan pada masa
lampau karena tetap pada masa kini.

‫فاالستصحاب ثبوت أمر يف اثلاين ثل بوته يف األول لفقد ما يصلح للتغيري أما ثبوته يف األول فمقلوب وقد يقال فيه‬
‫لو لم يكن اثلابت ايلوم ثابتا أمس لاكن غري ثابت فيقىض استصحاب أمس بأنه ايلوم غري ثابت وليس كذلك‬
.‫فدل ىلع أنه ثابت‬

Jika diterapkan dalam penetapan nasab Bani Alawi, maka jika nasab Bani Alawi tidak
shahih sejak masa lampau tak akan mungkin para nassabah mencatatannya dan tak akan
mungkin ada syuhroh wal istifadhoh di masa sekarang.

Dalam konteks Kiyai Imad, penggunaan referensi Ar-Risalah sangat salah besar.
kegagalannya menerjemah kata "‫ "أبدال‬dan kata “‫ ”الكتب النسابية‬adalah bukti degradasi intelektual
demi meloloskan pemahaman buatannya. Ia menafsirkan referensi yang sahih dengan tafsir
yang bathil. Belum lagi kegagalannya dalam memahami kata “‫ ”طرق‬dimana itu merujuk pada
salah satu cara saja dan bukan syarat.

Ini semakin membuktikan bahwa peneliti nasab yang menyaratkan referensi sezaman
sangat tidak memahami aturan ilmu nasab dan justru memaksakan asumsinya pada literatur-
literatur para ahli nasab.

2. DELAPAN NASSABAH YANG SUDAH MENGAKUI.

Setelah memahami metodologi yang mu’tabar sebagaimana pada poin pertama, maka
cukuplah ditemukan catatan sorang ahli nasab (nassabah) yang menverifikasi validitas nasab
Bani Alawi. Dan ternyata, setidaknya ada delapan ahli nasab (nassabah) yang mengakui nasab
Bani Alawi. Jika satu saja cukup maka delapan tentu lebih dari cukup.

2
Pertama Syaikh Ali Bin Abi Bakr al-Sakrani (W. 800an) kedua Muhammad al-Kadzim
al-Yamani (W. 880 H) ketiga Abul Khair al-Sakhawi (W. 902) keempat Al-Samarqandi
(W. 996), kelima Sayyid Murtadlo Al-Zabidi (W. 1205 H), keenam Abu Alamah
(musyajjar al-Kasyaf), ketujuh Sayyid Dlomin bin Syadzqum. Kedelapan Muhammad bin
Ahmad asy-Syajjafi.

3. BANYAK PULA AHLI SEJARAH YANG MENGAKUI

Di luar dari catatan para nassabah, ternyata banyak juga catatan para Ulama lain.
Setidaknya ada tiga Ulama’ yang mengakui kesahihan nasab Bani Alawi.

Lalu siapa saja ahli sejarah yang mencatat nasab Bani Alawi? Berikut beberapa di antaranya:
pertama al-Janadi dalam al-Suluk. Kedua Ibnu Hajar al Haitami (W. 974) dalam kitab
Mu’jam, Ketiga Abu Muhammad al-Hijrani al-Hadlrami (W. 947) dalam kitab Qiladatun
Nahr. Keempat Syaikh Yusuf an-Nabhani

4. NASAB BANI ALAWI SUDAH DIAKUI OLEH SESAMA AHLUL BAIT.

Yang disembunyikan dari banyak kalangan adalah bahwa salah satu metode yang juga
menyebabkan dierimanya nasab seseorang adalah bahwa nasab itu diakui oleh kalangan di
ahlul bait itu sendiri. Berikut penjelasan Sayyid Husain al-Hasyimi dalam kitab ar-
Risalahnya:

ّ
.‫وتقر لفرد أو مجاعة بصدق النسب وصحته‬ ‫ أن تعرتف القبيلة‬:‫الطريق اثلالث‬

Faktanya, banyak kalangan ahlul bait di luar kalangan Bani Alawi yang sudah mengakui
nasab Bani Alawi sebagai nasab yang sahih. Ahlul Bait yang mengakui nasab Bani Alawi salah
satunya adalah Sayyid al-Murtadlo al-Zabidiy dalam al-Roudlu al-Jaliy sebagaimana kita
sebut di awal. Kedua adalah pengakuan dari kalangan Bani Ahdal seperti yang disebutkan
oleh al-Ahsab al-Aliyah Fi Ansab al-Ahdaliyah. Ketiga Yang terjadi pada zaman ini,
Niqabah Hijaz mengakui nasab Bani Alawi, bahkan tertulis artikel singkat tentang Bani Alawi
dengan judul Nubdzah Mukhtasharah ‘an Ansab al-Sadah al-‘Alawiyah. Dan
sayangnya justru orang-orang di luar Bani Alawi yang getol berupaya menolak nasab mereka
dengan berkedok ilmiah.

3
5. SYAJARAH AL-MUBAROKAH TIDAK LAYAK DIJADIKAN
PEGANGAN.

‫ومن األسايلب املبتدعة يف إثبات األنساب ابلعيدة االستشهاد بوثائق ابليع والرشاء والزناع وخمطوطات النسب‬
‫املجهولة وذلك إلثبات األنساب ابلعيدة فهذه الطرق التتسق مع أصول هذا العلم وقواعده وضوابطه‬

Termasuk penetapan nasab yang bid’ah adalah menggunakan catatan nasab yang majhul

Kitab Syajarah al-Mubarokah adalah kitab yang sudah maklum sebagai kitab problematik.
Baik secara subtansi, jalur transisinya dan masih banyak lagi yang lain. Salah satunya adalah
bahwa fakta kitab ini disalin oleh seorang bernama Wahid bin Syamsuddin pada tahun 820
H. Siapa dia? Apa kapasitasnya? Sosok majhul inilah yang menulis Syajarah al-Mubrakah dan
menisbatkannya pada al-Razi. Bagaimana mungkin kitab yang tidak jelas periwayatannya ini
disebut sebagai bayyinah Sharihah?. Ia lebih layak disebut sebagai makhthutah nasab al-
majhulah.

Belum lagi isinya, jika mengguunakan teori kitab harus sezaman, maka penyebutan tiga
nama anak Ahmad al-Muhajir juga perlu ditolak karena kitab-kitab sebelumnya hanya
menyebut satu nama saja. Jika kitab nassabah diera setelah Syajarah al-Mubarakah ditolak
karena dianggap menambah satu nama Ubaidillah, maka kitab Syajarah Mubarakah lebih
parah lagi karena menambah dua nama baru.

Bahkan parahnya, sang muhaqqiq Mahdi al-Raja’i sendiri masih belum meyakini
validitas Syajarah al-Mubarokah. Syaikh Ibnu Mansur secara gamblang menjelaskan
“kitab itu butuh ditahqiq ulang, manuskrip yang ditahqiq oleh Mahdi Raja’i tidak bisa
dijadikan pegangan” kurang lebih seperti itulah pernyataan beliau. Namun sayang, demi
meloloskan ‘akidahnya’ kitab ini tetap saja dieluh-eluhkan sebagai bayyinah sharihah.

Kabar unikanya adalah bahwa sang muhaqqiq, Syaikh Mahdi Roja’i memiliki karya
catatan nasab melalui hasil penelitiannya pribadi yang beliau beri nama al-Mu’qibun. Dan
secara mengejutkan beliau mencantumkan Bani Alawi dalam kitab tersebut sebagai nasab
yang sahih tanpa mengingkarinya sedikitpun. Dilema yang muncul adalah demikian, jika
Mahdi Roja’i adalah seorang muhaqqiq yang diterima maka kitab beliau yang mencantumkan
Bani Alawi juga harus diterima. Maka selesailah kesahihan Bani Alawi. Sementara jika Mahdi
Roja’i dianggap tidak berkompeten maka kita Syajarah al-Mubarakah juka perlu ditolak
karena beliaulah yang mentahqiq kitab tersebut. Maka selesai pula kesahihan Bani Alawi.

4
6. Ketika terjadi ta’arudl dalil yang menetapkan akan sangat diunggulkan

Sebenarnya sudah sangat tidak layak membandingkan kitab Syajarah al-Mubarakah


dengan kitab-kitab lain yang menyebutkan nasab Bani Alawi sebagai nasab yang Sahih.
Namun jikapun itu terjadi maka teori tarjih-nya demikian, sebagaimana dijelaskan dalam ar-
Risalah:

‫قوم من نفس‬
ٌ ‫قوم من نفس القبيلة الذين هم أصحاب الشأن ونفاه‬
ٌ ‫ النسب املقبول وهو النسب الذي أثبته‬: ‫القسم الثالث‬
‫ وألجل‬، ‫ فاإلثبات والنفي فيه متساواين فهما جهتان متقابلتان متضاداتن فصار مقبوال ألجل التساوي بني التضاد‬، ‫تلك القبيلة‬
، ‫ الل من قوم آخرين وإال فإن القول قول أصحاب الشأن دون الغرابء‬، ‫أ ّن هذا الضد من نفس جسد ا لقوم أصحاب الشأن‬
.‫سواء كان إثباات أم نفيا فالقول قوهلم‬

Sederhanyanya adalah ketika terjadi pertentangan pendapat satu kelompok menetapkan


sementara kelompok yang lain menafikan maka nasab itu tetap terkategorikan sebagai nasab
maqbul/ dan yang diterima hanyalah perbedaan yang terjadi antara dua kelompok internal
kabilah.

Dalam konteks Syajarah al-Mubarokah, selain kitab ini masih sangat diraguan, ia sama
sekali tidak menafikan Ubaidillah, ditambah lagi ia tidak berasal dari internal Ahlul Bait.
Tentu sekian poin tersebut membuat Syajarah Mubarokah tidak sebanding (marjuh) di
hadapan belasan kitab yang secara Sharih menetapkan nasab Bani Alawi yang beberapa
bahkan berasal dari internah Ahlul Bait itu sendiri.

Kesimpulannya: saya lebih tertarik mengikuti edaran Pondok Pesantren al-Anwar


karena lebih ilmiah sekaligus lebih bermoral.

Sekian, Terima Kasih.

Anda mungkin juga menyukai