LA ILAHA ILLALLAH
Orang yang mendapatkan jaminan surga dengan laa ilaaha illallah, adalah mereka yang
memahami makna dan konsekuensinya serta menerapkannya dalam hidupnya.
Dari Utsman bin Affan Radhiyallahu „anhu, Nabi Shallallahu alaihi wasallam bersabda,
Laa Ilaaha Illallah tersusun dari 3 huruf: []ا – ل – ه, dan terdiri dari 4 kata: Laa, Ilaha, illa dan
Allah []ال اله اال هللا.
Disebut laa nafiyah lil jins (huruf lam yang berfungsi meniadakan keberadaan semua jenis kata
benda setelahnya). Misalnya kata: “Laaraiba fiih” (tidak ada keraguan apapun bentuknya di
dalamnya). Artinya meniadakan semua jenis keraguan dalam al-Quran.
Sehingga laa dalam kalimat tauhid bermakna meniadakan semua jenis ilaah (sesembahan),
dengan bentuk apapun dan siapapun dia atau membuang segala bentuk kesyirikan.
Kata ini merupakan bentuk mashdar (kata dasar), turunan dari kata: aliha – ya‟lahu []ألـه – يألـه
yang artinya beribadah. Sementara kata ilaahun [ ]إلـهmerupakan isim masdar yang bermakna
maf‟ul (obyek), sehingga artinya sesembahan atau sesuatu yang menjadi sasaran ibadah.
Jika kita gabungkan dengan kata laa, menjadi laa ilaaha []ال إلـه, maka artinya tidak ada
sesembahan atau sesuatu yang menjadi sasaran ibadah, apapun bentuknya.
Ilaa artinya kecuali. Disebut dengan huruf istitsna‟ (pengecualian) yang bertugas untuk
mengeluarkan kata yang terletak setelah illa dari hukum yang telah dinafikan oleh laa.
Tidak ada lelaki apapun di masjid, selain Muhammad. Kata Muhammad dikeluarkan dari hukum
sebelum illa yaitu peniadaan semua jenis laki-laki di masjid.
Dialah Rob semesta alam, dikenal oleh makhluk melalui fitrah mereka. Karena Dia Pencipta
mereka.
1
Sebagian ahli bahasa mengatakan, nama Allah [ ]هللاberasal dari kata al-Ilah []اإللـه. Hamzahnya
dihilangkan untuk mempermudah membacanya, lalu huruf lam yang pertama diidhgamkan pada
lam yang kedua sehingga menjadi satu lam yang ditasydid, lalu lam yang kedua dibaca tebal.
Sehingga dibaca Allah. Demikian pendapat ahli bahasa Sibawaih.
“Allah Dialah al-Ma‟bud (yang diibadahi), al-Ma‟luh (yang disembah). Tidak ada yang berhak
diibadahi kecuali Dia”. (Madarij as-Salikin, 3/144).
“Yang demikian itu karena Allahlah yang hak (untuk diibadahi) dan apa saja yang mereka
sembah selain Allah maka itu adalah sembahan yang batil dan Allah Maha Tinggi lagi Maha
Besar.” Dan mirip dengannya dalam surah (QS. Al-Hajj :62).
Kesimpulan bahwa makna Laa ilaaha illallah adalah tidak ada sembahan yang berhak
diibadahi dengan benar kecuali Allah. Maka kalimat tauhid ini menunjukkan akan
penafian/penolakan/peniadaan semua jenis penyembahan dan peribadahan dari semua selain
Allah Ta‟ala, apa dan siapapun dia, serta penetapan bahwa penyembahan dan peribadahan
dengan seluruh macam bentuknya –baik yang zhohir maupun yang batin- hanya ditujukan
kepada Allah semata tidak kepada selainnya. Oleh karena itu semua yang disembah selain Allah
Ta‟ala memang betul telah disembah, akan tetapi dia disembah dengan kebatilan, kezholiman,
pelampauan batas dan kesewenang-wenangan.
Ulama‟ menyebutkan rukun kalimat laa ilaaha illallaah ada 2 (at-Tauhid li anNasyiin, hlm. 30):
Rukun ini diwakili kalimat laa ilaaha. Makna rukun ini, bahwa orang yang mengikrarkan laa
ilaaha illallah harus mengingkari semua bentuk sesembahan dan sasaran ibadah apapun
bentuknya. Baik dia manusia, benda mati, orang soleh, nabi, maupun Malaikat. Tidak ada yang
berhak untuk dijadikan sasaran ibadah. Ketika seseorang beraqidah ateis, berarti dia tidak
mengakui penggalan pertama kalimat tauhid: laa ilaaha. Atau MEMBUANG SEGALA
BENTUK KESYIRIKAN
Rukun ini mewakili kalimat illallaah. Artinya, orang yang mengucapkan laa ilaaha illallah
harus mengakui satu-satunya yang BERHAK DIJADIKAN SASARAN BERIBADAH
ADALAH ALLAH. Sehingga dia harus beribadah kepada Allah. Dan ketika dia tidak mau
beribadah, berarti dia belum mengakui Allah sebagai tuhannya.
Siapa yang ingkar terhadap thagut, dan beriman kepada Allah, berarti dia berpegang dengan
tali yang kuat (QS. al-Baqarah: 256).
2
Dan arti kata tali yang kuat adalah laa ilaaha illallah
Sehingga makna ayat, siapa yang menginkari semua bentuk sesembahan dan hanya mengakui
Allah sebagai sasaran peribadatannya, berarti dia telah mengikrarkan laa ilaaha illallah dengan
benar.
1. Al Ilmu (ilmu)
Al ilmu di sini makna yang dimaksudkan adalah ilmu dalam menafikan (membuang segala
bentuk kesyirikan) dan menetapkan (segala bentuk ibadah hanya untuk Allah / mentauhidkan
Allah). Hal ini karena menafikan semua jenis ibadah kepada seleuruh sesembahan selain Allah,
dan menetapkan semua ibadah hanya kepada Allah semata. Sebagaimana dalam firman Allah
Ta‟ala :
“hanya kepada-Mu lah kami beribadah dan hanya kepada-Mu lah kami memohon pertolongan”
(QS. Al Fatihah: 5)
Maksudnya, kami beribadah hanya kepada-Mu semata yaa Allah, dan tidak menyembah/tidak
memalingkan ibadah kepada selain-Mu.
Maka orang yang mengucapkan “Laa ilaaha illallah” wajib mengilmui makna dari “Laa ilaaha
illallah” itu sendiri.
“Maka ketahuilah/Ilmuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada sesembahan yang hak selain Allah”
(QS. Muhammad: 19)
Ia juga berfirman:
3
“kecuali mereka mengetahui yang hak (tauhid) dan mereka mengilmui (nya)” (QS. Az Zukhruf:
86)
Para ahli tafsir menjelaskan, maksud dari “illa man syahida” adalah „kecuali mereka yang
mengetahui‟ apa yang mereka syahadatkan tersebut oleh lisan dan hari mereka”. Dari Utsman
bin „Affan radhiallahu‟anhu beliau berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu‟alaihi Wasallam
bersabda:
“barangsiapa yang mati dan ia mengetahui bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah
selain Allah, akan masuk surga”
2. Al Yaqin (meyakini)
Al Yaqin menafikan syakk dan rayb (keraguan). Maknanya, seeorang meyakini secara tegas
kalimat “Laa ilaaha illallah”, tanpa ada keraguan dan kebimbangan. Sebagaimana Allah
mensifati orang Mukmin:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman)
kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad)
dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar” (QS.
Al Hujurat: 15)
Makna dari lam yartaabuu di sini adalah yakin dan tidak ragu.
Dan dalam Shahih Muslim, dari Abu Hurairah radhiallahu‟anhu ia berkata, Rasulullah
Shallallahu‟alaihi Wasallam bersabda:
“syahadat bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan bahwasanya aku
adalah utusan Allah, seorang hamba yang tidak meragukannya dan membawa keduanya ketika
bertemu dengan Allah, akan masuk surga”
Dan dalam Shahih Muslim, juga dari Abu Hurairah radhiallahu‟anhu ia berkata, Rasulullah
Shallallahu‟alaihi Wasallam bersabda:
“barangsiapa yang engkau temui di balik penghalang ini, yang bersyahadat laa ilaaha illallah,
dan hatinya yakin terhadap hal itu, maka berilah kabar gembiranya baginya berupa surga”
3. Al Qabul (menerima)
Al Qabul (menerima) menafikan ar radd (penolakan). Seorang hamba wajib menerima kalimat
“Laa ilaaha illallah” dengan sebenar-benarnya dengan hati dan lisannya. Allah Ta‟ala telah
mengisahkan kepada kita dalam Al Qur‟an Al Karim kisah-kisah orang terdahulu yang telah
4
Allah beri keselamatan kepada mereka karena mereka menerima kalimat “Laa ilaaha illallah”,
dan orang-orang yang dihancurkan serta dibinasakan karena menolak kalimat tersebut. Allah
Ta‟ala berfirman:
“Kemudian Kami selamatkan rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman, demikianlah
menjadi kewajiban atas Kami menyelamatkan orang-orang yang beriman” (QS. Yunus: 103).
Juga berfirman-Nya:
33
“Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: “Laa ilaaha illallah” (Tiada
Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri, dan mereka
berkata: “Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena
seorang penyair gila?”” (QS. Ash Shaafaat: 35-36)
4. Al Inqiyad (patuh)
Al Inqiyad (patuh) menafikan at tarku (ketidak-patuhan). Orang yang mengucapkan kalimat “Laa
ilaaha illallah” wajib untuk patuh terhadap syariat Allah dan taat pada hukum Allah serta pasrah
kepada aturan Allah. Allah Ta‟ala berfirman:
“Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab
kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi)” (QS. Az Zumar: 54)
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya
kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang
lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya” (QS. An Nisaa‟: 125)
dan makna dari aslimuu dan aslama dalam dua ayat di atas dalah patuh dan taat.
5. Al Ikhlas (ikhlas)
Al Ikhlas menafikan syirik dan riya‟. Yaitu dengan membersihkan amal dari semua cabang
kesyirikan yang zhahir maupun yang samar, dengan mengikhlaskan niat untuk Allah semata
dalam seluruh ibadah. Allah Ta‟ala berfirman:
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang ikhlas (bersih dari syirik)” (QS. Az Zumar:
3)
Ia juga berfirman:
5
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan mengikhlaskan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus” (QS. Al Bayyinah: 5)
Dan dalam Shahih Al Bukhari, dari Abu Hurairah radhiallahu‟anhu dari Nabi Shallallahu‟alaihi
Wasallam:
“Orang yang paling bahagia dengan syafa‟atku di hari kiamat kelak adalah orang yang
mengatakan laa ilaaha illallah dengan ikhlas dari hatinya”
Ash Shidqu menafikan al kadzab (dusta). Yaitu dengan mengucapkan kalimat “Laa ilaaha
illallah” secara jujur dari hatinya sesuai dengan ucapan lisannya. Allah Ta‟ala berfirman ketika
mencela orang munafik:
“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: “Kami mengakui, bahwa
sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah”. Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya
kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik
itu benar-benar orang pendusta” (QS. Al Munafiqun: 1).
Karena orang-orang munafik mengucapkan kalimat “Laa ilaaha illallah” namun tidak secara
jujur. Allah Ta‟ala berfirman:
2 1
“Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan:
“Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji
orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang
benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta” (QS. Al Ankabut: 1-3).
Dan dalam Shahihain, dari Mu‟adz bin Jabal radhiallahu‟anhu, dari Nabi Shallallahu‟alaihi
Wasallam:
“tidak ada seorang pun yang bersyahadat bahwa tiada sesembahan yang berhak diibadahi
dengan benar selain Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah, dengan jujur dari
hatinya, kecuali ia pasti diharamkan oleh Allah untuk masuk neraka”
7. Al Mahabbah (cinta)
Al Mahabbah (cinta) menafikan al bughdhu (benci) dan al karhu (marah). Yaitu orang yang
mengucapkan kalimat “Laa ilaaha illallah” wajib mencintai Allah, Rasul-Nya, agama Islam dan
mencintai kaum Muslimin yang menegakkan perintah-perintah Allah dan menjaga batasan-
batasannya. Dan membenci orang-orang yang bertentangan dengan kalimat “Laa ilaaha illallah”
dan mengerjakan lawan dari kalimat “Laa ilaaha illallah” yaitu berupa kesyirikan atau kekufuran
6
atau mereka mengerjakan hal yang mengurangi kesempurnaan “Laa ilaaha illallah” karena
mengerjakan kesyirikan serta kebid‟ahan.
“ikatan iman yang paling kuat adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah”
Dan yang juga menunjukkan disyaratkannya mahabbah dalam keimanan adalah firman Allah
Ta‟ala:
“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah;
mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman
amat sangat cintanya kepada Allah” (QS. Al Baqarah: 165).
Dan dalam Shahihain, dari Anas bin Malik radhiallahu‟anhu ia berkata: Rasulullah
Shallallahu‟alaihi Wasallam bersabda:
“Ada 3 hal yang jika ada pada diri seseorang ia akan merasakan manisnya iman: (1) Allah dan
Rasul-Nya lebih ia cintai dari selainnya, (2) ia mencintai seseorang karena Allah, (3) ia benci
untuk kembali pada kekufuran sebagaimana ia benci untuk dilemparkan ke dalam neraka”
QS. AZ-ZUMAR : 65
Dan Sesungguhnya Telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. "Jika
kamu mempersekutukan Allah (melakukan DOSA SYIRIK), niscaya akan terhapuslah BATAL-
LAH amalan-mu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang
selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya…” [An-Nisaa‟: 48]
7
“… Sesungguhnya orang yang MELAKUKAN DOSA SYIRIK mempersekutukan sesuatu
dengan Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya Surga, dan tempatnya adalah
Neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolong pun.” [Al-Maa-idah: 72]
2. Orang Yang Membuat Perantara Antara Dirinya Dengan Allah, Yaitu Dengan
Berdo‟a, Memohon Syafa‟at, Serta Bertawakkal Kepada Mereka Selain Allah Itu.
Katakanlah: "Panggillah mereka yang kamu anggap (tuhan) selain Allah, Maka mereka tidak
akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya daripadamu dan tidak pula
memindahkannya."
Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di
antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan
azab-Nya; Sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti.
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam…” [QS. Ali „Imran: 19] [3]
Juga firman-Nya:
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima
(agama itu) darinya, dan di akhirat ia termasuk orang-orang yang rugi.” [Ali „Imran: 85]
ۖ
“Sesungguhnya orang-orang kafir, yakni Ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke
Neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” [Al-
Bayyinah: 6]
Yang dimaksud Ahlul Kitab adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani, sedangkan kaum
musyrikin adalah orang-orang yang menyembah ilah yang lain bersama Allah (Allah dia ibadahi
dan selain Allah juga dia ibadahi dalam waktu bersamaan atau menduakan Allah dalam
ibadah).[4]
4. Meyakini adanya petunjuk / hukum yang lebih baik dan lebih sempurna dari al-
Quran dan Sunnah Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam.
8
ۖ
“Apakah hukum Jahiliyyah yang mereka kehendaki? Dan (hukum) siapakah yang lebih baik
daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” [Al-Maa-idah: 50]
“… Barangsiapa yang tidak memutuskan (hukum) menurut apa yang diturunkan Allah, maka
mereka itulah orang-orang yang kafir.” [Al-Maa-idah: 44]
“… Barangsiapa tidak memutuskan (hukum) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka
itu adalah orang-orang yang zhalim.” [Al-Maa-idah: 45]
“… Barangsiapa tidak memutuskan (hukum) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka
itu adalah orang-orang yang fasik.” [Al-Maa-idah: 47]
Yaitu orang yang tidak senang, marah, murka, atau benci terhadap apa-apa yang dibawa
oleh Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam, walaupun ia melakukannya.
“Dan orang-orang yang kafir, maka kecelakaanlah bagi mereka dan Allah menghapus amal-amal
mereka. Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang di-
turunkan Allah (Al-Qur-an), lalu Allah menghapuskan (pahala-pahala) amal-amal mereka.”
[Muhammad: 8-9]
“Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (murtad) setelah jelas petunjuk bagi
mereka, syaithan telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-
9
angan mereka. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka (orang-orang munafik) itu
berkata kepada orang-orang yang benci kepada apa yang diturunkan Allah (orang-orang
Yahudi): „Kami akan mematuhimu dalam beberapa urusan,‟ sedangkan Allah mengetahui
rahasia mereka. Bagaimanakah (keadaan mereka) apabila Malaikat (maut) mencabut nyawa
mereka seraya memukul muka dan punggung mereka. Yang demikian itu karena sesungguhnya
mereka mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan Allah dan (karena) mereka membenci (apa
yang menimbulkan) keridhaan-Nya; sebab itu Allah menghapus (pahala) amal-amal mereka.”
[Muhammad: 25-28]
6. MENGHINA ISLAM
7. MELAKUKAN SIHIR
“…Sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan:
„Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir…(karena Sihir
Itu)‟” [Al-Baqarah: 102]
10
.
„Sesungguhnya jampi, jimat dan tiwalah (pelet) adalah perbuatan syirik.‟” [5]
8. Memberikan pertolongan kepada orang kafir dan membantu mereka dalam rangka
memerangi kaum Muslimin
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan
Nasrani sebagai pemimpin bagimu; sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang
lain. Barangsiapa di antara kamu yang menjadikan mereka sebagai pemimpin, maka
sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.” [Al-Maa-idah: 51] [6]
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang yang membuat
agamamu menjadi buah ejekan dan permainan sebagai pemimpin, (yaitu) di antara orang-orang
yang telah diberi Kitab sebelummu dan dari orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan
bertawakkallah kepada Allah jika kamu benar-benar orang yang beriman.” [Al-Maa-idah: 57]
9. Meyakini Bahwa Sebagian Manusia Bebas Keluar Dari Syari‟at Nabi Muhammad
Shallallahu „Alaihi Wa Sallam.
“Katakanlah: „Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua…” [Al-
A‟raaf: 158]
“Dan Kami tidak mengutus kamu (Muhammad), melainkan kepada ummat manusia seluruhnya
sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia
tidak mengetahui.” [Saba‟: 28]
Juga firman-Nya:
11
“Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah
berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan
hanya kepada Allah-lah mereka dikembalikan.” [Ali „Imran: 83]
.
“Demi Allah, jika seandainya Musa hidup di tengah-tengah kalian, niscaya tidak ada
keleluasaan baginya kecuali ia wajib mengikuti syari‟atku.”[7]
“… Dan orang-orang yang kafir berpaling dari apa yang diperingatkan kepada mereka.” [Al-
Ahqaaf: 3]
ۖ
“Dan siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat
Rabb-nya, kemudian ia berpaling daripadanya. Sesungguhnya Kami akan memberikan
pembalasan kepada orang-orang yang berdosa.” [As-Sajdah: 22]
“Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan
yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta.”
[Thaahaa: 124]
**********************
Disadur dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama‟ah, Penulis Yazid bin Abdul
Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi‟i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta,
Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M
_______
ENDNOTE (dari Pembahasan Pembatal-Pembatal Keislaman)
[1]. Pembahasan ini dinukil dari Silsilah Syarhil Rasaa-il lil Imaam al-Mujaddid Syaikh
Muhammad bin „Abdul Wahhab v (hal. 209-238) oleh Dr. Shalih bin Fauzan bin „Abdillah al-
Fauzan, cet. I, th. 1424 H; Majmuu‟ Fataawaa wa Maqaalaat Mutanawwi‟ah lisy Syaikh „Abdul
„Aziz bin „Abdillah bin „Abdirrahman bin Baaz v (I/130-132) dikumpulkan oleh Dr. Muhammad
12
bin Sa‟d asy-Syuwai‟ir, cet. I/ Darul Qasim, th. 1420 H; al-Qaulul Mufiid fii Adillatit Tauhiid (hal.
45-53) oleh Syaikh Muhammad bin „Abdul Wahhab bin „Ali al-Yamani al-Washabi al-„Abdali, cet.
VII/ Maktabah al-Irsyad Shan‟a, th. 1422 H; dan at-Tanbiihatul Mukhtasharah Syarhil Waajibaat
al-Mutahattimaat al-Ma‟rifah „alaa Kulli Muslim wa Muslimah (hal. 63-82) oleh Ibrahim bin asy-
Syaikh Shalih bin Ahmad al-Khurasyi, cet. I/ Daar ash-Shuma‟i, th. 1417 H.
[2]. Lihat juga QS. Saba‟: 22-23 dan az-Zumar: 3.
[3]. Lihat juga QS. Al-Baqarah: 217, al-Maa-idah: 54, Muhammad: 25-30,
[4]. Lihat QS. Al-Maa-idah: 17, al-Maa-dah: 54, al-Maa-idah: 72-73, an-Nisaa‟: 140, al-Baqarah:
217, Muhammad: 25-30,
[5]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3883) dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam
Shahiihul Jaami‟ (no. 1632) dan Silsilah ash-Shohiihah (no. 331). Hadits ini juga diriwayatkan oleh
al-Hakim (IV/217), Ibnu Majah (no. 3530), Ahmad (I/381), ath-Thabrani dalam al-Mu‟jam al-
Kabiir (X/262), Ibnu Hibban (XIII/456) dan al-Baihaqi (IX/350).
[6]. Lihat QS. Ali „Imran: 100-101 dan QS. Mumtahanah: 13.
[7]. Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam al-Irwaa‟ (VI/34, no. 1589) dan ia menyebutkan
delapan jalan dari hadits tersebut. Dan jalan ini telah disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam
Tafsiirnya pada ayat 81 dan 82 dari surat Ali „Imran.
[8]. Dinukil dari at-Tabshiir bi Qawaa-idit Takfiir (hal. 42-44) oleh Syaikh „Ali bin Hasan bin „Ali „Abdul
Hamid al-Halabi.
[9]. Sailul Jarraar al-Mutadaffiq „alaa Hadaa-iqil Az-haar (IV/578).
[10]. Majmuu‟ Fataawaa (XII/498) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
[11]. Lihat Majmuu‟ Fataawaa (XII/498), Mujmal Masaa-ilil Iimaan wal Kufr al-„Ilmiy-yah fii Ushuulil
„Aqiidah as-Salafiyyah (hal. 28-35, cet. II, th. 1424 H) dan at-Tab-shiir bi Qawaa-idit Takfiir (hal. 42-44).
13