Anda di halaman 1dari 59

Sejenak

Mengenal Iman

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


“Barangsiapa yang mencintai karena Allah, membenci karena
Allah, memberi karena Allah, dan menahan juga karena Allah,
maka sungguh dia telah menyempurnakan iman.”
(HR. Abu Dawud, disahihkan al-Albani dalam as-Shahihah)

-----------------------

Penerbit
Perpustakaan al-Mubarok
Alamat : Masjid Jami’ al-Mubarok YAPADI,
Donotirto, Kasihan, Bantul, Yogyakarta.
Homepage : www.al-mubarok.com

Shafar 1444 H / Agustus 2022


Daftar Isi
Malu Bagian dari Iman
Petikan Faidah Imam Nawawi Seputar Iman
Pengaruh Iman Terhadap Sifat Rahmat Allah
Kedudukan Dunia
Beberapa Pelajaran Perihal Iman
Mengenal Pengertian Iman
Dampak Kerusakan Aqidah
Memperbaiki Keadaan Diri
Mengenal Hakikat Islam
Tauhid dan Syirik
Membangun Loyalitas

2
Malu Bagian dari Iman
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Iman itu terdiri dari tujuh puluh lebih atau enam
puluh lebih cabang. Yang paling utama adalah ucapan laa ilaha illallah,
yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan rasa
malu adalah salah satu cabang keimanan.” (HR. Bukhari no 9 dan
Muslim no 35, lafal ini milik Muslim)

Hakikat Iman

Iman adalah pembenaran yang mantap dan pengakuan yang sempurna


terhadap segala perintah Allah dan rasul-Nya, menyakini dan tunduk
kepadanya baik secara lahir maupun batin. Iman meliputi pembenaran
hati dan keyakinan yang memiliki konsekuensi amalan hati dan anggota
badan.

Oleh sebab itu para ulama menjelaskan bahwa iman adalah, “Ucapan
hati dan lisan, serta amalan hati, lisan dan anggota badan.” Sehingga,
iman adalah ucapan, amalan, dan keyakinan, bertambah dengan
ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan (lihat at-Taudhih wa
al-Bayan li Syajarat al-Iman, hal. 7)

Keimanan yang benar akan senantiasa disertai dengan rasa malu


kepada Allah, cinta kepada-Nya, harapan yang sangat kuat untuk
meraih pahala-Nya, dan rasa takut terhadap hukuman-Nya. Selain itu,
keimanan yang benar dan tulus akan menjadi cahaya bagi seorang
hamba, yang akan mengentaskan dirinya dari kegelapan dosa (lihat
at-Taudhih wa al-Bayan li Syajarat al-Iman, hal. 63).

Keutamaan Rasa Malu

3
Dari ‘Uqbah bin ‘Amr al-Anshari radhiyallahu’anhu, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya salah satu
ajaran kenabian yang pertama-tama dikenal oleh umat manusia adalah:
Jika kamu malu, maka berbuatlah sekehendakmu.” (HR. Bukhari no
3483).

Syaikh Yahya al-Hajuri hafizhahullah berkata, “Artinya adalah, orang


yang tidak punya rasa malu niscaya dia akan melakukan berbagai
perbuatan yang tercela.” (lihat Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, hal.
146).

an-Nawawi rahimahullah berkata, “Maknanya, apabila kamu hendak


melakukan sesuatu, maka jika hal itu adalah suatu perbuatan yang
tidak memalukan di hadapan Allah dan tidak memalukan di hadapan
manusia maka lakukanlah. Kalau bukan, maka jangan kamu lakukan. Di
atas hadits inilah berporos seluruh ajaran Islam.” (lihat ad-Durrah
as-Salafiyah, hal. 158).

Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad al-Badr hafizhahullah menjelaskan,


“Hadits ini menunjukkan bahwa rasa malu itu terpuji. Sebagaimana ia
berlaku dalam syari’at ini, maka ia pun berlaku dalam syari’at-syari’at
terdahulu. Rasa malu merupakan bagian dari nilai-nilai akhlak mulia
yang diwariskan oleh para nabi hingga kenabian itu berakhir pada umat
ini. Perintah yang ada di dalam hadits ini menunjukkan kebolehan dan
tuntutan apabila perkara yang tidak membuat malu itu bukan sesuatu
yang dilarang oleh syari’at. Namun, apabila sesuatu yang tidak
membuat malu itu adalah perkara yang terlarang, maka perintah ini
maksudnya adalah tantangan/ancaman, atau menunjukkan
bahwasanya perbuatan semacam itu tidak mungkin terjadi kecuali pada
orang yang tidak punya rasa malu sama sekali atau sedikit rasa
malunya.” (lihat Fath al-Qawi al-Matin, hal. 73)

Malu adalah akhlak para nabi ‘alahimus shalatu was salam. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang sangat pemalu, bahkan

4
lebih pemalu daripada seorang gadis yang sedang dalam pingitan.
Demikian pula Nabi Musa ‘alaihis salam adalah seorang yang sangat
pemalu, sehingga beliau tidak mau mandi bersama-sama sebagaimana
kebiasaan Bani Isra’il. Apabila rasa malu itu lenyap, seorang perempuan
akan seenaknya mengumbar aurat di hadapan kaum lelaki. Begitu pula,
kaum lelaki yang tidak punya rasa malu akan suka melontarkan celaan
dan umpatan kepada orang lain. Dalam sejarah pun kita mengetahui
bahwa Abu Sufyan -yang ketika itu belum masuk Islam- selamat dari
berdusta karena dia malu apabila dirinya dikatakan pendusta. Rasa
malu akan menghalangi orang dari melakukan berbagai perbuatan keji,
mencuri, berteriak-teriak di pasar, dan lain sebagainya (diringkas dari
keterangan Syaikh Yahya al-Hajuri dalam Syarh al-Arba’in, hal. 147-148)

Dua Macam Rasa Malu

Dalam pengertian syari’at, yang dimaksud rasa malu adalah suatu


akhlak/perangai yang mendorong seseorang untuk meninggalkan
perbuatan buruk dan menghalangi dirinya dari meremehkan dalam
menunaikan kewajiban kepada pihak yang berhak menerimanya (lihat
Fath al-Bari [1/67]).

al-Jarrah bin Abdullah al-Hakami rahimahullah berkata, “Aku


meninggalkan dosa karena malu selama empat puluh tahun lamanya,
kemudian setelah itu barulah aku menemukan wara’/sikap
kehati-hatian.” (lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal. 256)

Malu terbagi dua; malu yang berkaitan dengan hak Allah ‘azza wa jalla
dan malu yang berkaitan dengan hak makhluk/sesama. Rasa malu yang
berkaitan dengan hak Allah maksudnya adalah malu kepada Allah
apabila Dia melihat kita melakukan larangan-Nya atau menelantarkan
perintah-Nya, malu semacam ini hukumnya adalah wajib. Adapun malu
yang berkaitan dengan makhluk adalah dengan menahan diri dari
berbagai perbuatan yang merusak harga diri dan mencemari akhlak

5
(lihat Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah oleh Syaikh Ibnu Utsaimin, hal.
210)

Rasa malu kepada Allah lahir dari dua hal. Pertama; melihat kepada
curahan nikmat dari Allah kepada hamba yang sedemikian banyak.
Kedua; melihat rendahnya kualitas penghambaan yang dilakukan
olehnya. al-Junaid rahimahullah berkata, “Hakikat rasa malu adalah
melihat berbagai karunia; yaitu kenikmatan, dan melihat akan
rendahnya kualitas penghambaan. Dari kedua hal inilah terlahir apa
yang disebut dengan rasa malu (kepada Allah, pent).” (lihat Syarh
Muslim [2/89])

Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “Sebuah perkara yang amat


mengherankan adalah tatkala kamu telah mengenal-Nya tetapi kamu
tidak mencintai-Nya. Kamu mendengar da’i yang menyeru kepada-Nya
namun kamu berlambat-lambat dalam memenuhi seruan-Nya. Kamu
menyadari betapa besar keuntungan yang dicapai dengan
bermuamalah dengan-Nya namun kamu justru memilih bermuamalah
dengan selain-Nya. Kamu mengerti betapa berat resiko kemurkaan-Nya
namun kamu justru membangkang kepada-Nya. Kamu bisa merasakan
pedihnya kegalauan akibat bermaksiat kepada-Nya namun kamu tidak
mau mencari ketentraman dengan taat kepada-Nya. Kamu bisa
merasakan kesempitan hati tatkala sibuk dengan selain ucapan-Nya
atau pembicaraan tentang-Nya namun kamu tidak merindukan
kelapangan hati melalui dzikir dan munajat kepada-Nya. Kamu pun bisa
merasakan betapa tersiksanya hatimu tatkala bergantung kepada
selain-Nya namun kamu tidak meninggalkan hal itu menuju kenikmatan
pengabdian serta kembali bertaubat dan taat kepada-Nya. Dan yang
lebih aneh daripada ini semua adalah kesadaranmu bahwa kamu pasti
membutuhkan-Nya dan Dia merupakan Dzat yang paling kamu
perlukan, tetapi kamu justru berpaling dari-Nya dan mencari sesuatu
yang menjauhkan dirimu dari-Nya.” (lihat al-Fawa’id, hal. 45)

6
Petikan Faidah Imam Nawawi Seputar Iman
Pondasi Keimanan

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa


sallam bersabda, “Iman terdiri dari tujuh puluh sekian atau enam puluh
sekian cabang. Yang paling utama adalah ucapan laa ilaha illallah dan
yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa
malu adalah salah satu cabang keimanan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

an-Nawawi rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam


menegaskan bahwa bagian iman yang paling utama adalah tauhid yang
hukumnya wajib ‘ain atas setiap orang, dan itulah perkara yang tidaklah
dianggap sah/benar cabang-cabang iman yang lain kecuali setelah
sahnya hal ini (tauhid).” (lihat Syarh Muslim [2/88])

Keutamaan Tauhid

an-Nawawi rahimahullah membuat judul bab: Dalil yang menunjukkan


bahwa barangsiapa yang mati di atas tauhid maka dia pasti masuk
surga. Kemudian beliau membawakan riwayat yang dimaksud (lihat
Syarh Muslim [2/63]). Dari ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu’anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang
meninggal dalam keadaan mengetahui bahwasanya tidak ada ilah [yang
benar] selain Allah maka dia masuk surga.” (HR. Muslim)

Dakwah Kepada Tauhid

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma, beliau menuturkan bahwa


tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mu’adz bin Jabal
radhiyallahu’anhu ke negeri Yaman, maka beliau berpesan kepadanya,
“Sesungguhnya engkau akan mendatangi sekelompok orang dari

7
kalangan Ahli Kitab, maka jadikanlah perkara pertama yang kamu
serukan kepada mereka syahadat laa ilaha illallah.” Dalam sebagian
riwayat disebutkan, “Supaya mereka mentauhidkan Allah.” (HR.
Bukhari dan Muslim)

an-Nawawi rahimahullah berkata, “Di dalam hadits ini terkandung


pelajaran diterimanya khabar/hadits ahad dan wajib beramal
dengannya.” Beliau juga berkata, “Di dalamnya juga terdapat pelajaran
bahwa dituntunkan untuk mendakwahi orang kafir kepada tauhid
sebelum memerangi mereka, dan tidaklah mereka dihukumi sebagai
muslim kecuali setelah mengucapkan dua kalimat syahadat.” (lihat
Syarh Muslim [2/48])

Nasib Pelaku Dosa Besar

Dari Abu Dzar radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam


bersabda, “Telah datang Jibril ‘alaihis salam kepadaku dan dia
memberikan kabar gembira kepadaku; bahwa barangsiapa diantara
umatmu yang meninggal dalam keadaan tidak mempersekutukan Allah
dengan sesuatu apapun, maka dia pasti masuk surga.” Lalu aku berkata,
“Meskipun dia pernah berzina dan mencuri?”. Dia menjawab,
“Meskipun dia berzina dan mencuri.” (HR. Bukhari dan Muslim)

an-Nawawi rahimahullah berkata, “…Apabila dia -orang yang


bertauhid- itu adalah seorang pelaku dosa besar yang meninggal dalam
keadaan terus-menerus bergelimang dengannya (belum bertaubat dari
dosa besarnya) maka dia berada di bawah kehendak Allah (terserah
Allah mau menghukum atau memaafkannya). Apabila dia dimaafkan
maka dia bisa masuk surga secara langsung sejak awal. Kalau tidak,
maka dia akan disiksa terlebih dulu lalu dikeluarkan dari neraka dan
dikekalkan di dalam surga…” (lihat Syarh Muslim [2/168])

an-Nawawi rahimahullah berkata, “Adapun sabda Nabi shallallahu


‘alaihi wa sallam ‘meskipun dia berzina dan mencuri’, maka ini adalah

8
hujjah/dalil bagi madzhab Ahlus Sunnah yang menyatakan bahwa para
pelaku dosa besar -dari kalangan umat Islam, pent- tidak boleh
dipastikan masuk ke dalam neraka, dan apabila ternyata mereka
diputuskan masuk (dihukum) ke dalamnya maka mereka [pada
akhirnya] akan dikeluarkan dan akhir keadaan mereka adalah kekal di
dalam surga…” (lihat Syarh Muslim [2/168])

Meninggal Di Atas Tauhid

Dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu’anhu, dia berkata: Rasulullah


shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang bersaksi
bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah semata tiada
sekutu bagi-Nya dan bahwasanya Muhammad adalah hamba dan
utusan-Nya, dan Isa adalah hamba Allah dan utusan-Nya serta
kalimat-Nya yang diberikan-Nya kepada Maryam dan ruh dari-Nya, dan
bersaksi bahwa surga adalah benar dan neraka adalah benar, maka
Allah akan memasukkannya ke dalam surga bagaimana pun amalannya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

an-Nawawi rahimahullah berkata, “Maka tidak ada seorang pun yang


meninggal di atas tauhid dihukum kekal di dalam neraka, meskipun dia
melakukan kemaksiatan seperti apapun juga, sebagaimana pula tidak
akan pernah masuk surga orang yang mati di atas kekafiran meskipun
dulunya dia banyak melakukan berbagai amal kebaikan.” (lihat Syarh
Muslim [2/74])

Manisnya Iman

Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa


sallam bersabda, “Ada tiga perkara; barangsiapa yang ketiga hal itu ada
pada dirinya niscaya dia akan merasakan manisnya iman. Orang yang
menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya daripada selain
keduanya. Dia mencintai seseorang semata-mata karena kecintaannya
kepada Allah. Dia tidak suka kembali kepada kekafiran setelah Allah

9
selamatkan dia darinya, sebagaimana dia tidak suka dilemparkan ke
dalam kobaran api.” (HR. Bukhari dan Muslim)

an-Nawawi rahimahullah berkata, “Para ulama -semoga Allah


merahmati mereka- mengatakan bahwa makna manisnya iman adalah
kelezatan di saat melakukan ketaatan dan sanggup menanggung
berbagai kesulitan demi menggapai keridhaan Allah ‘azza wa jalla dan
Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam serta lebih mengutamakan itu di
atas kesenangan dunia. Kecintaan seorang hamba kepada Rabbnya
subhanahu wa ta’ala adalah dengan taat kepada-Nya dan tidak
membangkang kepada-Nya. Serupa dengannya adalah kecintaan
kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (lihat Syarh Muslim
[2/96]).

Perusak Keikhlasan

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Kami tampakkan apa yang
dahulu telah mereka amalkan lalu Kami jadikan ia bagaikan debu yang
beterbangan.” (QS. Al-Furqan: 23)

an-Nawawi rahimahullah berkata, “Ketahuilah, bahwasanya keikhlasan


seringkali terserang oleh penyakit ujub. Barangsiapa yang ujub dengan
amalnya maka amalnya terhapus. Begitu pula orang yang
menyombongkan diri dengan amalnya maka amalnya menjadi
terhapus.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 584)

Syafa’at Bagi Pelaku Dosa Besar

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, dia berkata: Rasulullah


shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap Nabi memiliki sebuah
doa yang mustajab, maka semua Nabi bersegera mengajukan
doa/permintaannya itu. Adapun aku menunda doaku itu sebagai
syafa’at bagi umatku kelak di hari kiamat. Doa -syafa’at- itu -dengan
kehendak Allah- akan diperoleh setiap orang yang meninggal di antara

10
umatku dan tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun.”
(HR. Muslim)

an-Nawawi rahimahullah berkata, “Terdapat riwayat-riwayat yang


secara keseluruhan mencapai derajat mutawatir yang menetapkan
kebenaran syafa’at di akhirat bagi para pelaku dosa diantara kaum
beriman. Telah sepakat salaf dan kholaf serta para ulama sesudahnya
dari kalangan Ahlus Sunnah atas hal itu. Akan tetapi Khawarij dan
sebagian Mu’tazilah tidak mempercayai hal itu. Mereka berpegang
dengan madzhab mereka bahwa para pelaku dosa [besar] kekal di
dalam neraka.” (lihat Syarh Muslim [2/311])

Mengingkari Kemungkaran

Dari Ummu Salamah radhiyallahu’anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi


wa sallam bersabda, “Akan muncul para penguasa yang kalian
mengenali mereka namun kalian mengingkari -kekeliruan mereka-.
Barangsiapa yang mengetahuinya maka dia harus berlepas diri -dengan
hatinya- dari kemungkaran itu. Dan barangsiapa yang mengingkarinya
-dengan hatinya, pent- dia akan selamat. Akan tetapi yang berdosa
adalah orang yang meridhainya dan tetap menuruti kekeliruannya.”
Mereka [para sahabat] bertanya, “Apakah tidak sebaiknya kami
memerangi mereka?” Beliau menjawab, “Jangan, selama mereka masih
menjalankan sholat.” (HR. Muslim)

an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits ini terkandung


dalil yang menunjukkan bahwa orang yang tidak mampu melenyapkan
kemungkaran tidak berdosa semata-mata karena dia tinggal diam, akan
tetapi yang berdosa adalah apabila dia meridhai kemungkaran itu atau
tidak membencinya dengan hatinya, atau dia justru mengikuti
kemungkarannya.” (lihat Syarh Muslim [6/485])

11
Pengaruh Iman Terhadap Sifat Rahmat Allah
Kaum muslimin yang dirahmati Allah, mengimani sifat-sifat Allah adalah
kewajiban kita sebagai seorang muslim. Salah satu sifat Allah yang
wajib untuk kita yakini adalah sifat rahmat/kasih sayang. Allah ta’ala
memiliki sifat rahmat. Sifat ini telah ditetapkan di dalam al-Kitab
maupun as-Sunnah.

Misalnya, Allah ta’ala berfirman dalam surat al-Fatihah (yang artinya),


“Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” Allah ta’ala juga
berfirman (yang artinya), “Dan adalah Allah itu Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.” (QS. An-Nisaa’: 96)

Di dalam as-Sunnah, misalnya dalam hadits yang diriwayatkan oleh


‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu’anhu, beliau menceritakan bahwa
suatu ketika ada serombongan tawanan perang yang dihadapkan
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di tengah-tengah
mereka ada seorang ibu yang kebingungan mencari bayinya. Setiap kali
menemukan seorang bayi maka dia pun mendekap dan menyusuinya.
Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada para
sahabat, “Apakah menurut kalian perempuan ini tega untuk
melemparkan bayinya ke dalam kobaran api?”. Para sahabat menjawab,
“Tidak, demi Allah! Padahal dia sanggup untuk tidak melemparkannya.”
Lalu Nabi bersabda, “Sungguh Allah lebih penyayang daripada ibu ini
kepada anaknya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Namun, perlu dicermati bahwa rahmat Allah itu terbagi menjadi dua;
rahmat yang umum dan rahmat yang khusus. Rahmat yang umum
diperoleh siapa pun, orang beriman maupun orang kafir, orang yang
taat maupun yang maksiat. Yang dimaksud adalah rahmat di dunia
semata. Sebagaimana firman Allah yang menceritakan ucapan para

12
malaikat (yang artinya), “Wahai Rabb kami, maha luas rahmat dan
ilmu-Mu meliputi segala sesuatu.” (QS. Ghafir: 7)

Adapun rahmat yang khusus adalah yang diperuntukkan bagi orang


yang beriman dan bertakwa. Hal ini diperoleh tidak hanya di dunia,
bahkan juga di akhirat. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan
rahmat-Ku maha luas mecakup segala sesuatu. Akan tetapi akan Aku
tetapkan hanya untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan
zakat, dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami.” (QS.
Al-A’raaf: 156)

Rahmat Allah yang bersifat umum dapat kita saksikan bukti-buktinya


berupa segala macam nikmat dunia yang dirasakan oleh manusia. Air,
udara, cahaya, matahari, makanan dan minuman, pakaian, tempat
tinggal, dan lain sebagainya. Semua orang bisa mendapatkannya tanpa
membeda-bedakan agama dan keyakinan mereka.

Adapun rahmat Allah yang bersifat khusus dapat kita lihat di dunia
dengan nikmat hidayah yang Allah berikan kepada umat manusia dan
diyakini oleh kaum muslimin yaitu dengan turunnya al-Qur’an,
diutusnya para rasul dan diturunkannya kitab-kitab. Inilah rahmat yang
khusus dan menjamin kebahagiaan yang sesungguhnya.

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus


kepada setiap umat seorang rasul yang mengajak: Sembahlah Allah dan
jauhilah thaghut. Maka diantara mereka ada yang Allah berikan
hidayah dan ada yang tetap padanya kesesatan.” (QS. An-Nahl: 36)

Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Alif lam lim. Inilah Kitab
(al-Qur’an). Tidak ada keraguan sama sekali di dalamnya. Petunjuk bagi
orang-orang yang bertakwa; yaitu orang-orang yang mengimani yang
gaib dan mendirikan sholat, serta memberikan infak dari sebagian rizki
yang Kami berikan kepada mereka. Dan orang-orang yang mengimani
apa yang diturunkan kepadamu dan apa-apa yang diturunkan

13
sebelummu, dan mereka meyakini hari akhirat. Mereka itulah yang
berada di atas petunjuk dari Rabb mereka, dan mereka itulah
orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Baqarah: 1-5)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang


mengikuti petunjuk-Ku maka dia tidak akan sesat dan tidak akan
binasa.” (QS. Thaha: 123)

Keimanan terhadap sifat rahmat Allah ini memiliki banyak dampak


positif dan pengaruh kuat terhadap jiwa dan perilaku seorang hamba.
Diantaranya adalah:

Pertama: Menumbuhkan kecintaan kepada Allah. Dimana Allah telah


menganugerahkan berbagai macam nikmat kepada hamba-hamba-Nya.
Termasuk di dalam cakupan nikmat ini adalah apa yang disyari’atkan
oleh-Nya. Misalnya, Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hanya saja
Allah mengharamkan kepada kalian bangkai, darah, daging babi, dan
binatang yang disembelih untuk selain Allah. Barangsiapa yang
terpaksa, tanpa melampaui batas dan tidak berlebihan [sehingga
memakannya] maka tidak ada dosa atasnya. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 173)

Maka, apabila seseorang tidak mendapatkan makanan pada keadaan


dia sangat lapar dan hampir mati kecuali bangkai, maka ketika itu
diperbolehkan baginya untuk memakan bangkai. Tidak ada dosa
atasnya. Maka keringanan ini adalah bukti kasih sayang Allah kepada
hamba-hamba-Nya. Oleh sebab itu hal ini akan menumbuhkan rasa
cinta pada diri seorang hamba kepada Rabbnya.

Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kalian


membunuh diri-diri kalian. Sesungguhnya Allah adalah sangat
penyayang kepada kalian.” (QS. An-Nisaa’: 29)

14
Oleh sebab itu segala perkara yang menjerumuskan manusia kepada
kebinasaan dilarang oleh Allah. Perbuatan bunuh diri dengan segala
macam bentuk dan sebabnya. Hal ini menunjukkan besarnya kasih
sayang Allah kepada seorang hamba. Dan tentu saja hal itu akan
membuahkan rasa cinta di dalam hati seorang hamba kepada Rabbnya.

Kedua: Iman kepada rahmat Allah akan membukakan pintu


roja’/harapan terhadap ampunan dan kasih sayang-Nya. Sehingga
seorang hamba akan terbebas dari sikap putus asa terhadap rahmat
Allah. Dan dengan keyakinan semacam ini seorang hamba akan mau
bertaubat sebesar apapun dosa yang pernah dilakukannya.

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang


bertaubat setelah kezaliman yang dilakukannya dan melakukan
perbaikan, maka Allah akan menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ma’idah: 39)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah kepada


hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap dirinya; Janganlah
kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah
mengampuni segala bentuk dosa. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53)

Ketiga: Iman kepada rahmat Allah akan membuahkan pengaruh pada


diri seorang hamba untuk menempuh sebab-sebab yang mengantarkan
dirinya untuk menggapai rahmat-Nya yang sesungguhnya. Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya rahmat Allah itu dekat
dengan orang-orang yang berbuat ihsan.” (QS. Al-A’raaf: 56)

Sementara makna dari berbuat ihsan tidak hanya terbatas berbuat baik
kepada makhluk, bahkan termasuk makna ihsan yang tertinggi adalah
ihsan dalam beribadah kepada Allah. Sebagaimana disebutkan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Jibril yang sangat
masyhur, “[Ihsan] adalah kamu beribadah kepada Allah seolah-olah

15
melihat-Nya. Dan apabila kamu tidak sanggup beribadah seolah
melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia Melihat dirimu.” (HR. Muslim
dari ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu)

Maka siapa saja yang ingin menggapai rahmat Allah hendaklah dia
berbuat ihsan dalam beribadah, yaitu dengan mentauhidkan-Nya dan
menjauhi syirik, ikhlas dan tidak riya’, memurnikan ibadah untuk Allah
semata, bukan untuk mencari kesenangan dunia atau popularitas di
kalangan manusia. Selain itu, hendaklah dia juga bergaul dengan
manusia dengan akhlak yang utama. Inilah sebab untuk meraih rahmat
dan ridha-Nya.

Dengan merenungkan manfaat dan pengaruh yang timbul dengan


beriman terhadap sifat rahmat Allah inilah, kita bisa menyadari betapa
dalam hikmah yang terkandung di dalam ayat ar-Rahmanir Rahim yang
senantiasa kita baca di dalam sholat kita, yaitu yang tercantum dalam
surat al-Fatihah; surat yang paling agung di dalam Kitab-Nya.

Sebab, dengan mengimani sifat rahmat Allah itulah seorang hamba


akan mencintai Allah di atas kecintaannya kepada apa pun juga.
Dengan mengimani sifat rahmat Allah pula seorang hamba akan
terdorong untuk keluar dari kegelapan dosa menuju luasnya ampunan
Allah dan rahmat-Nya. Karena keimanan kepada sifat rahmat Allah ini
juga, seorang hamba akan berjuang untuk menggapai kedekatan dan
kemuliaan di sisi-Nya.

Referensi: Atsar al-Iman bi Shifatillahi fi Sulukil ‘Abdi cet. 1433 H


karya Syaikh Ahmad bin Muhammad an-Najjar, hal. 13-20

16
Kedudukan Dunia
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Dunia adalah penjara bagi orang mukmin dan surga
bagi orang kafir.” (HR. Muslim)

Dari Amr bin ‘Auf radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa


sallam bersabda, “Demi Allah. Bukanlah kemiskinan yang aku
khawatirkan menimpa kalian. Akan tetapi aku khawatir ketika
dibukakan kepada kalian dunia sebagaimana telah dibukakan bagi
orang-orang sebelum kalian. Kemudian kalian pun berlomba-lomba
dalam mendapatkannya sebagaimana orang-orang yang terdahulu itu.
Sehingga hal itu membuat kalian menjadi binasa sebagaimana mereka
dibinasakan olehnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari Ka’ab bin ‘Iyadh radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi


wa sallam bersabda, “Sesungguhnya setiap umat memiliki fitnah,
sedangkan fitnah ummatku adalah harta.” (HR. Tirmidzi, dia berkata
hadits hasan sahih)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa


sallam bersabda, “Lihatlah kepada orang yang lebih rendah daripada
kalian -dalam hal dunia- dan janganlah kalian melihat orang yang lebih
di atasnya. Karena sesungguhnya hal itu akan membuat kalian tidak
meremehkan nikmat yang Allah berikan kepada kalian.” (HR. Muslim)

Dari Shuhaib radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam


bersabda, “Sangat mengagumkan urusan seorang mukmin.
Sesungguhnya semua urusannya adalah baik baginya. Dan hal itu tidak
didapatkan kecuali pada diri orang mukmin. Apabila dia mendapatkan
kesenangan maka dia bersyukur. Dan apabila dia mendapatkan
kesusahan maka dia akan bersabar.” (HR. Muslim)

17
Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Ya Allah tidak ada kehidupan yang sejati selain
kehidupan akhirat.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu


‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya dunia ini manis dan hijau.
Dan sesungguhnya Allah ta’ala menyerahkannya kepada kalian untuk
diurusi kemudian Allah ingin melihat bagaimana sikap kalian
terhadapnya. Maka berhati-hatilah dari fitnah dunia dan wanita.” (HR.
Muslim)

Dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa


sallam bersabda, “Jadilah kamu di dunia seperti halnya orang asing
atau orang yang sekedar numpang lewat/musafir.” (HR. Bukhari)

Dari Sahl bin Sa’id as-Sa’idi radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu


‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya dunia ini di sisi Allah senilai
harganya dengan sayap nyamuk niscaya Allah tidak akan memberi
minum barang seteguk sekalipun kepada orang kafir.” (HR. Tirmidzi,
dan dia berkata hadits hasan sahih)

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu


‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada apa antara aku dengan dunia ini?
Tidaklah aku berada di dunia ini kecuali bagaikan seorang
pengendara/penempuh perjalanan yang berteduh di bawah sebuah
pohon. Kemudian dia beristirahat sejenak di sana lalu
meninggalkannya.” (HR. Tirmidzi, dia berkata hadits hasan sahih)

18
Beberapa Pelajaran Perihal Iman
Kedudukan Sabar

Imam al-Baihaqi meriwayatkan di dalam Syu’ab al-Iman [1/47] dari Ali


bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu, beliau mengatakan: “Sabar di dalam
iman bagaikan kepala di dalam badan. Apabila sabar hilang maka
hilanglah iman.”

Imam al-Baihaqi meriwayatkan di dalam Syu’ab al-Iman [1/54] dari


Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, beliau mengatakan: “Sabar
adalah setengah keimanan, sedangkan keyakinan adalah iman
seluruhnya.”

Orang yang tidak sholat

Imam al-Baihaqi meriwayatkan di dalam Syu’ab al-Iman [1/52] dari Ali


bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu, ketika ditanya mengenai seorang
perempuan yang tidak sholat, maka beliau mengatakan: “Barang siapa
yang tidak melakukan sholat maka dia kafir.”

Imam al-Baihaqi meriwayatkan di dalam Syu’ab al-Iman [1/48] dari


Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, beliau mengatakan:
“Barangsiapa yang tidak sholat maka tidak ada agama baginya.”

Kualitas Iman Abu Bakar

Imam al-Baihaqi meriwayatkan di dalam Syu’ab al-Iman [1/42] dari


Umar bin al-Khatthab radhiyallahu’anhu, beliau mengatakan:
“Seandainya iman Abu Bakar ditimbang dan dibandingkan dengan iman
seluruh penduduk bumi niscaya ia lebih berat daripada berat iman
mereka.”

19
Saya seorang mukmin [?]

Imam al-Baihaqi meriwayatkan di dalam Syu’ab al-Iman [1/77] dari


Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, ketika itu ada seorang lelaki
yang mengatakan, “Saya mukmin.” Maka beliau mengatakan: “Kalau
demikian, maka katakanlah bahwa ‘Aku di surga’. Akan tetapi dahulu
kami biasa mengatakan: ‘Kami beriman kepada Allah, malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya dan para rasul-Nya.”

Imam al-Baihaqi meriwayatkan di dalam Syu’ab al-Iman [1/82] bahwa


ada seorang yang bertanya kepada al-Hasan al-Bashri tentang iman,
maka beliau mengatakan: “Iman itu ada dua macam. Apabila kamu
bertanya kepadaku tentang iman kepada Allah, malaikat, kitab-kitab
dan rasul-rasul-Nya, surga dan neraka, kebangkitan dan hisab, maka
aku adalah mukmin (orang yang mengimaninya). Adapun apabila kamu
bertanya kepadaku tentang firman Allah ‘azza wa jalla (yang artinya),
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu hanyalah orang-orang yang
apabila disebutkan nama Allah maka takutlah hati mereka dst…” hingga
firman-Nya, “Mereka itulah orang-orang mukmin yang sesungguhnya.”
(QS. al-Anfal: 2-4), demi Allah aku tidak tahu apakah aku termasuk di
antara mereka ataukah tidak.”

Kesempurnaan iman

Imam at-Tirmidzi meriwayatkan di dalam Sunannya [2445] dari Mu’adz


bin Anas al-Juhani dari bapaknya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Barang siapa yang memberi karena Allah, melarang
karena Allah, mencintai karena Allah, membenci karena Allah, dan
menikahkan juga karena Allah maka sungguh dia telah
menyempurnakan imannya.” (HR. Tirmidzi, dia mengatakan hadits ini
munkar, namun hadits ini dinyatakan sahih menurut kriteria Bukhari
dan Muslim oleh al-Hakim dalam Mustadraknya [2643] dan juga

20
dihasankan oleh al-Albani di dalam as-Shahihah [1/113], lihat Shahih
wa Dha’if Sunan Tirmidzi [2521])

Mengenal Pengertian Iman


al-Bukhari rahimahullah (wafat tahun 256 H) mengatakan, “Iman itu
terdiri dari ucapan dan perbuatan, bertambah dan berkurang.” (lihat
Sahih al-Bukhari, cet. Maktabah al-Iman hal. 14).

Abu Bakr al-Isma’ili rahimahullah (wafat tahun 371 H) mengatakan,


“Mereka -para imam ahli hadits- mengatakan bahwa iman itu terdiri
dari ucapan dan perbuatan dan pengetahuan. Ia bertambah dengan
ketaatan dan berkurang akibat kemaksiatan. Barangsiapa yang banyak
ketaatannya maka lebih bertambah imannya daripada orang yang
ketaatannya berada di bawahnya.” (I’tiqad A’immat al-Hadits, hal. 15
as-Syamilah).

Ibnu Abi Zaid al-Qairawani rahimahullah (wafat tahun 386 H)


mengatakan, “Iman adalah ucapan dengan lisan, keikhlasan dengan
hati, dan amal dengan anggota badan. Ia bertambah dengan
bertambahnya amalan dan berkurang dengan berkurangnya amalan.
Sehingga amal-amal bisa mengalami pengurangan dan ia juga
merupakan penyebab pertambahan -iman-. Tidak sempurna ucapan
iman apabila tidak disertai dengan amal. Ucapan dan amal juga tidak
sempurna apabila tidak dilandasi oleh niat -yang benar-. Sementara
ucapan, amal, dan niat pun tidak sempurna kecuali apabila sesuai
dengan as-Sunnah/tuntunan.” (Qathfu al-Jani ad-Dani karya Syaikh
Abdul Muhsin al-Abbad, hal. 47)

Abdul Ghani al-Maqdisi rahimahullah (wafat tahun 600 H) mengatakan,


“Dan mengimani bahwasanya iman itu mencakup ucapan, perbuatan,
dan keinginan. Ia bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan

21
sebab kemaksiatan.” (Tadzkirat al-Mu’tasi karya Syaikh Abdurrazzaq bin
Abdul Muhsin al-Abbad, hal. 293).

Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullah (wafat tahun 620 H)


mengatakan, “Iman adalah ucapan dengan lisan, amal dengan anggota
badan, keyakinan dengan hati. Ia dapat bertambah dengan sebab
ketaatan, dan berkurang dengan sebab kemaksiatan.” (Lum’at al-I’tiqad
al-Hadi ila Sabil ar-Rasyad, lihat Syarah Syaikh Ibnu Utsaimin hal. 98)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah (wafat tahun 728 H)


mengatakan, “Tidak hanya satu ulama yang menukilkan ijma’ Ahlus
Sunnah dan Ahli Hadits yang menegaskan bahwa iman itu mencakup
ucapan dan amal perbuatan. Abu Umar yaitu Ibnu Abdil Barr
mengatakan di dalam at-Tam-hid : para fuqaha’/ahli agama dan ahli
hadits sepakat bahwa iman itu meliputi ucapan dan perbuatan, dan
tidak ada amal tanpa niat. Iman itu menurut mereka bertambah
dengan melakukan ketaatan dan berkurang akibat melakukan
kemaksiatan. Segala macam ketaatan dalam pandangan mereka adalah
-bagian dari- iman, kecuali pendapat yang disebutkan dari Abu Hanifah
dan para pengikutnya yang mengatakan bahwa ketaatan tidak disebut
iman. Mereka mengatakan bahwa iman itu hanya terbatas pada
tashdiq/pembenaran hati dan ikrar/pengakuan lisan saja. Ada pula di
antara mereka yang menambahkan unsur ma’rifah. Kemudian dia
menyebutkan dalil-dalil yang mereka gunakan… sampai akhirnya dia
mengatakan : Adapun segenap fuqaha’/ahli agama dari kalangan ahli
ra’yi dan para pakar hadits di negeri Hijaz, Iraq, Syam, dan Mesir, di
antara mereka terdapat Malik bin Anas, al-Laits bin Sa’ad, Sufyan
ats-Tsauri, al-Auza’i, as-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahuyah,
Abu Ubaid al-Qasim bin Salam, Dawud bin Ali, at-Thabari serta para
ulama yang meniti jalan mereka, bahwa mereka semua mengatakan
iman itu mencakup ucapan dan perbuatan -ucapan lisan yaitu dengan
ikrar-, keyakinan di dalam hati, dan amal dengan anggota badan yang
disertai dengan niat yang tulus dan ikhlas. Mereka mengatakan : Segala
sesuatu yang boleh dijadikan sebagai bentuk ketaatan kepada Allah

22
‘azza wa jalla baik yang hukumnya wajib ataupun sunah maka itu
adalah bagian dari iman. Iman bertambah karena ketaatan dan
berkurang akibat kemaksiatan. Sedangkan menurut mereka, para
pelaku dosa besar adalah orang-orang yang beriman yang imannya
tidak lengkap akibat dosa yang mereka perbuat. Mereka menjadi
orang-orang yang berkurang imannya gara-gara dosa-dosa besar yang
mereka lakukan…” (Majmu’ al-Fatawa [2/127] as-Syamilah)

Dalil-dalil yang mendasari pengertian di atas, antara lain :

Firman Allah ta’ala, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu


hanyalah orang yang ketika disebutkan -nama- Allah maka takutlah hati
mereka, dan ketika dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka
bertambahlah keimanan (mereka). Dan mereka bertawakal hanya
kepada Rabb mereka. Orang-orang yang mendirikan sholat dan
menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka.
Mereka itulah orang-orang mukmin yang sesungguhnya…” (QS. al-Anfal
[8]: 2-4).

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Iman terdiri dari tujuh puluh
cabang lebih. Yang tertinggi adalah syahadat la ilaha illallah. Yang
terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu
merupakan salah satu cabang keimanan.” (HR. Muslim dari Abu
Hurairah radhiyallahu’anhu, diriwayatkan pula oleh Bukhari namun
dengan lafaz ‘enam puluh cabang lebih’ dan tanpa ada ungkapan ‘yang
tertinggi adalah syahadat la ilaha illallah’, lihat Sahih al-Bukhari cet.
Maktabah al-Iman, hal. 15).

Amalan termasuk iman

al-Bukhari rahimahullah membuat bab di dalam Sahihnya dengan judul


‘Cinta Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk bagian dari iman’
kemudian beliau membawakan hadits Abu Hurairah radhiyallahu’anhu
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Dzat

23
yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah beriman salah seorang dari
kalian sampai aku lebih dicintainya daripada orang tua dan
anak-anaknya.” (HR. Bukhari)

Beliau juga membawakan hadits Anas bin Malik radhiyallahu’anhu,


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah beriman
salah seorang dari kalian sampai aku lebih dicintainya daripada orang
tua, anak-anaknya, dan seluruh umat manusia.” (HR. Bukhari)

al-Bukhari rahimahullah juga membuat bab di dalam Sahihnya dengan


judul ‘Mencintai kaum Anshar merupakan salah satu tanda keimanan’
kemudian beliau membawakan hadits Anas bin Malik
radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Ciri keimanan yaitu mencintai kaum Anshar, sedangkan ciri
kemunafikan yaitu membenci kaum Anshar.” (HR. Bukhari)

al-Bukhari rahimahullah juga membuat bab di dalam Sahihnya dengan


judul ‘Rasa malu bagian dari iman’ kemudian beliau membawakan
hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma, “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam melewati seseorang dari kaum Anshar yang sedang
menasihati saudaranya dalam masalah malu -yang ada padanya-, maka
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Biarkan dia,
sesungguhnya rasa malu adalah bagian dari iman.’.” (HR. Bukhari)

Allah ta’ala berfirman, “Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian.”


(QS. al-Baqarah [2]: 143).

al-Bukhari rahimahullah menafsirkan kata ‘iman kalian’ di dalam ayat di


atas dengan sholat kalian di sisi Ka’bah -dengan menghadap ke Baitul
Maqdis- (lihat Sahih al-Bukhari, hal. 21. Tafsiran serupa juga
dikemukakan oleh Ibnu Katsir, lihat tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [1/249]).

al-Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu’anhu meriwayatkan, “Dahulu ketika Nabi


shallallahu ‘alaihi wa sallam pertama kali tiba di Madinah, beliau

24
singgah di rumah kakek-kakeknya” atau dia berkata “di rumah
paman-pamannya” -perawi ragu- dari kalangan Anshar. Pada awalnya
beliau sholat menghadap ke arah Baitul Maqdis selama enam belas
atau tujuh belas bulan, dan ketika itu beliau sangat ingin apabila
kiblatnya dipindah ke arah Ka’bah. Sholat pertama kali yang beliau
lakukan ke arah kiblat yang baru adalah sholat ‘Ashar dengan disertai
sekelompok orang bersamanya. Kemudian, ada salah seorang di antara
jama’ah yang sholat bersamanya keluar lalu melewati jama’ah lain yang
sedang mengerjakan sholat di suatu masjid, ketika itu mereka dalam
posisi ruku’, maka dia mengatakan, ‘Aku bersumpah atas nama Allah,
sungguh aku telah sholat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menghadap ke Mekah.’ Maka mereka pun berputar arah dengan
posisi sebagaimana ketika menghadap Baitul Maqdis. Orang-orang
Yahudi heran terhadap hal itu, sebab sebelumnya beliau [Nabi] sholat
menghadap Baitul Maqdis sama sebagaimana kaum Ahli Kitab. Ketika
beliau sudah mengalihkan wajahnya [ketika sholat] untuk menghadap
ke Ka’bah maka mereka pun mengingkarinya.” Zuhair -salah seorang
perawi- mengatakan, “Abu Ishaq menuturkan kepada kami dari al-Bara’
di dalam haditsnya ini bahwasanya dahulu ada beberapa orang yang
telah meninggal dan terbunuh ketika sholat masih menghadap ke kiblat
-Baitul Maqdis- sebelum diubah arahnya, maka kami pun tidak tahu
apa yang harus kami ucapkan tentang mereka itu, karena itulah Allah
ta’ala menurunkan ayat (yang artinya), ‘Allah tidak akan
menyia-nyiakan iman kalian.’.” (HR. Bukhari).

al-Qurthubi rahimahullah (wafat tahun 671 H) mengatakan, “Para


ulama sepakat bahwasanya ayat ini -QS. al-Baqarah: 143- turun
mengenai orang yang telah meninggal dalam keadaan sholat masih
menghadap ke Baitul Maqdis sebagaimana ditunjukkan oleh hadits
yang tertera di dalam Sahih al-Bukhari dari penuturan al-Bara’ bin Azib
yang baru saja berlalu.” (Tafsir al-Qurthubi [2/157] as-Syamilah)

Oleh sebab itu, mengeluarkan amal anggota badan dari pengertian


iman merupakan pemahaman Murji’ah yang sesat. Para ulama

25
mengatakan, “Bukan termasuk pendapat Ahlus Sunah pendapat yang
mengatakan bahwa iman adalah sekedar pembenaran hati! Atau
pembenaran hati dan diiringi dengan ucapan lisan -saja- tanpa disertai
amal anggota badan! Barangsiapa yang berpendapat semacam itu
maka dia adalah orang yang sesat, dan ini merupakan -keyakinan-
mazhab Murji’ah yang sangat buruk!” (Mujmal Masa’il al-Iman
al-Ilmiyah, disusun oleh Husain al-Awaisyah, Muhammad bin Musa Alu
Nashr, Salim al-Hilali, Ali al-Halabi, dan Masyhur Hasan Salman, hal. 14).

Iman bisa bertambah dan berkurang

Abu Dawud rahimahullah (wafat tahun 275 H) membuat bab di dalam


Sunannya dengan judul ‘Dalil yang menunjukkan bahwa iman
mengalami penambahan dan pengurangan’, di antara dalil yang beliau
bawakan adalah hadits Abu Umamah radhiyallahu’anhu, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mencintai
karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah, dan
menahan juga karena Allah, maka sungguh dia telah menyempurnakan
keimanan (pada dirinya).” (HR. Abu Dawud, disahihkan al-Albani dalam
as-Shahihah [380] as-Syamilah).

Ibnu Batthah rahimahullah (wafat tahun 387 H) menyebutkan riwayat


dari Umair bin Habib radhiyallahu’anhu, dia mengatakan, “Iman itu
bertambah dan berkurang.” Ada yang bertanya, “Apakah maksud
pertambahan dan pengurangannya?”. Beliau menjawab, “Apabila kita
mengingat Allah kemudian kita memuji dan menyucikan-Nya maka
itulah pertambahannya. Dan apabila kita lalai dan melupakan-Nya
maka itulah pengurangannya.” (al-Ibanah al-Kubra [3/153], lihat juga
Fath al-Bari Ibnu Rojab [1/5] as-Syamilah).

Maka pendapat yang menyatakan bahwa perbedaan antara Hanafiyah


dengan mayoritas ulama salaf lainnya -semoga Allah merahmati
mereka semua- dalam mendefinisikan iman adalah semata-mata
perbedaan yang semu -sebagaimana yang dikatakan oleh salah satu

26
penulis Syarah Aqidah Thahawiyah, semoga Allah mengampuninya-
merupakan pendapat yang keliru. Sebab mereka -Hanafiyah- telah
mengeluarkan amal dari hakikat iman, sehingga hal itu menyebabkan
mereka menyelisihi ulama salaf dalam hal keyakinan bahwa iman itu
bisa bertambah dan berkurang.

Syaikh al-Albani rahimahullah mengatakan, “Kemudian, bagaimana bisa


dibenarkan kalau perselisihan tersebut adalah sesuatu yang semu
sementara mereka (Hanafiyah) membolehkan orang paling bejat di
antara mereka untuk berkata, ‘Imanku sama seperti iman Abu Bakar
as-Shiddiq! Bahkan sama dengan iman para nabi dan rasul, Jibril dan
Mika’il ‘alaihimus sholatu was salam’! Bagaimana mungkin, sementara
dengan landasan mazhab mereka itu mereka tidak memperbolehkan
bagi salah seorang dari mereka -betapa pun berat kefasikan dan
dosanya- untuk berkata, ‘Saya adalah mukmin, insya Allah ta’ala’.
Bahkan -menurut mereka- dia harus mengatakan, ‘Saya adalah mukmin
sejati’! Padahal Allah ‘azza wa jala berfirman (yang artinya)
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang yang
ketika disebutkan -nama- Allah maka takutlah hati mereka, dan ketika
dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka bertambahlah
keimanan (mereka). Dan mereka bertawakal hanya kepada Rabb
mereka. Orang-orang yang mendirikan sholat dan menginfakkan
sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Mereka itulah
orang-orang mukmin yang sesungguhnya…” (QS. al-Anfal [8]: 2-4)….”
(al’Aqidah at-Thahawiyah, Syarh wa Ta’liq, hal. 43-44).

Adapun pernyataan bahwa ‘Pokok keimanan berada di dalam hati dan


amal lahiriyah merupakan cabang dan konsekuensi darinya’ sama sekali
bukan termasuk keyakinan Murji’ah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah mengatakan, “..pokok keimanan itu tertanam di dalam
hati yaitu ucapan dan perbuatan hati. Ia mencakup pengakuan yang
disertai pembenaran dan rasa cinta dan ketundukan. Sedangkan apa
yang ada di dalam hati pastilah akan tampak konsekuensinya dalam
perbuatan anggota-anggota badan. Apabila seseorang tidak melakukan

27
konsekuensinya maka itu menunjukkan bahwa iman itu tidak ada atau
lemah [padanya]. Oleh karena itu maka amal-amal lahir itu merupakan
konsekuensi dari keimanan di dalam hati. Ia merupakan pembuktian
atas apa yang ada di dalam hati, tanda dan saksi baginya. Ia merupakan
cabang dari totalitas keimanan dan bagian dari kesatuannya. Walaupun
demikian, apa yang ada di dalam hati itulah yang menjadi
pokok/sumber bagi apa-apa yang muncul pada anggota-anggota
badan…” (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah [2/175] as-Syamilah, lihat juga
Mujmal Masa’il al-Iman al-‘Ilmiyah, hal. 15).

Allah ta’ala berfirman, “Orang-orang Arab badui itu mengatakan, ‘Kami


telah beriman’. Katakanlah, ‘Kalian belum beriman, akan tetapi
katakanlah ‘Kami telah berislam’. Karena iman itu belum meresap ke
dalam hati kalian.” (QS. al-Hujurat [49]: 14).

az-Zajaj rahimahullah (wafat tahun 311 H) mengatakan, “Yang


dimaksud dengan Islam -dalam konteks ayat ini- adalah menampakkan
ketundukan dan penerimaan terhadap ajaran yang dibawa oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan sebab itulah maka
darah (nyawa) menjadi terjaga. Apabila bersama dengan itu diikuti
dengan keyakinan dan pembenaran hati maka itulah iman.” (Zaad
al-Maasir [5/406] as-Syamilah).

al-Baghawi rahimahullah (wafat tahun 516 H) mengatakan, “Allah


memberitakan bahwa hakikat keimanan adalah pembenaran dengan
hati dan sesungguhnya pengakuan dengan lisan serta sikap
menampakkan syari’at-syari’at lahiriyah bukanlah keimanan apabila
tidak diiringi dengan pembenaran hati dan keikhlasan.” (Ma’alim
at-Tanzil [7/350] as-Syamilah).

al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan dari Amir bin Sa’ad dari ayahnya


yaitu Sa’ad bin Abi Waqash radhiyallahu’anhu, “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam suatu ketika memberikan kepada sekelompok orang
dan ketika itu Sa’ad sedang duduk. Ternyata Rasulullah shallallahu

28
‘alaihi wa sallam meninggalkan (tidak memberi) kepada salah seorang
lelaki yang paling aku (Sa’ad) kagumi, maka aku berkata, ‘Wahai
Rasulullah, ada apa dengan si fulan? Demi Allah, aku tidak melihatnya
melainkan seorang mukmin.’ Maka beliau menjawab, ‘Atau barangkali
muslim?’. Lalu aku pun terdiam sejenak namun apa yang aku ketahui
tentangnya lebih menguasai pikiranku, maka aku ulangi lagi ucapanku
tadi, ‘Ada apa dengan si fulan? Demi Allah aku benar-benar
memandangnya seorang mukmin.’ Maka beliau menjawab, ‘Atau
barangkali muslim?’. Kemudian apa yang aku ketahui tentangnya masih
lebih menguasai pikiranku, maka aku ulangi lagi ucapanku tadi, dan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap mengulangi ucapan beliau
tadi. Lantas beliau bersabda, ‘Wahai Sa’ad, sesungguhnya bisa jadi aku
memberikan kepada seseorang sedangkan orang yang lain lebih aku
cintai darinya karena aku khawatir Allah akan melemparkannya ke
dalam neraka.’.” (HR. Bukhari)

Dinding pemisah antara Ahlus Sunah dengan Wa’idiyah

Ibnu Hajar rahimahullah (wafat tahun 852 H) mengatakan, “Salaf


mengatakan bahwa iman itu mencakup keyakinan dengan hati,
pengucapan dengan lisan, dan amal dengan anggota badan. Yang
mereka maksud dengan itu adalah bahwa amal merupakan syarat
kesempurnaannya. Dari sinilah muncul pernyataan bahwa iman itu bisa
bertambah dan berkurang…” Beliau juga mengatakan, “Perbedaan
antara Mu’tazilah dengan Salaf adalah mereka -yaitu Mu’tazilah-
menjadikan amal sebagai syarat sahnya iman. Adapun salaf
menjadikannya sebagai syarat penyempurna baginya…” (Fath al-Bari
[1/60])

Namun, apa yang beliau sampaikan di atas perlu untuk diluruskan.


Syaikh Ali bin Abdul Aziz as-Syibl hafizhahullah mengatakan, “Yang
benar ialah bahwa amal menurut Salaf Sholeh:

29
– Kadang menjadi syarat sahnya iman. Artinya ia sebagai bagian dari
hakikat iman, di mana iman hilang karena hilangnya amalan tersebut
seperti: sholat.
– Kadang menjadi syarat kesempurnaannya yang wajib, maka iman
berkurang dengan kehilangannya, seperti amal-amal selain sholat yang
jika ditinggalkan menyebabkan kefasikan dan maksiat, tapi tidak
sampai pada kekafiran.
Perincian seperti ini harus dilakukan untuk memahami perkataan Salaf
Sholeh dan tidak mencampurkannya dengan perkataan wa’idiyah
(Mu’tazilah dan Khawarij, pen). Dan harus diketahui bahwa amal bagi
Ahlus Sunah wal Jama’ah adalah salah satu rukun dari rukun-rukun
(pilar) iman yang tiga, yaitu ucapan, amal, dan i’tiqad. Dan iman
menurut mereka bertambah dan berkurang, berbeda dengan Khawarij
dan Mu’tazilah. Wallahu waliyyut taufiq.” (Peringatan atas Kesalahan
Aqidah dalam Fathul Bari, hal. 43-44).

Syaikh Zaid bin Hadi al-Madkhali rahimahullah mengatakan,


“Mu’tazilah dan Khawarij mendefinisikan iman sebagai ucapan lisan,
keyakinan dengan hati, dan amalan anggota badan. Namun ia tidak
bertambah dan tidak berkurang.” Beliau juga menjelaskan, “Mu’tazilah
dan Khawarij yang mendefinisikan iman dengan pengertian tersebut
berbeda pendapat dalammenghukumi pelaku dosa besar. Mu’tazilah
mengatakan bahwa pelaku dosa besar berada dalam posisi di antara
dua keadaan -yaitu di antara Islam dan kekafiran- sehingga dia tidak
tergolong kafir tapi juga tidak digolongkan sebagai muslim. Adapun
Khawarij mengatakan mengenai pelaku dosa besar -yaitu yang
meninggal dan tidak bertaubat darinya- bahwa ia kekal di neraka, halal
darah, harta, dan harga dirinya ketika di dunia, dan di akhirat ia kekal di
neraka. Maka ini merupakan perkataan yang mengatasnamakan Allah
tanpa landasan ilmu apabila dosa besar -yang dimaksud- itu bukan
tergolong syirik akbar, kufur akbar, atau nifak i’tiqadi. Mu’tazilah
sepakat dengan Khawarij dalam hal hukum akhirat yaitu bahwa pelaku
dosa besar meskipun ia adalah seorang muwahhid maka dia dihukum
kekal di dalam neraka. Hukum yang zalim ini terbantahkan oleh

30
dalil-dalil al-Kitab dan as-Sunnah yang menunjukkan bahwa
barangsiapa yang meninggal dalam keadaan mengetahui (meyakini)
bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain Allah maka dia pasti
akan masuk surga, meskipun Allah tabaraka wa ta’ala memberikan
siksa kepadanya sesuai dengan kadar dosa besar yang dilakukannya,
hanya saja ujung perjalanannya adalah ke surga, dan sama sekali tidak
ada keraguan tentang hal itu. Inilah mazhab Ahlus Sunah wal Jama’ah…”
(Thariq al-Wushul ila Idhah ats-Tsalatsah al-Ushul, hal. 170-171)

Sebab-sebab bertambahnya keimanan

Di antara hal-hal yang akan menumbuhsuburkan keimanan dan


membuat batangnya kokoh serta menyebabkan tunas-tunasnya
bersemi adalah :

Pertama; Mengenali nama-nama dan sifat-sifat Allah, karena apabila


pengetahuan hamba terhadap Tuhannya semakin dalam dan berhasil
membuahkan berbagai konsekuensi yang diharapkan maka pastilah
keimanan, rasa cinta dan pengagungan dirinya kepada Allah juga akan
semakin meningkat dan menguat.

Kedua; Merenungkan ayat-ayat Allah, baik ayat kauniyah maupun ayat


syar’iyah. Karena apabila seorang hamba terus menerus
memperhatikan dan merenungkan tanda-tanda kebesaran Allah
beserta kemahakuasaan-Nya dan hikmah-Nya yang sangat elok itu
maka tidak syak lagi niscaya keimanan dan keyakinannya akan semakin
bertambah kuat.

Ketiga; Senantiasa berbuat ketaatan demi mendekatkan diri kepada


Allah ta’ala. Karena sesungguhnya pasang surut keimanan itu juga
tergantung pada kebaikan, jenis dan jumlah amalan. Apabila suatu
amal memiliki nilai lebih baik di sisi Allah maka peningkatan iman yang
dihasilkan darinya juga akan semakin besar. Sedangkan standar
kebaikan amal itu diukur dengan keikhlasan dan konsistensi untuk

31
mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apabila dilihat
dari sisi jenis amalan, maka amal itu terbagi menjadi amal yang wajib
dan amal sunnah. Sedangkan amal wajib tentu lebih utama daripada
amal sunnah apabil ditinjau dari jenisnya. Begitu pula ada sebagian
amal ketaatan lebih ditekankan daripada amal yang lainnya. Sehingga
apabila suatu ketaatan termasuk jenis ketaatan yang lebih utama maka
niscaya pertambahan iman yang diperoleh darinya juga semakin besar.
Demikian pula iman akan mengalami peningkatan seiring dengan
pertambahan jumlah/kuantitas amalan. Karena amal itu adalah bagian
dari iman maka bertambahnya amal tentu saja akan berakibat
bertambahnya keimanan.

Keempat; Meninggalkan kemaksiatan karena merasa takut kepada


Allah ‘azza wa jalla. Apabila keinginan dan faktor pendukung untuk
melakukan suatu perbuatan atau ucapan maksiat semakin kuat pada
diri seseorang maka meninggalkannya ketika itu akan memiliki dampak
yang sangat besar dalam memperkuat dan meningkatkan kualitas iman
di dalam dirinya. Karena kemampuannya untuk meninggalkan maksiat
itu menunjukkan kekuatan iman serta ketegaran hatinya untuk tetap
mengedepankan apa yang dicintai Allah dan Rasul-Nya daripada
keinginan hawa nafsunya. (disadur dari Fathu Rabbil Bariyah, hal.
104-105)

Sebab-sebab berkurangnya keimanan

Di antara sebab-sebab yang bisa menyebabkan keimanan seorang


hamba menjadi turun dan surut atau bahkan menjadi hilang dan lenyap
adalah sebagai berikut :

Pertama; Bodoh tentang Allah ta’ala, tidak mengenal nama-nama dan


sifat-sifat-Nya

Kedua; Lalai dan memalingkan diri dari rambu-rambu agama, tidak


memperhatikan ayat-ayat Allah dan hukum-hukum-Nya, baik yang

32
bersifat kauni maupun syar’i. Sesungguhnya kelalaian dan sikap tidak
mau tahu semacam itu pasti akan membuat hati menjadi sakit atau
bahkan mati karena belitan syubhat dan jeratan syahwat yang
merasuki hati dan sekujur tubuhnya.

Ketiga; Berbuat atau mengutarakan ucapan maksiat. Oleh karena itulah


iman akan turun, melemah dan surut sebanding dengan tingkatan
maksiat, jenisnya, kondisi hati orang yang melakukannya serta
kekuatan faktor pendorongnya. Iman akan banyak sekali berkurang dan
menjadi sangat lemah apabila seorang hamba terjerumus dalam dosa
besar, jauh lebih parah dan lebih mengenaskan daripada apabila dia
terjerembab dalam dosa kecil. Berkurangnya keimanan karena
kejahatan membunuh tentu lebih besar daripada akibat mengambil
harta orang.

Sebagaimana iman akan lebih banyak berkurang dan lebih lemah


karena dua buah maksiat daripada akibat melakukan satu maksiat.
Demikianlah seterusnya. Dan apabila seorang hamba yang bermaksiat
menyimpan perasaan meremehkan atau menyepelekan dosa di dalam
hatinya serta diiringi rasa takut kepada Allah yang sangat minim maka
tentu saja pengurangan dan keruntuhan iman yang ditimbulkan juga
semakin besar dan semakin berbahaya apabila dibandingkan dengan
maksiat yang dilakukan oleh orang yang masih menyimpan rasa takut
kepada Allah tetapi tidak mampu menguasai diri untuk tidak
melakukan maksiat.

Dan apabila dilihat dari sisi kekuatan faktor pendorong yang dimiliki
orang maka penyusutan iman yang terjadipun berbeda. Apabila suatu
maksiat terjadi pada diri orang yang faktor pendorongnya semakin
lemah atau semakin kecil maka penurunan iman yang ditimbulkannya
juga akan semakin besar, semakin parah dan lebih tercela daripada
orang yang bermaksiat tapi memang padanya terdapat faktor
pendorong yang lebih kuat dan lebih besar. Oleh sebab itulah orang
miskin yang sombong dan orang tua bangka yang berzina dosanya lebih

33
besar daripada dosa orang kaya yang sombong dan perbuatan zina
seorang yang masih muda. Hal itu sebagaimana dikisahkan di dalam
hadits, “Ada tiga golongan orang yang tidak akan diajak bicara oleh
Allah dan tidak akan diperhatikan oleh-Nya pada hari kiamat.” Dan di
antara mereka itu adalah orang tua beruban yang berzina dan orang
miskin yang sombong.

Keempat; Meninggalkan ketaatan, baik berupa keyakinan, ucapan


maupun amalan fisik. Sebab iman akan semakin banyak berkurang
apabila ketaatan yang ditinggalkan juga semakin besar. Apabila nilai
suatu ketaatan semakin penting dan semakin prinsip maka
meninggalkannya pun akan mengakibatkan penyusutan dan
keruntuhan iman yang semakin besar dan mengerikan. Bahkan
terkadang dengan meninggalkannya bisa membuat pelakunya
kehilangan iman secara total, sebagaimana orang yang meninggalkan
shalat sama sekali. Perlu diperhatikan pula bahwa meninggalkan
ketaatan itu terbagi menjadi dua. Pertama, ada yang menyebabkan
hukuman atau siksa yaitu apabila yang ditinggalkan adalah berupa
kewajiban dan tidak ada alasan yang hak untuk meninggalkannya.
Kedua, sesuatu yang tidak akan mendatangkan hukuman dan siksa
karena meninggalkannya, seperti : meninggalkan kewajiban karena
udzur syar’i (berdasarkan ketentuan agama) atau hissi (berdasarkan
sebab yang terindera), atau tidak melakukan amal yang hukumnya
mustahab/sunnah. Contoh untuk orang yang meninggalkan kewajiban
karena udzur syar’i atau hissi adalah perempuan yang tidak shalat
karena haidh. Sedangkan contoh orang yang meninggalkan amal
mustahab/sunnah adalah orang yang tidak mengerjakan shalat Dhuha

(disadur dari Fathu Rabbil Bariyah, hal. 105-106)

34
Dampak Kerusakan Aqidah
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya barangsiapa yang
mempersekutukan Allah maka Allah haramkan atasnya surga dan
tempat tinggalnya adalah neraka, dan tidak ada bagi orang-orang zalim
itu penolong.” (QS. Al-Ma’idah: 72)

Tatkala tauhid adalah sebab utama keselamatan dan kunci kebahagiaan,


maka kehilangan tauhid merupakan musibah dan petaka terbesar bagi
seorang hamba. Oleh sebab itu Khalilur Rahman Ibrahim ‘alaihis salam
berdoa kepada Allah untuk diselamatkan dari jurang kemusyrikan. Allah
menceritakan doa beliau dalam firman-Nya (yang artinya), “Jauhkanlah
aku dan anak keturunanku dari menyembah patung.” (QS. Ibrahim: 35)

Tatkala tauhid merupakan sebab utama keselamatan dan kunci


kebahagiaan, maka melalaikan dakwah tauhid adalah sebab utama
kegagalan dakwah. Karenanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
-dan para rasul yang lain- menjadikan dakwah tauhid sebagai misi
utama dan tugas pokok mereka di atas muka bumi ini. Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Tidaklah Kami mengutus sebelum kamu
seorang rasul pun melainkan kami wahyukan kepada mereka bahwa
tidak ada sesembahan yang benar selain Aku, maka sembahlah Aku
saja.” (QS. Al-Anbiya’: 25)

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Maka setiap kitab suci yang


diturunkan kepada setiap nabi yang diutus semuanya menyuarakan
bahwa tidak ada ilah [yang benar] selain Allah, akan tetapi kalian
-wahai orang-orang musyrik- tidak mau mengetahui kebenaran itu dan
kalian justru berpaling darinya…” “Maka setiap nabi yang diutus oleh
Allah mengajak untuk beribadah kepada Allah semata dan tidak
mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Bahkan fitrah pun
telah mempersaksikan kebenaran hal itu. Adapun orang-orang musyrik

35
sama sekali tidak memiliki hujjah/landasan yang kuat atas
perbuatannya. Hujjah mereka tertolak di sisi Rabb mereka. Mereka
layak mendapatkan murka Allah dan siksa yang amat keras dari-Nya.”
(lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [5/337-338] cet. Dar Thaibah)

Sehingga, memprioritaskan dakwah tauhid adalah sebuah keniscayaan.


Karena meninggalkan atau melalaikan dakwah tauhid akan berujung
kepada kehancuran. Mereka yang memandang sebelah mata kepada
dakwah tauhid, atau mereka yang menganggap dakwah tauhid telah
ketinggalan jaman dan tidak memberikan solusi konkret bagi
problem-problem kekinian; seolah-olah mereka ingin mengatakan
bahwa kejayaan Islam dan kesuksesan umat bisa diraih tanpa
pemurnian tauhid dan pembenahan aqidah?!

Syaikh Khalid bin Abdurrahman asy-Syayi’ hafizhahullah berkata,


“Perkara yang pertama kali diperintahkan kepada [Nabi] al-Mushthofa
shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu untuk memberikan peringatan dari
syirik. Padahal, kaum musyrikin kala itu juga berlumuran dengan
perbuatan zina, meminum khamr, kezaliman dan berbagai bentuk
pelanggaran. Meskipun demikian, beliau memulai dakwahnya dengan
ajakan kepada tauhid dan peringatan dari syirik. Beliau terus
melakukan hal itu selama 13 tahun. Sampai-sampai sholat yang
sedemikian agung pun tidak diwajibkan kecuali setelah 10 tahun beliau
diutus. Hal ini menjelaskan tentang urgensi tauhid dan kewajiban
memberikan perhatian besar terhadapnya. Ia merupakan perkara
terpenting dan paling utama yang diperhatikan oleh seluruh para nabi
dan rasul…” (lihat ta’liq beliau dalam Mukhtashar Sirati an-Nabi wa
Sirati Ash-habihi al-‘Asyrati karya Imam Abdul Ghani al-Maqdisi, hal.
59-60)

Ibarat sebuah bangunan, maka tauhid adalah pondasi dan pilar-pilar


penegak kehidupan. Tanpa tauhid tidak akan tegak bangunan
kehidupan. Dan tanpa tauhid tidak akan tegak masyarakat Islam. Dari
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma, beliau menuturkan bahwa tatkala

36
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mu’adz bin Jabal
radhiyallahu’anhu ke negeri Yaman, maka beliau berpesan kepadanya,
“Sesungguhnya engkau akan mendatangi sekelompok orang dari
kalangan Ahli Kitab, maka jadikanlah perkara pertama yang kamu
serukan kepada mereka syahadat laa ilaha illallah.” Dalam sebagian
riwayat disebutkan, “Supaya mereka mentauhidkan Allah.” (HR.
Bukhari dan Muslim)

Oleh sebab itu sangatlah mengherankan apabila sebagian orang yang


mendakwakan diri sebagai pejuang dakwah Islam -orang-orang yang
meneriakkan penegakan syari’at Islam- namun di sisi lain mereka
sangat meremehkan arti penting tauhid dan aqidah. Padahal, tauhid
inilah yang menentukan diterima atau tidaknya amal-amal manusia.

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang


mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya hendaklah dia melakukan
amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada
Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (QS. Al-Kahfi: 110)

Sebesar apapun amal ketaatan yang dilakukan oleh seorang hamba


-atau sebuah masyarakat- akan tetapi jika tidak dilandasi tauhid dan
keimanan yang benar maka itu tidak ada nilai dan harganya. Ia akan
lenyap begitu saja, terbuang sia-sia bersama dengan keringat yang
mereka kucurkan, bersama dengan waktu yang mereka habiskan,
bersama dengan tetesan darah yang mereka tumpahkan. Sia-sia tanpa
makna!

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh telah diwahyukan


kepadamu dan kepada orang-orang sebelummu; Jika kamu berbuat
syirik maka lenyaplan seluruh amalmu dan kamu pasti termasuk
golongan orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar: 62)

37
Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Dan Kami hadapkan apa
yang dahulu mereka amalkan lalu Kami jadikan ia bagaikan debu yang
beterbangan.” (QS. Al-Furqan: 23)

Tidakkah kita ingat ucapan emas Abdullah bin ‘Umar


radhiyallahu’anhuma ketika beliau mendengar ada sebagian orang
yang tidak beriman terhadap takdir -sementara mengimani takdir
adalah bagian tak terpisahkan dari tauhid-? Beliau mengatakan, “Demi
Dzat yang jiwa Ibnu ‘Umar berada di tangan-Nya, seandainya ada salah
seorang diantara mereka yang memiliki emas sebesar Uhud lalu dia
infakkan, maka Allah tidak akan menerima hal itu dari mereka kecuali
apabila mereka mengimani takdir.” (HR. Muslim)

Tidakkah kita ingat sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang


meriwayatkan dari Rabbnya, dimana Allah berfirman, “Aku adalah Dzat
yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa yang melakukan
suatu amalan yang di dalamnya dia mempersekutukan Aku dengan
selain-Ku, maka Aku akan meninggalkan dia dan syiriknya itu.” (HR.
Muslim)

38
Memperbaiki Keadaan Diri
Termasuk diantara jalan keselamatan adalah sibuk memperbaiki diri
dan meninggalkan hal-hal yang tidak penting bagi diri kita.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang mengenali jati


dirinya sendiri maka dia akan menyibukkan diri dengan
memperbaikinya daripada sibuk mengurusi aib-aib orang lain.
Barangsiapa yang mengenal kedudukan Rabbnya niscaya dia akan sibuk
dalam pengabdian kepada-Nya daripada memperturutkan segala
keinginan hawa nafsunya.” (lihat al-Fawa’id, hal. 56)

Abdullah ibnu Mubarak rahimahullah berkata, “Jika seorang telah


mengenali kadar dirinya sendiri [hawa nafsu] niscaya dia akan
memandang dirinya -bisa jadi- jauh lebih hina daripada seekor anjing.”
(lihat Min A’lam as-Salaf [2/29])

al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Hendaknya kamu


disibukkan dengan memperbaiki dirimu, janganlah kamu sibuk
membicarakan orang lain. Barangsiapa yang senantiasa disibukkan
dengan membicarakan orang lain maka sungguh dia telah terpedaya.”
(lihat ar-Risalah al-Mughniyah, hal. 38)

al-Hasan rahimahullah mengatakan, “Salah satu tanda bahwa Allah


mulai berpaling dari seorang hamba adalah tatkala dijadikan dia
tersibukkan dalam hal-hal yang tidak penting bagi dirinya.” (lihat
ar-Risalah al-Mughniyah, hal. 62).

Yunus bin ‘Ubaid rahimahullah berkata, “Sungguh aku pernah


menghitung-hitung seratus sifat kebaikan dan aku merasa bahwa pada
diriku tidak ada satu pun darinya.” (lihat Muhasabat an-Nafs wa al-Izra’
‘alaiha, hal. 80)

39
Syaqiq al-Balkhi rahimahullah berkata, “Bersahabatlah dengan manusia
sebagaimana kamu bergaul dengan api. Ambillah manfaat darinya dan
berhati-hatilah jangan sampai dia membakar dirimu.” (lihat at-Tahdzib
al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 475)

Syaikh Abdurrahman bin Qasim rahimahullah berkata, “Amal adalah


buah dari ilmu. Ilmu dicari untuk menuju sesuatu yang lain -yaitu amal-
sebagaimana halnya sebatang pohon. Adapun amal laksana buahnya.
Oleh sebab itu harus mengamalkan agama Islam, karena orang yang
memiliki ilmu namun tidak beramal lebih jelek daripada orang yang
bodoh.” (lihat Hasyiyah Tsalatsah al-Ushul, hal. 12)

Sahl bin Abdullah rahimahullah berkata, “Seorang mukmin adalah


orang yang senantiasa merasa diawasi Allah, mengevaluasi dirinya, dan
membekali diri untuk menyambut akhiratnya.” (lihat at-Tahdzib
al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 711)

Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang tidak


khawatir tertimpa kemunafikan maka dia adalah orang munafik.” (lihat
Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1218)

al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Wahai orang yang malang.


Engkau berbuat buruk sementara engkau memandang dirimu sebagai
orang yang berbuat kebaikan. Engkau adalah orang yang bodoh
sementara engkau justru menilai dirimu sebagai orang berilmu. Engkau
kikir sementara itu engkau mengira dirimu orang yang pemurah.
Engkau dungu sementara itu engkau melihat dirimu cerdas. Ajalmu
sangatlah pendek, sedangkan angan-anganmu sangatlah panjang.”
(lihat Aina Nahnu min Akhlaq as-Salaf, hal. 15)

Qabishah bin Qais al-Anbari berkata: adh-Dhahhak bin Muzahim


apabila menemui waktu sore menangis, maka ditanyakan kepadanya,
“Apa yang membuatmu menangis?” Beliau menjawab, “Aku tidak tahu,

40
adakah diantara amalku hari ini yang terangkat naik/diterima Allah.”
(lihat Aina Nahnu min Akhlaq as-Salaf, hal. 18)

Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Sungguh aku tidak senang


apabila melihat ada orang yang menganggur; yaitu dia tidak sedang
melakukan amal untuk dunianya dan tidak juga beramal untuk akhirat.”
(lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 560)

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah berkata:


Sungguh membuatku kagum ucapan salah seorang penggerak
ishlah/perbaikan pada masa kini. Beliau mengatakan: “Tegakkanlah
daulah/pemerintahan Islam di dalam hati kalian, niscaya ia akan tegak
di atas bumi kalian.” (lihat Ma’alim al-Manhaj as-Salafi fi at-Taghyir, hal.
24)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Carilah hatimu pada tiga tempat;


ketika mendengarkan bacaan al-Qur’an, pada saat berada di
majelis-majelis dzikir/ilmu, dan saat-saat bersendirian. Apabila kamu
tidak berhasil menemukannya pada tempat-tempat ini, maka
mohonlah kepada Allah untuk mengaruniakan hati kepadamu, karena
sesungguhnya kamu sudah tidak memiliki hati.” (lihat al-Fawa’id, hal.
143)

Hudzaifah al-Mar’asyi rahimahullah berkata, “Tidaklah seorang


tertimpa musibah yang lebih berat daripada kerasnya hati.” (lihat
at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 661)

Hati yang sehat dan sempurna memiliki dua karakter utama. Pertama;
kesempurnaan ilmu, pengetahuan, dan keyakinan yang tertancap di
dalam hatinya. Kedua; kesempurnaan kehendak hatinya terhadap
segala perkara yang dicintai dan diridhai Allah ta’ala. Dengan kata lain,
hatinya senantiasa menginginkan kebaikan apapun yang dikehendaki
oleh Allah bagi hamba-Nya. Kedua karakter ini akan berpadu dan
melahirkan profil hati yang bersih, yaitu hati yang mengenali kebenaran

41
dan mengikutinya, serta mengenali kebatilan dan meninggalkannya.
Orang yang ilmunya dipenuhi dengan syubhat/kerancuan dan
keragu-raguan, itu artinya dia telah kehilangan karakter yang pertama.
Adapun orang yang keinginan dan cita-citanya selalu mengekor kepada
hawa nafsu dan syahwat, maka dia telah kehilangan karakter yang
kedua. Seseorang bisa tertimpa salah satu perusak hati ini, atau bahkan
-yang lebih mengerikan lagi- tatkala keduanya bersama-sama
menggerogoti kehidupan hatinya (lihat al-Qawa’id al-Hisan, hal. 86)

Dikisahkan, ada seorang tukang kisah mengadu kepada Muhammad bin


Wasi’. Dia berkata, “Mengapa aku tidak melihat hati yang menjadi
khusyu’, mata yang mencucurkan air mata, dan kulit yang bergetar?”.
Maka Muhammad menjawab, “Wahai fulan, tidaklah aku pandang
orang-orang itu seperti itu kecuali diakibatkan apa yang ada pada
dirimu. Karena sesungguhnya dzikir/nasehat jika keluar dari hati [yang
jernih] niscaya akan meresap ke dalam hati pula.” (lihat Aina Nahnu
min Akhlaq as-Salaf, hal. 12)

Syahr bin Hausyab rahimahullah berkata, “Jika seorang menuturkan


pembicaraan kepada suatu kaum niscaya pembicaraannya akan
meresap ke dalam hati mereka sebagaimana sejauh mana pembicaraan
[nasihat] itu bisa teresap ke dalam hatinya.” (lihat at-Tahdzib
al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 660)

al-Hasan bin Shalih rahimahullah berkata, “Sesungguhnya setan


benar-benar akan membukakan sembilan puluh sembilan pintu
kebaikan dalam rangka menyeret seorang hamba menuju sebuah pintu
keburukan.” (lihat al-Muntaqa an-Nafis min Talbis Iblis, hal. 63)

Ibrahim at-Taimi rahimahullah berkata, “Tidaklah aku


menghadapkan/menguji ucapanku kepada amal yang aku lakukan,
melainkan aku takut kalau aku menjadi orang yang didustakan.” (lihat
Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1167)

42
al-Hasan rahimahullah berkata, “Melakukan kebaikan/ketaatan
memunculkan cahaya bagi hati dan kekuatan bagi badan. Adapun
melakukan kejelekan/dosa melahirkan kegelapan di dalam hati dan
kelemahan badan.” (lihat Tafsir Ibnu Rajab, Jilid 2 hal. 135)

Bisyr bin al-Harits rahimahullah mengatakan, “Betapa banyak orang


yang sudah meninggal akan tetapi hati menjadi hidup dengan
mengingat mereka. Dan betapa banyak orang yang masih hidup namun
membuat hati menjadi mati dengan melihat mereka.” (lihat Ta’thir
al-Anfas, hal. 468)

Ibrahim bin Syaiban rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang menjaga


untuk dirinya waktu-waktu yang dia jalani sehingga tidak tersia-siakan
dalam hal yang tidak mendatangkan keridhaan Allah padanya niscaya
Allah akan menjaga agama dan dunianya.” (lihat Aina Nahnu min
Haa’ulaa’i [2/29])

Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Aku terhalang dari melakukan


sholat malam selama lima bulan gara-gara sebuah dosa yang pernah
aku lakukan.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal.
361)

Bilal bin Sa’id rahimahullah berkata, “Janganlah kamu melihat kecilnya


kesalahan, akan tetapi lihatlah kepada siapa kamu berbuat durhaka.”
(lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 362)

Abdullah bin al-Mubarak rahimahullah berkata, “Aku mencintai


orang-orang salih sementara aku bukanlah termasuk diantara mereka.
Dan aku membenci orang-orang jahat sementara aku lebih jelek
daripada mereka.” (lihat Shalahul Ummah fi ‘Uluwwil Himmah [1/133])

43
Mengenal Hakikat Islam
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Kami mengutus
sebelum engkau [Muhammad] seorang rasul pun melainkan Kami
wahyukan kepadanya; tidak ada ilah [yang benar] selain Aku, maka
sembahlah Aku [saja].” (QS. Al-Anbiya’: 25)

Imam al-Baghawi rahimahullah menafsirkan makna perintah


‘sembahlah Aku’ dengan ‘tauhidkanlah Aku’ (lihat Ma’alim at-Tanzil, hal.
834)

Tentang dakwah Nabi Nuh ‘alaihis salam, Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), “Sungguh Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka
dia berkata; Wahai kaumku, sembahlah Allah tiada bagi kalian
sesembahan selain-Nya.” (QS. Al-A’raaf: 59).

Tentang dakwah Nabi Hud ‘alaihis salam, Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), “Dan kepada kaum ‘Aad, Kami utus saudara mereka yaitu Hud.
Dia berkata; Wahai kaumku, sembahlah Allah tiada bagi kalian
sesembahan selain-Nya.” (QS. al-A’raaf: 65).

Tentang dakwah Nabi Shalih ‘alaihis salam, Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), “Dan kepada kaum Tsamud, Kami utus saudara mereka yaitu
Shalih. Dia berkata; Wahai kaumku, sembahlah Allah tiada bagi kalian
sesembahan selain-Nya.” (QS. Al-A’raaf: 73).

Tentang dakwah Nabi Syu’aib ‘alaihis salam, Allah ta’ala berfirman


(yang artinya), “Dan kepada kaum Madyan, Kami utus saudara mereka
yaitu Syu’aib. Dia berkata; Wahai kaumku, sembahlah Allah tiada bagi
kalian sesembahan selain-Nya.” (QS. Al-A’raaf: 85).

44
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, beliau menceritakan bahwa suatu
ketika ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan menanyakan kepada beliau tentang iman, islam, dan
ihsan. Lelaki itu berkata, “Wahai Rasulullah, apa itu Islam?”. Beliau
menjawab, “Islam adalah kamu beribadah kepada Allah dan tidak
mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, kamu mendirikan
sholat wajib, membayar zakat yang telah diwajibkan, dan berpuasa
Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Di dalam riwayat yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam


bersabda, “Islam adalah kamu bersaksi bahwa tidak ada ilah [yang
benar] selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, kamu
mendirikan sholat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan, dan
menunaikan ibadah haji ke Baitullah jika kamu memiliki kemampuan
untuk mengadakan perjalanan ke sana.” (HR. Muslim dari ‘Umar bin
Khaththab radhiyallahu’anhu)

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu’anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa


sallam bersabda, “Islam dibangun di atas lima perkara; tauhid kepada
Allah, mendirikan sholat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan
haji.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari al-‘Abbas bin Abdul Muthallib radhiyallahu’anhu, Rasulullah


shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan merasakan lezatnya iman;
orang yang ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan
Muhammad sebagai rasul.” (HR. Muslim)

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Ikhlas adalah hakikat agama


Islam. Karena islam itu adalah kepasrahan kepada Allah, bukan kepada
selain-Nya. Maka barangsiapa yang tidak pasrah kepada Allah
sesungguhnya dia telah bersikap sombong. Dan barangsiapa yang
pasrah kepada Allah dan kepada selain-Nya maka dia telah berbuat
syirik. Dan kedua-duanya, yaitu sombong dan syirik bertentangan
dengan islam. Oleh sebab itulah pokok ajaran islam adalah syahadat laa

45
ilaha illallah; dan ia mengandung ibadah kepada Allah semata dan
meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Itulah keislaman yang bersifat
umum yang tidaklah menerima dari kaum yang pertama maupun kaum
yang terakhir suatu agama selain agama itu. Sebagaimana firman Allah
ta’ala (yang artinya), “Barangsiapa yang mencari selain Islam sebagai
agama maka tidak akan diterima darinya, dan di akhirat dia pasti akan
termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. Ali ‘Imran: 85). Ini
semua menegaskan kepada kita bahwasanya yang menjadi pokok
agama sebenarnya adalah perkara-perkara batin yang berupa ilmu dan
amalan hati, dan bahwasanya amal-amal lahiriyah tidak akan
bermanfaat tanpanya.” (lihat Mawa’izh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,
hal. 30)

Tauhid dan Syirik


Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS.
Adz-Dzariyat: 56). Maknanya adalah, “Kecuali supaya mereka
mentauhidkan diri-Ku.” Orang beriman mentauhidkan Allah pada saat
sempit maupun lapang. Adapun orang kafir hanya mentauhidkan Allah
pada keadaan terjepit dan tertimpa kesusahan (lihat Tafsir al-Baghawi,
hal. 1236)

Imam al-Baghawi rahimahullah menceritakan, bahwa Ikrimah berkata,


“Adalah orang-orang jahiliyah tatkala itu apabila berlayar di lautan
maka mereka pun membawa serta berhala-berhala mereka. Pada saat
angin bertiup semakin keras [terjadi badai] maka mereka pun
melemparkan berhala-berhala itu ke laut lalu berdoa, “Wahai Rabb,
wahai Rabb.” [selamatkanlah kami].” (lihat Ma’alim at-Tanzil, hal. 1001)

Syaikh Zaid bin Hadi al-Madkhali rahimahullah berkata, “Patut


dimengerti, sesungguhnya tidak ada seorang pun yang meninggalkan

46
ibadah kepada Allah melainkan dia condong beribadah kepada selain
Allah. Mungkin orang itu tidak tampak memuja patung atau berhala.
Tidak tampak memuja matahari dan bulan. Akan tetapi, sebenarnya dia
sedang menyembah hawa nafsu yang menjajah hatinya sehingga
memalingkannya dari beribadah kepada Allah.” (lihat Thariq al-Wushul
ila Idhah ats-Tsalatsah al-Ushul, hal. 147)

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “Apabila


engkau telah mengetahui bahwasanya Allah menciptakan dirimu
supaya beribadah kepada-Nya, maka ketahuilah bahwasanya ibadah
tidaklah disebut sebagai ibadah kecuali apabila disertai dengan tauhid.
Sebagaimana halnya sholat tidak dinamakan sholat tanpa
thaharah/bersuci. Apabila syirik mencampuri ibadah niscaya ibadah itu
akan rusak (tidak sah) sebagaimana halnya apabila hadats masuk
kepada thaharah.” (lihat Mu’allafat asy-Syaikh al-Imam Muhammad bin
Abdul Wahhab, hal. 199)

Syaikh Zaid bin Hadi al-Madkhali rahimahullah berkata, “Setiap amal


yang dipersembahkan oleh orang tanpa dibarengi tauhid atau
pelakunya terjerumus dalam syirik maka hal itu tidak ada harganya dan
tidak memiliki nilai sama sekali untuk selamanya. Karena ibadah
tidaklah disebut sebagai ibadah [yang benar] tanpa tauhid. Apabila
tidak disertai tauhid, maka bagaimanapun seorang berusaha keras
dalam melakukan sesuatu yang tampilannya adalah ibadah seperti
bersedekah, memberikan pinjaman, dermawan, suka membantu,
berbuat baik kepada orang dan lain sebagainya, padahal dia telah
kehilangan tauhid dalam dirinya, maka orang semacam ini termasuk
dalam kandungan firman Allah ‘azza wa jalla (yang artinya), “Kami
tampakkan kepada mereka segala sesuatu yang dahulu telah mereka
amalkan -di dunia- kemudian Kami jadikan ia bagaikan debu yang
beterbangan.” (QS. al-Furqan: 23).” (lihat Abraz al-Fawa’id min al-Arba’
al-Qawa’id, hal. 11)

47
Ibnul Jauzi rahimahullah menafsirkan, “segala sesuatu yang dahulu
telah mereka amalkan” yaitu berupa amal-amal kebaikan. Adapun
mengenai makna “Kami jadikan ia bagaikan debu yang beterbangan”
maka beliau menjelaskan, “Karena sesungguhnya amalan tidak akan
diterima jika dibarengi dengan kesyirikan.” (lihat Zaa’dul Masir, hal.
1014)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah pantas bagi seorang


manusia yang diberikan Allah kepadanya al-Kitab, hukum dan kenabian
lantas berkata kepada manusia: Jadilah kalian sebagai pemuja diriku
sebagai tandingan untuk Allah. Akan tetapi jadilah kalian rabbani
dengan sebab apa yang kalian ajarkan berupa al-Kitab dan apa yang
kalian pelajari. Dan tidaklah dia memerintahkan kalian untuk
menjadikan malaikat dan nabi-nabi sebagai sesembahan. Apakah dia
hendak memerintahkan kalian kafir setelah kalian memeluk Islam?”
(QS. Ali ‘Imran: 79-80)

Ibnu Juraij dan sekelompok ulama tafsir yang lain menjelaskan, bahwa
maksud dari ayat ini adalah, “Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa
sallam– tidaklah memerintahkan kalian untuk menjadikan malaikat dan
para nabi sebagai sesembahan, sebagaimana halnya yang dilakukan
oleh kaum Quraisy dan Shabi’in yang berkeyakinan bahwa malaikat
adalah putri-putri Allah. Tidak juga sebagaimana kaum Yahudi dan
Nasrani yang berkeyakinan tentang ‘Isa al-Masih dan ‘Uzair seperti apa
yang mereka ucapkan [bahwa mereka adalah anak Allah, pent].” (lihat
Ma’alim at-Tanzil, hal. 220 oleh Imam al-Baghawi)

Disebutkan dalam riwayat, bahwasanya suatu ketika orang-orang


Yahudi datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian
mereka berkata, “Apakah kamu wahai Muhammad ingin untuk kami
jadikan sebagai rabb/sesembahan?” Maka Allah pun menurunkan ayat
di atas sebagai tanggapan untuk mereka (lihat al-Jami’ li Ahkam
al-Qur’an [5/187] oleh Imam al-Qurthubi)

48
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan, “Lalu Allah berfirman
(yang artinya), “Dan dia tidaklah memerintahkan kalian untuk
menjadikan malaikat dan para nabi sebagai sesembahan” yaitu dia
tidak memerintahkan kalian untuk beribadah kepada siapapun selain
Allah, baik kepada nabi yang diutus ataupun malaikat yang dekat
-dengan Allah-. “Apakah dia akan memerintahkan kalian kepada
kekafiran setelah kalian memeluk Islam?”. Artinya dia [rasul] tidak
melakukan hal itu. Karena barangsiapa yang mengajak kepada
peribadatan kepada selain Allah maka dia telah mengajak kepada
kekafiran. Padahal para nabi hanyalah memerintahkan kepada
keimanan; yaitu beribadah kepada Allah semata yang tidak ada sekutu
bagi-Nya.” Hal itu sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan
tidaklah Kami mengutus sebelum engkau seorang rasul pun kecuali
Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada sesembahan -yang benar-
selain Aku, maka sembahlah Aku [saja].” (QS. Al-Anbiya’: 25) dst.” (lihat
Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [2/67])

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus


para utusan Kami dengan keterangan-keterangan yang jelas dan Kami
turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca agar umat manusia
menegakkan keadilan.” (QS. Al-Hadid: 25)

Ibnul Qayyim berkata, “Allah subhanahu mengabarkan bahwasanya Dia


telah mengutus rasul-rasul-Nya dan menurunkan kitab-kitab-Nya
supaya umat manusia menegakkan timbangan (al-Qisth) yaitu keadilan.
Diantara bentuk keadilan yang paling agung adalah tauhid. Ia adalah
pokok keadilan dan pilar penegaknya. Adapun syirik adalah kezaliman
yang sangat besar. Sehingga, syirik merupakan tindak kezaliman yang
paling zalim, dan tauhid merupakan bentuk keadilan yang paling adil.”
(lihat ad-Daa’ wa ad-Dawaa’, hal. 145)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan


tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman, maka mereka

49
itulah orang-orang yang akan mendapatkan keamanan dan mereka
itulah orang-orang yang diberikan hidayah.” (QS. al-An’aam: 82)

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata: Ketika turun ayat


“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka
dengan kezaliman (yaitu syirik), maka mereka itulah orang-orang yang
akan mendapatkan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang
diberikan hidayah.” (QS. al-An’aam: 82). Maka, hal itu terasa berat bagi
para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka pun
mengadu, “Siapakah diantara kami ini yang tidak menzalimi dirinya
sendiri?”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidak seperti yang kalian sangka. Sesungguhnya yang dimaksud adalah
seperti yang dikatakan Luqman kepada anaknya, “Hai anakku,
janganlah kamu berbuat syirik. Sesungguhnya syirik itu adalah
kezaliman yang sangat besar.” (QS. Luqman: 13).” (HR. Bukhari dan
Muslim)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan ingatlah ketika Allah


bertanya; Wahai Isa bin Maryam, apakah engkau berkata kepada
manusia: Jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua sesembahan selain
Allah. Maka Isa menjawab: Maha suci Engkau, tidak layak bagiku untuk
mengatakan sesuatu yang bukan menjadi hakku. Jika aku telah
mengatakannya pastilah Engkau sudah mengetahuinya. Engkau
mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa
yang ada pada diri-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui
perkara yang gaib.” (QS. Al-Ma’idah: 116)

Imam Ahli Hadits abad ini Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani


rahimahullah menjelaskan, “Nuh –‘alaihis salam– telah menetap di
tengah-tengah kaumnya selama seribu tahun kurang lima puluh (baca:
950 tahun). Beliau mencurahkan waktunya dan sebagian besar
perhatiannya untuk berdakwah kepada tauhid. Meskipun demikian,
ternyata kaumnya justru berpaling dari ajakannya. Sebagaimana yang
diterangkan Allah ‘azza wa jalla di dalam Muhkam at-Tanzil (baca:

50
al-Qur’an) dalam firman-Nya (yang artinya), “Dan mereka -kaum Nuh-
berkata: Janganlah kalian tinggalkan sesembahan-sesembahan kalian;
jangan tinggalkan Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr.” (QS. Nuh:
23). Maka hal ini menunjukkan dengan sangat pasti dan jelas
bahwasanya perkara terpenting yang semestinya selalu diperhatikan
oleh para da’i yang mengajak kepada Islam yang benar adalah dakwah
kepada tauhid. Itulah makna yang terkandung dalam firman Allah
tabaraka wa ta’ala (yang artinya), “Maka ketahuilah, bahwa tiada
sesembahan -yang benar- selain Allah.” (QS. Muhammad: 19).
Demikianlah yang dipraktekkan sendiri oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan apa yang beliau ajarkan.” (lihat Ma’alim al-Manhaj as-Salafi
fi at-Taghyir, oleh Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali hafizhahullah, hal. 42)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Sesungguhnya


sholatku, sembelihanku, hidup dan matiku, adalah untuk Allah Tuhan
seru sekalian alam, tiada sekutu bagi-Nya. Itulah yang diperintahkan
kepadaku, dan aku termasuk orang yang pertama-tama pasrah.” (QS.
al-An’am: 162-163).

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, beliau menceritakan bahwa suatu


ketika ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan menanyakan kepada beliau tentang iman, islam, dan
ihsan. Lelaki itu berkata, “Wahai Rasulullah, apa itu Islam?”. Beliau
menjawab, “Islam adalah kamu beribadah kepada Allah dan tidak
mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, kamu mendirikan
sholat wajib, membayar zakat yang telah diwajibkan, dan berpuasa
Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Di dalam riwayat yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam


bersabda, “Islam adalah kamu bersaksi bahwa tidak ada ilah [yang
benar] selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, kamu
mendirikan sholat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan, dan
menunaikan ibadah haji ke Baitullah jika kamu memiliki kemampuan

51
untuk mengadakan perjalanan ke sana.” (HR. Muslim dari ‘Umar bin
Khaththab radhiyallahu’anhu)

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu’anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa


sallam bersabda, “Islam dibangun di atas lima perkara; tauhid kepada
Allah, mendirikan sholat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan
haji.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma, beliau menuturkan bahwa


tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mu’adz bin Jabal
radhiyallahu’anhu ke negeri Yaman, maka beliau berpesan kepadanya,
“Sesungguhnya engkau akan mendatangi sekelompok orang dari
kalangan Ahli Kitab, maka jadikanlah perkara pertama yang kamu
serukan kepada mereka syahadat laa ilaha illallah.” Dalam sebagian
riwayat disebutkan, “Supaya mereka mentauhidkan Allah.” (HR.
Bukhari dan Muslim)

Orang-orang ahli kitab di masa itu telah mengucapkan kalimat laa ilaha
illallah -berdasarkan perintah Kitab suci mereka, pent- akan tetapi
karena ucapan mereka tidak dilandasi ilmu dan pemahaman maka
ucapan itu tidak bermanfaat bagi mereka, sehingga mereka justru
beribadah kepada selain Allah. Oleh sebab itulah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan Mu’adz radhiyallahu’anhu untuk
menjadikan dakwah tauhid sebagai dakwah yang paling utama untuk
diserukan kepada mereka (lihat Qurrat ‘Uyun al-Muwahhidin, hal. 36
oleh Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam


bersabda, “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga
mereka mengucapkan laa ilaha illallah. Barangsiapa yang mengucapkan
laa ilaha illallah maka dia telah menjaga dariku harta dan jiwanya
kecuali dengan haknya. Adapun hisabnya adalah urusan Allah.” (HR.
Muslim)

52
Imam al-Khaththabi rahimahullah berkata, “Telah dimaklumi bahwa
yang dimaksud oleh hadits ini [untuk diperangi] adalah para pemuja
berhala, bukan ahli kitab; sebab ahli kitab -di masa itu- telah
mengucapkan laa ilaha illallah…” Qadhi ‘Iyadh juga memiliki keterangan
serupa bahwa yang dimaksud adalah kaum musyrikin arab, para
pemuja berhala, dan orang-orang yang tidak bertauhid (lihat Syarh
Muslim [2/56])

Membangun Loyalitas
al-Wala’ wal Bara’ atau loyalitas dan kebencian merupakan bagian
penting di dalam Islam. Cinta dan benci karena Allah bahkan
merupakan simpul keimanan yang paling kuat.

Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang mencintai


pembela bid’ah maka Allah akan menghapuskan amalnya dan Allah
akan mencabut cahaya Islam dari dalam hatinya.” (lihat Min A’lam
as-Salaf [2/47])

Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang


mendukung pembela bid’ah sesungguhnya dia telah membantu untuk
menghancurkan agama Islam.” (lihat Min A’lam as-Salaf [2/47])

Mujahid rahimahullah berkata, “Sekuat-kuat simpul keimanan adalah


cinta karena Allah dan membenci karena Allah.” (lihat Aqwal at-Tabi’in
fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1170)

Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa


sallam bersabda, “Ada tiga perkara; barangsiapa yang ketiga hal itu ada
pada dirinya niscaya dia akan merasakan manisnya iman. Orang yang
menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya daripada selain
keduanya. Dia mencintai seseorang semata-mata karena kecintaannya

53
kepada Allah. Dia tidak suka kembali kepada kekafiran setelah Allah
selamatkan dia darinya, sebagaimana dia tidak suka dilemparkan ke
dalam kobaran api.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Anas bin Malik radhiyallahu’anhu menceritakan, suatu ketika seorang


Arab Badui berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Kapan hari kiamat terjadi?”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bertanya kepadanya, “Apa yang kamu persiapkan untuk
menghadapinya?”. Ia menjawab, “Kecintaan kepada Allah dan
Rasul-Nya.” Nabi bersabda, “Kamu akan bersama orang yang kamu
cintai.” Anas berkata, “Tidaklah kami bergembira setelah masuk Islam
dengan kegembiraan yang lebih besar selain tatkala mendengar sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kamu akan bersama dengan orang
yang kamu cintai.” Maka aku mencintai Allah, Rasul-Nya, Abu Bakar,
dan Umar. Aku berharap bersama mereka -di akherat- meskipun aku
tidak bisa beramal seperti mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits di atas menunjukkan bahwa kecintaan yang bermanfaat itu


meliputi:
Cinta kepada Allah -yang sejati, bukan sekedar klaim/omong kosong-,
Mencintai apa saja yang Allah cintai,
Cinta terhadap sesuatu atau seseorang karena Allah (hubb lillah wa
fillah) (lihat al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 97 dan ad-Daa’
wa ad-Dawaa’, hal. 214)
Kecintaan kepada Allah harus dibuktikan dengan mengikuti ajaran
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), “Katakanlah: Jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka
ikutilah aku.” (QS. Ali Imran: 31)

an-Nawawi rahimahullah berkata, “Kecintaan seorang hamba kepada


Rabbnya –subhanahu wa ta’ala– ialah dengan melakukan ketaatan
kepada-Nya dan tidak menyelisihi aturan-Nya, demikian pula halnya
kecintaan kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (lihat Syarh
Muslim [2/96])

54
Kelezatan iman inilah yang akan mengokohkan pijakan keislaman
seorang hamba. Sehingga dia tidak akan goyah karena iming-iming
dunia atau ancaman senjata. Heraklius berkata kepada Abu Sufyan,
“Aku pun bertanya kepadamu mengenai apakah ada diantara mereka
-pengikut nabi- yang murtad karena marah terhadap ajaran agamanya
setelah dia masuk ke dalamnya? Kamu menjawab, tidak ada. Maka
demikian itulah yang terjadi apabila kelezatan iman telah merasuk dan
teresap di dalam hati.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ibnu Baththal rahimahullah mengatakan, “Adapun pertanyaan yang


diajukan mengenai kemurtadan pengikutnya. Latar belakangnya adalah
bahwa orang yang masuk (agama) tanpa dilandasi dengan
bashirah/ilmu tentangnya niscaya ia akan mudah untuk kembali
(murtad) dan goyah. Adapun orang yang masuk -ke dalam Islam-
dengan landasan ilmu dan keyakinan yang benar maka hal itu akan
menghalanginya dari kemurtadan.” (lihat Syarh Shahih al-Bukhari karya
Ibnu Baththal [1/46])

Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Pokok dan ruh ketauhidan


adalah memurnikan rasa cinta untuk Allah semata, dan hal itu
merupakan pokok penghambaan dan penyembahan kepada-Nya.
Bahkan, itulah hakikat dari ibadah. Tauhid tidak akan sempurna sampai
rasa cinta seorang hamba kepada Rabbnya menjadi sempurna, dan
kecintaan kepada-Nya harus lebih diutamakan daripada segala sesuatu
yang dicintai. Sehingga rasa cintanya kepada Allah mengalahkan rasa
cintanya kepada selain-Nya dan menjadi penentu atasnya, yang
membuat segala perkara yang dicintainya harus tunduk dan mengikuti
kecintaan ini yang dengannya seorang hamba akan bisa menggapai
kebahagiaan dan kemenangannya.” (lihat al-Qaul as-Sadid Fi Maqashid
at-Tauhid, hal. 95)

Sehingga tidak akan terkumpul pada diri seseorang antara keimanan


dengan rasa cinta kepada musuh-musuh Allah. Allah ta’ala berfirman

55
(yang artinya), “Sungguh telah ada teladan yang baik pada diri Ibrahim
dan orang-orang yang bersamanya, yaitu ketika mereka berkata kepada
kaumnya; Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari segala
yang kalian sembah selain Allah. Kami ingkari kalian dan telah nyata
antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian untuk
selamanya sampai kalian mau beriman kepada Allah saja.” (QS.
al-Mumtahanah: 4)

Suatu ketika, Abdullah putra Abdullah bin Ubay bin Salul -gembong
munafikin- duduk di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika
itu beliau sedang minum. Abdullah berkata kepada beliau, “Wahai
Rasulullah, tidakkah anda sisakan air minum anda untuk aku berikan
kepada ayahku? Mudah-mudahan Allah berkenan membersihkan
hatinya dengan air itu.” Nabi pun menyisakan air minum beliau
untuknya. Lalu Abdullah datang menemui ayahnya. Abdullah bin Ubay
bin Salul bertanya kepada anaknya, “Apa ini?”. Abdullah menjawab,
“Itu adalah sisa minuman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku
membawakannya untukmu agar engkau mau meminumnya.
Mudah-mudahan Allah berkenan membersihkan hatimu dengannya.”
Sang ayah berkata kepada anaknya, “Mengapa kamu tidak bawakan
saja kepadaku air kencing ibumu, itu lebih suci bagiku daripada bekas
air minum itu.” Maka dia -Abdullah- pun marah dan datang -melapor-
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Wahai
Rasulullah, apakah anda mengizinkan aku untuk membunuh ayahku?”.
Nabi menjawab, “Jangan, hendaknya kamu bersikap lembut dan
berbuat baik kepadanya.” (lihat Thariq al-Wushul ila Idhah
ats-Tsalatsah al-Ushul, hal. 54)

Mencintai Para Sahabat Nabi

Dari Anas radhiyallahu’anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,


beliau bersabda, “Tanda keimanan adalah mencintai kaum Anshar dan
tanda kemunafikan adalah membenci kaum Anshar.” (HR. Bukhari)

56
Imam Abu Ja’far ath-Thahawi rahimahullah berkata, “Kami [Ahlus
Sunnah] mencintai sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Namun, kami tidak melampaui batas dalam mencintai salah
seorang di antara mereka. Kami juga tidak berlepas diri/membenci
terhadap seorang pun di antara mereka. Kami membenci orang yang
membenci mereka, dan juga orang-orang yang menjelek-jelekkan
mereka. Kami tidak menceritakan keberadaan mereka kecuali dengan
kebaikan. Mencintai mereka adalah ajaran agama, bagian dari
keimanan, dan bentuk ihsan. Adapun membenci mereka adalah
kekafiran, sikap munafik dan melampaui batas/ekstrim.” (lihat Syarh
al-‘Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 467 oleh Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi)

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Mereka -Ahlus Sunnah-


mencintai para Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka juga
mengutamakan para sahabat di atas segenap manusia. Karena
kecintaan kepada mereka [sahabat] itu pada hakikatnya adalah bagian
dari kecintaan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sementara kecintaan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah bagian dari kecintaan kepada Allah…” (lihat Syarh al-‘Aqidah
al-Wasithiyah, Jilid 2 hal. 247-248)

Imam Abu Zur’ah ar-Razi rahimahullah mengatakan, “Apabila kamu


melihat ada seseorang yang menjelek-jelekkan salah seorang Sahabat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ketahuilah bahwa dia
adalah seorang zindik. Hal itu dikarenakan menurut kita Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membawa kebenaran. Demikian pula,
al-Qur’an yang beliau sampaikan adalah benar. Dan sesungguhnya yang
menyampaikan kepada kita al-Qur’an dan Sunnah-Sunnah ini adalah
para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan
sesungguhnya mereka -para pencela Sahabat- hanyalah bermaksud
untuk menjatuhkan kedudukan para saksi kita dalam rangka
membatalkan al-Kitab dan as-Sunnah. Oleh sebab itu sebenarnya
mereka itu lebih pantas untuk dicela, mereka itulah orang-orang zindik.”

57
(lihat Qathful Jana ad-Daani Syarh Muqaddimah Ibnu Abi Zaid
al-Qairuwani, hal. 161)

Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, “Termasuk Sunnah


[pokok agama] adalah menyebut-nyebut kebaikan seluruh Sahabat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, menahan diri dari perselisihan
yang timbul diantara mereka. Barangsiapa yang mencela para Sahabat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau salah seorang dari mereka,
maka dia adalah seorang tukang bid’ah pengikut paham
Rafidhah/Syi’ah. Mencintai mereka -para Sahabat- adalah Sunnah
[ajaran agama]. Mendoakan kebaikan untuk mereka adalah ibadah.
Meneladani mereka adalah sarana -beragama- dan mengambil
atsar/riwayat mereka adalah sebuah keutamaan.” (lihat Qathful Jana
ad-Daani, hal. 162)

58
Dukung Perjuangan Dakwah

Bismillah…

Masjid Jami' al-Mubarok YAPADI. Dikelola oleh Yayasan Pangeran


Diponegoro/YAPADI. Lokasi di Dusun Donotirto RT 8 Bangunjiwo
Kasihan Bantul Yogyakarta. Sekitar 2 km barat daya Kampus UMY.

Kegiatan dakwah Masjid Jami’ al-Mubarok YAPADI alhamdulillah


dengan pertolongan Allah masih terus berjalan. Kegiatan dakwah rutin
semacam khutbah jum’at dan pengajian serta TPA untuk masyarakat
sekitar diadakan dengan dukungan dari rekan-rekan takmir dan warga
wisma serta relawan.

Kami mengajak kepada kaum muslimin yang ingin ikut serta


mendukung perkembangan dakwah Islam di Masjid Jami’ al-Mubarok
YAPADI untuk menyalurkan donasi ke rekening berikut ini :

Bank Syariah Indonesia (BSI)


no rekening : 711 819 4537
atas nama : Yayasan Pangeran Diponegoro

Konfirmasi donasi ke nomer : 0853 3634 3030 (wa)


Format : Donasi operasional masjid, nama, jumlah, tanggal transfer

Atas perhatian dan dukungannya kami mewakili segenap pengurus


mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya.

Barakallahu fiikum.

59

Anda mungkin juga menyukai