Mengenal Iman
-----------------------
Penerbit
Perpustakaan al-Mubarok
Alamat : Masjid Jami’ al-Mubarok YAPADI,
Donotirto, Kasihan, Bantul, Yogyakarta.
Homepage : www.al-mubarok.com
2
Malu Bagian dari Iman
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Iman itu terdiri dari tujuh puluh lebih atau enam
puluh lebih cabang. Yang paling utama adalah ucapan laa ilaha illallah,
yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan rasa
malu adalah salah satu cabang keimanan.” (HR. Bukhari no 9 dan
Muslim no 35, lafal ini milik Muslim)
Hakikat Iman
Oleh sebab itu para ulama menjelaskan bahwa iman adalah, “Ucapan
hati dan lisan, serta amalan hati, lisan dan anggota badan.” Sehingga,
iman adalah ucapan, amalan, dan keyakinan, bertambah dengan
ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan (lihat at-Taudhih wa
al-Bayan li Syajarat al-Iman, hal. 7)
3
Dari ‘Uqbah bin ‘Amr al-Anshari radhiyallahu’anhu, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya salah satu
ajaran kenabian yang pertama-tama dikenal oleh umat manusia adalah:
Jika kamu malu, maka berbuatlah sekehendakmu.” (HR. Bukhari no
3483).
Malu adalah akhlak para nabi ‘alahimus shalatu was salam. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang sangat pemalu, bahkan
4
lebih pemalu daripada seorang gadis yang sedang dalam pingitan.
Demikian pula Nabi Musa ‘alaihis salam adalah seorang yang sangat
pemalu, sehingga beliau tidak mau mandi bersama-sama sebagaimana
kebiasaan Bani Isra’il. Apabila rasa malu itu lenyap, seorang perempuan
akan seenaknya mengumbar aurat di hadapan kaum lelaki. Begitu pula,
kaum lelaki yang tidak punya rasa malu akan suka melontarkan celaan
dan umpatan kepada orang lain. Dalam sejarah pun kita mengetahui
bahwa Abu Sufyan -yang ketika itu belum masuk Islam- selamat dari
berdusta karena dia malu apabila dirinya dikatakan pendusta. Rasa
malu akan menghalangi orang dari melakukan berbagai perbuatan keji,
mencuri, berteriak-teriak di pasar, dan lain sebagainya (diringkas dari
keterangan Syaikh Yahya al-Hajuri dalam Syarh al-Arba’in, hal. 147-148)
Malu terbagi dua; malu yang berkaitan dengan hak Allah ‘azza wa jalla
dan malu yang berkaitan dengan hak makhluk/sesama. Rasa malu yang
berkaitan dengan hak Allah maksudnya adalah malu kepada Allah
apabila Dia melihat kita melakukan larangan-Nya atau menelantarkan
perintah-Nya, malu semacam ini hukumnya adalah wajib. Adapun malu
yang berkaitan dengan makhluk adalah dengan menahan diri dari
berbagai perbuatan yang merusak harga diri dan mencemari akhlak
5
(lihat Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah oleh Syaikh Ibnu Utsaimin, hal.
210)
Rasa malu kepada Allah lahir dari dua hal. Pertama; melihat kepada
curahan nikmat dari Allah kepada hamba yang sedemikian banyak.
Kedua; melihat rendahnya kualitas penghambaan yang dilakukan
olehnya. al-Junaid rahimahullah berkata, “Hakikat rasa malu adalah
melihat berbagai karunia; yaitu kenikmatan, dan melihat akan
rendahnya kualitas penghambaan. Dari kedua hal inilah terlahir apa
yang disebut dengan rasa malu (kepada Allah, pent).” (lihat Syarh
Muslim [2/89])
6
Petikan Faidah Imam Nawawi Seputar Iman
Pondasi Keimanan
Keutamaan Tauhid
7
kalangan Ahli Kitab, maka jadikanlah perkara pertama yang kamu
serukan kepada mereka syahadat laa ilaha illallah.” Dalam sebagian
riwayat disebutkan, “Supaya mereka mentauhidkan Allah.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
8
hujjah/dalil bagi madzhab Ahlus Sunnah yang menyatakan bahwa para
pelaku dosa besar -dari kalangan umat Islam, pent- tidak boleh
dipastikan masuk ke dalam neraka, dan apabila ternyata mereka
diputuskan masuk (dihukum) ke dalamnya maka mereka [pada
akhirnya] akan dikeluarkan dan akhir keadaan mereka adalah kekal di
dalam surga…” (lihat Syarh Muslim [2/168])
Manisnya Iman
9
selamatkan dia darinya, sebagaimana dia tidak suka dilemparkan ke
dalam kobaran api.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Perusak Keikhlasan
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Kami tampakkan apa yang
dahulu telah mereka amalkan lalu Kami jadikan ia bagaikan debu yang
beterbangan.” (QS. Al-Furqan: 23)
10
umatku dan tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun.”
(HR. Muslim)
Mengingkari Kemungkaran
11
Pengaruh Iman Terhadap Sifat Rahmat Allah
Kaum muslimin yang dirahmati Allah, mengimani sifat-sifat Allah adalah
kewajiban kita sebagai seorang muslim. Salah satu sifat Allah yang
wajib untuk kita yakini adalah sifat rahmat/kasih sayang. Allah ta’ala
memiliki sifat rahmat. Sifat ini telah ditetapkan di dalam al-Kitab
maupun as-Sunnah.
Namun, perlu dicermati bahwa rahmat Allah itu terbagi menjadi dua;
rahmat yang umum dan rahmat yang khusus. Rahmat yang umum
diperoleh siapa pun, orang beriman maupun orang kafir, orang yang
taat maupun yang maksiat. Yang dimaksud adalah rahmat di dunia
semata. Sebagaimana firman Allah yang menceritakan ucapan para
12
malaikat (yang artinya), “Wahai Rabb kami, maha luas rahmat dan
ilmu-Mu meliputi segala sesuatu.” (QS. Ghafir: 7)
Adapun rahmat Allah yang bersifat khusus dapat kita lihat di dunia
dengan nikmat hidayah yang Allah berikan kepada umat manusia dan
diyakini oleh kaum muslimin yaitu dengan turunnya al-Qur’an,
diutusnya para rasul dan diturunkannya kitab-kitab. Inilah rahmat yang
khusus dan menjamin kebahagiaan yang sesungguhnya.
Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Alif lam lim. Inilah Kitab
(al-Qur’an). Tidak ada keraguan sama sekali di dalamnya. Petunjuk bagi
orang-orang yang bertakwa; yaitu orang-orang yang mengimani yang
gaib dan mendirikan sholat, serta memberikan infak dari sebagian rizki
yang Kami berikan kepada mereka. Dan orang-orang yang mengimani
apa yang diturunkan kepadamu dan apa-apa yang diturunkan
13
sebelummu, dan mereka meyakini hari akhirat. Mereka itulah yang
berada di atas petunjuk dari Rabb mereka, dan mereka itulah
orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Baqarah: 1-5)
14
Oleh sebab itu segala perkara yang menjerumuskan manusia kepada
kebinasaan dilarang oleh Allah. Perbuatan bunuh diri dengan segala
macam bentuk dan sebabnya. Hal ini menunjukkan besarnya kasih
sayang Allah kepada seorang hamba. Dan tentu saja hal itu akan
membuahkan rasa cinta di dalam hati seorang hamba kepada Rabbnya.
Sementara makna dari berbuat ihsan tidak hanya terbatas berbuat baik
kepada makhluk, bahkan termasuk makna ihsan yang tertinggi adalah
ihsan dalam beribadah kepada Allah. Sebagaimana disebutkan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Jibril yang sangat
masyhur, “[Ihsan] adalah kamu beribadah kepada Allah seolah-olah
15
melihat-Nya. Dan apabila kamu tidak sanggup beribadah seolah
melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia Melihat dirimu.” (HR. Muslim
dari ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu)
Maka siapa saja yang ingin menggapai rahmat Allah hendaklah dia
berbuat ihsan dalam beribadah, yaitu dengan mentauhidkan-Nya dan
menjauhi syirik, ikhlas dan tidak riya’, memurnikan ibadah untuk Allah
semata, bukan untuk mencari kesenangan dunia atau popularitas di
kalangan manusia. Selain itu, hendaklah dia juga bergaul dengan
manusia dengan akhlak yang utama. Inilah sebab untuk meraih rahmat
dan ridha-Nya.
16
Kedudukan Dunia
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Dunia adalah penjara bagi orang mukmin dan surga
bagi orang kafir.” (HR. Muslim)
17
Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Ya Allah tidak ada kehidupan yang sejati selain
kehidupan akhirat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
18
Beberapa Pelajaran Perihal Iman
Kedudukan Sabar
19
Saya seorang mukmin [?]
Kesempurnaan iman
20
dihasankan oleh al-Albani di dalam as-Shahihah [1/113], lihat Shahih
wa Dha’if Sunan Tirmidzi [2521])
21
sebab kemaksiatan.” (Tadzkirat al-Mu’tasi karya Syaikh Abdurrazzaq bin
Abdul Muhsin al-Abbad, hal. 293).
22
‘azza wa jalla baik yang hukumnya wajib ataupun sunah maka itu
adalah bagian dari iman. Iman bertambah karena ketaatan dan
berkurang akibat kemaksiatan. Sedangkan menurut mereka, para
pelaku dosa besar adalah orang-orang yang beriman yang imannya
tidak lengkap akibat dosa yang mereka perbuat. Mereka menjadi
orang-orang yang berkurang imannya gara-gara dosa-dosa besar yang
mereka lakukan…” (Majmu’ al-Fatawa [2/127] as-Syamilah)
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Iman terdiri dari tujuh puluh
cabang lebih. Yang tertinggi adalah syahadat la ilaha illallah. Yang
terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu
merupakan salah satu cabang keimanan.” (HR. Muslim dari Abu
Hurairah radhiyallahu’anhu, diriwayatkan pula oleh Bukhari namun
dengan lafaz ‘enam puluh cabang lebih’ dan tanpa ada ungkapan ‘yang
tertinggi adalah syahadat la ilaha illallah’, lihat Sahih al-Bukhari cet.
Maktabah al-Iman, hal. 15).
23
yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah beriman salah seorang dari
kalian sampai aku lebih dicintainya daripada orang tua dan
anak-anaknya.” (HR. Bukhari)
24
singgah di rumah kakek-kakeknya” atau dia berkata “di rumah
paman-pamannya” -perawi ragu- dari kalangan Anshar. Pada awalnya
beliau sholat menghadap ke arah Baitul Maqdis selama enam belas
atau tujuh belas bulan, dan ketika itu beliau sangat ingin apabila
kiblatnya dipindah ke arah Ka’bah. Sholat pertama kali yang beliau
lakukan ke arah kiblat yang baru adalah sholat ‘Ashar dengan disertai
sekelompok orang bersamanya. Kemudian, ada salah seorang di antara
jama’ah yang sholat bersamanya keluar lalu melewati jama’ah lain yang
sedang mengerjakan sholat di suatu masjid, ketika itu mereka dalam
posisi ruku’, maka dia mengatakan, ‘Aku bersumpah atas nama Allah,
sungguh aku telah sholat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menghadap ke Mekah.’ Maka mereka pun berputar arah dengan
posisi sebagaimana ketika menghadap Baitul Maqdis. Orang-orang
Yahudi heran terhadap hal itu, sebab sebelumnya beliau [Nabi] sholat
menghadap Baitul Maqdis sama sebagaimana kaum Ahli Kitab. Ketika
beliau sudah mengalihkan wajahnya [ketika sholat] untuk menghadap
ke Ka’bah maka mereka pun mengingkarinya.” Zuhair -salah seorang
perawi- mengatakan, “Abu Ishaq menuturkan kepada kami dari al-Bara’
di dalam haditsnya ini bahwasanya dahulu ada beberapa orang yang
telah meninggal dan terbunuh ketika sholat masih menghadap ke kiblat
-Baitul Maqdis- sebelum diubah arahnya, maka kami pun tidak tahu
apa yang harus kami ucapkan tentang mereka itu, karena itulah Allah
ta’ala menurunkan ayat (yang artinya), ‘Allah tidak akan
menyia-nyiakan iman kalian.’.” (HR. Bukhari).
25
mengatakan, “Bukan termasuk pendapat Ahlus Sunah pendapat yang
mengatakan bahwa iman adalah sekedar pembenaran hati! Atau
pembenaran hati dan diiringi dengan ucapan lisan -saja- tanpa disertai
amal anggota badan! Barangsiapa yang berpendapat semacam itu
maka dia adalah orang yang sesat, dan ini merupakan -keyakinan-
mazhab Murji’ah yang sangat buruk!” (Mujmal Masa’il al-Iman
al-Ilmiyah, disusun oleh Husain al-Awaisyah, Muhammad bin Musa Alu
Nashr, Salim al-Hilali, Ali al-Halabi, dan Masyhur Hasan Salman, hal. 14).
26
penulis Syarah Aqidah Thahawiyah, semoga Allah mengampuninya-
merupakan pendapat yang keliru. Sebab mereka -Hanafiyah- telah
mengeluarkan amal dari hakikat iman, sehingga hal itu menyebabkan
mereka menyelisihi ulama salaf dalam hal keyakinan bahwa iman itu
bisa bertambah dan berkurang.
27
konsekuensinya maka itu menunjukkan bahwa iman itu tidak ada atau
lemah [padanya]. Oleh karena itu maka amal-amal lahir itu merupakan
konsekuensi dari keimanan di dalam hati. Ia merupakan pembuktian
atas apa yang ada di dalam hati, tanda dan saksi baginya. Ia merupakan
cabang dari totalitas keimanan dan bagian dari kesatuannya. Walaupun
demikian, apa yang ada di dalam hati itulah yang menjadi
pokok/sumber bagi apa-apa yang muncul pada anggota-anggota
badan…” (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah [2/175] as-Syamilah, lihat juga
Mujmal Masa’il al-Iman al-‘Ilmiyah, hal. 15).
28
‘alaihi wa sallam meninggalkan (tidak memberi) kepada salah seorang
lelaki yang paling aku (Sa’ad) kagumi, maka aku berkata, ‘Wahai
Rasulullah, ada apa dengan si fulan? Demi Allah, aku tidak melihatnya
melainkan seorang mukmin.’ Maka beliau menjawab, ‘Atau barangkali
muslim?’. Lalu aku pun terdiam sejenak namun apa yang aku ketahui
tentangnya lebih menguasai pikiranku, maka aku ulangi lagi ucapanku
tadi, ‘Ada apa dengan si fulan? Demi Allah aku benar-benar
memandangnya seorang mukmin.’ Maka beliau menjawab, ‘Atau
barangkali muslim?’. Kemudian apa yang aku ketahui tentangnya masih
lebih menguasai pikiranku, maka aku ulangi lagi ucapanku tadi, dan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap mengulangi ucapan beliau
tadi. Lantas beliau bersabda, ‘Wahai Sa’ad, sesungguhnya bisa jadi aku
memberikan kepada seseorang sedangkan orang yang lain lebih aku
cintai darinya karena aku khawatir Allah akan melemparkannya ke
dalam neraka.’.” (HR. Bukhari)
29
– Kadang menjadi syarat sahnya iman. Artinya ia sebagai bagian dari
hakikat iman, di mana iman hilang karena hilangnya amalan tersebut
seperti: sholat.
– Kadang menjadi syarat kesempurnaannya yang wajib, maka iman
berkurang dengan kehilangannya, seperti amal-amal selain sholat yang
jika ditinggalkan menyebabkan kefasikan dan maksiat, tapi tidak
sampai pada kekafiran.
Perincian seperti ini harus dilakukan untuk memahami perkataan Salaf
Sholeh dan tidak mencampurkannya dengan perkataan wa’idiyah
(Mu’tazilah dan Khawarij, pen). Dan harus diketahui bahwa amal bagi
Ahlus Sunah wal Jama’ah adalah salah satu rukun dari rukun-rukun
(pilar) iman yang tiga, yaitu ucapan, amal, dan i’tiqad. Dan iman
menurut mereka bertambah dan berkurang, berbeda dengan Khawarij
dan Mu’tazilah. Wallahu waliyyut taufiq.” (Peringatan atas Kesalahan
Aqidah dalam Fathul Bari, hal. 43-44).
30
dalil-dalil al-Kitab dan as-Sunnah yang menunjukkan bahwa
barangsiapa yang meninggal dalam keadaan mengetahui (meyakini)
bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain Allah maka dia pasti
akan masuk surga, meskipun Allah tabaraka wa ta’ala memberikan
siksa kepadanya sesuai dengan kadar dosa besar yang dilakukannya,
hanya saja ujung perjalanannya adalah ke surga, dan sama sekali tidak
ada keraguan tentang hal itu. Inilah mazhab Ahlus Sunah wal Jama’ah…”
(Thariq al-Wushul ila Idhah ats-Tsalatsah al-Ushul, hal. 170-171)
31
mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apabila dilihat
dari sisi jenis amalan, maka amal itu terbagi menjadi amal yang wajib
dan amal sunnah. Sedangkan amal wajib tentu lebih utama daripada
amal sunnah apabil ditinjau dari jenisnya. Begitu pula ada sebagian
amal ketaatan lebih ditekankan daripada amal yang lainnya. Sehingga
apabila suatu ketaatan termasuk jenis ketaatan yang lebih utama maka
niscaya pertambahan iman yang diperoleh darinya juga semakin besar.
Demikian pula iman akan mengalami peningkatan seiring dengan
pertambahan jumlah/kuantitas amalan. Karena amal itu adalah bagian
dari iman maka bertambahnya amal tentu saja akan berakibat
bertambahnya keimanan.
32
bersifat kauni maupun syar’i. Sesungguhnya kelalaian dan sikap tidak
mau tahu semacam itu pasti akan membuat hati menjadi sakit atau
bahkan mati karena belitan syubhat dan jeratan syahwat yang
merasuki hati dan sekujur tubuhnya.
Dan apabila dilihat dari sisi kekuatan faktor pendorong yang dimiliki
orang maka penyusutan iman yang terjadipun berbeda. Apabila suatu
maksiat terjadi pada diri orang yang faktor pendorongnya semakin
lemah atau semakin kecil maka penurunan iman yang ditimbulkannya
juga akan semakin besar, semakin parah dan lebih tercela daripada
orang yang bermaksiat tapi memang padanya terdapat faktor
pendorong yang lebih kuat dan lebih besar. Oleh sebab itulah orang
miskin yang sombong dan orang tua bangka yang berzina dosanya lebih
33
besar daripada dosa orang kaya yang sombong dan perbuatan zina
seorang yang masih muda. Hal itu sebagaimana dikisahkan di dalam
hadits, “Ada tiga golongan orang yang tidak akan diajak bicara oleh
Allah dan tidak akan diperhatikan oleh-Nya pada hari kiamat.” Dan di
antara mereka itu adalah orang tua beruban yang berzina dan orang
miskin yang sombong.
34
Dampak Kerusakan Aqidah
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya barangsiapa yang
mempersekutukan Allah maka Allah haramkan atasnya surga dan
tempat tinggalnya adalah neraka, dan tidak ada bagi orang-orang zalim
itu penolong.” (QS. Al-Ma’idah: 72)
35
sama sekali tidak memiliki hujjah/landasan yang kuat atas
perbuatannya. Hujjah mereka tertolak di sisi Rabb mereka. Mereka
layak mendapatkan murka Allah dan siksa yang amat keras dari-Nya.”
(lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [5/337-338] cet. Dar Thaibah)
36
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mu’adz bin Jabal
radhiyallahu’anhu ke negeri Yaman, maka beliau berpesan kepadanya,
“Sesungguhnya engkau akan mendatangi sekelompok orang dari
kalangan Ahli Kitab, maka jadikanlah perkara pertama yang kamu
serukan kepada mereka syahadat laa ilaha illallah.” Dalam sebagian
riwayat disebutkan, “Supaya mereka mentauhidkan Allah.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
37
Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Dan Kami hadapkan apa
yang dahulu mereka amalkan lalu Kami jadikan ia bagaikan debu yang
beterbangan.” (QS. Al-Furqan: 23)
38
Memperbaiki Keadaan Diri
Termasuk diantara jalan keselamatan adalah sibuk memperbaiki diri
dan meninggalkan hal-hal yang tidak penting bagi diri kita.
39
Syaqiq al-Balkhi rahimahullah berkata, “Bersahabatlah dengan manusia
sebagaimana kamu bergaul dengan api. Ambillah manfaat darinya dan
berhati-hatilah jangan sampai dia membakar dirimu.” (lihat at-Tahdzib
al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 475)
40
adakah diantara amalku hari ini yang terangkat naik/diterima Allah.”
(lihat Aina Nahnu min Akhlaq as-Salaf, hal. 18)
Hati yang sehat dan sempurna memiliki dua karakter utama. Pertama;
kesempurnaan ilmu, pengetahuan, dan keyakinan yang tertancap di
dalam hatinya. Kedua; kesempurnaan kehendak hatinya terhadap
segala perkara yang dicintai dan diridhai Allah ta’ala. Dengan kata lain,
hatinya senantiasa menginginkan kebaikan apapun yang dikehendaki
oleh Allah bagi hamba-Nya. Kedua karakter ini akan berpadu dan
melahirkan profil hati yang bersih, yaitu hati yang mengenali kebenaran
41
dan mengikutinya, serta mengenali kebatilan dan meninggalkannya.
Orang yang ilmunya dipenuhi dengan syubhat/kerancuan dan
keragu-raguan, itu artinya dia telah kehilangan karakter yang pertama.
Adapun orang yang keinginan dan cita-citanya selalu mengekor kepada
hawa nafsu dan syahwat, maka dia telah kehilangan karakter yang
kedua. Seseorang bisa tertimpa salah satu perusak hati ini, atau bahkan
-yang lebih mengerikan lagi- tatkala keduanya bersama-sama
menggerogoti kehidupan hatinya (lihat al-Qawa’id al-Hisan, hal. 86)
42
al-Hasan rahimahullah berkata, “Melakukan kebaikan/ketaatan
memunculkan cahaya bagi hati dan kekuatan bagi badan. Adapun
melakukan kejelekan/dosa melahirkan kegelapan di dalam hati dan
kelemahan badan.” (lihat Tafsir Ibnu Rajab, Jilid 2 hal. 135)
43
Mengenal Hakikat Islam
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Kami mengutus
sebelum engkau [Muhammad] seorang rasul pun melainkan Kami
wahyukan kepadanya; tidak ada ilah [yang benar] selain Aku, maka
sembahlah Aku [saja].” (QS. Al-Anbiya’: 25)
Tentang dakwah Nabi Nuh ‘alaihis salam, Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), “Sungguh Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka
dia berkata; Wahai kaumku, sembahlah Allah tiada bagi kalian
sesembahan selain-Nya.” (QS. Al-A’raaf: 59).
Tentang dakwah Nabi Hud ‘alaihis salam, Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), “Dan kepada kaum ‘Aad, Kami utus saudara mereka yaitu Hud.
Dia berkata; Wahai kaumku, sembahlah Allah tiada bagi kalian
sesembahan selain-Nya.” (QS. al-A’raaf: 65).
Tentang dakwah Nabi Shalih ‘alaihis salam, Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), “Dan kepada kaum Tsamud, Kami utus saudara mereka yaitu
Shalih. Dia berkata; Wahai kaumku, sembahlah Allah tiada bagi kalian
sesembahan selain-Nya.” (QS. Al-A’raaf: 73).
44
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, beliau menceritakan bahwa suatu
ketika ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan menanyakan kepada beliau tentang iman, islam, dan
ihsan. Lelaki itu berkata, “Wahai Rasulullah, apa itu Islam?”. Beliau
menjawab, “Islam adalah kamu beribadah kepada Allah dan tidak
mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, kamu mendirikan
sholat wajib, membayar zakat yang telah diwajibkan, dan berpuasa
Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
45
ilaha illallah; dan ia mengandung ibadah kepada Allah semata dan
meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Itulah keislaman yang bersifat
umum yang tidaklah menerima dari kaum yang pertama maupun kaum
yang terakhir suatu agama selain agama itu. Sebagaimana firman Allah
ta’ala (yang artinya), “Barangsiapa yang mencari selain Islam sebagai
agama maka tidak akan diterima darinya, dan di akhirat dia pasti akan
termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. Ali ‘Imran: 85). Ini
semua menegaskan kepada kita bahwasanya yang menjadi pokok
agama sebenarnya adalah perkara-perkara batin yang berupa ilmu dan
amalan hati, dan bahwasanya amal-amal lahiriyah tidak akan
bermanfaat tanpanya.” (lihat Mawa’izh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,
hal. 30)
46
ibadah kepada Allah melainkan dia condong beribadah kepada selain
Allah. Mungkin orang itu tidak tampak memuja patung atau berhala.
Tidak tampak memuja matahari dan bulan. Akan tetapi, sebenarnya dia
sedang menyembah hawa nafsu yang menjajah hatinya sehingga
memalingkannya dari beribadah kepada Allah.” (lihat Thariq al-Wushul
ila Idhah ats-Tsalatsah al-Ushul, hal. 147)
47
Ibnul Jauzi rahimahullah menafsirkan, “segala sesuatu yang dahulu
telah mereka amalkan” yaitu berupa amal-amal kebaikan. Adapun
mengenai makna “Kami jadikan ia bagaikan debu yang beterbangan”
maka beliau menjelaskan, “Karena sesungguhnya amalan tidak akan
diterima jika dibarengi dengan kesyirikan.” (lihat Zaa’dul Masir, hal.
1014)
Ibnu Juraij dan sekelompok ulama tafsir yang lain menjelaskan, bahwa
maksud dari ayat ini adalah, “Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa
sallam– tidaklah memerintahkan kalian untuk menjadikan malaikat dan
para nabi sebagai sesembahan, sebagaimana halnya yang dilakukan
oleh kaum Quraisy dan Shabi’in yang berkeyakinan bahwa malaikat
adalah putri-putri Allah. Tidak juga sebagaimana kaum Yahudi dan
Nasrani yang berkeyakinan tentang ‘Isa al-Masih dan ‘Uzair seperti apa
yang mereka ucapkan [bahwa mereka adalah anak Allah, pent].” (lihat
Ma’alim at-Tanzil, hal. 220 oleh Imam al-Baghawi)
48
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan, “Lalu Allah berfirman
(yang artinya), “Dan dia tidaklah memerintahkan kalian untuk
menjadikan malaikat dan para nabi sebagai sesembahan” yaitu dia
tidak memerintahkan kalian untuk beribadah kepada siapapun selain
Allah, baik kepada nabi yang diutus ataupun malaikat yang dekat
-dengan Allah-. “Apakah dia akan memerintahkan kalian kepada
kekafiran setelah kalian memeluk Islam?”. Artinya dia [rasul] tidak
melakukan hal itu. Karena barangsiapa yang mengajak kepada
peribadatan kepada selain Allah maka dia telah mengajak kepada
kekafiran. Padahal para nabi hanyalah memerintahkan kepada
keimanan; yaitu beribadah kepada Allah semata yang tidak ada sekutu
bagi-Nya.” Hal itu sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan
tidaklah Kami mengutus sebelum engkau seorang rasul pun kecuali
Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada sesembahan -yang benar-
selain Aku, maka sembahlah Aku [saja].” (QS. Al-Anbiya’: 25) dst.” (lihat
Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [2/67])
49
itulah orang-orang yang akan mendapatkan keamanan dan mereka
itulah orang-orang yang diberikan hidayah.” (QS. al-An’aam: 82)
50
al-Qur’an) dalam firman-Nya (yang artinya), “Dan mereka -kaum Nuh-
berkata: Janganlah kalian tinggalkan sesembahan-sesembahan kalian;
jangan tinggalkan Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr.” (QS. Nuh:
23). Maka hal ini menunjukkan dengan sangat pasti dan jelas
bahwasanya perkara terpenting yang semestinya selalu diperhatikan
oleh para da’i yang mengajak kepada Islam yang benar adalah dakwah
kepada tauhid. Itulah makna yang terkandung dalam firman Allah
tabaraka wa ta’ala (yang artinya), “Maka ketahuilah, bahwa tiada
sesembahan -yang benar- selain Allah.” (QS. Muhammad: 19).
Demikianlah yang dipraktekkan sendiri oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan apa yang beliau ajarkan.” (lihat Ma’alim al-Manhaj as-Salafi
fi at-Taghyir, oleh Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali hafizhahullah, hal. 42)
51
untuk mengadakan perjalanan ke sana.” (HR. Muslim dari ‘Umar bin
Khaththab radhiyallahu’anhu)
Orang-orang ahli kitab di masa itu telah mengucapkan kalimat laa ilaha
illallah -berdasarkan perintah Kitab suci mereka, pent- akan tetapi
karena ucapan mereka tidak dilandasi ilmu dan pemahaman maka
ucapan itu tidak bermanfaat bagi mereka, sehingga mereka justru
beribadah kepada selain Allah. Oleh sebab itulah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan Mu’adz radhiyallahu’anhu untuk
menjadikan dakwah tauhid sebagai dakwah yang paling utama untuk
diserukan kepada mereka (lihat Qurrat ‘Uyun al-Muwahhidin, hal. 36
oleh Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah)
52
Imam al-Khaththabi rahimahullah berkata, “Telah dimaklumi bahwa
yang dimaksud oleh hadits ini [untuk diperangi] adalah para pemuja
berhala, bukan ahli kitab; sebab ahli kitab -di masa itu- telah
mengucapkan laa ilaha illallah…” Qadhi ‘Iyadh juga memiliki keterangan
serupa bahwa yang dimaksud adalah kaum musyrikin arab, para
pemuja berhala, dan orang-orang yang tidak bertauhid (lihat Syarh
Muslim [2/56])
Membangun Loyalitas
al-Wala’ wal Bara’ atau loyalitas dan kebencian merupakan bagian
penting di dalam Islam. Cinta dan benci karena Allah bahkan
merupakan simpul keimanan yang paling kuat.
53
kepada Allah. Dia tidak suka kembali kepada kekafiran setelah Allah
selamatkan dia darinya, sebagaimana dia tidak suka dilemparkan ke
dalam kobaran api.” (HR. Bukhari dan Muslim)
54
Kelezatan iman inilah yang akan mengokohkan pijakan keislaman
seorang hamba. Sehingga dia tidak akan goyah karena iming-iming
dunia atau ancaman senjata. Heraklius berkata kepada Abu Sufyan,
“Aku pun bertanya kepadamu mengenai apakah ada diantara mereka
-pengikut nabi- yang murtad karena marah terhadap ajaran agamanya
setelah dia masuk ke dalamnya? Kamu menjawab, tidak ada. Maka
demikian itulah yang terjadi apabila kelezatan iman telah merasuk dan
teresap di dalam hati.” (HR. Bukhari dan Muslim)
55
(yang artinya), “Sungguh telah ada teladan yang baik pada diri Ibrahim
dan orang-orang yang bersamanya, yaitu ketika mereka berkata kepada
kaumnya; Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari segala
yang kalian sembah selain Allah. Kami ingkari kalian dan telah nyata
antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian untuk
selamanya sampai kalian mau beriman kepada Allah saja.” (QS.
al-Mumtahanah: 4)
Suatu ketika, Abdullah putra Abdullah bin Ubay bin Salul -gembong
munafikin- duduk di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika
itu beliau sedang minum. Abdullah berkata kepada beliau, “Wahai
Rasulullah, tidakkah anda sisakan air minum anda untuk aku berikan
kepada ayahku? Mudah-mudahan Allah berkenan membersihkan
hatinya dengan air itu.” Nabi pun menyisakan air minum beliau
untuknya. Lalu Abdullah datang menemui ayahnya. Abdullah bin Ubay
bin Salul bertanya kepada anaknya, “Apa ini?”. Abdullah menjawab,
“Itu adalah sisa minuman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku
membawakannya untukmu agar engkau mau meminumnya.
Mudah-mudahan Allah berkenan membersihkan hatimu dengannya.”
Sang ayah berkata kepada anaknya, “Mengapa kamu tidak bawakan
saja kepadaku air kencing ibumu, itu lebih suci bagiku daripada bekas
air minum itu.” Maka dia -Abdullah- pun marah dan datang -melapor-
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Wahai
Rasulullah, apakah anda mengizinkan aku untuk membunuh ayahku?”.
Nabi menjawab, “Jangan, hendaknya kamu bersikap lembut dan
berbuat baik kepadanya.” (lihat Thariq al-Wushul ila Idhah
ats-Tsalatsah al-Ushul, hal. 54)
56
Imam Abu Ja’far ath-Thahawi rahimahullah berkata, “Kami [Ahlus
Sunnah] mencintai sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Namun, kami tidak melampaui batas dalam mencintai salah
seorang di antara mereka. Kami juga tidak berlepas diri/membenci
terhadap seorang pun di antara mereka. Kami membenci orang yang
membenci mereka, dan juga orang-orang yang menjelek-jelekkan
mereka. Kami tidak menceritakan keberadaan mereka kecuali dengan
kebaikan. Mencintai mereka adalah ajaran agama, bagian dari
keimanan, dan bentuk ihsan. Adapun membenci mereka adalah
kekafiran, sikap munafik dan melampaui batas/ekstrim.” (lihat Syarh
al-‘Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 467 oleh Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi)
57
(lihat Qathful Jana ad-Daani Syarh Muqaddimah Ibnu Abi Zaid
al-Qairuwani, hal. 161)
58
Dukung Perjuangan Dakwah
Bismillah…
Barakallahu fiikum.
59