Anda di halaman 1dari 6

CIRI-CIRI MURJI`AH YANG PALING MENONJOL

Murji`ah memiliki sekian banyak ciri, dan ada beberapa ciri yang paling menonjol, di antaranya
sebagai berikut.

[1]. Mereka berpendapat, iman hanya sebatas penetapan dengan lisan, atau sebatas pembenaran
dengan hati, atau hanya penetapan dan pembenaran.
[2]. Mereka berpendapat, iman tidak bertambah dan tidak berkurang, tidak terbagi-bagi, orang
yang beriman tidak bertingkat-tingkat, dan iman semua orang adalah sama.
[3]. Mereka mengharamkan istitsn` (mengucapkan ‘saya beriman insya Allah’) di dalam iman.
[4]. Mereka berpendapat, orang yang meninggalkan kewajiban dan melakukan perbuatan haram
(dosa dan maksiat) tidak berkurang imannya dan tidak merubahnya.
[5]. Mereka membatasi kekufuran hanya pada pendustaan dengan hati.
[6]. Mereka mensifati amal-amal kekufuran yang tidak membawa melainkan kepada kekufuran,
seperti menghina dan mencela (Allah, Rasul-Nya, maupun syari’at Islam); bahwa hal itu
bukanlah suatu kekufuran, tetapi hal itu menunjukkan pendustaan yang ada dalam hati.[19]

CIRI-CIRI MURJI’AH MENURUT AHLI BID’AH TERDAHULU


Dahulu para ahli bid’ah –dari kalangan Khawarij dan selainnya- menuduh Ahlus-Sunnah wal-
Jama’ah dengan irja`, dikarenakan perkataan mereka (Ahlus-Sunnah) bahwa pelaku dosa besar
tidak dikafirkan, kecuali jika dia menghalalkan perbuatan tersebut. Dan mereka berpendapat,
orang yang meninggalkan shalat karena malas atau meremehkannya tidaklah kafir yang dapat
mengeluarkannya dari agama.[20]

Di antara dali-dalil yang menunjukkan hal itu ialah sebagai berikut.


Pertama. Atsar yang dikeluarkan Ishaq bin Rahawaih dari Syaibân bin Farrûkh, ia berkata: “Aku
bertanya kepada ‘Abdullah Ibnul-Mubârak: ‘Apa pendapatmu tentang orang yang berzina dan
meminum khamr atau selain itu. Apakah ia dikatakan mukmin?’. ‘Abdullah Ibnul Mubârak
menjawab,‘Aku tidak mengeluarkannya dari iman,’ maka Syaibân berkata,‘Apakah pada saat tua
nanti engkau menjadi Murji`ah?,’ lalu ‘Abdullah Ibnul-Mubârak menjawab,‘Wahai, Aba
‘Abdillah! Sesungguhnya Murji`ah tidak menerimaku, karena aku mengatakan iman itu
bertambah, sedangkan Murji`ah tidak mengatakan demikian’.”[21]

Kedua. Apa yang disebutkan oleh al-Qâdhi Abul-Fadhl as-Saksaki al-Hanbali (wafat 683 H)
dalam kitabnya, al-Burhân: Bahwa ada sekelompok ahlul bid’ah yang dinamakan dengan al-
Mansuriyyah -mereka adalah sahabat dari ‘Abdullah bin Zaid-, mereka menuduh Ahlus-Sunnah
sebagai Murji`ah, karena Ahlus-Sunnah mengatakan, orang yang meninggalkan shalat, apabila ia
tidak mengingkari kewajibannya maka ia tetap seorang muslim; demikian menurut pendapat
yang shahîh dari madzhab Imam Ahmad.

Mereka (ahlu bid’ah) mengatakan: “Ini menunjukkan bahwa iman menurut mereka (Ahlus
Sunnah) adalah perkataan tanpa amal.”[22]

CIRI-CIRI SESEORANG TERLEPAS DARI MURJI’AH, MENURUT AHLUS-SUNNAH


Para ulama Ahlus-Sunnah telah menyebutkan sejumlah ciri yang dapat diketahui bahwa
seseorang terlepas dari bid’ah Irja`, di antaranya ialah:
[1]. Mengatakan bahwa iman itu adalah perkataan dan perbuatan.
Imam Ibnul-Mubarak rahimahullah pernah ditanya: “Engkau berpendapat Irja`?,” maka ia
menjawab,“Aku mengatakan bahwa iman itu perkataan dan perbuatan. Bagaimana mungkin aku
menjadi Murji`ah?!”[23]

[2]. Mengatakan bahwa iman itu bertambah dan berkurang.


Imam Ahmad ditanya tentang orang yang mengatakan: “Iman itu bertambah dan berkurang,”
maka ia menjawab,“Orang ini telah berlepas diri dari Irja`.”

[3]. Mengatakan bahwa maksiat mengurangi iman dan membahayakannya.

[4]. Mengatakan bahwa kekufuran dapat terjadi dengan perbuatan sebagaimana dapat terjadi
dengan keyakinan dan perkataan. Dan ada di antara amal yang menjadi kufur karena melakukan
amal tersebut tanpa keyakinan, dan menganggap halal perbuatan tersebut.[24]

CIRI-CIRI SESEORANG TERLEPAS DARI MURJI`AH MENURUT HIZBIYYUN DAN


HARAKIYYUN
Di antara ciri seseorang terlepas dari Murji`ah menurut kaum Hizbiyyun dan Harakiyyun ialah:

[1].Mengkafirkan orang yang berhukum dengan selain hukum Allah dengan mutlak tanpa
perincian yang telah disepakati oleh para salaf, Ahlus-Sunnah sejak dahulu sampai hari ini.

[2]. Mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat karena malas dan meremehkan. Dalam
masalah ini terjadi khilâf (perbedaan pendapat) di kalangan ulama Ahlus-Sunnah sejak dahulu
hingga hari ini. Menurut mereka, apabila seorang muslim berpendapat dengan dua pendapat
tersebut, maka ia telah terlepas dari Murji`ah.[25]

TUDUHAN DUSTA TERHADAP AHLI HADITS ABAD INI, YAITU SYAIKH


MUHAMMAD NASHIRUDDIN AL-ALBANI RAHIMAHULLAH
Ada sebagian orang dari kalangan hizbiyyun dan harakiyyun yang menuduh Syaikh al-Albani
sebagai Murji`ah. Tuduhan ini merupakan tuduhan yang kejam, dusta, bohong, dan mengada-
ada.

Syaikh al-Albani rahimahullah telah menjelaskan dalam kitab-kitabnya dan tahqîqnya tentang
masalah iman, sebagaimana dipegangi para ulama salaf. Kalau kita mau membahas satu per satu
dari kitab beliau, maka akan panjang pembahasannya. Tetapi saya cukupkan dengan penjelasan
para ulama yang memuji beliau.

Syaikh Abdul-’Azîz bin ‘Abdullah bin Bâz rahimahullah berkata,”Aku tidak melihat di bawah
kolong langit seorang yang ‘alim tentang hadits pada zaman ini, seperti al-‘Allamah Muhammad
Nâshiruddin al-Albâni.”

Beliau rahimahullah juga pernah ditanya: “Siapa mujaddid (pembaharu) pada zaman ini?”

Lalu beliau menjawab, “Menurutku, Syaikh Muhammad Nâshiruddin al-Albâni. Beliaulah


mujaddid (pembaharu) pada zaman ini. Wallahu a’lam.”
Syaikh bin Bâz juga pernah berkata,“Aku tidak mengetahui seorang di alam semesta yang lebih
‘alim daripada Syaikh Nâshir (al-Albani) pada zaman ini.”

Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn rahimahullah pernah ditanya, tentang orang yang
menuduh Syaikh al-Albâni dengan irja` (Murji’ah), maka beliau menjawab: “Barangsiapa yang
menuduh Syaikh al-Albâni dengan tuduhan irja`, maka ia telah salah, – orang itu – satu di antara
dua kemungkinan, (yaitu): ia tidak mengenal al-Albani atau tidak mengetahui apa itu Irja`. Al-
Albâni rahimahullah seorang dari Ahlus-Sunnah dan pembela Sunnah. Dia juga seorang imam
dalam bidang hadits. Aku tidak mengetahui ada seorang yang menandinginya pada zaman
sekarang. Akan tetapi, sebagian orang –kami mohon kepada Allah al-‘Afiyah- timbul perasaan
dengki pada hatinya. Apabila ia melihat penerimaan seseorang, mereka mulai mencela seperti
perbuatan orang-orang munafik yang mencela orang-orang mukmin yang bershadaqah dan tidak
mendapatkan kecuali usaha mereka. Mereka (munâfiqîn) mencela orang yang bershadaqah
dengan harta yang banyak dan orang miskin yang bershadaqah. Kami mengetahui beliau (al-
Albâni) rahimahullah dari buku-bukunya, dan aku mengetahuinya sebagai seorang yang
memiliki ‘aqidah Salaf dan selamat manhajnya. Akan tetapi, sebagian orang ingin mengafirkan
hamba Allah dengan apa-apa yang Allah tidak mengafirkan mereka dengannya, kemudian
menuduh bahwa orang yang menyelisihinya dalam masalah takfir maka ia adalah Murji`ah; ini
merupakan suatu kebohongan, kedustaan, dan kezhaliman. Oleh karena itu, janganlah kalian
mendengar perkataan-perkataan ini dari siapa pun.”

Beliau (Syaikh ‘Utsaimin) juga berkata: “Syaikh al-Albâni seorang yang panjang langkahnya
(luas ilmunya), luas pengetahuannya, dan kuat pemikirannya”. [26]

Begitu pula tuduhan hizbiyyun kepada Syaikh ‘Ali bin Hasan al-Halabi hafizhahullâh. Mereka
menuduh bahwa beliau adalah “Murji`ah”?! Mereka menuduh demikian karena ada fatwa dari
Lajnah Da-imah yang memperingatkan dua buku karya Syaikh ‘Ali bin Hasan, yaitu at-Tahdzîr
min Fitnatit-Takfîr dan Shaihatun-Nadzîr bi Khatharit-Takfîr. Padahal fatwa ini tidak memvonis
Syaikh ‘Ali sebagai Murji’ah.

Dalam masalah ini, Syaikh ‘Ali telah menjawab serta menjelaskan dalam bukunya. Beliau
mengajak “polemik” kepada anggota Lajnah Da-imah dengan buku beliau yang berjudul al-
Ajwibah al-Mutalâ-imah ‘alâ Fatâwa al-Lajnah ad-Dâ-imah.

Kemudian beliau membantah orang-orang yang memanfaatkan fatwa itu untuk kepentingan
hawa nafsu dan membela kelompok mereka. Beliau membantah dalam bukunya yang berjudul
at-Tanbîhâtul Mutawâ-imah fî Nushrati Haqqi Ajwibah al-Mutalâ-imah ‘alâ Fatâwa al-Lajnah
ad-Dâ-imah setebal 610 halaman, diterbitkan oleh Maktabah Dârul-Hadîts-Daulah Imârât, Cet. I,
Th. 1424 H. Beliau membantah dengan bantahan ilmiah dan menjawab tuduhan itu dengan dalil-
dalil dari al-Qur`an dan as-Sunnah, perkataan ulama Salaf, dan disertai bukti-bukti akurat dan
marâji’ (referensi) yang banyak. Beliau jawab satu per satu dengan rinci, ilmiah dan nukilan
yang sempurna, tidak sepotong-sepotong.

Tentang fatwa Lajnah Da-imah dijelaskan dengan gamblang oleh Syaikh Dr. Husain bin
‘Abdul-’Azîz Âlu Syaikh dan Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn rahimahullah.
Dr. Hushain bin ‘Abdul Azîz Alu Syaikh –imam Masjid Nabawi dan Qadhi (hakim) di
Pengadilan Tinggi Madinah Nabawiyyah- pernah ditanya berkaitan dengan fatwa Lajnah Da-
imah:

Fadhilatusy-Syaikh, bagaimana pendapat Syaikh tentang fatwa yang dikeluarkan oleh Lajnah
Da-imah tentang kedua kitab Syaikh ‘Ali al-Halabi: at-Tahdzîr dan Sha’ihatun Nadzîr,
bahwasanya kedua kitab ini mengajak kepada pemikiran Irja`, bahwa amalan bukanlah syarat
sahnya iman. Padahal kedua kitab ini tidak membahas masalah syarat sahnya iman atau syarat
kesempurnaan iman?

Menghadapi pertanyaan ini, maka Syaikh Dr. Husain bin ‘Abdul Azîz Âlu Syaikh menjawab:
Yang pertama, wahai saudara-saudaraku! Syaikh ‘Ali dan masyayikh lainnya satu jalan. Syaikh
‘Ali adalah saudara tua sebagaimana para masyayikh yang mengeluarkan fatwa ini. Syaikh ‘Ali
mengenal mereka, dan mereka pun mengenal Syaikh ‘Ali. Mereka memiliki hubungan baik
dengan Syaikh ‘Ali.

Syaikh ‘Ali telah diberi Allah ilmu dan bashirah untuk mengatasi masalah ilmiah antara dia dan
masyayikh, dan masalah ilmiah ini untuk menjelaskan al-haq (kebenaran).

Adapun Syaikh ‘Ali dan gurunya –Syaikh al-Albâni- barangsiapa yang berada di atas jalan
Sunnah, maka tidak ada satu pun yang meragukan bahwasanya mereka di atas manhaj yang
diridhai –walillahil hamdu. Syaikh Ali –walillahil hamdu- termasuk pembela manhaj Ahlus-
Sunnah wal-Jama’ah.

Fatwa tersebut tidak me-nash-kan bahwa Syaikh ‘Ali sebagai Murji`ah –tidak akan beliau
mengucapkan ini!- khilaf antara fatwa ini dengan Syaikh ‘Ali pada masalah kitab dan diskusi
bersamanya pada perkara ini. Keberadaan orang lain yang hendak memaksakan kandungan fatwa
ini, bahwasanya fatwa ini mewajibkan hukum atas Syaikh ‘Ali bahwa beliau Murji`, maka ini
tidak saya pahami, dan aku menyangka bahwa saudara-saudara disini juga tidak memahami ini.
Fatwa ini –walillahil hamdu- tidak menyelisihi hubungan antara Syaikh ‘Ali dan masyayikh,
mereka menghormati dan menghargai Syaikh ‘Ali.

Syaikh ‘Ali telah menerangkan dengan penjelasan ilmiah (dalam kitab beliau -Ajwibah
Mutalâ’imah ‘ala Fatwa Lajnah Dâ-imah) –sebagaimana dilakukan oleh Salaful-Ummah-; tidak
ada seorang pun dari kita melainkan mengambil dan memberi, setiap orang diambil perkataannya
dan juga dibantah, kecuali penghuni kubur ini, yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
sebagaimana dikatakan oleh Imam Mâlik rahimahullah : “Setiap ucapan diterima dan ditolak,
kecuali perkataan Rasul”.

Demikianlah umat ini, berselisih pada awalnya antara yang mengambil dan yang menolak.
Tetapi manusia –dari segi asalnya- kadang-kadang di tengah-tengah ucapannya ada ucapan-
ucapan lain –yaitu yang dinamakan dengan perkataan-perkataan spontan disebabkan adanya
perdebatan, dan sebab tabi’at asli manusia- yang terdapat di dalamnya sedikit keras; bahkan juga
di antara para sahabat Radhiyallahu ‘anhum sebagaimana terjadi antara Abu Bakar dan ‘Umar,
dan antara yang lainnya dari kalangan sahabat –seperti antara ‘Aisyah dan ‘Ali Radhiyallahu
‘anhuma.
Kesimpulannya, fatwa ini –dalam pandanganku- tidak menghukumi, dan tidak menashkan
dengan nash yang jelas bahwa Syaikh ‘Ali di atas manhaj Irja`. Sesungguhnya fatwa ini adalah
pembicaraan tentang sebuah kitab yang ditulis oleh Syaikh. Syaikh ‘Ali telah menulis kitab
(Ajwibah Mutalâ’imah) sesudah keluarnya fatwa, bukan dalam rangka membantah, tetapi
menjelaskan manhajnya dan manhaj gurunya, yaitu Syaikh al-Albâni.

Yang kami yakini dan kami pertanggungjawabkan di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala,
bahwasanya Syaikh ‘Ali dan gurunya –Syaikh al-Albâni- sangat jauh di antara manusia dari
madzhab Murji`ah –sebagaimana telah kami katakan sebelumnya-. Syaikh ‘Ali –demikian juga
Syaikh al-Albâni- jika ditanyakan kepadanya: “Apakah definisi iman?” Tidak akan kita dapati
dalam ucapannya perkataan Murji’ah yang mengatakan bahwa amalan tidak masuk dalam
keimanan. Bahkan nash-nash Syaikh al-Albâni menashkan bahwa definisi iman, adalah
keyakinan dengan hati, perkataan dengan lisan, dan amalan dengan anggota tubuh, bertambah
dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.[27]

Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn ketika ditanya oleh Syaikh ‘Ali tentang fatwa Lajnah
Da-imah, beliau menjawab: “Ini adalah suatu kesalahan dari Lajnah, dan aku merasa terganggu
dengan adanya fatwa ini. Fatwa ini telah memecah-belah kaum Muslimin di seluruh negeri,
sampai-sampai mereka menghubungiku baik dari Amerika maupun Eropa. Tidak ada yang
mengambil manfaat dari fatwa ini melainkan takfiriyyun (tukang mengafirkan) dan tsauriyyun
(para pemberontak).”

Beliau juga berkata: “Saya tidak suka keluarnya fatwa ini, karena membuat bingung manusia.
Dan nasihatku kepada para penuntut ilmu agar tidak terlalu berpegang teguh dengan fatwa fulan
atau fulan”.[28]

Saya ingatkan kepada orang-orang yang menuduh para ulama dan kaum Muslimin dengan
tuduhan yang tidak benar akan sebuah hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Barangsiapa syafa’at (pertolongan)nya menghalangi had (sanksi hukum) dari hukum-hukum


Allah, maka ia telah melawan Allah. Dan barangsiapa yang bertikai (bermusuhan) dalam
kebathilan padahal dia mengetahuinya, maka ia berada dalam kemurkaan Allah sampai ia
melepasnya. Dan barangsiapa yang menuduh seorang mukmin dengan tuduhan yang tidak ada
padanya, maka Allah akan menempatkannya dalam radghatul khabal sampai ia keluar dari
perkataannya (bertaubat). [29]

Makna radghatul-khabal ialah cairan (keringat) penghuni neraka, sebagaimana dijelaskan dalam
hadits yang terdapat dalam Shahîh Muslim.[

Anda mungkin juga menyukai