Anda di halaman 1dari 5

PEMAHAMAN 20 PRINSIP KONSEP DASAR AGAMA

BAB II. PEMBAHASAN

A. Landasan Teori

Hingga abad ke- 14 hijriyyah, berdasarkan kesaksian banyak ulama dan tokoh-tokohnya
di masanya, salah satu pembaruannya adalah imam Syahid Hasan Al Banna.Ia telah
membuat kaidah-kaidah bagi amal islami di abad ini, membuat kaidah-kaidah bagi amal
islami di abad ini, setelah Beliau memahami Al Qur’an dan Sunah dengan baik, sejarah
dengan berbagai pelajaran yang terkandung di dalamnya, hukum Allah yang berlaku pada
makhluknya, berdasarkan penelitian, serta realitas yang dialami dan mengitarinya.
Hasilnya Beliau menuangkan dalam 20 Prinsip-prinsip Hasan Al Banna (Ushul ‘Isyrin).

Said Hawwa mengungkapkan hakikat ini degan mengatakan,” Saat ustadz Hasan Al
Banna memulai dakwahnya, umat Islam telah mencapai kekacauan intelektual yang
sangat berat, mereka adalah orang-orang yang mengafirkan Islam. Karena perjalanan
sejarah yang panjang sehingga terungkaplah faktor-faktor penyebab perpecahan dan
konflik diantara kaum muslimin.

Dalam Buku Fi Afaqi At Ta’alim, hal 106 Ustadz Al Banna pada rukun pemahaman telah
menghimpun hal-hal yang harus diketahui oleh setiap muslim. Diantaranya ada hal-hal
yang apabila tidak diketahui, akan menyebabkan orang mengingkari hal-hal yang secara
mendasar adalah bagian dari agama, ini adalah kekafiran. Ada pula hal-hal yang apabila
tidak diketahui, akan menjadikan orang tidak berkomitmen dengan agamnya, ini adalah
kekurangan. Ada pula hal-hal yang apabila tidak diketahui, akan membahayakan
ideology, mengancam ukhuwah, berbahaya bagi persatuan gerakan Islam, mengancam
konsep-konsep global seorang Muslim atau mengancam kaum Muslimin seluruhnya.
Itulah konsekuensi terpenting prinsip-prinsip pemahaman ini pada realitas kontemporer
saat ini.
PRINSIP Ke -7 : IJTIHAD, TAKLID DAN KEMAZHABAN
Syahid Hasan Al-Banna berkata, “Setiap muslim yang belum mencapai derajat mampu meneliti
dalil-dalil hukum yang bersifat furu’ (detail) boleh mengikuti salah seorang imam agama.
Ijtihad merupakan salah satu karakteristik syariat islam. Pintunya tidak akan ditutup kecuali
dengan datangnya hari kiamat. Adapun taklid, ia hanya merupakan kondisi darurat tempat orang-
orang awam (tingkat pemula) berlindung, sedangkan orang-orang yang terpelajar berusaha
membebaskan diri darinya.
Dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama ini suatu kesempitan (Al-
Haj:78).
Adapun bidang dan ruang lingkup ijtihad adalah dalil-dalil hukum syari yang bersifat far’iy dan
ilmiah. Karena itu tidak berlaku ijtihad dalam maslah-maslah aqliyah, lughawiyah, maupun
persoalan-persoalan akidah yang berkaitan dengan pokok-pokok agama, seperti iman kepada
Allah, iman kepada para Rasul, iman kepada kitab-Nya, iman kepada hari akhir, iman kepada
qadha dan qadar, serta berbagai pokok akidah yang berkaitan dengannya. Ijtihad jg tidak
dilakukan dalam hal-hal yang dalilnya qath’iy atau urusan agama yang sangat mendasar harus
diketahui dengan pasti, seperti : ibadah (shalat) lima waktu, zakat, puasa bulan Ramadhan, haji,
pengharaman zina, riba, minum khamr, dan hal-hal yang serupa itu.
Dan sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan (Al-Haj: 78), dan
sabda nabi SAW., “Tidak ada bahaya maupun hal yang membahayakan dalam islam.”Ini bersifat
umum pada setiap kesempitan dan bahaya, karena disebutkan dalam bentuk naqirah sesudah
nafi.
Hal ini akan mudah diterima karena dapat dipahami dalam firman Allah SWT.,
Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang beriman itu pergi semuanya (ke medan perang).
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberpa orang untuk
memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada
kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga diri (At-
Taubah: 122).
Contohnya : Ada seorang yang buta, dia mengalami kesulitan harus mengikuti siapa
tentang arah kiblat?
Para ulama sepakat bahwa orang yang buta harus mengikuti orang lain yang dapat dipercaya
perkatannya tentang arah kiblat, apabila ia mengalami kesulitan. Dalam firman Allah SWT.,
Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui
(An-Nahl: 43).
Diantara riwayat imam yang empat, mengenai celaan keras mereka terhadap taklid yang
diakukan oleh orang yang mengetahui pendapat mereka namun tidak mengetahui dalilnya.
Pernyataan-pernyataan sebagai berikut :
1. Imam Abu Hanifah r..,a berkata “ Tidak sepantasnya orang yang tidak mengetahui
dalilku berkata dengan perkataanku. “Apabila memberi fatwa, beliau berkata, ”Inilah
pendapat An-Nu’man bin Tsabit –yakni beliau sendiri- dan inilah sebaik-baik yang dapat
kami lakukan. Karena itu barang siapa dapat mengemukakan pendapat yang lebih baik
darinya, ialah yang lebih tepat.

2. Imam Malik bin Anas r.a., berkata, “Tidak ada seorangpun kecuali dapat diambil
perkataannya dan dapat ditolak, kecuali penghuni makam ini –yakni Rasulullah Saw.-
beliau juga mengatakan, “Saya adalah manusia yang terkadang salah dan terkadang
benar. Karena itulah teliti pendapatku, yang sesuai dengan Al-Qur’an dan sunnah
ambillah, dan yang tidak sesuai tinggalkanlah.
3. Imam Syafii r.a., berkata, “Bila hadist itu shahih, maka itulah mahzhabku,” dalam
riwayat lain beliau berkata, “Bila perkataanku menyalahi hadist (Rasulullah Saw), maka
amalkanlah haidst Rasulullah, dan lemparkanlah perkataanku itu ke pagar.” Beliau
berkata kepada salah seorang muridnya, “Janganlah kamu taklid kepadaku pada semua
yang aku katakan, dan telitilah perkataan itu untuk dirimu, karena itu suatu agama.”
4. Imam Ahmad bin Hambal r.a., berkata, “Telitilah urusan agamamu, sebab taklid kepada
orang yang tidak ma’shum adalah tercela dan membutakan pandangan hati.
Terakhir, Ibnul Qayyim r.a., telah membagi taklid menjadi tiga katagori: yang haram dikatakan
dan dipakai untuk berfatwa, yang harus disabarkan, dan yang dapat diterima tanpa pewajiban.
Taklid yang diharamkan terbagi menjadi tiga bagian:
Pertama, berpaling dari apa yag telah Allah turunkan dan tidak mau memperhatikannya, karena
merasa cukup dengan bertaklid kepada nenek moyang.
Kedua, taklid kepada orang yang ia tidak mengetahui bahwa orang yang diikuti pendapatnya itu
pantas diikuti perkataannya.
Ketiga, bertaklid sesudah tegaknya hujah (dasar/alasan) dan jelasnya dalil yang berseberangan
dengan pendapat dengan orang yang diikuti.

Dikatakannya bahwa kedudukan taklid ini menurut ulama salaf dan imam yang empat mencela
dan mengharamkannya. Adapun taklidnya orang yang telah mencurahkan usahanya dalam
mengikuti wahyu yang diturunkan oleh Alloh dan sebagiannya ada yang samar baginya, lalu
dalam hal itu dia bertaklid kepada orang yang lebih mengetahui daripadanya, maka hal ini
terpuji, tidak tercela, diberi pahala, dan tidak berdosa.
Orang-orang yang berselisih ini terbagi dalam tiga tingkatan :
Pertama, orang-orang yang berselisih tentang Dzat agama itu sendiri, atau tentang prinsip-
prinsipnya yang telah mapan, termasuk hal-hal yang secara mendasar diketahui dari agama.
Kedua, tingkatan ini terdapat dalam tubuh umat islam yang disatukan dengan sebutan agama
islam pada umumnya, yaitu orang-orang yang bertemu dalam pokok agama namun berbeda
dalam sebagian kaidah globalnya. Karena itu benarlah apa yang dikatakan oleh Nabi Saw.
Bahwa umatnya akan pecah menjadi tujuh puluh sekian kelompok. Beliau mengabarkan bahwa
umat ini akan mengikuti gaya hidup dan perilaku umat sebelumnya, sejengkal demi sejengkal,
dan sehasta demi sehasta.
Ketiga, yaitu perselisihan yang terjadi pada orang-orang yang telah bersepakat, namun bukan
pada pokok agama, prinsip-prinsipnya, maupun garis-garis besarnya yang telah dimaklumi
dengan pasti sebagai bagian agama. Perselisihan itu hanya terjadi pada cabang-cabangnya.
Demikian itu karena dengan kebijaksanaan-Nya, Allah telah menetapkan agar cabang-cabang
agama ini dapat menerima pandangan-pandangan dan menjadi wilayah yang dapat menerima
hipotesis.
Contoh lainnya : Pada ibadah sholat Witir ada melakukan dengan dengan 1 kali salam dan ada
yang 2 kali salam kemudian ada juga tentang pengucapan Bismillah pada awal sholat ada yang di
jaharkan dan ada pula yang tidak.
PRINSIP KE – 8 : PERBEDAAN DALAM MASALAH FURU’ DAN ETIKA DALAM
PERBEDAAN
Imam Syahid Hasan Al-Banna berkaitan dengan ikhtilaf ini mneyatakan bahwa, “Perbedaan fiqh
dalam masalah Furu’ tidak boleh menyebabkan terjadinya perpecahan dalam agama,
pertengkaran maupun kebencian.” Karena itu di antara mereka yang berbeda pendapat dalam
furu’ tidak boleh menganggap sesat, ahli bid’ah, atau mengkafirkan pihak lain. Tiap-tiap
mujtahid akan memperoleh pahalanya.
Khilaf dalam masalah fiqh furu’ (cabang) hendaknya tidak menjadi faktor pemecah belah agama,
kebencian dan permusuhan. Allah swt telah memerintahkan kepada hambaNya dalam Al Qur’an:
“ Hai orang-orang yangberiman,bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-
Nya. Janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.
Syahid Hasan Al-Banna berkata, “Setiap muslim yang belum mencapai derajat mampu meneliti
dalil-dalil hukum yang bersifat furu’ (detail) boleh mengikuti salah seorang imam agama.
Perkataanya, “Tingkat mampu menyelidiki,” maksudnya adalah tingkat ijtihad. Yakni tingkatan
yang tidak memperkenankan seorang muslim taklid dalam persoalan-persoalan agama, dan
mengharuskannya untuk secara mandiri mengambil hukum-hukum agama secara langsung dari
nash-nash sesuai dengan kaidah-kaidah yang telah disepakati dalam mengambil, menyimpulkan,
atau menggali hukum.
Ijtihad merupakan salah satu karakterustik syariat islam. Pintunya tidak akan ditutup kecuali
dengan datangnya hari kiamat. Adapun taklid, ia hanya merupakan kondisi darurat tempat orang-
orang awam (tingkat pemula) berlindung, sedangkan orang-orang yang terpelajar berusaha
membebaskan diri darinya.
Dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama ini suatu kesempitan (Al-Haj:78)
Adapun bidang dan ruang lingkup ijtihad adalah dalil-dalil hukum syari yang bersifat far’iy dan
ilmiah. Karena itu tidak berlaku ijtihad dalam maslah-maslah aqliyah, lughawiyah, maupun
persoalan-persoalan akidah yang berkaitan dengan pokok-pokok agama, seperti iman kepada
Allah, iman kepada para Rasul, iman kepada kitab-Nya, iman kepada hari akhir, iman kepada
qadha dan qadar, serta berbagai pokok akidah yang berkaitan dengannya. Ijtihad juga tidak
dilakukan dalam hal-hal yang dalilnya qathiy atau urusan agama yang sangat mendasar harus
diketaui dengan pasti, seperti : ibadah (shalat) lima waktu, zakat, puasa bulan Ramadhan, haji,
pengharaman zina, riba, minum khamr, dan hal-hal yang serupa itu.
Demikian itu karena persoalan-persoalan tersebut termasuk yang wajib diketahui, sesuai dengan
nash-nash yang berkaitan dengannya dan menjadi hal yang dimaksudkan olehnya. Orang yang
keliru di dalamnya dianggap berdosa. Selain itu jg tidak boleh taklid dalam masalah tersebut,
karena semua orang sama dalam memahami dan mengetahui hukumnya, sehingga taklid padanya
menjadi tidak berarti.
Adapun hal-hal selain itu berupa hukum-hukum yang tidak dapat diketahui kecuali dengan
pemeriksaan dan dalil, seperti: cabang-cabang ibadah dan muamalah, masalah kehormatan dan
pernikahan, serta hukum-hukum selain itu, yang apabila seseorang dengan ijtihadnya keliru,
maka ia tidak disebut berdosa. Inilah ruang lingkup ijtihad dan inilah yang dimaksud oleh imam
syahid Hasan Al-Banna dengan pernyataanya, “dalam dalil-dalil hukum far’iy”.
Implementasi Tema:
Permasalahan tentang sistem demokrasi di Indonesia apakah bagian dari aqidah atau bukan?
Bahwa demokrasi, partai politik, kekuasaan semuanya adalah sarana untuk melakukan dakwah
dalam rangka islamisasi lingkungan kita berada, merupakan bagian dari langkah-langkah
menerapkan aturan-aturan syari’at islam. beberapa pendapat ulama terkait hal itu serta contoh
nyata yang pernah ada dalam Negara Indonesia.
Hal-hal yang menyebabkan terjadinya ikhtilaf pada dasarnya dapat disimpulkan dan
dikelompokkan menjadi empat sebab utama sebagai berikut.
1. Perbedaan pendapat tentang valid tidaknya suatu teks dalil syar’i tertentu sebagai hujjah (tentu
saja ini tertuju kepada teks hadits, yang memang ada yang shahih dan ada yang dha’if, dan tidak
tertuju kepada teks ayat Al-Qur’an, karena seluruh ayat Al-Qur’an disepakati valid, shahih dan
bahkan mutawatir).
2. Perbedaan pendapat dalam menginterpretasikan teks dalil syar’i tertentu. Jadi meskipun suatu
dalil telah disepakati keshahihannya, namun potensi perbedaan dan perselisihan tetap saja
terbuka lebar. Dan hal itu disebabkan karena adanya perbedaan dan perselisihan para ulama
dalam memahami, menafsirkan dan menginterpretasikannya, juga dalam melakukan pemaduan
atau pentarjihan antara dalil tersebut dan dalil-dalil lain yang terkait.
3. Perbedaan pendapat tentang beberapa kaidah ushul fiqh dan beberapa dalil (sumber) hukum
syar’i (dalam masalah-masalah yang tidak ada nash-nya) yang memang diperselisihkan di antara
para ulama, seperti qiyas, istihsan, mashalih mursalah, ’urf, saddudz-dzara-i’, syar’u man
qablana, dan lain-lain.
4. Perbedaan pendapat yang dilatar belakangi oleh perubahan realita kehidupan, situasi, kondisi,
tempat , masyarakat, dan semacamnya. Oleh karenanya, di kalangan para ulama dikenal
ungkapan bahwa, suatu fatwa tentang hukum syar’i tertentu bisa saja berubah karena berubahnya
faktor zaman, tempat dan faktor manusia (masyarakat). Dan sebagai contoh misalnya, tentang
beberapa masalah dalam madzhab Imam Asy-Syafi’i rahimahullah dikenal terdapat qaul qadiim
(pendapat lama, yakni saat beliau tinggal di Baghdad Iraq) dan qaul jadiid (pendapat baru , yakni
setelah beliau tinggal di Kairo Mesir). Begitu pula dalam madzhab Imam Ahmad bin Hambal
rahimahullah, dikenal banyak sekali riwayat-riwayat yang berbeda-beda dari beliau tentang
hukum masalah-masalah tertentu.

Anda mungkin juga menyukai