Anda di halaman 1dari 2

Nama : Nahru Nizar

Studi Al Quran JURNAL 8 – Nasikh Mansukh

1. Seorang mufassir, Abu Muslim Al-Asbahani mengatakan : “Tidak ada nasakh dalam Al-
Qur’an”. Bagaimana tanggapan terhadap ucapan Abu Muslim Al-Ashfahani tersebut?

Jawab:

Pendapat Abu Muslim itu sangat lemah dan patut ditolak. Dan sangat mengada-ada dalam
memberikan jawaban berkenaan dengan terjadinya nasakh. Misalnya (pendapat) mengenai masalah
‘iddah seorang wanita yang berjumlah empat bulan sepuluh hari setelah satu tahun. Dia tidak dapat
memberikan jawaban yang diterima. Demikian halnya masalah pemmindahan Kiblat dari Baitul-Maqdis
ke Ka’bah, juga tidak memberikan jawaban sama sekali. Juga penghapusan kewajiban bersabar
menghadapi kaum kafir satulawan sepuluh menjadi satu lawan dua. Dan juga penghapusan (nasakh)
kewajiban membayar sedekah sebelum mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam. Dan lain-lain.

Menangapi perkataan Abu Muslim di atas, para ahli ushul berbeda pandangan, menjadi beberapa
kelompok:

1. Bahwa Abu Muslim menolak adanya naskh di dalam syari’at, namun dia membolehkannya
menurut akal.
Al-Amidi rahimahullah berkata: “Pengikut syari’at-syari’at telah sepakat atas bolehnya
naskh secara akal dan terjadinya secara syari’at, dan tidak ada yang menyelisihi di antara umat
Islam dalam hal itu kecuali Abu Muslim Al-Ashfahani. Dia menolak hal itu secara syara’ dan
membolehkannya secara akal ”.
Bahwa Abu Muslim menolak adanya naskh (yang mansukh) dalam ayat Al-Qur’an, menurut
akal, namun dia mengakui adanya di dalam syari’at. Muhammad bin Umar bin Al-Husain Ar-
Roozi (wafat 606 H) berkata: “Umat telah sepakat atas bolehnya naskh (di dalam) Al-Qur’an.
Namun Abu Muslim Al-Ashfahani mengatakan: “Tidak boleh”.
Jika memang kemungkinan 1 atau 2 ini pendapat Abu Muslim Al-Ashfahani, maka pendapatnya
tertolak dengan ijma’ dan dalil-dalil lainnya yang telah kami sampaikan.

2. Bahwa Abu Muslim tidak menolak adanya naskh, namun dia menamakannya dengan
“takhshiish zamaniy”. Yaitu bahwa hukum itu berlaku pada waktu yang dikhususkan sebelum
turunnya naasikh. Jika memang ini pendapat Abu Muslim Al-Ashfahani, maka dia hanyalah
menyelisihi penamaan, bukan menyelisihi hakekat adanya naskh. Ini berarti tidak ada satu
orangpun di kalangan ulama’ umat Islam yang mengingkari naskh dalam Al-Qur’an
Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah berkata: “Tidak diragukan bahwa
mengingkari naskh merupakan perkara yang rusak, dan bahwa adanya naskh boleh/mungkin
menurut akal –sebagaimana telah kami jelaskan, bahwa naskh tidak mengharuskan bada’
(nampaknya sesuatu terhadap Alloh yang sebelumnya samar). Demikian juga adanya naskh
nyata secara syara’, dalilnya adalah firman Allah.

Bagaimanapun juga, maka pendapat Abu Muslim di atas adalah pendapat yang sangat ganjil
di kalangan ulama Islam. Abul Husein Al-Bashri berkata: “Umat Islam telah sepakat tentang bagusnya
naskh syari’at-syari’at, kecuali satu hikayat ganjil dari sebagian umat Islam, bahwa naskh itu tidak
bagus”. [Al-Mu’tamad 1/370]
Nama : Nahru Nizar
Studi Al Quran JURNAL 8 – Nasikh Mansukh

2. Jika Rasulullah SAW yg melakukan nasikh, tentu berdasarkan wahyu yang dibawa oleh
Malaikat Jibril. sedangkan jika para ulama, apa dalil mereka melakukan nasikh?

Jawab:

Yang berhak melakukan Naskh adalah Allah melalui ayatNya dalam Al-Quran dan hadits, dalam
firmanNya Allah berfirman: “Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah
kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu " [Al-Baqarah:106]

Dan dalam menaskh suatu ayat atau hadits, ada beberapa syarat:

1. Dalil yang menasikh haruslah shahih.


2. Dalil yang menasikh harus jelas pendalilannya, jangan sampai ada kemungkinan makna lain.
3. Dalil yang menasikh turun lebih akhir daripada yang dimansukh.
4. Tidak boleh memakai qiyas dalam menaskh suatu dalill.

Jadi seorang ulama tidak berhak menasikh dengan ucapannya sendiri yang bertitik tolak dari
kenyataan atau logika misalnya. haruslah dia memiliki dalil dari Al-Quran dan atau hadits yang shahih.

Contoh nasikh dan mansukh adalah ayat-ayat pengharaman khamr.

1. Ayat yang menyebutkan bahwa khamr itu memiliki manfaat dan madharat namun
madharatnya lebih banyak daripada manfaatnya.
" Mereka bertanya kepadamu tentang khamar[136] dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya
terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih
besar dari manfaatnya". Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan.
Katakanlah: " Yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepadamu supaya kamu berfikir " [Al-Baqarah:219]
Ayat diatas tidak jelas mengharamkan, hanya saja menyebutkan bahaya dari khamr
dan dosa yang ditimbulkan.
2. Pengharaman khamr ketika hendak shalat saja,
" Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian shalat, sedang kalian dalam keadaan
mabuk, hingga kalian mengerti apa yang kalian ucapkan " [An-Nisa:43]
3. Pengharaman secara mutlak,
" “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah , adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka
jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”
“Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di
antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari
mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan
itu).”[Al-Maidah:90-91][136]. Segala minuman yang memabukkan.

Anda mungkin juga menyukai