Anda di halaman 1dari 37

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Konteks Penelitian


Pesantren adalah suatu lembaga yang aturan aturannya berpedoman pada ajaran
agama Islam. Target utama lembaga pendidikan berbasis agama Islam ini bukan hanya
semata mata mencari ilmu pengetahuan, namun menciptakan insan yang bertaqwa dan
diaplikasikan dalam perilaku sehari hari sesuai dengan ajaran Al-Quran, Hadits maupun
aturan yang ada di masyarakat. Di tengah semakin merosotnya moral bangsa, pesantren
menjadi salah satu lembaga yang berperan penting dalam membangun masyarakat agar
memiliki kecerdasan spiritual. Sebagaimana yang disebutkan A’la (2006, hlm. 8) bahwa
“Pesantren menjadi wadah dalam menyelamatkan kemerosotan moral di dunia global”
Mayoritas pesantren bersistem asrama, di mana santri akan hidup bersama dengan santri
lainnya dari berbagai daerah. Sehingga pembelajaran tidak hanya di ruang kelas, namun
juga tercipta di kehidupan sehari-hari dalam bangunan asrama.
Di sanalah proses kemandirian, pembentukan kepribadian dan sosialisasi
berlangsung. Namun, meski di lingkungan yang agamis, bukan berarti suatu hal yang
bertentangan dengan nilai agama maupun norma masyarakat tidak akan terjadi. Jika
dikaitkan dengan ilmu sosiologi, terdapat suatu konsep mengena ketidak sesuaian
perilaku masyarakat dengan kaidah normatif, yakni kajian mengenai penyimpangan
sosial. Fenomena tersebut tidak menutup kemungkinan terjadi di lingkungan pesantren.
Penelitian di Pondok Pesantren Al-Munawwariyyah menunjukkan bahwa prinsip-prinsip
pesantren mulai bergeser dikalangan santri karena terciptanya penyimpangan nilai-nilai.
Penyimpangan tersebut adalah berupa kenakalan remaja/ kenakalan santri. Di antara
bentuk-bentuk kenakalan remaja di pondok pesantren, antara lain kabur dari pondok,
berkelahi dengan teman, merokok, terlambat kembali ke pondok (Aminatuzzuhriyah,
2010).
Selain fenomena yang dipaparkan sebelumnya, terdapat perilaku negatif yang
telah menjadi budaya di lingkungan pesantren, yaitu ghasab. Ghasab merupakan tindakan
menggunakan barang milik orang lain tanpa seizin pemiliknya. Penggunaan barang
tersebut tidak dimaksudkan untuk menjadi kepemilikan tetap, hanya untuk memenuhi
keperluan sesaat. Setelah pengunaan selesai, barang di kembalikan lagi, meski tidak
selalu di tempat semula. Ghasab berbeda dengan mencuri, karena pelaku tidak berniat
untuk menjadikan barang yang ia pakai menjadi miliknya. Fenomena ghasab jika
2

dibiarkan akan menjadi cikal bakal perilaku korupsi. Karena berawal dari menganggap
wajar perilaku negatif hal-hal kecil.
Ghasab bukanlah sebuah fenomena baru di lingkungan pesantren. Di Pondok
Pesantren Al Mubarok Roudhotul Nur Ikhsan Kecamatan Poncokusumo Kabupaten
Malang, meski santri faham bahwa ghasab itu dilarang namun ghasab tetap terjadi,
karena perilaku tersebut telah menjadi tradisi. Penelitian Khoiriyah (2014) di Pondok
pesantren Al Luqmaniyyah Yogyakarta, bahwa ghasab terjadi karena 1) pola hubungan
interpersonal yang baik sesama santri menciptakan anggapan bahwa barang milik pribadi
di asrama telah menjadi milik bersama; 2) adanya mata rantai yang mengghasab akan
dighasab, hingga terus terjadi; 3) Jika santri dihadapkan pada kondisi yang situasional,
dia akan berperilaku ghasab, maka santri lainpun dihadapkan pada kondisi yang sama.
Kemudian dalam penelitian (Khaulani, 2015) diantara penyebab membudayanya ghasab
di lingkungan pesantren adalah pelaksanakan pendidikan akhlak di Pondok pesantren
Daarun Najaah Jerakah, Tugu, Semarang masih menggunakan metode pendidikan
tradisional yang cenderung hanya tertuju pada ranah kognitif, tanpa menyentuh ranah
afektif dan psikomotorik.
Jika ditinjau dari segi kaidah normatif, perilaku ghasab jelas tidak sesuai dengan
nilai yang ada dimasyarakat, karena adanya pihak yang dirugikan. Meski secara hukum
tertulis belum ada undang-undang yang mengatur perilaku tersebut. Kedudukan ghasab
terbilang menjadi hal yang unik. Ghasab tidak dapat disebut meminjam, karena tidak ada
akad peminjamannya. Ghasab juga tidak termasuk kategori mencuri karena tidak ada
unsur untuk dimiliki. Barang-barang yang sering dighasab adalah barang menjadi
kebutuhan primer di asrama. Seperti peralatan mandi, sandal, sepatu, piring, baju, sarung,
mukena dan sebagainya. Perilaku ghasab tidak mengenal waktu, selama pelaku
membutuhkan barang tersebut, akan tetap ia pakai. Ghasab juga tidak selalu didasari
unsur kesengajaan, namun ada suatu keadaan yang mengharuskan seseorang untuk
menggunakan barang yang bukan miliknya.
Lingkungan menjadi salah satu faktor ghasab terus menjamur di pesantren.
Beberapa contoh perilaku menyimpang di pesantren yang telah di ungkapkan
sebelumnya, bukan berarti mengindikasi bahwa lingkungan pesantren adalah wabah
penyimpangan. Hal tersebut bisa terjadi karena kehidupan berasrama melahirkan
hubungan kekeluargaan yang cukup kental sesama santri. Adanya ikatan kekeluargaan
dan emosional yang kuat yang bersifat paguyuban atau gemeinschaf. Menurut (Asnawi,
dkk 2012) kehidupan di ruang pesantren berbentuk gemeinschaf yakni hubungan yang
3

orientasi pada kehidupan bersama. Adapun dalam (Narwoko dan Suyanto, 2010)
gemeinschaf menjadikan sesama anggotanya memiliki hubungan batin yang murni,
alamiah, dan kekal. Kekeluargaan yang masih terjalin kuat di lingkungan pesantren
menjadikan tidak adanya batasan antar santri. Barang milik temannya akan dianggap
barang miliknya juga. Fenomena ghasab biasanya banyak terjadi di pesantren salaf atau
pesantren tradisional. Hal tersebut disebabkan karena pesantren salaf masih minim
fasilitas, sehingga santrinya saling mengandalkan barang milik temannya. Namun, yang
menjadi perhatian adalah ternyata budaya ghasab tidak hanya terjadi di pesantren salaf,
namun di pesantren khalaf atau pesantren modern tetap mewabah.
Pesantren modern idealnya adalah pesantren dengan bangunan dan fasilitas yang
lengkap dan memadai bagi santrinya. Salah satu pesantren modern dengan masih
mewabahnya budaya ghasab adalah Pondok Pesantren Al Mubarok Roudhotul Nur
Ikhsan Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang. Di pesantren tersebut, budaya
ghasab tak dapat dielakan, sudah menjadi mata rantai yang tidak terputus dan menular
kesantri lainnya. Padahal dari segi fasilitas sudah sangat lengkap untuk santri, karena
pesantren tersebut dipungut uang pangkal dan iuran perbulan bagi santrinya. Namun,
fasilitas yang lengkap tidak cukup menjadi penyokon kebutuhan santri untuk tidak
melakukan ghasab.

1.2. Fokus Penelitian

Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini menghasilkan rumusan masalah


sebagai berikut :

1. Bagaimana Fenomena Ghasab di Lingkungan Pondok Pesantren Al Mubarok


Roudhotul Nur Ikhsan Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang?
2. Apakah Faktor yang Memengaruhi Santri Melakukan Ghasab di Lingkungan
Pondok Pesantren Al Mubarok Roudhotul Nur Ikhsan Kecamatan Poncokusumo
Kabupaten Malang?
3. Bagaimana Upaya Pihak Pesantren Dalam Menanggulangi Fenomena Ghasab di
Lingkungan Pondok Pesantren Al Mubarok Roudhotul Nur Ikhsan Kecamatan
Poncokusumo Kabupaten Malang?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan fokus penelitian tersebut, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
4

1. Mengetahui Fenomena Ghasab di Lingkungan Pondok Pesantren Al Mubarok


Roudhotul Nur Ikhsan Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang.
2. Mengetahui Faktor yang Memengaruhi Santri Melakukan Ghasab di Lingkungan
Pondok Pesantren Al Mubarok Roudhotul Nur Ikhsan Kecamatan Poncokusumo
Kabupaten Malang.
3. Mengetahui Upaya Pihak Pesantren Dalam Menanggulangi Fenomena Ghasab di
Lingkungan Pondok Pesantren Al Mubarok Roudhotul Nur Ikhsan Kecamatan
Poncokusumo Kabupaten Malang.
5

BAB II
LANDASAN TEORI

2.1. Pengertian Ghasab

Dalam pemahaman yang umum dikenal, ghasab adalah suatu tindakan mengambil
atau menggunakan sesuatu yang bukan haknya tanpa seizin si pemilik. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia kata “ghasab” berarti ”mempergunakan milik orang lain secara tidak sah
untuk kepentingan sendiri”. Pada kajian ilmu fikih sendiri, ada beberapa pengertian tentang
ghasab yang dikemukakan oleh ulama. Pertama, menurut Mazhab Maliki, ghasab adalah
mengambil harta orang lain secara paksa dan sewenang-wenang, bukan dalam arti
merampok. Definisi ini membedakan antara mengambil barang dan mengambil manfaat.
Menurut mereka, perbuatan sewenang-wenang itu ada empat bentuk, yaitu: 1) Mengambil
harta tanpa izin –mereka menyebutnya sebagai ghasab, 2) Mengambil manfaat suatu benda,
bukan materinya –juga dinamakan ghasab, 3) Memanfaatkan suatu benda sehingga merusak
atau menghilangkannya, seperti membunuh hewan, yang bukan miliknya tidak termasuk
ghasab, 4) Melakukan suatu perbuatan yang menyebabkan rusak atau hilangnya milik orang
lain –tidak termasuk ghasab, tapi disebut ta’addi.

Sedangkan ulama Mazhab Hanafi menambahkan definisi ghasab dengan kalimat


”dengan terang-terangan” untuk membedakannya dengan pencurian, karena pencurian
dilakukan secara diam-diam atau sembunyisembunyi. Tapi ulama Mazhab Hanafi tidak
mengkategorikan dalam perbuatan ghasab jika hanya mengambil manfaat barang saja.

Ulama Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali memiliki definisi yang lebih bersifat
umum dibanding kedua definisi sebelumnya. Menurut mereka ghasab adalah penguasaan
terhadap harta orang lain secara sewenang-wenang atau secara paksa tanpa hak. Ghasab tidak
hanya mengambil materi harta tetapi juga mengambil manfaat suatu benda.

Dari ketiga definisi di atas, yang penulis gunakan adalah perpaduan dari ketiganya.
Sehingga ghasab merupakan penguasaan terhadap harta orang lain secara sewenang-wenang
atau secara paksa tanpa hak, bukan dalam pengertian merampok maupun mencuri, baik itu
mengambil materi harta atau mengambil manfaat suatu benda.
6

Gambaran yang lebih konkrit perihal fenomena ghasab di Lingkungan Pondok


Pesantren Al Mubarok Roudhotul Nur Ikhsan Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang
sendiri yaitu seringnya para santri mempergunakan barang yang bukan miliknya yang ada di
lingkungan pesantren tanpa meminta izin. Entah itu barang milik santri Lingkungan Pondok
Pesantren Al Mubarok Roudhotul Nur Ikhsan Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang
sendiri maupun tamu. Biasanya jenis barangnya berupa barang-barang kecil yang jadi
kebutuhan sehari-hari. Misalnya alas kaki, helm, peralatan mandi, juga buku. Kalau si
pemilik barang ada di tempat, biasanya mereka baru meminta izin. Atau sebaliknya, mereka
pakai dulu barangnya tanpa izin, belakangan kalau bertemu pemiliknya baru mereka minta
izin. Tapi hal itu mencerminkan tindakan yang penuh kesewenangan, dan hal inilah yang
sebenarnya menjadi dasar utama tindakan tersebut dikategorikan ghasab.

2.2. Budaya atau Adat Kebiasaan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia “budaya” diartikan sebagai “pikiran, akal budi,
atau adat istiadat”, sedangkan kata “membudaya” mempunyai maksud “menjadi kebudayaan
atau menjadi kebiasaan yang dianggap wajar; mendarah daging”. Sehingga fenomena ghasab
yang ada di Lingkungan Pondok Pesantren Al Mubarok Roudhotul Nur Ikhsan Kecamatan
Poncokusumo Kabupaten Malang bisa dikatakan sebagai sebuah fenomena budaya yang telah
membudaya, karena sudah menjadi kebiasaan dan dianggap sebagai sesuatu yang wajar pada
lingkup lingkungan tersebut.

Sikap dan perilaku manusia yang menjadi akhlak sangat erat sekali dengan
kebiasaannya. Seperti halnya pengertian akhlak yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Ahmad
Amin bahwa akhlak itu adalah membiasakan kehendak. Banyak sebab yang menjadikan adat
kebiasaan antara lain sebab kebiasaan yang sudah ada sejak nenek moyangnya, sehingga dia
menerima sebagai sesuatu yang sudah ada kemudian melanjutkannya karena peninggalan
orang tuanya; mungkin juga karena melalui tempat dia bergaul yang membawa dan memberi
pengaruh kuat dalam kehidupannya sehari-hari.

Disamping itu ada dua faktor penting yang melahirkan adat kebiasaan itu: Pertama,
karena adanya kecenderungan hati kepada perbuatan itu, dia merasa senang untuk
melakukannya, dengan lain perkataan dia tertarik oleh sikap dan perbuatan tersebut.
Walaupun, mungkin perbuatan tersebut tidak sesuai/melanggar norma-norma yang ada.
Kedua, diperturutkannya kecenderungan hati itu dengan praktek yang diulang-ulang,
sehingga menjadi biasa. Di antara dua faktor ini, yang kedua itulah yang sangat menentukan,
7

sebab walaupun ada kecenderungan hati untuk melakukannya, tapi apabila tidak ada
kesempatan untuk berbuat, semisal ada pencegahan atau halangan, maka kecenderungan itu
tidak akan terturutkan. Sebaliknya mungkin asalnya tidak ada kecenderungan hati untuk
melakukannya, atau mungkin pertama kali dipaksakannya untuk berbuat, sedikit demi sedikit
dia mengenalnya dan apabila terus menerus dilakukannya, kebiasaannya itu akan memberi
pengaruh juga kepada perasaan hatinya, karena terbiasa.

Apabila adat kebiasaan (budaya) telah lahir pada seseorang atau masyarakat, maka ia
mempunyai sifat-sifat antara lain :20 1) Mudah mengerjakan pekerjaan yang sudah diadatkan
itu. Seperti orang yang sudah membiasakan shalat pada waktunya, akan mudah
melaksanakannya, kalau tidak melaksanakan akan terasa tidak enak. Sangat membahayakan
bila kebiasaan itu berupa kebiasaan yang buruk. 2) Kurang/tidak memakan waktu dan
perhatian dari waktu sebelum diadatkannya. Sering disebut oleh para ahli ethika, bahwa adat
kebiasaan itu adalah tabiat yang kedua, artinya pengaruh adat kebiasaan itu hampir sama
kuatnya dengan tabiat manusia pembawaan dari lahir.

Banyak manusia yang terbiasa dengan kebiasaan-kebiasaan yang memberi madlarat,


baik terhadap dirinya maupun terhadap orang lain. Adat kebiasaan ini wajib untuk diubah,
diganti dengan kebiasaankebiasaan yang sesuai dengan tujuan manusia sebenarnya, yaitu
kebahagiaan dunia dan akhirat. Cara mengubah adat kebiasaan, menurut para ahli etika antara
lain dengan : 1) Harus ada niat yang teguh dan kemauan yang keras untuk mengganti
kebiasaan yang lama dengan kebiasaan yang baru. 2) Harus ada keyakinan akan kebaikan
kebiasaan yang baru. 3) Daya penolak yang ada terhadap adat kebiasaan yang lama dan daya
penarik/pendorong terhadap adat kebiasaan yang baru harus selalu dihidup-hidupkan. 4)
Harus selalu mempergunakan kesempatan yang baik untuk melaksanakan adat kebiasaan
yang baru. 5) Harus berusaha jangan sekali-kali menyalahi adat kebiasaan yang baru.

2.3. Akhlak (Etika)

Walaupun dalam skripsi ini meneliti tentang ghasab sebagai fenomena yang terjadi di
Lingkungan Pondok Pesantren Al Mubarok Roudhotul Nur Ikhsan Kecamatan Poncokusumo
Kabupaten Malang, namun permasalahan sebenarnya yang diteliti adalah tentang akhlak.
Maka sangat penting dalam landasan teori ini mengkaji tentang akhlak atau etika. Pada
umumnya orang menyamakan akhlak dengan etika. Namun, dalam keterangan yang dirujuk
dari buku Sistematika Filsafat karya Sidi Ghazalba, di sana dibedakan antara istilah akhlak
8

dengan etika. Etika ialah teori tentang laku-perbuatan manusia dipandang dari nilai baik dan
buruk, sejauh yang dapat ditentukan akal.

Sedangkan akhlak merupakan ajaran tentang laku-perbuatan manusia, dipandang dari


nilai baik dan buruk, menurut yang digariskan agama. Tiap agama mempunyai akhlaknya
sendiri. Sebagai istilah Islam, akhlak dapat didefinisikan sebagai ajaran tentang laku-
perbuatan manusia, dipandang dari al-ahkam al-khamsah menurut yang digariskan oleh
syari’at.

Jadi, kalau melihat pengertian kedua istilah di atas, ada perbedaan tentang sumber
nilai yang digunakan pada masing-masing istilah. Kalau etika didasarkan atas akal sedangkan
akhlak didasarkan atas agama. Akhlak lahir atas garis-garis agama yang berasal dari Tuhan
sedangkan etika lahir dari proses pergaulan hidup sesama manusia. Dalam akhlak diatur tata-
cara dan tata-nilai hubungan antara manusia dengan Tuhannya, dengan sesama manusia, serta
dengan alam; sedangkan etika lebih mengatur bagaimana tata-nilai antara sesama manusia.

Poedjawiyatna berpandangan bahwa dalam kajian etika manusia merupakan obyek


materialnya. Sedangkan obyek formalnya yaitu segala tindakan manusia yang berhubungan
dengan baik dan buruk yang disengaja. Tindakan tersebut bisa sangat luas sekali ruang
lingkupnya. Bisa menyangkut hubungan manusia dengan diri sendiri, dengan orang lain,
maupun dengan alam. Namun, yang perlu digaris-bawahi bahwa semua tindakan dalam ruang
lingkup tersebut dikatakan bernilai akhlak jika dilakukan dengan disengaja atau penuh
kesadaran. Sehingga jika seseorang melakukan suatu perbuatan, namun ia tidak sadar atau
tidak sengaja, maka hal itu tidak bisa dikatakan sebagai akhlaknya.

Sebagai contoh adalah tindakan orang gila atau orang yang sedang mabuk, tindakan
mereka di luar kesadaran. Begitu juga tindakan anak-anak dalam bermain yang menyebabkan
kerusakan. Ia tidak tahu akibat tindakannya. Kerusakan yang terjadi tidak disengajanya.
Demikianlah tindakan yang tidak disadari atau tidak disengaja tidak masuk dalam hukum
akhlak. Ia tidak dapat dihukum baik atau buruk. Sedangkan sebagai contoh dilapangan, jika
santri PPS Al-Muhsin melakukan tindakan ghasab dan hal itu dilakukan dengan sengaja serta
dalam keadaan sadar, maka hal itu sudah dinamakan akhlak yang dapat dinilai baik atau
buruk walaupun itu hanya dilakukan sekali saja. Jika tindakan tersebut dilakukan berkali-kali
dan berulang, maka perbuatan tersebut sudah membudaya atau menjadi budaya dalam
kehidupan sehari-hari.

2.4. Pendidikan Akhlak


9

Betapa pentingnya kedudukan akhlak ini dalam pendidikan Islam terlihat dari ayat-
ayat al-Qur’an yang membahas mengenai arti penting akhlak ini dalam 1.504 ayat atau
hampir seperempat al-Qur’an. Melihat pentingnya kedudukan akhlak tersebut, maka sudah
seharusnya lembaga pendidikan, apapun itu jenis dan jenjangnya, untuk membekali para
murid dengan pendidikan akhlak, sehingga diharapkan mereka tidak hanya menjadi generasi
penerus yang menguasai spesifikasi ilmu pengetahuan tertentu, akan tetapi juga memiliki
akhlak yang mulia. Berkenaan dengan ruang lingkup akhlak, Muhammad Abdullah al-Darraz
membaginya ke dalam lima bagian, yaitu: 1) Akhlak Pribadi 2) Akhlak Berkeluarga 3)
Akhlak Bermasyarakat 4) Akhlak Bernegara 5) Akhlak Beragama

2.5. Tujuan Pendidikan Akhlak

Tujuan pendidikan Islam di manapun memiliki kesamaan, yaitu perwujudan nilai-nilai


ideal yang terbentuk dalam pribadi manusia, yang berbeda hanya metode dan sistemnya.
Secara khusus tujuan pendidikan akhlak dikemukakan oleh para ahli pendidikan akhlak
diantaranya adalah Dr. Ali Abdul Halim. Menurutnya tujuan pendidikan adalah : 1)
Mempersiapkan mukmin shalih yang menjalani kehidupan dunianya dengan menaati hokum
halal dan haram Allah. 2) Mempersiapkan manusia beriman yang beramal shalih. 3)
Mempersiapkan miukmin shalih yang baik interaksi sosialnya dengan sesame kaum muslim
maupun dengan kaum non muslim. 4) Mempersiapkan mukmin shalih yang merasa bahwa
dirinya bagian dari umat Islam multi wilayah dan bahasa sehingga ia selalu siap
melaksanakan tugas-tugas keumatan selama ia mampu. 5) Mempersiapkan mukmin shalih
yang bangga berintima’ kepada agama Islam, berjuang sedapat mungkin dengan
mengorbankan harta, jabatan, waktu dan jiwanya demi keluhuran agamanya untuk memimpin
dan demi aplikasi syari’at Islam oleh kaum muslim.

Menurut Ibnu Qoyyim, tujuan pendidikan akhlak adalah “…merealisasikan ubudiyah


kepada Allah”, artinya sumber kebahagiaan manusia sekaligus tujuan diciptakannya manusia
sebagai khalifah yang telah dikaruniai berbagai macam potensi untuk memakmurkan bumi ini
mengandung konsekuensi penghambaan dalam bentuk ketentuan atau petunjuk beribadah
yang harus dilaksanakan dengan landasan iman yang sempurna, yaitu iman yang bermuara
pada internalisasi nilai-nilai yang ada dalam ajaran Islam. Pada prinsipnya tujuan pendidikan
akhlak bermuara pada pengaplikasian nilai ajaran agama.

2.6. Pembinaan Akhlak Terhadap Perilaku “Mencuri-curi”


10

Terdapat perbedaan pendapat mengenai usaha yang dilakukan dalam pembinaan


akhlak. Ada yang berpendapat bahwa usaha pendidikan akhlak itu sia-sia belaka, dengan
alasan akhlak adalah karakter yang bersifat alamiah sehingga ia akan melekat selamanya dan
tidak dapat diubah. Namun, ada juga yang berpendapat, dan saya cenderung pada pendapat
ini, bahwa pendidikan akhlak wajib dilakukan karena akhlak adalah karakter alamiah yang
dapat berubah, baik itu secara cepat atau lambat melalui disiplin dan nasehat-nasehat yang
mulia.

Kalau melihat kenyataan Lingkungan Pondok Pesantren Al Mubarok Roudhotul Nur


Ikhsan Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang terdapat ironi bahwa permasalahan
akhlak ternyata juga muncul pada orang atau masyarakat yang memiliki agama. Santri masih
mau mengambil/menggunakan/”mencuri-curi” barang milik orang lain padahal jelas-jelas
bahwa perbuatan tersebut melanggar norma agama. Sedang pada masyarakat barat yang
notabene tidak begitu mengenal agama dalam kehidupan keseharian dan tidak memiliki
konsep akhlak, namun mereka sangat menghargai hak orang lain. Perilaku mereka
mencerminkan pada akhlak yang luhur. Mereka memiliki rasa tanggung-jawab sosial yang
tinggi saat berinteraksi dalam masyarakat, yang sebenarnya dalam akhlak Islam juga
diajarkan seperti itu. Ternyata dalam proses interaksi sosial mereka memiliki etika dan
menjujunjung tinggi nilai-nilai dalam etika mereka.

Maka seharusnya, bercermin pada wajah kehidupan masyarakat barat tadi,


permasalahan akhlak yang terjadi di Lingkungan Pondok Pesantren Al Mubarok Roudhotul
Nur Ikhsan Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang dapat diatasi. Asalkan mereka
(santri) memiliki rasa tanggung-jawab dan disiplin yang tinggi. Perlu ditanamkan etika di
kalangan santri Al-Muhsin, sebagai usaha dalam proses pembinaan akhlak terhadap perilaku
“mencuri-curi” tadi. Dalam etika ditumbuhkan tanggung-jawab. Tanggung-jawab terhadap
diri sendiri, keluarga, masyarakat serta sesama manusia. Dengan pertimbangannya tentang
yang baik dan buruk, ukuran-ukuran yang digariskannya serta keterangan tentang ukuran itu,
etika mempengaruhi tindakan. Turunan dari bentuk tanggung-jawab adalah adanya kewajiban
dan hak pada masing-masing individu.

Keseimbangan antara hak dan kewajiban akan tercipta rasa keadilan. Untuk
mewujudkan itu maka pada diri pribadi perlu ditumbuhkan sikap disiplin. Semua itu harus
ada dasar yang benar untuk melandasi proses pendidikan akhlak tersebut. Ali Abdul Halim
Mahmud mengungkapkan bahwa dasar pendidikan akhlak bagi seorang muslim adalah
11

akidah yang benar terhadap alam dan kehidupan, karena akhlak tersarikan dari akidah dan
pancaran darinya.38 Selanjutnya menurut beliau bahwa penyelewengan terhadap akhlak yang
telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, tidak mungkin terjadi bila tidak ada kesalahan
dalam berakidah, baik kepada Allah, malaikat, rasul, kitab-kitabNya maupun hari akhir.
Maka akidah harus dijadikan dasar pendidikan akhlak manusia.

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif dengan
mengambil lokasi di Pondok Pesantren Al Mubarok Roudhotul Nur Ikhsan Kecamatan
Poncokusumo Kabupaten Malang. Penelitian ini merupakan penelitian kualitaif yaitu
lebih menekankan realitas sosial sebagai sesuatu yang utuh, kelompok, dinamis, dan
bersifat interaktif, untuk meneliti kondisi obyektif yang alamiah. Data yang diperoleh
dapat berbentuk kata, gambar, kalimat, skema atau gambar. 1 Oleh karena itu penggunaan
pendekatan kualitatif dalam penelitian ini adalah dengan mencocokkan antara realita
empirik dengan teori yang berlaku dengan menggunakkan metode diskriptif.

Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan fenomenologis.


Pendekatan fenomenologis secara konseptual adalah sebuah studi penampakan dalam
obyek, peristiwa, atau kondisi dalam persepsi individu penampakan dalam obyek,
peristiwa, atau kondisi dalam persepsi individu.2 Pendekatan ini digunakan untuk
mengetahui Fenomena Ghasab di Lingkungan Pondok Pesantren Al Mubarok Roudhotul
Nur Ikhsan Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang. Menurut Keirl dan Miller
dalam Moleong yang dimaksud dengan penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam
ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada
manusia pada kawasannya sendiri, dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam
bahasanya dan peristilahannya.

1
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, R&D (Bandung : Alfabeta, 2008)
hal. 399.
2
Turnomo Raharjo, Menghargai Perbedaan Kultur , (Pustaka Pelajar, Yogyakarta ; 2005) hal. 2.
12

3.2. Lokasi Penelitian

Lokasi yang menjaadi obyek penelitian adalah di Lingkungan Pondok Pesantren Al


Mubarok Roudhotul Nur Ikhsan Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang. Pondok
Pesantren Al Mubarok Roudhotul Nur Ikhsan Kecamatan Poncokusumo Kabupaten
Malang adalah lembaga pendidikan pondok pesantren yang terletak di desa Wonomulyo
kecamatan Poncokusmo Kabupaten Malang, sebagai lembaga pendidikan yang menjadi
kepercayaan masyarakat setempat dan masyarakat sekitar untuk menitipkan putra putri
mereka dalam menimba ilmu pengetahuan.

3.3. Sumber Data

Data merupakan hal yang akurat untuk mengungkap suatu permasalahan data juga
sangat diperlukan untuk menjawab masalah penelitian. Cara untuk memperolehnya,
maka dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu : Pertama, data primer yaitu data yang
langsung dikumpulkan peneliti (dari petugas-petugasnya) atau sumber pertama.3Yang
kedua data
sekunder, yaitu : data yang biasanya telah disusun dalam bentuk dokumendokumen.4

Untuk lebih jelasnya maka dapat dilihat di bawah ini:

a. Data Primer
Data yang dikumpulkan langsung dari informen (obyek) melalui wawancara
langsung, yang telah memberikan informasi tentang dirinya dan pengetahuannya.
Orang-orang yang masuk dalam kategori ini adalah mereka yang mengetahui tentang
Fenomena Ghasab di Lingkungan Pondok Pesantren Al Mubarok Roudhotul Nur
Ikhsan Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang, dan pengembangan pendidikan
Islam di sekolah. Dalam penelitian ini sumber informasi lapangan diperoleh dari
observasi dan wawacara dengan kepala sekolah, guru, staf-staf sekolah dan siswa
siswi di Pondok Pesantren Al Mubarok Roudhotul Nur Ikhsan Kecamatan
Poncokusumo Kabupaten Malang Data Sekunder
Data yang diperoleh peneliti dengan bantuan bermacam-macam tulisan
(literature) dan bahan-bahan dokumen. Literature dan dokumen dapat memberikan
banyak informasi tentang bagaimana strategi guru pendidikan agama islam serta
3
Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Raja Grafindo Persada, Jakarta: 1998). hal. 22.
4
Ibid,, hal. 85.
13

implikasi dalam Fenomena Ghasab di Lingkungan Pondok Pesantren Al Mubarok


Roudhotul Nur Ikhsan Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang.

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Untuk menentukan data yang akan dipergunakan, maka dibutuhkan teknik


pengumpulan data agar bukti-bukti dan fakta-fakta yang diperoleh berfungsi sebagai data
objektif.

Adapun metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini ada tiga
yakni: observasi (observation), wawancara (interview), dan dokumentasi
(dokumentation). Metode tersebut akan dijelaskan sebagai berikut :

1. Observasi (Observation)
Observasi merupakan proses yang kompleks, tersusun dari aspek psikologis
dan biologis.5 Pengumpulan data melalui observasi (pengamatan langsung) dibantu
dengan alat instrumen. Peneliti secara lansung melihat dengan mata kepala sendiri
apa yang terjadi, mendengarkan dengan telinga sendiri. Lihat dan dengar, catat apa
yang dilihat, didengar termasuk apa yang ia katakan, pikirkan dan rasakan.6
Observasi adalah merupakan suatu teknik atau cara mengumpulkan data
dengan jalan mengadakan pengamatan terhadap kegiatan yang sedang berlangsung.
Observasi dapat dilakukan secara partisipatif atau nonpartisipatif. Dalam observasi
partisipatif (participatory observation), pengamat ikut serta dalam kegiatan yang
sedang berlangsung. Sedangkan dalam observasi nonpartisipatif (nonparticipatory
observation), pengamat tidak ikut serta dalam kegiatan, dia hanya berperan
mengamati kegiatan.7 Hal-hal yang di obsevasi adalah Fenomena Ghasab di
Lingkungan Pondok Pesantren Al Mubarok Roudhotul Nur Ikhsan Kecamatan
Poncokusumo Kabupaten Malang. Dengan bertujuan untuk memperoleh data riil
tentang lokasi penelitian, lingkungan sekolah, sarana dan prasarana. Juga peneliti
akan memperoleh sebuah datadata konkrit seperti : profil umum, sejarahnya, tujuan
5
Husaini Usman, Metodelogi Penelitian Sosial (Cet. II; Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hal. 54.
6
Nasution, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif (Cet. I; Bandung: Thersito, 2003), hal. 57.
7
Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2007), hal. 220.
14

yang ingin dicapai, keadaan guru dan tenaga pengajar, keadaan siswa, sarana
prasarana.
2. Wawancara (Interview)
Menurut kontjaraningrat,8 Teknik wawancara secara umum dapat dibagi ke
dalam dua golongan besar, yaitu wawancara berencana (standardized interview) dan
wawancara tak berencana (unstandirdizedinterview).
a. Wawancara berencana atau berstruktur adalah wawancara yan dilakukan dengan
didasarkan pada suatu daftar pertanyaan yang telah direncanakan dan disusun
sebelumnya, dengan cara terjuan ke lapangan dengan berpedoman pada sebuah
interview guide sebagai alat bantu. Wawancara yang memuat unsur-unsur pokok
yang ditelusuri, pada peranan pendidikan islam. Yakni khususnya guru sebagai
pelaksana pendidikan islam.9 sehingga data diperoleh secara lisan dari guru-guru
atau narasumber terkait, siswa-siswa dan semua informen dalam kepentingan
penelitian ini.
b. Wawancara tak berencana atau bebas dan mendalam (in-depth) adalah
wawancara yang dilakukan dengan tak mempunyai suatu persiapan sebelumnya
dengan suatu daftar pertanyaan susunan kata dan tata urut tetap yang harus
dipatuhi oleh peneliti secara ketat, atau dengan kata lain proses wawancara
dibiarkan mengalir asalkan memenuhi tujuan penelitian. Cara ini dianggap
bermanfaat di dalam menelusuri permasalahan lebih mendalam. Untuk lebih
mempertajam analisis terhadap data saat dilakukan penelusuran di lapangan.
Pada penelitian ini peneliti menggunakan teknik wawancara tak berencana
atau bebas dan mendalam, alasan penggunaan teknik wawancara ini adalah untuk
memperoleh informasi yang lebih mendalam tentang Fenomena Perilaku
Merokok Siswa di Fenomena Ghasab di Lingkungan Pondok Pesantren Al
Mubarok Roudhotul Nur Ikhsan Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang,
maka dengan demikian, melalui wawancara tak berencana atau bebas dan
mendalam (indepth) ini diharapkan dapat benar-benar menggali informasi akan di
teliti.
3. Dokumentasi (Documentation)

8
Kontjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat (Cet: III. Jakarta, Gramedia. 1991). hal.
138-139.
9
Kerhaigar FN, Azas-azas Penelitian Behavioral (Cet. I; Gajah Mada University Press, 1992), hal.
767.
15

Dalam menggunakan teknik ini, penelitian yang dilakukan oleh peneliti


dimungkinkan memperoleh beragam sumber data tertulis atau dokumen, baik melalui
literatur, jurnal, maupun dokumen resmi dari nara sumber yang berkaitan dengan
penelitian. Walaupun demikian bahan dokumen juga perlu mendapat perhatian
karena hal tersebut memberikan manfaat tesendiri seperti: sumber-sumber dan jurnal
yang terkait dalam pengembangan penelitian sehingga berimplikasi pada Fenomena
Ghasab di Lingkungan Pondok Pesantren Al Mubarok Roudhotul Nur Ikhsan
Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang.

3.5. Teknik Analisis Data


Analisis data adalah sebuah proses yang dilakukan melalui pencatatan, penyusunan,
pengolahan dan penafsiran serta menghubungkan makna data yang ada dalam kaitannya
dengan masalah penelitian.10 Data yang telah diperoleh diperoleh melalui wawancara,
observasi dan dokumentasi maka peneliti melakukan analisis melalui pemaknaan atau
proses interprestasi terhadap data-data yang telah diperolehnya. Analisis yang dimaksud
merupakan upaya mencari dan menata secara sistematis catatan hasil observasi,
wawancara dan dokumentasi untuk meningkatkan pemahaman peneliti tentang persoalan
yang diteliti dan menyajikan sebagai temuan lapangan bagi orang lain.
Teknik analisis ini bertujuan untuk menetapkan data secara sistematis, catatan hasil
observasi, wawancara dan lain-lainya berfungsi untuk meningkatkan pemahaman tentang
kasus yang diteliti yang menyajikannya, sebagai temuan bagi orang lain. Sedangkan
untuk meningkatkan pemahaman tersebut analisis perlu di lanjutkan dengan berupaya
mencari makna.11
Analisis data ini meliputi kegiatan pengurutan dan pengorganisasian data, pemilihan
menjadi satuan-satuan tertentu, sintesis data, pelacakan pola serta penentuan apa yang
harus dikemukakan pada orang lain. Proses analisis data disini peneliti membagi menjadi
tiga komponen, antara lain sebagai berikut :
1. Reduksi Data
Reduksi data adalah suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan,
membuang yang tak perlu, dan mengorganisasikan data sedemikian rupa sehingga
diperoleh kesimpulan akhir dan diverivikasi. Laporan-laporan direduksi, dirangkum,

10
Nana Sudjana & Awal Kusumah, Proposal Penelitian di Perguruan Tinggi, (Bandung: PT Sinar
Baru Algensindo, 2000), hal. 89
11
Noeng Muhajir, Metode Penelitian Kualitatif, (Rake Sarasen, Yogyakarta: 1996), hal.104.
16

dipilih hal-hal pokok, difokuskan. Mana yang penting dicari tema atau polanya dan
disusun lebih sistematis.12
Reduksi data berlangsung terus menerus selama penelitian berlangsung.
Peneliti mengumpulkan semua hasil penelitian yang berupa wawancara, foto-foto,
dokumen-dokumen sekolah serta catatan penting lainya yang berkaitan dengan
Fenomena Ghasab di Lingkungan Pondok Pesantren Al Mubarok Roudhotul Nur
Ikhsan Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang. Selanjutnya, peneliti memilih
data-data yang penting dan menyusunnya secara sistematis dan disederhanakan.
Miles dan Huberman mengatakan bahwa penyajian data dimaksudkan untuk
menemukan pola-pola yang bermakna serta memberikan kemungkinan adanya
penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data dalam penelitian ini
dimaksudkan untuk menemukan suatu makna dari data-data yang sudah diperoleh,
kemudian disusun secara sistematis dari bentuk informasi yang kompleks menjadi
sederhana tetapi selektif.
Data yang sudah disederhanakan selanjutnya disajikan dengan cara
mendikripsikan dalam bentuk paparan data secara Naratif. Dengan demikian di
dapatkan kesimpulan sementara yang berupa temuan penelitian yakni berupa
indikator-indikator Fenomena Ghasab di Lingkungan Pondok Pesantren Al Mubarok
Roudhotul Nur Ikhsan Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang.
2. Penyajian Data (Data Display)
Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah mendisplaykan data
atau menyajikan data. Dengan mendisplaykan data atau menyajikan data, maka akan
memudahkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya
berdasarkan apa yang telah difahami tersebut.
3. Penarikan Kesimpulan
Menarik kesimpulan selalu harus mendasarkan diri atas semua data yang
diperoleh dalam kegiatan penelitian. Dengan kata lain, penarikan kesimpulan harus di
dasarkan atas data, bukan atas angan-angan atau keinginan peneliti.
Kesimpulan dilakukan secara terus menerus sepanjang proses penelitian
berlangsung, yaitu pada awal peneliti mengadakan penelitian Fenomena Ghasab di
Lingkungan Pondok Pesantren Al Mubarok Roudhotul Nur Ikhsan Kecamatan
Poncokusumo Kabupaten Malang. dan selama proses pengumpulan data. Dengan
bertambahnya data melalui proses verifikasi secara terus menerus akan diperoleh
12
Nasution, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif (Cet. I; Bandung: Thersito, 2003), hal. 129.
17

kesimpulan yang bersifat menyeluruh. Dengan demikian, peneliti melakukan


kesimpulan secara terus menerus akan diperoleh kesimpulan yang bersifat
menyeluruh. Dengan demikian, peneliti melakukan kesimpulan secara terus-menerus
selama penelitian berlangsung.

3.6. Pengecekan Keabsahan Data


Untuk memenuhi keabsahan data tentang Fenomena Ghasab di Lingkungan Pondok
Pesantren Al Mubarok Roudhotul Nur Ikhsan Kecamatan Poncokusumo Kabupaten
Malang, Peneliti menggunakan beberapa teknik sebagai berikut:
1. Perpanjangan Keikutsertaan
Perpanjangan keikutsertaa yang dilakukan peneliti pada waktu pengamatan di
lapangan akan memungkinkan peningkatan kepercayaan data yang dikumpulkan,
karena dengan perpanjangan keikutsertaan, peneliti akan banyak mendapatkan
informasi, pengalaman, pengetahuan, dan dimungkinkan peneliti bisa menguji
kebenaran informasi yang diberikan oleh distorsi, baik yang berasal dari diri sendiri
maupun dari responden serta membangun kepercayaan subjek yang diteliti.13
2. Ketekunan Pengamatan
Ketekunan pengamatan bermaksud untuk menemukan ciri-ciri dan unsur-
unsur dalam situasi yang dicari, kemudian memusatkan hal-hal tersebut secara rinci.
Dalam hal ini peneliti mengadakan pengamatan dengan teliti dan rinci serta
berkesinambungan terhadap faktor-faktor yang menonjol, kemudian peneliti
menelaahnya secara rinci sehingga seluruh faktor mudah dipahami.14
3. Triangulasi
Tringgulasi maksudnya data yang diperoleh dibandingkan, diuji dan di seleksi
keabsahanya.15 Teknik trianggulasi yang digunakan ada dua cara yaitu pertama
menggunakan trianggulasi dengan sumber yaitu membandingkan dengan mengecek
balik kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang
berbeda dalam penelitian kualitatif. Kedua Peneliti menggunakan teknik
pengumpulan data yang berbeda untuk mendapatkan data dari sumber yang sama.
Teknik trianggulasi yang dilakukan peneliti membandingkan data atau
keterangan yang diperoleh dari responden sebagai sumber data dengan dokumen-

13
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif , hal 175.
14
Ibid. hal. 177
15
Ibid. hal. 330
18

dokumen dan realita yang ada disekolah. Teknik ini bertujuan untuk mengetahui
Fenomena Ghasab di Lingkungan Pondok Pesantren Al Mubarok Roudhotul Nur
Ikhsan Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang
19

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Fenomena Ghasab di Lingkungan Pondok Pesantren Al Mubarok Roudhotul Nur


Ikhsan Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang

Ghasab merupakan perilaku menggunakan barang milik orang lain tanpa seizin
pemiliknya. Fenomena ghasab sudah sering terjadi di Pondok Pesantren Al Mubarok
Roudhotul Nur Ikhsan Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang. Hampir seluruh santri
mengetahui fenomena ghasab merupakan hal negatif, namun tetap di laksanakan. Perilaku
santri dalam melakukan ghasab dapat memicu terjadinya perilaku ghasab lainnya. Sehingga
timbulah anggapan “Barang siapa yang mengghasab, pasti dia akan dighasab”. Perilaku
merupakan tindakan, sikap atau cara berbuat sesuai dengan apa yang selayaknya bagi seorang
manusia. Perilaku sering disebut sebagai moral atau akhlaq sesuai dengan ukuran-ukuran
nilai di masyarakat. Semua perilaku terjadi karena dipelajari.

Ghasab merupakan perilaku menggunakan barang milik orang lain tanpa seizin
pemiliknya. Perilaku ghasab terjadi karena adanya proses belajar yang menyimpang. Pola
perilaku (tingkah laku) menyimpang terjadi dipelajari melalui suatu pergaulan yang akrab
dalam sebuah interaksi. Sebagaimana Edwin H. Sutherland (dalam Utari, 2012 hlm. 92)
menjelaskan bahwa: 1) Tingkah laku jahat dipelajari dari orang orang lain dalam suatu proses
interaksi; 2) tingkah laku jahat yang dipelajari, diperoleh dalam kelompok pergaulan yang
akrab; 3) seseorang menjadi menyimpang karena melihat peluang dalam melakukan
penyimpangan daripada melihat hukum yang seharusnya dipatuhi.

Ghasab sering terjadi di tempat yang banyak penghuninya misalnya di lingkungan


pesantren dengan interaksi yang cukup kental antar sesama santrinya. Setiap santri yang
melakukan ghasab tidak akan mengenal waktu, bahkan selama ia membutuhkan barang
tersebut, akan tetap dighasab. Pelaku ghasab tidak memperhatikan aturan yang seharusnya di
patuhi, mereka lebih mengedepankan peluang dalam mengghasab sesuai dengan
kebutuhannya. Perilaku ghasab yang dilakukan seorang santri dapat menular menjadi
perilaku ghasab bagi santri lainnya. Peristiwa tidak lazim ini terjadi lingkungan pesantren
20

yang seharusnya dapat menerapkan nilai-nilai agamis kepada para santrinya, maka ghasab
menjadi sebuah fenomena yang menarik untuk di kaji.

Sesuai dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1990, hlm. 227) dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) “Fenomena dapat diartikan sebagai 1) hal-hal yang
dapat disaksikan dengan panca indra dan dapat dinilai serta di terangkan secara ilmiah
(seperti fenomena alam), 2) sesuatu yang luar biasa atau kejadian 3) fakta atau kenyataan”.
Dapat disimpulkan bahwa fenomena merupakan gejala, hal, persistiwa atau keadaan yang
tidak lazim terjadi di masyarakat sehingga menarik untuk di kaji dan di teliti secara ilmiah.
Salah satu fenomena yang muncul dalam kehidupan sehari-hari yaitu adanya masalah sosial
yang timbul di lingkungan sekitar kita. Kriteria utama sebuah fenomena menjadi suatu
masalah adalah dengan adanya ketidaksesuaian antara ukuran nilai sosial dengan kenyataan
tindakan pada masyarakat tertentu.

Unsur pokok yang menjadikan fenomena ghasab dianggap sebuah masalah yaitu
karena adanya perbedaan yang mencolok antara nilai-nilai agama yang diadaptasi di
lingkungan Pesantren dengan kenyataan perilaku santri yang masih banyak melakukan
perilaku ghasab di lapangan. Fenomena ghasab marak terjadi di pondok pesantren yang
memiliki norma dan sanksi yang longgar, salah satunya di Pondok Pesantren Al Mubarok
Roudhotul Nur Ikhsan Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang.

Pondok pesantren sebagai salah satu tempat menuntut ilmu agama dan tempat tinggal
santri, membentuk hubungan interpersonal yang erat antar santri. Para santri melihat dan
menemui secara langsung di lapangan bagaimana proses ghasab terjadi. Kehidupan
berasrama yang sangat erat memengaruhi psikologis antar sesama santri untuk mengadopsi
perilaku ghasab. Ghasab terjadi di Pondok Pesantren Al Mubarok Roudhotul Nur Ikhsan
Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang karena sosialiasi subkultural menyimpang.
Sebagaimana dalam Setiadi dan Kolip (2013, hlm. 215) menerangkan bahwa: Ada sebelas
yang menjadi akibat seseorang berperilaku menyimpang, yakni adanya sikap mental yang
tidak sehat, ketidak harmonisan dalam keluarga, pelampiasan rasa kecewa, dorongan
kebutuhan ekonomi, pengaruh lingkungan dan media massa, keinginan untuk dipuji, proses
belajar yang menyimpang, ketidaksanggupan menyerap norma, proses sosialisasi nlai-nilai,
subkultural menyimpang atau gegagalan dalam proses sosialisasi, adanya ikatan sosial yang
berlainan.
21

Sosialisasi subkultural menyimpang atau hal yang bisa diartikan sebagai suatu
kebudayaan khusus yang normanya bertentangan dengan norma yang berlaku di lingkungan
pesantren, atau dalam hal ini yaitu norma sosial. Di Pondok Pesantren Al Mubarok
Roudhotul Nur Ikhsan Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang, hampir seluruh santri
mengetahui fenomena ghasab merupakan hal negatif, namun tetap di laksanakan. Pondok
pesantren sebagai lingkungan tempat tinggal para santri merupakan agen sosialisasi sekunder
bagi santri yang tidak serta merta secara mulus menerapkan nilai-nilai agama kepada para
santri.

Fenomena ghasab terjadi di Pondok Pesantren Al Mubarok Roudhotul Nur Ikhsan


Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang, bisa terjadi diakibatkan karena adanya
kegagagalan santri dalam proses sosialisasi. Latar belakang keluarga santri yang berbeda
dalam menanamkan norma-norma ke dalam kepribadian santri sebagai anak bisa menjadi
salah satu faktor terjadinya kegagalan dalam proses sosialisasi. Meskipun di lingkungan
pesantren santri telah dibekali berbagai ilmu agama dengan harapan agar santri dapat
berperilaku agamis, tidak menutup kemungkinan perilaku yang menyimpang dari aturan
agama akan tetap terjadi, hal tersebut dikarekan kurangnya pondasi agama yang kuat pada
individu santri.

Sebagaimana Darajat (dalam Suharti, 2011, hlm. 48) mengungkapkan bahwa “Salah
satu penyebab seseorang berperilaku menyimpang dikarenakan faktor kurang tertanamnya
jiwa agama pada tiap-tap orang dalam masyarakat.“ Nilai-nilai agama yang tertanam pada
individu santri mengalami goncangan setiap harinya, sebagaimana dalam agama Islam di
ajarkan bahwa seseorang akan mengalami dinamika naik turunnya iman meskipun orang
tersebut sudah faham ilmunya. Bagi sebagian orang, banyak yang menganggap menjadi santri
dan hidup di lingkungan pesantren sudah cukup beriman kepada Allah SWT. Padahal tidak
demikian, iman yang ada pada hati seseorang dapat bertambah, berkurang dan bahkan hilang
jika seseorang tersebut tidak menjaganya.

Ketika iman para santri sedang menurun, perilaku ghasab menjadi sesuatu yang
lumrah karena tuntutan kebutuhan santri. Namun ketika iman sedang naik, misalnya karena
sering diingatkan dalam pengajian oleh para ustad atau karena membaca ayat-ayat yang
mengingatkan santri untuk menghindari keburukan, dengan sadar santri akan menghindari
perilaku ghasab. Sejatinya agar para santri tidak lagi melakukan ghasab perlu adanya upaya-
upaya yang berkesinambungan dari pihak pesantren, pembahasan tersebut akan dijelaskan
22

dalam di rumusan masalah terakhir pada penelitian ini. Ghasab jika ditinjau secara kuantitaif
dapat dikategorikan perbuatan menyimpang yang dilakukan secara individu maupun
kelompok. Hal tersebut selaras dengan yang diungkapkan dalam Muin (2006, hlm. 155)
bahwa “perbuatan menyimpang dilakukan secara individu maupun kelompok”.

Ghasab termasuk penyimpangan secara individu karena dilakukan oleh seorang diri
(seorang santri) untuk memenuhi kebutuhannya. Ghasab juga dapat dikategorikan
penyimpangan kelompok karena kadang-kadang kuantitas atau kadar dari barang yang
dighasab dalam jumlah yang banyak, sehingga orang-orang yang menjadi korban dari ghasab
tersebut juga banyak. Perilaku santri dalam melakukan ghasab dapat memicu terjadinya
perilaku ghasab lainnya. Hal tersebut terjadi dilatar belakangi oleh persepsi santri tentang
hukum mengghasab. Santri berpandangan bahwa perilaku mengghasab barang milik orang
lain akan menyebabkan barang miliki kita dighasab oleh orang lain pula.

Persepsi tersebut tertanam dalam benak para santri sehingga menjadi suatu kebiasaan
yang sulit dihilangkan. Kebiasaan kurang baik tersebut menular kesantri lainnya dan
membuat fenomena ghasab membudaya di pondok pesantren. Ketidak sanggupan para santri
dalam menyerap norma agama yang telah di berikan di lingkungan pesantren dalam aktivitas
sehari hari juga tata tertib dan tata krama yang telah ditetapkan oleh pesantren juga norma
sosial seperti bagaiamana berperilaku baik yang dicontohkan oleh para pembina atau ustad
dan ustadah di lingkungan pesantren.

Fenomena ghasab terjadi karena adanya gangguan dalam proses sosialisasi di


lingkungan pesantren yang menyebabkan tindakan ghasab seorang santri dapat menular
menjadi tindakan ghasab bagi santri lainnya. Sebagaimana Muin (2006, hlm. 155)
menjelaskan bahwa diantara penyebab perilaku menyimpang ditinjau dari sudut pandang
sosiologis diantarannya: Secara sudut pandang sosiologi: proses interaksi sosial, internalisasi
nilai dan kontrol sosial, tidak selalu sempurna. Ketidaksempurnaan tersebut menyebabkan
perilaku menyimpang. Penyebab perilaku menyimpang menurut pandangan sosiologi terbagi
lagi diantaranya 1) perilaku menyimpang karena sosialisasi, merupakan perilaku
menyimpang yang disebabkan oleh adanya gangguan dalam proses masyarakat; 2) Perilaku
menyimpang karena anomi; 3) perilaku menyimpang karena differential association,
merupakan penyimpangan yang terjadi karena sasosiasi yang berbeda terhadap kejahatan; 4)
perilaku menyimpang karena pemberian julukan (labelling), merupakan perilaku
menyimpang yang lahir karena adanya batasan (cap,julukan,sebutan) atas suatu perbuatan
23

yang disebut menyimpang. Seseorang yang diberi cap sebagai pelaku penyimpangan, maka
cap tersebut akan mendorong orang tersebut untuk berperilaku yang menyimpang.

Selain gangguan dalam proses sosialisasi, penyebab fenomena ghasab terjadi dilihat
dari sudut pandang sosiologi termasuk kedalam kategori menyimpang karena anomie, yakni
tidak adanya peraturan yang jelas mengenai peraturan ghasab. Anomie dapat menyebabkan
runtuhnya norma mengenai bagaimana seharusnya bersikap pada sesama. Efek dari tidak
adanya aturan secara tegas tersebut membuat santri menganggap bahwa ghasab adalah
perilaku yang lumrah. Lingkungan pergaulan santri di pesantren serta proses belajar yang
cenderung menyimpang menjadi faktor utama terjadinya fenomena ghasab. Seringnya santri
melihat perilaku ghasab yang dilakukan oleh santri lainnya di lingkungan pesantren, sehingga
menyebabkan santri yang awalnya tidak pernah mengghasab pun bisa menirunya ketika dia
dalam situasi membutuhkan.

Meskipun, sejatinya santri tersebut tahu bahwa ghasab termasuk kedalam perilaku
menyimpang. Perilaku santri dalam melakukan ghasab dapat memicu terjadinya perilaku
ghasab lainnya sehingga muncul anggaapan “Barang siapa yang mengghasab, pasti dia akan
dighasab”. Hal ini sejalan dengan hukum sosial di masyarakat mengenai hukum karma, yakni
setiap perbuatan akan mendapat balasan dari apa yang kita lakukan. Dalam aturan agama juga
dijelaskan bahwa setiap perbuatan kelak ada balasannya dari Allah SWT. Perilaku ghasab
jelas merugikan orang lain karena telah merampas hak milik orang lain. Santri yang
mengghasab barang milik temannya, kelak akan mendapat balasan, yaitu barangnya dighasab
oleh orang lain saat ia sedang membutuhkannya. Inilah sebabnya mengapa fenomena ghasab
sangat membahayakan.

3.2. Faktor yang Memengaruhi Santri Melakukan Ghasab

Fenomena ghasab di lingkungan pesantren dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama


yaitu faktor Individu. Relativitas individu membuat seseorang memiliki kebebasan
menentukan perilakunya, para santri dengan latar belakang yang beragam bebas untuk
bertindak sesuai norma atau melanggar norma yang ditetapkan di lingkungan pesantren.
Sebagaimana dalam Utari (2012, hlm. 126) menjelaskan bahwa: Manusia tercipta sebagai
makhluk yang memiliki moral, sehingga setiap manusia bebas untuk berbuat sesuatu yang
bermacam-macam.
24

Tindakan tersebut berdasarkan pada pilihan: taat hukum atau melanggar hukum.
Tindakan yang dipilih akan didasarkan pada ikatan-ikatan sosial yang dibentuk dimana
individu tersebut tinggal. Dari kebebasan bertindak tersebut muncul alasan utama seseorang
melakukan perilaku menyimpang yaitu karena faktor human eror, sebuah anggapan dalam
konsep penyimpangan sosial bahwa setiap individu yang lahir kedunia memiliki
kecenderungan untuk melakukan disosiasi sosial. Sebagaimana Paul B. Horton (dalam
Setiadi, 2013, hlm. 195) menerangkan bahwa tidak ada satu pun manusia yang sepenuhnya
berperilaku selurus-lurusnya sesuai dengan nilai dan norma sosial (konformis) atau
sepenuhnya berperilaku menyimpang.

Faktor pendorong santri melakukan ghasab di Pondok Pesantren Al Mubarok


Roudhotul Nur Ikhsan Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang adalah karena adanya
dorongan dari dalam diri individu untuk melakukan perilaku menyimpang dalam situasi
tertentu. Santri mengetahui bahwa perilaku ghasab adalah perilaku dzalim yang akan
merugikan orang lain, namun mereka tetap melakukannya demi memenuhi kebutuhan sesaat.
Kebiasaan ghasab-mengghasab terjadi hampir setiap hari di lingkungan Pondok Pesantren Al
Mubarok Roudhotul Nur Ikhsan Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang, hingga
akhirnya membuat santri terbiasa untuk berperilaku ghasab. Hal tersebut selaras dengan yang
dijelaskan dalam Setiadi dan Kolip (2013, hlm. 189) bahwa “sebab terjadinya perilaku
menyimpang dilatar belakangi oleh beragam hal diantaranya karena adanya dorongan dari
dalam diri individu, dorangan dari lingkungan luar, seperi pola-pola kelakukan yang
dibiasakan”.

Ditinjau dari segi kuantitatif, ghasab merupakan penyimpangan fenomena ditingkat


individu. Hal tersebut selaras dengan yang diungkapkan dalam Muin (2006, hlm. 155) bahwa
“perbuatan menyimpang dilakukan secara individu maupun kelompok”. Ghasab termasuk
penyimpangan secara individu karena dilakukan oleh seorang diri (seorang santri) untuk
memenuhi kebutuhannya. Fenomena ghasab merupakan hasil dari kegagalan para santri
untuk mentaati peraturan. Kurangnya kesadaran santri untuk tidak berbuat ghasab
menyebabkan santri melakukan kebiasaaan negatif yang di ulang ulang. Fenomena ghasab
terjadi karena individu mengalami gangguan dalam proses sosialisasi. Gangguan tersebut
membuat santri menginternalisasikan nilai kepada suatu hal negatif. Kesadaran sosial yang
rendah membuat santri sering menyepelekan nilai-nilai yang serharusnya diaplikasikan dalam
kehidupan sosial di asrama. Sikap santri dalam menyepelekan perilaku ghasab ini merupakan
25

sikap mental yang tidak sehat. Karena santri tidak memiliki rasa bersalah akibat perbuatan
ghasabnya dan mereka tidak menyesal telah melakukan ghasab.

Faktor kedua yang memengaruhi santri melakukan ghasab selanjutnya adalah faktor
lingkungan. Fenomena ghasab di Pondok Pesantren Al Mubarok Roudhotul Nur Ikhsan
Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang terus terjadi dari genarsi ke generasi karena
kurangnya teladan dari pengurus organisasi, pembina asrama juga dari sesama santri lainnya
untuk tidak berbuat ghasab. Hasil wawancara di lapangan menunjukan, para santri baru yang
awalnya tidak mengetahui perilaku ghasab, pada akhirnya menjadi pelaku ghasab karena
melihat teman atau kakak kelasnya yang melakukan ghasab. Hal ini selaras dengan yang
diungkapan oleh Sutherlan dalam Setiadi (2013, hlm. 237) bahwa “penyimpangan adalah
konsekuensi dari kemahiran atas sikap atau tindakan yang dipelajari dari norma yang
menyimpang, terutama dari subkultur menyimpang atau diantara teman teman sebaya yang
melakukan penyimpangan”.

Fenomena ghasab terjadi dipelajari melalui sosialisasi di lingkungan pondok


pesantren. Fenomena ghasab merupakan hasil dari proses internilasisasi terhadap nilai-nilai
dan normanorma yang ada di pondok pesantren. Sebagaimana (Dalam Setiadi dan Kolip,
2013, hlm. 189) menjelaskan bahwa setiap orang yang menempati sebuah wilayah tertentu
sekalipun menjadi pendatang, akan senantiasa disosialisasikan atau dirahkan oleh kelompok
yang menetap di wilayah tersebut untuk berperilaku sesuai dengan nilai dan norma yang
berlaku di dalam kelompok tersebut. Di pondok pesantren terdapat kontruksi sosial yang
tidak disadari terbentuk dari proses sosial santri. Kontruksi tersebut adalah nilai kekeluargaan
yang dilatarbelakangi oleh interaksi yang intensif antar sesama santri sehingga melahirkan
pola hubungan guyub (gemeinschaft).

Sebagaimana Narwoko dan Suyanto (2010, hal. 33) menjelaskan bahwa gemeinschaft
merupakan bentuk kehidupan bersama, dimana antar anggotanya mempunyai hubungan batin
murni yang sifatnya alamiah. Dasar hubungannya yaitu rasa cita dan persatuan batin yang nya
dan organis. Kehidupan sosial santri yang tinggal bersama dalam satu tempat dimana saling
terjadi interaksi dan komunikasi sehingga mampu membentuk pola-pola keterikatan antar
santri. Adanya saling ketergantungan antar para santri sehingga saling membutuhkan satu
sama lain dikehidupan sosialnya. Rasa kebersamaan yang intim melahirkan persepsi “barang
milikku, juga milikmu, milikkmu juga milikku”, apapun yang dimiliki santri, santri lainnya
pun dapat mempergunakannya asal tidak dimiliki secara mutlak.
26

Kekeliruan mengenai kepemilikan barang bersama tersebut membuat santri terbiasa


untuk mempergunakan barang milik orang lain tanpa izin. Pola interaksi yang terlalu dekat di
pondok pesantren membuat izin meminjam barang tidak lagi menjadi hal yang
diperhitungkan karena adanya pemakluman secara pribadi. Para santri cenderung
menyalahgunakan ikatan yang intim, rasa saling memiliki antar sesama santri telah mengakar
dalam diri mereka. Perilaku ghasab dilakukan oleh para santri secara berulang-ulang sehingga
menjadi kebiasaan yang telah melembaga. Fenomena ghasab terjadi tanpa kendali di Pondok
Pesantren Al Mubarok Roudhotul Nur Ikhsan Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang
karena kurangnya kontrol sosial. Sebagaimana Setiadi dan Kolip (2011, hlm. 249)
menerangkan bahwa “di dalam kehidupan sosial terdapat alat kontrol atau kendali untuk
mengendalikan berbagai tingkah laku anggota kelompok sosial agar tetap dalam batas-batas
tingkah konformis”. Peraturan pesantren mengenai ghasab di Pondok Pesantren Al Mubarok
Roudhotul Nur Ikhsan Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang Tasikmalaya belum
tertulis secara tegas. Aturan yang berkaitan dengan perilaku ghasab hanya tersirat dalam tata
krama dan tata tertib pesantren. Aturan engenai tata krama dan tata tertib pesantren tersebut
bersifat lentur, artinya kontrol sosial tersebut kurang kuat di lingkungan pesantren sehingga
santri cenderung mengabaikan akan hal tersebut. Untuk mengembalikan fungsi kontrol sosial
tersebut, perlu adanya pengendalian sosial yaitu pencegahan secara preventif atas fenomena
ghasab agar kehidupan sosial di lingkungan pesantren kembali kondusif. Sebagaimana dalam
Setiadi dan Kolip (2013, hlm. 99) menjelaskan bahwa “kehidupan sosial akan mencapai
ketertiban jika nilai-nilai sosial dan norma-norma sosial sudah mencapai keselarasan. Maka
tujuan kehidupan sosial yang dirumuskan dalam bentuk nilai-nilai tersebut bisa tercapat,
karena masing-masing anggota masyarakatnya dapat mematuhi norma yang berlaku”.
Kehidupan di pondok pesantren pun tidak ubahnya demikian, tertib sosial akan tercapai
bilamana mecapai keselarasan antara nilai dan norma.

Adanya fenomena ghasab di Pondok Pesantren Al Mubarok Roudhotul Nur Ikhsan


Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang menggambarkan bahwa belum adanya
keselarasan antara nilai dan norma di lingkungan tersebut. Perlu adanya sosialisasi aturan
yang tegas dan jelas mengenai perilaku ghasab agar para santri dapat secara mudah dapat
mematuhinya.

Faktor ketiga yang memengaruhi santri melakukan ghasab adalah situasional.


Berdasarkan temuan di lapangan, bahwa fenomena ghasab tidak terjadi dalam setiap waktu,
melainkan dalam situasi-situasi tertentu. Misalnya situasi dimana santri hendak pergi ke
27

masjid, namun sandal miliknya tidak ada, sehingga ketika ia melihat sandal orang lain di
asrama, langsung ia pakai. Sebagaimana Vambiarto (1991, hlm. 56-60) deviasi atau
penyimpangan berdasarkan fungsinya diantaranya adalah deviasi situasional: Deviasi
situasional adalah deviasi yang merupakan fungsi daripada pengaruh kekuatankekuatan
situasi di luar individu atau dalam situasi di mana individu merupakan bagiannya yang
integral.

Situasi dapat memaksa individu untuk melanggar norma tingkah laku yang ada.
Deviasi situasional itu akan selalu kembali, apabila situasinya berulang. Dalam hal ini deviasi
dapat menjadi kumulatif. Deviasi situasional yang kumulatif terjadi apabila uniformitas
deviasideviasi individu terbentuk sebagai reaksi terhadap sejumlah situasi yang sama yang
selalu kembali. Fenomena ghasab di lingkungan pesantren muncul karena pengaruh dari luar
individu, yaitu situasi mendesak yang memaksa santri untuk melakukan ghasab. Situasi
tersbut memaksa santri untuk melanggar tata krama dan tata tertib pesantren. Ketika santri
dihadapkan pada situasi sama dimana terdapat kebutuhan mendesak, pelangggaran tersebut
kembali diulang.

Keempat, yang memengaruhi santri melakukan ghasab adalah faktor kultural.


Fenomena ghasab terjadi di Pondok Pesantren Al Mubarok Roudhotul Nur Ikhsan Kecamatan
Poncokusumo Kabupaten Malang karena sosialiasi subkultural menyimpang. Dalam Setiadi
dan Kolip (2013, hlm. 227) menerangkan bahwa: Asal mula terjadinya subkultur
menyimpang karena ada interaksi di antara sekelompok orang yang mendapatkan status atau
cap menyimpang. Melalui interaksi dan intensitas pergaulan yang cukup erat menghadapi
dilema yang sama. Para anggota subkultur memiliki pikiran, nilai dan norma yang sama
untuk bertingkah laku yang berbeda dengan norma-norma sosial masyarakat pada umumnya
(kultur dominan). Dilema bagi orang-orang yang tergabung di dalam subkultur menyimpang
adalah bahwa mereka terlanjur dicap sebagai penyimpang dengan cap yang sandangannya
mereka berusaha menghindari hukuman masyarakat. Lingkungan pergaulan serta proses
belajar yang cenderung menyimpang membuat fenomena ghasab dilakukan oleh hampir
semua santri. Fenomena ghasab terjadi karena hal tersebut sudah biasa hingga akhirnya
dianggap wajar terjadi oleh para santri. Fenomena ghasab terjadi dari generasi ke genarasi
sehingga bagaikan mata rantai yang tidak terputus.

Kelima, yang memengaruhi santri melakukan ghasab adalah kurang meratanya


fasilitas. Pondok Pesantren Al Mubarok Roudhotul Nur Ikhsan Kecamatan Poncokusumo
28

Kabupaten Malang merupakan tipologi pesantren khalaf atau pesantren modern. Dalam
Raindi (2007, hlm. 17) mengemukakan bahwa “pesantren khalafi adalah pesantren yang telah
memasukan pelajaran yang sifatnya umum dalam madrasah-madrasah yang dikembangkan
atau membuka tipe-tipe sekolah umum dalam rangka pesantren dan bangunanya telah
menunjang aktifitas santri”. Meski fasilitas di Pondok Pesantren Al Mubarok Roudhotul Nur
Ikhsan Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang sudah menunjang hampir seluruh
aktifitas santri. Namun hal tersebut tidak membuat santri untuk berhenti mengghasab.
Berdasarkan hasil observasi di lapangan, fenomena ghasab tetap terjadi di Pondok Pesantren
Al Mubarok Roudhotul Nur Ikhsan Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang karena
fasilitas tersebut belum merata.

Ada beberapa hal yang perlu ditingkatkan oleh pihak pengelola pesantren, seperti
pemerataan jumlah fasilitas rak sepatu, jemuran sesuai dengan jumlah santri, juga perserdiaan
rak sandal disekitar masjid. Tanggapan Santri dan Pembina Pesantren Mengenai Fenomena
Ghasab Fenomena ghasab memberikan citra negatif terhadap lingkungan pondok pesantren
serta membawa dampak negatif terhadap interaksi sosial santri. Santri, pengurus dan pembina
sepakat bahwa fenomena ghasab merupakan bagian dari penyimpangan sosial, karena
bersinggungan dengan norma agama dan fenomena negatif tersebut bisa menjadi benih
korupsi.

Pondok pesantren merupakan lembaga formal dimana proses pembelajaran yang


diberikan dalam kehidupan sehari-hari mengenalkan ilmu-ilmu agama dengan harapan bahwa
para santri dapat berperilaku dan berfikir agamis. Sebagaimana Mulyani (2012, hlm. 10)
menyebutkan bahwa “Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan non-formal yang
bergerak di bidang keagamaan yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan
masyarakat dalam memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agama Islam”. Namun
dalam kenyataannya, meski di lingkungan yang agamis, bukan berarti suatu hal yang
bertentangan dengan nilai agama, maupun norma masyarakat tidak akan terjadi.

Adanya ketidak sesuaian santri masyarakat dengan kaidah normatif di lingkungan


pesantren, menyebabkan santri cenderung berperilaku negatif. Fenomena ghasab telah
menjadi peristiwa yang membudaya di lingkungan Pondok Pesantren Al Mubarok Roudhotul
Nur Ikhsan Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang. Namun perlu di tekankan bahwa
perilaku menyimpang di pesantren, bukan berarti mengindikasi bahwa lingkungan pesantren
adalah wabah penyimpangan, penelitian ini bertujuan mengungkap gejala unik di lingkungan
29

pesantren juga memberi solusi terhadap fenomena ghasab yang telah memberikan citra
negatif terhadap lingkungan pondok pesantren.

Fenomena ghasab dapat membawa dampak negatif terhadap interaksi sosial santri.
Para santri cenderung memanfaatkan hubungan emosional yang intim sehingga terdapat
kontrol sosial yang tidak terkendali. Rasa saling memiliki sudah terpratri dalam benak setiap
santri, terjadi berulang-ulang dan melembaga. Gejala tersebut ketika dinilai sudah melewati
batas akan menimbulkan sanksi sosial yang berdampak negatif terhadap interaksi santri.
Sanksi sosial tersebut bisa berupa saling sindir, hinaan bahkan menjurus ke hal-hal yang
melukai fisik. Inilah yang menjadi kekhawatiran bagi seluruh santri. Kekhawatiran santri,
pengurus dan pembina membuat mereka sepakat bahwa fenomena ghasab merupakan bagian
dari penyimpangan sosial yang tidak bisa dibiarkan.

Relativitas perilaku ghasab dikategorikan perilaku menyimpang akann berbeda-beda.


Santri, pengurus rijalul ghad, ummahatul ghad, pembina asrama serta penulis dapat
menyebutkan bahwa ghasab merupakan bentuk perilaku menyimpang, namun di masyaakat
umum bisa saja tidak demikian. Karena definisi mengenai perilaku menyimpang bersifat
relatif, tergantung dari masyarakat yang mendefinisikannya, nilai-nilai budaya dari suatu
masyarakat, dan masa, zaman atau kurun waktu tertentu. Dalam Setiadi dan Kolip (2013,
hlm. 191) yang dimaksud dengan relatif adalah “Nilai dan norma yang berlaku di dalam
kelompok satu mungkin atau bisa saha tidak berlaku di kelompok sosial lainnya”.

Fenomena ghasab bisa saja dianggap wajar oleh sebagian kelompok dan tidak
menganggapnya sebagai suatu penyimpangan. Jika secara nyata kita dapat menyebutkan
berbagai bentuk perilaku menyimpang, namun mendfinisikan artinya merupaan hal yang
sulit, karena kesepakatan umum tentang prilaku mennyimpang berbedabeda. Kebanyakan
diantara mereka berpendapat bahwa perilaku menyimpang adalah keadaan dimana perilaku
tersbut berbeda dengan kebiasaaan yang seharusnya. Ghasab dapat dikategorikan kedalam
perilaku menyimpang karena ada ketidaksesuaian antara perilaku santri dengan norma agama
yang diterapkan di Pondok Pesantren Al Mubarok Roudhotul Nur Ikhsan Kecamatan
Poncokusumo Kabupaten Malang. Dalam Narwoko dan Suyanto (2004, hlm. 101)
menerangkan perilaku menyimpang adalah ”Tindakan yang noncomform, yaitu perilaku yang
tidak sesuai dengan nilai-nilai atau norma-norma yang ada.”

Lebih lanjut penjelasan mengenai teori perilaku menyimpang dalam perspektif


sosiologis dalam Setiadi dan Kolip (2013, hlm. 235) dijelaskan bahwa: Teori menyimpang
30

dari perspektif sosiologis dapat dibedakan kedalam dua tipe, yaitu struktural dan prosedural.
Pertama bersifat struktural, penyimpangan di hubungkan dengan kondisi-kondisi struktural
tertentu dalam masyarakat. Sedangkan kedua, penyimpangan sebagai proses epidemiologi,
yaitu kondisi di mana distribusi atau penyebaran penyimpangan dapat terjadi dalam waktu
dan tempat tertentu, atau dari satu kelompok ke kelompok lainnya.

Ketiga, menjelaskan bentuk-bentuk tertentu dan penyimpangan sebagai fenomena


yang terjadi di berbagai strata sosial, baik di kelas bawah maupun di kelas atas. Fenomena
ghasab di lingkungan Pondok Pesantren Al Mubarok Roudhotul Nur Ikhsan Kecamatan
Poncokusumo Kabupaten Malang ini termasuk kedalam kategori penyimpangan sebagai
proses epidemiologi, yaitu kondisi dimana perilaku ghasab sebagai perilaku menyimpang
terjadi dalam waktu tertentu, ketika si pelaku sedang membutuhkannya, kemudian ditemukan
di tempat tertentu pula, yairtu ditempat yang padat penghuninya, seperti lingkungan
pesantren

Fenomena ghasab telah menjadi gejala sosial yang dilakukan oleh santri. Penyebab
terjadinya fenomena ghasab yaitu karena adanya gangguan dalam pneyerapan nilai dan
norma yang dilakukan oleh santri di lingkungan pesantren. Sebagaimana Muin (2006,
hlm.155) menyatakan: Sebab perilaku menyimpang sudut pandang sosiologi adalah proses
interaksi sosial, internalisasi nilai dan kontrol sosial, tidak selalu sempurna. Ketidak
sempurnaan tersebut menyebabkan perilaku menyimpang.

Penyebab perilaku menyimpang menurut pandangan sosiologi terbagi lagi menjadi,


diantaranya perilaku menyimpang karna sosialisasi, merupakan perilaku menyimpang yang
disebabkan oleh adanya gangguan dalam proses masyarakat yang tanpa norma sehingga tidak
adanya penyerapan dan pengalaman nilai-nilai tersebut. Inilah yang menjadi landasan kuat
bahwa fenomena ghasab merupakan bagian dari penyimpangan sosial di lingkungan Pondok
Pesantren Al Mubarok Roudhotul Nur Ikhsan Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang.
Karena adanya sosialisasi dan gangguan terhadap norma agama sehingga menimbulkan
perilaku menyimpang.

Santri, pengurus dan pembina pesantren menolak perilaku ghasab. Mereka sepakat
bahwa fenomena ghasab merupakan bagian dari penyimpangan sosial. Sebagaimana dalam
tujuan praktisnya, studi sosiologi mengenai penyimpangan merupakan studi penyimpangan
yang ditolak. (Horton dan Hunt, 1984, hlm. 191) Fenomena ghasab merupakan bagian dari
penyimpangan sosial, karena bersinggungan dengan norma agama dan fenomena negatif
31

tersebut bisa menjadi benih korupsi. Hal tersebut secara jelas menerangkan bahwa fenomena
ghasab merupakan bagian dari penyimpangan secara normatif. Sebagaimana Clinard dan
Meier (dalam Narwoko dan Suyanto, 2004, hlm. 103) perilaku menyimpang dapat
didefinisikan secara dimensi normatif, penjelasannya bahwa: Pendekatan ini berasumsi,
bahwa penyimpangan merupakan suatu pelanggaran dari suatu norma sosial. Konsep umum
tentang norma terbagi menjadi dua, yaitu: 1) sebagai suatu penilaian terhadap perilaku yang
dianggap baik atau tidak, 2) sebagai tingkah laku yang merujuk pada adat istiadat di
amsyarakat. Kedua konsep tersebut memberi jawaban dari kaum reaktivis yaitu 1) dengan
dasar apa orang memberi reaksi suatu tingkah laku, 2) jika penyimpangan dapat didefinisikan
melalui reaksi orang lain, bagaimana orang tersebut memberi cap terhadap suatu tingkah
laku.

Yang dimaksud dari jawaban tersebut adalah norma-norma sosial. Dengan demikian,
kaum reaktivis dan normatif memiliki konsepsi yang sama, yaitu berlandaskan pada norma
yang ada. Dari penjelasan tersebut, fenomena ghasab dapat di kategorikan kedalam
penyimpangan normatif, karena adanya terdapat suatu pelanggraan perilaku santri terhadap
tata tertib dan tata krama yang telah di buat oleh pesantren. Santri, pengrus rijaul ghad dan
ummahatul ghad dan pembina sepakat bahwa ghasab merupakan perilaku tidak baik dan
bagian dari perilaku menyimpang. Fenomena ghasab menimbulkan reaksi berupa keresahan
bagi masyarakat Pondok Pesantren Al Mubarok Roudhotul Nur Ikhsan Kecamatan
Poncokusumo Kabupaten Malang. karena dikhawatirkan dapat menjadi salah satu benih
korupsi. Dimulai dari perilaku menyepelekan hal kecil dengan seringnya santri melakukan
ghasab dan menganggap bahwa ghasab adalah hal yang biasa. Hal tersebut telah menjadi
ketakutan warga pondok pesantren karena akan menjadi hal yang memalukan bila korupsi
dilakukan oleh alumni pesantren yang mayoritas faham mengenai perbuatan dzolim.

3.3. Upaya Pihak Pesantren Dalam Menanggulangi Fenomena Ghasab

Untuk menanggulangi terjadinya fenomena ghasab di Pondok Pesantren Al Mubarok


Roudhotul Nur Ikhsan Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang dapat ditempuh melalui
beberapa upaya diantaranya (1) Pertama, merubah persepsi tentang ghasab. Agar fenomena
ghasab dapat diminimalisir di lingkungan pesantren, maka para pengurus rijalul ghad,
ummahatul ghad, pembina asrama, para ustad dan ustadah hendaknya gencar menyisipkan
materi-materi mengenai haramnya hukum ghasab. Perlu diingatkan dalam khutbah bahwa
32

ghasab merupakan perkara haram yang dilarang oleh agama. Pengharaman akan ghasab
terjadi karena menimbulkan kedzaliman bagi sesama santri lainnya. Dengan seringnya
diingatkan, hal tersebut merupakan sosialisasi preventip sebagai upaya agar santri dapat
merubah persepsi tentang ghasab. Pengharaman akan ghasab terjadi karena menimbulkan
kedzaliman bagi sesama santri lainnya.

Ghasab juga diharamkan oleh Allah atas dasar hukum berikut: Al-Quran
Ghasab, merampas hak orang lain adalah perbuatan dzalim. Allah swt berfirman dalam QS.
Al-Baqoroh ayat 188 yang artinya: “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta
sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu
membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian
daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu
mengetahui.” (Departemen Agama RI, 2008).

Dalam ayat tersebut, bagian pertama menerangkan kepada kita mengenai larangan
memakan harta orang lain melalui jalan yang batil. Maksud dari kata ‘memakan’ ini adalah
‘memanfaatkan’ atau ‘mempergunakan’. Sedangkan yang dimaksud ‘melalui cara yang batil’
adalah dengan cara yang tidak dibenarkan menurut hukum yang ditentukan oleh Allah SWT.
Hadits Dalam Kitab Bulugul Maram Tarjamah A.Hassan (2006, hlm. 395) bab Ghasab:
”Dari Sa’id bin Zaid, bahwasannya Rasulullah SAW, telah bersabda: Barang siapa ambil
sejengkal dari bumi dengan kedzaliman niscaya Allah kalungkan barang yang ia ambil pada
hari Qiyamat dari tujuh bumi” Muttafaqun ‘Alaihi. Maksud dari hadits tersebut adalah
ghasab merupakan tindakan merusak, mengambil, mengganggu hak orang lain tanpa seizin
pemiliknya dan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan dirinya.

Ditinjau dari landasan hukumnya, ghasab merupakan perilaku dzalim, karena adanya
penguasaan terhadap harta milik orang lain secara sewenang-wenang.
Ghasab berbeda dengan mencuri atau merampok, karena pelaku tidak bermaksud memiliki
secara tetap, namun tidak di kategorikan meminjam, karena tidak ada akad peminjaman
secara sah. Kedua landasan hukum mengenai ghasab diatas memberi penjelasan secara tegas
bahwa ghasab merupakan perkara haram yang dilarang secara agama, perilaku
ghasab merupakal hal yang batil secara muamalah. Maka perlulah pihak pesantren
memeberikan soliasiasi secara rutin kepada santri mengenai kandungan ayat tersebut agar
timbul kesadaran santri untuk meminimalisir perilaku ghasab.
33

Guna mempertebal keyakinan para santri akan norma agama, perlu ditanamkan
budaya malu dalam melakukan hal negatif. Sebagaimana dalam Setiadi dan Kolip (2013,
hlm. 270) menjelaskan bahwa “diantara cara yang ditempuh dalam rangka mempertebal
keyakinan masyarakat terhadap norma diantaranya mengembangkan rasa malu dalam diri
atau jiwa anggota masyarakat jika mereka menimpang atau menyeleweng dari norma dan
nilai kemasyarakatan yang berlaku”. Dalam norma agama dijelaskan mengenai budaya malu
sebagian dari iman. Maka hendaknya saat disosialisasikan kepada santri untuk
mengedepankan rasa malu saat hendak melakukan ghasab.

Ajaran islam sudah secara sempurna menjelskan bagaimana harusnya kita berperilaku
yang sesuai dengan nilai dan norma. Islam menerangkan barang siapa yang berbuat baik
sesuai apa yang diajarkan maka akan mendapat pahala, begitupun sebaliknya barang siapa
yang berbuat dzalim pasti akan mendapat balasan yang setimpal. Santri perlu merubah
persepsi untuk tidak mengghasab, agar tidak dighasab oleh orang lain. Upaya kedua dalam
menanggulangi fenomena ghasab adalah memberi teladan yang baik untuk tidak melakukan
ghasab. Pembina kepondokan, pembina asrama, pengurus rijalul ghad dan ummahatu ghad
senantiasa memberi teladan yang baik untuk disiplin dalam meminjam barang dan tidak
melakukan ghasab. Dengan memberi contoh yang baik, maka fenomena ghasab yang sudah
membudaya bisa dihilangkan oleh peran tersebut. Santri melakukan ghasab karena meniru
lingkungan sosialnya, maka sudah sepatutnya para stakholder di Pondok Pesantren Al
Mubarok Roudhotul Nur Ikhsan Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang melakukan
sinergitas dalam menanggulangi fenomena ghasab.

Salah satu tindakan utama yang bisa diaplikasikan dalam kehidupan seharihari di
lingkungan pesantren adalah dengan memberikan teladan yang baik. Misalnya dengan
menyimpan barang pribadi secara apik atau izin kepada pemilik barang ketika hendak
memakai barang orang lain. Upaya ketiga yaitu dengan mempertegas kedisiplinan.
Penyimpangan di lingkungan pesantren dapat berkurang jika tata tertib dijalankan secara
tegas. Jika ada santri yang melanggar, maka harus dengan cepat ditindak sesuai dengan
kesalahannya. Jangan sampai anggapan santri yang sering menyepelekan perilaku ghasab
terjadi karena terdapat kelonggaran peraturan. Fenomena ghasab dapat dikikis bilamana tata
tertib yang sudah diberlakukan secara tegas dan jelas oleh pihak Pondok Pesantren Al
Mubarok Roudhotul Nur Ikhsan Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang. Tidak kalah
pentingnya, untuk menciptakan kondisi disiplin di pesntren, yaitu dengan memberikan
imbalan kepada santri yang menjauhi ghasab.
34

Hal tersebut selaras dengan yang diungkapkan dalam Setiadi (2013, hlm. 256) bahwa
salah satu cara yang ditempuh dalam rangka mempertebal keyakinan masyarakat terhadap
norma sosisal adalah sugesti sosial, dengan memberikan penghargaan kepada anggota
masyarakat yang taat pada norma-norma kemasyarakatan. Upaya keempat yaitu membuat
program dan pengurus khusus menanggulangi fenomena ghasab. Fenomena ghasab dapat
berkurang ketika santri terus di beri pemahaman bahwa perilaku tersebut adalah hal yang
menyimpang. Salah satu program yang pernah bisa mengurangi fenomena ghasab adalah
program Dauroh Tahfidz Al-Quran. Kegiatan poistif tersebut dapat membantu membangun
akhlaq santri sehingga meningkatkan keimanan santri agar terhindar dari perbuatan dzalim.
Selain itu pengurus khusus (tim khusus) dibentuk oleh pihak pesantren dengan harapkan
dapat fokus dalam memberantas fenomena ghasab dimulai dari sosialisasi sampai ke tahap
penghukuman.

Program khusus dan pengurus khusus ini sebagai langkah dalam mencegah dan
menanggulangi sepotimal mungkin perilaku ghasab. Sebagaimana dalam Setiadi dan Kolip
(2013, hlm 272) menerangkan bahwa: Diantara salah satu upaya masyarakat tunduk pada
norma dan nilai di amsyarakat adalah dengan menciptakan sistem hukum, yaitu sistem tata
tertib dengan sanksi-sanksi yang teggas bagi para penyelenggara yang biasanya dapat dilihat
di dalam sistem hukum tiap-tiap struktur masyarakat yang berlaku. Adapun cara melakukan
pengendalian atas tindakan ghasab diantaranya dapat secara preventif dan refresif. Dalam
Setiadi dan Kolip (2013, hlm. 255-266) menjelaskan bahwa: Pengendalian sosial prevenif
adalah segala bentuk pengendalian yang berupa pencegahan atas perilaku menyimpang agar
dalam kehidupan sosial tetap konformis.

Sedangkan pengendalian sosial represif adalah bentuk pengendalian sosial yang


bertujuan untuk mengembalikan kekacauan sosial atau mengembalikan situasi deviasi
menjadi keadaan kondusif kembali (konformis. Langkah preventif ini dapat dilakukan secara
persuasif, yaitu dengan usaha mengajak dan membimbing santri untuk menghindari perilaku
ghasab. Cara tersebut bisa dengan cara memberikan pengetahuan atau sikap mengenai
bagaimana harus menghindari ghasab. Langkah represif dilakukan denga cara memberi
hukuman yang tegas bagi pelaku ghasab. Misalnya dengan memberikan denda atau
diberdirikan ditempat umum yang dapat nemumbuhkan rasa malu dan memberikan efek jera
bagi pelakunya.
35

Upaya kelima yaitu dengan melakukan peningkatan fasilitas pesantren. Pondok


Pesantren Al Mubarok Roudhotul Nur Ikhsan Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang
termasuk kedalam tipologi pesantren khalaf, yaitu pesantren dengan fasilitas telah di lengkapi
oleh gedunggedung bertingkat. Namun fasilitas tersebut tidak membuat santri terhindar dari
perilaku ghasab, santri tetap melakukan ghasab dengan alasan kurang meratanya fasilitas
yang disediakan pihak pesantren. Maka harus adanya peningkatan dan pemerataan fasilitas
seperti jumlah rak sepatu sesuai jumlah santri, atau disediakannya rak sandal.

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil temuan dan pembahasan Fenomena ghasab merupakan perilaku


memfungsikan barang milik orang lain tanpa seizin pemiliknya. Fenomena tersebut sudah
sering terjadi di Pondok Pesantren Al Mubarok Roudhotul Nur Ikhsan Kecamatan
Poncokusumo Kabupaten Malang. Hampir seluruh santri mengetahui fenomena ghasab
merupakan hal negatif, namun tetap di laksanakan. Perilaku santri dalam melakukan ghasab
dapat memicu terjadinya perilaku ghasab lainnya. Sehingga timbulah anggapan “Barang
siapa yang mengghasab, pasti dia akan dighasab”. Faktor penting yang memengaruhi
terjadinya fenomena ghasab diantaranya faktor individu, lingkungan sosial, faktor situasional,
faktor kultural dan faktor tidak meratanya fasilitas. Para santri serta pembina sepakat bahwa
fenomena ghasab ini termasuk kedalam kategori perilaku menyimpang karena tidak sesuai
dengan nilai dan norma agama serta masyarakat setempat. Fenomena ghasab menimbulkan
dampak buruk bagi akhlaq santri serta dikhawatirkan menjadi benih penyimpangan sosial.

Upaya menanggulangi fenomena ghasab di lingkungan pesantren diantaranya dapat


dilakukan dengan cara mengubah kesadaran santri untuk tidak mengghasab, memberikan
sosok teladan untuk tidak berbuat ghasab, mempertegas kedisiplian, membuat program dan
36

tim khusus untuk menanggulangi ghasab, serta melakukan peningkatan dan pemerataan
fasilitas pesantren.

DAFTAR PUSTAKA

A’la, Abdul. (2006) Pembaharuan Pesantren. Yogyakarta: Pustaka Pesantren.


Aminatuzzuhriyah. (2010). Kenakalan Remaja Di Pondok Pesantren (Studi Deskriptif
Tentang Persepsi Kenakalan Remaja Bagi Santri, Alasan dan Bentuk-Bentuk Kenakalan
Remaja).
Asnawi, Y. H., Soetarto, E., Damanhuri, D. S., & Sunito, S. (2012). Catabolism of
Space and utilization of community as A Survival Strategy of Pesantren. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. (1990).
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Hasan, (2006).
Tarjamah Bulugul Maram. Cet. XXVII. Bandung: CV. Diponogoro.
Horton Paul, Hunt C.L. (1984). Sociology. Six Edition. Jakarta: Erlangga.
Khaulani, A. T. (2015). Ghasab Di Pondok Pesantren Daarun Najaah (Tinjauan
Pendidikan Akhlak).
Khoiriyah, K. (2014). Perilaku Gasab Di Pondok Pesantren Al-Luqmaniyyah
Yogyakarta), Pesantren (Studi Kasus Di Pondok 70–73.
Mulyani, Lena. (2012). Peran Pondok Pesantren Dalam Membina Perilaku Santri
Yang Berwatak Terpelajar Dan Islami. Bandung.
Muin, Idianto. (2006). Sosiologi SMA Untuk Kelas X. Jakarta: Erlangga.
Narwoko, J. Dwi dan Suyanto. (2010). Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan edisi
ketiga. Jakarta: Prenada Media Group.
37

Raindi, Adi Bakti. (2007). Pola Pembinaan Pesantren Daar Al-Taubah terhadap
Akhlak
Wanita Tuna Susila. Skripsi. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Setiadi, Elly Malihah dan Usman Kolip. (2013). Pengantar Sosiologi. Pemahaman
Fakta Dan Gejala Permasalahan Sosiao: Teori,
Aplikasi Dan Pemecahannya. Bandung: Kencana Prenada Media Group.
Suharti, N. (2011). Peran Pendidikan Kewarganegaraan Dalam Membina Karakter
dan Mencegah Munculnya Perilaku Menyimpang di Kalangan Siswa. Skripsi. Bandung:
Universitas Pendidikan Indonesia.
Vembiarto, St. (1991). Pathologi Sosial. Yogyakarta: Andi Offset. Wahyudi, I.
(2008). Budaya Ghasab Di Pondok Pesantren Salafiyah Al-Muhsin Condong Catur, Depok,
Sleman (Tinjauan Pendidikan Akhlak). Wahyuni, Niniek Sri K. (2007). Manusia dan
Masyarakat. Jakarta: Ganeca Exact.

Anda mungkin juga menyukai