Anda di halaman 1dari 15

PROPOSAL PENELITIAN TENTANG PERILAKU GHASAB PADA SANTRI

( STUDI KASUS DI PONPES AL-ISTIQOMAH KAPU DESA SAMA GUNA)

DI SUSUN OLEH:
IKA AYU ROSDIYANTI (2021G1B022)

FAKULTAS AGAMA ISLAM


PRODI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDA'IYAH

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MATARAM


2021-2022
A. Latar belakang masalah
Salah satu bentuk lembaga pendidikan Islam di Indonesia adalah pesantren.
Pesantren merupakan salah satu hasil dari proses penyebaran Islam di berbagai wilayah
nusantara, khususnya Jawa. Lembaga pendidikan tertua di Indonesia ini diklaim
merupakan model pendidikan yang khas Indonesia. (Iwan Wahyudi, 2008) Kebanyakan
pesantren menggunakan sistem asrama dalam upayanya membentuk generasi yang
berakhlak mulia. Asrama atau tempat pondok sebagai tempat tinggal bersama sekaligus
tempat belajar para santri di bawah bimbingan kyai. Asrama untuk para santri ini berada
dalam lingkungan komplek pesantren di mana kyai beserta keluarganya bertempat tinggal
serta adanya masjid sebagai tempat untuk beribadah dan tempat untuk mengaji bagi para
santri. Dengan menggunakan sistem ini kyai sebagai guru, pembimbing, pembina, dan
pemberi teladan, dapat hidup dalam lingkungan yang sama dengan para santri. Sehingga
proses belajar dan pembentukan kepribadian bagi santri tidak hanya berlangsung saat
pembelajaran di kelas, namun bisa berlangsung sepanjang hari. Metode ini sangat efektif
dalam membentuk karakter santri. (Khaulani, AT, 2015).

Metode pendidikan karakter santri di Pondok Pesantren pada umumnya dilakukan


melalui berbagai macam kegiatan diantaranya bangun pagi, salat wajib berjamaah, pulang
tepat waktu, membagi waktu kegiatan sekolah dan asrama, tradisi salaman antara santri,
berpakaian rapi, tidak ghasab, tugas piket dan bulish, khitobah, sholawat al barzanji,
muhadharah, tadarus al qur’an, sholat sunah tasbih dan sholat sunah dhuha dalam
kehidupan di Pondok Pesantren. Pendidikan karakter sudah tentu penting untuk semua
tingkat pendidikan, yakni dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Secara umum
pendidikan karakter sesungguhnya dibutuhkan semenjak anak usia dini. Apabila karakter
seseorang sudah terbentuk sejak usia dini, ketika dewasa tidak akan mudah berubah
meski godaan atau rayuan datang begitu menggiurkan. Dengan adanya pendidikan
karakter semenjak usia dini, diharapkan persoalan mendasar dalam dunia pendidikan
yang akhir-akhir ini sering menjadi keprihatinan bersama dapat teratasi. Sungguh
pendidikan di Indonesia sangat diharapkan dapat mencetak alumni pendidikan yang
unggul, yakni para anak bangsa yang beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, mempunyai
keahlian di bidangnya, dan berkarakter. (Siti, M, 2017)

Melalui penyuluhan ini diharapkan memberikan pemahaman sepenuhnya kepada


santri untuk mengurangi, menghilangkan bahkan memutuskan mata rantai budaya ghasab
dilingkungan asrama pesantren, bukan hanya berimplikasi kepada spikologis santri,
namun pembentukan mental santri dikemudian hari. Dan dengan adanya penyuluhan ini
pula santri diingatkan kembali setiap perilaku ghasab tidak pernah dibenarkan dalam
ajaran agama Islam dan juga peraturah hukum di Negara kita.1

1
Ernawati, “Peningkatan Kesadaran Santri terhadap Perilaku Ghasab dan Pemaknaannya Dalam Hukum Islam dan
Hukum Positif” Vol. 4 No. 2, 2018.
Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan yang lebih memfokuskan tentang
pemahaman ilmu agama, Meskipun pesantren merupakan tempat belajar menuntut ilmu
agama namun tidak memungkinkan untuk munculnya perilaku menyimpang salah
satunya yaitu ghasab. Mengambil atau menggunakan yang bukan haknya dan miliknya
tanpa seizin si pemilik adalah tindakan menyimpang yang tidak dibenarkan, atau dalam
Islam biasa disebut Ghasab. Perilaku yang sering kali dianggap sepele itu tak ayal juga
mejadi kebiasaan buruk di kehidupan pesantren. Walaupun sebenarnya kasus seperti ini
tidak hanya terjadi di lingkungan pesantren saja, namun mejadi hal yang ironis dimana
seharusnya pesantren sebagai tempat perbaikan akhlak namun malah menjadi salah satu
pemicu munculnya perilaku ghasab ini.

Ghasab yang marak terjadi di lingkungan pesantren adalah ghasab sandal. Sungguh
amat lucu saat melihat santri berangkat ke masjid memakai sepatu sekolah. Ada juga
santri yang numpang bahu atau minta gendong pada teman yang lain. Bahkan ada santri
yang jalannya seperti kanguru. Ia melompat-lompat dengan satu kaki dikarenakan hanya
kebagian sandal sebelah. Anggaplah santrinya 50 puluh, tapi sandalnya 40 puluh pasang.
Hingga muncul bahasa santri “Siapa yang cepat dia yang bersandal, siapa yang lambat
dia yang kenak begal”. Tidak cukup sampai di situ, bahkan ketika sandal temannya sudah
tidak ada milik pengurus pondokpun “disikat”. Mungkin dalam benaknya mengira
“jangankan hanya sandal yang harganya tidak seberapa, ilmunya yang tak ternilai dikasih
secara cuma-cuma kok”. Semua ini mungkin masih bisa dimaklumi, mereka sudah saling
kenal dan paham atas keadaan santri di pondok. Hanya saja ketika yang dibegal bukan
milik sesama santri, baru hal ini tidak bisa dibiarkan. Mereka perlu ditegur atau dikasih
punishment yang mendidik. Sebut saja wali santri yang sedang ngirim anaknya. Mau
pulang masih disibukkan dengan mencari sandal yang hilang terlebih dahulu.

Dari sedikit paparan cerita kehidupan santri di atas, lantas bagaimana sebenarnya
agama memandang prilaku ghasab, bukan hanya di lingkungan di pesantren yang
kebanyakan dipraktekkan oleh kaum sarungan di pondok pesantren? Menurut bahasa
ghasab adalah mengambil sesuatu secara paksa dan terang-terangan. Sedangkan menurut
istilah, ghasab berarti menguasai harta (hak) orang lain dengan tanpa izin (melampaui
batas). Ghasab ini dilakukan secara terang-terangan, hanya saja tanpa sepengetahuan
pemiliknya. Berbeda dengan pencurian yang memang dilakukan secara diam-diam.
Ghasab juga tidak harus berbentuk pada barang yang konkret, hal yang abstrak seperti
kemanfaatan juga masuk didalamnya. Mulai dari duduk didepan teras rumah orang lain
tanpa izin sampai numpang bercermin di kaca spion motor milik orang lain.2

2
Nanang Afriansyah, “Peran Bimbingan Keagamaan Dalam Menangani Perilaku Menyimpang (Studi Kasus Perilaku
Ghasab di Pondok Pesantren Darut Tauhid Al-Amin, Desa Margodadi Kecamatan Tumijajar Kabupaten Tulang
Bawang Barat), 2020.
Hal ini memang tidak mengurangi kualitas dan kuantitas barangnya secara langsung, namun
tetap saja kita telah mengambil manfaat dari barang yang dighasab. Karena yang dimaksud
ghasob secara definitive adalah mengambil manfaat suatu barang tanpa idzin dari pemilik
barang.

Hukum Melakukan Ghasab

Berdasarkan sejumlah ayat, hadis, dan pendapat ulama’, ghasab itu hukumnya haram.
Dalam kitab Kifayatu al-Akhyar, pekerjaan ghasab pada salah satu dosa besar. Adapun
firman Allah Swt. yang menjadi rujukan hukum ghasab ini adalah Surat Al-Baqarah [2]:
188,

َ‫اس بِاِإْل ْث ِم َوَأ ْنتُ ْم تَ ْعلَ ُمون‬ ِ ‫َواَل تَْأ ُكلُوا َأ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالبَا ِط ِل َوتُ ْدلُوا بِهَا ِإلَى ْال ُح َّك ِام لِتَْأ ُكلُوا فَ ِريقًا ِم ْن َأ ْم َو‬
ِ َّ‫ال الن‬

Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara
kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada
hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu
dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.

Imam At-Thabari dalam kitabnya (Jami’ul Bayan Fi tafsir Al-Qur’an Lith-thobari)


menjelaskan bahwa maksud kata memakan dengan batil dari ayat tersebut adalah dengan
cara memakan yang tidak diperbolehkan oleh Allah Swt.
Jadi, dapat ditarik simpulan bahwa ghasab (menggunakan milik orang lain tanpa izin)
berdasarkan ayat tersebut hukumnya haram dan sangat dilarang oleh Allah. Entah ghasab
pakaian, sandal, bantal, gayung, payung, dan barang-barang yang lain, hukumnya sama-
sama tidak boleh. Bahkan berdasarkan ayat tersebut ketika dilihat dari kaca mata ushul
fiqh maka ada 2 (dua) hal yang dapat kita simpulkan. Pertama, larangan (nahyi) tersebut
menunjukkan keharaman dari pekerjaan ghasab. Kedua, larangan tersebut mewajibkan
kita untuk menjahui perkara ghasab.3

Intinya degan berbagai macam alasan apapun, kebiasaan ghasab ini secara lambat
laun harus dihilangkan, apalagi dari lingkungan pesantren. Hal-hal yang bernilai ibadah
seperti mondok di pesantren, namun dicampuri dengan perkara haram seperti
ghasabmaka pasti akan memengaruhi nilai kebaikannya.
Perilaku ghasab secara umum di anggap sudah mendarah daging di lingkungan pesantren,
artinya penggunaan harta orang lain secara tidak sah untuk kepentingan sendiri sering
terjadi di kalangan santri dan masyarakat. Memberikan pemahaman yang komprehensif
kepada santri untuk mengurangi, menghilangkan atau bahkan memutus mata rantai
budaya ghasab di lingkungan pesantren, dan mengingatkan bahwa setiap perilaku ghasab
tidak wajar dalam ajaran Islam.

3
Ahmad Mawardi Imron, “Ghasab dan Penjelasan Lengkap Tentang Keharamannya”, 19 Januari 2019.
Pemahaman Ghasab tentang hukum positif

Santri sudah mengetahui tentang hukum ghasab, namun tetap saja melakukannya. Santri
menganggap bahwa menggunakan barang orang lain itu adalah hal yang wajar dalam
lingkungan pesantren. Suka meremehkan barang yang di gunakan, para santri
menganggap bahwa ghasab merupakan hal wajar di kalangan pesantren dan santri yakin
bahwa pemilik dari barang yang mereka pakai akan ikhlas barangnya di pinjamkan.
Jika perilaku ini tidak di perhatikan secara serius, juga dapat membentuk mentalitas
seseorang yang melakukan pencurian dan pencurian di perlakukan berbeda, sanksi di
kenakan pada orang yang mencuri, tetapi tidak ada sanksi yang di kenakan pada ghasab.
Sanksi ghasab bagi santri di sebut ta’zir, dan pada dasarnya ta’zir menanamkan sikap
tanggung jawab dan mendidik santri agar menaati aturan. Biarlah santri yang di siplin
menjadi takut dan tidak mengulanginya.

Dampak dari memakai barang orang lain memiliki kebiasaan unik menggunakan
barang-barang milik santri lain sesuka hati. Kebiasaan ini di sebut ghasab. Setiap santri
memperlakukan barang dan barang yang ada sebagai milik bersama, sehingga dapat di
gunakan bersama. Jika ada barang atau barang yang di butuhkan, siapa pun pemiliknya,
akan langsung di gunakan. Perilaku tersebut tidak terbatas pada satu jenis barang, seperti
sandal, pakaian, sarung, peci, handuk, dan lainnya, tetapi juga berlaku untuk makanan.
Jika seorang santri memasuki kamar teman dan kebetulan memiliki makanan di sana,
siswa tersebut segera makan, bahkan jika pemiliknya tidak ada.

Peringatan Nabi untuk Ghasab

Hadist Nabi Muhammad Saw yang terdapat dalam kitab Al-Majmu’ Syarhul
Muhadzdzab (Hal 227 Juz 14 )

‫ فإذا أخذ أحدكم عصا أخيه فليردها‬،‫ال يأخذ أحدكم متاع أخيه العبا أو جادا‬

Janganlah di antara kalian mengambil barang milik saudaranya, baik secara main-main
atau sungguh-sungguh. Apabila salah satu dari kalian mengambil tongkat milik
saudaranya maka hendaklah ia mengembalikannya. Oleh karena itu, harus di capai
kesepakatan dalam lingkungan pesantren yang benar-benar kebersamaan. Jika tidak ada
kesepakatan, maka hukum proyek mungkin meragukan atau bahkan ilegal.
Hampir semua santri mengetahui bahwa fenomena tersebut adalah hal yang negatif,
namun hal tersebut tetap saja terjadi.4
Perilaku seorang santri saat melakukannya dapat memicu perilaku ghasab lainnya.
Jadi ada hipotesis bahwa “orang yang memakai barang tanpa izin pasti akan di ghasab.”
Dengan mengubah kesadaran santri terhadap meminjam sesuatu tanpa izin, memberikan
contoh untuk tidak melanggar aturan, dan memperkuat di siplin, dapat di lakukan upaya
untuk mengatasi fenomena ini di lingkungan pesantren. Santri harus mampu menerapkan
4
Santi Rahmawati,”Meningkatkan Kesadaran Santri Tentang Jeleknya Ghasab”, 6 September 2021.
apa yang telah mereka pelajari dari pesantren ke dalam kehidupan sehari-hari mereka dan
memahami langkah-langkah yang akan mereka ambil.

Berdasarkan pembahasan di atas, maka penelitian tertarik untuk melakukan


penelitian tentang Analisis Perilaku Ghasab Pada Santri (Studi Kasus Di Ponpes Al-
Istiqomah Kapu Desa Sama Guna).

B. Rumusan masalah
1. Bagaimana pandangan santri tentang perilaku ghasab yang ada di ponpes Al-
istiqomah Kapu, Desa Sama Guna.?
2. Mengapa terjadi perilaku ghasab di ponpes Al-istiqomah Kapu, Desa Sama
Guna.?
3. Bagaimana solusi yang dapat ditempuh untuk menanggulangi budaya ghasab
di ponpes Al-istiqomah Kapu, Desa Sama Guna.?

C. Tujuan dan manfaat


a. Tujuan
Berdasarkan fokus penelitian yang telah dijabarkan sebelumnya dan
agar sasaran dari penelitian ini lebih terarah. Maka berikut penjabaran penelitian
yang ingin dicapai :
1. Untuk mengetahui pandangan santri tentang perilaku ghasab yang ada di
ponpes Al-istiqomah Kapu, Desa Sama Guna.
2. Untuk mengetahui apa alasan terjadinya perilaku ghasab di ponpes Al-
istiqimah Kapu, Desa Sama Guna.
3. Untuk mengidentifikasi solusi yang dapat ditempuh dalam menanggulangi
budaya ghasab di ponpes Al-istiqimah Kapu, Desa Sama Guna.

b. Manfaat
1. Teoritis
Untuk menambah pengetahuan serta wawasan tentang perilaku ghasab
melalui pendekatan terhadap santri dan mengetahui segala gejala yang
terjadi akibat perilaku ghasab yang terjadi dalam pondok.
2. Praktis
Penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca di semua kalanganan dan dapat menambah pengetahuan serta
pengalaman peneliti dengan terjun langsung ke pondok dan juga dapat
dijadikan bekal untuk melakukan penelitian-penelitian selanjutnya.

D. Ruang lingkup dan seting penelitian


Dalam penelitian ini yang dimana merupakan suatu kegiatan ilmiah dalam rangka
pemecahan suatu permasalahan. Guna untuk mencari penjelasan dan jawaban terhadap
permasalahan serta memberikan alternatif bagi kemungkinan yang dapat digunakan untuk
pemecahan masalah mengenai perilaku ghasab yang terjadi di pondok. Sedangkan untuk
seting atau lokasi penelitian akan dilakukan di Ponpes Al-istiqimah Kapu, Desa Sama
Guna.

E. Telaah Pustaka
Ada beberapa penelitian yang sudah membahas tentang tema mengenai perilaku
ghasab yang sudah terjadi dikalangan pondok. Dari sekian banyak tulisan yang bisa
peneliti lacak adalah beberapa tulisan berikut ini;
1. Skripsi yang ditulis oleh Nahdhiyah Dinda, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri
Malang, Tahun 2018 yang berjudul Prilaku Ghasab di Pondok Pesantren Roudlotun
Nasyiin Berat Kulon Kemlagi Mojokerto. Penelitian ini bersifat kualitatif subyek
penelitian ini meliputi pengasuh pondok ustadzah dan santri pondok pesantren
Roudlotun Nasyiin. Penelitian ini bertujuan untuk membahas tentang praktek ghasab
yang ada di Pondok Pesantren. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan
metode observasi wawancara dan dokumentasi.5
2. Al-Mujahidah dan Ulfa Latifah, Tahun 2018 yang berjudul Upaya Ustadz Ustadzah
Dalam Meminimalkan Perilaku Ghasab Di Pondok Pesantren Al-Hikmah
Karangmojo Gunungkidul. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa parah
tindakan ghasab yang dilakukan oleh para santri-santri. Serta mengetahui sistem
pembelajaran santri tentang tindakan ghasab tersebut. Selanjutnya, penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui upaya ustadz ustadzah dalam meminimalkan tindakan
ghasab Jenis penelitian yang telah penulis lakukan adalah termasuk kedalam
pendekatan kualitatif deskriptif selanjutnya penulis melakukan kajian lapangan (field
reserch) dengan teknik pengumpulan data antara lain wawancara, dokumentasi, serta
observasi. Kemudian data yang telah dikumpulkan dianalisi sacara redukasi data,
penyajian data dan kesimpulan, sehingga penulis mendapatkan hasil secara
sempurna.6
3. Artikel yang di tulis oleh Nurul Shofiah, hlm.13 yang berjudul Kenakalan Remaja
Dalam Bentuk Ghasab. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan solusi alternatif
untuk mengatasi perilaku ghasab di Mabna Fatimah Az-Zahra. Maka dari itu adanya
penelitian yang mennjukan bahwa perilaku ghasab semakin meluas di kalangan
mahasantri bahkan mereka menganggap bahwa apa yang dilakukannya merupakan
budaya dari santri-santri sebelumnnya.7
Dari ketiga penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa perilaku ghasab dilihat dari
sudut pandang yang berbeda-beda, penulis melihat fenomena ghasab dari hasil tinjauan
secara pandangan sosial, sedangkan beberapa skripsi dan jurnal diatas ada yang melihat
fenomena ghasab dari segi budaya, akhlak, dan segi pemaknaan dalam hukum islam yang
positif. Dari hasil penelitian terdahulu ini dapat memberikan alasan bagi peneliti untuk
5
Dinda Nahdhiyah, “Perilaku Ghasab di Pondok Pesantren Roudlotuh nasyiin, Berat Kulon, Kemlagi Mojokerto”, 3
Juli 2018.
6
Al-Mujahidah dan Ulfa Latifah, “Upaya Ustadz Ustadzah Dalam Meminimalkan Perilaku Ghasab di Pondok
Pesantren Al-Hikmah Karangmojo Gunungkidul”, 2018.
7
Nurul Shofiyah, “Kenakalan Remaja Dalam Bentuk Ghasab", hlm. 13
https://www.scribd.com/document/563744831/01-artikel
melakukan penelitian yang lebih mendalam mengenai Analisis perilaku ghasab pada
santri.

F. Kajian Teori
1. Pengertian perilaku ghasab
a. Perilaku Ghasab
Ghasab menurut bahasa ialah mengambil suatu barang secara terang-terangan
yaitu bisa dinamakan sebagai perbuatan yang dzalim. Sedangkan menurut istilah
ialah menguasai hak orang lain secara keseluruhan. Di dalam pembelajaran ilmu
fikih terdapat beberapa pengertian mengenai tindakan ghasab yang dibahas oleh
para ulama. Pertama, berdasarkan Mazhab Maliki, ghasab adalah mengambil
benda orang lain dengan paksa dan sewenang-wenang, bukan diartikan sebagai
merampok. Definisi ini membedakan antara mengambil barang dan mengambil
manfaat.
Mereka berpendapat, tindakan sewenang-wenang tersebut dikategorikan
menjadi empat bentuk, yakni:
a. Mengambil benda tidak seizin yang punya disebut ghasab,
b. Mengambil manfaat dari suatu benda, bukan materinya dinamakan juga
sebagai tindakan ghasab,
c. Manfaatkan suatu benda sampai merusak atau menghilangkan barang tersebut
dikatakan tindakan ghasab,
d. Melakukan suatu perbuatan yang menyebabkan hilang atau rusaknya milik
orang lain tidak dapat disebut sebagai tindakan ghasab, tapi disebut ta’addi
(Dahlan, 1997 : 401).

Namun Mazhab Hanafi memperjelas pengertian ghasab yakni “dengan


terang-terangan” dalam memisahkan pengertian dengan mencuri, apabila
suatu perbuatan dilakukan dengan sembunyi-sembunyi atau diam-diam
disebut dengan pencurian. Tetapi ulama Mazhab Hanafi tidak
mengklasifikasikan dalam suatu perbuatan jika dilakukan ghasab cukup
dengan mengambil manfaatnya. (Dahlan, 1997 : 400 ).8

Adapun Ghasab merupakan perilaku menggunakan barang milik orang lain


tanpa seizin pemiliknya. Fenomena ghasab sudah sering terjadi di Pesantren
Persatuan Islam 67 Benda Tasikmalaya.
Hampir seluruh santri mengetahui fenomena ghasab merupakan hal
negatif, namun tetap di laksanakan. Perilaku santri dalam melakukan ghasab
dapat memicu terjadinya perilaku ghasab lainnya.Sehingga timbulah anggapan
“Barang siapa yang mengghasab, pasti dia akan dighasab”. Perilaku
merupakan tindakan, sikap atau cara berbuat sesuai dengan apa yang
selayaknya bagi seorang manusia.
8
Al Hakim Ahmad Rizha, https://www.scribd.com/document/576051717/TINJAUAN-TEORI-GHASAB
Perilaku sering disebut sebagai moral atau akhlaq sesuai dengan ukuran-
ukuran nilai di masyarakat. Semua perilaku terjadi karena dipelajari. Ghasab
merupakan perilaku menggunakan barang milik orang lain tanpa seizin
pemiliknya. Perilaku ghasab terjadi karena adanya proses belajar yang
menyimpang. Pola perilaku (tingkah laku) menyimpang terjadi dipelajari melalui
suatu pergaulan yang akrab dalam sebuah interaksi.

Ghasab sering terjadi di tempat yang banyak penghuninya misalnya di


lingkungan pesantren dengan interaksi yang cukup kental antar sesama santrinya.
Setiap santri yang melakukan ghasab tidak akan mengenal waktu, bahkan selama
ia membutuhkan barang tersebut, akan tetap dighasab. Pelaku ghasab tidak
memperhatikan aturan yang seharusnya di patuhi, mereka lebih mengedepankan
peluang dalam mengghasab sesuai dengan kebutuhannya. Perilaku ghasab yang
dilakukan seorang santri dapat menular menjadi perilaku ghasab bagi santri
lainnya. Peristiwa tidak lazim ini terjadi lingkungan pesantren yang seharusnya
dapat menerapkan nilai-nilai agamis kepada para santrinya, maka ghasab menjadi
sebuah fenomena yang menarik untuk di kaji.

b. Faktor-faktor yang mempengaruhi santri melakukan ghasab


Fenomena ghasab di lingkungan pesantren dipengaruhi oleh beberapa
faktor. Pertama yaitu faktor Individu. Relativitas individu membuat seseorang
memiliki kebebasan menentukan perilakunya, para santri dengan latar belakang
yang beragam bebas untuk bertindak sesuai norma atau melanggar norma yang
ditetapkan di lingkungan pesantren. Sebagaimana dalam Utari (2012, hlm. 126)
menjelaskan bahwa: Manusia tercipta sebagai makhluk yang memiliki moral,
sehingga setiap manusia bebas untuk berbuat sesuatu yang bermacam-macam.
Tindakan tersebut berdasarkan pada pilihan: taat hukum atau melanggar
hukum. Tindakan yang dipilih akan didasarkan pada ikatan-ikatan sosial yang
dibentuk dimana individu tersebut tinggal. Dari kebebasan bertindak tersebut
muncul alasan utama seseorang melakukan perilaku menyimpang yaitu karena
faktor human eror, sebuah anggapan dalam konsep penyimpangan sosial bahwa
setiap individu yang lahir kedunia memiliki kecenderungan untuk melakukan
disosiasi sosial.9
Sebagaimana Paul B. Horton (dalam Setiadi, 2013, hlm. 195) menerangkan
bahwa tidak ada satu pun manusia yang sepenuhnya berperilaku selurus-lurusnya
sesuai dengan nilai dan norma sosial (konformis) atau sepenuhnya berperilaku
menyimpang. Faktor pendorong santri melakukan ghasab di Pondok Pesantren
Perstuan Islam 67 Benda adalah karena adanya dorongan dari dalam diri individu
untuk melakukan perilaku menyimpang dalam situasi tertentu. Santri mengetahui

9
Mila Nabila Zahara, “Tinjauan Sosiologis Fenomena ghasab di Lingkungan Pesantren Dalam Perspektif
Penyimpang Sosial”, Agustus 2018.
bahwa perilaku ghasab adalah perilaku dzalim yang akan merugikan orang lain,
namun mereka tetap melakukannya demi memenuhi kebutuhan sesaat.

Kebiasaan ghasab-mengghasab terjadi hampir setiap hari di lingkungan


Pesantren Persatuan Islam 67 Benda, hingga akhirnya membuat santri terbiasa
untuk berperilaku ghasab. Hal tersebut selaras dengan yang dijelaskan dalam
Setiadi dan Kolip (2013, hlm. 189) bahwa “sebab terjadinya perilaku
menyimpang dilatar belakangi oleh beragam hal diantaranya karena adanya
dorongan dari dalam diri individu, dorangan dari lingkungan luar, seperi pola-pola
kelakukan yang dibiasakan”.

c. Gasab sebagai bentuk Kenakalan Remaja


Akhir-akhir ini muncul fenomena perilaku ghasab di lingkungan ma’had atau
pondok pesantren. Hal tersebut dapat mengarah pada kenakalan remaja mengingat
pelaku ghasab di lingkungan yang diteliti masih menginjak usia remaja dan
berdampak pada interaksi sosial antar santri. Penelitian ini bertujuan untuk
menemukan solusi alternatif untuk mengatasi perilaku ghasab di Mabna Fatimah
Az-Zahra.10

Kenakalan remaja (juvenile delinquency) berasal dari kata juvenile yang


berarti remaja dan delinquency berarti kejahatan.4 Adapun arti secara sempit
juvenile delinquency dimaknai sebagai kejahatan remaja atau remaja jahat.
Apabila mengacu dalam konteks Al-Qur’an, penulis mengartikan juvenile
delinqency adalah remaja yang sesat (dalāl) atau kesesatan remaja. Dalāl itu
sendiri secara bahasa memiliki arti hilang, mati, tersembunyi, sia-sia, binasa, lupa,
sesat, bingung. Secara istilah dalāl menurut Al-Ragib al-Asfahani, dinyatakan
perilaku yang berpaling dari jalan yang benar dan lurus.11

Sedangkan Sa’id Hawa menyatakan bahwa kesesatan (dalāl) adalah berpaling


dari kebenaran yang sifatnya terus-menerus. Dengan demikian menurut penulis
juvenile delinquency apabila dilihat dari konteks al-Quran secara istilah dapat
dimaknai sebagai perilaku-perilaku sesat dan dzalim yang dilakukan oleh kaum
remaja yang tidak benar, tidak lurus dan tentu saja tidak selaras dengan aturan-
aturan yang Allah tetapkan dan sifatnya bisa saja berkelanjutan (terus-menerus).

10
Nurul Shofiyah, “Kenakalan Remaja Dalam Bentuk Ghasab”
https://www.scribd.com/document/563744831/01-artikel
11
Halim Purnomo, Azam Syukur Rahmatullah, “Kenakalan Remaja Kaum Santri Di Pesantren (Telaah Deskriptif-
Fenomenologis), Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 8 No. 2, Desember 2022, Hal.222-245
Adapun menurut juvenile delinquency dimaknai sebagai tindakan
yang tidak beretika dan tidak bermoral yang dilakukan oleh remaja, yang
tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadis Nabi.

Sedangkan Muhammad Nur Abdul Haidz dalam bukunya berjudul “Prophetic


Parenting; Cara Nabi Menididik Anak”menyatakan bahwa juvenile delinquency
perilakuperilaku yang jauh dari kepribadian seorang muslim dan jauh dari
cerminan akhlak Islami yang dilakukan oleh anak- remaja Azam Syukur dalam
jurnal berjudul “Kenakalan Remaja dalam Perspektif Psikologi Pendidikan Islam”
memberikan kesimpulan berdasarkan beberapa definisi di atas, kenakalan remaja
(juvenile delinquency) adalah perilaku remaja yang tidak sejalan dengan aturan
agama, hukum positif dan adat yang kemudian menjadi penyakit di dalam
masyarakat/penyakit sosial yang merugikan tidak hanya masyarakat itu sendiri
tetapi sebenarnya pun merugikan diri sendiri dan keluarganya.

Definisi kenakalan remaja santri yang mengarah pada aspek


religius-illahiyah, adalah:

“Tindakan atau perilaku yang dilakukan oleh kaum remaja yang nyantri di
pesantren namun berpaling dari jalan lurus dan jalan yang benar. Meskipun ada di
antaranya yang bersifat sementara karena mereka khilaf dan kemudian kembali
lagi pada jalan lurus. Namun ada pula di antara mereka yang bersifat baku, artinya
kenakalannya tidak bisa diperbaiki lagi selama nyantri di pesantren. Dan
kenakalan tersebut melanggar aturanaturan yang telah ditetapkan oleh pesantren
yang bersumberkan pada Al-Qur’an dan Hadis.”

Berdasar dari pemaparan definisi di atas, ada beberapa unsur atau muatan
tentang kenakalan remaja santri; Pertama, dilakukan oleh seorang santri yang
merupakan penyebutan bagi seseorang yang belajar dan mondok (mean: tinggal)
di pesantren. Kedua, berpaling dari jalan lurus dan benar. Ketiga, kenakalannya
ada yang bersifat sementara dan kekal (baqa’). Keempat, melanggar aturan
kepesantrenan yang pondasi dasarnya adalah Al-Qur’an dan Hadis.
Sedangkan definisi kenakalan remaja santri yang mengarah pada aspek umum
adalah:

“Tindakan atau perbuatan yang sifatnya tidak menyenangkan dan merugikan


orang lain dan dirinya sendiri yang dilakukan oleh remaja yang sedang belajar di
pesantren.”

Penyebab Kenakalan Remaja Santri di Pesantren


Ada beberapa hal yang menjadi penyebab terjadinya perilakuperilaku
menyimpang yang dilakukan oleh kaum santri selama nyantri di
pesantren, di antaranya adalah:

1. Dilihat dari individu santri


a. Kenakalan atau penyimpangan perilaku sudah ada bibit-bibitnya (baik itu bibit
subur maupun kurang subur) yang di bawa sejak sebelum masuk pesantren.

b. Adanya paksaan dan keterpaksaan ketika masuk pesantren terhadap


si individu santri, dan selama nyantri tidak ada usaha dan upaya untuk
“menyadarkan” dan “mencerahkan” diri sendiri bahwa masuk pesantren adalah
pilihan terbaik dan bukan merupakan kesalahan. Akibatnya, anak-anak yang
demikian selama nyantri membuat ulah yakni perilaku-perilaku yang negatif,
yang menurut mereka adalah pelampiasan yang tidak bertangung jawab sebagai
bagian dari ketidakterimaan mereka atas dimasukkannya ke pesantren oleh orang
tua. Harapannya, dengan berbuat yang menyimpang, mereka akan dikeluarkan
dari pesantren dan di sekolahkan di sekolah yang sebelumnya mereka inginkan.

c. Proses internalisasi keilmuan-akhlak yang gagal selama nyantri. Ajaran-ajaran


agama di pesantren tidak mampu diinternalisasi dengan baik oleh santri, sehingga
yang terjadi tumbuh-kembangnya perilaku-perilaku santri yang kurang selaras
dengan aturan pesantren dan syari’ah.

d. Kebosanan yang sifatnya langgeng. Faktor bosan bisa menjadi


penyebab anak-anak menjalani tindakan-tindakan yang tidak selaras
aturan pesantren.

2. Dilihat dari Lingkungan Pesantren


a. Aturan yang ketat di lingkungan pesantren menjadikan santri yang sudah
memiliki bibit-bibit nakal semakin tumbuh subur, dan aturan itulah yang
menjadikan mereka seolah-olah terpenjara dan kemudian menggugat aturan yang
ada dan ingin bebas dari aturan tersebut.

b. Adanya aturan yang terlalu longgar juga bisa menjadikan anak-anak yang
nyantri berbuat sekehendak hatinya, karena merasa tidak ada yang membatasi dan
melarang, sehingga santri akan mengeskpresikan kenegatifan perilakunya dengan
leluasa.

c. Adanya kedekatan dan kelekatan yang kurang antara ustadz atau mudabbir
dengan para santri. Apalagi terkadang jumlah ustadz pembimbing atau mudabbir
lebih sedikit daripada jumlah santri, sehingga minimnya pendekatan dan sentuhan
dari para asatidz dan mudabbir. Akbat itu semua, anak yang memang sudah
memiliki bibit nakal semakin tidak terkendali.
d. Lingkungan pesantren yang tidak nyaman, bisa juga menjadikan anak tumbuh
kenakalannya. Ketidaknyamanan bisa dilihat dari kondisi pesantren yang kumuh,
kamar tidur yang berantakan, minimnya kegiatan-kegiatan santri sehingga
menjadikan santri semakin tidak betah di pesantren dan mengembangkan potensi
kenakalannya baik di dalam maupun di luar pondok.

e. Adanya dewan asatidz yang tidak memberi contoh/tauladan yang


baik dan bijak bagi para santri, sehingga santri merasa kecewa dengan sang ustadz
dan menganggap ketidakadilan baginya, dan pelampiasannya adalah berbuat yang
menyimpang.

3. Dilihat dari Lingkungan Relationship antar Santri


a. Pengaruh lingkungan perkawanan di pesantren sangat besar menumbuhkan
potensi nakal yang dimiliki santri, apalagi tinggal satu atap, satu kamar dan satu
naungan akan mampu menularkan aura dan perilaku negatif bagi santri lainnya.

b. Lingkungan santri yang di dalamnya terjadi percampuran antar santri


putra dan putri (baik di dalam kelas, maupun asrama putra dan putri yang
jaraknya relatif dekat) juga bisa memunculkan tindakantindakan penyimpangan
yang seharusnya tidak terjadi di lingkungan pesantren. Seperti halnya pacaran
antar santri putra dan putri, bahkan sampai pada tahapan pacaran yang berlebihan.

C. Meski sejatinya, lingkungan santri yang satu rumpun, misalkan semuanya laki-
laki atau pesantren yang semuanya perempuan, dengan asrama yang jaraknya jauh
antara asrama laki-laki dan perempuan pun bisa saja memunculkan hubungan
yang menyimpang, seperti halnya hubungan sejenis atau pacaran antara sesama
jenis. Hal yang merupakan bentuk dari kenakalan santri yang ada di pesantren.

2. Teori Pertukaran Sosial


Ada dua teori yang termasuk ke dalam paradigma perilaku sosial.Pertama,
Teori Behavioral Sociology.12 Teori ini dibangun dalam rangka menerapkan
prinsip-prinsip psikologi perilaku ke dalam sosiologi. Memusatkan perhatiannya
kepada hubungan antara akibat dan tingkah laku yang terjadi di dalam
lingkungan aktor dengan tingkah laku aktor. Konsep dasar Behavioral
sociologyadalah reinforcementyang berarti ganjaran (reward).
Tidak ada sesuatu yang melekat dalam obyek yang dapat menimbulkan
ganjaran.

Perulangan tingkah laku tidak dapat dirumuskan terlepas dari efeknya


terhadap perilaku itu sendiri.Kedua,Teori Exchange. Tokoh utamanya George
12
Shokhibul Mighfar, “SOCIAL EXCHANGE THEORY: Telaah Konsep George C. Homans Tentang Teori Pertukaran
Sosial”, Fakultas Tarbiyah IAI Ibrahimy Situbondo, Vol. 9 No. 2, Desember2015
Homans. Teori ini dibangun sebagai reaksi terhadap paradigma fakta sosial,
terutama menyerang ide Durkheim.

Sebelum membahas lebih dalam mengenai Teori Pertukaran, perlu diketahui


terlebih dahulu bahwa teori Pertukaran ini sendiri merupakan salah satu dari
tiga teori yang hampir memiliki kemiripan dan hubungan yaitu: teori pilihan
rasional, teori jaringan dan teori ini sendiri. Perbedaan mendasar terletak dimana
teori pilihan rasional memusatkan perhatian pada proses pembuatan keputusan
individual,dan teori pertukaran lebih kepada menganalisis hubungan sosial.
Sedangkan teori jaringan sendiri hampir mirip dengan teori pilihan rasional
namun perbedaan mendasarnya adalah teori jaringan menolak adanya rasionalitas
dalam perilaku manusia. Dan persamaanny adalah ketiganya berorientasi
positivistik.Teori pertukaran ini sendiri lebih bersifat ekologis dimana adanya
pengaruh lingkungan terhadap perilaku aktor serta pengaruh aktor terhadap
lingkungannya. Teori ini merupakan akar dari teori pertukaran yang dinamakan
behaviorisme, dimana hubungan tadi merupakan dasar dari operant condition. Hal
ini kemudian digunakan oleh sosiolog untuk memprediksi perilaku seorang
individu di masa depannya, dengan melihat apa yang terjadi di masa lalunya /masa
kecilnya.
Apabila tindakan individu ini menguntungkan di masa kecilnya, maka
kemungkinan besar akan terulang di masa depannya. Dan sebaliknya bila
merugikan, maka akan kecil kemungkinan untuk terulang. Maka sosiolog
menyebutnya dengan adanya hadiah (stimulus) yang mendukung individu
agar melakukan tindakan yang dilakukan di masa kecilnya di kemudian hari dan
hukuman untuk mengurangi kemungkinan perilaku terulangSudut pandang
Pertukaran Sosial berpendapat bahwa orang menghitung nilai keseluruhan dari
sebuah hubungan dengan mengurangkan pengorbanannya dari penghargaan yang
diterima.Tokoh-tokoh yang mengembangkan teori pertukaran sosial antara lain
adalah psikolog John Thibautdan Harlod Kelley(1959), sosiolog George
Homans(1961), Richard Emerson(1962), dan Peter Blau(1964). Berdasarkan teori
ini, kita masuk ke dalam hubungan pertukaran dengan orang lain karena dari
padanya kita memperoleh imbalan. Dengan kata lain hubungan pertukaran
dengan orang lain akan menghasilkan suatu imbalan bagi kita. Seperti halnya
teori pembelajaran sosial,teori pertukaran sosial pun melihat antara perilaku dengan
lingkungan terdapat hubungan yang saling mempengaruhi (reciprocal).

Karena lingkungan kita umumnya terdiri atas orang-orang lain, maka kita
dan orang-orang lain tersebut dipandang mempunyai perilaku yang saling
mempengaruhi Dalam hubungan tersebut terdapat unsur imbalan (reward),
pengorbanan (cost) dan keuntungan (profit). Imbalan merupakan segala hal yang
diperloleh melalui adanyapengorbanan, pengorbanan merupakan semua hal yang
dihindarkan, dan keuntungan adalah imbalan dikurangi oleh pengorbanan. Jadi
perilaku sosial terdiri atas pertukaran paling sedikit antar dua orang berdasarkan
perhitungan untung-rugi.

Misalnya, pola-pola perilakudi tempat kerja, percintaan, perkawinan,


persahabatan -hanya akan langgeng manakala kalau semua pihak yang terlibat
merasa teruntungkan. Jadi perilaku seseorang dimunculkan karena
berdasarkan perhitungannya, akan menguntungkan bagi dirinya, demikian pula
sebaliknya jika merugikan maka perilaku tersebut tidak ditampilkan. Berdasarkan
keyakinan tersebut Homans dalam bukunya "Elementary Forms of Social
Behavior,1974 mengeluarkan beberapa proposisi dan salah satunya
berbunyi:"Semua tindakan yang dilakukan oleh seseorang, makin sering satu
bentuk tindakan tertentu memperoleh imbalan, makin cenderung orang tersebut
menampilkan tindakan tertentu tadi ".

Anda mungkin juga menyukai