Anda di halaman 1dari 11

Nama: Malikah Lana Aljinan Kelas 6.

a / MI Marfu'ah Palembang
Mata Pelajaran : FIQIH

Ghasab dan Penjelasan Lengkap tentang Keharamannya

Penulis

 Ahmad Mawardi Imron

19 Januari 2019

BincangSyariah.Com – Biasanya, Ghasab yang marak terjadi di lingkungan pesantren

adalah ghasab sandal. Sungguh amat lucu saat melihat santri berangkat ke masjid

memakai sepatu sekolah. Ada juga santri yang numpang bahu atau minta gendong pada

teman yang lain. Bahkan ada santri yang jalannya seperti kanguru. Ia melompat-lompat

dengan satu kaki dikarenakan hanya kebagian sandal sebelah. Anggaplah santrinya 50

puluh, tapi sandalnya 40 puluh pasang. Hingga muncul bahasa santri “Siapa yang cepat

dia yang bersandal, siapa yang lambat dia yang kenak begal”.

Tidak cukup sampai di situ, bahkan ketika sandal temannya sudah tidak ada milik

pengurus pondokpun “disikat”. Mungkin dalam benaknya mengira “jangankan hanya

sandal yang harganya tidak seberapa, ilmunya yang tak ternilai dikasih secara cuma-cuma

kok”.

Semua ini mungkin masih bisa dimaklumi. Mereka sudah saling kenal dan paham atas

keadaan santri di pondok. Hanya saja ketika yang dibegal bukan milik sesama santri, baru

hal ini tidak bisa dibiarkan. Mereka perlu ditegur atau dikasih punishment yang mendidik.

Sebut saja wali santri yang sedang ngirim anaknya. Mau pulang masih disibukkan dengan

mencari sandal yang hilang terlebih dahulu.

Dari sedikit paparan cerita  kehidupan santri di atas, lantas bagaimana sebenarnya agama

memandang prilaku ghasab, bukan hanya di lingkungan di pesantren yang kebanyakan

dipraktekkan oleh kaum sarungan di pondok pesantren?

Menurut bahasa ghasab adalah mengambil sesuatu secara paksa dan terang-terangan.

Sedangkan menurut istilah, ghasab berarti menguasai harta (hak) orang lain dengan tanpa
Nama: Malikah Lana Aljinan Kelas 6.a / MI Marfu'ah Palembang
Mata Pelajaran : FIQIH

izin (melampaui batas). Ghasab ini dilakukan secara terang-terangan, hanya saja tanpa

sepengetahuan pemiliknya. Berbeda dengan pencurian yang memang dilakukan secara

diam-diam. Ghasab juga tidak harus berbentuk pada barang yang konkret, hal yang

abstrak seperti kemanfaatan juga masuk didalamnya. Mulai dari duduk didepan teras

rumah orang lain tanpa izin sampai numpang bercermin di kaca spion motor milik orang

lain.

Hal ini memang tidak mengurangi kualitas dan kuantitas barangnya secara langsung,

namun tetap saja kita telah mengambil manfaat dari barang yang dighasab. Karena yang

dimaksud ghasob secara definitive adalah mengambil manfaat suatu barang tanpa idzin

dari pemilik barang.

Hukum Melakukan Ghasab

Berdasarkan sejumlah ayat, hadis, dan pendapat ulama’, ghasab itu hukumnya haram. 

Dalam kitab Kifayatu al-Akhyar, pekerjaan ghasab pada salah satu dosa besar. Adapun

firman Allah Swt. yang menjadi rujukan hukum ghasab ini adalah Surat Al-Baqarah [2]:

188,

َ‫ َوأَ ْنتُ ْم تَ ْعلَ ُمون‬ ‫بِاإْل ِ ْث ِم‬ ‫اس‬ ْ ْ


ِ َّ‫الن‬ ‫أَ ْم َوا ِل‬ ‫ ِم ْن‬ ‫فَ ِريقًا‬ ‫لِتَأ ُكلُوا‬ ‫ ْال ُح َّك ِام‬ ‫بِهَا إِلَى‬ ‫ َوتُ ْدلُوا‬ ‫بِ ْالبَا ِط ِل‬ ‫بَ ْينَ ُك ْم‬ ‫أَ ْم َوالَ ُك ْم‬ ‫تَأ ُكلُوا‬  ‫َواَل‬

Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan

jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya

kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat)

dosa, Padahal kamu mengetahui.

Imam At-Thabari dalam kitabnya (Jami’ul Bayan Fi tafsir Al-Qur’an Lith-thobari)

menjelaskan bahwa maksud kata memakan dengan batil dari ayat tersebut adalah

dengan cara memakan yang tidak diperbolehkan oleh Allah Swt.


Nama: Malikah Lana Aljinan Kelas 6.a / MI Marfu'ah Palembang
Mata Pelajaran : FIQIH

Jadi, dapat ditarik simpulan bahwa ghasab (menggunakan milik orang lain tanpa izin)

berdasarkan ayat tersebut hukumnya haram dan sangat dilarang oleh Allah.

Entah ghasab pakaian, sandal, bantal, gayung, payung, dan barang-barang yang lain,

hukumnya sama-sama tidak boleh. Bahkan berdasarkan ayat tersebut ketika dilihat dari

kaca mata ushul fiqh maka ada 2 (dua) hal yang dapat kita simpulkan. Pertama,

larangan (nahyi) tersebut menunjukkan keharaman dari pekerjaan ghasab. Kedua,

larangan tersebut mewajibkan kita untuk menjahui perkara ghasab.

Lantas, bagaimana jika kita sudah terlanjur melakukan ghasab atau sudah terbiasa

dengannya? Maka, jawabannya segera bertobat dan berhenti dari kebiasaan ghasab.

Semua barang atau benda yang pernah kita ghasab harus dikembalikan dan meminta

maaf pada pemiliknya. Namun jika barang yang dighasab telah mengalami kerusakan

sebab pemakaian kita, maka hukumnya wajib mengganti sesuai kondisi barang

saat dighasab. Ini berdasarkan hadist Nabi Muhammad Saw yang terdapat dalam kitab Al-

Majmu’ Syarhul Muhadzdzab (Hal 227 Juz 14 versi Maktabah Syamilah),

‫ فإذا أخذ أحدكم عصا أخيه فليردها‬،‫ال يأخذ أحدكم متاع أخيه العبا أو جادا‬

Janganlah diantara kalian mengambil barang milik saudaranya, baik secara main-main atau

sungguh-sungguh. Apabila salah satu dari kalian mengambil tongkat milik saudaranya maka

hendaklah ia mengembalikannya.

Intinya dengan berbagai macam alasan apapun, kebiasaan ghasab ini secara lambat laun

harus dihilangkan, apalagi dari lingkungan pesantren. Hal-hal yang bernilai ibadah

seperti mondok di pesantren, namun dicampuri dengan perkara haram seperti

ghasabmaka pasti akan memengaruhi nilai kebaikannya.

Budaya Ghasab dalam lingkup Pondok Pesantren Darul ‘Ulum Jombang


 Kamis, 15 Desember 2016
 
Nama: Malikah Lana Aljinan Kelas 6.a / MI Marfu'ah Palembang
Mata Pelajaran : FIQIH

 ABDUL HADI
 
1785 Hits
Di pesantren, para santri memperdalam pengetahuan mereka tentang agama Islam. Bersama

kyai/ustadz, mereka melakukan kegiatan pembelajaran tiap harinya dalam bilik-bilik kelas.

Tentunya kesemuanya itu dilakukan bukannya tanpa tujuan. Tidak hanya sebagai proses

transfer ilmu, pesantren menjalankan fungsinya sebagai lembaga pendidikan bertujuan untuk

membentuk para santrinya menjadi muslim yang bertakwa yang tercermin dalam perilaku

sehari-hari sesuai dengan ajaran Al-Qur’an dan Al-Hadits.

Kebanyakan pesantren menggunakan sistem asrama dalam upayanya membentuk generasi

yang berakhlak mulia. Dengan menggunakan sistem ini kyai sebagai guru, pembimbing,

pembina, dan pemberi teladan, dapat hidup dalam lingkungan yang sama dengan para santri.

Sehingga proses belajar dan pembentukan kepribadian bagi santri tidak hanya berlangsung

saat pembelajaran di kelas, namun bisa berlangsung sepanjang hari. Metode ini sangat efektif

dalam membentuk karakter santri. Berdasarkan penelitian yang berkaitan dengan metode

pendidikan di berbagai negara, ternyata didapat kesimpulan bahwa sistem pendidikan

berasrama (boarding school) adalah yang terbaik.

Pondok Pesantren Darul ‘Ulum merupakan salah satu dari sekian banyak pesantren di

Kabupaten Jombang. Pondok Pesantren Darul ‘Ulum terletak di Desa Rejoso, Kecamatan

Peterongan Kabupaten Jombang ini mengkategorikan dirinya sebagai pesantren Salafiyah dan

Modern, hampir keseluruhan santrinya bertempat tinggal di asrama. Sistem pendidikan PP.

Darul ‘Ulum menerapkan sistem pendidikan berasrama. Kurang lebih terdapat 17 lebih asrama

yang masing-masing asrama memiliki kyai atau pengasuh. Maka dari itu terdapat ribuan

santriwan dan santriwati yang memiliki karakter yang berbeda-beda. Hal ini yang menjadi tugas

utama para kyai atau pengasuh untuk mendidik atau mencetak santriwan dan santriwati

berakhlak mulia.

Pengalaman penulis yang pernah mencicipi pendidikan di PP. Darul ‘Ulum tidak dapat diungkiri

bahwasanya budaya ghasab ini sering terjadi di beberapa asrama atau hampir diseluruh

asrama. Dalam pemahaman yang umum dikenal, ghasab adalah suatu tindakan mengambil

atau menggunakan sesuatu yang bukan haknya tanpa seizin si pemilik. Dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia kata “ghasab” berarti ”mempergunakan milik orang lain secara tidak sah

untuk kepentingan sendiri”. Bermacam rupa ghasab yang terjadi seperti, sabun mandi, sandal,
Nama: Malikah Lana Aljinan Kelas 6.a / MI Marfu'ah Palembang
Mata Pelajaran : FIQIH

gayung, hingga baju dan lain lain. Hal ini terjadi tidak terlepas dari kebiasaan para santriwan

atau sntriwati yang telah biasa melakukan perbuatan ghasab seperti ini.

Adapun peran kyai atau pengasuh dalam masalah ini sangatlah sering mengingatkan atau

memberi arahan-arahan yang mana telah melarang keras perbuatan ghasab. Dalam hal ini

upaya pengarahan atau pelarangan pengasuh dan pengurus bermacam-macam cara seperti,

menempelkan tulisan-tulisan berbentuk larangan ghasab hampir di setiap tempat (area

asrama), menindak tegas para pengghasab dengan cara menggunduli rambut serta memanggil

wali santri apabila pelaku berulang kali melakukan tindakan ghasab. Namun hal ini tidak

menyurutkan pelaku-pelaku ghasab untuk melakukan ghasab yang menjadi kebiasaan

sebagian santriwan dan santriwati di pondok ini.

Adapun hukum dan dalil-dalil tentang larangan ghasab Para ulama sepakat menyatakan bahwa

gasab merupakan perbuatan terlarang dan hukumnya haram dilakukan. Dalam hal ini imam al

nawawi mengatakan bahwa prinsipnya seluruh kaum muslimin sepakat menyatakan bahwa

hukum gasab hukumnya haram, al zuhaili menambahi bahwa hal itu haram meskipun tidak

mencapai nisab mencuri. Ada beberapa dalil yang menegaskan bahwa Ghasab itu termasuk

dosa besar.Diantaranya Al-Qur’an dalam Surat An Nisa’ Ayat 29.

َ ‫راض ِم ْن ُكم َوالَ َت ْق ُتلوُ ا أ ْنفُ َس ُكم إنّ هللا َك‬


‫ان ِب ُكم َرحِيمًا‬ ٍ ‫ار ًة َعنْ َت‬ َ ‫ِين آ َم ُنوا الَ َتأ ُكلُوا أمْ َوالَ ُكم َب ْي َن ُكم ِبالبَاطِ ِل إالَّ أنْ َت ُك‬
َ ‫ون ت َِج‬ َ ‫ َيأي َها الذ‬.

Yang Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janglah kamu saling memakan harta sesamamu

dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka

diantara kamu, Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha

Penyayang kepadamu.

Disamping ayat tersebut larangan dan ketentuan haramnya gasab didasarkan atas beberapa

hadis nabi SAW. Beliau pernah bersabda bahwa sesungguhnya darah kalian haram(untuk

saling diganggu) seperti haramnya hari (nahr) kalian ini, seperti bulan zulhijjah) kalian ini di

negri (makkah / mina / tanah haram) kalian ini. dan Rosululloh Juga Menegaskan Dalam

sebuah hadist Yang Artinya. “Harta seorang muslim haram dipergunakan oleh muslim lainnya,

tanpa kerelaan hati pemiliknya”. (HR.Daruquthni dari Anas bin Malik).

Maka dapat diambil kesimpulan bahwa ghasab dianggap merupakan budaya yang sering

dilakukan santriwan-santriwati, dengan alasan sebagian santriwan dan santriwati menganggap


Nama: Malikah Lana Aljinan Kelas 6.a / MI Marfu'ah Palembang
Mata Pelajaran : FIQIH

ghasab merupakan hal yang biasa dan dianggap wajar dalam lingkup pondok pesantren.

sebagaian santriwan dan santriwati dianggap mengindahkan dasar-dasar larangan melakukan

ghasab. Padahal jelas sekali diterangkan bahwa tindakan ghasab merupakan perbuatan yang

dilarang oleh agama islam karena telah mengambil sesuatu yang bukan miliknya tanpa seizin

pemilik, merujuk pada dalil larangan ghasab diatas.

Tulisan ini tidak bermaksud mengadili atau mengumbar aib dari sebagian santriwan-santriwati

PP. Darul ‘Ulum, namun bertujuan pada upaya untuk saling mengingatkan terhadap pembaca

terkait larangan melakukan perbuatan ghasab.


Nama: Malikah Lana Aljinan Kelas 6.a / MI Marfu'ah Palembang
Mata Pelajaran : FIQIH

Mengenal Apa itu Barang Temuan (Luqathah)


AGAMA ISLAM • SMP

ُ ‫سلَّ َم َيقُول‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َع َل ْي ِه َو‬َ ِ ‫ول هَّللا‬


ِ ‫س‬ ُ ‫ِب َر‬ َ ‫صاح‬ َ ‫سم َِع َز ْيدَ ْبنَ َخالِ ٍد ا ْل ُج َهن َِّي‬ َ ‫ث أَ َّن ُه‬ ِ ‫َعنْ َي ِزيدَ َم ْو َلى ا ْل ُم ْن َب ِع‬
‫اص َها ُث َّم‬ َ ‫اءهَا َوعِ َف‬ َ ‫ف ِو َك‬ ْ َ ‫ب أَ ْو ا ْل َو ِر ِق َف َقال‬
ْ ‫اع ِر‬ ِ ‫الذ َه‬ َّ ‫سلَّ َم َعنْ اللُّ َق َط ِة‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َع َل ْي ِه َو‬ َ ِ ‫سول ُ هَّللا‬ ُ ‫س ِئل َ َر‬
ُ
َ
‫اء َطالِ ُب َها َي ْو ًما مِنْ الدَّهْ ِر َفأدِّ هَا إِ َل ْي ِه‬ َ ‫ِيعة عِ ْندَ َك َفإِنْ َج‬ ً َ ‫اس َت ْنفِ ْق َها َو ْل َت ُكنْ َود‬
ْ ‫ف َف‬ ْ ‫س َنة َفإِنْ َل ْم َت ْع ِر‬ ً َ ‫َع ِّر ْف َها‬
َ ْ‫سأ َ َل ُه َعن‬
‫ضالَّ ِة اإْل ِ ِب ِل‬ َ ‫َو‬
َ‫سأَل ُه‬ َ ‫ش َج َر َح َّتى َي ِجدَ هَا َر ُّب َها َو‬ ْ
َّ ‫اء َو َتأ ُكل ُ ال‬ ْ
َ ‫اءهَا َت ِر ُد ال َم‬ َ
َ ‫اءهَا َوسِ ق‬ َ َ
َ ‫دَع َها فإِنَّ َم َع َها حِذ‬ ْ ‫َف َقال َ َما ل َك َول َها‬
َ َ
ِ ‫شا ِة َف َقال َ ُخ ْذهَا َفإِ َّن َما ه َِي َل َك أَ ْو أِل َخِي َك أَ ْو ل ِِّلذ ْئ‬
‫ب‬ َّ ‫َعنْ ال‬
Artinya:

Dari Yazid (bekas budak dari al-Munba’its) bahwasannya dia mendengar Zaid bin

Khalid al- Juhani salah satu sahabat Rasulullah saw. berkata, “Rasulullah saw: pernah

ditanya mengenai barang temuan emas atau perak.”

Maka Beliau bersabda: “Kenalilah wadah dan talinya, kemudian umumkanlah selama

setahun, apabila pemiliknya tidak datang untuk mengenalinya, maka -untuk sementara

waktu- kamu boleh memanfaatkan, dan itu sebagai barang titipan untukmu. Seandainya

suatu hari pemiliknya datang mencari barang tersebut, maka berikanlah barang

tersebut kepadanya.”

Lalu dia bertanya mengenai temuan unta, maka beliau balik bertanya kepada dia: “Apa

urusanmu dengan unta yang hilang? Biarkan unta itu pergi, karena ia membawa sepatu

(punya kaki) dan wadah airnya sendiri. Ia dapat mendatangi mata air dan makan

dedaunan sampai ia bertemu pemiliknya.”

Orang itu bertanya lagi mengenai temuan kambing, beliau menjawab: “Ambillah

kambing tersebut, mungkin ia dapat menjadi milikmu atau milik saudaramu atau bahkan

menjadi milik serigala.” (HR. Muslim)

Barang Temuan (Luqathah)

Barang temuan atau dalam bahasa Arab-nya sering disebut dengan barang luqathah ini

terkadang sering membuat seseorang yang menemukannya atau mengambilnya ini


Nama: Malikah Lana Aljinan Kelas 6.a / MI Marfu'ah Palembang
Mata Pelajaran : FIQIH

bingung. Akan diapakan barang tersebut. Apakah mau dipakai sendiri, atau mau

diumumkan di kalangan umum, atau ditinggalkan begitu saja.

Pada kesempatan kali ini, kita akan sedikit belajar mengenai tentang apa dan

bagaimana sikap kita ketika menemukan barang temuan atau barang luqathah tersebut.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tentu sedikit sulit untuk menemukan penjelasan

kata dari kata ‘temuan’ ini. Lebih mudah, jika kita melihatnya dari kata dasar ambil atau

pungut. Hal ini didasarkan dari kata luqathah yang mempunyai kata dasar bahasa Arab

‫( لقط‬lam-qaf-tha’), yang diterjemehkan menjadi ‘mengambil atau memungut’.

Sehingga jika didefinisikan menurut istilah atau syara’, luqathah adalah mengambil atau

memungut harta atau barang dari suatu tempat, yang mana tidak diketahui secara pasti

siapa pemilik dari barang atau harta tersebut.

Jenis – Jenis Barang Temuan (Luqathah)

Namanya sebuah barang atau benda, tentu mempunyai jenis yang berbeda-beda

antara satu dengan yang lain. Karena mempunyai perbedaan inilah barang temuan

(luqathah) ini juga mempunyai aturannya masing-masing sesuai jenis dan kadar zat-

nya. Dari sinilah kemudian ada tiga aturan yang bersangkutan dengan barang luqathah

tersebut.

1. Barang atau benda temuan yang (mungkin) sudah tidak akan diambil atau dicari lagi

oleh pemilik barang tersebut, atau bahkan dilihat dengan detail orang yang

melewatinya. Hal ini dikarenakan barang tersebut mempunyai nilai yang rendah.

Misalnya: botol bekas, baut, gantungan kunci, permen, atau uang recehan, yang

kadang terjatuh ketika dibawa pemiliknya, dan lain sebagainya.

Barang-barang yang sekiranya tidak begitu bernilai bagi pemiliknya ini, bagi orang yang

menemukan dan mengambilnya, bisa dimanfaatkan tanpa harus mengumumkannya

terlebih dahulu.
Nama: Malikah Lana Aljinan Kelas 6.a / MI Marfu'ah Palembang
Mata Pelajaran : FIQIH

2. Barang atau benda temuan yang bagi kita tidak perlu merawat dan menjaganya,

karena bagi pemiliknya mudah untuk mencari barang atau benda tersebut.

Seperti berbagai itik dan hewan unggas lainnya, yang mana di pagi hari dikeluarkan

begitu saja oleh pemiliknya. Kemudian di siang atau sore hari pemiliknya mencari

hewan peliharaan tersebut untuk dimasukkan ke dalam kandangnya .

Bisa juga barang-barang yang memang punya ukuran besar dan berat, seperti mobil,

truck, atau besi dan kayu dan lain-lainnya. Benda-benda seperti ini tentu tidaklah

mudah untuk diambil, dan benda ini pemiliknya sudah tahu di mana meletakkan benda

tersebut.

3. Barang atau benda temuan yang sangat berharga dan punya nilai bagi orang lain,

dan membutuhkan perawatan dalam menjaga barang tersebut. Sehingga mudah hilang,

seperti uang dalam jumlah besar, handycam, handphone, laptop, atau dompet yang

berisikan berbagai macam kartu identitas diri, atau hewan ternak sapi dan kambing dan

lain-lainnya.

Barang seperti ini tentu sangatlah penting bagi pemiliknya, alangkah baiknya jika

kiranya kita mampu dan percaya bisa merawat dan menjaganya.

Niat dan Hukum Orang yang Mengambil Barang Temuan (Luqathah)

Dikarenakan status barang yang (mungkin) masih dicari oleh pemiliknya tentu sebagai

orang yang menemukan dan mengambilnya ini belum bisa terjadi kerelaan dalam

kepemilikan barang tersebut. Maka segala sesuatunya tentu tergantung kepada

maksud atau niatnya.

Dari sinilah sebagai penemu kita dianjurkan berniat untuk mengembalikan barang

tersebut atau menjaga dan merawatnya, dan tidak boleh berniat untuk memiliki barang

tersebut secara pribadi. Niat yang berbeda inilah yang menjadikan orang yang
Nama: Malikah Lana Aljinan Kelas 6.a / MI Marfu'ah Palembang
Mata Pelajaran : FIQIH

menemukan barang tersebut menjadi orang yang dipercaya (amin) atau orang yang

merampas barang (ghasab)

Oleh karena itulah, hukum orang yang mengambil barang temuan ada beberapa

macam:

Pertama, Wajib. Apabila dirinya merasa yakin bahwa dirinya bisa mengembalikan

barang tersebut. Sehingga barang tersebut tidak tersia-siakan begitu saja.

Kedua, Sunnah. Apabila dirinya percaya bahwa dirinya bisa menangani segala sesuatu

yang bersangkutan dengan barang tersebut, baik perawatan ataupun penjagaannnya

sesuai dengan mestinya.

Ketiga, Makruh. Hal ini diberlakukan bagi orang yang merasa dirinya tidak bisa percaya

pada dirinya. Sehingga khawatir akan apa yang diperbuatnya dengan barang tersebut

di kemudian hari.

Kewajiban Orang yang Mengambil Barang Temuan

Orang yang menemukan barang, dalam agama Islam mempunya beberapa kewajiban,

diantaranya:

1. Menjaga dan merawat barang tersebut , dan berniat untuk mengembalikannya,

seperti yang dijelaskan dalam QS. al-Maidah: 32, yang (potongan) artinya berbunyi: “

… Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-

olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya ….”

2. Mengumumkan barang yang ditemukan tersebut selama satu tahun, di tempat

umum. Bisa lewat papan pengumuman masjid atau berbagai media. Hal ini berlaku

untuk barang, atau benda yang mempunyai nilai tinggi.

Adapun setelah satu tahun belum ada yang pemiliknya yang datang, maka barang

tersebut boleh dimilikinya. Namun, tetap mempunyai kesiapan untuk tetap

mengembalikan atau menanggung barang tersebut ketika pemiliknya datang

sewaktu-waktu
Nama: Malikah Lana Aljinan Kelas 6.a / MI Marfu'ah Palembang
Mata Pelajaran : FIQIH

3. Tidak diperbolehkan meminta biaya kepada pemilik barang tersebut. Kecuali biaya

pengganti atas perawatan barang yang telah ditemukannya tersebut atau hadiah

yang diberikan oleh pemilik barang.

Demikian penjelasan singkat mengenai apa itu yang disebut tentang barang

temuan atau luqathah. semoga dengan penjelasan yang sedikit ini bisa membuat

kita sebagai muslim yang taat dan patuh dan tetap menghormati hak-hak antar

sesama manusia. Wallaahu a’lam...

Sumber:
1. Al-Qur’an Digital v.2.2
2. Kamus Besar Bahasa Indonesia v.1.1
3. Ensiklopedi Hadits Kitab 9 Imam
4. PengusahaMuslim.com
5. Syahril Anwar, Buku Pintar Pelajar Agama Islam SD, SMP, SMA, (t.tp: Vicosta
Publisher, 2013)

Anda mungkin juga menyukai