Anda di halaman 1dari 6

Dawuh dawuh yi dahlan

I.     NAWAITU DAN VISI MISI QIRAATI


 Qiraati bukan hasil fikiran manusia, Qiraati bukan karangan saya, Qiraati adalah
inayah dan hidayah MINALLAH.
Saya duduk, saya kelihatan tulisan. Jadi kalau ditanya, “mengapa pelajaran ikhfa di jilid
4,  sedangkan idhar di jilid 6,?” jawabannya, “Tidak tahu, saya tidak ikut ngarang.”
 Saya tidak jual buku, saya ingin anak-anak nanti ngajinya benar. Kalau saya jual
buku, buat apa repot repot membentuk Kooordinator, titipkan saja ke toko-toko buku,
selesai.
 Saya tidak pingin yang pakai Qiraati banyak. Saya pingin anak yang ngaji pakai
Qiraati, ngajinya benar.
 Qiraati tidak disebar-sebarkan, saya tidak pernah menyebarkan Qiraati. Qiraati
menyebar minallah.

II.  METODOLOGI
 Kegagalan mengajar tempo dulu sebabnya ialah : Terlalu Toleransi pada anak-anak.
Pelajaran belum bisa anaknya minta tambah, ditambah, satu halaman dua halaman belum
masalah. Setelah halaman 15 pelajaran tidak bisa diteruskan dan disuruh kembali ke
halaman pertama tidak mau. Akhirnya karena merasa tidak berhasil ngajinya pindah.
 Insya Allah setelah TK Al-Qur’an berdiri. Dua tahun sudah khotaman, di sini
(semarang) santri 90 setelah 2 tahun Khotam 20 santri (+ 20 %)
 Tidak ada murid bodoh, kalau ada yang bodoh paling dalam 100 ada satu atau dua
murid saja.  Kalau ada guru yang mengatakan “ Murid saya bodoh-bodoh” apa bukan
guru”Gurunya?” Tanya beliau. Dan kalau ada anak yang bodoh seperti itu maka cara yang
tepat ialah gurunya SOWAN ke rumah orang tuanya agar orang tuanya sabar.
 Qiraati tidak kemana-mana tetapi ada di mana-mana. Siapa yang lulus tashih boleh
mengajarkan Qiraati. (Yang belum lulus tashih walaupun teman atau saudara tidak boleh
mengajar Qiraati)
III.  UJIAN SANTRI, KHATAMAN, DAN IMTIHAN
 Khatam Qiraati jilid 6 adalah khatam Tingkat Persiapan, insya Allah sudah bisa
baca Al Quran dengan tartil (belum khatam).
 Kalau dulu santri ngaji sampai  ‫بالناس‬  dikhatami, sekarang di TK Al Quran sampai
dengan ‫بالناس‬  baca Al Qurannya diulangi  ‫ الم‬lagi, belum dikhatami sampai gharib dan ilmu
tajwid khatam.
 Khatam TK Al Quran, khatam Al Qurannya bisa 2 kali, 3 kali, atau sampai 5 kali.
 Khataman ini adalah khataman untuk pendidikan, dan ini lebih cocok (karena
model tadarus ini lebih efektif dibandingkan dengan model tallqi).
 Saya diundang khataman di Kudus, bacaan gharibnya bagus tapi baca al Qurannya
tidak tartil.
 Baca ‫ انطهرا‬gharibnya benar, tapi an tha “salah” tidak dengung. Saya sampaikan
kepada Kepala TK Al Qurannya bahwa, “anak-anak belum boleh dikhatami, masih jilid 3.”
 Khataman jangan diganti dengan wisuda
 Khataman tidak harus meriah (mewah), pernah di sini (Semarang), khataman cukup
dengan mengeluarkan minuman teh dan kantong plastik, sedangkan isinya dari
(sumbangan) wali murid.
 Kalau akan mengadakan khataman, wali murid yang dikhtami diajak rapat, mau
khataman di gedung atau di sini (TPQ), terserah wali murid.
IV. KRITIK DAN SARAN KH. DAHLAN SALIM ZARKASYI
 Saya tidak pernah dengar guru Al Quran mengatakan, “al hamdulillah saya telah
dijadikan Allah sebagai guru Al Quran, padahal,
‫خيركممنتعلمالقرأنوعلمه‬ Berapa itu ? (nilai pahala) ‫خيركم‬
 Yang sering saya dengarkan guru mengeluhkan santrinya dan pengurusnya,  (orang
bersyukur tidak suka mengeluh).
 Guru Al Quran harus sering tadarus Al Qur’an.
 Guru Al Quran harus ikhlas.
 Saya kira tidak ada guru Al-Quran yang ingin cari sesuatu (nafkah dalam mengajar
Al Quran).
 Kalau ada orang memberi sesuatu pada kita, maka cepat-cepat doakan semoga
rizkinya barokah.
 Guru Al Quran supaya hati-hati dalam mengajarkan Al Quran.

Sejarah Singkat Penemuan Metode Qiraati


Sejarah Penemuan Metode Qiraati ini cukup panjang. Kerananya memerlukan pengamatan,
penelitian, ujicuba yang memerlukan waktu yang cukup lama. Di sini kami akan bahagikan
kepada beberapa tahapan….

1. Permulaan Penemuan 

Selain sebagai pedagang keliling dan tukang pijat, sebelum menemukan Metode Qiraati ini,
beliau adalah seorang Guru mengaji dan seorang yang suka mengamati keadaan kelas-
kelas mengaji di manapun beliau berkunjung.
Sebagaimana biasa sebagai seorang guru mengaji, beliau menggunakan Metode yang
biasa dikenali dengan Turutan atau biasa juga disebut metode Baghdadiyah.
Hasil daripada pengalaman dan pengamatan beliau, anak-anak murid yang beliau ajar
ternyata sebahagian besar mereka hanya mampu menghafal huruf bukan mengerti huruf.
Dan jika dapat membacapun ternyata bacaannya tidak tartil seperti apa yang dikehendaki
dalam bacaan Al Quran yang baik. Dan biasanya waktu bagi murid-murid untuk menguasai
bacaan tartil diperlukan waktu yang lama. Terutama hal ini terjadi pada putra putri beliau
setelah mengaji di musholla.
Berdasarkan pengalaman inilah beliau mencuba untuk mencari alternatif lain dengan cara
membeli buku-buku kaedah baca al Quran dengan maksud agar dapat mencapai hasil yang
lebih memuaskan. Namun setelah mengamati semua kaedah yang ada, ternyata beliau
masih belum menemukan kepuasan. Beliau tidak yakin dengan kesuksesan kaedah-kaedah
tersebut kerana berbagai sebab. Seperti menggunakan contoh-contoh perkataan yang
bukan dari bahasa Arab atau dari al Quran bahkan ada yang berbunyi bahasa Indonesia
atau bahasa Jawa.
Sejak itulah beliau mecoba memperkenalkan huruf terus dengan barisnya sekali dengan
bacaan yang lancar dan cepat. Dalam waktu yang sama, anak-anak diperkenalkan dengan
huruf-huruf yang tiada berbaris. Hanya bedanya dengan sistem yang lama, kaedah Qiraati
tidak mewajibkan anak murid mengeja huruf ketika akan membaca sesebuah perkataan.
Ternyata setelah uji coba berulang-kali, beliau mendapatkan tehnik susunan seperti yang
ada sekarang ini. Oleh karena itu, susunan yang ada sekarang adalah hasil dari uji coba
yang tidak perlu diragukan lagi.
2. Awal Penyusunan Metode Qiraati.
Dengan dorongan keinginan hati untuk mengajarkan al-Qur’an dengan baik dan benar, serta
dengan keberanian yang didukung oleh inayah dan hidayah Allah SWT., KH. Dachlan Salim
Zarkasyi mulai mencoba menyusun dan menulis sendiri metode yang dikehendakinya itu.
Yakni metode yang berhasil dalam mengajar membaca al-Qur’an yang sekaligus mudah dan
disukai oleh anak-anak.
Supaya anak-anak mudah membaca dan betul-betul mengerti serta faham, maka beliau
mencoba menulis pelajaran dengan bacaan “bunyi” huruf hijaiyyah yang sudah berharakat
“fathah”. Dalam pelajaran ini anak tidak boleh mengeja, misalnya alif fathah A, BA fathah
BA, tetapi langsung membaca bunyi huruf yang sudah berharakat fathah tadi seperti: A-BA-
TA dan seterusnya.
Agar anak bisa membaca dengan baik dan benar, maka sejak awal sekali anak sudah
diharuskan membacanya dengan lancar, cepat dan tepat, tanpa ada salah dalam membaca.
Dengan demikian secara tidak langsung anak harus mengerti dan faham setiap huruf
Hijaiyyah.
Demikianlah, dengan penuh kesabaran dan ketelitian, sehuruf demi sehuruf beliau mencoba
untuk diajarkan kepada anak didiknya walaupun nampaknya lambat, tetapi anak-anak faham
dengan baik.
Agar anak terlatih dan dapat membaca benar, maka setiap contoh bacaannya diambilkan
dari kalimat-kalimat al-Qur’an juga kalimat-kalimat bahasa Arab.
Setelah anak-anak lancar menbaca huruf-huruf Hijaiyyah yang berharakat fathah, kemudian
dicoba dengan huruf-huruf yang berharakat kasrah dan dhommah. Demikian pula dengan
huruf yang berharakat fathah tanwin, kasrah tanwin dan dhummah tanwin.
3. Pelajaran Bacaan Mad (bacaan panjang)
Sebagai seorang pedagang, KH. Haji Dachlan Salim Zarkasyi kerap mengunjungi banyak
bandar dan pekan. Pada kesempatan ini beliau manfaatkan masa untuk mengamati kelas-
kelas mengaji yang digunakan oleh guru-guru mengaji setempat, yakni di surau-surau,
mushalla-mushalla atau masjid-masjid.
Hasil dari pengamatan beliau tentang bacaan santri-santri yang belajar di musalla atau
masjid-masjid itu amat memperihatinkan. Mengingat mereka ternyata tidak memperhatikan
bacaan panjang pendek. Hal ini biasanya disebabkan oleh kurangnya kewaspadaan guru
terhadap bacaan santri terutama dalam bacaan mad asli (mad thabi’i).
Oleh karenanya, sekembalinya dari perjalanan, beliau melihat pentingnya pelajaran mad asli
atau mad thabi’i. Maka disusunlah pelajaran-pelajaran yang berkaitan dengan mad asli dan
contoh-contoh perkataannya diambilkan dari al Quran atau dari bahasa Arab. Kemudian diuji
cobakan kepada anak-anak, manakala perkataan yang sukar akan diganti dengan
perkataan yang lain yang lebih mudah difahami oleh anak-anak. Dan perkataan-perkataan
tersebut ditashihkan kepada orang yang pakar al Quran dan bahasa Arab agar setiap
perkataan mempunyai makna yang sesuai.
Akhirnya tersusunlah pelajaran bacaan mad, yang diawali dengan pelajaran fathah diikuti
alif, kasrah diikuti ya’ dan dhummah diikuti wawu.
4. Huruf Sukun
Hampir bersamaan dengan awal penyusunan buku Qiraati pada tahun 1963 itu, KH.
Dachlan Salim Zarkasyi bersama dengan sahabatnya ustadz Abdul Wahid membentuk
jamaah Mal-Jum (malam jum’at), yakni jamaah tadarus al-Qur’an untuk orang-orang
dewasa.
Suatu ketika saat tadarus al-Qur’an pada jemaah Maljum, beliau mendengar beberapa
orang membaca huruf “Lam Sukun” salah. Ada yang membacanya dipanjangkan (ditahan
lama lam sukunnya), ada pula yang membaca menggantung atau ‘tawallud’ atau melantun
sehingga terdengar bunyi pepet’ (dalam bahasa Jawa), seperti Al-le, Allll…….
Melihat keadaan yang demikian, timbul pemikiran bahwa bacaan “lam Sukun” perlu dan
penting untuk diajarkan kepada anak-anak. Kemudian beliau mencoba menulis dan
menyusun pelajaran Lam Sukun ini ternyata tidaklah mudah, yakni Lam Sukun yang dibaca
jelas dan tegas.
Namun dengan penuh kesabaran dan ketelitian, akhirnya tersusunlah juga pelajaran “Lam
Sukun dibaca Jelas dan Tegas”, yang kemudian sekaligus dirangkaikan dengan pelajaran
bacaan al-Qomariyyah.
Pelajaran bacaan al-Qomariyyah diberikan dengan tujuan untuk melatih anak membaca
sambil melihat huruf-huruf yang akan dibaca di sebelahnya (di sampingnya).
Setelah berhasil dengan Lam Sukun, beliau mencoba dengan huruf-huruf yang lain. Secara
kebetulan beliau mencoba dengan huruf “sin sukun”, ternyata tanpa kesulitan anak-anak
langsung dapat membaca dengan mudah. Maka ditulislah contoh-contoh bacaan yang ada
huruf Sin Sukunnya.
Di tengah-tengah pengenalan huruf-huruf sukun ini, beliau menyusun pelajaran bacaan
“Harfu Liin” (bacaan fathah yang diikuti Ya atau Wawu sukun). Hal ini sangat penting untuk
diajarkan dengan kesungguhan, karena banyak orang yang membaca al-Qur’an bersuara
AO dan AE bukan bersuara AU dan AI, dan agar anak dapat membedakan bacaan harfu
Liin dengan bacaan Mad.
Selanjutnya percobaan dengan huruf-huruf sukun ini dilanjutkan. Secara kebelutan pula
beliau mencoba huruf “RO sukun”, ternyata dengan sangat mudah anak-anak dapat
membaca dengan lancar. Begitu pula dengan mencoba huruf “MIM sukun” ternyata murid
tidak menemui kesukaran juga.
Sekalipun ada maksud untuk mencoba huruf sukun yang lain, ternyata dengan empat huruf
sukun ini anak sudah dapat membaca sendiri huruf-huruf sukun yang lainnya. Sehingga
pelajaran huruf-huruf sukun yang beliau tulis hanya “Empat Serangkai Huruf Sukun” saja,
yakni Lam Sukun, Sin Sukun, Ro Sukun, dan Mim sukun. Sehingga huruf-huruf sukun yang
lain tidak perlu diajarkan, karena setelah mempelajari dan mengerti keempat huruf sukun
tadi, secara otomatis anak-anak telah dapat membaca huruf-huruf sukun yang lain.
5. Malam Rahasia
Sebagaimana manusia umumnya, suatu ketika daya kreativiti KH. Dachlan Salim Zarkasyi
terhenti tidak ada inspirasi manakala tidak mengetahui apa lagi yang harus diperbuat
selanjutnya.
Perasaan ini beliau rasakan pada saat ada keinginan untuk mencari dan menyusun
pelajaran yang diberikan kepada anak didik selanjutnya. Sepertinya akal dan pikiran buntu
tidak dapat menemukan jawabannya. Namun, jika Allah menghendaki semuanya akan
menjadi mudah.
Untuk menenangkan pikiran dan hati yang risau beliau mendengarkan, dan mengamati
anak-anak yang sedang belajar mengaji di salah satu masjid di kota Semarang. Satu
persatu anak-anak itu beliau perhatikan dengan mendengarkan bacaan mereka. Namun
sampai pada anak yang terakhir, tidak ada satupun bacaannya yang benar, yakni bacaan
tartil menurut kaidah Ilmu Tajwid. Hasil pengamatan ini beliau sampaikan kepada guru ngaji
anak-anak tadi,
“Mengapa tidak ada satu pun dari anak-anak tadi yang membaca al-Qur’an dengan tartil?”
Namun jawabannya sungguh mengejutkan beliau,
“saya tidak sanggup kalau mengajar anak-anak supaya bisa membaca dengan tartil. Biarlah
cukup anak-anak bisa membaca al-Qur’an dulu. Nanti kalau sudah khatam, barulah
diajarkan ilmu Tajwid, tentu mereka akan mampu membaca al-Qur’an dengan tartil dengan
sendirinya.”
Mendengar jawaban dari guru al-Qur’an seperti itu, jalan fikiran beliau tidak dapat
menerimanya. Apakah mengajar bacaan tartil itu sukar? Jika sukar, kesukarannya dimana?
Jika jawaban seorang guru ngaji seperti itu, lalu bagaimana dengan guru-guru ngaji yang
bukan ahli al-Qur’an?
Kenyataannya memang demikian, mana mungkin dapat menghasilkan bacaan tartil jika
tidak belajar ilmu Tajwid.
Perasaan dan fikiran beliau menjadi resah dan susah di atas jawaban, bahawa, “mengajar
bacaan tartil itu sukar” sehingga terbawa-bawa dalam tidur beliau pada malam harinya.
Suatu ketika antara sedar dan tak sedar, beliau mendapatkan ilham dari Allah, seakan
terpampang di hadapan beliau kunci pelajaran bacaan-bacaan tartil yang mesti diajarkan.
Yakni dimulai dari “NUN SUKUN” yang dibaca “DENGUNG” (yang dalam ilmu tajwid
dinamakan bacaan ikhfa’). Malam ini disebut oleh KH. Dachlan Salim Zarkasyi sebagi
MALAM YANG LUAR BIASA.
Keesokan harinya beliau mulai menulis dan menyusun pelajaran NUN SUKUN yang tadi
malam beliau temukan. Kemudian pada petang harinya beliau ujicobakan kepada anak-
anak, ternyata anak-anak murid dengan mudah mampu mempelajarinya dan membacanya
dengan baik dan benar sesuai dengan apayang beliau kehendaki.
Setelah sukses dengan nun sukun, beliau mencuba dengan tanwin, yang suaranya sama
dengan nun sukun. Selanjutnya disusunlah pelajaran bacaan GHUNNAH yang diawali
dengan NUN BERSYADDAH dengan kiasan bahawa bacaannya sama dengan dengungnya
NUN SUKUN bertemu dengan NUN. Demikian pula dengan pelajaran MIM BERSYADDAH
dengan kiasan bacaan dengungnya sama dengan NUN BERSYADDAH.
6. Akhir Penyusunan buku Metode Qiraati
Sebagaimana biasanya dalam menyusun pelajaran baru mesti ada penyebab yang menjadi
puncak pelajaran tersebut disusun. Demikianlah pelajaran seterusnya sehingga selesainya
metode tersebut.
Di antaranya adalah bacaan huruf-huruf bersyiddah selain huruf nun dan mim yang
bersyiddah.
Suatu ketika dalam majlis tadarus al Quran yang beliau menyimak banyak orang yang
membacanya salah, terutama dalam membaca “Lam bersyiddah” yiaitu membacanya
dengan menahan suara huruf lamnya. Melihat keadaan demikian, maka disusunlah
pelajaran huruf-huruf bersyiddah yang mesti dibaca tegas dan terang serta cepat, yang
kemudian dirangkaikan dengan pelajaran “AL Syamsiyyah”.
Adanya pelajaran Mim sukun bertemu mim yang dibaca dengaung dilatarbelakangi oleh
banyaknya orang yang belum dapat membedakan antara bacaan mim sukun bertemu mim
dengan bacaan mim sukun bertemu dengan selain mim dan ba’.
Adapun pelajaran nun sukun/tanwin bertemu lam dan ro dilatarbelakangi oleh banyaknya
orang yang membaca dengan menahan bacaan lamnya. Kemudian pelajaran dilanjutkan
dengan pelajaran bacaan Nun sukun/tanwin bertemu dengan wawu dan ya, yang dibaca
idgham dengan dengung.
Sedangkan pelajaran waqaf di akhir ayat dilatarbelakangi oleh banyaknya orang yang salah
dalam menghentikan bacaannya, yaitu seolah-olah setiap waqaf dibaca panjang padahal
tidak semuanya begitu.
Pelajaran membaca lafazh Allah dilatarbelakngi oleh bacaan yang salah, yakni lam kasrah
dibaca dengan tebal seolah seperti lam berbaris atas atau dhummah.
Begitu juga dengan pelajaran Iqlab, qalqalah dan izhar halqi yang kesemuanya dilatar
belakangi oleh banyaknya kesalahan yang dilakukan oleh para pembaca.
Demikianlah semua pelajaran yang telah berjaya beliau susun. kemudian dari tulisan-tulisan
dikumpulkan dan dijilid, ternyata terkumpul menjadi sepuluh jilid atau sepuluh buku.
Kemudian buku-buku tersebut dicetak dengan sablon dan dibahagikan kepada anak-
anaknya mengikut tahapan pencapaiannya

Anda mungkin juga menyukai