Anda di halaman 1dari 8

Nama : Aprilia Nugraheni

Jurusan : IH
Resume Makalah Hadits
Bab Al – Ghasb
Biasanya, Ghasab yang marak terjadi di lingkungan pesantren adalah ghasab sandal.
Sungguh amat lucu saat melihat santri berangkat ke masjid memakai sepatu sekolah. Ada
juga santri yang numpang bahu atau minta gendong pada teman yang lain. Bahkan ada santri
yang jalannya seperti kanguru. Ia melompat-lompat dengan satu kaki dikarenakan hanya
kebagian sandal sebelah. Anggaplah santrinya 50 puluh, tapi sandalnya 40 puluh pasang.
Hingga muncul bahasa santri “Siapa yang cepat dia yang bersandal, siapa yang lambat dia
yang kenak begal”.
Tidak cukup sampai di situ, bahkan ketika sandal temannya sudah tidak ada milik
pengurus pondokpun “disikat”. Mungkin dalam benaknya mengira “jangankan hanya sandal
yang harganya tidak seberapa, ilmunya yang tak ternilai dikasih secara cuma-cuma kok”.
Semua ini mungkin masih bisa dimaklumi. Mereka sudah saling kenal dan paham atas
keadaan santri di pondok. Hanya saja ketika yang dibegal bukan milik sesama santri, baru hal
ini tidak bisa dibiarkan. Mereka perlu ditegur atau dikasih punishment yang mendidik. Sebut
saja wali santri yang sedang ngirim anaknya. Mau pulang masih disibukkan dengan mencari
sandal yang hilang terlebih dahulu.
Dari sedikit paparan cerita kehidupan santri di atas, lantas bagaimana sebenarnya
agama memandang prilaku ghasab, bukan hanya di lingkungan di pesantren yang kebanyakan
dipraktekkan oleh kaum sarungan di pondok pesantren?
Menurut bahasa ghasab adalah mengambil sesuatu secara paksa dan terang-terangan.
Sedangkan menurut istilah, ghasab berarti menguasai harta (hak) orang lain dengan tanpa izin
(melampaui batas). Ghasab ini dilakukan secara terang-terangan, hanya saja tanpa
sepengetahuan pemiliknya. Berbeda dengan pencurian yang memang dilakukan secara diam-
diam. Ghasab juga tidak harus berbentuk pada barang yang konkret, hal yang abstrak seperti
kemanfaatan juga masuk didalamnya. Mulai dari duduk didepan teras rumah orang lain tanpa
izin sampai numpang bercermin di kaca spion motor milik orang laini.
Hal ini memang tidak mengurangi kualitas dan kuantitas barangnya secara langsung,
namun tetap saja kita telah mengambil manfaat dari barang yang dighasab. Karena yang
dimaksud ghasob secara definitive adalah mengambil manfaat suatu barang tanpa idzin dari
pemilik barang.
Bab Syuf’ah
Para Fuqaha sepakat bahwa syuf’ah disyaratkan untuk tujuan kemaslahatan,
Mengamalkan syuf’ah hukumnya adalah mubah, bahkan ada sunnah. Hal ini didasarkan pada
as-sunnah dan ijma’. Imam Bukhari meriwayatkan dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu
anhuma, ia berkata:
“Bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam menetapkan syuf’ah pada harta yang belum dibagi-
bagi, ketika batasannya telah ditentukan dan jalan telah diatur, maka tidak ada lagi syuf’ah.’’
Dari Jabir, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa yang memiliki pohon kurma atau tanah, hendaklah ia tidak menjualnya
sehingga ia menawarkannya kepada sekutunya.”
Dari Abu Rafi ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sekutu itu lebih berhak karena dekatnya.”
Dari ketiga hadis di atas dapat diketahui, bahwa sebelum seseorang menjual aset tertentu
kepada pihak lain yang tidak dikenal, maka sebelumnya dianjurkan untuk menawarkan
kepada mitranya yang telah dikenal terlebih dahulu.

Rukun dan Syarat Syuf’ah


Masyfu’, benda-benda yang dijadikan barang al-Syuf’ah. Adapun syarat yang harus
dipenuhi, yaitu : Barang yang disyuf’ahkan berbentuk barang tetap (‘uqar), seperti tanah,
rumah, dan hal-hal yang berkaitan dengan keduanya seperti tanaman, bangunan, pintu-pintu,
pagar, atap rumah, dan semua yang termasuk dalam penjualan pada saat dilepas.
Syafi’ yaitu orang yang akan mengambil atau menerima Syuf’ah. Adapun syarat-
syarat yang harus dipenuhi antara lain:
Orang yang membeli secara syuf’ah adalah partner dalam benda atau barang tersebut.
Perpartneran mereka lebih dahulu terjalin sebelum penjualan, tidak adanya perbedaan batasan
diantara keduanya sehingga benda itu menjadi milik mereka berdua secara bersamaan.
Syarat yang kedua adalah bahwa Syafi’i meminta dengan segera. Maksudnya, Syafi’i
jika telah mengetahui penjualan, ia wajib meminta dengan segera jika hal itu memungkinkan.
Jika ia telah mengetahuinya, kemudian memperlambat permintaan tanpa adanya uzur, maka
haknya gugur.
Syafi’i memberikan kepada pembeli sejumlah harga yang telah ditentukan ketika
akad, kemudian Syafi’i mengambil syuf’ah harga yang sama jika jual beli itu mitslian atau
dengan suatu nilai jika dihargakan.
Syafi’i mengambil keseluruhan barang. Maksudnya, Jika Syafi’i meminta untuk
mengambil sebagian, maka semua haknya gugur.
Bab Ihyaul Mawat
Ihya secara bahasa artinya menjadikan sesuatu menjadi hidup. Sedangkan mawat
adalah sesuatu yang tidak bernyawa, maksudnya di sini adalah tanah atau permukaan bumi
yang kosong tidak ada bangunan dan tempat tinggal. Dalam pendapat lain mawat adalah
tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak ada yang memanfaatkannya. Maka mawat bisa
berupa tanah yang kosong, yang sama sekali tidak dimiliki dan dimanfaatkan, atau juga
berupa bangunan atau lahan yang telah rusak dan hancur, yang tidak ada pemiliknya.
Secara istilah ihya’ul mawat adalah tanah yang terbebas dari hak kepemilikan yang
terlindungi. Tanah itu adalah tanah kosong yang berlaku padanya kepemilikan, di dalamnya
tidak terdapat tanda-tanda pengelolaan, atau di dalamnya terdapat tanda kepemilikan atau
pengelolaan tetapi pemiliknya tidak diketahui.

Syarat-Syarat Menghidupkan Lahan Yang Mati (Ihya’ul Mawat):


Syarat sahnya menghidupkan lahan yang mati ada dua; Pertama,tanah yang dihidupkan
belum berlaku kepemilikan. Kedua, pihak yang menghidupkan adalah seorang muslim.
Sehingga orang kafir tidak boleh menghidupkan lahan di negeri muslim.

Tata Cara Menghidupkan Lahan Yang Mati:


Secara umum para ulama menjelaskan bahwa cara menghidupkan lahan yang mati
dikembalikan pada adat kebiasaan (‘urf) penduduk setempat. Selama hal yang dilakukan
seseorang menunjukan penghidupan lahan yang mati maka hal tersebut sah. Seperti;
membangun pagar disekeliling tanah, menggali sumur di lahan yang mati, mengalirkan
selokan air padanya, menanam pohon di sekitarnya, membersihkan area lahan yang hendak
dihidupkan, dan lain sebagainya.

Beberapa Hukum Yang Berkaitan Dengan Ihya’ul Mawat:


1. Barangsiapa yang menghidupkan tanah yang mati, maka dia berhak memilikinya. Kecuali
apabila sudah digarap beberapa tahun, lalu ada orang yang mengklaim kepemilikannya
dengan menunjukan bukti yang valid, maka hilanglah hak kepemilikan dari pengelola.
Dan bagi pemilik lahan yang empunya bisa membayar ganti rugi operasional pengelolaan
yang telah dikeluarkan oleh pengelola. Atau apabila pemilik ingin membiarkan sementara
waktu tanah yang dikelola agar pengelola menyelesaikan masa tanam misalnya, maka
pemilik bisa meminta ongkos sewa dari pihak pengelola.

2. Tentang apakah dalam menghidupkan lahan mati harus izin imam atau pemimpin? Maka
para ulama berbeda pendapat. Pertama, madzhab Syafi’i, Hanbali dan Abu Yusuf tidak
mensyaratkan ijin imam. Artinya barangsiapa yang menghidupkan lahan yang mati tanpa
ijin imam, maka kepemilikan tanah tetap enjadi miliknya. Kedua, sedangkan Abu Hanifah
berpendapat bahwa menghidupkan tanah yang mati harus ijin imam, sama saja tanahnya
dekat atau jauh dari pemukiman. ketiga, adapun Imam malik berpendapat bahwa apabiala
tanah yang dihidupkan itu dekat dengan pemukiman maka syaratnya harus ijin imam,
adapun apabila jauh maka tidak perlu ijin imam.

3. Pemimpin kaum muslimin berhak menentukan kavling tanah untuk orang yang
menghidupkannya.

4. Pemimpin berhak menentukan hima’ yaitu daerah lindung atau daerah larangan yang
dikhususkan untuk menggembala unta zakat dan kuda perang. Dan kaum muslimin
dilarang untuk mendekatinya.
Bab Wakaf
Kata wakaf berasal dari bahasa Arab, waqf yang berarti menahan, berhenti, atau diam.
Maksud dari menahan adalah untuk tidak diperjualbelikan, dihadiahkan, atau diwariskan.
Menurut istilah syar’i, wakaf adalah suatu ungkapan yang mengandung penahanan harta
miliknya kepada orang lain atau lembaga dengan cara menyerahkan suatu benda yang kekal
zatnya untuk diambil manfaatnya untuk kebaikan.
Pada dasarnya, hukum wakaf adalah sunnah. Hal ini merujuk pada Al-quran surah Al-
Hajj ayat 77 dan Ali Imran ayat 92.
Syarat Wakaf
Menurut hukum Islam, wakaf dikatakan sah apabila memenuhi dua persyaratan.
Pertama, tindakan atau perbuatan yang menunjukkan pada wakaf. Kedua, mengungkapkan
niatan untuk wakaf baik lisan maupun tulisan. Berikut ini syarat-syarat yang harus dipenuhi
untuk melakukan wakaf secara sah.
a. Al-Waqif
Pewakaf harus cakap bertindak dalam memakai hartanya. Yang dimaksud dengan
cakap bertindak antara lain merdeka, berakal sehat, dewasa, dan tidak dalam keadaan
bangkrut.
b. Al-Mauquf
Syarat Harta Benda yang Diwakafkan Dianggap Sah :
 Benda yang diwakafkan harus berharga atau bernilai.
 Benda tersebut adalah milik pewakaf sepenuhnya.
 Benda yang diwakafkan harus diketahui kadarnya.
 Benda tersebut dapat dipindahkan kepemilikannya dan dibenarkan untuk diwakafkan.
c. Al-Mauquf ‘Alaih
Berdasarkan klasifikasi, ada dua macam pihak yang menerima manfaat wakaf
(nadzir), yaitu pihak tertentu (mu’ayyan) dan pihak tidak tertentu (ghaira mu’ayyan). Maksud
dari pihak tertentu adalah penerima manfaat merupakan seorang atau sekumpulan orang
tertentu saja dan tidak boleh diubah. Sedangkan yang tidak tertentu adalah manfaat wakaf
yang diberikan tidak ditentukan secara terperinci, contohnya kepada fakir miskin, tempat
ibadah, dan lain-lain.
d. Sighah
Ini adalah syarat yang berhubungan dengan isi ucapan pada saat melakukan wakaf
atau pernyataan pewakaf sebagai suatu kehendak untuk mewakafkan harta bendanya.
Syaratnya antara lain: Ucapan harus mengandung kata-kata yang menunjukkan kekal, karena
akan menjadi tidak sah jika ucapan mengandung batas waktu tertentu. Ucapan bisa
direalisasikan segera, tanpa ada syarat-syarat tambahan. Ucapan bersifat pasti. Ucapan tidak
mengandung syarat yang bisa membatalkan
Bab Faraidh wal Wala'(Ilmu waris)
Ilmu faraid merupakan salah satu disiplin ilmu di dalam Islam yang sangat utama
untuk dipelajari. Dengan menguasai ilmu faraid, maka Insya Allah kita dapat mencegah
perselisihan-perselisihan dalam pembagian harta warisan, sehingga orang yang
mempelajarinya Insya Allah akan mempunyai kedudukan yang tinggi dan mendapatkan
pahala yang besar disisi Allah Swt.
Pembagian Harta Waris dalam Islam merupakan harta yang diberikan dari orang yang
telah meninggal kepada orang-orang terdekatnya seperti keluarga dan kerabat-kerabatnya.
Pembagian harta waris dalam Islam diatur dalam Al-Qur an, yaitu pada An Nisa yang
menyebutkan bahwa Pembagian harta waris dalam islam telah ditetukan ada 6 tipe persentase
pembagian harta waris, ada pihak yang mendapatkan setengah (1/2), seperempat (1/4),
seperdelapan (1/8), dua per tiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6).
Pewaris adalah orang yang pada saat meninggal berdasarkan putusan Pengadilan
beragama Islam, meninggalkan ahli awaris dan harta peninggalan.Ahli waris adalah orang
yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan
dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum unutk menjadi ahli waris.
Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa
harta benda yang menjadi hak miliknya maupun hak-haknya.Harta warisan adalah harta
bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris
selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, pembayaran hutang dan
pemberian untuk kerabat.

Rukun Wakaf
Sama dengan persoalan-persoalan lainnya, waris juga memiliki beberapa rukun yang
harus dipenuhi. Sebab jika tidak dipenuhi salah satu rukun tersebut, harta waris tidak bisa
dibagikan kepada para ahli waris. Untuk menghindari hal tersebut, berikut beberapa rukun
warisan berdasarkan hukum waris yang dilansir dari rumaysho.
Orang yang mewariskan atau secara Islam disebut Al-Muwarrits, dalam hal ini orang
yang telah meninggal dunia (mayit) yang berhak mewariskan harta bendanya.
Orang yang mewarisi atau Al-Warits, yaitu orang yang memiliki ikatan kekeluargaan
dengan mayit berdasarkan sebab-sebab yang menjadikannya sebagai orang yang bisa
mewarisi.
Harta warisan atau Al-Mauruts, merupakan harta benda yang ingin diwariskan karena
ditinggalkan oleh mayit setelah peristiwa kematiannya.

Bab an-Nafakat
Para ulama menyebutkan alasan mengapa memberi nafkah kepada orang lain menjadi
wajib karena tiga hal. Yakni zaujiyyah (pernikahan), qarabah (kerabat), dan milkiyyah
(kepemilikan).
Nafkah karena ikatan pernikahan ini adalah pemberian nafkah karena ikatan
pernikahan yang sah. Bukan saja terjadi karena pernikahan yang masih utuh, tetapi juga
pernikahan yang telah putus atau cerai dalam keadaan talak raj'i dan talak ba'in hamil.
۟ ُ‫ضهُ ْم َعلَ ٰى بَعْض َوبمٓا َأنفَق‬
‫وا ِم ْن َأ ْم ٰ َولِ ِه ْم‬ َّ َ‫ٱلرِّ َجا ُل قَ ٰ َّو ُمونَ َعلَى ٱلنِّ َسٓا ِء بِ َما ف‬
َ ‫ض َل ٱهَّلل ُ بَ ْع‬
َِ ٍ
"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan
sebagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-
laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (QS An-Nisaa: 34).
Hukum memberi nafkah dari suami kepada istri adalah wajib. Nafkah istri di sini
adalah kewajiban suami terhadap istrinya dalam bentuk materi, karena kata nafkah itu sendiri
berkonotasi materi.
Sedangkan kewajiban dalam bentuk non materi, seperti memuaskan hajat seksual istri
tidak masuk dalam artian nafkah, meskipun dilakukan suami terhadap istrinya. Kata yang
selama ini digunakan secara tidak tepat untuk maksud ini adalah nafkah batin sedangkan
dalam bentuk materi disebut dengan nafkah lahir.
Syarat Mendapatkan Nafkah Suami
Adapun syarat bagi isteri berhak menerma nafkah adalah sebagai berikut:
Pertama akad nikahnya sah secara agama. Kedua, istri telah menyerahkan dirinya
kepada suaminya. Ketiga istri itu memungkin bagi suami untuk dapat menikmati dirinya.
Keempat istri tidak berkeberatan untuk pindah tempat apabila suami menghendakinya,
kecuali apabila suami bermaksud jahat dengan kepergiannya itu. Kelima suami istri masih
mampu melaksanakan kewajiban mereka sebagai suami.
Suami tidak memberikan nafkah kepada istrinya, apabila terjadi hal sebagai berikut:
Pertama istri kabur atau pindah dari rumah suaminya ke tempat lain tanpa seizin suaminya
atau alasan yang dibenarkan agama. Kedua istri bepergian tanpa izin dan kebolehan dari
suaminya. Menurut Maharati terkait hal ini antara para ulama memasukkan perginya seorang
istri tanpa izin dari suami sebagai bentuk nusyuz. Ketiga istri menolak melakukan sesuatu
yang diperbolehkan karena akad nikah yang sah, atau disebut nusyuz, kecuali jika memang
ada udzur yang diperbolehkan. Keempat kalau istri dipenjara karena melakukan tindak pidana
dan kelima jika suami meninggal sehingga ia menjadi seorang janda, dalam hal ini istri
berhak mewarisi harta peninggalan suaminya, sesuai dengan bagian yang ditetapkan.

Anda mungkin juga menyukai