Anda di halaman 1dari 28

Makalah

Qowaid al Fiqhiyyah

Fachri Fachrudin, S.H.I, M.E.I


NIK. 207 006 007
NIDN. 201 912 7402
Dosen Tetap Prodi Perbankan Syariah
Sekolah Tinggi Agama Islam Al Hidayah

-1-
I. KAIDAH-KAIDAH UTAMA

KAIDAH I

)) ‫(( األمور بمقاصدها‬


HUKUM SETIAP PERMASALAHAN DIKAITKAN DENGAN NIAT

A. LANDASAN KAIDAH

Alloh berfirman:

               

          

‚Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan

yang telah ditentukan waktunya. barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami

berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami

berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. dan Kami akan memberi Balasan kepada

orang-orang yang bersyukur.‛ (QS. Ali Imron *3+: 145)

Qs al-syura: 20
Rosululloh bersabda:

Dari 'Umar bin Khathab berkata: "saya telah mendengar Rasulullah

bersabda: "Sesungguhnya setiap amal itu tergantung niatnya, bagi setiap orang apa

yang mereka niatkan. Barangsiapa yang berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka

hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya, barangsiapa yang hijrahnya untuk

-2-
mendapatkan bagian dari dunia atau agar mendapat wanita untuk dinikahi, maka

hijrahnya sesuai dengan tujuan ia berhijrah."1

B. PENJELASAN KAIDAH

Kaidah ini dimaksudkan bahwa hukum syar'i yang berkaitan dengan aktivitas

manusia dalam kehidupannya berkisar pada maksud atau niat mereka dalam

mengerjakan perbuatan itu. Karena bisa jadi ada dua orang yang melakukan

perbuatan yang sama, akan tetapi memiliki konsekuensi hukum yang berbeda.

Seperti dua orang yang membunuh orang lain misalnya, orang yang pertama

terkena hukum qishas dan yang kedua tidak terkena qishas, akan tetapi ia harus

memerdekakan budak dan membayar diyat.2 Dan oleh karena niat itulah, para

sahabat heran ketika dalam satu kesempatan Nabi bersabda, ‘Jika dua orang

muslim bertemu dengan menghunus pedangnya, maka orang yang membunuh

dan orang yang dibunuh di neraka.’ Dan seketika itu juga para sahabat

mengatakan, ‘kalau orang yang membunuh, maka jelas bagi kami mengapa ia

masuk neraka; tapi bagaimana dengan orang yang terbunuh?’ Rosululloh

bersabda, ‘Sesungguhnya ia sangat ingin membunuh saudaranya.’3

C. PENERAPAN KAIDAH

Kaidah ini dapat diterapkan dalam banyak masalah fiqih, karena hadits yang

menjadi landasan kaidah ini merupakan hadits yang sangat bermanfaat dan

masuk ke berbagai cabang ilmu. Bahkan para ulama seperti Imam Syafi’i, Imam

Ahmad, Ibnu Mahdi, Ibnu Madini, Abu Daud, dan Imam Daruquthni sepakat

bahwa hadits niat ini mencakup sepertiga dari ilmu. Yang maksudnya dijelaskan

oleh Imam Baihaqi bahwa upaya seorang hamba dapat terjadi dengan tiga hal;

dengan hatinya, lisannya dan anggota badan yang lainnya. Dan niat merupakan

bagian terpenting dari tiga sisi itu, karena niat itu sendiri bisa jadi merupakan

ibadah yang terpisah, akan tetapi ibadah yang lain sangat bergantung

1 H.R Bukhori dan Muslim.


2 Sebagaimana yang Allah sebutkan dalam surat al-Māidah [5]: 45 dan al-Nisā [4]: 92.
3 HR. Bukhori dan Muslim

-3-
terhadapnya.4 Di samping itu para ulama juga menyatakan bahwa hadis niat ini

merupakan salah satu dari tiga hadis yang menjadi tempat kembalinya seluruh

hukum Islam. Adapun kedua hadis lainnya yang menjadi sumber dalam hukum

adalah:

‚Barangsiapa mengada-adakan dalam agamaku ini sesuatu yang bukan termasuk

darinya, maka hal itu tertolak.‛ (HR. Bukhori dan Muslim)

‚Sesungguhnya yang halal telah jelas dan yang harampun telah jelas. Dan

diantara keduanya adalah hal-hal yang masih meragukan yang banyak manusia

tidak mengetahuinya. Barangsiapa yang terjatuh pada hal-hal yang syubhat,

maka ia terjatuh pada yang haram sebagaimana seorang penggembala yang

menggembala di sekitar tanah yang sudah dipagar yang dikhawatirkan hewan

gembalaan akan masuk ke sana. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki tanah

yang dibatasi; ketahuilah bahwa batasan Alloh adalah hal-hal yang Ia haramkan;

ketahuilah bahwa dalam jasad manusia ada segumpal darah, yang jika ia baik

maka akan baiklah seluruh jasad, dan jika ia rusak maka rusaklah seluruh

jasadnya; ketahuilah segumpal darah itu adalah hati.‛ (HR. Muslim)

Bahkan Imam Syafi’i juga menyatakan bahwa hadits ini mencakup tujuh

puluh bab dalam ilmu fiqih.5

4 Kitab al-Asybah wa an-Nadzoir (Maktabah Syamilah)


5
ibid

-4-
Diantara contoh penerapan kaidah ini adalah dalam masalah-masalah berikut:

1. Ibadat: Thoharoh, Sholat, Shoum, Zakat, dan Haji.

2. Munakahat: seperti hukum nikah bagi orang yang ingin menegakkan

sunnah Rosululloh dan orang yang berniat akan mendzolimi wanita

yang ia nikahi.

3. Muamalat: jual beli, hibah, waqaf, wasiat, sewa menyewa, dll.

Contohnya dalam masalah barang temuan, ketika ada sebuah barang

yang ditemukan, maka orang yang menemukan barang tersebut

memiliki dua kemungkinan. Pertama, orang tersebut mengambil

barang tadi dengan niat menjaganya dan akan mengembalikan kepada

pemiliknya. Dan kemungkinan kedua ia mengambil barang tersebut

untuk dimiliki sendiri.

Pada kondisi pertama, orang yang menemukan tadi tidak dituntut

untuk menjamin atau mengganti barang tersebut ketika rusak atau

hilang tanpa ada campur tangannya. Akan tetapi pada kondisi kedua

orang tersebut harus menjamin atau mengganti kerusakan dan

kehilangan barang itu. Baik barang itu rusak karena ulahnya atau

karena orang lain.

4. Jinayat: pembunuhan dan qishos serta pencurian. Dalam masalah

pembunuhan misalnya, untuk menerapkan hukuman qishas perlu

dilihat: apakah ia berniat membunuh orang tersebut atau tidak dan

apakah orang yang ingin ia bunuh tadi benar-benar orang yang

terbunuh atau tidak. Jika dia tidak bermaksud untuk membunuh atau

ia berniat untuk membunuh, akan tetapi orang yang terbunuh bukan

orang yang ia maksud, maka ia tidak terkena qishas; akan tetapi ia

harus memerdekakan budak dan membayar diyat.

5. Hal yang mubah dalam syari'at; contohnya: ketika ada salah seorang

yang membentangkan jaring didepan rumahnya, kemudian ada

burung yang terjerat oleh jaring tersebut. Jika sang pemilik jaring ini

berniat menjemur atau memperbaiki jaringnya dengan cara

-5-
dibentangkan, maka burung tadi boleh diambil oleh siapa saja. Akan

tetapi ketika ia membentangkan jaring tersebut agar ada binatang yang

terjerat disana, maka pemilik jaring tadi lebih berhak mengambilnya.6

Dan ketika ada orang lain yang mengambil burung yang terjerat

disana, maka ia dianggap telah berbuat ghosb (mengambil milik orang

lain tanpa hak).

CATATAN:

1. Hukum syar'i yang dimaksudkan di sini adalah hukum di dunia, karena

maksud atau sekedar meniatkan sesuatu yang tidak diikuti dengan perbuatan

nyata dalam sebuah permasalahan didunia ini tidak akan terkena hukum-

hukum syar'i dalam masalah tersebut. Contohnya, ketika ada orang yang

berniat untuk menceraikan istrinya yang tidak diikuti dengan pengucapan

kata thalaq, baik dengan terang-terangan (sharih) atau dengan sindiran

(kinayah), maka tidak jatuh thalaq suaminya itu.

2. Sebagaimana telah kami sebutkan bahwa untuk menetapkan hukum di dunia

atas aktivitas manusia dilihat dari niat dan maksud orang tersebut, maka

penghalalan dan pengharaman perbuatan mereka pun bisa didasarkan pada

niat dan maksud mereka. Contohnya; ketika seseorang ingin melangsungkan

pernikahan; sedang dalam Islam nikah merupakan suatu hal yang sangat

dianjurkan.7 Hal ini bisa berubah menjadi haram ketika ia meniatkan

pernikahannya tadi untuk mendzalimi dan memberikan bahaya (madlorot)

kepada istrinya. Karena ketika Alloh memerintahkan untuk menikah

dengan wanita baik-baik sebanyak dua, tiga atau empat; atau ketika khawatir

tidak mampu berlaku adil, maka dianjurkan untuk menikah dengan satu

6Karena dalam hal ini ada kaidah yang mengatakan "man sabaqa ilā al-mubāhāt fahuwa ahaqqun bihā"
(barangsiapa yang terlebih dahulu mengambil sesuatu yang dibolehkan, maka ia lebih berhak atas
barang tersebut). Dan hal ini didasarkan pada sebuah hadis Rosululloh yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhori (Dari Malik, dari Nafi’) dari Ibnu Umar bahwa Nabi bersabda: ‚Janganlah
seseorang meminta seseorang yang duduk untuk berdiri, lalu dia duduk di tempatnya.‛
7 Walaupun hukum nikah itu akan berubah sesuai dengan kondisi masing-masing orang yang hendak

menikah itu. Bisa wajib, sunnah, haram, makruh dan boleh. Sebagaimana yang dijelaskan dalam
madzhab hanabilah (pengikut madzhab Imam Ahmad Ibn Hanbal ), karena para ulama berbeda
pendapat tentang hukum nikah itu sendiri.

-6-
wanita saja; diakhir ayat itu Alloh memberikan alasan yang patut kita

perhatikan -yang telah dijelaskan oleh jumhur ahli tafsir- yaitu agar kalian

tidak berbuat dzolim.8

3. CABANG-CABANG KAIDAH

Kaidah umum di atas memiliki banyak cabang yang pada dasarnya tercakup

dalam keumuman kaidah umum itu sendiri; diantaranya adalah:

a. Al-wasāil lahā ahkām al-maqāsid (sarana yang digunakan untuk meraih sesuatu

memiliki hukum sama dengan sesuatu yang ingin diraih). Karena kata

"wasāil" bisa diartikan sebagai cara, sebab, konsekuensi dan syarat untuk

mencapai sesuatu. Contohnya, ketika telah masuk waktu sholat maka para

ulama mengatakan wajibnya bagi orang yang saat itu tidak mendapatkan air

didekatnya untuk mencari air di tempat-tempat yang memungkinkan air ada

di sana. Jadi hukum mencari air pada saat itu menjadi wajib, karena waktu

sholat yang membuat satu sholat diwajibkan untuk dikerjakan telah tiba. Hal

itu terkait wudhu yang menjadi syarat sahnya sholat, sedangkan wudhu tidak

bisa dilakukan kecuali jika seseorang mendapatkan air untuk berwudhu.

b. Mā lā yatimmu al-wājib illā bihi fahuwa wājib (jika sesuatu yang wajib tidak bisa

terwujud kecuali dengan adanya sesuatu, maka hukum "sesuatu" ini menjadi

wajib). Karena ketika Alloh dan Rosululloh memerintahkan kita untuk

melakukan sesuatu, maka termasuk hal yang diperintahkan adalah kita juga

melaksanakan seluruh syarat tercapainya perintah tersebut. Contoh yang

sering dikemukakan dalam hal ini adalah ketika Alloh memerintahkan kita

untuk melaksanakan shalat, maka termasuk di dalamnya adalah thahārah

(bersuci). Sehingga hukum wudhu pada saat seseorang hendak melaksanakan

sholat adalah wajib, karena ia merupakan syarat sahnya sholat yang hendak

ia kerjakan.

Contoh semacam ini kurang tepat karena sebagaimana yang ditulis oleh Dr.

Abdul Karim Zaidan bahwa yang dimaksud dalam hal ini adalah sesuatu

8 Lihat surat an-Nisa [4]: 3 dan tafsir Ibnu Katsir.

-7-
yang tidak memiliki landasan dalil langsung. Beliau berkata: ‚Sesuatu yang

membuat keberadaan yang lainnya tergantung padanya bisa dikelompokkan

ke dalam dua hal; yaitu: sesuatu yang berada di luar kemampuan mukallaf

dan sesuatu yang dapat dilakukan oleh mukallaf. Sesuatu yang berada di luar

kemampuan basyari tentu tidak termasuk ke dalam pembahasan ini; adapun

sesuatu yang dapat dilakukan oleh seorang mukallaf dapat kita kategorikan

lagi ke dalam dua sisi; yaitu: sesuatu yang memiliki dalil wajib tersendiri dan

sesuatu yang tidak memiliki dalil khusus atas kewajibannya. Dan sisi kedua

inilah yang dimaksudkan di sini. Contoh untuk sisi pertama adalah apa yang

tertera di atas sedangkan untuk sisi kedua contohnya adalah ibadah haji yang

tidak akan dapat tertunaikan kecuali dengan melakukan perjalanan ke kota

suci, sehingga hukum perjalanan ini menjadi wajib.9

c. Kullu mubāhin tawassala bihi ilā tarki wājib au fi'li muharram fahuwa muharram

(segala sesuatu yang hukum asalnya boleh dilakukan yang dapat

mengantarkan seseorang untuk meninggalkan sesuatu yang wajib atau

mengerjakan sesuatu yang haram, maka sesuatu yang asalnya boleh berubah

menjadi haram). Contohnya, ketika seseorang menonton televisi, dan

membuat dia lalai dari kewajibannya untuk menunaikan sholat lima waktu

atau bahkan televisi itu digunakan untuk menonton film-film blue, maka

hukum menonton televisi pada kondisi ini berubah menjadi haram.

d. Al ‘Ibrotu fil ‘Uqūd lil maqōsid wal ma’āni lā lil alfādzi wal mabāni (yang dianggap

dalam setiap akad adalah maksud dan makna, bukan lafadz dan bentuk

perkataan). Contohnya, jika ada dua orang yang sedang bertransaksi di pasar,

lalu salah seorang memberikan barang, maka transaksi atau akad ini

dipandang sebagai jual beli. Karena itulah yang merupakan maksud dari

transaksi mereka dan bukan akad pemberian sebagaimana yang terlontar

dalam lafadz atau perilaku keduanya.10

9 al-Wajiz fii Ushulil Fiqhi, Dr. Abdul Karim Zaidan, penerbit ar Risalah, hal. 237.
10 Kaidah-kaidah Ilmu Fiqih, Drs. H. Abdul Mudjib, penerbit Kalam mulia, hal. 18-19.

-8-
KAIDAH II

)) ‫(( اليقين ال يزول بالشك‬


SESUATU YANG YAKIN ADANYA TIDAK BISA HILANG

DISEBABKAN OLEH DUGAAN YANG BELUM PASTI

A. LANDASAN KAIDAH

Dari Abu hurairoh ia berkata, ‘Rosululloh bersabda: ‚Jika salah

seorang dari kalian merasakan sesuatu dalam perutnya, lalu ia bingung

apakah telah keluar sesuatu dari perutnya atau tidak; maka janganlah ia

keluar dari masjid sampai ia mendengar suara atau ia mencium bau.‛11

B. PENJELASAN KAIDAH

Yang dimaksud dengan "yaqin" disini adalah: sampainya seseorang pada

kepastian terjadi atau tidaknya sesuatu. Sedangkan yang dimaksud dengan

"syak" adalah: keraguan seseorang atas terjadi atau tidaknya sesuatu. Jadi,

kaidah ini berarti bahwa sesuatu yang yakin adanya tidak bisa dihilangkan

dengan keraguan yang timbul tiba-tiba, akan tetapi keyakinan itu akan hilang

dengan keyakinan yang semisalnya atau yang lebih kuat bukan dengan

sesuatu yang lebih lemah.

Imam Nawawi setelah menjelaskan hadits ini mengatakan: "Hadits ini

merupakan masalah pokok dalam Islam dan merupakan kaidah yang besar

sekali dari kaidah-kaidah fiqh, bahwa segala sesuatu akan dihukumi tetap

keberadaanya pada hukum asalnya sampai ada keyakinan lain yang

11 H.R Muslim.

-9-
berseberangan dengannya, dan tidak akan memberikan pengaruh ketika

timbul keraguan atas hukum pertama."12

Hal senada diungkapkan oleh Imam al-Zarqa yang mengatakan:

"Hadits ini merupakan ibu dari kaidah-kaidah yang ada, dimana hukum-

hukum fiqh akan berporos pada kaidah ini. Bahkan telah dikatakan bahwa

kaidah ini masuk ke seluruh bab-bab fiqh dan masalah-masalah yang

berkaitan dengannya yang sampai pada tiga perempat (3/4) dari ilmu fiqh."13

Sehingga segala sesuatu yang kita ragukan keberadaannya, hukum

asalnya adalah tidak ada dan segala sesuatu yang kita ragukan jumlahnya,

maka kita mengambil jumlah yang paling kecil. Karena itulah yang yakin

adanya, sedang yang lainnya adalah masalah yang masih diragukan.

Dalam sebuah hadits shohih dari Abu Sa’id al Khudri , Rosululloh

bersabda:

‚Jika salah seorang dari kalian ragu dalam sholatnya, sehingga ia tidak tahu

apakah ia telah sholat tiga rokaat atau empat rokaat; maka buanglah

keraguannya dan hitunglah rokaat sholatnya sesuai dengan apa yang ia

yakini. Lalu bersujud dua kali sebelum salam. Jika ternyata ia sholat 5 rokaat,

maka ia telah menyempurnakan sholatnya. Dan jika ia sholat genap empat,

maka ini untuk menghinakan setan.‛ 14

Dan lebih rinci lagi apa yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dalam

sunannya dan di shohihkan oleh Syeikh al-Albani dari sahabat

12 Syarh Shahih Muslim, al-Nawawi.


13 Syarh al-Qawa'id al-Fiqhiyyah, al-Zarqa. Yang menyatakan bahwa kaidah ini masuk sebanyak 3/4 dari
masalah fiqh adalah al-Imam al-Suyuthi dalam kitabnya "al-Asybah wa al-Nadloir".
14 H.R Muslim.

- 11 -
Abdurrohman bin ‘Auf , dia berkata, ‘Saya mendengar Rosululloh

bersabda:

‚Jika salah seorang diantara kalian lalai dalam sholatnya, hingga ia tidak

mengetahui apakah dia sudah sholat satu rokaat atau dua rokaat; maka

hitunglah bilangan rokaat sholatnya baru satu. Jika dia tidak yakin apakah dia

telah sholat dua rokaat atau tiga, maka hitunglah bilangan rokaat sholatnya

dua. Jika dia tidak tahu sudah sholat tiga rokaat atau empat, maka hitunglah

bilangan rokaat sholatnya tiga; lalu sujud dua kali sebelum salam.‛

C. PENERAPAN KAIDAH

Diantara penerapan kaidah ini adalah dalam hal-hal berikut:

1. Dalam thaharah. Barangsiapa yang yakin bahwa dia telah bersuci (thaharah),

lalu ia ragu apakah thaharah yang ia lakukan sudah batal atau belum, maka ia

dihukumi bahwa ia masih dalam kondisi suci. Demikian juga sebaliknya, jika

ia belum bersuci atau ia telah batal dari bersucinya, lalu ia ragu apakah ia

sudah bersuci kembali atau belum, maka ia dihukumi belum bersuci.

2. Dalam Shalat. Barangsiapa yang telah melakukan sebuah pekerjaan, lalu ia

ragu atas sedikit banyaknya perbuatannya tadi, maka orang ini dihukumi

telah melakukan perbuatan yang paling sedikit, karena yang paling sedikit

inilah yang diyakini telah dilakukan olehnya. Dan dalam shalat misalnya

seseorang ragu tentang jumlah raka'at yang telah ia kerjakan, maka Nabi

telah memberikan solusi sebagai berikut: "Jika salah seorang diantara kalian

lupa dalam shalatnya dan tidak ingat sudah berapa raka'at ia shalat satu atau

dua, maka anggaplah ia baru shalat satu raka'at. Kalau ia tidak ingat sudah

shalat dua raka'at atau tiga, maka anggaplah ia telah shalat dua raka'at. Kalau

- 11 -
ia tidak ingat apakah dia telah shalat tiga raka'at atau empat, maka anggaplah

ia baru shalat tiga raka'at. Lalu bersujudlah dua kali sebelum melakukan

salam."15

3. Dalam mu'āmalah māliyah. Contohnya dalam masalah hutang piutang.

Seseorang yang berhutang akan tetap dihukumi berhutang ketika muncul

keraguan dalam jiwa apakah ia sudah membayar hutang tersebut atau belum,

selama ia sendiri belum membayarnya atau belum ada orang lain yang

membayar hutang tersebut untuknya atau dia tidak memiliki bukti atas

klaimnya karena al-Bayyinatu ‘ala al-Mudda’i wa al-Yamin ‘ala al-mudda’a

alaihi.16

4. Dalam nikah. Barangsiapa yang telah menikahi seorang wanita, hubungan

keduanya tidak bisa terputus kecuali dengan sesuatu yang yakin terjadi.

Contohnya ketika ia berniat untuk menceraikan istrinya. Kemudian ia ragu

apakah kata cerai telah ia ungkapkan atau belum, maka hubungan suami istri

dari keduanya adalah tetap ada dan mereka tidak dipisahkan.

5. Dalam shaum. Barangsiapa yang makan sahur diakhir waktu dan ia ragu akan

terbitnya fajar, maka puasanya akan tetap sah karena hukum asalnya adalah

bahwa waktu itu masih malam.

D. CABANG-CABANG KAIDAH

Diantara cabang dari kaidah ini adalah:

1. Al-ashlu baqāu mā kāna 'alā mā kāna (menetapkan hukum sesuatu yang telah

ada sebelum ada yang merubahnya). Contohnya, jika seorang suami telah

menceraikan istrinya dengan cerai yang pertama, kemudian ia ragu apakah

istrinya sudah selesai masa iddah (menunggu) nya atau belum, maka hukum

asalnya wanita itu masih dalam masa iddah.

2. Al-ashlu fī al-abdhā'i al-tahrīm (hukum asal dalam masalah al-furūj (kemaluan)

adalah haram). Contohnya, jika seseorang memiliki empat orang budak, dan

15 H.R Tirmidzi .
16
Lihat dalam Shohih al-Bukhori Kitab asy-Syahadat

- 12 -
salah satu budaknya itu telah ia merdekakan. Akan tetapi ia lupa budak yang

mana yang telah ia merdekakan, maka tidak boleh baginya untuk menggauli

semua budak yang ada dan tidak boleh pula menjualnya sampai telah

diketahui budak yang telah ia merdekakan.

3. Al-ashlu fī al-asyyāi al-ibāhah (hukum asal dari segala sesuatu adalah boleh -

untuk dinikmati-). Contohnya, ketika kita tidak mengetahui hukum tentang

seekor hewan, kemudian saat itu tidak ada yang bisa kita tanya tentang

hukum hewan tersebut, atau tidak ada makanan lain yang jelas kehalalannya,

maka hukum binatang tadi adalah halal.

- 13 -
KAIDAH III

)) ‫َ َر َر َو َال َ َرا َر‬


َ ‫(( َال‬
TIDAK BOLEH MEMBAHAYAKAN ORANG LAIN DAN

MEMBALAS MADHARAT DENGAN MADHARAT

A. LANDASAN KAIDAH

Dari Ibnu 'Abbas , beliau berkata: "Rasulullah bersabda: "Tidak

boleh melakukan sesuatu yang membahayakan orang lain dan tidak boleh pula

untuk menolak bahaya dengan bahaya yang lain."17

B. PENJELASAN KAIDAH

Kaidah ini memiliki dua sisi penting, yaitu:

Pertama, kata "Lā Dhororo" yang berarti tidak boleh bagi siapapun untuk

melakukan tindakan yang membahayakan orang lain. Baik jiwanya, harga

dirinya, dan juga hartanya. Karena melakukan tindakan yang membahayakan

berarti telah berbuat dzalim dan perbuatan ini telah diharamkan oleh Islam.

Dan bahaya disini adalah bahaya yang besar secara umum, walaupun hal itu

timbul dari sesuatu yang mungkin hukum asalnya adalah boleh. Seperti ketika

seseorang menggali sumur di rumahnya atau disamping tembok tetangganya,

atau menembok rumahnya yang mengakibatkan rumah tetangganya terhalang

dari cahaya sinar matahari untuk masuk secara total. Perbuatan yang ia

lakukan di rumahnya tadi adalah perbuatan yang boleh, karena tempat itu

adalah miliknya, akan tetapi ketika hal itu menyebabkan tetangga kita

mendapat dampak buruk yang berbahaya dari perilaku yang hukum asalnya

dibolehkan tadi, maka perbuatan itu terlarang. Adapun kalau dari perilaku

yang boleh tadi hanya menimbulkan sedikit bahaya, seperti tembok yang ia

17 H.R Ibnu Mājah dan dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam shahīh dha'īf Ibnu Mājah.

- 14 -
dirikan hanya menghalangi salah satu jendela kamar rumah tetangga, maka hal

ini dibolehkan18.

Kedua, kata "Wa Lā Dhirār" yang berarti kita tidak boleh membalas suatu

bahaya yang ditimbulkan orang lain kepada kita dengan bahaya yang sama.

Akan tetapi seharusnya orang yang mendapatkan bahaya dari orang lain ini

mengadukan masalah tersebut kepada pihak yang berwenang dalam masalah

yang ia hadapi. Sehingga tidak boleh orang yang uangnya dicuri oleh orang

lain, kemudian ia mencuri uang orang lainnya lagi untuk mengganti rugi

uangnya yang hilang.

Sebenarnya ada perbedaan pendapat dikalangan ulama dalam mengartikan

kata dhirar dan yang paling tepat adalah apa yang dinyatakan oleh Ibnu Hajar

al-Haitami ketika mensyarah hadits arba'in Imam Nawawi yang

menyatakan: "makna dari kata yang pertama (dharar) adalah melakukan

sesuatu yang membahayakan orang lain. Sedang makna kata yang kedua

(dhirar) adalah melakukan tindakan yang membahayakan orang lain sebagai

bentuk balasan yang tidak harus dikaitkan dengan adanya permusuhan

(membalas dengan sesuatu yang sama) dan tidak pula dikaitkan dengan

menolong kebenaran. Hal ini tentu diluar hukuman yang diterapkan dalam

Islam seperti qishās, hudūd, dan hukuman lain seperti ta'zir karena hal ini juga

dilakukan untuk menolak bahaya, dan hal ini juga didukung oleh kaidah "dar'u

al-mafāsid muqaddamun 'alā jalbi al-mashālih".

C. PENERAPAN KAIDAH

Kaidah ini bisa diterapkan dalam hal-hal berikut:

1. Dalam buyu' (jual beli): Adanya pilihan untuk melanjutkan jual beli atau

membatalkan transaksi yang telah dilakukan jika ternyata terdapat

kecacatan tertentu atas barang yang ingin dibelinya atau adanya perbedaan

barang yang ia pesan dengan barang yang diberikan oleh penjual atau

18Walaupun kaum muslimin tetap dituntut untuk meminimalisir bahaya yang ditimbulkan, karena
hal ini akan selaras dengan kaidah lain yang termasuk cabang dari kaidah ini yaitu "al-dhararu yuzāl"
dan "al-dharar yudfa' biqodri al-imkān".

- 15 -
distributor kepadanya. Termasuk dalam hal ini adalah bolehnya seseorang

untuk mengembalikan atau menukar barang yang telah ia beli jika ternyata

didapati ada cacat yang tidak ia ketahui saat ia membeli barang tersebut.

Kecuali jika ia telah mengetahui cacat barang tersebut pada saat ia

membelinya dan ketika itu ia ridlo dengan kondisi yang ada, maka ia tidak

diperbolehkan untuk membatalkan transaksi yang telah ia lakukan.

2. Dalam syarikat19: Adanya hak syuf'ah20. Contohnya: ketika A sepakat untuk

bekerja sama dengan B untuk membeli sebidang tanah yang luasnya 1000

m2. Dimana hak A adalah 600 m2 dan hak B adalah 400 m2. kemudian si A

menjual haknya ini kepada si C sebesar Rp 6.000.000 tanpa sepengetahuan si

B. Maka ketika penjualan sudah berlangsung, akan tetapi belum diadakan

pembagian yang jelas tentang tanah tersebut, maka si B berhak untuk

mengembalikan uang Rp 6.000.000 milik si C dan mengambil tanah itu

sebagai miliknya dengan membayar harga tanah itu kepada si A.

3. Dalam Ījārah (sewa menyewa): ketika seseorang menyewa sebidang tanah

untuk ditanami padi selama satu tahun misalnya. Kemudian saat waktu

sewa yang telah ditentukan habis dan padi yang ditanam tadi belum bisa

dipanen, sang pemilik tanah bukan serta merta boleh mengambil tanahnya

dan padi yang ada di atasnya. Akan tetapi ia harus membiarkan padi itu

sampai bisa dipanen dengan asumsi agar tidak ada madharat berupa

kerugian yang harus ditanggung orang yang menyewa tanah tersebut

dengan tetap membayar uang sewa tanah tambahan itu.

19 Syarikah adalah sebuah kerja sama dalam hal tertentu yang dilakukan oleh dua orang atau lebih
dengan ketentuan tertentu yang disepakati oleh semua pihak yang tergabung dalam kerjasama
tersebut; seperti bersyarikah dengan menanam modal untuk berjualan.
20
Yaitu ketika dua orang bersyarikat dalam sesuatu, maka ketika salah satu dari keduanya ingin
menjual bagiannya, teman syarikatnya ini lebih berhak untuk mendapatkan bagian yang hendak
dijual tersebut daripada orang lain di luar mereka. Bahkan ketika salah satu dari keduanya menjual
bagiannya kepada orang lain tanpa sepengetahuan teman syarikahnya, dibolehkan baginya untuk
mengambil bagian temannya tadi secara paksa dengan mengembalikan jumlah harta yang telah
dibayarkan oleh pihak ketiga tadi atau membatalkan kesepakatan jual beli antara keduanya. Hal ini
dilakukan selama pihak ketiga belum memiliki bukti kuat tentang kepemilikannya atas barang
tersebut. Karena ketika semuanya sudah jelas menjadi milik orang ketiga ini, hak syuf'ahnya gugur.
Walllahu ta'ala a'lam.

- 16 -
4. Dalam bab nikah; kaidah ini dapat diberlakukan seperti ketika harus terjadi

fasakh (pembatalan akad nikah yang telah terjadi) dikarenakan adanya hal

tertentu yang akan membahayakan salah satu pihak dari pasangan atau

adanya cacat tertentu yang akan mengancam hubungan keduanya dalam

rumah tangga.

D. CABANG-CABANG KAIDAH

Diantara cabang-cabang dari kaidah ini adalah:

1. Al-Dhararu yuzāl (setiap bahaya yang telah terjadi harus dihilangkan).

Contoh dari kaidah ini pada hakekatnya adalah penerapan dari kaidah

yang ada, seperti mengembalikan barang yang telah dibeli karena terdapat

cacat didalamnya, adanya pilihan untuk melanjutkan jual beli atau

membatalkannya, membatasi orang-orang tertentu dalam menggunakan

harta seperti orang yang sangat boros dalam membelanjakan hartanya,

hak syuf'ah dalam bekerjasama, hukum qishash, hudud, pembayaran

kaffarat, pembayaran jaminan atas sesuatu, diangkatnya seorang jaksa dan

yang lainnya, serta disyari'atkannya fasakh nikah karena adanya aib pada

salah satu pasangan suami isteri.

2. Al-Dharūrāt tubīhu al-mahdzūrāt (kondisi-kondisi terdesak dapat

menjadikan hal-hal yang hukum asalnya haram menjadi boleh). Kaidah ini

merupakan pengembangan dari dua kaidah lain yaitu kaidah al-

masyaqqatu tajlibu al-taisir (kondisi-kondisi yang memberatkan akan

mendatangkan kemudahan) dan kaidah idzā dhaqa al-amru ittasa'a wa idza

ittasa'a dhaqa (ketika sebuah permasalahan semakin rumit, maka hukum

yang berlaku baginya akan semakin lues dan ketika masalahnya dalam

kondisi normal, maka hukumnya akan kembali menyempit). Dalam hal ini

kita melihat dari sisi bahwa dibolehkannya sesuatu yang hukum asalnya

adalah haram dalam kondisi-kondisi terdesak adalah upaya untuk

mencegah terjadinya bahaya bagi jiwa atau yang lainnya. Seperti ketika ia

berada di tengah hutan belantara dan perbekalan yang ia bawa telah habis

- 17 -
dan ia tidak mendapatkan makanan apapun kecuali binatang buas yang

bertaring atau bangkai. Maka ia akan diperbolehkan oleh syari'at untuk

memakan binatang itu untuk menghindari hilangnya nyawa disebabkan

tidak adanya makanan yang halal.

3. Al-Dharūrāt tuqoddaru bi qodarihā (kondisi-kondisi terdesak diukur sesuai

dengan kebutuhannya). Kaidah ini merupakan bentuk pembatasan

terhadap kaidah Al-Dharūrāt tubīhu al-mahdzūrāt dan juga merupakan

penjelasan dari kaidah idzā dhaqa al-amru ittasa'a wa idza ittasa'a dhaqa.

Sehingga kondisi darurat yang telah membuat seseorang melakukan hal

yang hukum asalnya diharamkan ini, tidak boleh membuat orang ini

melakukan hal yang berlebihan, melebihi kadar yang dibutuhkan untuk

menghilangkan bahaya yang bisa ditimbulkan kalau ia tidak melakukan

hal yang diharamkan itu.

4. Ad-Dhararu tudfa' biqadri al-imkān (bahaya-bahaya yang timbul harus bisa

diminimalisir sebisa mungkin).

5. Ad-Dhararu la tudfa' bi mitslihi (semua bahaya tidak dilawan dengan

bahaya yang semisalnya).

6. Idzā ta'āradha mafsadatān ru'iya a'dzamuha dhararan birtikābi akhaffihima (jika

bertentangan antara dua hal yang sama-sama berbahaya, maka

diperhatikan yang paling besar bahayanya dengan cara menempuh yang

lebih sedikit bahayanya dari keduanya).

- 18 -
KAIDAH IV

)) ‫(( المشقة تجلب التيسير‬


HAL-HAL YANG MEMBERATKAN AKAN MENDATANGKAN

KEMUDAHAN

A. LANDASAN KAIDAH

Kaidah ini dilandaskan pada beberapa ayat berikut dan hadits Nabi .

‫َّللاُ بِ ُك ُم ْاليُ ْس َر َو ََل ي ُِري ُد بِ ُك ُم ْال ُع ْس َر‬


‫ي ُِري ُد ه‬ .1

"Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran

bagimu< " (Qs. Al-Baqarah [2]: 185)

ِ ‫َو َما َج َع َل َعلَ ْي ُك ْم فِي الد‬


‫ِّين ِم ْن َح َرج‬ .2

"Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu

kesempitan…" (Qs. Al-Hajj [22]: 78)

‫ض ِعيفًا‬ ِْ ‫ق‬
ُ ‫اْل ْن َس‬
َ ‫ان‬ َ ِّ‫َّللاُ أَ ْن يُ َخف‬
َ ِ‫ف َع ْن ُك ْم َو ُخل‬ ‫ ي ُِري ُد ه‬.3
"Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan

bersifat lemah." (Qs. Al-Nisā [4]: 28)


‫ف ه‬
‫َّللاُ نَ ْفسًا إِ هَل ُو ْس َعهَا‬ ُ ِّ‫ ََل يُ َكل‬.4
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan

kesanggupannya…" (Qs. Al-Baqarah [2]: 286)

Dari Abu Hurairah , dari Nabi bersabda: "Sesungguhnya agama itu

mudah, tidaklah seseorang bertindak terlalu keras dalam urusan agama kecuali ia

akan terkalahkan. Oleh karena itu, bertindaklah yang tepat, dekatilah

kesempurnaan, berikanlah kabar gembira, dan berusahalah untuk bisa

- 19 -
menggunakan waktu pagi, siang hari dan sebagian waktu malam untuk

beribadah."21

B. PENJELASAN KAIDAH

Seluruh syari'at Islam merupakan syari'at yang lurus dan toleran. Lurus

dalam masalah tauhid yang melandaskan masalah ini pada pemurnian

ibadah hanya untuk Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan yang lain

dan toleran dalam seluruh hukum-hukum yang berlaku dalam Islam dan

amal perbuatan orang-orang yang masuk ke dalam agama ini.

Para ulama mengatakan bahwa dari kaidah ini terlahir seluruh rukhshah

(keringanan) dalam beribadah yang ada dalam syari'at Islam. Adapun sebab

adanya keringanan-keringanan itu atau masyaqqoh yang membuat seseorang

mendapatkan keringanan dalam beribadah adalah:

1. Perjalanan jauh. Diantara keringanan ibadah dalam hal ini: Qashr22,

berbuka di bulan ramadhan, meninggalkan shalat jum'at, dan lain-lain.

2. Sakit. Diantara keringanan ibadahnya adalah: bertayammum ketika tidak

memungkinkan untuk menggunakan air, shalat sambil duduk, tidak

menghadiri shalat berjama'ah dan shalat jum'at, dan lain-lain.

3. Pemaksaan.23 Diantara keringanannya: tidak dianggapnya pernyataan-

pernyataan yang keluar dari orang yang dipaksa seperti kata cerai dan

yang lainnya.

Adapun perbuatan yang lahir dari paksaan seseorang terhadapnya, maka

perlu rincian sebagai berikut:

Pertama, ketika yang ia lakukan adalah hal yang boleh dilakukan

seseorang saat ia terdesak seperti minum khomr ketika tidak

21 HR. Bukhari.
22 Menyingkat shalat yang berjumlah 4 raka'at dilakukan hanya dua raka'at saja.
23 Yang tentunya didasarkan pada beberapa syarat, yaitu: pertama, orang yang memaksa ini benar-

benar akan melakukan apa yang hendak ia paksakan. Kedua, orang yang dipaksa merasa ketakutan
dengan paksaan itu dan membuat ia melakukan hal yang terlarang. Ketiga, paksaan itu berupa
sesuatu yang bisa mengakibatkan nyawa seseorang melayang atau hilangnya anggota tubuhnya atau
berupa hukuman keras yang tidak mampu ia hadapi, termasuk didalamnya adalah ancaman terhadap
harta jika sangat banyak. (al-wajiz fii ushul al-fiqh, Dr. Abd al-Karim Zaedān).

- 21 -
mendapatkan makanan lain dan ia khawatir meninggal jika tidak minum

ini atau dipaksa memakan bangkai, maka ia boleh bahkan dikatakan wajib

untuk memakannya sebagaimana ia tidak boleh meninggalkan khomr

atau bangkai tadi dan membiarkan dirinya meninggal; dan ketika ia

menolak itu, ia dianggap berdosa.

Kedua, ketika apa yang dilakukan adalah hal-hal yang mendapatkan

rukhshah dalam kondisi tertentu untuk dilakukan walaupun ia harus

kehilangan nyawanya ketika ia tidak melakukan hal tersebut. Seperti

pengucapan kata "kufur" dimana ia boleh memilih antara

mengucapkannya atau meninggalkannya.

Ketiga, ketika yang ia lakukan adalah perbuatan yang terlarang seperti

membunuh orang lain. Ia tidak boleh membunuh orang lain untuk

menyelamatkan jiwanya sendiri, dan jika ia lakukan maka ia berdosa dan

wajib atasnya dan orang yang memaksanya untuk di hukum qishash

menurut jumhur ulama.24

4. Lupa. Diantara keringanan yang disebabkan olehnya adalah: tidak

batalnya puasa seseorang ketika ia makan atau minum karena lupa, dan

lain-lain.

5. Kebodohan. Diantara keringanannya adalah terlambatnya orang yang

memiliki hak syuf'ah untuk meminta harta syarikatnya, atau tidak

tahunya seseorang kalau yang ia gunakan adalah harta milik orang lain,

sehingga ia tidak terkena hukuman untuk menjamin barang tersebut.

6. Kesulitan dan hal yang sangat sering terjadi. Diantara keringanannya

adalah dimaafkannya darah yang sedikit; seperti darah yang keluar dari

jerawat, kotoran yang ada dijalanan yang dilewati yang mengenai pakaian

seseorang, dan lain-lain.

7. Kekurangan. Dan yang dimaksud kekurangan di sini adalah kondisi yang

ada pada seseorang baik fisik maupun mentalnya yang menyebabkan

24Sedangkan menurut Abu Hanifah yang di qishash adalah orang yang memaksa, sedangkan
orang yang dipaksa ini ibarat alat saja. (al-wajiz fii ushul al-fiqh, Dr. Abd al-Karim Zaedān).

- 21 -
dirinya tidak mampu untuk melaksanakan perintah syari'at. Keringanan

yang ada diantaranya adalah tidak terkenanya taklif baik berupa larangan

ataupun perintah bagi anak kecil dan orang gila, dan lain-lain.

C. PENERAPAN KAIDAH

Diantara penerapan kaidah ini adalah: dimaafkannya darah yang sedikit

yang hukum asalnya najis, dibolehkannya seseorang hanya beristijmar dari

istinja, dimaafkannya tanah yang menempel di tubuh atau pakaian kita dari

jalanan yang mungkin ada najis di sana, dibolehkannya mencuci kencing anak

laki-laki yang belum memakan makanan hanya dengan memercikkan air saja,

kemudian berlakunya kaidah bahwa hukum asal segala sesuatu adalah suci

dan halal.

Masuk dalam kaidah ini juga tentang dibolehkannya hal-hal yang

diharamkan bagi orang yang terdesak dan sangat membutuhkan; seperti

makan bangkai atau minum khomr bagi orang yang khawatir dirinya akan

meninggal jika tidak mengkonsumsinya.

Diantara penerapan penting bagi kaidah ini adalah ketika anggota

keluarga dan sanak saudaranya harus ikut menanggung diyat pembunuhan

salah atau yang serupa dengan pembunuhan sengaja dikarenakan dirinya

tidak bermaksud untuk membunuh. Maka diyatnya akan ditanggung

bersama oleh anggota keluarga dan saudara sesuai dengan kemampuan

masing-masing dan diberi jangka sampai tiga tahun.

D. CABANG-CABANG KAIDAH

1. Al-Dharūrāt tubīhu al-mahdzūrāt (kondisi-kondisi terdesak dapat

menjadikan hal-hal yang hukum asalnya haram menjadi boleh).

2. Al-Hājatu tanzilu manzilah adh-dharūrah (suatu kebutuhan dapat

menduduki posisi darurat).

3. Diantara cabang kaidah ke empat ini adalah cabang-cabang yang ada pada

kaidah ke tiga.

- 22 -
KAIDAH V

)) ‫(( العادة محكمة‬


ADAT KEBIASAAN BISA DITETAPKAN SEBAGAI HUKUM

A. LANDASAN KAIDAH

       

‚Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta

berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.‛ (QS. Al A’rof *7+: 199)

Dalam sebuah riwayat yang mauquf,25 namun dihukumi marfu’26 dalam al

Mustadrok karya Imam al Hakim disebutkan dari Abdulloh bin Mas’ud

beliau berkata:

‘Apa yang dianggap baik oleh kaum muslimin, maka hal itu juga baik di sisi

Alloh; dan apa yang dianggap buruk oleh kaum muslimin, maka hal itu juga

buruk di sisi Alloh. Sungguh para sahabat semuanya telah berpendapat untuk

menjadikan Abu Bakr sebagai kholifah.’

B. PENJELASAN KAIDAH

Kata al ādat tidak didapati dalam al Qur’an maupun as Sunnah, namun yang

terdapat dalam keduanya dan juga dalam literature bahasa Arab adalah kata

al urf yang memiliki makna serupa dengan kata al ādat sebagaimana yang

tertera dalam ayat di atas.

25
Merupakan riwayat yang hanya sampai pada perowi saja baik dari kalangan sahabat maupun tabi’in.
26
Riwayat tersebut dianggap sampai kepada Rosululloh atau memiliki posisi seperti hadis Nabi .

- 23 -
Kata ‚adat‛ itu sendiri berarti berulang-ulangnya sesuatu hingga hal tersebut

tertanam dalam jiwa dan menjadi sesuatu yang sulit dipisahkan darinya.

Menurut kaidah ini, semua adat kebiasaan dan urf yang ada baik yang

bersifat umum maupun khusus dapat membentuk satu hukum untuk

ditetapkan sebagai hukum yang diakui oleh syariat. Hal ini akan berlaku

ketika tidak ada nash atau dalil terkait hukum yang akan ditetapkan. Jika ada

dalil, tentu hal itu wajib diamalkan dan tidak boleh meninggalkan dalil yang

ada untuk satu adat yang telah menjadi kebiasaan.

Adat yang bersifat umum yang dimaksudkan di sini adalah urf yang berlaku

di seluruh negeri kaum muslimin, sejak zaman dahulu hingga saat ini; sedang

urf yang bersifat khusus maksudnya adalah urf yang hanya berlaku di sebuah

daerah tertentu dan tidak berlaku di wilayah yang lainnya.

Para imam madzhab dalam membina hukum fiqh banyak sekali yang

memperhatikan ‘urf setempat. Diantaranya bisa dilihat dari madzhab Imam

Syafi’i yang telah banyak merubah fatwa dan ijtihadnya ketika beliau pindah

ke negeri Mesir dari Baghdad; dan kemudian ijtihad beliau disana dikenal

dengan al Qoul al Jadīd.

‘Urf itu sendiri akan dipergunakan ketika syari’at menyebutkan suatu

ketentuan secara mutlak tanpa adanya pembatasan dari segi nash itu sendiri

atau dari sisi bahasa.

Dalam hal ini ulama ushul menetapkan satu kaidah yang menyatakan bahwa

‚Setiap ketentuan syari’at yang bersifat mutlak dan tidak ada pembatasannya

dalam syara’ dan dalam ketentuan bahasa, maka keputusannya dikembalikan

kepada ‘urf.‛

Misalnya: dalam hukum pidana Islam (ahkāmul Jarāim), seorang pencuri akan

dihukum potong tangan ketika ia mengambil barang curiannya dari tempat

penyimpanan (al Hirzu) yang layak. Kata al Hirzu yang menjadi salah satu

standar hukum diberlakukannya hukum potong tangan pengertiannya

dikembalikan kepada ‘urf masyarakat yang ada.

- 24 -
Untuk sampai pada adat kebiasaan yang dapat membentuk suatu hukum, ada

beberapa syarat yang harus terpenuhi; yaitu:

1. Bersifat umum; artinya urf tadi dipahami oleh semua lapisan masyarakat

dan tidak ada pertentangan di dalamnya atau kalaupun ada perselisihan

terhadapnya skalanya sangat kecil sehingga hal itu tidak mempengaruhi

kesepakatan yang ada di masyarakat.

2. Tidak bertentangan dengan dalil shohih. Karena adat kebiasaan yang

menyimpang atau bertentangan dengan syari’at tidak dapat dijadikan

sebagai satu hukum yang akan diterapkan kepada kaum muslimin,

meskipun adat kebiasaan tersebut telah dikerjakan oleh kebanyakan

manusia.

3. Sudah berlaku sejak lama. Misalnya ada seseorang yang mengatakan

sumpah ‚Wallohi, saya tidak akan makan daging selamanya.‛ Pada saat

orang tadi mengatakan sumpahnya, masyarakat dan urf yang ada sepakat

bahwa yang dimaksud dengan kata ‚daging‛ yang tidak akan dimakan

adalah daging kambing dan daging sapi. Setelah sepuluh tahun, urf yang

ada menganggap bahwa kata ‚daging‛ mencakup semua jenis daging,

termasuk daging ikan. Ketika orang tersebut makan ikan, ia tidak

dihukumi telah melanggar sumpahnya. Karena sebuah lafadz tidak

didasarkan pada urf yang muncul belakangan.

C. CABANG-CABANG KAIDAH DAN PENERAPANNYA

a. Al ma’rūfi ‘urfan kal masyrūthi syarthon (sesuatu yang telah diketahui

sebagai adat kebiasaan seperti sesuatu yang telah disyaratkan).

Contohnya orang yang masuk ke hotel untuk menginap disana, orang

yang masuk ke rumah makan, orang yang naik taxi; semua itu

menjadikan adanya konsekuensi bagi orang yang melakukan hal-hal

tersebut untuk membayar biaya yang dibutuhkan, meskipun biaya tadi

tidak disebutkan sebelumnya.

- 25 -
b. At Ta’yīn bil ‘urfi ka Ta’yīn bin Nashshi (Yang telah dipastikan dengan urf

seperti yang dipastikan dengan dalil). Contohnya: ketika ada orang yang

memberikan amanat kepada saudaranya berupa wadīah27 untuk

disimpannya beberapa waktu, maka orang yang menerima amanat ini

harus menyimpan barangg tadi di tempat yang sudah selayaknya dan

menjadi urf di masyarakatnya. Misalnya ketika yang di titipkan adalah

emas perhiasan, maka ia wajib menyimpannya di tempat yang aman

seperti laci lemari atau kotak khusus perhiasan.

c. Isti’mālun nāsi hujjatun yajibul ‘amalu bihā (apa yang digunakan

kebanyakan orang, bisa dijadikan argumen yang wajib dikerjakan).

Contohnya ketika ada seseorang yang meminta tolong kepada orang lain

untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi di rumahnya; maka ketika urf

di masyarakat tersebut selalu memberikan upah untuk apa yang ia

kerjakan, wajib bagi orang yang minta tolong kepadanya untuk pekerjaan

yang ia kerjakan memberi upah sesuai dengan urf yang ada.

27
Barang titipan

- 26 -
II. KAIDAH-KAIDAH LANJUTAN

1. Kaidah ‚al-Ashl fi al-Asya al-Ibahah hatta Yadulla dalil ‘ala al-Tahrim‛

2. Kaidah ‚Tasharraf al-Imam ‘ala al-Raiyyah Manuth bi al-Mashlahah‛

3. Kaidah ‚al-Ijtihad la Yanqudh bi al-Ijtihad‛

4. Kaidah ‚al-Hajah Tanzil Manzilah al-Dharurah‛

5. Kaidah ‚al-Khuruj min al-Khilaf Mustahab‛

6. Kaidah ‚al-Rukhash la Tunath bi al-Ma’ashi‛

- 27 -
DAFTAR PUSTAKA

Yahya, Mukhtar dan Fatchur Rahman, Dasar Dasar Pembinaan Fiqh Islam, 1986,

Bandung: PT Alma’arif, cetakan kelima.

Zaidan, Abdul Karim, Al Wajīz fī Syarhi al Qowā’id al Fiqhiyyah, 2004, Beirut:

Muassasah ar Risālah an Nāsyirūn, cetakan pertama.

_____________________, Al Wajīz fī Ushūl al Fiqh, 2004, Beirut: Muassasah ar Risālah

an Nāsyirūn, cetakan pertama.

Al-Sa’di, Abdurrahmān ibn Nāshir, Al Qowā’id wal Ushūl al Jāmi’ah wal Furūq wa at

Taqōsīm al Badī’ah an Nāfi’ah, 1421, Dammam: Dār Ibnu al Jauzi, cetakan

pertama.

Mudjib, Abdul, Kaidah-kaidah Ilmu Fiqih, 2004, Jakarta: penerbit Kalam Mulia,

cetakan kelima.

Mubarak, Jaih, Kaidah Fiqh: Sejarah dan Kaidah Asasi, 2002, Jakarta: Raja Grafindo

Persada, cetakan pertama.

- 28 -

Anda mungkin juga menyukai