Anda di halaman 1dari 14

WASIAT

Oleh: Fadilah

Pengertian wasiat

Wasiat berasal dari katawashshaitu asy syaia, yang berarti aushaltuhu ‘aku menyampaikan
sesuatu’. Maka muushii ‘orang yang berwasiat ‘ adalah orang yang menyampaikan pesan di
waktu dia masih hidup untuk dilaksanakan sesudah wafat.1

Dalam pengertian syara’, wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang lain, baik berupa
barang, piutang, maupun manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat setelah orang
yang berwasiat tersebut wafat.2

Perbedaan wasiat dan hibah

Dalam buku fiqih sunnah sayyid sabiq dijelaskan bahwa perbedaan utama antara hibah dan
wasiat adalah terletak pada kepemilikannya. Kalo hibah, kepemilikan yang diperoleh berlaku
pada saat itu juga, sedangkan kepemilikan yang diperoleh dari wasiat berlaku setelah orang yang
berwasiat tersebut wafat. Dari sisi lain, hibah itu berupa barang, sementara wasiat dapat berupa
piutang maupun suatu manfaat.

Dasar hukum wasiat

Dasar hukum wasiat adalah Al-qur’an, Sunnah, dan ijma’ ulama. Dalam Al-qur’an (1) QS. Al-
baqarah: 180, Allah SWT berfirman: “ Diwajibkan atas kamu, apabila maut hendak menjemput
seseorang diantara kamu, jika dia meninggalkan harta, berwasiat untuk kedua orang tua dan
karib kerabat dengan cara yang baik, sebagai kewajiban bagi orang-orang yang bertaqwa”3

(2) QS. An-nisaa: 11: “...(pembagian-pembagian tersebut diatas) setelah (dipenuhi) wasiat yang
dibuatnya atau (dan setelah dibayar) hutangnya...”4

1
Sayyid Sabiq, Fiqih sunnah, Pena pundi: 2006. Hlm. 467
2
Ibid., hlm. 467
3
Al-Qur’an dan terjemahnya, hadiah dari Khadim al Haramain asy Syarifain (Pelayan kedua tanah suci) Fahd ibn
‘Abd al ‘Aziz al sa’ud, Kerajaan Saudi Arabia.
4
Ibid.
(3) QS. Al-Maaidah: 106: “ Wahai orang-orang yang beriman! Apabila salah satu seorang
9diantara) kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu)
disaksikan oleh dua orang yang adil diantara kamu...”5

Dalam hadits Rasulullah SAW, (1) diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar r.a
bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘ Hak bagi seorang muslim yang mempunyai sesuatu yang
hendak diwasiatkan, sesudah bermalam selama dua malam tiada lain wasiatnya itu tertulis pada
amal kebajikannya. Ibnu Umar berkata, tidak terlalu bagiku satu malampun sejak aku mendengar
Rosulullah SAW mengucapkan hadits itu kecuali wasiatku selalu berada disisiku.”6

(2) Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Jabir bahwa Rasulullah SAW bersabda, “ Barangsiapa
yang wafat dalam keadaan berwasiat, maka dia telah mati di jalan Allah dan sunnah Rasulullah,
mati dalam keadaan diampuni atas dosanya.”7

Hukum wasiat

Para ulama berbeda pendapat mengenai bagaimana hukum wasiat. Berikut penjelasannya:8

1. Pendapat pertama
Az Zuhri mengatakan bahwa wasiat diwajibkan bagi setiap orang yang meninggalkan
harta, baik harta tersebut banyak maupun sedikit.
Ibnu Azm juga berpendapat bahwa wasiat hukumnya wajib. Dia meriwayatkan akan
diwajibkan wasiat tersebut dari Ibnu Umar, Thalhah, Zubair, Abdullah bin Abu Aufa,
Thalhah bin Mutharrif, Ath Thawus, dan Asy-Sya’bi. Ia berkata, “Inilah pendapat Abu
sulaiman dan para sahabat-sahabat kami. Sebagaimana dalil mereka dengan firman Allah
SWT, ‘Diwajibkan atas kamu, apabila maut hendak menjemput seseorang diantara kamu,
jika dia meninggalkan harta, wasiat untuk kedua orang tua dan karib kerabat dengan cara
yang baik, (sebagai) kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.”(QS. Al-Baqarah: 180)

5
Ibid.
6
Sayyid Sabiq, Fiqih sunnah, Pena pundi: 2006. Hlm. 468
7
Ibid.,hlm. 468
8
Ibid., hlm. 470
2. Pendapat kedua
Menurut mazhab Masruq, Iyas, Qatadah, Ibnu Jarir, dan zuhri bahwa wasiat kepada
kedua orang tua dan karib kerabat yang tidak mewarisi dari si mayit maka hukumnya
wajib.
3. Pendapat ketiga
Menurut keempat orang iman dan kalangan mazhab Zaidiyah mengatakan bahwa wasiat
itu bukanlah suatu kewajiban kepada setiap orang yang meninggalkan harta dan bukan
kewajiban terhadap kedua orang tua dan karib kerabat yang tidak mewarisi, akan tetapi
wasiat itu berbeda-beda hukumnya menurut situasi dan kondisi. Karena itu, wasiat
terkadang menjadi wajib, terkadang sunnah, terkadang haram, terkadang makruh dan
terkadang boleh.
Wasiat dikatakan wajib apabila seseorang yang meiliki kewajiban syara’ yang
dikhawatirkan akan disia-siakan apabila tidak berwasiat, seperti adanya titipan utang
kepada Allah SWT dan kepada manusia. Wasiat dikatakan sunnah apabila digunakan
untuk kebaikan, karib kerabat, orang-orang kafir, dan orang-orang saleh. Wasiat
dikatakan haram apabila ia merugikan ahli waris. Sebagaimana dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur dengan jalur sanad yang sahih bahwa Ibnu abbas
berkata, “Merugikan ahli waris didalam wasiat itu termasuk dosa besar.” Wasiat
dikatakan makruh apabila orang yang berwasiat memiliki harta yang sedikit, sedangkan
dia mempunyai seorang atau banyak ahli waris yang membutuhkan hartanya. Dan
dimakruhkan juga berwasiat bagi orang yang fasik apabila diketahui atau diduga kuat
bahwa mereka akan mengguakan harta itu dalam kefasikan dan kerusakan. Wasiat
dikatakan boleh apabila ia ditujukan kepada orang kaya, baik kerabat ataupun bukan.

Sedangkan menurut Syaikh Abdurrahman As-Sa’di, mengatakan wasiat ini ada 5 hukum,
yaitu
1. Wajib jika ada tanggungan hutang dengan orang lain, maka dia harus menulis wasiat,
supaya ketika ia meninggal, bisa diambil dari hartanya untuk melunasi hartanya
2. Sunnah jika punya harta banyak, maka maksimal dia mewasiatkan 1/3 dari hartanya.
3. Makruh jika Ahli Warisnya miskin, karena butuh Ahli Warisnya dana, maka hartanya
untuk Ahli Warisnya.
4. Haram jika dia mewasiatkan lebih dari 1/3 hartanya, kalau lebih banyak dari itu maka
yang diambil hanya  1/3, sisanya untuk Ahli Waris.
5. Mubah jika anaknya berkecukupan

Rukun wasiat

Didalam buku Fiqih Sunnah Sayyid Syabiq dikatakan bahwa rukun wasiat adalah ijab dari orang
yang mewasiatkan baik berupa ucapan maupun tulisan. Jika wasiat tidak tertentu, misalnya untuk
mesjid, sekolah, rumah sakit, tempat pengungsian, maka ia tidak memerlukan qabul. Tapi jika
wasiat ditujukan kepada orang tertentu, maka harus ada qabul dari yang menerima wasiat atau
walinya apabila yang menerima warisan belum mempunyai kecerdasan.

Kapan wasiat menjadi hak seseorang

Wasiat mulai berlaku atau menjadi hak ahli waris ketika yang berwasiat telah wafat dan telah
terselesaikan atau terbayar utang-utangnya. Jika pembayaran utang-utangnya menghabiskan
semua hartanya, maka pewaris tidak mendapatkan sesuatupun. Sebagaimana firman Allah SWT,

“... setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya ...” (An-Nisaa:
11)9

Syarat-syarat wasiat10

Syarat-syarat wasiat adalah adanya pemberi wasiat, penerima wasiat, dan sesuatu yang
diwasiatkan.

1. Syarat bagi pemberi wasiat adalah kelayakan dalam melakukan kebajikan, yaitu orang
yang mempunyai kemampuan yang tidak diakui. Keabsahan kemampuan didasari pada
akal, kedewasaan, kemerdekaan, ikhtiyar, dan tidak dibatasi karena kebodohan atau
kelalaian. Jika pemberi wasiat itu orang yang kurang kemampuannya, misalnya karena
masih anak-anak, gila, hamba sahaya, dipaksa atau dibatasi, maka wasiatnya tidak sah.11
2. Syarat penerima wasiat, yaitu:
a. Bukan ahli waris pemberi wasiat
9
Al-Qur’an dan terjemahnya, hadiah dari Khadim al Haramain asy Syarifain (Pelayan kedua tanah suci) Fahd ibn
‘Abd al ‘Aziz al sa’ud, Kerajaan Saudi Arabia.
10
Sayyid Sabiq, Fiqih sunnah, Pena pundi: 2006. Hlm. 473
11
Ibid., hlm. 473
Diriwayatkan oleh al-Maghazi bahwa Rasulullah saw telah bersabda pada waktu
penaklukan Kota Mekah, ‘Tidak ada wasiat bagi ahli waris.’
b. Menurut Hanafi, jika penerima wasiat itu telah tertentu, maka disyaratkan agar orang
tersebut hadir pada saat wasiat dilaksanakan. Apabila penerima wasiat tidak tertentu,
maka orang itu harus ada di waktu pemberi wasiat wafat.
c. Pemberi wasiat tidak membunuh pemberi wasiat dengan pembunuhan yang
diharamkan secara langsung.
3. Syarat barang ang diwasiatkan, yaitu:
Barang yang diwasiatkan tersebut dimiliki dengan salah satu bentuk kepemilikan setelah
pemberi wasiat wafat

Kadar harta wasiat yang disunnahkan

Ibnu Abdil Bar berkata bahwa orang-orang salaf berbeda pendapat tentang kadar harta yang
disunnahkan untuk diwasiatkan atau diwajibkan. Sebagaimana diriwayatkan bahwa Ali berkata,
‘Enam ratus atau tujuh ratus dirham itu bukanlah harta yang harus dibuatkan wasiat.” Dan
diriwayatkan darinya bahwa seribu dirham itulah harta yang perlu dibuatkan wasiat.

Ibnu Abbas berkata,”Tidak ada wasiat dalam harta yang berjumlah delapan ratus dirham.”

Aisyah berkata, ‘Mengenai perempuan yang mempunyai empat orang anak, sedangkan ia juga
mempunyai tiga ribu dirham, maka tidak ada wasiat didalam hartanya itu.’

Ibrahim Nakha’i berkata, ‘wasiat itu seribu sampai lima ratus dirham.’

Dari Ali, ‘Barangsiapa meninggalkan sedikit harta, maka hendaklah dia membiarkan dibagi oleh
ahli warisnya. Hal demikian itu lebih utama.’

“Dari Aisyah, ‘Mengenai orang yang meinggalkan delapan ratus dirham, maka dia tidak
meninggalkan harta yang perlu dibuatkan wasiat.’”

Batasan jumlah harta yang boleh diwasiatkan

Sesuai dengan ijma ulama, jumlah harta yang boleh diwasiatkan adalah sepertiga harta pemberi
wasiat dan tidak dibolehkan wasiat yang melebihi sepertiga tersebut.
Batalnya wasiat

Didalam buku Fikih Sunnah Sayyid Syabiq dikatakan bahwa suatu wasiat menjadi batal dengan
hilangnya salah satu syarat sebagai berikut:

1. Jika pemberi wasiat menderita penyakit gila yang parah yang dapat membawa kematian
2. Jika penerima wasiat mati sebelum pemberi wasiat
3. Jika sesuatu tersebut barang tertentu yang menjadi rusak sebelum diterima oleh penerima
wasiat

Tafsir Qur’an yang berkaitan dengan wasiat

ِ‫ين بِال َْم ْع ُروف‬ ِ ِ ِ ِ


َ ِ‫ت ِإن َت َر َك َخ ْي ًرا ال َْوصيَّةُ لل َْوال َديْ ِن َواألق َْرب‬
ُ ‫َأح َد ُك ُم ال َْم ْو‬ َ ‫ب َعل َْي ُك ْم ِإذَا َح‬
َ ‫ض َر‬ َ ‫ُكت‬
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut,
jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya
secara ma'ruf.” (QS. Al Baqoroh : 180)
Sebagian ulama berpendapat bahwa wasiat adalah sebuah kewajiban. Berwasiat untuk
kerabat yang tidak mendapat warisan dari si mayat hukumnya adalah wajib, baik mereka itu
dari ‘ashabah mapun dzawil arham, yaitu jika terdapat ahli waris selain mereka.12
ُ‫ص*ف‬ ْ ِّ‫ق ا ْثنَتَ ْي ِن فَلَ ُهنَّ ثُلُثَ**ا َم**ا تَ* َر َك َوِإنْ َك**انَتْ َوا ِح* َدةً فَلَ َه**ا الن‬َ ‫*و‬ ْ *َ‫س*ا ًء ف‬ َّ ِ‫صي ُك ُم هَّللا ُ فِي َأ ْوال ِد ُك ْم ل‬
َ ِ‫لذ َك ِر ِم ْث ُل َحظِّ األ ْنثَيَ ْي ِن فَِإنْ ُكنَّ ن‬ ِ ‫يُو‬
‫ث فَِإنْ َك**انَ لَ*هُ ِإ ْخ* َوةٌ فَأل ِّم ِه‬ ُ ُ‫ُس ِم َّما تَ َر َك ِإنْ َكانَ لَهُ َولَ ٌد فَِإنْ لَ ْم يَ ُكنْ لَهُ َولَ ٌد َو َو ِرثَهُ َأبَ َواهُ فَأل ِّم ِه ال ُّثل‬ ُ ‫سد‬ ُّ ‫َوألبَ َو ْي ِه لِ ُك ِّل َوا ِح ٍد ِم ْن ُه َما ال‬
‫يض*ةً ِمنَ هَّللا ِ ِإنَّ هَّللا َ َك*انَ َعلِي ًم*ا‬ ُ ‫وص*ي ِب َه*ا َأ ْو َد ْي ٍن آ َب*اُؤ ُك ْم َوَأ ْبنَ*اُؤ ُك ْم ال تَ* ْدرُونَ َأ ُّي ُه ْم َأ ْق* َر‬
َ ‫ب لَ ُك ْم نَ ْف ًع*ا فَ ِر‬ ِ ُ‫صيَّ ٍة ي‬
ِ ‫ُس ِمنْ َب ْع ِد َو‬
ُ ‫سد‬ُّ ‫ال‬
َ‫وص*ين‬ِ ُ‫ص*يَّ ٍة ي‬ِ ‫الربُ* ُع ِم َّما تَ* َر ْكنَ ِمنْ بَ ْع* ِد َو‬ُّ ‫اج ُك ْم ِإنْ لَ ْم يَ ُكنْ لَ ُهنَّ َولَ ٌد فَِإنْ َكانَ لَ ُهنَّ َولَ ٌد فَلَ ُك ُم‬ ُ ‫صفُ َما تَ َر َك َأ ْز َو‬ ْ ِ‫) َولَ ُك ْم ن‬١١( ‫َح ِكي ًما‬
‫ُوص*ونَ بِ َه**ا َأ ْو‬
ُ ‫ص*يَّ ٍة ت‬ ُّ َّ‫بِ َها َأ ْو َد ْي ٍن َولَ ُهن‬
َ *َ‫الربُ ُع ِم َّما ت ََر ْكتُ ْم ِإنْ لَ ْم يَ ُكنْ لَ ُك ْم َولَ ٌد فَِإنْ َكانَ لَ ُك ْم َولَ* ٌد فَلَ ُهنَّ الثُّ ُمنُ ِم َّما ت‬
ِ ‫*ر ْكتُ ْم ِمنْ بَ ْع* ِد َو‬
‫ش* َر َكا ُء فِي‬ ُ ‫*ر ِمنْ َذلِ* َك فَ ُه ْم‬َ *َ‫ُس فَ*ِإنْ َك**انُوا َأ ْكث‬ ُّ ‫ث َكاللَةً َأ ِو ا ْم َرَأةٌ َولَهُ َأ ٌخ َأ ْو ُأ ْختٌ فَلِ ُك ِّل َوا ِح* ٍد ِم ْن ُه َم**ا‬
ُ ‫الس*د‬ ُ ‫َد ْي ٍن َوِإنْ َكانَ َر ُج ٌل يُو َر‬
‫صيَّةً ِمنَ هَّللا ِ َوهَّللا ُ َعلِي ٌم َحلِي ٌم‬
ِ ‫ار َو‬ َ ‫صى بِ َها َأ ْو َد ْي ٍن َغ ْي َر ُم‬
ٍّ ‫ض‬ َ ‫صيَّ ٍة يُو‬ ِ ُ‫الثُّل‬ 
ِ ‫ث ِمنْ بَ ْع ِد َو‬
(Q.S. An-nisa, 4: 11-12)
“Allah mensyari'atkan kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, yaitu
bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu

12
Menurut mayoritas ulama pendapt selain dari empat madzhab yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali tidak
bisa dijadikan landasan hukum karena tidak terkodifikasi secara jelas dalam khazanah Islam. Lebih jelas baca as-
Sayyid Abdurrahaman bin Muhammad bin Husain bin Umar, Bughyah al-mustarsyidin, Al-Hidayah, Surabaya, h. 8
semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertigadari harta
yang ditinggalkan.Jika anak perempuan itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta
yang ditinggalkan).Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak.Jika orang yang meninggal tidak
mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat
sepertiga.Jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat
seperenam.(Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah dipenuhi wasiat yang dibuatnya atau
(dan) setelah dibayar hutangnya.(Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak
mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu.Ini adalah ketetapan
Allah.Sungguh, Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.”
“Dan bagianmu (suami-suami) adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-
isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak.J ika mereka (istri-istrimu) itu mempunyai anak,
maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya setelah dipenuhi wasiat yang
mereka buat atau (dan) setelah dibayar hutangnya.Para isteri memperoleh seperempat harta yang
kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak.Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri
memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan setelah dipenuhi wasiat yang kamu
buat atau (dan) setelah dibayar hutang-hutangmu.Jika seseorang meninggal, baik laki-laki
maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi
mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu), maka bagi
masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.Tetapi jika saudara-saudara seibu itu
lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu, setelah dipenuhi
wasiat yang dibuatnya atau (dan) setelah dibayar hutangnya dengan tidak menyusahkan (kepada
ahli waris).Demikianlah ketentuan Allah.Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun”.
Para fuqoha kaum muslimin dari kalangan Hanafiah dan Hanabilah serta kebanyakan
Syafi'iyah telah sepakat tentang sahnya wasiat dari seorang muslim kepada kafir dzimmy atau
dari kafir dzimmy kepada seorang muslim dengan syarat wasiat syar'iyyah. Mereka berhujjah
dengan firman Allah:
"Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berbuat adil kepada orang-orang yang tidak
memerangi kamu dalam urusan ad dien (agama) dan tidak mengusir kamu dari negeri-negeri
kamu.Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil."(Q.S. Al Mumtahanah :
8).
Karena kekufuran tidak menghapuskan hak memiliki sebagaimana boleh pula seorang kafir
berjual beli dan hibah, demikian pula wasiatnya.  Sebagian ulama Syafi'iyah berpendapat bahwa
hanya sah kepada sorang dzimmy bila ditentukan orangnya seperti kalau dia mengatakan: "Saya
berwasiat untuk si Fulan." Tapi kalau dia mengatakan: "Saya berwasiat untuk Yahudi atau
Nashara", maka tidaklah sah karena dia telah menjadikan kekafiran sebagai pembawa wasiat.
Adapun Malikiyah maka mereka menyetujui orang-orang yang menyatakan sahnya wasiat
seorang dzimmy kepada orang muslim. Adapun wasiat seorang muslim kepada seorang dzimmy
maka Ibnul Qosim dan Asyhab berpendapat boleh apabila dalam rangka silaturahim karena
termasuk kerabat kalau bukan maka hukumnya makruh karena tidak akan berwasiat kepada
orang kafir dengan membiarkan orang muslim kecuali seorang muslim yang sakit imannya. (Al-
Maushu'ah Al-Fiqhiyah 2/312).Islam Tanya & Jawab, Syeikh Muhammad Sholih Al-Munajid.
 
Hadits yang berkaitan dengan wasiat

‫األول‬ ‫الحديث‬
‫شيء‬ َ ‫احق امرئ مسلم لَ ُه‬ َ ‫" َم‬ :‫ َقا َل‬ ‫ أن َرسُو َل هللا صلى هللا عليه وسلم‬:‫َعنْ َع ْب ِد هللا بن ُع َم َر َرضي هللا َع ْن ُه َما‬
‫رت َعلَي َلي َلة‬ْ ‫ َف َو هللا َما َم‬:‫زاد " مسلم " قال ابن عمر‬  " ‫ َي ِبيتُ لَيلَة أو لَيلَ َتين إال َو َوصيت ُه َم ْك ُتو َبة عنده‬،ِ‫ُيوصي به‬
. ‫ِعت َرسُو َل هللا صلى هللا عليه وسلم يقُو ُل ذل َِك إال وعندي َوصِ يتي‬ ُ ‫ُم ْن ُذ َسم‬
Hadits 1/300

Dari Abdillah bin Umar, bahwa Rosulullah bersabda, tidaklah hak seorang muslim yang dia
punya sesuatu yang harus diwasiatkan kemudian ia dia melewati 2 malam kecuali wasiatnya
sudah ditulis disamping kepalanya
Tambahan dalam riwayat Muslim, Ibnu Umar berkata, tidaklah lewat 1 malampun sejak
Rosulullah mengucap hadits ini, kecuali aku telah tulis wasiat disisiku

Faedah Hadits

1. Ini berkat dengan orang yang harus berwasiat. Misal punya tanggungan dengan orang
lain. Seseorang kadang berhutang dengan orang lain, karena mereka saling percaya
maka mereka tidak menulisnya. Maka orang yang berhutang hendaknya menulis
wasiat supaya dibayar hutangnya. Karena kalau tidak, sahabatnya bisa jadi akan
menagih, karena tidak ada bukti, Ahli waris bisa saja tidak mempercayai, maka terjadi
perselisihan, maka hendaknya ditutup pintu-pintu kamadhorotan tersebut.
2. Ini dalil kalau tidak ada kewajiban yang harus diwasiatkan maka tidak wajib dicatat
wasiat, misalkan sedekah yang hukumnya tidak wajib maka wasiat sedekah tidak
wajib pula.

3. Semangat sahabat menjalankan sunnah, maka hendaknya kita segera menulis wasiat,
sebagaimana Ibnu Umar.
4. Kalau kita sering melihat wasiat kita akan ingat mati pula, karena memang dunia
beserta segala pernak-perniknya ini yang membuat kita lupa, maka Allah telah
mencela orang kafir, dalam surat Al Humazah(104) : 2

ُ‫الَّذِي َج َم َع َماالً َو َع َّد َده‬ 

yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung

Hendaknya seseorang selalu memahami kalau harta yang kita kumpulkan tidak akan
mengekalkan kita dalam dunia, kalau telah tiba ajal, maka selesai. Orang yang menulis akan
tahu kalau hidupnya tidak akan lama, ia akan menjauhi maksiat dan bersegera dalam
kebaikan.

‫الثاني‬ ‫الحديث‬
َ  ‫ َحج ِة‬ ‫ َعا َم‬ -‫ َيعُو ُدني‬ ‫وسلم‬ ‫عليه‬ ‫هللا‬ ‫صلى‬ ‫هللا‬ ‫ َرسُو ُل‬ ‫ َجا َءني‬ ‫ َقال‬ ‫ َع ْن ُه‬ ‫هللا‬ ‫ َرضي‬ ‫ َوقاص‬ ‫أبي‬ ‫بن‬
  ْ‫من‬ ‫الودَ اع‬ ِ  ‫ َسعْ ِد‬  ْ‫َعن‬
. ‫بي‬ ‫ا ْش َتد‬ ‫َو َجع‬
‫؟‬ ‫مالي‬ ‫ ُبثلُ َثي‬ ‫صدق‬ َ ‫أ َفأ َت‬ ،‫ابنة‬ ‫إال‬ ‫ َي ِر ُثني‬ ‫ َوال‬ ،‫مال‬ ‫ذو‬ ‫ َوأ َنا‬ ،‫ َترى‬ ‫ َما‬ ‫الو َج ِع‬
َ  ‫مِن‬ ‫بي‬ ‫ َبلَ َغ‬ ‫ َق ْد‬ ،‫هللا‬ ‫رسول‬ ‫ َيا‬ :‫ت‬ ُ ْ ‫َفقُ ْل‬
ْ ‫ َف‬ :‫ت‬
" ‫ال‬ " :‫ َقا َل‬ ‫هللا؟‬ ‫ َرسُو َل‬ ‫ َيا‬ ‫الشط ُر‬ ُ ‫ ْقل‬ " ‫ال‬ " :‫َقا َل‬
ُ ‫قُ ْل‬
ُ ُ‫ َفالثل‬ :‫ت‬
.‫ث؟‬
:‫ا َل‬BBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBB‫َق‬
 ‫ َتب َتغِي‬ ‫ة‬BB‫ َن َف َق‬ ‫ ُت ْنف َِق‬ ‫لن‬ ‫إنك‬ َ ‫ َي َت َكف ُف‬ ‫ َعا َل ًة‬ ‫تركهُم‬
َ ‫ال َّن‬ ‫ون‬
َ ‫ َو‬ ،‫اس‬ ُ ‫ َو‬ " ‫ث‬
ْ  ‫ َو َر َث َت َك‬ ‫ َت َذ ْ َر‬  ْ‫أن‬ ‫إ َن َك‬ .‫ َكثِير‬ ‫الثلث‬
َ ‫ َت‬ ‫أن‬  ْ‫مِن‬ ‫ َخير‬ ‫أغ ِن َيا ٍء‬ ُّ  "
ُ ُ‫الثل‬
َ ‫امْ َرأت‬  ّ‫في‬ ‫في‬ ‫ َتجْ َع ُل‬ ‫ َما‬ ‫ َحتى‬ ،‫ ِب َها‬ ‫أجرت‬ ‫إال‬ ‫هللا‬ ‫ َوجْ َه‬ ‫ب َها‬
. " ‫ِك‬
َ  ‫هللا‬ ‫رسول‬ ‫ َيا‬ :‫ت‬
‫؟‬ ‫أصْ َحابي‬  َ‫ َبعْ د‬  ُ‫اخلف‬ ُ ‫ َف ُق ْل‬ :‫َقا َل‬
:‫ا َل‬BBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBB‫َق‬
 ‫ُضر‬ َ َّ‫ ُت َخل‬ ‫أن‬ ‫ َولَ َعلً َك‬ ،‫رفع ًة‬
َ ‫ َوي‬ ‫أ ْق َوام‬ ‫ ِب َك‬ ‫ين َتف َِع‬ ‫ح َتى‬ ‫ف‬ َ ‫ َو‬ ‫در َجة‬ َ َ‫ازد‬
َ  ‫ ِب ِه‬ ‫دت‬ َ َّ‫تخل‬
ْ  ‫إال‬ ‫هللا‬ ‫وجْ َه‬ ‫ ِب ِه‬ ‫ َت ْب َتغِي‬ ‫ َع َمال‬ ‫ َف َتعْ َم َل‬ ‫ف‬ َ   ْ‫لَئن‬ ‫إ َن َك‬ "
‫صل‬ ‫هللا‬ ‫ول‬B‫رس‬ ‫ ُه‬Bَ‫ل‬ ‫ َيرثي‬ " ‫ َخ ْولَ َة‬  ُ‫بن‬ ‫ َسع ُد‬ ‫ائس‬
َ ‫ال َب‬  َّ‫لكِن‬ ‫أعقابهم‬ ‫ َعلَى‬ ‫ َترُدهُم‬ ‫ َوال‬ ،‫هِجْ َر َت ُه ُم‬ ‫ألصْ َحابي‬ ‫أمْ ض‬ ‫اللهُم‬ .‫ُون‬ َ  ‫بك‬
َ ‫آخر‬ َ
‫هللا‬ ‫ى‬ 
َ ‫ َم‬  ْ‫أن‬ ‫وسلم‬ ‫عليه‬.
‫ ِب َمك َة‬ ‫ات‬

Hadits 2/301

Dari Saad bin Abi Waqosh berkata, Rosul datang kepadaku, takkala itu aku sedang sakit di
Makkah, ketika haji wada’. Maka Rosulullah menjenguknya, 
Saad berkata, Ya Rosulullah kau telah melihat sakit sebagaimana kau melihat, dan aku
memiliki harta yang banyak(nakiroh), dan saya tidak memiliki Ahli Waris kecuali seorang
putri, bolehkah saya sedekahkan dengan 2/3 harta saya, Nabi menjawab, jangan.
Saad berkata lagi, Setengah?, Maka Nabi menjawab, jangan.
Maka Saad berkata, sepertiga?, Rosulpun menjawab, sepertiga nggak papa sudah
banyak, seseungguhnya engkau meniggalkan Ahli Waris dalam keadaan kaya lebih baik,
daripada meninggalkan Ahli Warismu dalam keadaan miskin, tidaklah engkau
menginfaqkan suatu nafkah yang engkau mengharap wajah Allah, kecuali engkau akan
dapat pahala, sampai apa yang engkau suapkan ke istrimu
Ibnu Abbas berkata, seandainya orang mengurangi dari 1/3, maka ini lebih baik, karena
Rosulullah berkata, 1/3 itu bayak.

Faedah Hadits
1. Saad adalah sahabat senior yang punya banyak keutamaan
 Seorang Muhajiriin 
 Termasuk Asabiqunal Awwaluun 
 Ia termasuk 10 orang yang dijamin Rosulullah masuk surga, maka diriwayatkan
ketika ia hendak meninggal dia berkata, kepada anaknya, Ananda saya tidak akan
diadzab oleh Allah, karena Rosulullah telah menyebutkan saya masuk surga, beliau
yakin dengan Rosulullah.
 Ia termasuk orang yang masuk Islam karena diajak Abu Bakar, ketika Abu Bakar
masuk Islam ia langsung berda’wah, seakan-akan tugas da’wah juga ada padanya,
hingga banyak orang yang masuk surga gara-gara dia. Maka kebaikan Saad hanya
sebagian kebaikan Abu Bakar, dan kebaikan Abu Bakar hanya sebagian dari
kebaikan Rosulullah.
2. Rosulullah di Haji Wada’, berangkat bersama sekitar 100.000 sahabatnya,
dan Qodarullah Saad ketika itu sakit di Makkah, diapun merasa akan meninggal
dengan sakit tersebut, maka Rosulullah menjenguknya. Ini sunnah pemimpin
menjenguk rakyat, betapa rakyat bahagia kalau didatangi oleh pemimpin, demikian
pula seorang atasan hendaknya katika, anak buahnya ada masalah datangi, karena ini
akan menjadikan anak buah semakin bahagia, semangat, dan semakin amanah.
3. Saad adalah orang yang kaya. karena beliau mengatakan ( ‫مال‬ ‫ذو‬ ‫) َوأ َنا‬, dimana kata ‫مال‬,
adalah nakiroh yang mengandung unsur keumuman. Dan Saad hanya punya 1 anak
putri.
Maka Saad minta pada Rosulullah, mengizinkannya untuk mewasiatkan 2/3 hartanya,
karena ia merasa hartanya akan cukup karena ia kaya dan hanya punya tanggungan 1
putri saja.
4. Rosul bersabda, sepertiga nggak papa sudah banyak
Jumlah maksimal, sebagaimana Rosulullah hanya membolehkan Saad berwasiat 1/3
hartanya, karena sepertiga itu sudah banyak.
Ibnu Abbas berkata, seandainya orang mngurangi dari 1/3, menjadi 1/4, maka ini
lebih baik, karena Rosulullah berkata 1/3 itu banyak.
  Dalam mazhab Syafi’i, dianjurkan wasiat kurang dari 1/3.
Imam Nawawi dalam syara’ Muslim menyatakan bahwa jika ahli waris miskin, maka
dianjurkan untuk berwasiat kurang dari 1/3, tapi jika ahli waris sudah berkecukupan,
maka 1/3 bagian saja.
Orang yang tidak punya ahli waris, kebolehan dalam mewasiatkan hartanya ada dua
pendapat:
Menurut Jumhur Ulama: mewasiatkan harta tidak boleh lebih dari 1/3.
Hanafiah, Ishaq, Syarik dan Ahmad seperti juda pendapat Ali dan Ibn Mas’ud, wasiat
boleh saja lebih dari 1/3 bagian harta yang warisan.

Untuk mengatur pendistribusian harta kekayaan melalui wasiat secara proporasional Islam
menetapkan batasan terhadap orang yang dapat menjadi penerima wasiat. Batasan ini
memberikan kejelasan tidak terdapat penumpukan kekayaan pada satu pihak dan penzaliman
pada pihak lain. Untuk memperoleh gambarannya dapat dilihat dalam hadits berikut:
‫ ( ِإنَّ هَّللَا َ قَ ْد َأ ْعطَى ُك* َّل ِذي‬: ‫سو َل هَّللَا ِ صلى هللا عليه وسلم يَقُو ُل‬ ُ ‫س ِمعْتُ َر‬ َ ‫َ َوعَنْ َأبِي ُأ َما َمةَ اَ ْلبَا ِهلِ ِّي رضي هللا عنه‬
ُّ ‫سنَهُ َأ ْح َم ُد َواَلت ِّْر ِم ِذ‬
, َ‫ َوقَ * َّواهُ اِبْنُ ُخ َز ْي َم* ة‬, ‫ي‬ َ َّ‫ َواَأْل ْربَ َعةُ ِإاَّل الن‬, ‫ َر َواهُ َأ ْح َم ُد‬ ) ‫ث‬
َّ ‫ َو َح‬, ‫ساِئ َّي‬ ٍ ‫صيَّةَ لِ َوا ِر‬
ِ ‫ فَاَل َو‬, ُ‫ق َحقَّه‬
ٍّ ‫َح‬
‫َوابْنُ اَ ْل َجا ُرو ِد‬

Berkata Abi Umamah al-Bahiliy: saya mendengar Rasulullah Saw. Bersabda dalam
khutbahnya pada tahun haji wada’ : “sesungguhnya Allah telah memberikan haknya kepada
orang yang berhak, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.

Hadits diatas diriwayatkan oleh Al-Turmuzi kitab Al-Washaya no. 2046, Abu Dawud Kitabai’
no. 3094, dan Ibnu Majah kitab Al-Washaya no. 2704.
Syarah Hadits:
Wasiat merupakan salah satu bentuk pemindahan hak dari seseorang kepada orang lain yang
mempunyai implikasi terhadap warisan. Hal itu karena pelaksanaan enyerahan wasiat bersamaan
waktunya dengan pembagian warisan, seperti yang diisyaratkan Al-Qur’an dalam surat An-
Nisa’: 11 & 12. Dalam ayat ini dijelaskan bahwa harta warisan baru dapat dibagi setelah wasiat
dibayarkan, maka konsekuensinya logisnya wasiat akan mengurangi jumlah harta warisan yang
akan dibagikan kepada ahli waris.
Dilihat dari aspek lain, pada dasarnya pnerima wasiat boleh siapa saja, sangat tergantung
pada keinginginan pemberi wasiat yang akan diberikan. Namun Islam memberikan batasan yang
jelas agar tidak terjadi penzaliman. Dalam hadis diatas sebelumnya rasulullah memberikan hak
kepada orang yang berhak menerimanya, memberikan pengertian bahwa umat Islam tidak boleh
memberikan sesuatu pada orang yang tidak berhak atau sebaliknya, umat Islam tidak boleh
menahan hak orang lain.
Dengan frase secara eksplisit Rasulullah mengungkapkan bahwa Allah telah memberikan hak
kepada orang yang berhak menerimanya.Rasul dengan itu juga menginginkan agar umat Islam
memberikan sesuatu kepada orang yang berhak menerimanya.Aplikasi dari ketentuan tersebut
terlihat diakhir hadis diatas.Rasul dengan sangat jelas menyatakan bahwa wasiat tidak boleh
diberikan kepada ahli waris yang pada waktu bersamaan juga menerima warisan.
Ketentuan dalam hadits tersebut menjadi dalil bahwa ahli waris yang mendapatkan warisan
terhalang untuk mendapatkan wasiat, dan ini pendapat Jumhur Ulama.[7] Ketentuan hadits ini
dapat mengantisipasi munculnya pertikaian dan rasa iri yang dipicu oleh tindakan pembagian
harta yang tidak adil. Pemberian wasiat kepada salah satu ahli waris akan menambah bagian
yang diterima ahli waris. Disatu pihak ia mendapatkan harta melalui bagian warisan dan disisi
lain ia juga memperoleh melalui wasiat. Oleh sebab itu, Rasulullah Saw. Melarang memberikan
wasiat kepada ahli waris.
Mungkin dari satu sisi aturan ini dapat dijadikan solusi dalam menghadapi ahli waris yang
tidak mendapatkan warisan, karena adanya penghalang, misalnya kasus yang telah ditetapkan
pada bahasan warisan (beda agama) dan cucu ketika anak masih ada mereka masih memiliki
kesempatan untuk mendapatkan bagian dari wasiat. Hal ini menunjukkan bahwa Islam tidak
membenarkan ada orang yang mendapatkan dua hak pada waktu yang sama.
Dalam riwayat lain, ada tambahan diakhir hadits dengan ungkapan “kecuali jika ahli waris
lain menghendakinya”, karena akhir hadits ini menunjukkan bahwa larangan wasiat lebih 1/3
untuk menjaga hak ahli waris, begitu juga dengan ahli waris yang menerima wasiat jika ahli
waris lain tidak keberatan, maka hal itu dapat dilakukan. Kerelaan ahli waris lain menjadi syarat
ahli waris untuk mendapatkan bagian wasiat, karena larangan dalam hidits pertama bertujuan
untuk mengantisipasi munculnya pertikaian antar ahli yang mendapatkan bagian yang tidak
sama, apalagi kalau bagian yang seharusnya diterima menjadi berkurang akibat wasiat yang
harus dibayarkan.
Kalau pun ada perintah untuk berwasiat terdapat orang tua dan keluarga dalam Q.S. al-
Baqarah/2: 180, para mufassir dalam beberapa tafsir bahwa perintah tersebut diturunkan sebelum
turunnya ayat kewarisan (Q.S. An-Nisa’/4: 11-12). Al Qurtuhbi juga menjelaskan bahwa
kewajiban untuk berwasiat dalam hal yang berkaitan dengan kewajiban yang harus dilaksanakan,
seperti ada hutang kepada Allah atau kepada manusia, ada titipan atau amanah yang harus
disampaikan. Kalau tidak diwasiatkan maka ahli waris tidak mengetahui apa kewajiban pewaris
yang belum dan harus dilaksanakan. Dalam konteks ini, maka wasiat harus disampaikan kepada
ahli waris.Berbeda dengan konteks hadits yang dibahas, objek yang diwasiatkan harta/hak bukan
kewajiban.
Adanya hadits Rasul yang mengatur tentang wasiat wajibah ini, tidak dalam kontek
pewarisan harta.Kalau diperhatikan wajibah ini, berbeda dengan wasiat dalam hadits tentang
wasiat yang dibahas.Wasiat wajibah lebih merupakan usaha mewasiatkan amanah yang harus
ditunaikan oleh penerima wasiat. Jika dikaitkan dengan praktek yang sering dipakai oleh
masyarakat islam Sumbar, wasiat wajibah ini nampak dalam harta pusaka tua yang turun
temurun dan tidak boleh diperjualbelikan dan dihibahkan.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan terjemahnya, hadiah dari Khadim al Haramain asy Syarifain (Pelayan kedua
tanah suci) Fahd ibn ‘Abd al ‘Aziz al sa’ud, Kerajaan Saudi Arabia.

 Wanda Awang— Saturday, July 11, 2015 — Add Comment — Umdatul Ahkam. Al-Umdah.


Blogspot.com. Diunduh tgl 8 Desember 2016 pukul 10.00 WIB

Jheelicius. Blogspot.com, Februari, 2012. Hadits Tentang Wasiat. Diunduh tgl 8 Desember 2016
pukul 09.00 WIB.

Peptianawahyuni.blogspot.com. Juli 2014. Hadits Ekonomi (wasiat). Diunduh tgl 8Desember


2016 pukul 08.00 WIB.

Sayyid Abdurrahaman bin Muhammad bin Husain bin Umar.  Bughyah al-mustarsyidin.  Al-
Hidayah. Surabaya

Syabiq Sayyid. Fikih Sunnah. Pena Pundi. 2006

Tafsir Ibnu Katsir. Pusaka Imam Assyafe’i

Anda mungkin juga menyukai